You are on page 1of 17

PERSAINGAN AKSES SUMBER DAYA AIR DI YEH HO, TABANAN, BALI

Access Rivalry to Water Resources in Yeh Ho, Tabanan, Bali

Herlina Tarigan1, Arya H. Dharmawan2, SMP Tjondronegoro2, dan Kedi Suradisastra2


1
Program Doktoral Sosiologi Perdesaan, Institut Pertanian Bogor
2
Program Studi Sosiologi Perdesaan, Institut Pertanian Bogor
Gedung FEMA Wing 1 level 5 Jalan Kamper, Kampus IPB Darmaga 16680
Email: herlin4@yahoo.com

Naskah diterima : 28 Juli 2013 Naskah disetujui terbit : 23 September 2013

ABSTRACT

Subak is a traditional Balinese water management organization with simple irrigation


instruments, yet recognized as having high social resilience. This organization is not solely related
to engineering elements, but also having socio-techno-religious characteristics. The politics of
mass tourism development that promotes the development of infrastructures and public facilities
by exploiting natural resources including land and water have caused land conversion and water
utilization in a large scale, threatening the sustainability of subak. This research aims to examine
the dynamics of water resource economic politics and its impact on subak institution which serves
as one of the main pillar of development in Bali. Using a qualitative method, this research found
that: (1) the politics of water economy was very dynamic, involving various local, national, and
global actors with different interest and ideology; (2) the priority of mass tourism in Bali had led to a
battle over access to water resources with both immaterial and material conflicts; (3) growth-
oriented agricultural development had systematically reduced the socio-capital of subak; (4) the
politics of development and the products of the state power (laws and policies) had systematically
weakened the products of subak community power (awig-awig and perarem), so that the existence
of subak as an irrigation organization that became the basis of strength for supporting food
security was increasingly pressured.

Keywords: subak, mass tourism, water resources, Tabanan

ABSTRAK

Subak merupakan organisasi pengelola air khas Bali dengan alat irigasi yang sederhana
namun diakui memiliki resiliensi sosial yang tinggi. Organisasi ini tidak semata-mata terkait dengan
unsur-unsur keteknikan, melainkan bersifat sosial-tekno-religius. Politik pembangunan pariwisata
massal yang memacu laju pembangunan infrastruktur dan fasilitas publik dengan pemanfaatan
sumber daya alam termasuk lahan dan air menyebabkan alih fungsi lahan dan pemanfaatan air
secara besar-besaran sehingga mengancam keberlangsungan subak. Penelitian ini bertujuan
untuk mempelajari dinamika politik ekonomi sumber daya air dan dampaknya bagi kelembagaan
subak yang menjadi salah satu pilar utama pembangunan di Bali. Penelitian dengan metode
kualitatif ini menemukan bahwa: (1) politik ekonomi air sangat dinamis melibatkan beragam aktor
lokal, nasional, global dengan kepentingan dan ideologi yang berbeda-beda; (2) prioritas
pariwisata massal di Bali telah menyebabkan terjadinya pertarungan akses terhadap sumber daya
air dengan konflik immaterial maupun material; (3) pembangunan pertanian yang berorientasi
pertumbuhan secara sistematis telah mereduksi capital social subak; (4) politik pembangunan dan
produksi kekuasaan negara (UU dan kebijakan) secara sistematis melemahkan produksi
kekuasaan komunitas subak (awig-awig dan perarem) sehingga eksistensi subak sebagai
organisasi pengairan yang menjadi basis kekuatan mendukung ketahanan pangan semakin
terdesak.

Kata kunci: subak, pariwisata massal, sumber daya air, Tabanan

PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

143
PENDAHULUAN

Air merupakan sumber daya alam penting bagi kehidupan manusia. Khusus di
bidang pertanian, air menjadi salah satu sumber penggerak agraria yang menduduki
posisi strategis, khususnya pertanian sawah yang menjadi basis utama ketahanan
pangan nasional. Selama dua dekade terakhir, sumber daya air mulai menjadi persoalan
yang serius. Kondisi ini memiliki interrelasi yang sensitif dengan permasalahan
lingkungan baik lingkup global, regional, maupun lokal. Tingginya kepentingan berbagai
pihak terhadap air, memberi ruang yang luas bagi konflik seputar perebutan sumber daya
air.
Menurut Smill (2000) dalam Pasandaran (2005), laju pengurangan ketersediaan
air untuk pertanian diperkirakan terjadi lebih cepat dari laju pengurangan ketersediaan
lahan. Pengurangan tidak semata ditinjau dari kuantitas air, tetapi erat kaitannya dengan
kesenjangan dan optimalisasi fungsi air. Pertengahan abad ke-21 diperkirakan terjadi
pengurangan ketersediaan lahan sebanyak sepertiganya, sedangkan pengurangan
ketersediaan air untuk pertanian terjadi lebih besar dari itu.
Dari sisi suplai, pengurangan ketersediaan air terjadi karena degradasi lingkungan
berupa menyempitnya daerah tangkapan air, penurunan serapan air dalam tanah, tidak
terlindunginya sumber-sumber mata air, pembuangan air tanpa pemanfaatan yang
optimal, dan penurunan kualitas air sebagai dampak dari pembangunan dan ragam
aktivitas ekonomi yang kurang mempertimbangkan keberlanjutan lingkungan. Dari sisi
permintaan, ketersediaan air dipengaruhi oleh laju pertambahan penduduk dan ragam
aktivitas perekonomian yang memerlukan air sebagai unsur utama dan mendasar.
Rosegrant dan Hazell (2000) dalam Pasandaran (2005) menyebutkan bahwa
konsekuensi langsung posisi suplai dan kebutuhan air adalah krisis ketersediaan air
pertanian menjadi lebih serius. Kondisi ini bisa jauh lebih serius dari ancaman laju
konversi lahan yang banyak dikhawatirkan akan mengancam ketahanan pangan.
Hal lain yang tidak bisa diabaikan perannya dalam menentukan ketersediaan air
untuk pertanian adalah masalah distribusi. Sektor pertanian memiliki ketergantungan
yang sangat tinggi terhadap air. Ketersediaan sumber daya air dengan distribusi yang
senjang yang disebabkan ketidakadilan dalam akses, berpeluang besar menimbulkan
konflik yang berpotensi mengancam integrasi sosial (Homer-Dixon, 1994). Strategisnya
posisi air menyebabkan distribusi sumber daya air berkaitan erat dengan politik ekonomi
air (Bond, 2010).
Pertanian sawah memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap air, sehingga
pertanian berkembang beriring dengan kelembagaan pengairan. Subak merupakan salah
satu organisasi petani pengelola air yang lahir dan berkembang secara khas di Bali.
Subak telah tertanam kuat dalam budaya Hindu lokal dengan sistem yang membimbing
petani dalam berbagi air secara adil. Pembagian air didasarkan pada prinsip-prinsip
proporsional, adil, dan transparan dengan sistem irigasi egaliter (Lorenzen, 2011). Dalam
perjalanannya, lembaga ini banyak dijadikan rujukan pengembangan pengairan,
pertanian, bahkan perekonomian masyarakat desa. Secara teknis John S. Ambler
menyebut subak sebagai salah satu organisasi pemakai air paling canggih di dunia
(Disparbud, 2011). Subak juga dikenal sebagai kelembagaan yang memiliki kelentingan
sosial (resiliensi social) yang tinggi terbukti dari usianya yang sudah lebih dari satu
milenium tetap mampu mempertahankan nilai-nilai sosial kulturalnya (Suradisastra et al.,
2009).
Sejumlah tokoh dan peneliti menyebutkan pesatnya perkembangan perkotaan,
meluasnya daerah wisata, pertumbuhan industri, pembangunan sarana prasarana publik,
dan pertambahan penduduk telah mendorong terjadinya alih fungsi lahan pertanian

Jurnal Agro Ekonomi. Volume 31 No. 2, Oktober 2013: 143-159

144
besar-besaran di semua kabupaten/kota di Bali. Bersamaan dengan itu, beragam aktor
dengan pengetahuan dan regim yang berbeda-beda masuk dalam kancah politik
ekonomi air bertarung memperebutkan akses pengelolaan dan pemanfaatan air,
mendesak ketersediaan air untuk pertanian serta mengancam keberadaan kelembagaan
pengairan pertanian subak. Keterancaman subak merupakan ancaman bagi produksi dan
keberlanjutan pertanian sawah yang berakibat langsung pada keterancaman ketahanan
pangan.
Selain sebagai lembaga pengairan, subak memiliki beragam fungsi antara lain
sebagai lembaga operasional budaya pertanian masyarakat Bali, laboratorium pendidikan
pengairan dan lingkungan, salah satu kekayaan budaya khas Bali yang menjadi daya
tarik pariwisata, wadah mewariskan nilai budaya pertanian dari generasi ke generasi, dan
menjadi salah satu faktor terpenting menentukan ketersediaan dan ketahanan pangan
(Wiguna dan Surata, 2008; Pasandaran, 2006). Subak juga merupakan salah satu pilar
utama penopang kemasyuran Bali.
Pesatnya pembangunan pariwisata di Bali mempercepat laju konversi lahan
sekaligus peningkatan pemanfaatan sumber daya air. Beragam aktor yang hadir di Yeh
Ho berusaha mendapatkan akses meningkatkan nilai ekonomi air untuk kepentingan
yang lebih luas. Hadirnya para stakeholder yang memiliki berbagai kepentingan tehadap
air merupakan ancaman kelangkaan air bagi pengairan pertanian setempat. Tulisan ini
bertujuan untuk menganalisis persaingan akses sumber daya air yang terjadi di Yeh Ho
serta dampaknya bagi kelembagaan pengairan subak dan pertanian tanaman pangan.
Tulisan ditutup dengan potret dinamika politik ekonomi sumber daya air di Bali.

METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekologi politik, kolaborasi politik ekologi
dan politik ekonomi yang berfungsi mengungkap aspek-aspek sosial politik terhadap
pengelolaan lingkungan (Blaikie & Brookfield, 1987). Pendekatan ini berasumsi bahwa
perubahan lingkungan tidaklah bersifat netral, melainkan suatu bentuk politized
environment yang banyak melibatkan aktor-aktor yang berkepentingan secara ekonomi,
baik di tingkat lokal, regional, maupun global. Ekologi politik meneliti dinamika politik
seputar materi dan diskursif dalam hubungan kekuasaan tidak setara yang banyak terjadi
di negara dunia ketiga (Bryant, 1998). Menganalisis sumber, kondisi, dan implikasi politik
dari perubahan lingkungan hidup, melihat hubungan saling-ketergantungan
(interdependence) antara unit politik dan saling keterkaitan (inter-relationship) antarunit
politik dengan lingkungan hidupnya, terutama yang berkenaan dengan konsekuensi
politik dari perubahan lingkungan (Bryant and Bailey, 1997; Hempel, 1996). Kajian ini
melihat relasi yang kompleks antara pembangunan ekonomi melalui analisis terhadap
akses dan kontrol sumber daya air serta implikasinya terhadap kelembagaan
pengelolaan air subak dan keberlanjutan ketahanan pangan.
Kajian mengkombinasi analisis kebijakan dan data empiris di lapangan dengan
membatasi narasi tentang konflik sumber daya air akibat perubahan ekologi dan politik
ekonomi yang menyebabkan marginalisasi atau terancamnya kelembagaan subak,
kelembagaan yang selama ini berfungsi sebagai identitas sosial dan ujung tombak
penyediaan pangan di Bali. Konsep kuasa dan pengetahuan dari Foucoult (1980) dan
teori akses dari Ribot dan Peluso (2003) dipakai sebagai alat analisis untuk menunjukkan
bagaimana kuasa dan pengetahuan berperan dalam relasi kuasa tentang sumber daya
air dan telah menyebabkan terjadinya pertarungan akses antaraktor yang berkepentingan
serta menimbulkan konflik pada ranah material maupun immaterial.

PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

145
Lokasi, Data, dan Analisis Data
Penelitian dilakukan pada komunitas petani tanaman pangan padi dan palawija
berbasis sawah dimana air merupakan sumber agraria utama. Mengambil kasus di
Subak Agung Yeh Ho Tabanan, dengan menetapkan dua subak tunggal yang didalami
secara intensif sebagai representasi subak Agung Yeh Ho, yaitu subak Aya III yang
berlokasi di bagian hulu sungai dan subak Aseman IV yang berlokasi dibagian hilir
sungai. Penggalian data dilakukan melalui pengamatan, penelusuran dokumen, dan
wawancara mendalam dengan berbagai pihak meliputi aparat pemerintah (Bappeda,
Sedahan Agung, Dinas Pertanian, Dinas Pariwisata, Dinas Pekerjaan Umum yang
dianggap merepresentasikan aktor negara, swasta, petani subak, pekaseh) dan tokoh-
tokoh yang memiliki keterkaitan dengan topik bahasan.
Langkah penelitian mengacu pada hipotesis pengarah bahwa perbedaan regim
pengetahuan antaraktor yang berkepentingan terhadap sumber daya air menyebabkan
terjadi perbedaan kuasa dan akses terhadap perolehan manfaat air yang menyebabkan
terjadinya konflik. Hipotesis pengarah bukan kebenaran sementara yang hendak diuji
atau diverifikasi, melainkan pedoman yang memandu jalannya penelitian.
Penelitian kualitatif ini lebih merupakan deskriptif-eksplanatif yang menggunakan
critical theory dengan memandang realitas yang teramati merupakan realitas semu yang
terbentuk melalui proses sejarah oleh proses sosial, ekonomi, politik, dan budaya
(Lincoln dan Guba, 2000). Penggalian data, pengamatan, dan objek merupakan satu
kesatuan subyektif dan merupakan perpaduan interaksi di antara peneliti dan informan.
Interaksi dialektik ini dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Secara metodologi penelitian
mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan spesifik pada tiap struktur
realitas sosial. Transformasi sosial antara peneliti dan informan bertujuan merekonstruksi
realitas yang diteliti melalui partisipan observasi yang dilakukan mengikuti kaidah-kaidah
paradigma kritis.
Data kualitatif dianalisis berdasarkan kata-kata yang disusun ke dalam bentuk
teks yang diperluas (Miles dan Huberman, 1992). Catatan lapang berisi data hasil
pengamatan, wawancara, dan hasil pengalaman partisipasi, ditafsir berdasarkan
hubungan antarinformasi dan interaksi yang terjadi. Analisis studi pustaka, tinjauan
kebijakan di berbagai tingkatan, dan penajaman teori dikolaborasi dengan data empiris.
Catatan penelitian dikaitkan dengan teori, dipilih, disederhanakan, diabstraksi, kemudian
dilanjutkan dengan pembuatan kerangka dasar penyajian data. Data dikategorisasi,
direduksi dan diklasifikasi untuk disajikan dengan rumusan serta kesimpulan.
Fokus penelitian ini kelembagaan pengairan subak dengan mempelajari,
menggali, dan menganalisis interaksi dan hubungan-hubungan sosial politik antaraktor
dalam persaingan akses sumber daya air yang berkembang dan dampaknya pada regim
pengairan subak sebagai lembaga pendukung ketahanan pangan. Posisi metodologis
berikut ditetapkan untuk membantu peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian agar
sesuai dengan alur paradigma yang dianut
Penelitian dilaksanakan dalam kurun waktu enam bulan (Oktober 2012 sampai
Maret 2013) dengan kunjungan lapang secara berulang. Cara ini dilakukan sebagai
upaya validitas data dengan menanyakan ulang temuan-temuan pada kunjungan
sebelumnya yang telah digali secara triagulasi. Pengulangan kunjungan memberi waktu
sela untuk memahami dan merenungkan temuan sebagai langkah mengatasi
keterbatasan peneliti memahami secara cepat hubungan antardata dan informasi
terutama ditingkat subak yang sarat dengan simbol-simbol dan makna budaya-agama.

Jurnal Agro Ekonomi. Volume 31 No. 2, Oktober 2013: 143-159

146
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pariwisata Massal dan Ketidakadilan Akses Sumber Daya Air


Keindahan alam dan keunikan tradisi budaya masyarakat Bali telah lama menjadi
perhatian banyak pihak. Salah satu budaya yang khas dan unik adalah subak. Ketika
menduduki Bali, pemerintah kolonial Belanda sudah menginisiasi pengembangan Bali
menjadi daerah tujuan wisata. Pembangunan sarana wisata antara lain seperti restoran,
perbelanjaan, tempat rekreasi, sarana jalan, membangun jaringan telepon, membenahi
pelabuhan Benoa dan Pabean, serta membangun lapangan udara Tuban. Pemerintah
kolonial juga melirik sumber daya air sebagai komoditas penting dalam pengembangan
pariwisata. Tabanan dicatat sebagai wilayah yang memiliki sumber air yang banyak dan
kualitas air baik. Sejak tahun 1927 prasarana penyediaan air sudah disiapkan untuk
kawasan Bali Selatan. Tahun 1932 Denpasar telah memiliki sistem pelayanan air dari
sumber mata air di Dusun Riang Gede Kabupaten Tabanan dengan kapasitas produksi
14 liter/detik. Pemerintah Orde Baru melakukan penambahan pengambilan air dari
sumber air lain di wilayah yang sama.
Pasca kemerdekaan, pariwisata Bali tidak mengalami perkembangan yang berarti
sampai pencanangan Pariwisata Massal oleh pemerintah Provinsi Bali dengan dukungan
kuat oleh Pemerintah Pusat. Kebijakan pada masa Orde Baru ini dilaksanakan secara
konsisten dari waktu ke waktu, dari program ke program, dan dari kebijakan ke kebijakan
yang memberi dukungan kemudahan bagi setiap investasi, program, atau kegiatan yang
mendukung pengembangan pariwisata di Bali. Sarana prasarana, perijinan bagi investor
untuk berinvestasi membangun hotel dan restoran, wahana wisata, pusat perbelanjaan,
pasar seni dan kerajinan, serta bentuk-bentuk pelayanan pariwisata lainnya diberi
kemudahan. Kebijakan pembangunan pariwisata massal yang menyebabkan alih fungsi
lahan pertanian produktif yang pesat terjadi di seluruh kabupaten dan kota.
Pembangunan geothermal di Buleleng, pemanfaatan sungai untuk wisata tirta di
Tabanan, serta pembangunan hotel dan restoran di atas lahan sawah seperti yang terjadi
di Tabanan, Ubud, menunjukkan realitas tidak sinergi antarundang-undang terkait seperti
perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (UU No. 41 Tahun 2009), lingkungan
hidup (UU No. 32 Tahun 2009), bahkan RTRW yang telah disusun.
Pada tahun 1990-an terjadi pengambilalihan mata air Gembrong secara sepihak
oleh PDAM. Pengambilalihan mata air yang terdapat di bagian hulu Yeh Ho merupakan
bagian dari upaya untuk mendukung kebutuhan air bagi masyarakat perkotaan dan hotel-
hotel yang ada di Tabanan, Badung, dan Denpasar. Mata air Gembrong mensuplai lebih
dari 60 persen air Sungai Ho yang selanjutnya mendapat suplai dari beberapa sungai
kecil dan mata air lain berfungsi mengairi sekitan 6000-an ha sawah petani yang
terhimpun dalam 45 subak tunggal, 6 subak gde dan dibawah koordinasi Subak Agung
Yeh Ho.
Saat ini, 80 persen perekonomian Bali tergantung pada pariwisata, dan pariwisata
sangat tergantung pada pasokan air bersih, baik untuk konsumsi, industri, kolam renang
hingga arena wisata tirta lainnya yang ditujukan untuk memanjakan para turis. Pada
tahun 2012, Cole (2012) memperkirakan sekitar 65 persen air di Bali digunakan untuk
sektor pariwisata. Kebutuhan air untuk sektor ini berlaku sepanjang musim, bahkan pada
musim kemarau atau musim panas berkorelasi dengan musim turis tinggi (Eurostat, 2000
dalam Cole, 2012), saat bersamaan sektor pertanian juga sangat membutuhkan air.
Pasca diberlakukannya kebijakan pariwisata massal, suplai air besar-besaran
bagi kepentingan industri pariwisata mewarnai praktek pengelolaan air di Bali. Menurut
catatan Walhi Bali, tahun 2009 air ke kawasan Kuta Selatan khususnya Bali Tourism
Development Centre (BTDC) Nusa Dua mencapai 1300-3000 m3/hari. Pasokan ini
berbanding terbalik dengan konsumsi air bersih rumah tangga yang hanya menghabiskan
PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

147
rata-rata 1 m3/hari. Berarti konsumsi air besih dari BTDC setara dengan konsumsi 1.300
KK.
Perkembangan jumlah penduduk, pembangunan industri, maupun pariwisata
menyebabkan permintaan terhadap air mengalami peningkatan yang pesat. Penduduk
perdesaan yang sebelumnya secara leluasa memperoleh air bersih, kini mulai harus
membayar sejumlah uang untuk mencukupi kebutuhan air secara primer. Pada musim
kemarau, penduduk yang berada di bagian hilir sungai harus bersaing dengan ternak
peliharaan dalam memanfaatkan air mandi. Kementerian Negara Lingkungan Hidup
mengingatkan bahwa defisit air di Bali telah terlihat sejak 1995 sebanyak 1,5 miliar
m3/tahun. Defisit tersebut terus meningkat sampai 7,5 miliar m3/tahun pada tahun 2000
dan diperkirakan pada tahun 2015 Bali akan kekurangan air sebanyak 27,6 miliar
m3/tahun (Suardana, 2009).
Perkembangan pariwisata di Kabupaten Tabanan tidak sepesat Badung dan
Denpasar, sekalipun dengan laju yang lebih kecil tetapi konsisten bertambah. Basis
utama perekonomian Tabanan bertumpu pada sektor pertanian. Namun desakan
pengembangan pariwisata di kedua kabupaten tetangganya berdampak pada
ketersediaan air pertanian di Tabanan. Sejak 65 persen air dari mata air Gembong
diambil alih PDAM, debit air Yeh Ho mengecil. Subak Aya yang berada di bagian hulu
dengan pintu bendung pertama setelah penggabungan air Gembrong dan Gunung Sari
memperoleh dampak yang relatif kecil. Petani tidak sampai melakukan perubahan pola
tanam karena bisa berproduksi seperti sebelumnya. Namun demikian, pengambilan air
jatah pertanian menyebabkan 1500-2000 ha lahan petani subak yang berada di bagian
tengah hingga hilir (Subak Gde Gadungan Lambuk, termasuk Subak Aseman IV) Yeh Ho
mengalami kekurangan air, terutama pada musim kemarau. Akibatnya, petani yang
semula bertani dengan menganut pola tanam padi-padi palawija, kini padi II dan palawija
cenderung gagal panen. Sistem pinjam air dan penerapan nyorog makin intensif untuk
mensiasati keterbatasan air, namun hasilnya tidak signifikan dalam mengatasi
kekurangan air pada musim kemarau.
Kuatnya peran negara dalam pengambilalihan pemanfaatan mata air Gembrong
dalam rangka mendukung sektor nonpertanian di perkotaan. Selanjutnya diikuti oleh
akses yang meluas ke sumber-sumber mata air lain sekitar Yeh Ho dapat dipandang
sebagai keputusan politik penting sekaligus menejemen air yang tidak adil secara sektor,
wilayah, maupun kelompok masyarakat. Akpabio dan Ekanem (2009) menyebutkan
sistem seperti ini memang umum terjadi di negara-negara berkembang. Penelitiannya di
Akwa Ibom bagian Tenggara Nigeria menemukan tingginya insiden ketidakadilan dan
beban akses bagi kelompok masyarakat rentan. Eksploitasi sumber daya air oleh swasta
menunjukkan lemahnya pemerintah sehingga menimbulkan ketidakpastian berusahatani
yang sangat tergantung air maupun kelangsungan hidup generasi mendatang.
Dua dasawarsa terakhir, kelangkaan air pertanian dan kuatnya daya tarik
pariwisata, mendorong terjadinya peningkatan transaksi penjualan lahan sawah. Semakin
mengecilnya land rent pertanian dibanding land rent nonpertanian membuat banyak
petani tergiur menjual lahan dan melakukan transformasi usaha atau pekerjaan. Secara
kasat mata terjadi kasus-kasus land conversion bahkan land grabing di sepanjang
wilayah daerah aliran sungai Yeh Ho, khususnya wilayah Soka dan Pantai Beraban.
Pembangunan villa-villa dibagian hulu, berbatasan langsung dengan persawahan, atau
bahkan langsung di atas lahan sawah untuk memanfaatkan view sawah sebagai faktor
daya tarik penjualan jasa penginapan. Realita ini berakibat pada turunnya permukaan air
tanah dan kualitas lahan serta air atau rusaknya saluran irigasi oleh pembangunan dan
limbah villa. Seringkali menyebabkan kontaminasi air yang berbahaya bagi masyarakat
yang masih memanfaatkan air sungai untuk kepentingan konsumsi dan mandi. Kasus
membahayakan ini telah banyak melanda sungai-sungai di berbagai negara seperti di
Swedia (Sustain Partnership, 2011) atau Ontario (Ferreyra et al., 2008).

Jurnal Agro Ekonomi. Volume 31 No. 2, Oktober 2013: 143-159

148
Persaingan Akses Sumber Daya Air Di Yeh Ho
Petani subak memiliki kedekatan bahkan ketergantungan yang tinggi terhadap air
terkait dengan pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama dan penting, sehingga
perubahan ketersediaan air berpengaruh secara teknis maupun psikologis terhadap
kehidupan berusahatani. Pemanfaatan air sebagai sumber daya publik (common pool
resources) yang diperoleh secara bebas telah mengkonstruksi pandangan, sikap, dan
teknik pengelolaan pertanian petani subak. Oleh karena itu, pemanfaatan air Yeh Ho
untuk berbagai keperluan dipersepsikan sebagai hak yang diperoleh turun temurun,
bukan sebagai akses yang harus diperjuangkan dan ditentukan oleh kemampuan.
Secara empiris, perkembangan pengairan sektor pertanian di Tabanan
menghadapi tantangan laju pembangunan di sektor lain yang mengambil jatah
ketersediaan air pertanian. Kemajuan sektor pariwisata menarik sumber daya modal,
manusia, maupun sumber daya alam, termasuk air dan lahan secara besar-besaran.
Kebijakan pariwisata massal yang menyemangati kembali ide politik etis kolonial untuk
membangun Bali menjadi pusat pariwisata telah berhasil memposisikan Bali sebagai
salah satu tujuan wisata besar dan menarik di dunia. Salah satu daya tarik wisata yang
membesarkan nama Bali adalah tradisi budaya subak dan sistem pertanian sawah di
Jatiluwih yang telah diakui UNESCO sebagai salah satu warisan budaya dunia (Windia
dan Wiguna, 2012; Lorenzen, 2011). Menggunakan sisi pandang yang lebih kritis,
kemajuan pariwisata yang pesat dan tak terkendali telah menekan ketersediaan air dan
lahan, dua faktor yang menyebabkan keterancaman subak. Kepunahan subak pada
akhirnya mengurangi daya tarik Bali yang berarti mengancam sektor pariwisata.
Keterancaman subak menyebabkan keterancaman sektor pariwisata, dalam jangka
panjang mengarah pada kehancuran ekologi dan ekonomi masyarakat Bali
Secara politis, persaingan akses sumber daya air bisa dirunut sejak Konferensi
Dublin di Irlandia pada tahun 1992 yang membahas terjadinya krisis air sebagai dampak
kerusakan lingkungan. Pertemuan ini menjadi tonggak sejarah baru dibidang air.
Wacana perubahan pandangan terhadap air dilegalisasi dalam salah satu isi deklarasi
berbunyi ”water has an economic value in all its competing uses and should be
recognized as an economic good”. Deklarasi ini menstimulir lembaga-lembaga
internasional dan agen pembangunan bilateral seperti World Bank dan USAID
mereposisi kebijakan dan mendorong private sector participation (IFI, 2003 dalam Kruha,
2011). Pertarungan kuasa pengetahuan antar ahli air ditingkat global adalah arena
pertarungan di ruang gagasan yang melahirkan wacana bersifat politis dan ideologis
(Foucoult, 1980). Wacana air sebagai komoditas ekonomi menjadi elemen taktis yang
beroperasi dalam kancah relasi kekuasaan antara negara atau aktor yang memiliki
pengetahuan, modal, dan teknologi dengan negara atau aktor yang memiliki bahan baku
atau sumber daya. Di tingkat nasional dan daerah pertarungan kuasa pengetahuan
tentang air sebagai komoditas ekonomi, memproduksi kekuasaan berupa undang-
undang dan kebijakan yang selanjutnya menjadi kartu multiguna yang sah dalam
keputusan-keputusan yang berkaitan dengan pengelolaan air sebagai komoditas
ekonomi. Hal ini terjadi dalam proses lahirnya UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber
daya Air. Pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan seringkali tidak
mendialogkan hukum formal dengan hukum lokal sehingga kepentingan nasional yang
diusung oleh hukum formal menegasi kepentingan setempat yang diusung oleh hukum
lokal (Saptono, 2006). Air menjadi barang bernilai ekonomi yang bisa diakses dan
dimanfaatkan oleh mereka yang berkiblat kepada hukum formal dan memiliki nilai tukar
ekonomi yang seimbang. Pertarungan gagasan ditingkat global ini berdampak signifikan
di tingkat lokal. Kasus subak di Tabanan ditunjukkan oleh menguatnya korporasi dan
berkurangnya ketersediaan air untuk pertanian.
Sejak UU No.7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air yang membuka celah bagi
semua pihak untuk mengelola dan memanfaatkan sumber daya air diberlakukan secara
PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

149
penuh di Tabanan, produk hukum ini memperkuat misi pembangunan pariwisata massal
sekaligus mengundang para investor untuk berpartisipasi menanamkan modal di
Tabanan. Sumber mata air, lahan berbukit dan sawah bertingkat, udara yang sejuk, serta
budaya pertanian dan persubakan yang khas menjadi faktor penarik yang kuat.
Pemerintah daerah yang berperan sebagai kontrol akses sumber daya alam di
daerahnya, terjebak pada keinginan yang kuat untuk memperoleh pendapatan asli
daerah (PAD) yang tinggi dengan pemanfaatan sumber daya daerahnya melalui
pengetahuan, modal, dan teknologi para korporasi. Setelah “kasus Gembrong”, tahun
2010 muncul PT Prisma Tirta yang mengeksploitasi mata air di Riang untuk memproduksi
air minum dalam kemasan (AMDK) dengan merk dagang Ecoqua. Pada periode lima
tahun terakhir muncul villa-villa yang memanfaatkan air permukaan maupun air tanah di
wilayah hulu Yeh Ho (Jatiluwih, Gunung Sari, Soka) maupun wilayah hilir Yeh Ho (Tegal
Mengkep hingga Pantai Beraban). Pembangunan sebagian villa di lokasi ini tidak semata
menekan ketersediaan air untuk kepentingan pertanian, tetapi juga mengkonversi dan
merampas wilayah spasial subak berupa sawah maupun lahan-lahan penyangga sungai.
Upaya pemerintah mengatasi kekurangan air pertanian pasca “kasus Gembrong”
dilaksanakan dengan membangun waduk Telaga Tunjung di wilayah tengah Yeh Ho.
Waduk seluas 17 ha yang dioperasikan awal 2006, tidak memberi solusi berarti bagi
usahatani di wilayah hilir karena pemanfaatan air waduk yang harus berbagi dengan
PDAM dalam kapasitas 20 liter per detik. Pada musim kemarau, hampir seluruh
hamparan sawah wilayah hilir diberakan karena tidak tersedia air yang mencukupi untuk
berusahatani. Sebelumnya sebagian bisa ditanami palawija, sekalipun produksinya tidak
optimal. Air waduk hanya mampu mencukupi kebutuhan air di Subak Gde Meliling
(wilayah tengah Yeh Ho) dan keperluan PDAM yang bersifat tetap sepanjang tahun.
Realita di lapangan, saat ini beberapa mata air di Aya (hulu), Jegu (tengah), dan
Timpag (tengah) yang menjadi penyuplai Yeh Ho dalam proses perijinan untuk
dimanfaatkan oleh investor. Akses pemanfaatan air Yeh Ho oleh berbagai aktor yang
berbeda dan dengan cara dan tujuan yang berbeda, sesungguhnya memiliki ideologi
tentang air yang sama. Sumber daya dimanfaatkan untuk tujuan kepentingan pemasaran
air. Pengalihan akses dan pemanfaatan sumber daya dari petani dan pertanian kepada
korporasi industri pariwisata dan masyarakat perkotaan dinilai pemerintah lebih
menguntungkan dari sisi pajak, pendapatan daerah, dan pertumbuhan ekonomi
dibanding sepenuhnya dimanfaatkan untuk subak dan sektor pertanian.
Pemikiran aktor-aktor global dalam politik ekologi air memuat tujuan-tujuan
ekonomi dan politik. Pengetahuan, teknologi, kekuatan finansial dan informasi tentang
manfaat dan keuntungan yang bisa diperoleh dari sumber daya air merupakan modal
kuasa mendapatkan akses. Unsur-unsur tersebut juga merupakan modal dasar dan alat
yang ampuh membangun jejaring kekuasaan (Ribot dan Peluso, 2003). Keputusan
ditingkat global mempunyai dampak langsung pada kebijakan-kebijakan ditingkat regional
dan mempengaruhi akses dan kontrol air ditingkat lokal.
Negara telah merespon politik pinjaman lembaga keuangan dan agen
pembangunan internasional (WB, IMF, USID, ADB) sebagai sebuah peluang. Tawaran
politik ini mensyaratkan beragam aturan menjadi wacana mendidik masyarakat lebih
mandiri, efisien, dan ekonomis. Negara secara estafet memberlakukan pandangan dan
ideologi kapitalis lembaga tersebut pada tingkat nasional maupun lokal, sepert Urban
Water Supply Sector Policy Framework (UWSPF) yang mengubah PDAM menjadi
sebuah industri jasa otonom, Financial Recovery Action Plan (FRAP) yang
mengharuskan PDAM mengurangi biaya operasional dan tidak memberi deviden kepada
pemerintah lokal (Kruha, 2011). Kebijakan tersebut mendorong langkah PDAM
mengembangkan usahanya dengan memperluas jaringan dan memperbanyak sumber-
sumber air untuk meningkatkan skala usaha penjualan air minum. Akibatnya, petani
subak menjadi pihak yang harus dikorbankan karena kekalahan dalam pengetahuan dan

Jurnal Agro Ekonomi. Volume 31 No. 2, Oktober 2013: 143-159

150
kuasa politik pihak lain. Pengetahuan teknis seperti teknologi bertani hemat air, taktik
mensiasati keterbatasan air, sistem bertani dilahan terbatas dan sebagainya
diintroduksikan negara kepada petani. Pemerintah mengarahkan petani terus beradaptasi
dan menerima situasi yang ada tanpa mencoba memahami pengetahuan, sikap,
psikologi maupun ideologi bertani yang telah dibentuk dalam sejarah yang panjang.
Saat petani menghadapi keterbatasan air, kebijakan sektor irigasi berupa turnover
management, irrigation service fee, dan efficient operational justru membebankan
pemeliharaan irigasi kepada kelompok pemakai air. Aksi kebijakan berupa pembentukan
lembaga perkumpulan petani pemakai air (P3A) yang menggunakan pendekatan top
down banyak mendapat hambatan dalam operasionalnya. Produk hukum UU No. 7 tahun
2004 tentang Sumber daya Air dan PP No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi saling
bersinergi menekan akses petani subak terhadap air, baik dari sisi ketersediaan maupun
dari beban pemanfaatan.

Keterancaman dan Aspek Pelemahan Subak


Ketersediaan air untuk pertanian yang semakin terbatas khususnya pada musim
kemarau, dan desakan alih fungsi lahan yang terus melaju merupakan ancaman
terhadap karakteristik dasar subak, yang lahirnya dilandasi kepentingan terhadap air.
Pemeritah daerah berupaya mendapatkan pendapatan asli daerah (PAD) yang tinggi dan
cepat dengan cara mempermudah perijinan bagi investor untuk mengeksploitasi sumber
daya air. Berpijak kepada hukum ekonomi dengan kalkulasi-kalkulasi yang kurang
memperhitungkan keberlanjutan lingkungan maupun kehidupan ekonomi dan sosial
masyarakat petani sebagai kelompok terbesar masyarakat Tabanan. Politik yang
bersinggungan dan diskriminasi dalam penerapan undang-undang dan kebijakan terkait
sumber daya alam telah menyebabkan ketidakadilan dalam penggunaan air bagi petani
dan adaptasi dalam budaya pertanian. Kondisi ini sangat berbeda dengan pengalaman
pembangunan perdesaan di China yang membangun pertaniannya dengan
mengutamakan akses petani terhadap lahan dan air (Jamal, 2008). Di Bali seringkali
pengimplementasian satu undang-undang menabrak atau mengabaikan undang-undang
lain yang mengandung implikasi diskriminasi terhadap aktor dan ideologi yang dianut.
Contohnya, mengedepankan pariwisata massal dengan mengabaikan UU No. 41 Tahun
2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, UU No. 32 Tahun
2009 Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, rancangan tata ruang
atau zonase yang sudah ditetapkan.
Tabanan, merupakan kabupaten berbasis pertanian dengan sawah mencapai
27,44 persen dari luas total sawah provinsi Bali (BPS, 2012). Daerah aliran sungai Yeh
Ho merupakan basis pangan Tabanan yang mengairi persawahan lima dari sepuluh
kecamatan yang ada. Lokasi ini merupakan sentra produksi padi yang terlibat aktif
mendukung swasembada pangan di era Orde Baru dan ketahanan pangan hingga era
saat ini. Pengambilalihan 65 persen air Gembrong yang memiliki debit 117,65 liter per
detik menyebabkan kekurangan di wilayah tengah dan hilir Yeh Ho, terutama pada
musim kemarau. Keadaan ini memicu beragam reaksi dan bentuk adaptasi petani dalam
berproduksi seperti perubahan pola tanam, perubahan jadwal tanam, perubahan
komoditas tanam, meningkatkan sistem pinjam meminjam air antarsubak, maupun sistem
tanam gilir. Ribuan hektar lahan yang sudah memiliki saluran irigasi di Subak Gde
Gadungan Lambuk menderita kekurangan air sehingga beroperasi seperti lahan tadah
hujan. Lahan hanya bisa ditanami padi pada musim hujan. Padi yang ditanam pada
musim kedua sebagian besar mengalami gagal panen. Pada musim tanam ketiga yang
sebelumnya ditanami palawija, sekarang sebagian besar lahan diberakan.
Berdasarkan pengetahuan, pengalaman, dan kepercayaan petani Bali,
keterbatasan air adalah bentuk ketidakadilan pemerintah memperlakukan rakyatnya.
Petani subak mengklaim haknya untuk mengakses air yang sudah dikelola,

PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

151
dimanfaatkan, dan dipelihara secara turun temurun (salah satu cara menentukan akses
menurut Pasandaran, (2010), namun hak itu dialihkan ke pihak lain melalui wewenang
dan kekuasaan negara, dan risikonya ditanggung oleh petani. Hal ini bisa di lihat pada
ungkapan petani subak di lokasi:
Pemerintah dengan kekuasaannya memberi ijin bagi mereka yang punya sertifikat
untuk mengambil keuntungan dari perusakan hutan, membangun villa-villa dan menyedot
airnya untuk bisnis, mengambil dan menguras air dari mata air, mengalirkan air untuk
kepentingan orang kota dan orang kaya pemilik bisnis dari sumber air yang selama ini
sudah dimanfaatkan petani secara turun temurun. Sejak dulu kami sudah memelihara,
memanfaatkan, dan menjaga air maupun sumber air dengan baik sepanjang tahun. Saat
kami membutuhkan air di musim kemarau, mereka justru membutuhkan air lebih banyak.
Bagi kami pertanian dan air adalah hidup itu sendiri. Peringatan nenek moyang kami kini
sudah terbukti, bahwa jika hutan dihulu dirusak maka siap-siaplah kekeringan dan tidak
makan. Sebenarnya siapa yang harus membayar kepada siapa?
Secara teoritis, restrukturisasi pengairan dan privatisasi air adalah bentuk lain
upaya mengatasi kelangkaan air dengan imbangan biaya dan nilai air terhadap
lingkungan secara rasional. Namun pertambahan nilai yang diperoleh PDAM dan para
korporasi tidak berkorelasi positif terhadap pemeliharaan keberlanjutan lingkungan
karena dari keuntungan yang diperoleh nyaris tidak ada yang dialokasikan untuk
membayar jasa lingkungan. Sumber-sumber air, saluran air, hutan daerah tangkapan air,
bahkan pinggiran dan badan sungai tetap dipelihara secara sukarela oleh petani subak
melalui gotong royong dan ritual-ritual agama yang dipercaya dapat menjaga alam agar
tidak menimbulkan malapetaka. Akses yang diberikan pemerintah kepada korporasi
berfungsi menekan akses dan memarginalisasi subak. Agresifitas pengusaha dengan
modal dan relasinya mendorong biaya dan manfaat sumber daya air untuk dinikmati
aktor- aktor tertentu secara tidak adil, tidak merata, bahkan cenderung timpang. Realitas
ini sejalan dengan hasil penelitian Bryant dan Bailey (1997) tentang ekologi politik di
negara-negara berkembang umumnya.
Pelemahan subak sebagai lembaga pengairan secara sistematis telah
berlangsung sejak era Orde Baru, saat dimana negara mendekatkan berbagai program
yang disinyalir sebagai upaya pemberdayaan. Dukungan pengairan berupa
pembangunan dan perbaikan irigasi untuk mengairi sekitar lima juta ha sawah (periode
1968-1993) menggunakan investasi sebesar US$ 10 miliyar dan 70 persen diantaranya
berasal dari hutang luar negeri (Kruha, 2011). Pembangunan mengandung prinsip-
prinsip neoliberalis yang memiliki keterkaitan dengan politik ekonomi negara-negara
donor. Berbagai persyaratan mengikat menimbulkan konsekuensi terhadap komunitas
petani subak seperti: (1) Secara teknik produksi, subak berhasil menyeleksi dan
mengadaptasi teknologi revolusi hijau yang diintroduksikan pemerintah untuk
meningkatkan produktivitas padi dari 3-4 ton per ha menjadi 6-7 ton per ha. Kapasitas
lembaga mampu menyerap intervensi dan memulihkan gangguan dari luar tanpa
merubah kontrol fungsi maupun strukturnya. Pengetahuan pengairan tradisional, etos
kerja, maupun tujuan produksinya masih tetap. (2). Interaksi dengan regim berkuasa dan
ideologi kapitalis mempengaruhi ruang jelajah, gaya hidup, dan teknologi sarana produksi
petani dan secara sistemik merubah, mengalihkan, bahkan menekan kemandirian subak;
(3) Target swasembada pangan dan politik ekonomi pertumbuhan menyebabkan
pembebanan pekaseh dengan tugas-tugas tambahan di luar territorial pengairan; (4)
Pelibatan pekaseh dengan berbagai misi pembantuan dan pengaturan pemerintah
melalui agen-agen pembangunan, kemudian pemberian honor kepada pekaseh
menggiring posisi dan peran pekaseh menjadi penterjemah pesan pemerintah yang
kurang netral; (5) Penerapan kebijakan yang kental dengan misi negara donor sebagai
konsekuensi ketergantungan politik pinjaman seperti jointly managed irrigation system
menambah beban subak, sebaliknya memperkecil kekuasaannya.

Jurnal Agro Ekonomi. Volume 31 No. 2, Oktober 2013: 143-159

152
Ada tiga aspek perubahan melemahnya subak yaitu produksi, religi, dan
kepemimpinan. (i) Aspek produksi. Keterbatasan air menyebabkan petani subak tidak
bisa berproduksi optimal baik dari sisi produktifitas maupun indeks pertanaman. Faktor ini
menyebabkan petani mencari alternatif tambahan pendapatan dengan usaha dan
pekerjaan nonpertanian yang berarti mengurangi frekuensi interaksi di subak; (2) Aspek
religi. Semakin tidak terpeliharanya pura subak akibat beratnya beban biaya upacara
ritual dan pemeliharaan subak yang semakin sulit dipenuhi dari hasil pertanian. Keadaan
ini diperkuat oleh berkurangnya jumlah petani yang menanggung biaya ritual dalam satu
subak karena sebagian melakukan tranformasi usaha dan pekerjaan, lahannya dijual
atau dialihfungsikan; (3) Aspek kepemimpinan. Memudarnya fungsi dan peran para
pekaseh dalam menghambat penjualan dan alih fungsi lahan, termasuk lahan-lahan yang
di dalamnya terdapat mata air pensuplai aliran Yeh Ho. Pemindahan tugas pengutipan
pajak dari pekaseh kepada petugas desa, bergesernya insentif pekaseh dari penyediaan
lahan produksi dengan gaji bulanan dari pemerintah, meningkatnya tugas-tugas pekaseh
sebagai penyampai pesan dan bantuan pemerintah merupakan faktor-faktor pendorong
melemahnya kepemimpinan pekaseh.

Tabel 1. Aspek Perubahan Subak Akibat Kekurangan Air Pertanian di Yeh Ho

No Aspek Faktor Pendorong Perubahan


1. Produksi Kekurangan air Penurunan produktivitas padi terutama pada
terutama pada musim musim kemarau (MK)
kemarau Di wilayah hilir terjadi penurunan indeks
pertanaman padi dari IP 200 menjadi IP 100
atau dari pola tanam Padi-Padi-Palawija
menjadi Padi-Padi (cenderung gagal)-Palawija
atau Padi-palawija-Bera
Penurunan total produksi padi karena
sebagian petani tidak bisa berusahatani
(giliran tanam per musim akibat keterbatasan
air)
Menguatnya kebutuhan pinjam air bagi subak
wilayah hilir dan system nyorog untuk
mensiasati keterbatasan air

2. Religi Berkurangnya Semakin kurang terpeliharanya pura subak


pendapatan petani . Menghematnya konsumsi dalam acara-acara
Berkurangnya anggota ritual khususnya odalan karena beban-beban
subak akibat banyak biaya upacara yang terasa semakin berat.,
yang bekerja keluar
sektor pertanian

3. Kepemimpinan Pengalihan petugas Lepasnya kuasa pekaseh dalam kontrol


pemungutan pajak penjualan dan alih fungsi lahan.
kepada staf desa Menguatnya peran pekaseh sebagai
Kontribusi pemerintah penyampai pesan pemerintah sekaligus
dan korporasi (PDAM) melemahnya ideologi memperjuangkan nasib
dalam pemberian subak.
honor pekaseh Melemahnya kontrol pekaseh terhadap akses
investor memperoleh ijin usaha berinvestasi di
sekitar Yeh Ho, khususnya untuk usaha yang
menggunakan lahan dan air..

Gambaran ke depan menunjukkan sketsa suram pertanian pangan sebagai


konsekuensi melemahnya fungsional subak dan suramnya akses petani subak terhadap

PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

153
air. Politik pembangunan berbasis pariwisata menciptakan perubahan besar bagi subak,
pertanian, dan ketersediaan pangan, karena tidak saja mendesak lahan pertanian
sebagai wilayah spasial subak, tetapi juga menekan akses petani terhadap air.
Rendahnya land rent pertanian, tingginya pajak lahan, langkanya air pertanian, dan
rendahnya insentif petani adalah faktor ancaman bagi hidup dan bertahannya subak.

Dinamika Politik Ekonomi Sumber Daya Air


Keterkaitan politik ekonomi sumber daya air dengan subak di Bali mengalami
dinamika aktor dengan strategi politik dan ideologi yang sangat beragam. Aktor dominan
tidak terlepas dari pengaruh regim yang berkuasa, dan sepanjang lintasan sejarah, subak
menjadi aktor yang didominasi namun sampai pada tahap tertentu mampu menunjukkan
resiliensi yang tinggi.
Sejak pertengahan abad ke-11, empat abad setelah masyarakat Bali memasuki
peradaban pertanian menetap, mekanisme pengairan sawah di Bali dilakukan oleh
subak. Sesuai dengan topografi Bali yang berbukit-bukit, sawah dicetak berundak-undak
dengan teras-teras yang indah dan fungsional menahan erosi. Petani mencari,
mengalirkan, dan mendistribusikan air ke lahan pertanian menggunakan teknik
pengetahuan lokal. Pengairan sawah dengan one inlet and one outlet system berfungsi
mengatur pemasukan dan pengeluaran air agar terkontrol dengan baik dan efisien
karena air yang berlebih mengalir ke petakan sawah dibawahnya tanpa ada yang
terbuang. Pengelolaan dan pemanfaatan air menganut prinsip kebersamaan, adil, dan
transparan. Saat ketersediaan air terbatas, petani memberlakukan sistem pinjam
meminjam air dengan mekanisme petani yang berada dibagian hulu meminjamkan atau
mendahulukan pengaliran air untuk memberi kesempatan petani yang berada dibagian
hilir mendapatkan air terlebih dahulu sesuai kebutuhan. Atau sistem nyorog yaitu tanam
bergilir dengan pengairan yang bergilir pula sesuai pembagian wilayah. Kedua sistem ini
merupakan hasil konstruksi pengetahuan bahwa air adalah milik bersama yang
digunakan untuk kepentingan bersama sebagai landasan terbentuknya kelembagaan
subak (Pitana, 1993; Purwita, 1993). Pengetahuan tehnik pengairan, pemeliharaan
sumber dan saluran air, merupakan bobot kekuasaan operasional proses produksi yang
diatur secara otonom dalam bentuk kesepakatan-kesepakatan rapat (perarem) maupun
anggaran dasar tertulis (awig-awig) yang berfungsi sebagai kontrol keteraturan anggota
subak (Sutawan, 2008).
Pada masa kerajaan, sumber daya alam adalah milik raja. Menerabas hutan,
mencetak sawah, menggunakan air sungai atau danau untuk pertanian wajib meminta ijin
pada raja. Kebijakan ini merupakan politik pendataan yang dilakukan raja untuk
mengumpulkan upeti melalui petugas kerajaan yang disebut pasedahan. Kelengkapan
ritual dalam proses pertanian merupakan bentuk politik raja agar rakyatnya memiliki
kepatuhan, bekerja dengan sungguh-sungguh, jujur dalam memelihara sumber daya air
maupun membayar upeti yang menjadi hak raja (Murray Li, 2012; Sutawan, 2008).
Teknis keirigasian, proses produksi pertanian, dan batas pengaturan hubungan-
hubungan sosial internal sepenuhnya menjadi otoritas krama subak (Sutawan, 2008).
Teknologi subak mulai bersentuhan dengan intervensi penguasa pada masa
pendudukan kolonial. Guna kepentingan ketersediaan pangan, kolonial membangun
persawahan dan permanenisasi bendung di beberapa wilayah penting, termasuk di
Tabanan. Bangunan irigasi subak berupa empelan, diperbaiki dengan membangun dam-
dam permanen dalam rangka mendapatkan hasil sewa dan pajak yang lebih meningkat.
Suadnyana (1993) menuliskan bahwa dalam waktu 14 tahun Belanda membangun
sekitar tujuh buah dam meliputi Dam Pejeng (1914), Dam Mambal (1924), Dam Oongan
(1925), Dam Kedewatan (1926), Dam Peraupan (1926), Dam Sidembuntut (1926) dan
Dam Apuan Bekutel (1928).

Jurnal Agro Ekonomi. Volume 31 No. 2, Oktober 2013: 143-159

154
Selama dua abad berkuasa, misi perdagangan kolonial melalui VOC meraup
keuntungan besar. Kolonial memperkuat kekuasaan dengan menggandeng raja-raja lokal
untuk mengeruk keuntungan dari sistem upeti, pajak, kerja paksa (cultuurstelsel), rente,
maupun monopoli perdagangan. Namun lambat laun peran penguasa lokal semakin
diragukan. Hak-hak berkuasa mengalami pergeseran dari simbol-simbol kebesaran
kerajaan menjadi efisiensi, pembakuan aturan, serta kemampuan mencapai keuntungan.
Akibatnya, Belanda ragu mempertahankan penguasa lokal sebagai mitra kolonial dan
mendorong untuk ekspansi kekuasaan. Dengan mengedepankan kepengaturan,
pencatatan, dan kepatuhan pada birokrasi, kolonial beralasan meniadakan peran
penguasa lokal karena dinilai “tidak mampu” (Murray Li, 2012; Pelzer, 1985). Terminologi
ini dipakai kolonial melegitimasi hak kepengaturannya dan secara perlahan
menyingkirkan peran raja dalam praktik politik pengairan di Bali, sekalipun puri-puri tetap
dibiarkan untuk ditempati keluarga raja sampai saat ini.
Pada era Orde Baru peran negara dalam pembangunan pengairan dan pertanian
meningkat dengan tujuan mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional sebagai
representasi dari peningkatan kesejahteraan. Pengaturan dan pengesahan awig-awig,
pelatihan organisasi dan pembukuan para prajuru, melibatkan pekaseh dengan berbagai
program pembangunan pangan yang mendekatkan petani pada dunia pasar. Keterkaitan
subak dengan penyediaan bahan pangan menguat dan target politis pencapaian
swasembada beras menempatkan pertanian persawahan pada posisi sentral. Subak
berperan sangat menonjol dalam pelaksanaan berbagai pembangunan pertanian seperti
Bimas, Inmas, Insus, Supra Insus, dan Insus Paket D. Kekuatan seleksi dan adaptasinya
berhasil membuktikan bahwa subak lembaga pendukung swasembada pangan yang
sangat handal (Suradisastra, 2009; Windia, 2002; Sutjipta, 1987; Suyatna, 1982). Petani
subak menyebut era ini sebagai era menasionalkan subak karena sebagian besar teknik
pengairan maupun usahatani yang dianjurkan pemerintah sudah diterapkan sejak lama
oleh subak.
Konsentrasi pemerintah terhadap pertanian didukung pembangunan, perbaikan,
dan pengembangan sektor irigasi. Bendung Caguh di wilayah tengah, maupun bendung
Sungsang di wilayah hilir Yeh Ho merupakan hasil Bali Irrigation Project (BIP) yang
menggunakan dana APBN dalam jumlah besar. Rekayasa teknologi dan kelembagaan
pengairan dipercaya sebagai kekuatan strategi modernisasi memperbaiki system
pertanian dan meningkatkan produksi. Pada tahun 1980-an, irigasi menggunakan lebih
dari separuh dana pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian (Pasandaran dan
Rosegrant, 1995 dalam Pasandaran,2007). Strategi pembangunan pertanian seperti ini
merupakan bentuk kekuasaan yang menjadi ciri rasionalitas khas kepengaturan
(Foucoult dalam Murray Li, 2007). Beberapa kasus dilakukan dalam bentuk pendisiplinan
berupa perubahan prilaku bertani melalui pengawasan yang ketat. Revolusi hijau yang
digerakkan oleh penguasa Orde Baru melibatkan institusi keamanan dan pemerintah
dalam semua level. Klian subak bersama PPL turut dibebani berbagai tanggung jawab
lain diluar perannya dalam pengelolaan air dan tidak terhindarkan pada peran sebagai
perpanjangan tangan pemerintah.
Petani subak sudah terbiasa mengelola dan memelihara perangkat maupun
teknik pengairan secara mandiri. Secara kolektif menjaga sumber dan saluran air melalui
aksi gotong royong maupun ritual keagamaan. Saling membantu dalam menjalankan
usahatani dengan komitmen saling menghidupi. Intervensi pemerintah berupa
pembentukan kelompok dan pemberian subsidi dalam berbagai bentuk, menciptakan
banyak ketergantungan dan mereduksi modal sosial (social capital) subak. Realitas ini
telah menekan daya tahan petani subak terhadap hadangan pasar dan perkembangan
sektor industri maupun pariwisata yang maju sangat pesat. Bekerja dan berusaha keluar
sektor pertanian menjadi pilihan yang menarik, akibatnya tingkat migrasi kaum muda di
wilayah Yeh Ho cukup tinggi, baik sirkuler maupun menetap. Upaya pemerintah secara

PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

155
bertahap mengendurkan perannya seiring menguatnya peran pasar membuat petani
mengalami kerentanan sosial. Reformasi melalui pendekatan manajerial pengelolaan
irigasi yang diserahkan kepada partisipasi masyarakat setidaknya mengandung dwifungsi
yaitu fungsi pemberdayaan dan fungsi strategi mengatasi kemampuan negara membiayai
pembangunan irigasi yang semakin melemah akibat determinan utama APBN dari harga
minyak terus menurun. Diawali kebijakan Bank Dunia memberi dukungan dana program
operasi dan pemeliharaan melalui irrigation sector loan, diantaranya ujicoba irrigation
service fee (ISF). UU No. 22/1999 dan UU No 32/2004 tentang otonomi daerah,
menegaskan kuatnya kemauan politik untuk mengurangi dominasi negara dan .membuka
ruang partisipasi lebih besar bagi semua aktor dalam masyarakat untuk merencanakan,
mengelola, dan mengontrol pemanfaatan sumber daya air.
Di samping UU Otonomi Daerah, UU Sumber Daya Air yang lahir pasca reformasi
membawa pengaruh signifikan pada pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya air di
Yeh Ho. Kedua produksi kekuasaan ini diimplementasikan oleh pemerintah daerah untuk
mendapatkan PAD yang tinggi sejalan dengan berkembangnya pembangunan dan
kesejahteraan masyarakat lokal. Kebijakan yang membuka keran kesempatan
pertumbuhan ekonomi secara kompetitif dengan privatisasi besar-besaran, lahir melalui
proses perdebatan bahkan pertarungan kuasa pengetahuan yang sengit antara
pemerintah dan kelompok masyarakat. Pertarungan berlangsung hingga ke ranah hukum
dan merupakan titik kritis runtuhnya benteng-benteng perlindungan negara terhadap
kedaulatan rakyat atas air, khususnya kedaulatan masyarakat subak. Dinamika politik
ekonomi air dapat disarikan seperti tabel 2.

Tabel 2. Dinamika Politik Ekonomi Sumber Daya Air di Bali

E R A
Komponen Pasca
Kerajaan Kolonial Orde Baru Reformasi
Reformasi
Aktor Raja Kolonial Pemerintah Pemerintah Pemda-
dominan Pusat daerah Korporasi

Politik Pendataan Pajak dan Ekonomi Politik Pertumbuhan


ekonomi dan upeti perdagangan pertumbuhan Pertumbuhan kompetitif
dan melalui dan
kekuasaan modernisasi pemerataan
pertanian

Orientasi Kekayaan Pajak dan Pertumbuhan Pertumbuhan Pendapatan


raja pendapatan ekonomi ekonomi lokal melalui
kolonial nasional persaingan
pasar

Ideologi Otoriterian Kapitalisme Otoriterian Profitistik Profitistik-


integralis eksploitatif eksploitatif kapitalistik

Tinjauan sejarah politik ekonomi air menunjukkan peta lintasan yang panjang
dengan pergerakan posisi air dari sumber daya bersama (common pool resources) yang
diklaim sebagai hak pelihara, kelola, dan manfaatkan oleh petani merangkak menuju
komoditi ekonomi (economic commodity). Air semakin dibutuhkan oleh berbagai pihak
yang berkepentingan dan menjadi sumber perolehan pendapatan bagi politik ekonomi
penguasa. Setiap aktor menggunakan “kuasa” untuk mendapatkan ijin akses dari
penguasa yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk mengontrol sumber daya air.
Akses dalam kajian ini diartikan sebagai kemampuan untuk mengambil keuntungan dari
sesuatu objek, dalam hal ini adalah air (Ribot dan Peluso, 2003).

Jurnal Agro Ekonomi. Volume 31 No. 2, Oktober 2013: 143-159

156
KESIMPULAN DAN SARAN KEBIJAKAN

Persaingan akses sumber daya air di wilayah Yeh Ho terjadi antara aktor-aktor
yang berkepentingan terhadap air baik untuk pertanian (petani subak) maupun untuk
mendukung politik pembangunan pariwisata massal (PDAM, pengusaha AMDK, air isi
ulang, hotel dan restoran, sarana wisata lain). Persaingan menguat karena memiliki
interrelasi dengan politik lingkungan dan politik ekonomi tingkat global yang melibatkan
lembaga keuangan internasional dan agen pembangunan bilateral seperti World Bank,
USAID, dan IMF. Politik pinjaman dan ketidakadilan negara dalam memberi akses telah
menyebabkan sektor pertanian dan petani subak termarginalkan secara ekonomi, sosial,
maupun budaya, dan ini rawan terhadap ketahanan pangan di Bali.
Politik pemerintah memperbaiki perekonomian masyarakat secara cepat dan
sektoral secara sistematis melemahkan pertanian, menciptakan ketergantungan, dan
mengerdilkan kekuasaan petani terhadap sumber daya alam. Resiliensi subak yang
tinggi tidak lagi berfungsi menjaga ketahanan ekonomi, sosial, dan budaya, melainkan
sekedar langkah memperlambat kehancuran. Keinginan politik negara serta keputusan
kebijakan yang memberi ruang yang luas bagi keberlanjutan pertanian dan lingkungan.
Langkah ini memiliki efek ganda dalam mempertahankan budaya subak dan
memperkokoh sektor pariwisata yang menjadi andalan Bali.
Dinamika politik ekonomi air menunjukkan konsistensi peran subak dalam
mengelola, memanfaatkan, dan memelihara keberlanjutan sumber daya ini. Kontinum
peralihan posisi air dari sumber daya milik bersama (common pool resources) menjadi
sumber daya ekonomi (economic resources) terjadi tidak semata dipengaruhi oleh
supply-demand air yang terjadi secara alamiah, melainkan kuasa pengetahuan aktor
kapitalis global melalui politik ekonomi dan ekologi sumber daya alam. Perubahan
dominasi kekuasaan dari penguasa kepada pengusaha dan subak secara konsisten pula
menjadi semakin terancam.
Hasil penelitian ini menyarankan adanya kebijakan keberpihakan dengan
membatasi perijinan usaha ekspliotasi sumber daya air oleh PDAM dan korporasi,
memperketat batas-batas zonase wilayah yang berfungsi menjaga konservasi lingkungan
dan memperkuat akses petani subak terhadap penciri lahan dan air tanpa pengabaian inti
religius subak dengan puranya sebagai benteng pertahanan terakhir.
Pemerintah daerah dengan hak otonominya perlu mempelajari dengan seksama
UU No. 7 tahun 2004 dan mengatur implementasinya secara lebih selektif dengan
kalkulasi risiko secara keberlanjutan, melibatkan subak secara optimal dalam proses
perijinan usaha yang berkaitan dengan lahan pertanian dan air. Pemerintah Daerah
Tabanan perlu: (1) Secara konsisten merencanakan dan melaksanakan “Tabanan
lumbung pangan Bali” dengan memberi prioritas melalui anggaran pembangunan. (2)
Menggunakan kuasa dan kewenangan formal untuk memproduksi pengaturan yang
bersifat membentengi petani dari dominasi pengaturan kapitalis sehingga secara nyaman
dapat bekerja di bidangnya. (3) Secara holistik melihat pertanian tidak sepenuhnya
sebagai sumber ekonomi jangka pendek, tetapi bagian dari investasi yang berfungsi
menghidupi sebagian besar penduduk, menjaga keberlanjutan ekologi, dan arena proses
produksi yang akan memberi hasil dan keamanan pangan dalam jangka panjang.

DAFTAR PUSTAKA

Akpabio, E. M. and E.M. Ekanem. 2009. Water Uncertainties in Southeastern Nigeria: Why
Government Should be Interested in Management. International Journal of Sociology and
Anthropology 1(2) pp 038-046
PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

157
Blaikie, P. and H. Brookfield. 1987. Definying and Debatying the Problem. Methuen. London.
Bond, P. 2010. Water, Health, and the Commodification Debate. Review of Radical Political
Economics. Sage Journal 42(4): 445-464. .
BPS. 2012. Bali Dalam Angka 2011. Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Denpasar.
Bryant, R. L. dan S. Bailey. 1997. Third World Political Ecology. Routledge. London and New
York.
Bryant, R. L. 1998. Power, Knowledge and Political Ecology in the Third World: A Review.
Progress in Physical Geography 22(1): 79-94
Cole, S. 2012. A Political Ecology Of Water Equity and Tourism. A Case Study From Bali. Annual
Of Tourism Research, 39(2): 1221-1241.
Disparbud. 2011. Museum Subak. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tabanan.
UPTD Museum Subak Sanggulan Tabanan.
Ferreyra, C., R. C. de Loe, and R. D. Kreutzwiser. 2008. Imagined Communities, Contested
Watersheds: Challenges to Integrated Water Resources Management in Agricultural
Areas. Journal of Rural Studies 24 (2008) pp. 304–321
Foucoult, M. 1980. Power/Knowledge. Selected Interviews and Other Writings 1972-1977. Edited
by Colin Gordon. Pantheon Books, New York.
Hempel, L. C. 1996. Environmental Governance. The Global Chalenge. Insland Press.
Washington DC.
Homer-Dixon, T.F. 1994. Environmental Scarcities and Violent Conflict: Evidence from Cases.
International Security 19(1): 5-40
Jamal, E. 2008. Kajian Kritis Terhadap Pelaksanaan Pembangunan Perdesaan di Indonesia.
Forum Penelitian Agro Ekonomi 26(2): 92-102
Kruha. 2011. Sejarah dan Konteks Restrukturasi Sumber daya Air di Indonesia.
www.kruha.org/page/id/dinamic_detil/13/91/Hak_Atas_Air/Sejarah_dan_Konteks__Restru
kturisasi_Sumber daya_Air_di_Indonesia. html. (20 Maret 2013).
Lincoln, Y. S. dan E. G. Guba. 2000. Paradigmatic Controversies, Contradictions, and Emerging
Confluences. Dalam N. K. Denzin dan Y. S. Lincoln (Ed). Handbook of Qualitative
Reseach. Second Edition. Sage Publication.
Lorenzen, R. P. 2011. Perseverance In The Face of Change Resilience Assessment of Balinese
Irrigated Rice Cultivation. A thesis submitted for the Degree of Doctor of Philosophy of the
Australian National University. Resource Management In Asia-Pacific Program Crawford
School of Economics and Government College of Asia and The Pacific. The Australian
National University
Miles, M. B. dan A. M. Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber tentang Metode-
Metode Baru. UI-Press. Jakata (491 hal).
Murray Li, T. 2007. Governmentality. Journal Anthropologica 49(2) CBCA Reference: 275-294.
Murray Li, T. 2012. The Will To Improve. Perencanaan, Kekuasaan, dan Pembangunan.
Diterjemahkan oleh Hery Santoso dan Pujo Semedi. Marjin Kiri Gajah Hidup. Tangerang
Selatan
Partnership, S. 2011. Belajar Tentang Air dari Swedia. http://pkps.bappenas.go.id/ attachments/
article/956/DESEMBER_Reguler_AIR_BERSIH_INDONESIA_L.pdf (11 Mei 2013).
Pasandaran, E. 2007. Pengelolaan Infrastruktur Irigasi Dalam Kerangka Ketahanan Pangan
Nasional. Analisis Kebijakan Pertanian 5(2): 126-149. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.
Pasandaran, E. 2005. Reformasi Irigasi dalam Kerangka Pengelolaan Terpadu Sumber daya Air.
Analisis Kebijakan Pertanian 3(3): 217-235. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan
Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor.

Jurnal Agro Ekonomi. Volume 31 No. 2, Oktober 2013: 143-159

158
Pasandaran, E. 2006. Alternatif Kebijakan Pengendalian Konversi Lahan Sawah Beririgasi Di
Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 25(4): 123-129.
Pasandaran, E., N. Sutrisno dan Suherman. 2010. Politik Pengelolaan DAS. Dalam Membalik
Kecenderungan Degradasi Sumber Daya Lahan dan Air. Dalam Kedi Suradisastra dkk.
(ed). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal.243-260.
Pelzer, K. J. 1985. Toean Keboen dan Petani. Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria. Penerbit
Sinar Harapan. Jakarta.
Pitana, I G. 1993. Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Sebuah Deskripsi Umum. Dalam
Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Sebuah Canangsari. I G. Pitana (ed). Upada
Sastra Denpasar.
Purwita, I B. Pt. 1993. Kajian Sejarah Subak di Bali dalam Subak Sistem Irigasi Tradisional di
Bali. Sebuah Canangsari. I G. Pitana (ed). Penerbit Upada Sastra Denpasar.
Ribot and Peluso, N. L., 2003. A theory of access. Rural Sociology (Feature). Journal Rural
Sociologal Society 68 (2): 153-181.
Saptomo, A. 2006. Pengelolaan Konflik Sumber Daya Alam Antar Pemerintah Daerah dan
Implikasi Hukumnya. Studi Kasus Konflik Sumber Daya Air Sungai Tanang, Sumatera
Barat. Jurnal Ilmu Hukum 9 (2): 130-144.
Suadnyana, I G.M. 1993. Pengembangan dan Pemeliharaan Jaringan Irigasi Subak. Dalam I G.
Pitana (ed). Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali. Sebuah Canangsari. Upada Sastra
Denpasar.
Suardana, W. 2009. Krisis Air di Bali dan Konflik yang Menyertai. Walhi Bali.
Suradisastra, K., H. Tarigan, dan E. Suryani. 2009. Indigenous Community Empowerment In
Poverty Alleviation. Indonesian Center For Agriculture Socio-Economic And Policy Studies
In Collaboration With Food And Agricultural Organization-Regional Asia And Facific Office.
Sutawan, N. 2001. Pengelolaan Sumber daya Air untuk Pertanian Berkelanjutan. Masalah dan
Saran Kebijakan. Makalah Pada Seminar “Optimalisasi Pemanfaatan Sumber daya Tanah
dan Air yang Tersedia untuk Keberlanjutan Pembangunan Khususnya Sektor Pertanian.
Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Udayana.
Sutawan, N. 2008. Organisasi dan Menejemen Subak di Bali. PT. Offset BP Denpasar.
Sutjipta, N. 1987. Hubungan Antara Kedinamisan Subak dengan Mutu Hidup Anggota. Disertasi
Doktoral. Institut Pertanian Bogor.
Suyatna, I G. 1982. Ciri-ciri Kedinamisan Kelompok Sosial Tradisional di Bali dan Peranannya
dalam Pengembangan. Disertasi Doktoral. Institut Pertanian Bogor.
Wiguna, IWAA dan S. P. K. Surata. 2008. Multifungsi Ekosistem Subak dalam Pembangunan
Pariwisata di Bali. Aksara Indonesia.
Windia, W. dan W. Alit A. Wiguna. 2012. Subak Warisan Budaya Dunia. The Cultural Landscape
of Bali Province Inscribed on The World Heritage List in 2012.

PERSAINGAN AKSES SUMBERDAYA AIR DI YEH HO TABANAN, BALI Herlina Tarigan, Arya H Dharmawan, SMP
Tjondronegoro, dan Kedi Suradisastra

159

You might also like