You are on page 1of 15

Pola Regulasi Emosi Orang Tua Dengan Anak Temper Tantrum

Mas Ian Rif’ati


Program Studi Magister Sains Psikologi
Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga
Kampus B Unair – Jl. Airlangga 4-6 Surabaya, 60286, Jawa Timur, Indonesia
Phone: 031 5032770/031-5014460 Email: info@psikologi.unair.ac.id
mas.ian.rifati-2018@psikologi.unair.ac.id
No. HP: 089639426199

Suryanto
Program Studi Magister Sains Psikologi
Fakultas Psikologi, Universitas Airlangga
Kampus B Unair – Jl. Airlangga 4-6 Surabaya, 60286, Jawa Timur, Indonesia
Phone: 031 5032770/031-5014460 Email: info@psikologi.unair.ac.id
suryanto@psikologi.unair.ac.id
No. HP: 087702697767

Abstract — Emotional regulation is an individual who can express his emotions. This study
aims to provide overview emotional regulation of parents with temper tantrum children and
find out factors of emotional regulation formation in parents with temper tantrum children.
This study uses a qualitative approach with phenomenological design. Data collection
techniques use interviews and analytical techniques using interpretative phenomenology.
Participants in this study were mothers under 35 years old with temper tantrum children in
Surabaya. The results showed that subjects experienced emotional regulation in a variety of
ways, namely 1) Feelings of irritation due to children's behavior, 2) Mother felt ashamed of the
teacher at school, 3) Mother felt sorry for the condition of the child who cannot control
emotions, 4) Mother feels sad when her two children fight and make harsh words, 5) The subject
goes out of the house to calm down. 6) The subject tells the problem to the husband. While the
emotion regulation factors on parents with temper tantrum children, namely 1) Mother wants
to have a gentle and loving personality, 2) Mother is obliged to advise the troubled child, 3)
When the mother is happy then it can facilitate communication between mother and child. From
the results of the above research it can be concluded that parents with temper tantrum are not
able to manage emotions well, such as the emergence of negative emotions caused by the
inability of parents to think clearly. Suggestions for parents should manage emotions more
patiently, consult with psychologists or religious leaders to be able to manage emotions by
controlling negative emotions, and communicating positively verbally and non-verbally.
Keywords: Emotion Regulation; The Parents; Temper Tantrum Children.

Abstrak— Regulasi emosi merupakan individu yang dapat mengekspresikan emosinya.


Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran regulasi emosi orang tua dengan anak
temper tantrum dan mengetahui faktor-faktor pembentukan regulasi emosi pada orang tua
dengan anak temper tantrum. Penelitian ini menggunakan pendektan kualitatif dengan desain
fenomenologi. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara dan teknik analisis
menggunakan fenomenologi interpretatif. Partisipan dalam peneltian ini adalah ibu berusia
dibawah 35 tahun dengan anak temper tantrum di Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa subjek mengalami regulasi emosi dengan cara beragam, yaitu 1) Perasaan jengkel akibat
perilaku anak, 2) Ibu merasa malu dengan guru di sekolah, 3) Ibu merasa iba dengan kondisi
anak yang tidak dapat mengontrol emosi, 4) Ibu merasa sedih ketika kedua anaknya bertengkar
dan mengeluarkan kata-kata kasar, 5) Subjek keluar rumah untuk menenangkan diri. 6) Subjek
menceritakan permasalahan kepada suami. Sedangkan faktor pembentukan regulasi emosi pada
orang tua dengan anak temper tantrum, yaitu 1) ibu ingin memiliki kepribadian yang lembut
dan penuh kasih sayang, 2) ibu berkewajiban menasehati anak yang bermasalah, 3) Ketika ibu
bahagia maka dapat memperlancar komunikasi antara ibu dan anak. Dari hasil penelitian diatas
dapat disimpulkan bahwa orang tua dengan anak temper tantrum tidak mampu mengelola emosi
dengan baik, seperti timbulnya emosi negatif yang disebabkan oleh ketidakmampuan orang tua
dalam berpikir jernih. Saran untuk orang tua sebaiknya mengelola emosi dengan lebih sabar,
berkonsultasi dengan Psikolog ataupun tokoh agama untuk mampu mengelola emosi dengan
mengontrol emosi negatif, dan berkomunikasi positif secara verbal dan non verbal.
Kata kunci: Regulasi Emosi; Orang Tua; Anak Temper Tantrum.

1. Pendahuluan
Latar Belakang. Anak memiliki keunikan masing-masing yang berbeda dengan anak
lainnya. Keragaman anak tidak hanya dapat dilihat secara kasat mata, seperti melihat perbedaan
warna kulit, tinggi badan, bentuk hidung ataupun tipe rambut akan tetapi melihat bagaimana
karakter, kepribadian ataupun intelegensi anak yang berbeda dengan yang lainnya. Pemahaman
mengenai keunikan setiap anak sangat penting dalam dunia pendidikan, dimana karakter setiap
anak memiliki acuan untuk menggali potensi dan kekurangan pada diri anak tersebut.
Soetijiningsih (dalam Syam, 2013) juga berpendapat bahwa anak merupakan individu yang
unik, karena faktor bawaan dan lingkungan yang berbeda, maka pertumbuhan dan pencapaian
kemampuan perkembangan juga berbeda.
Anak memiliki berbagai macam permasalahan yang merupakan kekurangan dalam
proses pembentukan perkembangan. Tidak sempurnanya pembentukan perkembangan anak
dikarenakan terdapat beberapa aspek seperti, nilai agama dan moral, sosial emosional, bahasa,
kognitif dan fisik yang tidak dapat terpenuhi dengan baik sehingga berpengaruh pada tahap
perkembangan anak berikutnya. Hal ini menyebabkan timbulnya permasalahan yang biasa
dialami anak usia 18 bulan sampai 4 tahun diantaranya dalah permasalahan mengendalian
emosi anak yang dapat disebut dengan temper tantrum. Menurut Hayes (2003: 12) mengatakan
bahwa anak usia 5-6 tahun mengalami perilaku tantrum merupakan hal yang tidak biasa.
Pada umumnya temper tantrum merupakan episode dari kemarahan dan frustasi yang
ekstrim, yang tampak kehilangan kendali seperti gambaran perilaku menangis, berteriak,
sampai timbulnya perilaku agresif dengan menendang, memukul, mencakar, memrusak benda
disekitarnya. Dalam beberapa kasus terdapat anak yang sampai menyakiti orang tua atau
dewasa lainnya sebagai bentuk pelampiasan atas kemarahannya tersebut (Tandry, 2010). Dapat
diketahui bahwa anak yang mengalami temper tantrum akan menimbukan perilaku negatif yang
dapat mengganggu orang lain seperti berteriak, memukul, menendang dan mencakar. Figur
yang menjadi objek untuk melampiaskan emosinya adalah teman di sekolah, guru bahkan orang
tua.
Orang tua berperan penting dalam proses pembentukan pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan melakukan beberapa hal seperti, mendampingi selama masa
tumbuh kembang anak, melindungi anak, menyayangi anak dan memberikan semua yang
dibutuhkan oleh anak. Orang tua akan berperan menjaga anak dan berusaha memberikan
penanganan apabila anak terjadi kesalahan. Orang tua yang memiliki anak temper tantrum
memahami bahwa anaknya memiliki emosi yang tidak stabil sehingga muncul perilaku negiatif
seperti memukul, menendang, bahkan melukai seseorang di lingkungan sekitar. Orang tua di
anjurkan untuk memahami dan menerima kondisi anak temper tantrum. Orang tua seharusnya
memikirkan perilaku temper tantrum anak yang menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan
sekitar. Menjadi orang tua yang memiliki anak temper tantrum sebaiknya mampu untuk
mengelola emosi atau regulasi emosi ketika melakukan pengasuhan terhadap anak. Ketika
orang tua mampu dalam mengelola emosi maka akan membantu dalam mengatasi
permasalahan anak. Sesuai dengan pendapat Neven, Rathus, & Greene (2005) mengatakan
bahwa seseorang yang kemampuan dalam regulasi emosi dan penyesuaian diri maka setidaknya
akan terhindar dari masalah-masalah psikologis.
Thomson berpendapat bahwa regulasi emosi dapat dipandang sebagai proses awal dapat
merasakan, mendalami, memelihara, dan mengelola emosi untuk mencapai tujuan dengan lebih
mudah dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. (Zimmerman & Thomson, 2014).
Regulasi emosi merupakan seseorang yang dapat mengekspresikan emosi yang dialaminya
(Gross, 2002). Selain itu Gross dan Thompson (Lane, Bucknall, Davis, & Beedie, 2012)
berpendapat bahwa regulasi emosi merupakan suatu strategi yang digunakan secara sengaja
atau tidak sengaja untuk menunjukkan emosi yang dimiliki seseorang. Orang tua mampu
mengekspresikan emosinya dengan baik dapat berdampak positif terhadap pola asuh orang tua
terhadap anak temper tantrum.
Terdapat hasil wawancara pada guru di salah satu sekolah taman kanak-kanak di
Surabaya bahwa terdapat 3 siswa dengan rata-rata usia 5-6 tahun memiliki perilaku tantrum di
sekolah. Siswa A dan B adalah saudara kembar berusia 5 tahun yang memiliki masalah untuk
mengelola emosi terutama dilingkungan sekolah. Hampir setiap hari mereka bertengkar dengan
teman hingga memukul, mengancam teman dan menyakiti teman secara fisik. Apabila
keinginan mereka tidak dikabulkan oleh guru kelas maka mereka mengancam akan pulang dan
tidak ingin masuk sekolah, memberontak, memukul guru, dan berkata kotor. Sedangkan siswa
C juga memiliki karakteristik tantrum yang sama, yaitu siswa ketika tidak dapat dikabulkan
keinginannya oleh guru siswa tersebut marah hingga menyakiti guru dan teman sekitarnya
dengan memukul, menendang, berteriak, dan memberontak. Mereka memiliki orang tua
memiliki karakter cenderung emosional. Sehingga fakta tersebut mendorong peneliti untuk
ingin mengetahui pola regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum.
Terdapat penelitian oleh Martin, Clement, dan Crnic (2002) menemukan bahwa keadaan
emosional seorang ibu ketika berinteraksi dengan anak-anak mereka dan memeriksa hubungan
emosi ibu, kesusahan keluarga, dan kepekaan pengasuhan. Hasilnya menunjukkan bahwa ibu
mengalami dan mengungkapkan banyak emosi positif dan negatif selama bermain dengan balita
mereka, akan tetapi, emosi yang diekspresikan ibu tidak mempunyai korelasi ketika anak
menunjukkan emosi positif, ibu membalas dengan emosi yang lebih positif. Pengalaman
emosional ibu selama berinteraksi dengan anak-anak mereka menunjukkan hubungan antara
distres keluarga dan perilaku pengasuhan yang sensitif. Temuan ini mendukung teori bahwa
pengasuhan ditentukan oleh beberapa faktor, seperti anak, orang tua, keluarga dan faktor emosi.
Penelitian lain oleh Halimah dan Hidayati (2015) menemukan bahwa ibu dengan anak
Sindrom Down merasakan kesedihan yang mendalam saat mengetahui kondisi anak tersebut,
subjek dalam penelitian tersebut dapat mengelola emosi dari dukungan sosial keluarga. Ketiga
subjek tersebut menerima keadaana nak mereka yang Sindrom Down. Syahadat (2013)
melakukan penelitian dengan hasil bahwa regulasi emosi dapat membantu seseorag dalam
mengelola pikiran negatif menjadi positif. Sehingga mempengaruhi emosi dan perilakunya,
misalnya ketika seseorang mengubah pikirannya terhadap stimulus negatif, kemudian dapat
mengelola denganmenurunkan kadar emosi negatif maka perilaku yang muncul adalah perilaku
yang positif.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa orang tua dengan anak temper tantrum
membutuhkan regulasi emosi yang baik. Penelitian betujuan untuk mengetahui gambaran pola
regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum dan faktor-faktor pembentukan regulasi
emosi orang tua dengan anak temper tantrum.
Kajian Teoritik. Perilaku temper tantrum merupakan hal yang wajar akan tetapi
apabila tidak dilakukan penaganan maka dapat mempengaruhi pada perkembangan anak
selanjutnya. Terdapat pengaruh emosi terhadap penyesuaian pribadi dan sosial anak, yaitu 1)
ketegangan emosi mengganggu aktivitas mental, 2) Emosi mengganggu keterampilan motorik,
3) emosi dapat mempengaruhi suasana psikologis anak, 4) reaksi emosial apabila diulang-ulang
akan berkembang menjadi suatu kebiasaan yang buruk (Harlock: 2009).
Regulasi Emosi memliki 3 aspek menurut Thomshon (dalam, Hasanah 2010), yaitu 1)
Emotions monitoring, yaitu kemampuan untuk memahami semua proses yang terjadi dalam diri
terutama perasaan, pikiran, dan latar belakang dari tindakan yang dilakukan oleh seseorang. 2)
Emotion evaluating, yaitu kemampuan untuk mengelola dan menyeimbangkan emosi yang
dialami oleh seseorang. 3) Emotion modification, yaitu kemampuan individu untuk merubah
emosi sehingga mampu memotivasi diri ketika individu tersebut dalam kondisi putus asa cemas
dan marah.
Gross (2014) mengatakan bahwa proses pembentukan regulasi emosi terdapat lima
tahapan diantaran, yaitu pemlihan situasi (Situation Selection) dimana tindakan untuk
menghindari atau mendekati objek yang dapat meningkatkan emosi pada seseorang. Perubahan
situasi (Situation Modification) usaha yang dilakukan seseorang untuk mengubah situasi agar
dapat menunjukkan emosi yang dirasakan. Penyebaran perhatian (Attentional Deployment)
merupakan bentuk pengolahan emosi oleh seseorang dengan mengalihkan perhatian tanpa
menggunakan alat indera tetapi menggunakan konsentrasi. Perubahan kognitif (Change
Cognitive) yang menghubungkan dan membandingkan situasi yang dialami dengan situasi yg
dialami sebelumnya. Perubahan respon ( Response Modulation) respon yang muncul setelah
mengalami emosi, seperti efek dari penggunaan obat, terapi atau relaksasi.
Regulasi emosi memiliki 3 element yang penting, yaitu 1) Mampu mengatur emosi
positif maupun emosi negatif dengan baik. Regulasi emosi digunakan seseorang tidak hanya
untuk menekan emosi negatif akan tetapi juga mengontrol emosi positif agar seseorang dapat
mengekspresikan emosi tersebut tidak berlebihan. 2) Secara sadar dapat mengendalikan emosi.
Seseorang mampu merasakan emosi yang terjadi daaat itu sehingga ia mampu untuk
mengontrol emosi tersebut. 3) Mampu menguasai tekanan akibat masalah yang dihadapi.
Regulasi emosi mampu sebagai pengendali individu ketika dihadapkan dengan situasi yang
menekan (Gross, 2007).
Daniel Goleman (Dalam Ali ,2011) menjelaskan beberapa klasifikasi emosi, yaitu 1)
Amarah yang berupa, melakukan tidakan kekerasan, tersinggung, marah besar, terganggu,
memberontak, benci, dan brutal. 2) Takut yang berupa, cemas, khawatir, takut, waspada, tidak
tenang, gelisah, panik, phobia, dan ketakutan yang mendalam. 3) Kesedihan yang seperti,
muram, kesepian, depresi, putus asa, dan merasa rendah diri. 4) kenikmatan yang seperti,
gembira, senang, bahagia, kasmaran, penerimaan, persahabatan, kesetiaan, ketulusan hati,
bakti, rasa dekat, dan hormat. 5) Jengkel beupa, benci, mual, tidak suka, menyebalkan, jijik,
dan hina. 5) Malu, menyesal, kesal hati, dan aib.

2. Metode Penelitian
Partisipan. Penelitian ini menggunakan karakteristik partisipan, yaitu 1) Ibu berusia
dibawah 35 tahun dengan anak temper tantrum di Surabaya. 2) bersedia untuk menjadi subjek
penelitian. Berdasarkan karakteristik tersebut peneliti mendapatkan 2 partisipan dalam
penelitian ini. Peneliti menggunakan teknik sampling dengan teknik purposive sample yaitu
peneliti dapat menentukan partisipan berdasarkan kriteria tertentu dari peneliti (Sugiyono,
2014)
Desain. Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif fenomenologi.
Fenomenologi merupakan metode penelitian yang akan menemukan makna yang terkandung
dalam sebuah fenomena dan partisipan menjadih peran utama dalam memberikan gambaran
tentang pengalaman yang dialami (Smith, 2009). Desain fenomenologi digunakan dalam
penelitian ini karena fenomena regulasi emosi orang tua merupakan permasalahan yang dialami
banyak orang. Sehingga peneliti ingin mengetahui gambaran regulasi orang tua yang memiliki
anak temper tantrum.
Prosedur. Prosedur yang digunakan dalam penelitian ini yaitu menggunakan teknik
wawancara kepada orang tua dengan anak temper tantrum. Wawancara dilakukan untuk
menggali data, perilaku anak temper tantrum dengan orang tua, bentuk perlakuan orang
terhadap anak temper tantrum, ekspresi emosi orang tua serta cara mengelola emosi orang tua.
Wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang dilakukan oleh interviewer dan
interviewie untuk mencapai tujuan tertentu (Kristi, 2017).
Teknik Analisis. Penelitian ini menggunakan teknik analisis fenomenologi
interpretatif. Menurut Willig (2013) berikut cara untuk melakukan analisis fenomenologi
interpretatif yaitu 1) menggunakan stranskrip wawancara semi terstruktur. 2) pertanyaan
terbuka dan non-direktif. 3) pertanyaan spesifik. 4) pendekatan idiografik dimana wawasan
yang dihasilkan merupakan hasil kontribusi intensif dan terperinci dengan kasus individu.

3. Hasil Penelitian dan Diskusi


Penelitian ini mendapatkan sebuah fakta penelitian pada orang tua dengan anak temper
tantrum diantaranya sebagai berikut:
1) Pola regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum.
Setelah melakukan penggalian data dengan menggunakan prosedur penelitian
wawancara dan dilakukan analisis dengan teknik fenomenologi interpretatif. Maka peneliti
menemukan beberapa pola regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum yang beragam
dari dua partisipan, diantaranya sebagai berikut:
a. Perasaan emosi ibu ketika menghadapi anak tantrum.
Orang tua dengan anak temper tantrum mengalami berbagai emosi ketika menghadapi
anak tantrum. Emosi yang dirasakan oleh orang tua adalah emosi negatif. Orang tua merasa
terganggu terhadap perilaku anak tantrum.
“Nggeh jujur mawon mbak kulo nggeh jengkel, ga serantan ngoten niku, nggeh kulo ini
ga sabar ngatasi anak seng keras ngoten mbak, lak ngamuk niku sampe jejek-jekek,
ngantem ngantem mbak. Dadine nggeh kulo gepuk kale kayu larene ben meneng. Soale
lak mboten ngoten larene malah ngelunjak mbak.(Subjek E)”
(ya jujur aja ya mbak saya ya jengkel, seperti nggak sabar gitu, ya saya ini nggak sabar
mengatasi anak yang wataknya keras, kalau marah sampai menendang, memukul mbak,
jadi ya saya pukul menggunakan kayu biar anaknya diam, soalnya kalo tidak
diperlakukan seperti itu anaknya pasti membantah)

“Ya jengkel karena di tuturi alus mboten saget e mbak (Subjek E)”
( ya saya jengkel karena di nasehati secara hasul tidak bisa mbak)

” Ya tak lerai mbak. tak wara “ ojok tukaran ae po’o nak ibuk sumpek iki lo” ya omongan
lo mbak ya tak bengok ngono ae. (Subjek D)”
(ya saya pisah mbak, saya kasi pengertian “ jangan bertengkar ya nak ibu ini susah loh”
ya sebatas ucapan saja mbak ya saya teriakin aja)

“Pegeel mbak sakjane lak delok arek arek tukaran ae. Ga pegel masalah ngene nggak,
pegel lak ga kenek diomongi “wes alaaah tak tinggal turu kon kok suwe suwe (Subjek
D)”
(capek mbak sebenarnya jika melihat anak-anak bertengkar terus. Nggak capek karna
masalah ini mbak bukan, capeknya jika anak-anak tidak dapat dinasehati “udah ya ibu
tinggal tidur loh ya lama lama”

Dari pernyataan yang diungkapkan oleh subjek dapat diketahui mereka memiliki emosi
negatif seperti jengkel, merasa terganggu, merasa lelah ketika anak mereka menunjukkan
perilaku tantrum seperti ketika anak mereka marah dan menimbulkan reaksi yang berlebihan.
Bahkan partisipan tersebut sampai memukul anak dengan kayu dan berteriak kepada anak
dengan keras agar dapat meminimalisir perilaku tantrum tersebut. akan tetapi pada Subjek E
timbul rasa penyesalan setelah melakukan kekerasan fisik pada anak. Menurut Walgito (2010)
berpendapat bahwa seseorang yang cenderung kurang dapat mengendalikan diri dan tidak
memperhatikan norma yang ada maupun keadaan sekitarnya ketika memiliki emosi. Hal ini
menunjukkan bahwa orang tua tidak dapat berpikir jernih ketika emosi negatif sedang
menguasai akibatnya terjadi kekerasan fisik pada anak.

“Jadinya saya ini bisa lebih tenang. tidak jengkel lagi. Tp kulo nggeh pernah mukul gt
terus menyesal mbak. (Subjek E)”
( jadinya saya ini bisa lebih tenang, tidak jengkel lagi. Tapi saya ya pernah mukul dan
saya menyesal mbak).

Dalam hal ini orang tua tidak dapat mengelola emosi negatif, ia malah menunjukkan
emosi tersebut dengan perlakuan kekerasan fisik dan psikis pada anak. Setiap disregulasi emosi
yang dihasilkan dapat menyebabkan tanggapan yang berpusat pada orang tua, bukan lagi
berpusat pada tuntutan anak (Fabes, dkk: Bahrami, Dolatshahi, Pourshahbaz, &
mohammadkhani, 2018). Dengan kata lain, orang tua yang memiliki kesulitan dalam regulasi
emosi mungkin lebih fokus pada menenangkan ketidaknyamanan mereka sendiri dari pada anak
mereka dan dapat menggunakan strategi pengasuhan negatif, seperti minimisasi dan hukuman,
untuk mengehentikan kesususahan anak ( Fabes, Dkk, 2018).

“Saya sebenarnya ya malu sama tentangga dan kepala sekolah punya anak kok buat
masalah terus. Nggeh hampir tiap hari ngehan kulo disanjangi kale kepala sekolah lak
anak kulo mantun nyundep batuke koncone kale pensil nang batuke (Subjek E)”
(Saya sebenarnya ya malu sama tentangga dan kepala sekolah punya anak kok buat
masalah terus. Ya hampir setiap hari saya diberi informasi oleh kepala sekolah bahwa
anak saya telah melukai temannya dengan menusukkan pensil ke dahi)

“Saya juga sampe malu sama kepala sekolahe mbak. “buk !!, yaopo iki buk !! anaku iki
wong sekolah durung buyar !!” jarene “gak gapap gapapa” lak ngono kan aku seng malu
karo guru ambek wali murid liane gara-gara eson anak ya. (Subjek D)“
(saya juga malu dengan kepala sekolah mbak, “bu! Gimana ini bu ! anak saya belum
waktunya pulang sekolah kok sudah pulang!” ya saya kan yang malu mbak sama guru
dan wali murid yang lain ya akibat perilaku anak saya mbak”)

Perilaku anaknya juga berakibat tidak baik antara hubungan orang tua dengan sekolah
dan wali murid yang lain. Ibu merasa malu dengan perilaku anak yang tidak dapat
mencermintan keprilaku yang positif. Rasa malu merupakan perasaan ketika melihat diri
seseorang tidak sebaik oralng lain meskipun tidak pernah melanggar moral dalam masyarakat
dimana perasaan malu dapat merigikan manusia (Semmel, 1994). Ferguson dan Tangney
(dalam Eisenberg, 2000) juga perpendapat bahwa perasaan malu bermula dari situasi yang tidak
bermoral dan permasalahan yang terkait dengan kegagalan atau perilaku sosial yang tidak
pantas.

“Saaken kulo nggean mbak soale kan anak saya mboten saget ngerem emosine. kadang
nggeh kulo mikir ngeten mbak. Kulo kepikiran angen angen terus lak sekolah engkok
ndang tukaran mane ambek koncoee. Engkok anakku ga due koncoo. terus lak dolen
ngoten niku nggeh kulo wedi lak anakku garai koncone seng liane mbak, mangkane lak
dolen mesti kulo tunggui mbak soale kulo wedi lak sampe tukaran male (Subjek E)”
(kasihan saya mbak, karena nak saya ini tidak dapat menahan emosinya, terkadang saya
berpikir seperti ni, saya terngiang-ngiang jika anak saya di sekolah akan bertengkar
dengan temannya lagi. Nanti anakku tidak memiliki teman, jika bermain dengan anak
tetangga aku takut anakku bertengkar lagi mbak, mangkanya saya temani dia bermain
dengan anak tetangga).
“Saya ya sedih mbak melihat anak yang bertengkar sampai seperti itu. Rasane iku susah
mbaaak kayok eeehhhhh nyelekit nang dodo ngono mbak. Atie ke iris iris lak tukaran
ae. (Subjek D)”
(saya sedih mbak melihat anak yang bertengkar sampai seperti itu. Rasanya itu sedih
mbak seperti eeehhhhh menusuk di dada gitu mbak, hati seperti teriris ketika anak
bertengkar)

“Ya aku sedih laaah mbaak, cumak yooo di kasi tau nanti dia uda ngerti dan ga minta
labrak anake wong mane, terus ya aku iki sedih kok anakku iki ngerti omongan kasar
sampe gowo sapu, gowo watu lak kasar loh ya ibarate. (Subjek D)”.
(ya aku sedih laaah mbaak, tapi ya di kasih aja gitu dia sudah ngerti mbak dan sudah
tidak meminta untuk memarahi anak tetangga lagi, terus ya saya sedih juga kok anakku
ini mengerti onongan yang kasar sampai meminta untuk membawa sapu, membawa batu
kan kasar loh ya ibaratnya”

Pernyataan diatas menunjukkan bahwa ibu merasa sedih dengan apa yang dilakukan
anaknya sampai menimbulkan perassaan khawatir terhadap perlakuan yang akan dilakukan
anaknya dalam lingkungan yang lain. Gangguan mental yang dilamai seseorang dengan adanya
perasaan khawatir, takut yang tidak menyenangkan disebut kecemasan (Sundbreg,Winebarger,
dan Taplin, 2007).

Dari beberapa pernyataan tentang kedua subjek dapat disimpulkan bahwa orang tua
dengan anak temper tantrum memiliki perasaan emosi yang beragam, seperti 1) Perasaan
jengkel dan terganggu akibat perilaku negatif anak, 2) ibu lelah apabila anak tidak dapat
menerima nasehatnya, 3) Ibu menyesal melukai anak, 4) Ibu merasa malu dengan guru dan
wali murid di sekolah, 5) Ibu merasa iba dengan kondisi anak yang tidak dapat mengontrol
emosi negatif, 6) Ibu merasa sedih ketika kedua anaknya bertengkar dan ketika anak
mengeluarkan kata-kata kasar.

b. Kemampuan orang tua dalam mengelola emosi


Dalam penelitian ini menemukan bahwa orang tua tidak hanya mengekspresikan emosi
yang di dapat akibat perilaku anak tantrum. Melainkan orang tua berusaha mengelola emosi
dengan berbagai cara, sebagai berikut:

“Nggeh tak tinggal mbak larene. kulo medal dateng griyo mbak, jalan- jalan ke taman
(Subjek E)”
( ya saya tinggal mbak anaknya, saya pergi dari rumah mbak, jalan –jalan ke taman)

“Ngajak ayahe pergi berdua aja. Terus ya aku bilang sama ayahe (Subjek D)”.
(mengajak ayahnya pergi berdua. Dan saya menceritakan perilaku anak kepada
ayahnya)
Terlihat bahwa kedua orang tua pada subjek E dan D sama sama memilih untuk pergi
dari rumah agar dapat meminimalisir emosi negatif akibat menangani perilaku anak tantrum.
Selain kedua subjek ini juga memiliki strategi lain dalam mengelola emosi dengan
menceritakan kepada suami mereka mengenai perilaku anak tantrum. Regulasi Emosi dapat
dikatakan sebagai strategi yang digunakan seseorang dalam mengalihkan perasaaan emosi yang
dirasakannya (Dennis, 2007)

“Nggeh kulo mesti curhat kale mas mbak. yaopo yaopo nggeh kulo kudu curhat kale
mas, soale kan nggeh sinten male seng saget kulo madulii (Subjek E)”
(ya saya selalu curhat dengan suami mbak. ya gimanapun saya harus curhat dengan
suami, karena ya siapa lagi yang dapat menerima segala keluh kesah hati saya mbak)
“Yah anake iki lo beling” terus ayahe jawabi “yo jenenge arek cilik dek” yawes mbak
aku mesti lak curhat nang suamiku ya ditenang no. (Subjek D)”
(“yah ini lo anaknya nakal” terus ayah menjawab ”ya namanya anak kecil dek” yaudah
mbak saya curhat dengan suami merasa diberi ketenangan)

Subjek melakukan strategi tersebut dengan pergi dari rumah, jalan-jalan dengan suami
yang dapat menghasilkan tergantinya emosi negatif dengan emosi positif seperti yang
diutarakan oleh subjek. Semmel (1994) berpendapat bahwa salah satu strategi dalam regulasi
emosi ialah diperlukan pembicaraan mengenai pikiran yang dialami seseorang terhadap teman
atau anggota keluarga agar mendapat pertolongan untuk mengerti apakah pikiran kita sendiri
yang menyebabkan munculnya emosi.

“Ya saya jauh lebih tenang mbak soalnya saya kalo punya pikiran ga bisa disimpen
sendiri..ee.. lah lak pun kulo sampun tenang ngoten kulo nggeh saget nuturi anak saya
mboten kale emosi mbak. lah lak kulo ga tenang kan kulo mboten saget alus kale anakku
(Subjek E)”
(Ya saya jauh lebih tenang mbak soalnya saya kalo punya pikiran ga bisa disimpan
sendiri, eee lah ketika saya sudah tenang gitu saya baru bisa menasehati anak saya
dengan tidak emosi mbak, kalau saya tidak merasa tenang ya saya tidak dapat berbicara
halus denagn anak saya)

“Ya dadi luweh enteng mbak pikiran seng awale sumpek wes ijo seneng mane wes ga
sumpek sumpek ndelok anak tukaran ae mending aku tak metu ta refeshing. Lak aku ga
curhat mbak lak aku ga seneng seneng yo aku takbah sumpek isok isok aku stress mbak,
jadi ya aku kudu ngilangno pikiran iku sek mbak. (Subjek D)”.
(ya jadi lebih ringan pikiran saya yang awalnya susah bisa lebih senang sudah tidak
mual melihat anak saya bertengkar terus lebih baik saya pergi refreshing. Jika saya
curhat mbak saya tidak merasa senang dan saya bertambah mual, bisa-bisa saya menjadi
stress mbak, jadi ya saya harus mencertakan dan minghilangkan pikiran yang seperti itu
mbak)
Selain itu subjek D juga berbagi cerita kepada nenek dari anak temper tantrum dan ia
juga memiliki strartegi dengan memisah kedua anak kembarnya agar tidak berlangsung
pertengkaran yang hebat. Menurut Reivich dan Shatte (dalam Gross &John, 2004) mengatakan
bahwa regulasi emosi dapat membuat seseorang melakukan sesuatu agar tetap tenang dan dapat
mengatasi perasaan kahwatir, marah atau sedih yang dapat membantu menyelesaikan masalah.

“Terus aku ya curhat karo ibuku mbak, ibuku seng paling ngerti terus ibuku yo seng biasa
nuturi anakku mbak. Soale anakku iki yo wedie karo mak.e.. (Subjek D)”.
(terus saya ya curhat sama ibuku mbak, ibuku yang paling bisa ngerti dan ibuku juga yang
terbiasa menasehati anakku mbak, karena anakku takut dengan neneknya)

“Sempet pas riwuh riwuhe ya tak wara “melok’o emak bubuk.o ndek ningsor ae” ngono
lek wes aku ben lego mbak ya sumpek aku kerungu arek arek tukaran bengok-bengok
terus ya lak tukaran kan yo pukul pukulan ngono lo mbak lak nangis lak ga mukul yo gak
lego arek.e mbak kudu sampe nangis (Subjek D)”.
(waktu itu sedah sibuk-sibuknya ya saya bilang “ikut sana sama nenek tidur di lantai
bawah aja” gitu saya bisa lega mbak, saya pusing kalau mendengar anak-anak bertengkar
teriak-teriakan, pukul-pukulan dan kalau tidak nangis ya tidak puas mbak, harus sampai
nangis)

Dari pernyataan diatas menunjukkan bahwa ibu dapat mengekspresikan emosi yang
dirasakannya akan tetapi tidak dapat menyimpan emosinya sendiri, mereka lebih nyaman
dengan berbagi cerita kepada suami. Hal ini membuat beban pikiran ibu menjadi lebih ringan.
Ketika ibu sudah mendapat ketenangan ia merasa dapat lebih maksimal dalam menjalankan
pola asuh terhadap anak tantrum dengan berkomunikasi dengan lembut. Menurut Gross (2002)
mengatakan bahwa regulasi emosi merupakan suatu individu yang mampu mengekspresikan
emosi yang dialaminya. Semmel (1994) juga berpendapat bahwa dengan membicarakan
permasalahan bersama keluarga dan teman dapat melegakan hati dan menyadarkan individu
untuk memandang sisi yang lain, memberi pengertian baru mengenai perasaan yang sedang
dialami dengan demikian individu merasa lebih maju dan bertambah kuat.
Dari pernyataan tentang kedua subjek dapat disimpulkan bahwa orang tua dengan anak
temper tantrum memiliki strategi regulasi emosi yang beragam, seperti 1) kedua subjek
memilih untuk keluar rumah untuk menenangkan diri. 2) kedua subjek menceritakan
permasalahan kepada suami. 3) Salah satu subjek menceritakan permasalahan dengan ibunya.
4) Ketika bersedih ibu memiirkan permasalahan yang terjadi pada anaknya. 5) Ibu
memerintahkan anak untuk berpisah agar pertengkaran tidak terus terjadi.
2) Faktor pembentukan regulasi emosi orang tua
Penelitian ini menemukan beberapa faktor pembentukan adanya regulasi emosi orang
tua dengan anak temper tantrum dari dua subjek. Faktor tersebut sangat berpengaruh bagi orang
tua untuk mampu mengelola emosi dengan baik.
a. Menjadi orang tua ideal.
Orang tua merupakan pusat kehidupan rohani anak, maka setiap reaksi emosi anak dan
hasil perilaku anak tersebut merupakan salah satu hasil dari pembelajaran pendidikan informal.
Terutama seorang ibu yang memiliki peranan penting dalam mendidik anak dengan
memberikan kasih sayang, mengasuh, memelihara, ibu sebagai tempat mencurahkan isi hati
anak, ibu mengatur kehidupan rumah tangga, dan sebagai pendidik dalam segi-segi emosional
(Wahib, 2015). Dalam penelitian ini menemukan bahwa tujuan orang tua dengan mengelola
emosinya agar menjadi ibu yang baik, ibu yang dapat menjelankan tugasnya untuk mengasuh
anak dengan baik.seperti yang diutarakan oleh kedua subjek sebagai berikut:

“Ya saya jauh lebih tenang mbak soalnya saya kalo punya pikiran ga bisa disimpen
sendiri. ..ee... lah lak pun kulo sampun tenang ngoten kulo nggeh saget nuturi mboten
kale emosi mbak.. lah lak kulo ga tenang kan kulo mboten saget alus (Subjek E)”
(ya saya jauh lebih tenang mbak karena saya punya pikiran itu tidak bisa disimpan
sendiri, eee lah ketika saya sudah tenang gitu saya baru bisa menasehati anak saya
dengan tidak emosi mbak, kalau saya tidak merasa tenang ya saya tidak dapat berbicara
halus dengsn anak saya)

“Lak misale awakku iki wes bungah mane ya mbak lak dijak anak ngomong kan isok
jawab enak ngono loh mbak, masio anakku kayok ngono tp aku kan yo sayang mbak
aku yo pengen ngalusi anakku ngejak goyon anakku (Subjek D)”
(misalnya saya ini udah bahasgia ya mbak jika berkomunikasi dengan anak itu bisa baik
gitu loh mbak. Meskupun anakku seperti itu tetapi aku kan sayang mbak aku ya pengen
beri kasih sayang dan bercanda dengan anakku).

Hal ini menunjukkan bahwa Subjek E dan Subjek D memiliki dorongan untuk
melakukan regulasi emosi dikarenakan ia tidak dapat terus menerus berkomunikasi dengan
anak menggunakan emosi negatif. Mereka memahami dengan menjadi lebih tenang mereka
dapat maksimal menasehati anaknya. Subjek D berpendapat bahwa meskipun anak mereka
sering menimbulkan perilaku tantrum dengan adanya kasih sayang yang besar kepada anaknya
ibu berkenginan mencaikan suasana dengan mangajak anak untuk bercanda bersama.

Seperti yang diungkapkan oleh Hoffman( dalam Victoria, Jonathan, Weis, 2017)
mengatakan bahwa pakar emosional menggambarkan kemampuan orang tua untuk menjadikan
tugas sebagai pengalaman positif bagi anak yang ditujukan dengan menjaga kepekaan terhadap
emosi anak, berbagai emosi positif anak, dan menilai partisipasi anak dalam tugas.dalam
penelitian ini orang tua memiliki keinginan lebih memperhatikan anaknya dengan memberi
kasih sayang dan berkomunikasi yang positif sehingga dapat meningkatkan kemampuan anak
untuk memiliki emosi positif. Menurut Balson (1997) berpendapat bahwa anak-anak yang
memiliki permasalahan perlu berbicara dengan orang tua yang memiliki peran untuk
mengadakan komunikasi dengan anak-anak, karena mereka memahami bagaimana perasaan
anak-anak dan bersedia memberikan bantuan dengan pendekatan attachment untuk
mengahdapi permasalahannya.

“Ya gimana ya mbak kan ya anakku... sakjane ya wajar anak iku ya pancen ga mbak
ngamukan nangisan ngoten niku lak wajar nggeh tapi nggeh niku sampek jejek jekek
niki kulo mboten seneng... mangkane kulo nggeh wajib nuturi soale kulo niki wong
tuone mbak kan nggeh pengen anak kulo saget normal kayok arek arek liane... (Subjek
E)”
(ya gimana ya mbak kan ya anakku, sebenernya ya wajar anak itu berperilaku seperti
nangisan gitu. Tapi yang sampai menendang itu yang membuat saya tidak suka,
mangkanya saya berkewajiban untuk menasehati anak saya, kan saya orang tuanya ya
saya pingin anak saya normal seperti anak yang lain).

Pada Subjek E menyatakan bahwa salah satu faktor pembentuk regulasi emosi adalah
melihat kewajiban orang tua untuk menasehati dengan cara yang baik apabila anak berbuat
kesalahan dengan harapan orang tua dapat merubah anak menjadi anak yang manis dan seperti
anak lain diusianya. Orang tua membantu anak untuk memahami mana perilaku yang baik dan
tidak baik sehingga anak dapat mengetahui masalah yang ia hadapi (Balson, 1997).

Dari pernyataan tentang kedua subjek dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor-faktor
pembentukan regulasi emosi orang tua dengan anak temper tantrum, yaitu 1) ibu ingin memiliki
kepribadian yang lembut dan penuh kasih sayang, 2) ibu berkewajiban menasehati anak yang
bermasalah, 3) Ketika perasaan emosi ibu sedang senang dan bahagia maka dapat
memperlancar komunikasi antara ibu dan anak.

4. Kesimpulan
Hasil penelitian ini menemukan beberapa fakta mengenai pola regulasi orang tua dengan
anak temper tantrum dan faktor-faktor pembentukan regulasi emosi dengan anak temper
tantrum. Perasaan emosi ibu ketika menghadapi anak tantrum, yaitu 1) Perasaan jengkel dan
terganggu akibat perilaku negatif anak, 2) ibu lelah apabila anak tidak dapat menerima
nasehatnya, 3) Ibu menyesal melukai anak, 4) Ibu merasamalu dengan guru dan wali murid di
sekolah, 5) Ibu merasa iba dengan kondisi anak yang tidak dapat mengontrol emosi negatif, 6)
Ibu merasa sedih ketika kedua anaknya bertengkar dan ketika anak mengeluarkan kata-kata
kasar. Kemampuan orang tua dalam mengelola emosi menemukan fakta yaitu, 1) kedua subjek
memilih untuk keluar rumah untuk menenangkan diri. 2) kedua subjek menceritakan
permasalahan kepada suami. 3) Salah satu subjek menceritakan permasalahan dengan ibunya.
4) Ketika bersedih ibu memikirkan permasalahan yang terjadi pada anaknya. 5) Ibu
memerintahkan anak untuk berpisah agar pertengkaran tidak terus terjadi.
Sedangkan faktor-faktor pembentukan regulasi emosi orang tua dengan anak tantrum
dapat disimpulkan bahwa terdapat 3 faktor, yaitu 1) ibu ingin memiliki kepribadian yang lembut
dan penuh kasih sayang, 2) ibu berkewajiban menasehati anak yang bermasalah, 3) Ketika
perasaan emosi ibu sedang senang dan bahagia maka dapat memperlancar komunikasi antara
ibu dan anak.
Hasil penelitian ini harus dipertimbangkan dengan beberapa keterbatasan. 1) penelitian
ini hanya diberikan kepada ibu, dan peran ayah juga diperlukan dalam penelitian ini. 2) Serupa
dengan penelitian lain, kami hanya menggunakan wawancara, untuk penelitian selanjutnya
disarankan untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber, misalnya menggunakan metode
observasi. 3) subjek dalam penelitian ini terbilang sedikit, peneliti selanjutnya dapat
menambahkan jumlah subjek dan dapat menggunakan subjek pendukung seperti anggota
keluarga lain.

5. Daftar Pustaka

Ali, M., &Asrori M., (2011). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik. Jakarta: Bumi
Aksara.
Bahrami, B., Dolatshahi, B., Pourshahbaz, A., & Mohammadkhani, P. (2018). Parenting Style
and Emotion Regulation in Mothers of Preschool Children. Journal of Practice in
Clinical Psychology, 6(1), 3-8. https://doi.org/10.29252/NIRP. JPCP.6.1.3
Balson, Maurice. (1997). Menjadi Orang Tua Yang Sukses. Jakarta: Grafindo.
Dennis, T. A. (2007). Interactions Between Emotion Regulation Strategies and Affective Style:
Implications for Traits Anxiety Versus Depressed Mood. Journal Hunter College, 200-
207. DOI. 10.1007/s11310079069.
Eisenberg, N. (2000). Emotion, Regulation, and Moral Development. Annual Review
Psychology.
Willig, Carla. (2013). Introducing Qualitative Research In Psychology Third Edition. New
York: Open University Press
Gross, J, J. (2002) Emotion Regulation: Affective, Cognitive, and Social Consequences. Society
for Psychophysiological Research, Vol. 1(1), Hal. 281-291. DOI:
10.10.17.S0048577201393198.
Gross, J.J.& John, Oliver. P. (2004). Healthy and Unhealthy Emotion Regulation: Personality
Processes, Individual Differences, and Life Span Develompment. Journal of
Personality.
Gross, J.J.(2007). Handbook of Emotion Regulation. New York: The Guilford Press.
Gross, J. J. Adn Jazaieri, H. (2014). Emotion, Emotion Regulation, and Psychopathology: An
Affective Science Perspective. Clinical Psychological Science 2014, Vol. 2(4) 387-401.
Hasanah, D, N. (2010). Hubungan Self Efficacy dan Regulasi Emodi dengan Kenakalan Remaja
pada Siswa SMPN 7 Klaten. Skripsi. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Harlock, E. B. (2009) Perkembangan Anak. Jakarta: Airlangga.
Hayes, Eileen. (2003). Tantrum Panduan Memahami Dan Menangani Ledakan Emosi Anak.
(Alih Bahasa: Hamiyn Octopus). Jakarta: Erlangga.
Kristi, E, P. (2017). Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Depok: LPSP3
Universitas Indonesia.
Lane, A., M., Bucknall, G., Davis, P, A., & Beedie, C, J. (2012). Emotions and Emotion
Regulation Among Novice Military Parachutists. Journal of Military Psychology, Vol.
24(1), Hal. 331-345. DOI: 10.1080/08995605.2012.678244
Martin, S. E., Clements, M. L., & Crnic, K. A. (2002). Maternal Emotions During Mother-
Toddler Interaction: Parenting in Affective Context. Parenting, 2(@), 105-26. DOI:
10.1207//s15327922par0202_02.
Nevid, J. S., Rathus, S. C., &Greene, B. (2005). Psikologi Abnormal jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Semmel, R, A. (1994). Emosi Bagaimana Mengenal, Menerima dan
mengarahkannya.Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Sugiyono. (2014). Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sundberg. D, Winebarger, A. & Taplin, R. (2007). Psikologi Klinis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Smith, Jonathan A. (2009). Psikologi Kualitatif Panduang Praktis Metode Riset. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Syahadat, Yustisi Maharani. (2013). Pelatihan Regulasi Emosi Untuk Menurunkan Perilaku
Agresif Pada Anak. Jurnal Psikologi Indonesia, 10, 20-36.
Syam, Subhan. (2013).Hubungan Pola Asuh Terhadap Kejadian Temper Tantrum Anak Usia
Toddler Di PAUD Dewi Kunti Surabaya. Jurnal Promkes. Vol. 1, No. 2 Desember
2013:164-169.
Tandry, N. (2010). Bad Behaviour, Tantrums, and Tempers. Jakarta: PT Elex Media
Komputindo.
Victoria, Ting., & Jonathan, A, Weiss (2017). Emotion Regulation and Parent Co-Regulation
in Children with Autism Spectrum Disorder. J Autism Dev Disord. Retrieved from
Springerlink.com/ DOI 10.1007/s10803-016-3009-9
Wahib, Abdul. (2015). Konsep Orang Tua Dalam Membangun Kepribadian Anak. Jurnal
Paradigma. Vol. 2, No.1, ISSN 2406-9787.
Walgito, Bimo. (2010). Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta:Andi Offset.
Zimmermann, P.. &Thomson Ross A. (2014). New Direction in DevelopmentalEmotion
Regulation Research Across the Life Span: Introductiob to Thr Special Section.
International Journal of Behavioral Development 2014, vlo. 38 (2) 139-141.

You might also like