You are on page 1of 9

Nama: Eric Stevenson Wuisan

Kelas: XI-MIPA 4 / 11

LAPORAN IMERSI 2017-2018

“MENCELUPKAN DIRI KE LINGKUNGAN YANG BARU”

2017-2018

SMAK St.Louis 1 Surabaya

Jln. Polisi Istimewa No.7

1
Today is the day of Friday, December 15, 2017. We are collected in
accordance with our respective areas, which I happened to get the area
around Malang Bhakti Luhur orphanage. Around 5:00 am I was getting
ready to go to school, with a small bag that had been given a school on my
back and a small blue pendant bag on my right, I was ready to follow my
"immersion". The reason why we are only allowed to carry the least
possible goods is that our immersion moment can feel the lives of simple
people.

Our departure from Surabaya Ke Bhakti Luhur Malang runs around 07.00
- 15.00. by bus vehicle. When I got to Bhakti Luhur Center I was with my
friends who had been waiting for by the nurse. We are briefed and divided
into our homes during the 5-day immersion in Bhakti Luhur Malang.
Women live in Bhakti Luhur center, while men will settle in the homes
outside Bhakti Luhur. The guesthouse I will be named Rasida. Here I will
be berrying with my friend, named Gerald Vicenzio whose nickname is
Gerald.

Arriving at Rasida we saw many things we had never seen before, dirt and
urine scattered in the bedroom. We slept with the children with special
needs. Our luggage is put in bed then with our own initiative we clean the
dirt from our room. I am with Gerald looking at the circumstances of these
special needs children, of course, we are experiencing a feeling of being
swayed. There is a sense of pity, there is also a sense of amusement with
their strange behavior. But for a long time we were moved and also
concerned about the circumstances of those who do not know anything
about their lives. Our homestayman is thankfully very open to people and
wants to tell us about his experiences in living with these children. "It's hard
to live with them, hard to manage, hard to tell, understand Indonesian only
at least one or two children. But yes, over time there is also their own
affection kemereka. Although they do not understand anything they can still
laugh and play with others. Sometimes life is so bad that we think "Hearing
these words that day I also learned that no matter how hard our problem,
life will always be beautiful if we do good then so the first day my
immersion ends.
Hari ini adalah hari hari Jumat, 15 Desember 2017. Kami dikumpulkan sesuai dengan daerah
kami masing-masing, yang kebetulan saya mendapatkan daerah sekitar Malang Panti asuhan
Bhakti Luhur. Sekitar jam 05.00 saya bersiap-siap untuk pergi kesekolah, dengan tas kecil
yang sudah diberikan sekolah dipunggungku dan tas gandeng kecil berwarna biru disebelah
kanan ku, saya sudah siap untuk mengikuti “pencelupan” saya. Alasan mengapa kami hanya
diperboleh kan untuk membawa barang-barang seminimal mungkin adalah agar saat imersi
kami dapat merasakan kehidupan orang-orang yang sederhana.

Keberangkatan kita dari Surabaya Ke Bhakti Luhur Malang berjalan sekitar jam 07.00
– 15.00 . dengan kendaraan bis. Saat sampai ke Pusat Bhakti Luhur saya dengan teman-teman
sudah dinanti-nantikan oleh suster. Kita di briefing dan dibagi kan tempat-tempat tinggal kita
selama imersi 5 hari di Bhakti Luhur Malang ini. Para Perempuan tinggal dipusat Bhakti
Luhur, sedangkan para laki-laki akan menetap di wisma diluar Bhakti Luhur. Wisma yang
akan saya tempati bernama Rasida. Disini saya akan berImersi dengan teman saya, bernama
Gerald Vicenzio yang nama panggilan nya adalah Gerald.

Sesampainya diWisama Rasida kami melihat banyak hal yang belum pernah kami lihat
sebelumnya, kotoran dan air seni berserakan dikamar tidur. Kami tidur dengan para anak-anak
berkebutuhan khusus. Barang-barang bawaan kami letakkan ditempat tidur lalu dengan
inisiatif sendiri kita membersihkan kotoran tersebut dari kamar kami. Saya dengan Gerald
melihat keadaan anak-anak berkebutuhan khusus ini tentu saja kita mengalami perasaan yang
terombang-ambing. Ada perasaan kasihan, ada juga rasa geli dengan kelakuan yang aneh
mereka. Namun lama-lama hati kami tergerak juga dan turut prihatin dengan keadaan mereka
yang tidak tahu apa-apa tentang kehidupan mereka. Penjaga wisma kami untungnya sangat
terbuka orangnya dan mau bercerita kepada kami tentang pengalamannya dalam hidup
bersama dengan anak-anak ini. “Memang susah hidup dengan mereka, susah diatur, susah
diberitahu, mengerti bahasa indonesia saja paling hanya satu dua anak. Tapi ya, lama
kelamaan juga ada rasa sayang sendiri kemereka. Walaupun mereka ga ngerti apa-apa mereka
masih bisa ketawa dan bermain dengan yang lain. Kadang hidup tuh ga se buruk yang kita
kira” Mendengar kata-kata ini pada hari itu juga saya mendapat pelajaran bahwa seberapapun
beratnya masalah kita, hidup akan selalu indah jika kita berbuat baik maka dengan begitu hari
pertama imersi saya berakhir.
Saya terbangun karena ada suara-suara aneh yang berasal tidak jauh dari tempat tidur
kami. Panik, saya langsung mengambil senter untuk melihat lebih jelas apakah yang membuat
suara itu. Ternyata salah satu anak berkebutuhan khusus yang bernama Binganto ngompol
diranjang nya dan sedang membersihkannya dengan bajunya, setelah itu ia kembali tidur lagi
dengan tidak menggunakan pakaian apapun. Selama 5 menit saya melihat Binganto
membersihkan ranjangnya. Setelah tidak bisa berkata apapun saya memutuskan untuk kembali
menutup mata saya.

Pagi itu gerald membangunkan saya, ia panik melihat anak berkebutuhan khusus
bernama Enggar yang menari-nari tidak mengenakan apapun lompat kesana dan kesini. ,
Kebingungan, kita lari keluar dari kamar. Kami melihat sudah banyak anak-anak yang mandi,
namun cara mandi mereka tidaklah biasa. Mereka dikumpulkan dalam satu tempat tidak
mengenakan apapun lalu saling memandikan. Eman adalah salah satu anak berkebutuhan
khusus yang membantu memandikan teman-temannya. Saya dan Gerald lalu menyapu rumah
sampai bersih. Saya sempat bertanya kepada bapak penjaga, bagaimana keseharian mereka
disini, lalu katanya ya seperti ini. Rasanya monoton sekali jika dilihat dari pandangan ku.
Namun bagi mereka rasanya mereka tidak pernah bosan dengan kehidupan monoton mereka,
bukannya tidak pernah tetapi rasanya mereka bahkan tidak tau apa itu bosan. Terkadang tidak
mengetahui segala sesuatu lebih baik dari pada mengerti segalanya.

Pada hari ketiga kami bangun pagi sekitar jam 05.45 untuk pergi keGereja bersama
dengan anak-anak berkebutuhan khusus, mereka bernama Eman dengan Aldo. Mereka
merupakan salah satu dari penduduk Wisma Rasida yang kondisi nya tidak terlalu parah.
Mereka tampak begitu bersemangat dan gembira karena dapat bertemu dengan Tuhan di
rumah Nya dan dapat juga bertemu dengan teman-teman mereka. Disana perilaku mereka
tidak seperti saat di wisma, mereka semua tampak tenang dan mendengar kana pa yang Imam
bicarakan kepada umatnya, seperti gereja-gereja biasa nya, hanya kali ini para umat tidak
membuka Handphone mereka ketika misa berlangsung. Tidak semua perilaku anak yang
berkebutuhan khusus buruk, ada juga beberapa perilaku mereka yang lebih baik dari pada
orang-orang yang normal. Contoh nya adalah hal-hal sederhana seperti pergi ke Rumah
Tuhan, masyarakat biasanya pergi kegereja sebagian besar menganggapnya sebagai sebuah
kewajiban yang harus dijalankan, namun sebenarnya apa yang dilakukan anak-anak yang
berkebutuhan khusus ini adalah mereka pergi keRumah Tuhan ini bukan karena mereka
disuruh, namun karena mereka mau dan memang hati mereka lah yang membawa mereka
kembali ketempat itu seminggu sekali, melihat kejadian ini membuat ku belajar akan indahnya
hidup jika saja kit dapat mensyukuri hal-hal kecil yang Tuhan berikan kepada kita. Dengan
hal-hal kecil kita dapat mengubah pandangan hidup kita yang biasa-biasa saja menjadi sangat
indah.

Setelah misa bukan hanya anak-anak yang berkebutuhan khusus saja yang bertemu
dengan teman-temannya, namun kami juga bertemu dengan teman-teman kami. Kami
berbincang-bincang dan sharing satu sama lain akan pengalaman apa yang kami dapat kan
sejauh ini. Hampir Semua teman-teman saya berkata bahwa mereka sudah terbiasa dengan
suasana diwisma mereka masing-masing, dan mereka mulai menikmati imersi ini. Semua
berkata bahwa awallnya memang tidak gampang, namun saat menjalani nya kita akan
menikmatinya. Kami semua belajar hal-hal baru ditengah perjalanan imersi kami yang panjang
ini. Kami tidak dapat berbicara dengan yang lain begitu lama karena bis yang mengantar
mereka sudah mau berangkat, dan bis kami pun sudah siap berangkat mengantar anak-anak
untuk pulang ke wisma mereka masing-masing.

Siang itu saya dengan Gerald sedang duduk didepan teras sabil meminum secangkir
teh hangat buatan bapak penjaga wisma kami, kami berhenti meminum teh tersebut saat kami
mendengar ada sebuah mobil yang berhenti didepan wisma kami. Ternyata suster datang
untuk mengunjungi kami bersama dengan teman-teman yang bertempat tinggal di pusat
Bhakti Luhur. Mereka mengunjungi anak-anak berkebutuhan khusus ini secara rutin, suster
mengambil foto dihandphone nya agar orangtua mengetahui apa yang sedang dilakukan anak-
anaknya. Setelah itu hanya lah hari yang biasa-biasa saja.

Hari keempat adalah merupakan hari terakhir dari imersi kami, disini kami
dibangunkan untuk mengantar anak-anak berkebutuhan khusus ke sekolah mereka masing-
masing. Anak-anak yang menderita penyakit yang parah dibawa kesekolah tak jauh dari
Wisma Rasida. Sedangkan yang tidak begitu parah dibawa ke Bhakti Luhur pusat. Ada juga
beberapa yang pergi ke workshop untuk melatih diri dalam mengerjakan kerajinan tangan.
Setelah mengantarnya saya dan Gerald membeli makanan bubur yang lewat, ini merupakan
makanan yang mewah menurut kami karena selama tiga hari yang lalu, yang kami makan
adalah tempe dan sayur-sayuran. Setelah itu kami pun kembali ke Wisma. Sesampainya disana
kami melihat ibu-ibu yang sedang asik memasak didapur, kami pun tergerak untuk membantu
ibu tersebut. Kami berbincang-bincang disana, walaupun kami tidak dapat dibilang membantu
ibu tersebut dalam menyiapkan makan, setidaknya kami dapat membuat ibu tersebut tertawa
dan terhibur selama memasakan kami makanan.

Sekarang kami memiliki kebiasaan untuk meminum teh didepan teras sambil
berbincang-bincang. Rasanya sudah menjadi kegiatan keseharian saya dan Gerald. Kami
bersharing tentang pengalaman hidup kami, tentang suka dan duka kami dalam menghadapi
kehidupan, namun sebagian besar kami berbicara tentang masalah “percintaan”. Rasanya tidak
dapat dihentikan jika kita mulai berbicara apalagi dengan topik yang bagus ini.

Malam terakhir imersi kami berakhir dengan sharing bersama dengan bapak-bapak
penjaga Wisma di meja makan setelah kami makan malam. Kami meminta maaf akan
kesalahan kami selama kami menetap di Wisma mereka dan juga meminta maaf sudah
merepotkan mereka semua. Disisi lain, mereka juga meminta maaf akan keadaan mereka yang
sederhana ini, namun ini lah arti dari imersi. Pencelupan kelingkungan yang kita belum pernah
alami sebelumnya. Sungguh pengalaman yang luar biasa

You might also like