You are on page 1of 18

Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia

I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

PENERAPAN PECKING ORDER THEORY DAN KAITANNYA DENGAN


PEMILIHAN STRUKTUR MODAL PERUSAHAAN PADA SEKTOR
MANUFAKTUR DI NEGARA INDONESIA DAN NEGARA AUSTRALIA

Iryuvita Januarizka Putri Radjamin


Bachelor Student of Management - Faculty of Economics and Business - Airlangga
University
e-mail: uv_2192@yahoo.com

I Made Sudana
Management Department - Faculty of Economics and Business - Airlangga University
e-mail: imadesudana@yahoo.co.id

Abstract

This study aimed to determine first , the difference between the capital structures in
Indonesian manufacturing company with in Australia , and secondly to determine whether
manufacturing companies in Indonesia and Australia applying the packing order theory in
determining the capital structure . The analysis model used is the comparative analysis
between the two groups of independent samples to determine differences in capital structure
manufacturing company in Indonesia with a capital structure of manufacturing companies in
Australia . Meanwhile, to determine whether manufacturing companies in Indonesia and
Australian applying packing order theory , used Shyam - Sunder and Meyers models . The
study was conducted on 42 Australian manufacturing companies and 33 manufacturing
companies in Indonesia, which is selected by purposive random sampling over the period
2006-20010 . The results showed a significant difference between capital structure
manufacturing companies in Indonesia and in Australia . Manufacturing companies in
Indonesia using long-term debt is relatively higher compared to manufacturing companies in
Australia . In addition, it was also found that in determining capital structure manufacturing
companies in Indonesia to implement packing order theory , while manufacturing companies
in Australia are not .

Keywords : Capital Structure, Deficit External Financing, Pecking Order Theory

451
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Pendahuluan

Salah satu keputusan penting yang dihadapi oleh manajer keuangan dalam menjaga
kelangsungan operasi perusahaan adalah keputusan pendanaan yang berkaitan dengan
pemilihan sumber dana yang akan digunakan untuk mendanai investasi yang tercermin dalam
struktur modal perusahaan. Manajer keuangan harus mampu menghimpun dana, baik yang
bersumber dari dalam perusahaan maupun dari luar perusahaan secara efisien, dalam arti
keputusan pendanaan tersebut merupakan keputusan pendanaan yang mampu meminimalkan
biaya modal yang harus ditanggung oleh perusahaan. Perbedaan karakteristik antar
perusahaan dan negara akan memengaruhi keputusan struktur modal suatu perusahaan.

Negara Australia dan Indonesia memiliki beberapa perbedaan mengenai kondisi ekonomi,
dan kebijakan yang ditetapkan. Di Indonesia, perusahaan dapat memperoleh kredit dari bank
asal memenuhi pedoman standar kebijakan perkreditan yang ditetapkan Bank Indonesia,
sedangkan di Australia kebijakan perkreditan ditetapkan oleh RBA. Berdasarkan data Badan
Pusat Statistik, suku bunga kredit di Indonesia sejak tahun 2006 terus menurun dari 15,36%
hingga 13,06% di tahun 2010, di Australia juga menunjukkan penurunan suku bunga dari
tahun ke tahun, tetapi masih lebih rendah dari Indonesia, yaitu 6.25% di tahun 2006 dan turun
menjadi 4.75% di tahun 2010. Tingkat suku bunga di Autralia jauh lebih rendah karena
inflasi di negara tersebut juga jauh lebih rendah. Jumlah bank di Indonesia mencapai 131
bank termasuk 7 bank milik pemerintah. Di Australia terdapat 62 bank, yang didominasi oleh
4 bank. Dilihat dari banyaknya bank, Indonesia memiliki lebih banyak alternatif sumber
pendanaan dari eksternal yaitu bank-bank tersebut. Dilihat dari suku bunga perusahaan di
Australia lebih diuntungkan dengan rendahnya suku bunga kredit sehingga memungkinkan
menggunakan utang sebagai sumber pendanaan.

Persaingan industri manufaktur di Indonesia juga semakin ketat, karena perkembangan


perusahaan manufaktur yang cukup pesat, dan banyaknya produk impor yang dengan
mudahnya masuk ke pasar Indonesia dan menjadi alternatif pilihan konsumen di Indonesia.
Maraknya produk-produk impor yang masuk secara ilegal di Indonesia juga menjadi
hambatan bagi perusahaan domestik untuk menguasai pasar. Meski di Australia tarif impor
juga termasuk rendah sebagai hasil dari perjanjian dagang dan potongan tarif unilateral, dan
pengawasan barang impor ilegal lebih ketat dibandingkan di Indonesia, sehingga perusahaan
domestik Australia tetap menguasai pasar.

Pentingnya pemilihan struktur modal dalam setiap perusahaan menyebabkan banyak


dikembangkannya teori-teori mengenai struktur modal. Teori yang dikaji pada penelitian ini
adalah pecking order theory, yang merupakan salah satu teori tentang struktur modal yang
menyatakan bahwa penggunaan dana internal lebih didahulukan dibandingkan dengan
penggunaan dana yang bersumber dari eksternal, namun ketika dana yang berasal dari laba
ditahan (retained earnings) masih belum mencukupi, maka perusahaan akan mencari
pendanaan dari eksternal, yaitu berupa utang dan alternatif terakhir adalah menerbitkan
saham.

Rata-rata rasio financial leverage perusahaan-perusahaan manufaktur di Australia yang


diukur menggunakan rasio utang jangka panjang terhadap total ekuitas cenderung lebih
rendah daripada rasio financial leverage perusahaan-perusahaan manufaktur di Indonesia
dalam periode 2006-2010 yaitu 75,85% di Indonesia dan 33,33% di Australia. Rasio tertinggi
452
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

financial leverage di perusahaan manufaktur Indonesia mencapai 101,9% di tahun 2009, dan
hanya 42,37% di perusahaan manufaktur Australia tahun 2008. Hal ini menunjukkan bahwa
struktur modal perusahaan di Indonesia secara relatif menggunakan utang jangka panjang
lebih banyak daripada perusahaan di Australia.

Hasil penelitian Singh dan Hamid (1992) dan Singh (1995) menemukan bahwa perusahaan di
negara berkembang cenderung lebih banyak menggunakan saham dibanding utang dalam
pendanaan perusahaan. Begitu pula dengan hasil penelitian Huang dan Song (2002) yang
meneliti keputusan financial leverage pada 799 perusahaan berprofitabilitas tinggi di Cina
memiliki utang yang rendah. Penelitian Huang dan Song (2002), Singh dan Hamid (1992),
dan Singh (1995) ini berbeda dengan yang terjadi di Indonesia yaitu penggunaan utang secara
relatif lebih banyak dibandingkan saham.

Di Indonesia, penelitian mengenai teori pecking order yang dilakukan Hutagaol (2002), pada
perusahaan non-keuangan dan non-properti yang terdaftar di BEI tahun 1994-1996. Hasil
penelitian menemukan bahwa teori pecking order dapat menjelaskan pengaruh defisit
keuangan terhadap penerbitan utang jangka panjang, dan perusahaan cenderung
menggunakan utang jangka panjang dibanding penerbitan saham.

Penelitian Huang dan Song (2002), mengemukakan bahwa struktur modal perusahaan di
negara berkembang tidak mengikuti teori pecking order berdasarkan model Shyam-Sunder
dan Myers (1999). Penelitian ini ingin mengetahui perbedaan kebijakan struktur modal
perusahaan manufaktur di Indonesia dan Australia, dan perusahaan di negara mana yang
mengikuti teori pecking order dalam menentukan kebijakan struktur modal.

Permasalahan

Berdasarkan pada fenomena yang telah dijelaskan pada pendahuluan, permasalahan yang
dikaji pada penelitian ini adalah:
1. Apakah terdapat perbedaan struktur modal antara perusahaan manufaktur di Indonesia
dengan perusahaan manufaktor di Australia ?
2. Apakah perusahaan manufaktur di Indonesia dan Australia menerapkan packing order
theory dalam menentukan struktur modal ?

Tinjauan Pustaka

Pengertian Stuktur Modal

Struktur modal adalah proporsi antara utang jangka panjang dengan modal sendiri perusahaan
yang tercermin pada neraca di sisi pasiva. Menurut Rodoni & Ali (2010) struktur modal
adalah proporsi pembiayaan permanen perusahaan menggunakan dana yang diperoleh dari
kombinasi yang utang jangka panjang, modal saham biasa, modal saham preferen, dan
akumulasi laba ditahan.

Menurut Bambang Riyanto (2001:22) struktur modal ini dibedakan dengan struktur finansial
(struktur keuangan). Struktur modal hanya merupakan sebagian dari struktur keuangan
perusahaan. Struktur keuangan adalah cara bagaimana perusahaan membiayai aktivanya,

453
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

yang terdiri dari utang jangka pendek, utang jangka panjang, dan modal pemegang saham.
Struktur modal adalah pembelanjaan permanen yang mencerminkan perimbangan antara
utang jangka panjang dengan modal sendiri.

......................................1)

Rasio diatas ini menunjukkan seberapa besar perbadingan utang jangka panjang dengan total
ekuitas. Semakin besar rasio ini mengindikasikan semakin besar penggunaan utang jangka
panjang dibandingkan dengan penggunaan ekuitas dalam pendanaan perusahaan, dan
sebaliknya. Setiap perusahaan berusaha untuk mencapai struktur modal yang optimal
supaya dapat memaksimalkan nilai perusahaan tersebut. Kombinasi tersebut akan
memengaruhi risiko keuangan perusahaan dan nilai perusahaan. Cassar, et al. (2003),
mengemukakan bahwa perusahaan yang telah mengalami pertumbuhan pesat akan
membutuhkan dana yang meningkat sejalan dengan tingkat pertumbuhan, untuk memenuhi
kebutuhan dana tersebut yang dapat dipenuhi dengan utang atau modal sendiri.

Teori Stuktur Modal

Teori struktur modal telah mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Perkembangan
teori struktur modal dimulai dari kemunculan The Net Income Approach (pendekatan
penghasilan bersih), The Net Operating Income Approach (pendekatan penghasilan
operasional bersih), dan Traditional Approach (pendekatan tradisional).

Pada tahun 1958, teori struktur modal mengalami perkembangan, dengan dikemukakannya
teori struktur modal modern oleh Franco Modigliani & Merton Miller (MM) yang
menggunakkan 2 proposisi. Munculnya teori MM ini sangat berguna bagi perkembangan
teori struktur modal, walaupun teori ini kurang relevan karena penggunaan asumsi pasar
modal sempurna, sedangkan pada kenyataannya pasar modal adalah tidak sempurna. Bukti
ketidaksempurnaan ini antara lain adalah adanya pajak, biaya transaksi, informasi yang tidak
simetris, adanya biaya kebangkrutan, dan terjadinya perubahan biaya utang ketika proporsi
jumlah hutang berubah (Husnan,2000). Oleh karena itu pengembangan teori struktur modal
selanjutnya dengan mengubah asumsi, sehingga semakin mendekati kondisi riil. Kelemahan
teori-teori sebelumnya diperbaiki oleh kemunculan Trade Off Theory dan Pecking Order
Theory.

Trade Off Theory

Teori ini dinamakan trade off karena beranggapan bahwa struktur modal optimal ditentukan
oleh trade off antara tax shield of leverage dengan cost of financial distress dan agency cost
of leverage (Myers & Majluf,1984). Menurut trade off theory, stuktur modal optimal dicapai
dengan menyeimbangkan antara manfaat dan biaya yang harus ditanggung atas penggunaan
utang (Brigham, et al, 2001).

Tax shield adalah manfaat penggunaan utang yang timbul karena pajak dibebankan pada laba
perusahaan setelah dikurangi bunga, sehingga pembayaran bunga utang dapat mengurangi
total beban pajak perusahaan. Semakin besar utang yang digunakkan perusahaan, semakin
besar tax shield dan semakin besar nilai perusahaan. Besar kecilnya tax shield diukur dengan
menggunakan :
454
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Tax Shield = Tax Rate x Debt .....................................................................2)

Berdasarkan persamaan tersebut berarti semakin besar penggunaan utang, maka semakin
besar penghematan pajak yang diperoleh perusahaan, dan sebaliknya. Namun demikian
penggunaan utang yang semakin besar juga akan berdampak pada peningkatan risiko
perusahaan mengalami kesulitan keuangan (financial distress) atau bahkan kebangkrutan.

Financial distress adalah suatu tekanan keuangan yang menyertai penggunaan utang
perusahaan. Tekanan keuangan ini terjadi apabila perusahaan mengalami kesulitan memenuhi
kewajibannya kepada kreditor, sehingga mengakibatkan perusahaan terancam bangkrut.
Semakin besar utang yang digunakkan perusahaan, risiko kebangkrutan yang dihadapi
perusahaan juga semakin besar, sehingga akan menurunkan nilai perusahaan, dan sebaliknya.
Dengan demikian menurut trade off theory, struktur modal optimal akan tercapai ketika nilai
perusahaan maksimal pada tingkat penggunan utang tertentu.

Pecking Order Theory

Teori pecking order menyarankan perusahaan memiliki preferensi dalam memilih sumber
pendanaan dengan mempertimbangkan biaya termurah dan risiko paling kecil. Berdasarkan
pecking order theory, tidak terdapat struktur modal yang optimal. Teori ini menyatakan
bahwa perusahaan lebih menyukai penggunaan dana internal daripada eksternal dalam
membiayai pengembangan usahanya, sehingga urutan atau hierarki pendanaan berdasarkan
teori pecking order adalah sebagai berikut :

a) Pendanaan internal yang berasal dari laba ditahan

b) Penggunaan utang dengan menerbitkan obligasi

c) Penerbitan saham

Teori ini beranggapan bahwa perusahaan yang menguntungkan (profitable) lebih sedikit
menggunakan utang. Brealey, et al. (2001:446) menjelaskan mengapa kebanyakan
perusahaan yang profitable lebih sedikit menggunakan utang, bukan karena rendahnya target
debt ratio, tetapi karena perusahaan baru menggunakan dana dari luar (penerbitan utang atau
saham) setelah dana internal tidak mencukupi. Teori pecking order ini juga tidak
mengesampingkan bahwa pajak dan financial distress adalah faktor penting dalam pemilihan
struktur modal.

Teori ini berawal dari adanya informasi asimetris antara external shareholders dengan orang
dalam perusahaan yang memiliki informasi lebih baik mengenai kondisi perusahaan yang
sebenarnya, dan ketidaksempurnaan pasar yang memengaruhi sisi penawaran dari pendanaan,
seperti ketersediaan dan biaya yang berbeda atas berbagai sumber pendanaan (Myers &
Majluf 1984). Hal ini menyebabkan investor tidak dapat mengetahui nilai intrinsik saham
baru yang diterbitkan perusahaan. Pemegang saham juga tidak akan menyukai penerbitan
saham baru karena akan menurunkan earning per share. Solusi bagi manajer adalah
mendanai investasi dengan retained earning, dan jika pendanaan eksternal diperlukan,
perusahaan akan menggunakan utang yang biaya penerbitannya paling rendah.

455
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Asumsi lain dalam teori ini adalah ;

1) Perusahaan menyukai internal financing (pendanaan dari hasil operasi perusahaan).

2) Perusahaan mencoba menyesuaikan rasio pembagian dividen yang ditargetkan dengan


berusaha menghindari perubahan pembayaran deviden secara drastis.

3) Kebijakan deviden yang relatif segan untuk diubah, disertai dengan fluktuasi
profitabilitas dan kesempatan investasi yang tidak bisa diduga, mengakibatkan dana hasil
operasi kadang-kadang melebihi kebutuhan dana untuk investasi, meskipun pada
kesempatan yang lain, mungkin kurang. Apabila dana hasil operasi kurang dari
kebutuhan investasi, maka prusahaan akan mengurangi saldo kas atau menjual sekuritas
yang dimiliki.

4) Apabila pendanaan dari luar (external financing) diperlukan, maka perusahaan akan
menerbitkan sekuritas yang paling “aman” terlebih dahulu yaitu dimulai dengan
penerbitan obligasi, kemudian diikuti oleh sekuritas yang berkarakteristik opsi (seperti
obligasi konversi), dan terakhir, apabila masih belum mencukupi, perusahaan
menerbitkan saham baru.

Pendanaan internal memiliki keuntungan, yaitu tidak memerlukan biaya penerbitan dan tidak
perlu memberikan informasi mengenai kondisi keuangan perusahaan, seperti kesempatan
investasi yang potensial dan keuntungan yang diharapkan bila kesempatan investasi tersebut
diambil. Prioritas pendanaan ini dibentuk berdasarkan pendanaan mana yang paling murah.

Ada empat alasan yang mendasari mengapa teori pecking order mengutamakan utang
daripada ekuitas apabila pendanaan ekternal dibutuhkan.

Pertama, investor mederita kerugian karena adanya asimetri informasi antara manajer dengan
investor (Aerlof, 1970 dalam Siregar 2005). Dengan adanya asimetri informasi, emisi saham
baru diinterpretasikan oleh pasar sebagai berita buruk karena manajer hanya tertarik
melakukan emisi saham baru jika saham perusahaan overpriced (Myers & Majluf,1984).
Berbagai bukti empiris sudah menunjukkan bahwa pengumuman emisi saham baru
menyebabkan harga saham turun secara tajam (Asquith & Mullins,1986; Masulis & Korwar,
1986; Mikkelson & Partch, 1986 dalam Siregar 2005).

Kedua, emisi utang dan emisi saham sama-sama membutuhkan biaya transaksi bagi
perusahaan. Akan tetapi, Baskin (1989) menemukan bahwa biaya transaksi emisi utang lebih
rendah daripada biaya transaksi emisi saham. Karena itulah perusahaan lebih tertarik
memperoleh dana ekternal dari utang daripada ekuitas.

Ketiga, menurut Babu & Jain (1998), perusahaan mendapatkan manfaat pajak dengan
mengeluarkan utang. Manfaat ini diperoleh oleh perusahaan karena biaya bunga dapat
dibebankan sebagai biaya dalam perhitungan pajak, sehingga pajak yang harus dibayar
berkurang.

Keempat, dengan menggunakan utang, perusahaan akan lebih dikontrol oleh lembaga
(kreditur) yang ikut mengawasi keadaan finansial perusahaan. Dengan demikian manajemen
akan lebih berhati-hati dalam menggunakan utangnya.

456
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Pada penelitian yang dilakukan oleh Shyam-Sunder & Myers (1999), dijelaskan bahwa dalam
bentuk yang paling sederhana, pecking order model pada pendanaan perusahaan menjelaskan
bahwa ketika arus kas internal perusahaan tidak cukup untuk mendanai investasi, perusahaan
akan menerbitkan utang. Saham tidak akan diterbitkan, kecuali biaya financial distress
perusahaan tinggi dan perusahaan hanya dapat menerbitkan junk debt. Model pecking order
yang digunakan oleh Shyam-Sunder & Myers (1999) adalah sebagai berikut :

Dit = α + βPOTDEFit + εit ..............................................................................3)

Keterangan :

Dit = Perubahan penerbitan utang jangka panjang perusahaan i pada tahun t

α = Nilai intercept

βPOT = Nilai koefisien regresi

ε = Error term

...........................................................................4)

Keterangan :
LTDebti,t = Utang jangka panjang perusahaan i pada tahun t
LTDebti,(t-1) = Utang jangka panjang perusahaan i pada tahun t-1
Total Assetsi,t = Total aset perusahaan i pada tahun t

.............................................................................5)

Keterangan :

DEFit = Deficit external financing perusahaan i pada tahun t

DIVit = Pembayaran dividen kas perusahaan i pada tahun t

Iit = Arus kas bersih dari aktivitas investasi perusahaan i pada tahun t

Wit = Perubahan modal kerja perusahaan i pada tahun t ( perubahan modal


kerja operasional + perubahan kas dan setara kas + perubahan utang lancar )

Cit = Arus kas bersih dari aktivitas operasi perusahaan i pada tahun t

457
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Deficit external financing mengukur perbedaan antara kas yang dihasilkan oleh perusahaan
dengan total pengeluaran modal, dividen, dan perubahan modal kerja. Deficit external
financing yang positif menggambarkan perusahaan kekurangan kas, sehingga dibutuhkan
sumber pendanaan eksternal, sedangkan jika bernilai negatif, berarti kelebihan kas, yang akan
dipergunakan untuk membayar utang atau membeli kembali ekuitas perusahaan (Shyam-
Sunder & Myers, 1999). Semua komponen variabel DEF merupakan variabel eksogen selama
utang dapat diterbitkan tanpa perlu menerbitkan saham.

Sesuai dengan teori pecking order , perusahaan yang mengalami defisit akan menggunakan
sumber dana eksternal berupa utang kemudian saham. Teori pecking order dapat diuji
menggunakan model Shyam-Sunder & Myers (1999). Penambahan defisit perusahaan harus
sejalan dengan penambahan penerbitan utang baru perusahaan (Frank & Goyal, 2003).
Koefisien regresi menjelaskan seberapa besar defisit keuangan memengaruhi penerbitan
utang. Apabila perusahaan menerapkan pecking order theory dalam penentuan struktur modal
maka, koefisien regresi (β) positif mendekati 1 dan konstanta (α) mendekati 0 (Shyam-Sunder
& Myers,1999). Hal ini berarti jika perusahaan sepenuhnya menerapkan pecking order theory
maka koefisien regresi = 1, artinya jika perusahaan mengalami defisit keuangan sebesar Rp
1000, maka perusahaan akan menambah utang sebesar Rp 1000.

Penelitian Sebelumnya

Penentuan struktur modal perusahaan sekarang masih menjadi isu yang sangat penting dalam
manajemen keuangan. Banyak penelitian empiris dilakukan untuk menentukan struktur
modal di negara-negara berkembang dan maju diantaranya.

1. Ni & Yu (2008), melakukan pengujian pecking order theory pada perusahaan di Cina dan
Taiwan. Penelitian ini menggunakan model Shyam-Sunder & Myers (1999) untuk
membuktikan penerapan teori pecking order . Hasil dari penelitian ini menunjukkan
perusahaan di kedua negara tidak menerapkan teori pecking order dalam keputusan
struktur modal.

2. Glen & Singh (2004), melakukan perbandingan struktur modal di negara maju dan
berkembang. Penelitian ini menggunakan 8000 perusahaan manufaktur di 44 negara
dengan tahun penelitian 1994-2000. Hasilnya adalah perusahaan di negara berkembang
memiliki tingkat utang lebih rendah, aset tetap yang lebih tinggi, dan ROA maupun ROE
yang lebih rendah dibandingkan dengan negara maju.

3. Frank & Goyal (2002), melakukan pengujian pecking order theory pada perusahaan di
Amerika dari tahun 1971-1998. Hasil yang ditemukan dari pengujian ini adalah
perusahaan di Amerika lebih menggunakan dana eksternal berupa penerbitan saham
ketika terjadi financing deficit.

4. Andi (2012), menguji penerapan teori pecking order pada perusahaan non-keuangan di
Indonesia menggunakan model Shyam-Sunder & Myers. Pada penelitian ini ditemukan
bahwa defisit keuangan dan penambahan utang jangka panjang memiliki pengaruh yang
positif dan signifikan. Perusahaan ukuran kecil maupun besar memiliki pengaruh positif,
namun defisit keuangan memiliki pengaruh yang lebih besar terhadap penerbitan utang
jangka panjang pada perusahan ukuran besar.

458
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Hipotesis

Keputusan struktur modal suatu perusahaan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal
perusahaan. Faktor internal berkaitan dengan karakteristik perusahaan, seperti profitabilitas,
struktur aktiva, ukuran perusahaan, sifat manajemen dan sebagainya, sedangkan faktor
eksternal terkait dengan karakteristik negara tempat perusahaan berada, seperti tingkat inflasi,
suku bunga, pertumbuhan ekonomi dan sebagainya. Perusahaan manufaktor di Indonesia
berbeda dengan perusahaan manufaktur di Australia, yaitu perusahaan di Indonesia cedrung
bersifat padat karya, sedangkan perusahaan di Australia cendrung bersifat padat modal.
Sementara itu negara Indonesia masih tergolong negara berkembang, sedangkan Australia
sudah termasuk negara maju. Kondisi ini akan berdampak pada perbedaan keputusan struktur
modal perusahaan di Indonesia dan di Australia.

H1. Terdapat perbedaan antara struktur modal perusahaan manufaktur di Indonesia dan
struktur modal perusahaan manufaktur di Australia

Berdasarkan teori packing order, perusahaan lebih menyukai penggunaan dana internal
daripada eksternal dalam membiayai pengembangan usahanya. Hal ini berimplikasi prioritas
pemenuhan kebutuhan dana berdasarkan pecking order adalah sebagai berikut : pertama
pendanaan internal yang berasal dari laba ditahan, kedua penggunaan utang, dan ketiga
penerbitan saham. Teori ini beranggapan bahwa perusahaan yang menguntungkan
(profitable) lebih sedikit menggunakan utang dan sebaliknya perusahaan yang tidak
menguntungkan lebih banyak menggunakan utang. Apabila perusahaan telah menggunakan
seluruh sumber dana interal namun perusahaan masih membutuhkan tambahan dana atau
perusahaan mengalami defisit maka berdasarkan teori packing order perusahaan harus
menerbitkan utang, dan semaikin besar deficit maka tambahan utangnya akan semakin besar.

H2. Defisit pendanaan eksternal (DEF) perusahaan manufaktur di Indonesia dan Australia
(DEF) berpengaruh positif terhadap penambahan utang (ΔD).

Metode Penelitian

Identifikasi Variabel

Berdasarkan permasalahaan, model analisis dan hipotesis penelitian maka variabel-variabel


penelitian dapat diidentifikasi sebagai berikut :

Permasalahan 1

Variabel yang dianalisis adalah struktur modal perusahaan manufaktur di Indonesia dan di
Australia

Permasalahan 2
1. Variabel terikat (dependent variable) model analisis ini adalah perubahan utang jangka
panjang bersih perusahaan manufaktur di Indonesia dan Australia
2. Variabel bebas (independent variable) adalah deficit external financing (DEF)

459
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Definisi Operasional Variabel

1) Struktur modal, merupakan perbandingan antara utang jangka panjang dengan modal
sendiri pada akhir tahun yang diukur dengan rumus 1)

2) Penambahan utang jangka panjang adalah perubahan utang jangka panjang dari periode
t-1 ke periode t yang diukur menggunakan rumus 4)

3) Deficit external financing merupakan kebutuhan dana eksternal perusahaan yang diukur
dengan perbedaan antara kas yang dihasilkan perusahaan dengan kas yang dikeluarkan
perusahaan untuk fixed assets, dividen, dan perubahan modal kerja. Deficit external
financing dihitung dari rumus 5)

Prosedur Penentuan Sampel

Metode penentuan jumlah sample dalam penelitian ini menggunakan rumus Slovin,

sebagai berikut :

Keterangan :

n = ukuran sampel

N = ukuran populasi

e = nilai presisi (15%)

Dengan menggunakan rumus tersebut, maka jumlah sampel sebesar 33 prusahaan manufaktur
Indonesia dan 42 perusahaan manufaktur Australia. Metode pengambilan sample dalam
penelitian ini menggunakan purposive random sampling . Kriteria yang akan ditetapkan
untuk pemilihan sampel adalah sebagai berikut :

1. Perusahaan manufaktur yang terdaftar dan menerbitkan laporan keuangan di Bursa


Efek Indonesia dan Australian Stock Exchange selama periode penelitian yaitu tahun
2006 hingga tahun 2010

2. Laporan keuangan yang berakhir per 31 Desember di Indonesia dan per 31 Juni di
Australia

Setelah dilakukan pemilihan sampel secara purposive kemudian untuk menentukan


perusahaan –perusahaan mana yang dipilih dilakukan dengan teknik random menggunakan
program SPSS 18, sehingga didapatkan 33 perusahaan manufaktur Indonesia dan 42
perusahaan manufaktur Australia.

460
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Model Analisis

Model analisis dalam penelitian ini adalah ada 2, yaitu :

Permasalahan pertama : Menggunakan model uji beda rata-rata independent sample

...........................................................................6)

Keterangan :

Indo = Struktur modal perusahaan manufaktur di Indonesia

Aus = Struktur modal perusahaan manufaktur di Australia

SDCS Indo = Standar deviasi struktur modal perusahaan manufaktur


Indonesia

SDCS Aus = Standar deviasi struktur modal perusahaan manufaktur


Australia

n = Jumlah sampel

Permasalahan kedua : Menggunakan model Shyam-Sunder & Myers

Mengacu pada rumus 3.

Dit = α + βPOTDEF it + εit

Keterangan:

Dit = Perubahan penerbitan utang jangka panjang perusahaan i pada tahun t

α = Nilai intercept

βPOT = Nilai koefisien regresi

ε = Error term\

461
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Hasil dan Pembahasan

Deskripsi Hasil Penelitian

Diskripsi variabel yang diteliti baik untuk perusahaan manufaktur di Indonesia maupun
perusahaan manufaktur di Australia, secara ringkas dipaparkan pada Tabel 4.1. berikut ini.

Berdasarkan Tabel 4.1, dapat dilihat bahwa nilai rata-rata variabel capital structure
perusahaan manufaktur Indonesia sebesar 57,23% lebih tinggi daripada perusahaan
manufaktur di Australia sebesar 29,06%. Perusahaan manufaktur di Indonesia proporsi
penggunaan utang jangka panjang dibandingkan dengan modal sendirinya lebih besar
dibandingkan dengan perusahaan manufaktur di Australia.

Variabel perubahan utang jangka panjang perusahaan manufaktur di Indonesia memiliki nilai
rata-rata sebesar -0,32%, sedangkan di Australia adalah 1,02%. Tanda negatif menunjukkan
adanya pengurangan utang di perusahaan manufaktur Indonesia, sedangkan tanda positif
menunjukkan adanya penambahan utang di perusahaan manufaktur Australia.

Deficit external financingl maximum di Australia mencapai 233,14% sedangkan di Indonesia


hanya 62,83%, tanda positif pada variabel ini menunjukkan kekurangan kas. Rata-rata
variabel DEF perusahaan manufaktur di Australia lebih kecil daripada rata-rata perusahaan
manufaktur di Indonesia, yaitu -11,72% di Australia dan -13,39% di Indonesia. Kedua rata-
rata DEF memiliki nilai negatif yang menunjukkan bahwa perusahaan manufaktur di
Indonesia dan Australia memiliki kelebihan kas

Tabel 4.1

Deskripsi Statistik Perusahaan Manufaktur Indonesia dan Australia 2006 - 2010


Indonesia

Variabel N Minimum Maximum Mean Std. Deviasi

Capital Structure 165 1,59% 526,39% 57,23% 70,73%

Perubahan Utang 165 -101,03% 77,31% -0,32% 16,16%

DEF 165 -80,04% 62,83% -13,39% 19,35%

Australia

Capital Structure 210 0,02% 144,84% 29,06% 26,84%

Perubahan Utang 210 -212,66% 120,02% 1,02% 19,60%

DEF 210 -197,03% 233,14% -11,72% 43,19%

Sumber : Hasil output Eviews 6.0 yang diolah

462
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Analisis Model dan Pengujian Hipotesis

Analisis Perbedaan Struktur Modal Perusahaan Manufaktur Indonesia dengan


Australia

Untuk mengetahui perbedaan struktur modal perusahaan manufaktur di Indonesia dengan


Australia dilakukan uji beda rata-rata dengan menggunakan independent sample t-test.
Dalam melakukan uji beda alat yang digunakan software SPSS 18. Hasil uji beda rata-rata
struktur modal perusahaan manufaktur di Indonesia dengan Australia dipaparkan pada Tabel
4.2

Tabel 4.2

Hasil uji independent sample t-test pada capital structure

Capital Structure Mean Capital


Structure (%)
Selisih (%) Sig. Keterangan

Indonesia 57,226 Terdapat


perbedaan
Australia 29,059 28,167 0,007 signifikan

Sumber : Hasil output SPSS 18 yang diolah

Berdasarkan Tabel 4.2 menunjukkan hasil uji independent t-test dengan tingkat signifikansi
sebesar 0,007 < 0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan struktur modal
antara perusahaan manufaktur di Indonesia dengan Australia. Secara relative perusahaan
manufaktur di Indonesia menggunakan utang jangka panjang yang lebih besar dibandingkan
dengan perusahaan manufaktur di Australia. Perbedaan struktur modal ini dikarenakan
adanya perbedaan karakteristik antara kedua negara Di negara Australia perusahaan
manufakturnya lebih padat modal dibandingkan perusahaan manufaktur di Indonesia yang
lebih padat tenaga kerja. Hal ini berpengaruh terhadap keputusan pendanaan yang lebih
mengutamakan modal sendiri dibandingkan dengan utang. Investasi jangka panjang dalam
barang modal dibiayai dengan modal jangka panjang yaitu dengan menerbitkan saham. Hasil
penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian Singh dan Hamid (1992) dan Singh (1995)
yang menemukan bahwa perusahaan di negara berkembang secara relatif cenderung lebih
banyak menggunakan saham dibanding di negara maju.

Analisis Penerapan Pecking Order Theory di Perusahaan Manufaktur Indonesia dengan


Australia

Berdasarkan teknik estimasis model regresi data panel, dapat menggunakan tiga metode yaitu
Pooled Least Square (PLS), Fixed Effect Model (FEM), dan Random Effect Model (REM).
Dari ketiga metode tersebut, terlebih dahulu ditentukan metode mana yang sebaiknya
digunakan untuk regresi data panel tersebut. Dengan melakukan Chow Test untuk memilih
antara metode pooled least square atau fixed effect model. Apabila model fixed effect yang
terpilih, maka harus dilakukan pengujian lebih lanjut menggunakan uj Hausman.

463
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Uji Chow Test, uji dilakukan dengan hipotesis sebagai berikut:

H0 : Metode pooled least square

Ha : Metode fixed effect

Jika hasil uji diperoleh tingkat signifikansi < 0,05, artinya hipotesis H0 yang ditolak, dan
menerima Ha, dengan kata lain metode fixed effect yang lebih tepat untuk estimasi dalam
penelitian ini. Berdasarkan perhitungan uji chow test menunjukkan bahwa nilai signifikansi
sebesar 0,2018 lebih besar daripada 0,05 sehingga dapat disimpulkan H0 diterima dan Ha
ditolak. Artinya metode estimasi yang dipilih adalah metode pooled least square, dan tidak
dibutuhkan pengujian Hausman lebih lanjut.

Analisis Regresi PLS Perusahaan Manufaktur Australia

Analisis regresi sederhana dalam penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh dari
variabel DEF terhadap D pada perusahaan manufaktur di Australia selama periode 2006-
2010. Hasil regresi untuk perusahaan manufaktur di Australia ditunjukkan pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3

Hasil Regresi Sederhana Perusahaan Manufaktur Australia

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.002541 0.013430 0.189214 0.8501


DEF? -0.065398 0.030070 -2.174857 0.0307

R-squared 0.020770 Mean dependent var 0.010204


Adjusted R-squared 0.016379 S.D. dependent var 0.196009
S.E. of regression 0.194397 Sum squared resid 8.427232
F-statistic 4.730004 Durbin-Watson stat 1.972027
Prob(F-statistic) 0.030693

Sumber : Hasil Output Eviews 6.0 yang diolah

Berdasarkan Tabel 4.3 nilai konstanta (α) sebesar 0,002541 artinya apabila DEF konstan,
maka diprediksi perusahaan akan menerbitkan utang tambahan sebesar 0,002541. Nilai
koefisien (β) bertanda negatif sebesar 0,065398 menunjukkan perubahan yang tidak searah
antara variabel DEF dengan variabel perubahan utang, yang artinya semakin meningkat DEF
atau ketika perusahaan membutuhkan dana dari eksternal, semakin menurun perubahan utang
perusahaan.

Nilai signifikansi yang lebih kecil dari 0,05 dan nilai t yang negatif, dapat disimpulkan bahwa
DEF berpengaruh negatif signifikan terhadap perubahan utang. Hasil analisis regresi yang
diperoleh menunjukkan bahwa perusahaan manufaktur di Australia tidak menerapkan
pecking order theory. Terdapat berbagai alasan mengapa pecking order theory tidak
464
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

diterapkan dalam penentuan struktur modal di Australia. Pertama, perusahaan-perusahaan di


Australia memperluas penggunaan warrant & right sebagai sumber pendanaan karena
warrant & right memiliki biaya informasi asimetris yang lebih rendah. Kedua, studi yang
dilakukan oleh Pattenden (2006) menunjukkan bahwa sistem kredit di Australia
menghapuskan keuntungan pajak atas penggunaan utang karena pembayaran bunga dan
dividen terbuat dari sebelum pajak pendapatan, sehingga tidak ada pajak ganda atas dividen.
Sistem ini menguntungkan pemegang saham Australia dan menyebabkan perusahaan di
Australia cenderung tidak menggunakan sumber pendanaan berupa utang. Hasil ini konsisten
dengan hasil penelitian sebelumnya di negara maju oleh Frank dan Goyal (2002) bahwa
perusahaan di negara Amerika lebih menggunakan dana eksternal berupa penerbitan saham
ketika terjadi financing deficit.

Analisis Regresi PLS Perusahaan Manufaktur Indonesia

Hasil analisis regresi untuk perusahaan manufaktur di Indonesia dipaparkan pada Tabel 4.4
dibawah ini :

Tabel 4.4

Hasil Regresi Sederhana Perusahaan Manufaktur Indonesia

Variable Coefficient Std. Error t-Statistic Prob.

C 0.008068 0.005605 1.439502 0.1521


DEF? 0.055536 0.025803 2.152355 0.0330

R-squared 0.030352 Mean dependent var -0.002428


Adjusted R-squared 0.023800 S.D. dependent var 0.162725
S.E. of regression 0.160781 Sum squared resid 3.825880
F-statistic 4.632631 Durbin-Watson stat 2.298953
Prob(F-statistic) 0.032991

Sumber : Hasil output Eviews 6.0 yang diolah

Berdasarkan Tabel 4.4, tampak nilai koefisien (β) di Indonesia bertanda positif yang
menunjukkan pengaruh perubahan yang searah variabel DEF terhadap variabel perubahan
utang. Artinya semakin meningkat DEF semakin meningkat pula penambahan utang
perusahaan. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai uji t variabel DEF dengan nilai
signifikansi kurang dari 0,05 yaitu 0,0330 menunjukkan DEF berpengaruh positif signifikan
terhadap perubahan utang. Dengan kata lain H0 ditolak atau dapat dikatakan perusahaan
manufatur di Indonesia menerapkan pecking order theory dalam penentuan struktur modal.

Hasil regresi perusahaan manufaktur di Indonesia menunjukkan adanya penerapan


peckingorder theory dalam penentuan struktur modal. Penggunaan utang didahulukan
dibandingkan penerbitan saham di Indonesia, karena perusahaan di Indonesia masih emeroleh
manfaat pajak dari penggunaan utang. Selain itu, penerbitan saham membutuhkan biaya yang
lebih besar dibandingkan apabila perusahaan menggunakan utang. Sistem hukum yang dianut
oleh kedua negara ini berbeda, Indonesia menganut civil law, dan Australia menganut
465
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

common law. Menurut Ball, et al (2000) dan Jalal (2008) negara yang menganut sistem
hukum civil law akan cenderung menerapkan pecking order theory dan negara yang
menganut sistem hukum common law cenderung tidak menerapkan pecking order theory
dalam penentuan struktur modal. Menurut Jalal (2003), negara yang termasuk dalam common
law pemegang sahamnya mendapatkan proteksi yang lebih besar dan pelaksanaan hukum
yang lebih ketat apabila hak pemegang saham dilanggar.

Simpulan

Berdasarkan atas hasil pengujian hipotesis yang dilakukan dan pembahasan yang telah
dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara struktur modal perusahaan manufaktur di
Indonesia dan di Australia. Di Indonesia menggunakan utang lebih banyak daripada
modal sendiri, sedangkan di Australia lebih menggunakan modal sendiri daripada
utang.
2. Berdasarkan model Shyam-Sunder dan Myers (1999) hasil analisis menunjukkan
bahwa perusahaan manufakttur di Australia tdak menerapkan pecking order theory
sedangkan perusahaan manufaktur di Indonesia menerapan pecking order theory
dalam penentuan struktur modal.

466
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

DAFTAR PUSTAKA

Babu, Suresh & Jain. 1998. Capital Structure Practices of Private Corporate Sector in India,
Vol.37. New Delhi: Publication Division

Bambang, Riyanto. 2001. Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan. Edisi keempat, Cetakan


ketujuh. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta

Bhuain, Shahid N. 1997. Marketing Cues and Perceived Quality: Perceptions of Saudi
Consumers Towards Products of the US, Japan, Germany, Italy, UK, and France.
Journal of Quality Management, 2, pp.217-234

Brealey R. A., et al. 2001. Fundamentals od Corporate Finance. Third Edition. US: McGraw-
Hill Inc.

Brigham, Eugene F. & Michael C. E. 2001. Manajemen Keuangan, Jilid 1. Edisi kesepuluh.
Terjemahan. Jakarta: Salemba Empat

Cassar, et al. 2003. Capital Structure and Financing of SMEs: Australian Evidence.
Accounting and Finance Association of Australia and New Zealand, Vol.43 (2),
pp.123-147

Chirinko, R.S. & Singha. 2000. Testing Static Tradeoff Against Pecking Order Models of
Capital Structure. Journal of Financial Economics, Vol.58, pp.417-425

Chlarella, Carl, et al. 1991. Determinants of Corporate Capital Structure Australian Evidence.
Journal of Financial and Quantitative Analysis, Vol.2, No.20, pp.73-94

Drobetz, et al. 2003. What are the Determinants of the Capital Structure ? Some Evidence for
Switzerland. Working Paper, No.4, pp.1-32

-------. 2010. International Tests of the Pecking Order Theory. Journal of Financial
Economics, No.32, pp.1-47

Frank, Murray Z. & Vidhan K. Goyal. 2002. Testing the Pecking Order Theory of Capital
Structure. Journal of Financial Economics, Vol.67, pp.217-248

Ghazali, Imam. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Cetakan IV.
Semarang: Badan Penerbit Undip.

Glen, Jack & Ajit Singh. 2003. Comparing Capital Structures and Rates of Return in
Developed and Emerging Markets. Emerging Markets Review, 5, pp.161-192

--------. 2004. Capital Structure, Rates of Return, and inaning Corporate Growth:
Commparing Developed and Emerging Markets 1994-2000 (Ed.). The Future of
Domestic Capital Market in Developing Countries. Washington: Brookings Institution

Huang, Samuel G. H. & Frank M. Song. 2002. The Determinants of Capital Structure:
Evidence from China. Economics and Finance Centre for China Financial Research.
pp.1-21
467
Iryuvita Januarizka Putri Radjamin Jurnal Manajemen Bisnis Indonesia
I Made Sudana Vol. 1, Nomor 3, Juni 2014

Hutagaol, Roma Uli. 2002. Pengujian Teori Pecking Order dan Teori Static Trade-Off
terhadap Struktur Modal Emiten di Bursa Efek Jakarta. Tesis. Tidak diterbitkan.
Magister Manajemen Universitas Indonesia

Myers, S. 2001. Capital Structure. The Journal of Economic Perspectives, Vol.15, No.2,
pp.81-102

Myers, S. & N. Majluf. 1984. Corporate Financing and Investment Decisions When
Firms Have Information that Investors Do Not Have. Journal of Financial
Economics, Vol.13, pp.187-221

Ni, J. & M. Yu. 2008. Testing the Pecking Order Theory. The Chinese Economy, Vol.41,
pp.97-113

Nugraha, Andi Dwi Kurnia. 2012. Debt Capacity dan Pengujian Teori Pecking Order pada
Perusahaan Non-Keuangan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2006-2010.
Skripsi. Tidak diterbitkan. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Indonesia Depok.

Pattenden, K. 2006. Capital Structure Decisions Under Classical and Imputation Tax
Systems: A Natural Test for Tax Effects in Australia. Australian Journal of
Management, 31(1), 67-92

Rodoni, Ahmad & Herni Ali. 2010. Manajemen Keuangan. Jakarta: Mitra Wacana Media

Ross, Stephen A., Randolph W. Westerfield, Bradford D. Jordan. 2009. Pengantar Keuangan
Perusahaan. Buku 2. Edisi kedelapan. Terjemahan. Jakarta: Salemba Empat

Singh, A. & Hamid J. 1992. Corporate Financial Structures in Developing Countries. IFC
Technical Paper, No.1

Singh, A. 1995. Corporate Financing Patterns in Industrializing Economies: A Comparative


International Study. IFC Technical Paper, No.2

Shyam-Sunder, L. & Myers. 1999. Testing Static Tradeoff Against Pecking Order Models of
Capital Structure. Journal of Financial Economics, Vol.51, pp.219-244

468

You might also like