You are on page 1of 17

Jurnal Psikologi Talenta Mahasiswa

Volume 1, No 2, Oktober 2021


e-ISSN 2807-789X

Strategi Regulasi Emosi Pada Remaja Yang


Memiliki Orangtua Overprotective

Muhliza Amalia1*, Muhammad Daud2 & Kurniati Zainuddin3


1,2,3
Fakultas Psikologi, Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, Indonesia
*
E-mail: muhlizaamalia@gmail.com

Abstract
Overprotective behavior of parents is the behavior of excessive protection with the
intention of protecting children from the dangers of the outside world. Overprotective
behavior of parents can trigger behavioral and emotional impacts on children’s
development as adolescents. Adolescents feel uncomfortable and feel depressed, which
triggers negative emotional reactions. Emotional regulation strategies can be a way
for adolescents to learn to manage negative emotions and regain emotional stability.
The purpose of this research is to determine how adolescents who have overprotective
parents manage their emotions using emotional regulation strategies. This research is
qualitative research using a phenomenological approach. There are three respondents
in this research and obtained through the purposive sampling technique. The results of
this research indicate that the overprotective behavior of parents has an impact on
behavior change and negative emotional reactions. Emotional reactions of anger,
sadness and even fear are felt by adolescents. Emotional regulation strategies can be
a way for adolescents to deal with negative emotions that arise. Regulatory strategies
in the form of telling stories with the closest people, directing thoughts towards a more
positive direction, doing activities in the room, pondering, and daydreaming are
strategies used in overcoming emotional reactions that arise. Lack of ability to manage
emotions and use inappropriate emotional regulation strategies can lead to thoughts
of wanting to die and maladaptive behavior. The right emotional regulation strategy
used can help to provide emotional stability for adolescents.

Keyword: Adolescents, Emotion, Emotional Regulation Strategies, Overprotective


Parents
Abstrak
Perilaku overprotective orangtua merupakan perilaku perlindungan berlebihan
dengan maksud melindungi anak dari bahaya dunia luar. Perilaku overprotective
orangtua dapat menjadi pemicu munculnya dampak perilaku maupun dampak
emosional bagi perkembangan anak sebagai remaja. Remaja merasakan tidak nyaman
serta perasaan tertekan sehingga memicu munculnya reaksi emosi negatif. Strategi
regulasi emosi dapat menjadi cara remaja untuk belajar dalam mengatasi emosi
negatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana remaja
mengatasi perilaku overprotective orangtua dengan menggunakan strategi regulasi
emosi. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan
fenomenologi. Responden penelitian berjumlah tiga orang dan diperoleh melalui
teknik purposive sampling. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa perilaku
overprotective orangtua memberikan dampak pada reaksi emosi negatif serta
perubahan perilaku. Reaksi emosi marah, sedih, bahkan rasa takut dirasakan oleh
remaja. Strategi regulasi emosi dapat menjadi cara remaja dalam mengatasi emosi
negatif yang muncul. Strategi regulasi berupa bercerita dengan orang terdekat,
mengarahkan pikiran kearah lebih positif, melakukan aktifitas dikamar, merenung dan
melamun merupakan strategi regulasi emosi yang digunakan remaja. Kurangnya
kemampuan dalam mengelola emosi dan menggunakan strategi regulasi emosi yang
kurang tepat dapat mengarah pada pemikiran ingin mati dan perilaku maladaptif.
Strategi regulasi emosi yang tepat digunakan dapat membantu memberikan kestabilan
emosi bagi remaja.

Kata kunci: Emosi, Orangtua Overprotective, Remaja, Strategi Regulasi Emosi

PENDAHULUAN
Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama bagi anak dalam mendapatkan
pendidikan dan bimbingan yang dapat memengaruhi pertumbuhan baik secara jasmani maupun
rohani. Keluarga adalah yang terdiri dari Ayah, Ibu dan anak (Khoiriyah, 2015). Orangtua
merupakan Ayah dan Ibu yang memiliki peran kuat bagi proses perkembangan seorang anak.
Orangtua memiliki peranan penting dalam memperhatikan setiap proses perkembangan anak,
salah satunya pada periode perkembangan masa remaja.
Masa remaja merupakan masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Masa
remaja merupakan periode perkembangan yang ditandai dengan terjadinya berbagai perubahan
besar. Periode perkembangan pada masa remaja sangat dipengaruhi oleh lingkungan sekitarnya,
termaksud pada lingkungan keluarga. Orangtua menjadi sarana utama yang paling berpengaruh
dan bertanggung jawab dalam perkembangan remaja, baik secara fisik maupun psikis.
Perilaku pengasuhan orangtua yang tidak tepat dapat menjadi pengaruh pada hubungan
negatif yang memengaruhi perkembangan remaja. Guttman dan Eccles (2007) mengemukakan
bahwa pada masa remaja ada peningkatan orangtua ingin terlibat dalam kehidupan anak yang
tidak memenuhi kebutuhan terhadap tugas perkembangan remaja. Terdapat orangtua yang
memberikan perhatian dan dukungan serta kontrol yang tinggi kepada remaja. Perilaku tersebut
dikenal sebagai orangtua overprotective.
Lubbe, Mancini, Kiel, Spangler dan Fussner (2016) mengemukakan bahwa orangtua yang
overprotective seringkali menginginkan terlibat dengan kehidupan anak untuk melindungi dari
segala bahaya negatif dan membantu untuk mencapai kesuksesan. Petegem, Antonietti, Nunes,
Kins, dan Soenens (2019) mengemukakan bahwa bahkan selama masa remaja orangtua masih
cenderung melakukan berbagai tindakan overprotective. Beberapa tindakan yang dilakukan

28
orangtua diantara lain, memberikan bantuan dalam memecahkan masalah walaupun anak tidak
memintanya, menghubungi anak-anak secara berlebihan, mengganggu privasi, serta terus
menerus memperingatkan bahaya potensial dan keselamatan.
Clarke, Cooper, dan Creswell (2013) mengemukakan bahwa orangtua yang melakukan
perilaku pengasuhan perlindungan berlebihan akan melakukan berbagai penghindaran terhadap
anak. Orangtua akan membatasi ruang gerak anak dalam mengembangkan keterampilannya dan
kepercayaan diri dalam meningkatkan potensinya. Perilaku overprotective orangtua juga dapat
diketahui dengan cara mengukur seberapa besar perilaku overprotective orangtua dengan
menggunakan skala pengukuran parent protection scale by Thomsgard, Shonkoff, Metz &
Edelbrock (1995). Walker dan Nelson (2012) mengemukakan bahwa beberapa perilaku
overprotective orangtua berupa pemberian batasan waktu diluar rumah, mencegah perilaku
mandiri, serta membantu memecahkan masalah anak untuk menghindari hambatan pada
remaja.
Berdasarkan hasil pengumpulan data awal yang dilakukan melalui wawancara awal terhadap
dua orang responden remaja yaitu L dan N mengaku mendapatkan perilaku overprotective dari
orangtua. Responden L mengaku orangtua secara terus menerus menghubungi L tiap 30 menit
ketika berada diluar rumah untuk memastikan kondisinya, L juga mengaku orangtuanya sangat
sering bertanya secara detail sehingga tidak dapat memberikan privasi kepada L, pada setiap
masalah yang dimiliki L orangtua juga selalu ingin terlibat, L juga mengaku bahwa orangtua
membatasi dan selalu memantau setiap lingkup pertemanan L, terutama dengan siapa L keluar
rumah. Responden N juga mengaku mendapatkan perilaku overprotective dari orangtuanya. N
mengaku bahwa orangtua sangat membatasi dan memantau lingkup pertemanan yang membuat
N merasa tidak dapat berteman secara bebas. Orangtua juga secara terus menerus menghubungi
N ketika berada diluar rumah untuk memastikan kondisi dan posisi N. Dalam hal menyangkut
masa depan, orangtua N juga sering ikut membantu dalam menentukan dan memecahkan
masalah.
Gaya pengasuhan overprotective orangtua dapat berpengaruh terhadap perbedaan
perkembangan emosi remaja. Remaja yang memiliki orangtua overprotective rentang memiliki
reaksi emosi yang negatif akibat pengasuhan yang tidak sejalan dengan fase perkembangannya.
Remaja memerlukan upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan emosi, agar emosi
dapat terkontrol dan mengarah ke hal-hal yang positif. Salah satu cara penting untuk diterapkan
dalam menghadapi situasi emosional adalah regulasi emosi. Kemampuan meregulasi emosi
dengan baik dapat membantu individu dalam menghadapi ketegangan dalam kehidupan.
Regulasi emosi adalah bagaimana individu mengontrol emosi dari emosi apa yang dimiliki,

29
kapan dan bagaimana mengalami serta mengekspresikan emosi tersebut, (Gross, 1998).
Remaja yang memiliki orangtua overprotective dapat memiliki strategi regulasi emosi yang
berbeda sesuai dengan sudut pandang remaja dalam menyikapi perilaku orangtua yang
overproteticve. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Wenze, Pohoryles, dan DeCicco (2019)
yang mengemukakan bahwa remaja akhir lebih tinggi dalam menggunakan penekanan
(suppression) yang berfokus pada respons, dan lebih rendah dalam menggunakan penilaian
kognitif (reappraisal) yang berfokus pada anteseden dalam menghadapi orangtua yang
memiliki kontrol yang tinggi atau orangtua overprotective.
Berdasarkan hasil pemaparan dan hasil data awal diatas terdapat remaja yang mengalami
tekanan dan menimbulkan ketidaknyamanan sehingga sering memicu munculnya reaksi emosi
negatif akibat orangtua yang overprotective. Remaja yang memiliki orangtua overprotective
perlu untuk menjaga agar emosi tetap stabil dan mengelola emosi negatif dengan tepat agar
terhindar dari dampak-dampak negative seperti perilaku maladaptif. Remaja agar tetap pada
emosi yang stabil perlu memiliki kemampuan dalam strategi regulasi emosi yang tepat saat
menghadapi orangtua yang overprotective. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk
mengungkap strategi regulasi emosi pada remaja yang memiliki orangtua overprotective.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena informasi yang ingin dikumpulkan
adalah mengenai strategi regulasi emosi remaja yang memiliki orangtua overprotective.
Penelitian kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi dan memahami makna dari masalah
sosial atau kemanusiaan yang dialami sejumlah individu atau sekelompok orang. Penelitian
kualitatiif digunakan untuk mengumpulkan data-data dengan cara menganalisis data berupa
kata-kata, baik lisan maupun tulisan serta perbuatan manusia.
Metode atau jenis penelitian yang digunakan yaitu fenomenalogi, metode ini berfokus untuk
menjelaskan situasi yang dialami oleh individu dalam kehidupannya sehari-hari. Metode ini
dilakukan dengan mengkaji suatu gejala dari proses situasi pengalaman yang dialami individu
sampai menggambarkannya seperti yang sebenarnya terjadi. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana gejala itu dialami dalam proses terjadinya pengalaman yang dimiliki
responden penelitian sehingga dapat mencapai tujuan penelitian yang ingin diketahui.
Penelitian ini berusaha mengungkap strategi regulasi emosi pada remaja yang memiliki
orangtua overprotective. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel yang
digunakan peneliti untuk mendapatkan responden penelitian. Purposive sampling digunakan
oleh peneliti agar mendapatkan responden penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian.

30
Penelitian ini dilakukan kepada 3 remaja perempuan yang memiliki orangtua overprotective,
yang orangtua nya memenuhi hasil skor dari skala parent protection scale by Thomsgard,
Shonkoff, Metz & Edelbrock (1995). Responden penelitian berada di Kota Makassar.
Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara.
Wawancara merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara bertatap muka
dan mengajukan beberapa pertanyaan umum dan terbuka. Tujuan wawancara dalam penelitian
ini untuk mengumpulkan beberapa informasi dari responden terkait dengan strategi regulasi
emosi remaja yang memiliki orangtua overprotective dengan cara mengajukan beberapa
pertanyaan.
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis Model Miles
dan Huberman. Teknik analisis data memiliki tiga tahap yaitu reduksi data, model data, dan
penarikan kesimpulan. Reduksi data adalah suatu bentuk analisis yang mempertajam, memilih,
memfokuskan, membuang, dan menyusun data dalam suatu cara dimana kesimpulan akhir
dapat digambarkan dan diverifikasikan. Reduksi data dilakukan agar peneliti dapat melakukan
pengkodean terhadap data-data yang telah didapatkan. Model data merupakan hasil dari reduksi
data yaitu sekumpulan informasi yang disusun menjadi bentuk yang praktis sehingga peneliti
dapat melihat apa yang terjadi dan dapat dengan baik menggambarkan kesimpulan. Bentuk
model data dalam penelitian ini merupakan matriks yang digunakan untuk mengkategorisasikan
data dan menyusunnya dalam bentuk narasi. Penarikan kesimpulan merupakan teknik analisis
data yang terakhir. Kesimpulan yang didapatkan dalam penelitian ini harus sesuai dengan
kondisi responden penelitian agar terhindar dari bias subjektivitas dalam diri peneliti.
Teknik verifikasi data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Triangulasi. Triangulasi
adalah proses untuk meningkatkan akurasi penelitian dari berbagai sumber data penelitian.
Triangulasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data dari berbagai sumber agar hasil
wawancara, observasi, dan dokumentasi dapat dianalisis seutuhnya. Proses triangulasi dalam
penelitian ini dengan memberikan orangtua responden penelitian berupa skala parent
protection scale by Thomsgard, Shonkoff, Metz, & Edelbrock (1995), untuk mengukur sejauh
mana orangtua berperilaku overprotective terhadap responden penelitian.

HASIL

1. Latar belakang responden


Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa responden memiliki orangtua yang
overprotective. Perilaku overprotective yang dilakukan Ayah PC pun membuat PC sering
merasakan reaksi sedih, kesal, bahkan rasa takut. Namun, dari reaksi tersebut PC memilih untuk

31
mengontrolnya dengan melakukan berbagai tindakan untuk menurunkan emosi negatif. PC
mengungkapkan bahwa ketika reaksi emosi negatif muncul, PC lebih memilih untuk
menghindar dari Ayahnya. Tidak jarang juga PC lebih memilih untuk bercerita ke ibu atau ke
kakaknya tentang apa yang dia rasakan dan mengajak kakaknya bermain. PC juga
mengungkapkan bahwa untuk mengatasi reaksi emosi negatif tersebut, PC mengubah
pikirannya kearah yang lebih positif. PC mengaku lebih berpikir bahwa perilaku overprotective
Ayahnya dilakukan demi kebaikan PC. Tidak jarang juga PC lebih memilih untuk
menyembunyikan ekspresi emosi negatif yang dirasakan dengan masuk kedalam kamar dan
memendam perasaannya. Walaupun hal tersebut dapat mengalihkan reaksi emosi negatif pada
PC, tetapi tidak sepenuhnya dapat mengurangi pengalaman emosi negatif yang dapat membuat
masalah terus menumpuk dan tidak terselesaikan.
Perilaku overprotective orangtua membuat AA sering merasakan dampak emosi negatif
yang membuat tidak nyaman. Reaksi emosi seperti amarah dan kesedihan sering dirasakan AA.
AA mengungkapkan ketika perilaku overprotective orangtua memicu munculnya emosi negatif
pada dirinya, AA lebih sering memilih untuk memendam dan menyembunyikan ekspresi emosi
negatif dari kedua orangtuanya. AA lebih sering memilih masuk kekamarnya melakukan
berbagai aktifitas, memendam perasaan negatif yang dirasakan daripada menunjukkan ke
orangtuanya. Bercerita ke teman terdekat juga dilakukan AA sebagai salah satu cara untuk
menstabilkan emosi negatif yang dirasakan. AA juga mengungkapkan bahwa lebih sering
mengalihkan pikirannya pada hal yang menyenangkan. Hal tersebut juga menjadi salah satu
cara pengalihan AA ketika merasa tidak nyaman akibat perilaku overprotective orangtua.
Perilaku overprotective yang dilakukan orangtua ET pun memberikan dampak perilaku
maupun dampak emosional baginya. ET mengungkapkan bahwa tidak dapat menikmati masa
SMA nya sebagai remaja akibat perilaku overprotective yang mulai dilakukan oleh Ibunya.
Dampak lainnya, ET juga mulai tertutup dengan orangtua dan lebih memendam apa yang dia
rasakan. Perilaku overprotective yang dilakukan orangtuanya juga membuat ET memiliki
lingkup pertemanan yang sempit. Akibatnya Ibu ET mulai membatasi dan memantau dengan
siapa saja ET berteman dan bergaul saat berada diluar rumah. Ketika di sekolah tidak jarang
ET menjadi tidak fokus pada pelajarannya, pada saat perilaku overprotective orangtua
memengaruhi pikirannya. Hal tersebut sering menimbulkan tidak nyaman bagi ET. Perilaku
overprotective Ibunya sering memicu reaksi emosi negatif, seperti reaksi emosi amarah,
kesedihan bahkan rasa takut. ET juga mengungkapkan bahwa perilaku overprotective Ibunya
sering membuatnya menangis dan sampai terlintas pikiran ingin mati.

32
2. Deskripsi hasil análisis data

Berdasarkan hasil analisis data yang dilakukan, maka peneliti menemukan sejumlah
kesimpulan. Kesimpulan yang telah teridentifikasi akan diruaikan oleh peneliti sebagai jawaban
dari pertanyaan penelitian yang dijelaskan sebagai berikut:

2.1. Dampak overprotective orangtua pada remaja


Berdasarkan hasil dari pemaparan deskripsi responden diatas dapat ditarik sejumlah
kesimpulan mengenai dampak overprotective orangtua pada remaja, baik dampak pada
emosional maupun perilaku:

a. Dampak reaksi emosi yang muncul pada remaja


Reaksi emosi yang muncul pada responden merupakan respon yang dialami akibat
rangsangan dari situasi saat perilaku overprotective orangtua memengaruhi responden. Reaksi
emosi yang dirasakan responden merupakan emosi-emosi negatif. Reaksi emosi yang dirasakan
dari setiap responden memiliki beberapa kesamaan. Dalam hal ini reaksi emosi yang muncul
adalah sebagai berikut:
1) Reaksi emosi sedih dan putus asa yang dirasakan oleh responden termaksud dalam bentuk
emosi kesedihan. Perilaku overprotective orangtua yang dilakukan kepada responden sering
memicu dan merangsang munculnya reaksi emosi sedih dan putus asa. Berdasarkan hasil
wawancara maka dapat disimpulkan bahwa perilaku overprotective orangtua dapat menjadi
pemicu munculnya reaksi emosi sedih dan putus asa pada responden. Reaksi emosi sedih
pun dapat mendorong responden untuk berperilaku menangis. Reaksi sedih yang dirasakan
juga membuat responden tidak leluasa untuk bermain bersama teman-temannya.
2) Reaksi emosi marah dan jengkel yang dirasakan oleh responden termaksud didalam bentuk
emosi amarah. Reaksi emosi benci dan kesal sering dirasakan responden akibat merasa tidak
nyaman dengan perilaku overprotective yang didapatkan. Berdasarkan hasil wawancara
dapat disimpulkan bahwa perilaku overprotective yang dilakukan orangtua kepada
responden memicu reaksi emosi kesal hati dan jengkel pada responden. Reaksi emosi ini
sering terjadi kepada responden dan mendorong responden untuk berperilaku menangis
hingga pasrah dengan keadaan.
3) Rasa takut merupakan bentuk emosi lainnya yang didalamnya terdapat takut, gelisah, dan
cemas. Perilaku overprotective orangtua menjadi pemicu munculnya reaksi emosi seperti
takut, gelisah hingga cemas. Reaksi ini sering dirasakan oleh responden dengan orangtua

33
overprotective. Berdasarkan wawancara dapat disimpulkan bahwa perilaku overprotective
jelas menjadi pemicu rangsangan munculnya reaksi emosi takut, gelisah hingga cemas yang
dirasakan oleh responden. Reaksi emosi ini pun mendorong responden sering berperilaku
menangis hingga berpikir ingin mati akibat tidak dapat menahan perilaku overprotective
orangtua. Pentingnya kemampuan dalam mengelola emosi untuk dimiliki setiap responden
agar dapat menyalurkan emosi yang dirasakan dengan tepat. Kemampuan mengelola emosi
yang dimiliki juga dapat menghindarkan responden dari perilaku menyimpang yang tidak
diinginkan.

b. Dampak perubahan perilaku


1) Tidak leluasa untuk melakukan hal yang diinginkan. Perilaku overprotective orangtua dapat
memberikan dampak tersendiri bagi responden. Responden yang mendapatkan perilaku
overprotective tidak leluasa dalam mengembangkan diri sebagai remaja. Tidak leluasa dalam
mengembangkan diri akibat perilaku overprotective orangtua dapat menghambat responden
untuk mengembangkan kreativitasnya sesuai dengan minat dan hobinya, perilaku
overprotective orangtua membuat responden merasa tertekan karena tidak bebas dalam
mengekspresikan diri dan melakukan sesuatu yang diinginkan. Perilaku overprotective
orangtua juga dapat menghambat remaja untuk mengembangkan diri sesuai dengan
kemauannya. Hal ini dapat menimbulkan reaksi yang tidak nyaman seperti marah dan sedih.
2) Dampak perilaku overprotective orangtua selanjutnya yaitu membuat responden tertutup
dengan lingkungan sekitar. Perilaku overprotective yang didaptkan membuat responden
dapat tertutup kepada orangtua maupun teman-teman sebayanya, sehingga tidak leluasa
dalam mengutarakan pendapatnya serta mengembangkan hal yang disukai. Perilaku
overprotective yang dilakukan orangtua dapat membuat responden menjadi tertutup dengan
teman-teman sebaya maupun orang baru yang ditemui. Perilaku overprotective juga dapat
membuat responden menjadi tertutup kepada orangtua.
3) Membandingkan diri merupakan salah satu dampak dari perilaku overprotective orangtua
yang dirasakan oleh responden. Responden yang tidak terbiasa diberikan kepercayaan akan
menjadikan tidak kuat mental dan membuat responden akhirnya membandingkan diri
mereka dengan teman-temannya yang memiliki keluarga yang lebih baik. Perilaku
overprotective orangtua dapat membuat remaja merasa tidak dipercaya oleh orangtua
sendiri. Ketidakpercayaan yang dirasakan responden membuat responden membandingkan
diri dengan teman-teman sebayanya yang mendapatkan kebebasan dari orangtua mereka.

34
4) Perilaku overprotective orangtua yang membatasi dan mengawasi lingkup pertemanan
responden membuat lingkup pertemanan menjadi sempit. Responden hanya berteman
dengan orang pilihan orangtuanya. Responden merasa tidak leluasa akibat pertemanan yang
selalu dipantau oleh orangtua, akibatnya responden tidak dapat berkembang lebih baik.
Membatasi pergaulan anak juga dapat memberikan dampak pada ruang lingkup pertemanan
yang sempit. Responden akan merasa takut untuk membentuk lingkup pertemanannya
sendiri. Responden akan merasa tidak nyaman dan tidak bebas akibat selalu dipantau oleh
orangtua.
5) Perilaku overprotective orangtua dapat menimbulkan dampak untuk memicu perilaku
memberontak pada responden. Responden yang merasa tidak nyaman akibat perilaku
overprotective orangtua akan mengakibatkan perilaku memberontak. Responden tidak segan
untuk berbohong akibat perilaku overprotective yang sangat membatasi. Responden juga
akan merasa tidak betah dan ingin pergi dari rumah akibat orangtua yang overprotective.
Perilaku oveprotetcive orangtua dapat membuat responden memberontak dengan perilaku
berbohong hingga merasa tidak betah berada dirumah sendiri. Responden akan merasa
terkekang akibat perilaku overprotective orangtua dan menimbulkan reaksi emosi sedih pada
responden.

2.2. Strategi regulasi emosi remaja


Strategi regulasi emosi merupakan strategi yang dapat dilakukan untuk mengatasi emosi
yang muncul. Dalam mengatasi reaksi emosi yang muncul, responden akan melakukan berbagai
strategi regulasi emosi yang sesuai dengan keinginan responden.
a. Bercerita dan mengajak bermain orang terdekat menjadi salah satu cara responden dalam
mengatasi perilaku overprotective orangtua yang muncul. Kehadiran orang terdekat seperti
saudara dan teman menjadi dukungan tersendiri bagi responden. Bercerita kepada saudara
atau teman dapat memberikan ketenangan bagi responden dan dapat memberikan kestabilan
emosi pada responden. Bermain dengan saudara juga menjadi salah satu cara yang
digunakan responden dalam mengatasi reaksi emosi akibat perilaku overprotective orangtua.
b. Mengarahkan pikiran kearah lebih positif merupakan cara responden dalam menilai situasi
yang dialami untuk mengubah siginifikansi emosinya. Responden dalam hal ini mengubah
penilaiannya secara positif terhadap situasi yang didapatkan akibat perilaku overprotective
orangtua. Responden mengarahkan pikiran kearah lebih positif untuk melihat suatu kejadian
lebih positif. Responden mengubah atau mengarahkan situasi yang dipikirkan merupakan
usaha dalam hal mengurangi pengaruh emosional yang dirasakan.

35
c. Mengikuti batasan dari orangtua merupakan salah satu cara responden dalam mengatasi
reaksi emosi yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua. Responden memilih
mengikuti batasan dari orangtua untuk menyembunyikan reaksi emosi yang dirasakan. Hal
tersebut dilakukan untuk menghindari konflik dengan orangtua. Responden lebih memilih
untuk menerima segala batasan untuk menyembunyikan reaksi emosi yang dirasakan.
Walaupun dengan menerima segala batasan dari orangtua, hal tersebut tidak dapat
menyelesaikan masalah, namun menekan reaksi emosi yang dimiliki oleh responden.
d. Mengurung dan menyibukkan diri dalam kamar menjadi cara selanjutnya yang dilakukan
responden dalam mengatasi reaksi emosi yang muncul akibat perilaku overprotective
orangtua. Responden yang terbatas keluar rumah menjadikan kamar sebagai salah satu
tempat untuk menyembunyikan reaksi emosi yang dirasakan dari orangtua. mengurung diri
didalam kamar dan melakukan berbagai aktifitas tertentu menjadi cara yang digunakan
responden dalam menyembunyikan reaksi emosi yang muncul akibat perilaku
overprotective orangtua. Ketika perilaku overprotective orangtua memicu reaksi emosi
negatif, responden akan masuk kedalam kamar melakukan berbagai aktifitas yang dapat
menekan emosi negatif yang dirasakan. Walaupun hal tersebut tidak dapat menyelesaikan
masalah pada perasaan yang tidak nyaman, tetapi dapat memberikan kestabilan emosi
sementara bagi responden.
e. Merenung, melamun dan mengatur penapasan merupakan cara responden dalam mengatasi
reaksi emosi negatif yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua yang dapat
memengaruhi responden. Responden memilih untuk menyembunyikan ekpresi emosi
negatif yang dilakukan dengan cara merenung, melamun hingga mengatur pernapasan.
Merenung, melamun bahkan mencoba mengatur pernapasan ketika perilaku overprotective
orangtua memicu reaksi emosi negatif pada responden. Responden menyembunyikan
perasaan yang dirasakan didepan orangtua dengan menekan ekspresi emosi negatif didepan
orangtua maupun teman-temannya.

DISKUSI
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan oleh peneliti terhadap ketiga responden, maka
akan lebih lanjut dibahas mengenai bagaimana strategi regulasi emosi responden yang memiliki
orangtua overprotective. Pembahasan lebih lanjut akan dipaparkan sebagai berikut:
1. Dampak reaksi emosi yang muncul pada remaja
Orangtua yang overprotective tentu sangat memengaruhi perkembangan responden sebagai
remaja. Perilaku-perilaku overprotective yang diberikan orangtua terhadap responden sering

36
kali memicu munculnya reaksi emosi-emosi negatif. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan
bahwa ketiga responden mengaku perilaku overprotective yang dilakukan orangtua sering
memicu reaksi marah, sedih, bahkan rasa takut. Yusuf (2017) mengemukakan bahwa emosi
adalah warna afektif yang menyertai setiap keadaaan atau perilaku individu. Senada dengan
pendapat Sarwono (Yusuf, 2017) mengemukakan bahwa warna afektif yang dimaksud adalah
perasaan tertentu yang dialami individu pada situasi tertentu, seperti perasaan gembira, bahagia,
putus asa, terkejut serta benci. Hasil penelitian juga menunjukkan reaksi emosi yang dialami
responden terpicu ketika perilaku overprotective orangtua dapat memengaruhi responden dalam
melakukan kegiatan yang diinginkan. Gross (2002) mengemukakan bahwa emosi muncul
ketika sesuatu yang penting bagi individu sedang terancam, emosi terkadang akan terpicu
secara otomatis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, dua dari ketiga responden mengaku merasakan emosi
negatif yang mengarah pada kesedihan. Responden merasa tidak dapat secara bebas dalam
melakukan kegiatan yang diinginkan akibat perilaku overprotective orangtua. Hal tersebut
akhirnya menjadi pemicu maupun sebuah rangsangan munculnya emosi sedih hingga berkecil
hati. Perilaku overprotective orangtua yang sangat membatasi dan memantau secara berlebihan
setiap kegiatan responden, membuat responden merasakan reaksi emosi negatif yaitu amarah.
Responden merasa jengkel hingga muncul rasa ingin menangis ketika mendapatkan perilaku
overprotective dari orangtua. Rasa takut bahkan dirasakan dua dari ketiga responden akibat
terbiasa dengan perilaku overprotective yang didapatkan dari orangtua. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa perilaku overprotective orangtua sering menjadi pemicu
munculnya berbagai reaksi emosi negatif pada responden penelitian. Wenze, Pohoryles, dan
DeCicco (2019) merangkum dalam penelitiannya bahwa remaja yang melaporkan mendapatkan
perilaku perlindungan berlebihan serta keterlibatan yang tinggi membuat remaja mengarah
pada gejala-gejala kecemasan umum, kecemasan sosial, hingga depresi. Sehingga kecemasan
dan depresi yang terjadi memungkinkan akibat adanya kesulitan dalam memproses maupun
mengatur emosi yang muncul secara efektif. Pentingnya kemampuan dalam melakukan
pengembangan emosi terhadap kesulitan yang dialami untuk mencegah adanya gangguan lain.
2. Dampak perubahan perilaku
Perilaku overprotective orangtua selain memberikan dampak emosional pada responden
juga memberikan dampak pada perubahan perilaku. Responden mengakui bahwa perilaku
overprotective yang didapatkan dari orangtua memberikan pengaruh pada perkembangan
responden sebagai remaja. Ketiga responden mengakui mendapatkan dampak tersendiri akibat

37
perilaku overprotective orangtua. Perilaku overprotective orangtua membuat responden tidak
dapat dengan leluasa melakukan hal yang diinginkan sebagai remaja. Perilaku overprotective
orangtua juga membuat responden tidak puas dengan kehidupan keluarganya sehingga sering
membandingkan diri dengan teman-temannya. Lingkup pertemanan responden juga
terpengaruh akibat orangtua membatasi pergaulan responden hanya boleh berteman dengan
orang tertentu maupun teman pilihan dari orangtua. Wenze, Pohoryles, dan DeCicco (2019)
mengemukakan bahwa pengasuhan yang melibatkan perlindungan berlebihan pada anak dapat
memengaruhi kepuasaan hidup yang lebih rendah, motivasi akademik maladaptif, serta
hubungan teman sebaya yang buruk.
3. Strategi regulasi emosi
Strategi regulasi emosi yang dilakukan responden penelitian bertujuan untuk mengatasi
reaksi emosi negatif yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua. Gross dan John
(2003) mengemukakan bahwa strategi regulasi emosi adalah strategi yang digunakan individu
secara sadar maupun tidak sadar untuk menaikkan ataupun menurunkan komponen-komponen
seperti respon fisiologis, perilaku maupun perasan dari respon emosi yang terjadi. Kemampuan
dalam melakukan regulasi emosi menjadi penting agar individu dapat menjadi efektif untuk
melakukan coping pada setiap masalah yang sedang dihadapi. Hal tersebut juga menjadi
penting jika individu mampu untuk mengelola reaksi emosi negatif seperti sedih, marah, benci,
kecewa bahkan frustasi (Thompson, 1994).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden mampu untuk melakukan strategi
regulasi emosi pada saat reaksi emosi negatif muncul akibat perilaku overprotective orangtua
maupun melakukan strategi regulasi emosi sebelum respon emosi aktif. Responden penelitian
yang memiliki orangtua overprotective terkadang melakukan tindakan dalam mengevaluasi
maupun menekan reaksi emosi yang muncul. Berdasarkan hasil penelitian, terkadang
responden melakukan tindakan evaluasi isyarat emosi dengan cara mengubah pemikiran
mengenai perilaku overproteticve orangtua agar dapat mengurangi intensitas emosi yang akan
muncul. Selain itu, responden juga melakukan tindakan menekan reaksi emosi yang muncul
untuk menyembunyikan emosi negatif yang dirasakan didepan orangtua yang berperilaku
overprotective. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa terdapat dua regulasi emosi yang
terjadi pada awal tindakan dan pada akhir tindakan yaitu antecedent focused emotion regulation
dan response focused emotion regulation. Antecedent focused emotion regulation adalah
regulasi emosi yang mengacu pada hal-hal yang dilakukan sebelum kecenderungan respon
emosi diaktifkan sepenuhnya kemudian dapat merubah perilaku dan emosinya. Sedangkan,

38
response focused emotion regulation adalah regulasi emosi yang mengacu pada hal-hal yang
dilakukan individu setelah emosi muncul atau berlangsung.
Berdasarkan hasil penelitian, adapun dalam proses strategi regulasi emosi responden
melakukan berbagai upaya dalam meregulasi emosinya. Bercerita dan mengajak bermain orang
terdekat menjadi cara yang dilakukan responden dalam mengatasi perilaku overprotective
orangtua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden akan bercerita kepada saudara
maupun temannya mengenai hal tidak menyenangkan yang dirasakan akibat perilaku
overprotective dari orangtua. Salah satu responden juga mengaku bahwa sering mengajak
saudara bermain didalam rumah. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa modifikasi
situasi merupakan upaya dalam mengubah situasi untuk mengubah dampak emosionalnya.
Upaya yang dilakukan dalam modifikasi situasi tersebut merupakan penanganan yang berfokus
pada masalah (Gross, 1998). Dengan hadirnya orang terdekat seperti teman, saudara maupun
orangtua juga dapat memberikan intervensi pada responden.
Mengarahkan pikiran kearah lebih positif merupakan cara selanjutnya yang dilakukan
responden dalam menjaga reaksi emosi sebelum aktif. Hasil dari penelitian menunjukkan
bahwa, dua dari tiga responden yang mendapatkan perilaku overprotective mengaku bahwa
lebih memilih untuk mengarahkan pikiran mereka kearah yang lebih positif mengenai perilaku
overprotective orangtua. Responden menganggap bahwa perilaku overprotective orangtua
memiliki maksud yang baik dalam menjaga anak mereka. Responden lainnya mengarahkan
pemikirannya pada perubahan perilaku overprotective yang nantinya tidak akan dia lakukan
kepada penerusnya. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa perubahan kognitif
dilakukan dengan cara mengacu pada pemilihan situasi yang memiliki makna yang dapat
dilampirkan dari suatu kejadian. Individu melakukan penilaian kognitif agar dapat mengurangi
dampak emosional yang tidak diinginginkan.
Mengurung diri didalam kamar menjadi cara selanjutnya yang dilakukan responden dalam
mengatasi reaksi emosi negatif yang muncul akibat perilaku overprotective orangtua. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden sering memilih untuk masuk kedalam kamar
untuk menghindari orangtua ketika berperilaku overprotective. Hal tersebut dilakukan
responden akibat lebih memilih untuk merasakan sendiri emosi negatif yang dialami dan tidak
memperlihatkannya kepada orangtua. Dengan kata lain responden lebih memilih untuk
menekan respon emosi negative yang dimiliki. Merenung dan melamun juga menjadi cara
responden dalam menekan respon emosi negative yang dirasakan akibat perilaku overprotective
orangtua yang diterima. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa modulasi respon
merupakan regulasi emosi dengan cara melibatkan pengaturan emosi ekspresif dengan cara

39
menyembunyikan perasaan sesungguuhnya didepan orang lain. Hasil penelitian juga
menunjukkan bahwa, salah satu dari ketiga responden mengaku bahwa terkadang merasa
gemetar dan cemas ketika orangtua memberikan perilaku overprotective. Namun dari hal itu
responden memilih untuk mengontrol ekspresi emosi dengan mengatur pernapasannya. Suinn
dan Richardson (Gross & John, 2003) mengungkapkan bahwa perubahan respon merupakan
upaya yang dilakukan salah satunya dengan relaksasi untuk digunakan dalam mengurangi aspek
fisiologis dan pengalaman dari emosi negatif.
Responden yang memiliki orangtua overprotective mampu untuk mengevaluasi reaksi emosi
yang dialami, sehingga hal ini dapat secara efisien mengurangi dampak emosionalnya. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden lebih memilih untuk menilai sisi positif dari
perilaku overprotective orangtua. Responden penelitian juga cenderung melakukan pemusatan
ulang pada perencanaan. Dalam hal ini salah satu responden memikirkan langkah untuk
mengubah situasi yang lebih diharapkan. Gross (2002) mengemukakan bahwa individu
menggunakan strategi penilaian ulang kognitif (cognitive reappraisal) untuk mengurangi
pemaknaan situasi negatif menjadi netral dan terhindar dari perilaku maladaptif. Salah satu dari
ketiga responden mengaku perilaku overprotective orangtua pernah memicu pada pemikiran
ingin mati. Namun, responden masih memiliki ketakutan pada benda tajam dan mengarahkan
pikirannya dengan cara bercerita keteman terdekat. Hofmann, Heering, Sawyer dan Asnaani
(2009) mengemukakan bahwa dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa individu yang
menggunakan cognitive reappraisal dapat menjadi efektif dalam mengurangi rasa cemas yang
dirasakan.
Berdasarkan hasil penelitian, ketiga responden mampu untuk mengubah tindakan dalam
merespon reaksi emosi yang muncul, namun masih kurang dalam mengubah emosi negatif yang
dirasakan. Ketiga responden terkadang lebih memilih untuk menyembunyikan reaksi emosi
negatif yang dirasakan didepan orang lain terlebih didepan orangtua pada saat perilaku
overprotective sangat memengaruhi. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa individu
yang menggunakan strategi penekanan (expressive suppresion) cenderung tidak
memperlihatkan emosi yang dirasakan didepan orang lain. Expressive suppression dapat
terlibat secara aktif dalam menghambat penglaman emosi, baik secara verbal maupun
mengontrol ekspresi wajah sehingga emosi tidak dapat tersampaikan dengan baik (Keenan,
2013).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga responden ketika berada didepan orangtua yang
berperilaku overprotective akan menampilkan ekspresi emosi yang baik, namun kenyataannya
ketiga responden sedang merasakan reaksi emosi negatif seperti sedih, marah, bahkan rasa

40
takut. Gross dan John (2003) mengemukakan bahwa expressive suppression dapat menciptakan
perasaan ketidaksesuaian atau perbedaan antara apa yang dirasakan didalam diri dengan
ekspresi yang dikeluarkan. Hal tersebut dapat menimbulkan perasaan tidak jujur pada diri
sendiri dan menghambat perkembangan hubungan secara emosional dengan orang lain. Butler,
Tiane, dan Gross (2007) mengemukakan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan bahwa orang
Asia cenderung melakukan expressive suppression sebagai usaha dalam mencegah melakukan
tindakan yang tidak diinginkan maupun menjaga hubungannya dengan orang lain.

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dan tujuan yang ingin dicapai dalam
penelitian ini, maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Dampak reaksi emosi yang muncul pada remaja yang memiliki orangtua overprotective
berupa marah, sedih, takut, putus asa, jengkel, berkecil hati dan pasrah dengan perilaku
overprotective orangtua. Rentang waktu munculnya reaksi emosi remaja hampir sama.
Reaksi-reaksi emosi tersebut dialami oleh remaja ketika mendapatkan pemicu rangsangan
dari luar berupa perilaku overprotective orangtua.
2. Dampak perubahan perilaku yang terjadi pada remaja berupa menjadi lebih tertutup, tidak
bebas dalam melakukan hal yang diinginkan, membandingkan diri dengan teman sebaya
lainnya, lingkup pertemanan yang menjadi sempit, serta menimbulkan sikap pemberontak
seperti berbohong dengan orangtua maupun tidak betah didalam rumah.
3. Strategi regulasi emosi yang dilakukan remaja dengan orangtua overprotective yaitu strategi
regulasi yang terjadi pada awal tindakan maupun pada akhir tindakan yang berguna untuk
menurunkan maupun menghambat keluaran tanda-tanda emosi. Strategi regulasi emosi yang
digunakan yaitu berupa bercerita dan bermain dengan orang terdekat, mengarahkan pikiran
kearah lebih positif, mengikuti batasan dari orangtua, mengurung diri dan melakukan
aktifitas di dalam kamar, serta melamun dan merenung.

REFERENSI
Afrizal. (2014). Metode penelitian kualitatif: Sebuah upaya mendukung penggunaan penelitian
kualitatif dalam berbagai ilmu disiplin. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ali, M., & Asrori, M. (2017). Psikologi remaja perkembangan peserta didik. Jakarta: Bumi
Aksara.
Butler, E.A., Lee, T.L., & Gross, J.J. (2007). Emotion regulation and culture: Are the social
consequences of emotion suppression culture-specific? Emotion Regulation and Culture,
7(1). 30-48.
Chaplin, J.P. (2002). Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Chaplin, J.P. (2006). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

41
Clarke, K., Cooper, P., & Creswell, C. (2013). The parental overprotection scale: associations
with child and parental anxiety. Journal of Affective Disorders, 1(151). 618-624.
Creswell, J.W. (2012). Educational research: planning, conducting, and evaluating,
quantitative and qualitative research 4th edition. Boston: Pearson.
Darling, N. & Steinberg, L. (1993). Parenting style as context: An integrative model.
Psychological Bulletin, 113(3). 487-496.
Desmita. (2013). Psikologi perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Francesco, L. & Espinoza, J. (1999). The relationship of parental overprotection and parenting
stress to psychological distress in parents of childen with asthma and cystic fibrosis: a cross
illness comparison. (Thesis). South Africa: Bachelor of Arts in Psychlogy. Rand Afrikaans
University.
Ganaprakasam, C., Davaidass, K.S., Muniandy, S.C. (2018). Helicopter parenting and
psychological consequences among adolescent. International Journal of Scientific and
Research Publications, 8(1) 378-381. ISSN: 2250-315.
Guttman, L.M., & Eccles, S. J. (2007). Stage environment fit during adolescene: trajectories of
family relation and adolescent outcomes. Journal of Development Pscyhology, 43(2). 522-
537.
Gross, J.J. (1998). The emerging field of emotion regulation: an integrative review. Review of
general psychology, 2(3). 271-299.
Gross, J.J. (2002). Emotion regulation: Affective, cognitive, and social consequences. Society
for psychophysiological research, 39(2). 281-291.
Gross, J.J., & John, O.P. (2003). Individual diffrences in two emotion regulation processes:
implications for affect, relationships, and wellbeing. Journal of Personality and Social
Psychology, 85(2). 348-362.
Hasanah, U. (2016). Sikap overproteksi orangtua dan kematangan sosial anak. Jurnal An-Nafs
dan Penelitian Psikologi, 1(1). 133-150.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang
kehidupan (Edisi Kelima). Jakarta: Erlangga.
Hofmann, S.G., Heering, S., Sawyer, A.T., & Asnaani, A. (2009). How to handle anxiety: the
effects of reappraisal, acceptance, and suppression strategies on anxious arousal. Behavior
Research and Therapy, 47(1). 389-394.
Jojon, Wahyuni, T.P., & Sulasmini. (2017). Hubungan pola asuh overprotective orangtua
terhadap perkembangan anak usia sekolah di SDN Tlogomas 1 Kecamatan Lowokwaru
Malang. Jurnal Nursing News, 2(2). 524-535.
Keenan, N.K. (2013). Emotion regulation and health behavior: Effects of negative affect and
emotion regulation strategies on eating and smoking. Disertasi. USA: University of
Minnesota.
Khoiriyah, U. (2015). Peran keluarga menurut konsep perkembangan kepribadian perspektif
psikologi islam. Jurnal Al-Adyan, 10(1). 123-140.
Kusumaningtyas, L.E. (2015). Dampak overprotektif terhadap perkembangan kemandirian
anak. Jurnal Widya Wacana, 10(1)12. 1-12.
Luebbe, A.M., Mancini, K.J., Kiel, E.J., Spangler, B.K., Semlak, J.K., & Fussner, L.M. (2016).
Dimensionality of helicopter parenting and relations to emotional, decision making, and
academic functioning in emerging adults. Article. Hongkong: The University of Hongkong
Libraries.
Nessayan, A., Hosseini, B., & Gandomani, R.A. (2017). The effectiveness of emotion
regulation skills training on anxiety and emotional regulation strategies in adolescents
students. Practice in Clinical Psychology, 5(4). 263-270.
Petegem, S.V., Antonietti, J.P., Nunes, C.E., Kins, E., Soenens, B. (2019). The relationship
between maternal overprotection, adolescent internalizing and externalizing problems, and

42
psychological need frustration: a multiinformant study using response surface. Journal of
Youth and Adolescence, 1(1). 1-16.
Purwanto, N. (2009). Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Roberton, T., Daffern, M., & Bucks, R.S. (2012). Emotion regulation and aggression.
Aggression and Violent Behavior, 17(1). 72-82.
Santrock, J.W. (2003). Perkembangan remaja: Edisi keenam. Jakarta: Erlangga.
Santrock, J.W. (2007). Remaja edisi:kesebelas. Terjemahan oleh Benedictine Widyasinta.
Jakarta: Erlangga.
Thompson, R.A. (1994). Emotion regulation: a theme in search definition. Monographs of The
Society for Reasearch in Child Development, 59(2/3). 25-52.
Thomsgard, M. & Metz, M. P. (1999). Parental overprotection and its relation to perceived
child vulnerability. American Journal of Orthopsychiatry, 67(2). 330-335.
Walker, L.M.P., & Nelson, L.J. (2012). Black hawk down? Establishing helicopter parenting
as a distinct construct from other forms of parental control during emerging adulthood.
Journal of Adolescence, 1(35). 1177-1190.
Wenze, S.J., Pohoryles, A.B., DeCicco, J.M. (2019). Helicopter parenting and emotion
regulation in U.S. College students. Psi Chi Journal of Psychological Research, 24(4). 274-
289.
Yusuf, S. (2017). Psikologi perkembangan anak dan remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.

43

You might also like