You are on page 1of 18

HUBUNGAN ANTARA TIPE IMPLICIT THEORY OF INTELLIGENCE DAN

TIPE GOAL-ORIENTATION PADA SISWA KELAS TUJUH


Iftita Rahmi
Lucia R. M. Royanto

Fakultas Psikologi
UNIVERSITAS INDONESIA

ABSTRAK

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara Implicit
Theory of Intelligence dan Goal-Orientation yang dimilki oleh siswa kelas tujuh Sekolah
Menengah Pertama. Pengukuran implicit theory of intelligence menggunakan alat ukur
personal conception of intelligence (Faria & Fontaine, 1997) yang telah diadaptasi oleh
peneliti. Pengukuran goal-orientation menggunakan alat ukur goal-orientation yang
dikembangkan Ames dan Archer (1988) dan telah diadaptasi oleh Murdaningtyas (2006)
serta peneliti sendiri. Partisipan penelitian ini berjumlah 75 orang siswa sekolah menengah
pertama. Hasil penelitian ini menunjukkan hubungan positif yang signifikan antara
incremental theory of intelligence dan mastery goal-orientation (r = 0,549 l.o.s 0,01), dan
juga terdapat hubungan negatif yang signifikan antara entity theory of intelligence dan
mastery goal-orientation (r = -0,264 l.o.s 0,05). Artinya, semakin tinggi incremental theory
of intelligence yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi ia menampilkan mastery goal-
orientation, dan semakin tinggi entity theory of intelligence yang dimiliki seseorang, akan
semakin rendah ia menampilkan mastery goal-orientation. Berdasarkan hasil penelitian
tersebut, untuk dapat mengembangkan mastery goal-orientation, siswa hendaknya
mengembangkan incremental theory of intelligence sejak dini terutama ketika memasuki
Sekolah Menengah.

This research was conducted to find the correlation between implicit theory of intelligence
and goal-orientation among grade seven students. Implicit theory of intelligence was
measured using a modified instrument named personal conception of intelligence (Faria &
Fontaine, 1997). Goal-orientation was measured using a modified instrument which
developed from Ames and Archer (1988) by Murdaningtyas (2006) and researcher.
Participants of this study is 75 junior high school students. This study indicates a significant
positive relationship between the incremental theory of intelligence and mastery goal-
orientation (r = 0.549 l.o.s. 0.01), and a significant negative correlation between the static
conception of intelligence and mastery goal-orientation (r = -0.264 l.o.s. 0.05). That is, the
higher the incremental theory of intelligence one’s own, the higher showing mastery goal-
orientation, and the higher the static conception of intelligence one’s own, the lower showing
mastery goal-orientation. Based on these results, in order to develop a mastery goal-
orientation, students should develop a incremental theory of intelligence from an early age,
especially when entering high school.

Keyword: Implicit theory of intelligence, static conception of intelligence, incremental theory


of intelligence, goal-orientation, mastery goal-orientation, performance goal-orientation.

1
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


LATAR BELAKANG

Sekolah merupakan tempat siswa mengembangkan kemampuan akademis. Pada setiap


tahapan pendidikan, siswa mengalami pengalaman dan tantangan yang berbeda-beda.
Perpindahan dari suatu tahapan pendidikan ke tahapan berikutnya memberikan dampak yang
berbeda-beda pada masing-masing siswa. Diantara berbagai tahapan yang dilewati siswa,
perpindahan yang paling berdampak terhadap prestasi siswa adalah perpindahan dari sekolah
dasar ke sekolah menengah. Pada masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah ini,
siswa dihadapkan pada perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan akademis dan sosial
siswa. Perpindahan dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama menimbulkan
ketegangan dan kesulitan bagi siswa. Eccles, Wigfield, Midgley, Revman, MacIver, dan
Feldlaufer (1993) menemukan beberapa perbedaan tuntutan pada siswa di sekolah dasar dan
sekolah menengah. Siswa di sekolah menengah dituntut untuk memiliki kompetensi,
perbandingan sosial, dan kemampuan self assesment dengan peningkatan pada self-focus. Hal
ini berkaitan dengan penurunan kemampuan remaja dalam hal mengambil keputusan dan
menentukan pilihan padahal keinginan mereka untuk melakukan kontrol meningkat. Cara
siswa menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada masa transisi ini berimplikasi
terhadap kegiatan akademik siswa (Blackwell, dkk., 2007).
Eccles dan Midgley (1989, dalam Dweck, 1999) menyatakan bahwa ketika memasuki
sekolah menengah situasi belajar berubah secara dramatis. Bagi kebanyakan siswa, tugas
menjadi semakin sulit, beban tugas juga semakin banyak, penurunan peringkat menjadi
sesuatu yang ditakuti, dan peringkat di kelas menjadi hal yang penting. Banyak siswa yang
ketika kelas enam memiliki prestasi belajar yang bagus, mengalami penurunan ketika
memasuki kelas tujuh dan kebanyakan dari siswa tersebut tidak mampu untuk dapat kembali
bangkit berprestasi lagi.
Fenomena yang dialami oleh siswa ketika mengalami transisi dari sekolah dasar ke
sekolah menengah juga dialami oleh siswa-siswa di Indonesia. Terlebih lagi siswa di
Indonesia juga dihadapkan pada tuntutan dari orang tua untuk mendapatkan nilai yang baik,
terus meningkat, dan mendapatkan peringkat di sekolah. Guru di sekolah pun menekankan
pelajaran pada materi tertentu yang nantinya akan keluar pada saat ujian sehingga siswa
hanya memperhatikan materi tersebut agar mendapatkan nilai yang bagus. Hal ini sejalan
dengan yang diungkapkan oleh Seken (2004) bahwa dalam sistem pendidikan Indonesia guru
menuntut peserta didik untuk bisa menjawab soal-soal ujian atau untuk lulus dan memperoleh
nilai bagus dalam evaluasi akhir. Lebih lanjut Seken (2004) juga menyatakan bahwa proses

2
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


belajar mengajar yang terlalu diorientasikan pada ujian nasional menyebabkan sistem belajar
yang exam-oriented di kalangan siswa.
Untuk menghadapi masalah yang dialami oleh siswa ketika mengalami transisi dan
tetap dapat berprestasi di bidang akademis, siswa diharapkan memiliki tipe orientasi tujuan
(goal orientation) yang memfasilitasi pencapaian dan pengembangan kompetensi akademik.
Goal orientation adalah tujuan atau alasan seseorang dalam melakukan suatu tindakan.
Dalam setting akademik, goal orientation adalah tujuan atau alasan seseorang terlibat dalam
tingkah laku mencapai prestasi (Pintrich, 2003 dalam Schunk, Pintrich & Meece, 2010). Goal
orientation merupakan hal yang sangat penting bagi siswa dalam pencapaian prestasi. Hal ini
penting untuk mengetahui alasan seorang siswa melakukan atau mempelajari sesuatu.
Goal orientation terbagi menjadi dua yaitu mastery goal orientation dan performance
goal orientation (Ames, 1992 dalam Schunk, Pintrich & Meece, 2010). Siswa yang
berorientasi pada mastery goal-orientation berfokus pada pembelajaran, menguasai suatu
tugas untuk memenuhi standar diri, dan mencoba untuk mendapatkan pemahaman. Siswa
yang berorientasi pada performance goal-orientation berfokus pada mendemonstrasikan
kemampuan dan bagaimana agar kemampuan tersebut dapat dinilai oleh orang lain (Dweck &
Leggett, 1988). O’Keefe (2009) menyebutkan bahwa dunia pendidikan seharusnya mengajak
para siswa untuk memiliki mastery goal orientation yang memfasilitasi pencapaian dan
pengembangan kompetensi akademik, namun pada kenyataannya dunia pendidikan sering
sangat evaluatif dan sering mendefinisikan kesuksesan dalam pendidikan sebagai suatu yang
normatif seperti mendapatkan nilai yang bagus dan terus meningkat. Hal ini membuat dunia
pendidikan menjadikan peserta didik untuk cenderung memiliki performance goal
orientation.
Salah satu hal yang mempengaruhi jenis goal-orientation yang dimiliki oleh seorang
siswa adalah perbedaan individu dalam mempersepsi kemampuannya (implicit theory of
intelligence). Implicit theory of intelligence mempengaruhi sistem pemberian makna terhadap
suatu peristiwa dimana atribusi terjadi dan memandu tipe tujuan (goal) seseorang serta alasan
untuk mencapai tujuan tersebut (goal orientation). Goal orientation merupakan hal yang
sangat penting bagi siswa dalam pencapaian prestasi. Hal ini penting untuk mengetahui
alasan seorang siswa melakukan atau mempelajari sesuatu.
Implicit theory of intelligence adalah keyakinan yang dimiliki oleh seseorang tentang
kemampuan yang dimilikinya (Dweck 1999). Dweck (1999) menyatakan bahwa pandangan
manusia terhadap kemampuannya terbagi menjadi dua yaitu entity theory dan incremental
theory. Entity theory of intelligence adalah pandangan yang melihat bahwa inteligensi adalah

3
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


suatu yang menetap dan tidak dapat diubah. Sebaliknya, incremental theory of intelligence
adalah pandangan yang melihat inteligensi sebagai suatu yang dapat berubah sesuai dengan
perkembangan manusia.
Implicit theory of intelligence memiliki hubungan yang signifikan dengan goal
orientation (Dweck, 1999; Dweck & Leggett, 1988; Blackwell, dkk., 2007; MacGyvers, 1993
dalam Ladd, 2009; dan Corpus & Hayenga, 2009). Dalam beberapa penelitian (Blackwell,
dkk., 2007; MacGyvers, 1993 dalam Ladd, 2009; dan Corpus & Hayenga, 2009) dinyatakan
bahwa siswa yang memiliki entity theory of intelligence cenderung memiliki performance
goal-orientation, dan sebaliknya siswa yang memiliki incremental theory of intelligence
cenderung memiliki mastery goal-orientation.
Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa implicit theory of intelligence
memiliki hubungan yang signifikan dengan goal orientation. Orang yang memiliki
incremental theory of intelligence cenderung memiliki mastery goal-orientation sedangkan
orang yang memiliki entity theory of intelligence cenderung memiliki performance goal-
orientation. Dalam sistem pendidikan Indonesia yang cenderung exam-oriented, siswa yang
pada dasarnya memiliki incremental theory of intelligence, yang seharusnya mengembangkan
mastery goal orientation, bisa saja mengembangkan performance goal orientation karena
sistem pembelajaran dan guru yang cenderung mengarahkan siswa untuk memiliki
performance goal orientation. Dengan segala permasalahan yang dialami oleh siswa ketika
memasuki sekolah menengah terutama ketika berada di kelas tujuh seperti yang telah
diuraikan diatas, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan antara tipe implicit
theory of intelligence dan tipe goal orientation pada siswa kelas tujuh.

TINJAUAN TEORITIS

Implicit theory of intelligence

Implicit theory of intelligence merupakan suatu belief (keyakinan) seseorang terhadap


inteligensi yang dimilikinya (Dweck, 1999). Dweck mendefinisikan implicit theory of
intelligence sebagai pandangan seseorang terhadap inteligensinya yang menetap dan tidak
bisa lagi diubah (entity) atau dapat dibentuk dan ditingkatkan melalui usaha (incremental)
(Dweck, 1999; Dweck & Leggett, 1988). Faria dan Fontaine (1997) menggunakan istilah
personal conception of intelligence dan mendefinisikan implicit theory of intelligence sebagai
gambaran seseorang terhadap inteligensinya.

4
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


Entity theorist melihat inteligensi atau kemampuan kognitif sebagai sesuatu yang tetap.
Artinya mereka percaya bahwa kecerdasan tidak bisa berubah dan diubah dan telah
ditentukan secara genetik sejak lahir (Dweck, 1999). Dweck, Chiu, dan Hong (1995), dan
Faria dan Fontaine (1997) menyatakan bahwa entity theory of intelligence merupakan
pandangan bahwa inteligensi merupakan suatu trait yang menetap, dan merupakan kualitas
personal yang tidak dapat diubah. Entity theorist percaya bahwa meskipun siswa dapat
mempelajari hal baru, inteligensi mereka tetap sama.
Siswa yang memiliki pandangan entity theory of intelligence memiliki keyakinan
bahwa setiap orang lahir dengan level inteligensi yang tetap dan hanya dapat sedikit berubah
selama perjalanan hidup (Dweck, Chiu, & Hong, 1995). Selain itu, meraka juga menganggap
usaha yang keras untuk melakukan atau menguasai suatu skill akan menunjukkan bahwa
mereka memiliki kemampuan yang rendah (Chiu, Hong, & Dweck, 1997). Mereka percaya
bahwa jika memiliki kemampuan yang tinggi, segala sesuatu akan dengan mudah dilakukan
dan skill apapun akan mudah dikuasai. Siswa juga cenderung menghindari rintangan dan
lebih suka mengerjakan tugas yang mudah. Siswa melihat kegagalan sebagai bentuk
kebodohan dan ketidakkompetenan mereka (Dweck, Chiu, & Hong, 1995; Dweck & Leggett,
1988; dan Levy & Dweck, 1999). Chiu, Hong, dan Dweck, (1997) menyatakan bahwa siswa
yang menganut entity theory of intelligence cenderung berfokus pada penilaian tingkat
inteligensi mereka. Mereka bersedia melewatkan kesempatan untuk mempelajari hal baru jika
hal tersebut dapat mengungkapkan ketidakmampuan dan kesalahan mereka. Mereka berusaha
melakukan sesuatu sesuai dengan standar dan ekspektasi orang lain terhadap diri mereka.
Incremental theorist melihat inteligensi sebagai sesuatu yang lentur, dapat dibentuk
dan berubah berdasarkan pada pengetahuan dan pengalaman (Dweck, 1999). Incremental
theory of intelligence merupakan pandangan bahwa inteligensi sebagai trait yang lentur dan
dapat diubah dan dikembangkan. Incremental theorist percaya bahwa inteligensi dapat dilatih
dimana seseorang dapat menjadi lebih inteligen melalui usaha (Dweck, Chui, & Hong, 1995;
Faria & Fontaine, 1997)
Siswa yang memiliki pandangan incremental theory of intelligence memiliki keyakinan
seseorang lahir dengan inteligensi yang fleksibel dan dapat berubah sesuai dengan
pengetahuan dan pemahaman yang didapat selama hidup (Dweck, Chiu, & Hong, 1995).
Mereka memahami bahwa inteligensi mereka saat ini tidak mengindikasikan inteligensi
mereka di masa depan. Bagi siswa yang memiliki pandangan incremental theory of
intelligence setiap orang dapat berubah ke keadaan apapun yang mereka inginkan asalkan
mereka berusaha untuk itu (Chiu, Hong, & Dweck, 1997). Siswa menyukai tantangan dan

5
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


dengan sukarela mengambil risiko agar dapat meningkatkan kemampuannya (Dweck, Chiu,
& Hong, 1995; Dweck & Leggett, 1988; dan Levy & Dweck, 1999). Mereka rela terlihat
bodoh jika kesempatan untuk belajar cukup menantang. Siswa melihat hambatan sebagai
tantangan, dan melihat kesalahan dan kesulitan dalam melakukan suatu tugas sebagai tanda
bahwa dia harus berusaha lebih keras atau menggunakan strategi lain. Siswa tidak mudah
menyerah jika dihadapkan pada hambatan atau kesulitan dan dapat bertahan. Chiu, Hong, dan
Dweck, (1997) menyatakan bahwa siswa yang memiliki incremental theory of intelligence
beranggapan bahwa tidak ada gunanya memvalidasi pandangan orang lain terhadap dirinya
atau mengikuti status yang diberikan oleh orang lain terhadap dirinya.

Goal-orientation

Goal merupakan sesuatu faktor yang penting dalam melakukan suatu aktivitas karena
dengan adanya goal suatu aktivitas dapat diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Locke
dan Latham (1990, dalam Wollfok 2004, p. 359) menyatakan bahwa goal adalah what an
individual striving to accomplish. Goal adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh seorang secara
sadar dalam melakukan sesuatu. Goal sering dikaitkan dengan teori goal-setting dan goal-
orientation. Dalam beberapa literatur sering ditemukan kebingungan antara pengertian goal-
setting dan goal-orientation. Goal-setting berfokus pada tujuan tertentu dalam situasi
tertentu, sedangkan goal-orientation berfokus pada alasan seseorang dalam melakukan
sesuatu (Radosevich, Allyn, & Yun, 2007).
Teori goal-orientation dikembangkan secara spesifik untuk menjelaskan achievement
behavior. Teori ini dikembangkan oleh psikolog perkembangan, dan pendidikan untuk
menjelaskan pembelajaran dan performa anak dalam tugas akademik dan seting sekolah.
Teori ini sangat erat kaitannya dengan pembelajaran dan instruksi (Schunk, Pintrich, &
Meece, 2010). Ames (1992, p. 261) mendefinisikan Goal-orietation sebagai an integrated
pattern of beliefs that leads to different ways of approaching, engaging in, and responding to
achievement situations. Menurut Dweck dan Leggett (1988) goal-orientation adalah tujuan
yang secara implisit ingin dicapai oleh seseorang dalam melakukan sesuatu.
Dari pengertian diatas, dapat diketahui bahwa goal-orientation adalah pola keyakinan
mengenai tujuan yang secara implisit mengarahkan siswa untuk memiliki cara yang berbeda
dalam pendekatan, penggunaan dan merespon terhadap situasi prestasi (achievement
situation). Goal-orientation merefleksikan standar yang ditetapkan oleh siswa mengenai
kesuksesannya dalam menjalankan suatu tugas.

6
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


Mastery Goal-orientation adalah tipe orientasi tujuan yang berfokus pada
pembelajaran, menguasai suatu tugas untuk memenuhi standar diri, mengembangkan skill
baru, meningkatkan atau mengembangkan kompetensi, mencoba melakukan sesuatu yang
menantang, dan mencoba untuk mendapatkan pemahaman (Dweck & Leggett, 1988; Maehr
& Midgley, 1991; Midgley, dkk., 1998; Nicholls, 1984; Pintrich, 2000d dalam Schunk, dkk.,
2010; Ames, 1992).
Menurut Ames dan Archer (1988) siswa yang memiliki mastery goal-orientation
menganggap penting untuk mengembangkan keterampilan baru, sangat menghargai proses
pembelajaran, dan penguasaan terhadap suatu materi dipandang sebagai hasil dari suatu
usaha. Siswa akan dengan sukarela melakukan tugas yang penuh tantangan, memiliki
perasaan yang positif terhadap situasi, dan menampilkan pola atribusi yang adaptif (Ames, et
al., 1977; Dweck, 1986, 1988; Elliott & Dweck, 1988; Nicholls, Patashnick, & Nolen,
1985 dalam Ames & Archer, 1988).
Performance Goal-orientation adalah tipe orientasi tujuan yang berfokus pada
memperlihatkan kemampuan dan bagaimana agar kemampuan tersebut dapat dinilai oleh
orang lain, seperti mencoba untuk melewati standar penampilan normatif, mencoba untuk
jadi yang terbaik, menggunakan pembanding sosial yang standar, berjuang untuk menjadi
yang terbaik dalam kelas atau sebuah kelompok atau kelas, menghindari penilaian
kemampuan rendah dan tampil bodoh, dan mencari pengakuan dari publik atas performanya
yang bagus (Dweck & Leggett, 1988; Harter, 1981b; Maehr & Midgley, 1991; Midgley et al,
1998; Nicholls, 1984; Pintrich, 2000d dalam Schunk, dkk., 2010; Ames, 1992).
Ames dan Archer (1988) menyatakan siswa yang memiliki performance goal-
orientation memiliki kekhawatiran akan dinilai oleh orang lain, dan berusaha membuktikan
kesuksessannya dengan mengalahkan orang lain atau menjadi sukses dengan usaha yang
sedikit. Selain itu, siswa yang memiliki performance goal-orientation akan fokus pada hasil
tindakannya, dan memperhatikan bagaimana dia dapat memperlihatkan kemampuannya pada
orang lain (Ames, 1992).
Schunk, dkk. (2010) mengemukakan dua faktor yang mempengaruhi goal-orientation
seorang siswa yaitu personal dan contextual factor. Personal factor yang dapat
mempengaruhi goal-orientation diantaranya adalah implicit theory of intelligence (Schunk,
dkk., 2010), motivasi intrinsik, dan minat akademis. Ketiga hal tersebut dapat mempengaruhi
motivasi siswa dalam berprestasi dan mendorong terbentuknya orientasi motivasi yang
berbeda-beda (Meece, Blumenfeld, & Hoyle, 1988). Sedangkan contextual factor yang dapat
mempengaruhi goal-orientation siswa di kelas menurut Epstein (1989, dalam Schunk, dkk.,

7
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


2010) mengindentifikasi yaitu: task design, distribution of authority, recognition of student,
grouping arrangement, evaluation practice, dan time allocation yang biasa disingkat dengan
TARGET (task, authority, recognition, grouping, evaluation, time).
Dimensi task (tugas) menekankan pada desain dari aktivitas belajar dan tugas. Kedua
hal ini penting dalam mempengaruhi motivasi dan kognisi siswa (Blumenfeld, Mergendoller
& Swarthout, 1987 dalam Schunk 2010). Dimensi authority meliputi adanya kesempatan bagi
siswa untuk memiliki peran sebagai pemimpin dan mengembangkan kemandirian dalam
mengontrol aktivitas belajar (Ames, 1992). Recogniton berhubungan dengan penggunaan
reward, insentif, dan pujian secara formal dan informal. Grouping fokus pada kemampuan
pelajar untuk dapat bekerja sama dengan orang lain. Evaluation meliputi metode yang
digunakan dalam mengawasi dan menilai proses belajar yang dilakukan siswa. Dan yang
terakhir yaitu time menekankan pada kesesuaian antara beban kerja, langkah pengerjaan
tugas, dan waktu yang di alokasikan untuk mengerjakan tugas (Epstein,1989 dalam Schunk,
dkk., 2010).

Siswa kelas tujuh


Siswa kelas 7 berada pada tahap perkembangan remaja awal. Papalia, Old, dan
Feldman (2009) mernyatakan masa remaja berada pada rentang usia 11-20 tahun. Masa
remaja merupakan masa transisi perkembangan antara anak-anak dan dewasa yang meliputi
perubahan dalam hal fisik, kognitif, emosi, dan sosial, dan memiliki perkembangan yang
berfariasi pada seting sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda (Papalia, dkk., 2009). Masa
remaja menawarkan kesempatan untuk tumbuh, tidak hanya dalam hal fisik, tetapi juga dalam
hal kompetensi kognitif dan sosial, autonomy, self-esteem, dan intimacy.
Papalia, dkk. (2009) menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi
perkembangan pada masa remaja adalah sekolah. Kualitas sekolah sangat mempengaruhi
prestasi siswa. Sebuah sekolah menengah dan lanjutan yang baik memiliki keadaan
lingkungan yang aman, sumber materi yang cukup, staf pengajar yang stabil, dan komunitas
yang positif. Sekolah dapat memiliki dampak yang positif dan negatif terhadap
perkembangan siswa. Pada masa remaja, siswa mengalami perubahan sekolah (school
transition) dari kelas enam di sekolah dasar menjadi kelas tujuh di sekolah menengah. Eccles
(2004) menyatakan bahwa penurunan dalam hal motivasi dan prestasi akademis biasanya
dimulai pada masa transisi dari kedekatan dan keakraban pada sekolah dasar ke lingkungan
yang lebih luas, menekan, dan kurang mendukung yaitu sekolah menengah dan lanjutan.

8
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


Penelitian pada tahun 1980an menyatakan bahwa pertukaran sekolah antara kelas 6 dan
7 sering berhubungan dengan beberapa masalah dalam pandangan anak terhadap dirinya dan
perasaan terhadap sekolah (Sprinthall & Collins, 1995). Siwa mengalami penurunan self-
esteem, persepsi terhadap kemampuan akademik dan atletik, performa akademis, dan
kepuasan terhadap sekolah dan disertai dengan peningkatan dalam hal depresi (Wigfield,
Eccles, MacIver, Reuman, & Midgley, 1991). Menurut Sprinthall dan Collins (1995) alasan
adanya pengaruh negatif terhadap school transition adalah pada masa remaja awal, siswa
tidak hanya harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah seperti perubahan cara
belajar, tetapi juga dengan perubahan sosial yang terjadi pada masa itu.

METODE PENELITIAN

Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian ex post facto field studies, yaitu penelitian
yang berada dalam setting natural (alami) dan tidak dilakukan manipulasi independent
variabel. Berdasarkan tujuannya, penelitian ini tergolong penelitian korelasional, yaitu
penelitian yang dilakukan oleh peneliti dengan tujuan untuk mengetahui adanya hubungan
antara dua atau lebih aspek dari situasi. Berdasarkan tipe informasi yang diperoleh, penelitian
ini tergolong kuantitatif karena data yang diperoleh berupa angka yang akan dioleh dengan
perhitungan statistik yang selanjutnya dapat diinterpretasikan sehingga dapat diketahui
hubungan antara kedua variabel. Penelitian ini tergolong penelitian noneksperimental dimana
peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap variabel bebas karena manipulasi telah terjadi.

Partisipan penelitian
Partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 75 orang siswa kelas tujuh
Sekolah Menengah Negeri 3 Depok dengan rentang usia 11 sampai 13 tahun (M=12,04) yang
terdiri dari 61,3% perempuan dan 38,7% laki-laki. Siswa kelas tujuh dipilih karena
merupakan tahapan kelas yang dijalani oleh siswa setelah mengalami transisi dari sekolah
dasar ke sekolah menengah. Sedangkan penulis memilih SMP N 3 Depok karena peneliti
mendapatkan kemudahan akses ke sekolah tersebut.

Teknik pengambilan sampel


Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah
nonprobability sampling dimana tidak semua elemen dalam populasi memiliki kesempatan
yang sama untuk dapat digunakan sebagai sampel dalam penelitian (Kumar, 1996). Adapun
jenis nonprobability sampling yang digunakan adalah convenience sampling dimana peneliti

9
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


menggunakan partisipan yang mudah didapat. Partisipan dipilih berdasarkan pada
ketersediaan dan kemauan untuk merespon penelitian (Grevetter & Forzano, 2009).

Instrumen penelitian
Implicit theory of Intelligence. Untuk pengukuran Implicit theory of Intelligence,
peneliti mengadaptasi Personal Conception of intelligence Scale (PCIS) yang dikembangkan
oleh Faria & Fontaine (1997). Faria dan Fontaine (1997) menggunakan istilah personal
conception of intelligence menamakan tipe personal conception of intelligence menjadi static
conception of intelligence (entity) dan dynamic conception of intelligence (incremental).
Faria dan Fountaine (1997) mengembangkan alat ukur ini dari teori yang
dikembangkan Dweck (1988, 1999). Faria dan Fountaine (1997) menambahkan 3 kriteria
baru pada pengukuran implicit theory of intelligence yaitu effort, success dan failure, dan
strategies to avoiding the label “incompetent” or for demonstrating competence, disamping
kriteria yang sebelumnya telah digunakan oleh Dweck yaitu intelligence and capacity. Dalam
penelitian ini, peneliti hanya akan menggunakan tiga dari empat kriteria yang ada yaitu
intelligence dan capacity, effort, dan success and failure. Peneliti tidak menggunakan kriteria
strategies to avoiding the label “incompetent” or for demonstrating competence karena
menurut peneliti, kriteria tersebut bukan merupakan pandangan seseorang terhadap
inteligensinya sendiri, tetapi merupakan pandangan orang lain terhadap inteligensi seseorang.
Persebaran item pada alat ukur personal conception of intelligence tertera pada Tabel 1.

Tabel 1. Persebaran item pada alat ukur personal conception of intelligence


No. Item
Karakteristik Contoh Item
Entity Incremental
Kecerdasan saya dari dahulu sampai
Intelligence and sekarang tidak berubah. (Static)
1, 2, 3 4, 6
capacity Kalau saya mau, saya bisa menjadi lebih
cerdas. (Dynamic)
Usaha sekeras apapun tidak akan mengubah
kecerdasan saya. (Static)
Effort 5, 12, 11 7, 10
Dengan usaha yang kuat, saya yakin
kecerdasan saya akan berubah.(Dynamic)
Success and Kegagalan menunjukkan bahwa saya harus
8, 9
failure berusaha lebih giat lagi. (Dynamic)

Jumlah item 6 6

Peneliti mengadaptasi alat ukur personal conception of intelligence ini dan melakukan
uji keterbacaan dan merevisi alat ukur ini agar sesuai dengan keadaan siswa di Indonesia.

10
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


Setelah dilakukan uji coba terhadap alat ukur implicit theory of intelligence ini, didapat nilai
reliabilitas 0,620 untuk entity theory of intelligence dan 0,604 untuk incremental theory of
intelligence. Alat ukur ini menggunakan skala likert yang terdiri dari 6 skala dari 1 (sangat
tidak setuju) sampai 6 (sangat setuju).
Goal-orientation. Untuk pengukuran goal-orientation, peneliti menggunakan alat ukur
yang dikembangkan dari teori goal-orientation Ames dan Archer (1988). Alat ukur ini telah
diadaptasi kedalam Bahasa Indonesia oleh Murdaningtyas pada tahun 2006. Alat ukur ini
terdiri dari 34 item dengan variasi respon dari 1 (sangat tidak setuju) sampai 6 (sangat setuju).
Peneliti melakukan adaptasi kembali terhadap alat ukur ini untuk mendapatkan jumlah item
yang sama antara mastery goal-orientation dan performance goal-orientation sehingga pada
saat uji keterbacaan, alat tes ini terdiri dari 42 item yang terdiri dari 21 item mastery goal-
orientation da 21 item performance goal orientation. Metode skoring yang digunakan oleh
untuk alat ukur goal-orientation ini menggunakan 6 skala dari 1 (sangat tidak sesuai), sampai
6 (sangat sesuai). Item-item dalam alat ukur ini terdiri dari item yang mewakili mastery goal-
orientation dan performance goal-orientation dari 8 dimensi goal-orientation yang
dikemukakan oleh Ames dan Archer (1988) dengan persebaran item seperti yang tertera pada
Tabel 2.

Tabel 2. Persebaran item pada alat ukur goal-orientation


No. Item
Dimensi Mastery Performance Contoh item
Pandangan terhadap Memperbaiki kesalahan
kesuksesan (Success sebelumnya adalah keberhasilan
defines as...) 1, 2, 3 7, 9, 11 bagi saya
Menjadi orang yang paling pandai
Pemahaman terhadap di kelas merupakan tujuan utama
nilai (Value placed on...) 8, 12, 13 4, 5, 6 saya
Alasan merasa puas Saya merasa cemas apabila tidak
(Reason for memahami materi pelajaran dengan
satisfaction...) 18, 19 14, 15 baik
Pandangan guru terhadap Menurut saya, guru merasa bangga
orientasi siswa (Teacher kapada siswa yang berhasil
oriented toward...) 16, 22, 17, 20, mendapatkan nilai tinggi
Pandangan terhadap
kesalahan (View of error Saya akan cemas apabila salah
/ mistake...) 23, 24, 28 21, 25, 26 dalam mengerjakan tugas
Bagi saya, memahani materi
Fokus perhatian (Focus pelajaran lebih penting daripada
of attention...) 29, 30 27, 33 mendapatkan nilai yang tinggi

11
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


Saya senang tugas kelompok
Alasan melakukan usaha 31, 32, 38, 34, 35, 36, karena membuat saya lebih mudah
(Reason for effort...) 39 37 bergaul
Kriteria evaluasi Peringkat di kelas menunjukkan
(Evaluation criteria...) 40, 41 10, 42 keberhasilan dalam belajar
Jumlah 21 21
Uji reliabilitas alat ukur goal-orientation menggunakan single test administration yaitu
menggunakan coefficien alpha. Dari hasil uji coba didapat bahwa reliabilitas alat ukur
implicit theory of intelligence adalah 0,802 untuk mastery goal-orientation dan 0,744 untuk
performance goal-orientation.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Metode atau teknik statistik yang digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Statistik Deskriptif: digunakan untuk mengetahui tendensi sentral (mean, median, dan
modus), frekuensi, variabilitas, standar deviasi (SD), jangkauan, nilai minimum dan
maksimum dari masing-masing variabel. Teknik ini digunakan untuk mengetahui
gambaran umum implicit theory of intelligence, goal-orientation, jenis kelamin, dan usia.
Skor yang didapat dari gambaran implicit theory of intelligence dan goal-orientation
akan dibuat norma berdasarkan z-score atau standar deviasi dan nilai mean yang
diketahui. Pembagiannya dibuat menjadi tiga kategori yaitu “rendah” untuk nilai yang
berada di bawah -1 SD dari mean, “sedang” untuk nilai yang berada di antara -1 SD dan
+1 SD dari mean, dan “tinggi” untuk nilai yang berada di atas +1 SD dari mean.
b. Pearson Correlation: digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara dua
variabel. Teknik ini digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara variabel
implicit theory of intelligence terhadap variabel goal-orientation.

HASIL PENELITIAN

Deskripsi Statistik

Sebelum memaparkan hubungan antara tipe implict theory of intelligence dan tipa goal-
orientation pada siswa kelas tujuh, peneliti terlebih dahulu ingin memaparkan gambaran
statistik skor partisipan penelitian pada setiap variabel. Adapun gambaran tersebut dapat
dilihat pada Tabel 3.

12
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


Tabel 3. Deskripsi Statistik masing-masing variabel
Minimum Skor Maksimum Skor Mean (M) Standar Deviasi (SD)

Entity theory 6 23 12,35 3,592


Incremental theory 25 36 31,59 2,510
Mastery 87 124 107,73 8,554
Performance 62 115 97,76 10,834

Analisis Korelasi
Dari hasil penghitungan korelasi antara incremental theory of intelligence, entity theory
of intelligence, mastery goal-orientation dan performance goal-orientation menunjukkan
bahwa yang memiliki hubungan yang signifikan adalah antara entity theory of intelligence
dan mastery goal-orientation, antara incremental theory of intelligence dan mastery goal-
orientation, dan antara performance goal-orientation dan mastery goal-orientation.

Tabel 4. Hubungan antara tipe Implicit Theory of Intelligence dan tipe Goal-Orientation

Performance goal-orientation Mastery goal-orientation

Entity theory of intelligence -0,074 -0,264*

Incremental theory of intelligence 0,147 0,549**


*. Korelasi signifikan pada l.o.s. 0,05 (2-tailed).
**. Korelasi signifikan pada l.o.s. 0,01 (2-tailed).
Koefisien korelasi antara entity theory on intelligence dan mastery goal-orientation
adalah -0,264 pada l.o.s 0,05. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang negatif dan
signifikan antara entity theory of intelligence dan mastery goal-orientation dimana seseorang
yang memiliki skor entity theory of intelligence yang tinggi akan memiliki skor mastery goal-
orientation yang rendah.
Koefisien korelasi antara incremental theory on intelligence dan mastery goal-
orientation adalah 0,549 padal l.o.s 0,01. Hal ini menunjukkan terdapat hubungan yang
positif dan signifikan antara incremental theory of intelligence dan mastery goal-orientation
dimana seseorang yang memiliki skor incremental theory of intelligence yang tinggi akan
memiliki skor mastery goal-orientation yang tinggi pula.

PEMBAHASAN

Pada hasil utama penelitian ini ditemukan bahwa tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara entity theory of intelligence dan performance goal-orientation pada siswa
kelas tujuh. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dupeyrat dan Marine

13
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


(2004) yang juga menemukan hal serupa. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh O’keefe (2009) tentang theory of intelligence fit yang
menemukan adanya hubungan yang signifikan positif antara entity theory of intelligence dan
performance goal-orientation, dan juga tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Delavar, Ahadi, dan Barzegar (2011) yang menemukan adanya hubungan yang negatif antara
entity theory of intelligence dan performance goal-orientation.
Hasil penelitian berikutnya menemukan adanya hubungan yang signifikan negatif
antara entity theory of intelligence dan mastery goal-orientation pada siswa kelas tujuh. Hasil
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Delavar, dkk. (2011) terdapat hubungan
yang signifikan negatif antara entity theory of intelligence dan mastery goal-orientation.
Hasil penelitian ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dupeyrat dan Marine
(2004) yang menemukan adanya hubungan yang sgnifikan negatif antara entity theory of
intelligence dan mastery goal-orientation.
Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
incremental theory of intelligence dan performance goal-orientation pada siswa kelas tujuh.
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dupeyrat dan Marine (2004) yang juga
menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara Incremental theory of intelligence
dan performance goal-orientation.
Hasil selanjutnya dari penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan
positif antara incremental theory of intelligence dan mastery goal-orientation pada siswa
kelas tujuh. Hasil ini sesuai dengan beberapa penelitian sebelumnya (Blackwell, dkk., 2007;
Delavar, dkk., 2011; Dupeyrat dan Marine, 2004; dan O’keefe, 2009) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang signifikan positif antara incremental theory of intelligence
dan mastery goal-orientation. Namun hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang
dilakuka oleh Ladd (2009) yang menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara
incremental theory of intelligence dan mastery goal-orientation.
Melihat pada hubungan antara implicit theory of intelligence dan goal-orientation,
hanya dua dari empat hasil penelitian ini yang mendukung model yang dikembangkan oleh
Dweck yaitu adanya hubungan yang antara kedua tipe implicit theory of intelligence dan
mastery goal-orientation. Sedangkan hubungan antara kedua tipe impliciy theory of
intelligence dan performance goal-orientation tidak ditemukan dalam penelitian ini. Hal ini,
bisa disebabkan karena dalam penelitian yang dilakukan oleh Dweck, dkk. biasanya hanya
menggunakan item yang mengukur entity theory of intelligence saja untuk mengukur implicit
theory of intelligence secara keseluruhan. Dweck, dkk. beranggapan bahwa implicit theory of

14
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


intelligence merupakan suatu yang kontinum dimana jika seseorang memiliki nilai yang
rendah pada entity theory intelligence akan memiliki nilai yang tinggi pada incremental
theory of intelligence.
Berbeda dengan penelitian Dweck, dkk., penelitian ini tidak menggunakan pengukuran
implicit theory of intelligence yang kontinum seperti yang dilakukan oleh Dweck, dkk. Hal
ini didukung oleh penelitian yang menggunakan pengukuran yang terpisah antara tipe-tipe
implicit theory on intelligence (Faria & Fontaine, 1997; dan Stipek & Gralinski, 1996).
Dalam penelitian tersebut peneliti tidak berhasil menemukan adanya hubungan yang
kontinum antara kedua tipe implicit theory of intelligence. Ditemukan koefisien korelasi yang
tidak cukup kuat untuk mendukung bahwa entity dan incremental theory of intelligence
merupakan dua teori yang berlawanan dan merupakan konstruk yang unidimensional.
Penjelasan terhadap hal ini adalah bahwa individu memiliki konsep terhadap inteligen yang
kompleks dan percaya bahwa inteligensi merupakan sesuatu yang multidimensional dimana
seseorang bisa saja yakin bahwa beberapa dimensi dari inteligensinya merupakan sesuatu
yang fixed dan dimensi yang lainnya merupakan hal yang dapat berubah / malleable.

KESIMPULAN

Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, hasil utama penelitian dapat
disimpulkan bahwa:
1. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara entity theory of intelligence dan
performance goal-orientation pada siswa kelas tujuh.
2. Terdapat hubungan yang signifikan negatif hubungan antara entity theory of
intelligence dan mastery goal-orientation pada siswa kelas tujuh. Artinya, semakin
tinggi entity theory of intelligence seseorang, maka akan menampilkan perikalu mastery
goal-orientation yang rendah.
3. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara incremental theory of intelligence dan
performance goal-orientation pada siswa kelas tujuh.
4. Terdapat hubungan yang signifikan positif antara incremental theory of intelligence dan
mastery goal-orientation pada siswa kelas tujuh. Artinya, semakin tinggi incremental
theory of intelligence seseorang, maka akan menampilkan perilaku mastery goal-
orientation yang tinggi pula.

15
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


SARAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal
sebagai berikut:
1. Hasil utama penelitian yang menunjukkan hubungan yang signifikan positif antara
incremental theory of intelligence dan mastery goal-orientation dan hubungan yang
signifikan negatif antara entity theory of intelligence dan mastery goal-orientation,
dimana mastery goal-orientation merupakan jenis goal-orientation yang dapat
menunjang keberhasilan akademik siswa. Incremental theory of intelligence dapat
ditumbuhkan dengan memberikan pemahaman pada siswa sedini mungkin untuk bahwa
inteligensi merupakan suatu hal yang dapat berubah dan dapat dikontrol.
2. Meskipun dalam penelitian ini menunjukkan hubungan yang positif dan signifikan antara
incremental theory of intelligence dan mastery goal-orientation, masih terdapat terdapat
faktor-faktor lain yang juga berhubungan dan dapat mempengaruhi goal-orientation.
Oleh karena itu, dalam pembelajaran guru dapat mempertimbangkan faktor-faktor lain
yang dapat mempengaruhi goal-orientation seperti task design, distribution of authority,
recognition of student, grouping arrangement, evaluation practice, dan time allocation
yang biasa disingkat dengan TARGET (task, authority, recognition, grouping,
evaluation, time), agar siswa dapat mengembangkan mastery goal-orientation.

DAFTAR PUSTAKA

Ames, C. (1992). Classroom: goal, structure, and student motivation. Journal of Education
Psychology , Vol. 84, No. 3, 261-171.
Ames, C., & Archer, J. (1988). Achievement goal in the classroom: students' learning
stratgies and motivation processes. Journal of Educational Psychology , Vol. 80, No. 3,
260-267.
Blackwell, L. S., Trzesniewski, K. H., & Dweck, C. S. (2007). Implicit theories of
intelligence predict achievement across an adolescent transition: a longitudinal study
and an intervention. Child Development , 78, 246 – 263.
Chiu, C.-Y., Hong, Y.-Y., & Dweck, C. S. (1997). Lay dispositionism and implicit theories of
personality. Journal of Personality and Social Psychology , Vol. 73, No. 1, 19-30.
Corpus, J. H., & Hayenga, A. O. (2009). Dangerous mindset: beliefs about intelligence
predict motivational change. Society for Child Development , Denver: Reed College.
Delavar, A., Ahadi, H., & Barzegar, M. (2011). Relationship between implicit theory of
intelligence, 2*2 achievement, goals framework, self-regulating learning with academic
achievement, A casual model. 2nd International Conference on Education and
Management Technology. IPED vol.13

16
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


Dupeyrat, C. & Marine, C. (2004). Implicit theories of intelligence, goal orientation,
cognitive engagement, and achievement: A test of Dweck’s model with returning to
school adults. Contemporary Educational Psychology. Vol. 30, Hal. 43–59
Dweck, C. S. (1999). Self Theories: Their Role in Motivation, Personality, and Development.
Philadelphia: Psychology Press.
Dweck, C. S., & Leggett, E. L. (1988). A Social-Cognitive Approach to Motivation and
Personality. Psychology Review , 95(2), 256-273.
Dweck, C. S., Chiu, C., & Hong, Y. (1995). Implicit theory and their role in judgement and
reaction: a world from two perspective. Psychology Inquiry , Vol. 6, No. 4, 267-285.
Eccles, J. S., Wigfield, A., Midgley, C., Revman, D., MacIver, D., & Feldlaufer, H. (1993).
Negative effect of traditional middle schools on student's motivation. Elementary
School Journal , 93, 553-574.
Faria, L., & Fontaine, A.-M. (1997). Adolescent's personal conception of intelligence: the
development of a new scale and some exploratory evidence. European Journal of
Psychology of Education , Vol. XII, No. 1, 51-62.
Gravetter, F. J., & Forzano, L.-A. B. (2009). Research methods for the behavioral sciences.
Belmont: Wadsworth Cengage Learning.
Kumar , R. (2006). Research methodology a second edition. London: Sage Publication Ltd.

Ladd, J. A. (2009). The Influence of actively apen-minded thinking, tncremental theory of


intelligence, and persuasive messages on mastery goal orientations. Disertasi:
University of Florida.
Levy, S. R., & Dweck, C. S. (1999). The impact of children's static versus dynamic
conception of people on stereotype formation. Child Development , Vol. 70, No. 5,
1163-1180.
Murdaningtyas, P. (2006). Hubungan antara quality of school life dan goal orientation pada
siswa sekolah menengah atas. Skripsi: Universitas Indonesia.
O'Keefe, P. A. (2009). The situasional adaptiveness of implicit theoris of intelligence and
achievement goal orientation. . Thesis: Departement of Psychology and Neuroscience
Duke University.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development Eleventh Edition.
New York: McGraw-Hill.
Radosevich, D. J., Allyn, M. R., & Yun, S. (2007). Goal orientation and goal setting:
predicting performance by integrating four factor goal-orientation theory with goal
settting processes. Seoul Journal of Bussiness, Vol. 13, No. 1
Schunk, D. H., Pintrich, P. R., & Meece, J. L. (2010). Motivation in education theory,
research, and application third edition. Upper Saddle River: Pearson Education.
Seken, I. K. (2004). Aspek pembudayaan dalam pendidikan: sebuah kajian menuju
profesionalisme tenaga kependidikan. Jurnal Pendidikan dan Pengajaran IKIP Negeri
Singaraja , Edisi Khusus TH. XXXVII.

17
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013


Sprinthall, N. A., & Collins, W. A. (1995). Adolescent psychology a developmental view
third edition. New York: McGraw-Hill, Inc.
Stipek, D., & Gralinski, J. H. (1996). Children’s beliefs about intelligence and school
performance. Journalof Educational Psychology, Vol. 88, Hal. 397–407.
Wigfield, A., Eccles, J. S., MacIver, D., Reuman, D. A., & Midgley, C. (1991). Transition at
early adolescence: Change in children's domain-specific self-perception and general
self-esteem across the transition to junior high school. Developmental Psychology , 27,
522-565.
Woolfolk, A. E. (2004). Educational psychology. Boston, MA: Allyn & Bacon.

18
Universitas Indonesia

Hubungan antara..., Iftita Rahmi, Psikologi UI, 2013

You might also like