Professional Documents
Culture Documents
I10tos PDF
I10tos PDF
ABSTRACT
RINGKASAN
Sumberdaya air merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk
keberlanjutan kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Keberadaan air dapat
berperan multiguna, dapat digunakan sebagai air minum dan MCK (mandi, cuci,
kakus), mengairi lahan pertanian, relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan
ekonomi. Oleh karena itu, sumberdaya air perlu dikelola dengan baik agar selalu
bermanfaat pada masa yang akan datang (dapat terus berkelanjutan).
Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan karakteristik daerah
masing-masing. Pada masyarakat adat, pengelolaan sumberdaya air harus
disesuaikan dengan kearifan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah
dan adaptasi yang lama. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas
suatu komunitas saja, tetapi juga berfungsi sebagai upaya untuk pelestarian
lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat.
Kampung Kuta merupakan salah satu komunitas masyarakat adat yang
terletak di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis
Provinsi Jawa Barat. Kampung adat ini dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan
lokal, dengan memegang budaya pamali (tabu), untuk menjaga keseimbangan
alam dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Salah satu yang menonjol
adalah dalam hal pelestarian hutan dan pelestarian mata air untuk sumber
kehidupan mereka.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk kearifan lokal yang
terdapat di Kampung Kuta dan mengetahui implementasi kearifan lokal dalam
menjaga kelestarian sumberdaya air. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif ini memberikan gambaran yang jelas tentang
karakteristik dari fenomena kearifan lokal yang sedang diteliti, sehingga akan
diperoleh gambaran yang jelas dari kearifan lokal dan aplikasinya dalam
pengelolaan sumberdaya air.
Bentuk kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat Kampung Kuta
adalah budaya pamali yang sudah dikenal dan merupakan amanah yang dilakukan
secara turun-temurun. Kearifan lokal ini merupakan suatu keyakinan masyarakat
Kampung Kuta mengenai kepercayaan spiritual terhadap leluhur mereka. Terdapat
empat hal yang sangat diutamakan dalam budaya pamali yang terbukti masih
dipertahankan, dijaga, dan dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Kuta.
Keempat hal tersebut menjadi norma adat yang mengikat masyarakat yaitu
pelestarian rumah adat, pelarangan penguburan mayat, pelarangan pembuatan
sumur, dan pelestarian Hutan Keramat. Pelanggaran terhadap pamali dapat
menyebabkan terjadinya musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga
mengenai seluruh penduduk kampung. Masyarakat Kampung Kuta meyakini
bahwa sanksi yang diterima pelanggar berasal dari karuhun yang murka.
Budaya pamali sebagai kearifan lokal di Kampung Kuta tidak mengalami
perubahan bentuk. Kearifan lokal ini tetap dipertahankan dan efektif dalam
mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Pergeseran kecil hanya terlihat dari
ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini
tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Adanya pergeseran
aturan pembuatan rumah ini muncul akibat faktor perpindahan atau masuknya
penduduk lain ke Kampung Kuta dan kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK). Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan
salah satu ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali.
Kearifan lokal pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dari
generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge
dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui
dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif
untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.
Implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air terlihat
dari adanya aturan pamali yang melarang masyarakat untuk membuat sumur.
Dengan adanya pelarangan pembuatan sumur di Kampung Kuta maka
sumberdaya air termanfaatkan dengan baik dan berkelanjutan bagi kehidupan
Oleh
Tia Oktaviani Sumarna Aulia
I34060073
SKRIPSI
Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Ketua Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
LEMBAR PERNYATAAN
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama lengkap Tia Oktaviani Sumarna Aulia atau yang biasa
dipanggil Tia, lahir di Bogor pada tanggal 6 Oktober 1988. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Sumarna dan Ibu E. Suryati.
Penulis menempuh seluruh pendidikannya di kota Bogor, dimulai dengan
Taman Kanak-kanak Assasul Islam pada tahun 1993-1994, Sekolah Dasar Negeri
Pondok Rumput 1 Bogor pada tahun 1994-2000, Sekolah Menengah Pertama
Negeri 5 Bogor pada tahun 2000-2003, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 2
Bogor pada tahun 2003-2006.
Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas, tahun
2006 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Tahun 2007 penulis diterima masuk di
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di bawah Fakultas
Ekologi Manusia.
Seiring dengan perjalanan akademis, penulis juga aktif menjalin hubungan
sosial melalui berbagai organisasi. Penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa
Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (2007-sekarang)
dengan menjabat sebagai Sekretaris 1 (2009) dan anggota divisi Fotografi dan
Sinematografi (2007-sekarang). Selain itu, penulis juga pernah mengikuti
beberapa kepanitiaan acara seperti, Ketua Malam Seni Long Night With Art
Departemen SKPM (2009), Koordinator Acara Indonesian Ecology Expo 2008
(INDEX’2008), Divisi Acara Communication and Community Development Expo
2008 (COMMNEX’2008), Divisi Acara Masa Perkenalan Departemen (2008),
dan Divisi Acara Futsal Nasional (2007).
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Judul yang dipilih dalam skripsi ini ialah Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Air di Kampung Kuta (Desa Karangpaningal, Kecamatan
Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk kearifan lokal yang
terdapat di Kampung Kuta dan mengetahui implementasi kearifan lokal dalam
menjaga kelestarian sumberdaya air. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
proses pembelajaran bagi peneliti dalam memahami kearifan lokal yang terjadi di
lapangan. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.
Penulis
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
Teks
Tabel 1. Luas Wilayah Pemanfaatan Lahan Kampung Kuta Tahun 2010 ...... 17
Tabel 2. Sumber Penghidupan di Kampung Kuta Tahun 2010 ....................... 17
Tabel 3. Tingkat Pendidikan di Kampung Kuta Tahun 2010 .......................... 18
Tabel 4. Prinsip-prinsip Utama dalam Budaya Pamali ................................... 29
Tabel 5. Bentuk Kearifan Lokal yang Ditekankan Di Kampung Kuta............. 32
Tabel 6. Kriteria Rumah Adat Kampung Kuta Tahun 2010 ............................ 42
Tabel 7. Daftar Kuncen Kampung Kuta, Juni 2010 ......................................... 51
Tabel 8. Budaya Pamali dalam Pengelolaan Sumberdaya Air dan Hutan
di Hutan Keramat................................................................................ 56
Tabel 9. Peran Laki-laki dan Wanita dalam Pengelolaan Sumberdaya Air .... 68
Tabel 10. Keberhasilan Kampung Kuta dalam Melestarikan Budaya Pamali ... 69
Tabel 11. Pamali dan Implikasi terhadap Pelestarian Sumberdaya Alam ......... 70
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
Teks
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
Teks
BAB I
PENDAHULUAN
Bagi krama subak, air sangat bermakna dalam kehidupan mereka. Secara
teknis air merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi mereka agar dapat
melaksanakan aktivitas kehidupan bertani. Secara religius mata air diyakini
sebagai sumber kesejahteraan mereka. Hal ini dapat dilihat melalui aktivitas-
aktivitas keagamaan yang dilakukan petani selalu berorientasi pada pura-pura
yang terletak pada sumber-sumber air utama, yaitu Pura Ulun Suwi dan Pura
Ulun Danu.
Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat lokal atau masyarakat adat
merupakan modal sosial masyarakat dalam bentuk suatu kebijakan tradisional
ataupun kearifan lokal suatu komunitas tertentu. Aplikasi dari kearifan lokal ini
akan memberi pedoman bagi masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan
lingkungan ekologinya serta memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu,
identifikasi dari aplikasi kearifan lokal ini dianggap penting untuk mengetahui
sejauh mana kearifan lokal dapat bertahan hidup di masyarakat dan sejauh mana
kearifan lokal mampu beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi pada
masyarakat.
Berdasarkan contoh kasus Subak di atas, maka pengelolaan sumberdaya
air di hulu sangat menentukan keberlanjutan dari sumberdaya air tersebut. Melalui
pengelolaan daerah hulu yang baik maka masyarakat akan mendapatkan manfaat
penghidupan yang lebih baik dan lebih pasti dari keberadaan air bersih. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, pengelolaan sumberdaya alam di daerah
hulu semakin sulit dilakukan, air semakin mengalami kelangkaan. Pengelolaan
yang buruk di hulu akan berakibat pada kehancuran di hilir. Untuk itu diperlukan
upaya untuk mengelola sumberdaya air melalui kearifan lokal. Hanya sebagian
kecil masyarakat pada daerah-daerah khusus yang mampu melakukan pelestarian
sumberdaya air di daerah hulu, salah satunya Kampung Kuta yang memiliki
kearifan lokal melalui budaya pamali dalam pelestarian lingkungan. Maka
perumusan masalah yang dapat diambil untuk penelitian ke depan yaitu:
1. Bagaimana bentuk kearifan lokal sebagai upaya menyelamatkan sumberdaya
air yang terdapat di Kampung Kuta?
2. Bagaimana implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian
sumberdaya air?
4
BAB II
PENDEKATAN TEORITIS
3. Kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antara subyek dengan
obyek. Atau dengan kata lain bahwa kearifan lokal memandang bahwa alam
dan budaya maupun subyek dan obyek merupakan satu kesatuan yang
memiliki hubungan timbal balik.
4. Terdapat suatu komitmen yang memandang bahwa lingkungan lokal bersifat
unik dan merupakan tempat yang tidak dapat berpindah-pindah.
5. Di dalam memahami alam, tidak digunakan pendekatan instrumental.
Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan bahwa
bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai,
norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam
ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi
tersebut antara lain adalah:
1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
BAB III
PENDEKATAN LAPANG
Kalpataru dalam hal upaya menjaga dan ramah lingkungan. Penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2010.
BAB IV
KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN
masa yaitu mata air Ciasihan. Selain itu terdapat pula mata air Panyipuhan,
Cinangka, dan Cibungur.
tidak tamat SD atau tidak pernah sama sekali duduk di bangku sekolah.
dibantu oleh seorang ketua adat, seorang wakil ketua adat, seorang sekretaris adat,
dan seorang bendahara adat.
BAB V
SEJARAH KAMPUNG KUTA
Tuan Batasela bahwa jika utusan Cirebon telah ada di Kuta lebih dulu maka harus
mengalah dan tidak boleh kembali ke Solo. Dengan adanya perintah tersebut
maka kedua utusan berusaha keras agar dapat mencapai Kuta lebih dahulu.
Setelah kedua utusan itu berjalan siang malam entah berapa hari lamanya,
maka pada hari Kamis wage datang utusan dari Solo pada siang hari, dengan
melalui Sungai Cijolang yang kebetulan alirannya sedang deras dan besar. Jalan
bekas penyeberangan di Sungai Cijolang itu sampai sekarang terus hidup dilalui
manusia untuk penyeberangan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, penyeberangan
tersebut diberi nama pongpet. Kemudian, Batasela beristirahat di suatu kampung
kecil, bermalam di tempat tersebut, dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Begitupun dengan utusan dari Cirebon, Raksabumi sampai di suatu kampung
yang berdampingan dengan kampung yang ditempati oleh Batasela. Namun,
Raksabumi tidak bermalam di tempat tersebut melainkan melanjutkan perjalanan
ke Kuta melalui jalan yang curam, yang sampai sekarang jalan itu masih dipakai
oleh masyarakat yang diberi nama regol.
Setelah sampai, Raksabumi sendiri segera membuka hutan dan
membanagun pemukiman di sekitar situ (danau/rawa) dan dikenal dengan nama
pamarakan, artinya tempat marak atau menangkap ikan dengan cara
mengeringkan airnya. Sebagian masyarakat menyebutnya pamrekan bukan
pamarakan. Pamrekan berarti dekat karena Raksabumi membangun pemukiman
dekat dengan daerah yang dimaksud. Keesokan harinya, Batasela melanjutkan
perjalanan ke Kuta tetapi sudah terdahului oleh Raksabumi. Oleh karena itu,
Batasela menyerah dan kembali ke kampung tempat ia bermalam yang letaknya
ada di sebelah utara Kampung Kuta.
Menurut cerita, utusan dari Solo tersebut kekurangan makanan dan
meminta-minta kepada masyarakat di tempat itu tetapi tidak ada yang memberi,
kemudian keluar kata-kata dari Batasela “dikemudian hari di Kampung ini tidak
akan ada yang kaya”. Ternyata sampai sekarang kampung itu rakyatnya sedang-
sedang saja dan tidak ada yang kaya. Karena menderita akhirnya Batasela bunuh
diri dengan keris dan darah yang keluar berwarna putih yang terus mengalir
berbentuk parit, parit itu disebut Cibodas dan sampai sekarang kampung disebelah
utara Kuta bernama Cibodas. Kemudian, Batasela dimakamkan di kampung
24
b. Upacara Nyuguh
Upacara ini merupakan upaca wajib yang selalu dilakukan pada tanggal
25 Safar (Kalender Hijriah). Upacara ini melibatkan seluruh masyarakat
Kampung Kuta yang bertempat di dodokan yang merupakan tempat
duduk/singgah Prabu Ajar sebelum mencapai Kampung Kuta. Dodokan
ini berada di sebelah Timur Kampung Kuta, tepatnya di pinggiran Sungai
Cijolang yang merupakan perbatasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Upacara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan rejeki
dan terhindarnya malapetaka yang menimpa masyarakat Kampung Kuta.
c. Upacara Hajat Bumi
Upacara ini merupakan bagian dari upacara Nyuguh, sebelum dilakukan
Nyuguh, masyarakat akan memulai upacara Hajat Bumi di bale dusun.
Upacara ini pun melibatkan seluruh masyarakat Kampung Kuta.
Tujuannya adalah untuk mensyukuri keberhasilan dalam bercocok tanam
terutama padi dan juga memohon perlindungan pada masa tanam yang
akan datang.
d. Upacara Babarit
Upacara ini dilaksanakan apabila terjadi gejala-gejala alam seperti gempa
bumi, kemarau panjang, banjir atau kejadian alam lainnya. Upacara ini
dipimpin oleh ajengan dan kuncen dengan membaca doa untuk memohon
kepada penguasa alam dan para karuhun agar masyarakat terhindar dari
bencana. Upacara ini dilengkapi dengan sesajian dan makanan sebagai
persembahan kepada para leluhur.
Selain masih mempertahankan berbagai upacara adat, masyarakat
Kampung Kuta mengenal berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun
kesenian modern, diantaranya: calung, reog, sandiwara (drama sunda), tagoni,
keliningan, jaipongan, qasidah, ronggeng, dan kesenian dangdut. Kesenian
tersebut dipertunjukkan pada saat hajatan perkawinan atau pada saat penerimaan
tamu kampung. Kelompok kesenian yang terdapat di Kuta, yaitu:
1. Degung, merupakan kesenian tradisional dengan seperangkat gamelan.
Kesenian ini dapat dimainkan secara instrumentalia dan mengiringi sinden
atau penari.
27
BAB VI
KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG KUTA
“…nah teu kenging mendem mayit di Kuta. Semua yg ada disini teh
asalna amanah. Tempat kesucian. Kecuali bayi. Waktu Ki Bumi maot
oge di pendemna di Marga. Jadi sadayana warga Kuta kudu dipendemna
di Cibodas, pokona di luar Kuta…”
31
(Tidak boleh mengubur mayat di Kuta. Semua yang ada disini asalnya
amanah. Tempat kesucian. Kecuali bayi. Saat Ki Bumi meninggal juga di
kuburnya di Marga. Jadi semua warga Kuta harus dikubur di Cibodas,
pokoknya di luar Kuta.)
(longsor). Hal ini sesuai dengan yang diukapkan oleh Bapak Krmn (45
tahun):
“…disini juga ga boleh bikin sumur, jadi warga lamun mau ke air, ya
kudu ke jamban pemandian umum, ari larangan teh kusabab tanah disini
mah labil jadi klo bikin sumur ntar malah jadi bahaya…”
(disini juga tidak boleh membuat sumur, jadi warga jika mau ke air harus
ke jamban atau pemandian umum. Larangan tersebut dikarenakan tanah
disini labil jadi jika membuat sumur akan membahayakan.)
Sanksi yang berupa musibah atau kemarahan karuhun yang diterima tidak
hanya sebatas kepada keempat hal yang difokuskan dalam budaya pamali.
Namun, pada hal-hal kecil yang sekiranya mengganggu ketentraman masyarakat
Kampung Kuta dan tidak disukai oleh karuhun dapat saja terjadi. Seperti yang
diceritakan oleh Bapak Krmn (45 tahun) mengenai kejadian-kejadian yang terjadi
di Kampung Kuta di bawah ini:
jalan, dibutakeun jalanna. Nah eta anu disebut melanggar, jadi karuhun
murka. Aya deui taun 2000an waktu Ibu Gubernur datang sama
rombongannya, supirna mau jalan-jalan muter kampung, tapi manehna
nanya “moal sasab kan disini?”, nya eta manehna oge jadi dibutakeun
jalan ku karuhun gara-gara ngomong sabab. Jadi disini mah ga boleh
ngomong sasab, ari sasab teh kasasar kitu, kusabab ari si Kuta mah nang
sakieu ungkul wilayahna jadi lewat jalan manapun ga bakal sasab. Aya
deui keur rombongan mahasiswa, nginepna di rumah Pa Kuncen, eta
perempuan semua, tapi mereka teh sok gayana, jadi lamun didieu teh
ulah sok, eta pas tengah malem jam12an aya harimau berdiri dina kaca
rumah Pa Kuncen, harimau sareng bayangan item gede. Eta aya
genepan mahasiswana, ngeliat semua mereka. Meuni sararieuneun. Nah
jadi disini mah ulah sembarangan, kusabab setiap perbuatan urang anu
salah pasti aya wae balesannana ti karuhun…”
(Disini aman, motor disimpan di mana-mana saja juga aman, tidak seperti
di kota, rumah harus di kunci, disini rumah tidak di kunci juga aman.
Tidak ada yang berani karena selalu ada kejadian jika melanggar. Tapi
rata-rata yang terkena musbah bukan orang Kuta tapi orang luar Kuta
karena orang Kuta tidak akan berani melanggar. Contohnya pada tahun
70an, ada orang Cibodas sedang merayap di tebing, setelah ditanya
ternyata dia maling jemuran, katanya jadi tidak terlihat jalan, dibutakan
jalannya. Nah itu yang disebut melanggar, jadi karuhun marah. Ada lagi
tahun 2000an saat Ibu Gubernur datang bersama rombongnnya, supirnya
ingin jalan-jalan keliling kampung, tapi dia bertanya “tidak akan kesasar
kan disini?”, lalu dia juga dibutakan jalannya oleh karuhun karena
berbicara “kesasar”. Hal ini dikarenakan, Kuta hanya sigini saja
wilayahnya jadi lewat jalan manapun tidak akan kesasar. Ada lagi ketika
rombongan mahasiswa yang menginap di rumah Pak Kuncen, perempuan
semua yang gayanya “sok”. Saat tengah malam jam12an ada harimau
berdiri di kaca rumah Pak Kuncen, harimau dan bayangan hitam besar.
Keenam mahasiswa tersebut melihat semua dan ketakutan. Jadi disini
tidak boleh sembarangan karena setiap perbuatan kita yang salah pasti
ada saja balasannya dari karuhun.)
Selain keempat hal pokok yang ditekankan dalam pamali tersebut, terdapat
prinsip pamali yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan masih
dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta, yaitu sebagai berikut:
1. Teu kenging ka cai wayah bedug, artinya: tidak boleh pergi ke air/ke jamban
pada saat tengah hari atau dzuhur.
Tabu ini menunjukkan kepercayaan masyarakat Kampung Kuta terhadap
makhluk atau roh halus sebagai pengganggu dan pemelihara. Roh/makhluk
pengganggu biasanya berkeliaran pada waktu dzuhur dan sareupna/maghrib
di tempat-tempat pemandian. Jika hal ini dilanggar, si pelanggar akan
kesurupan atau akan sakit. Secara logis larangan tersebut berhubungan
dengan kesehatan manusia. Tengah hari matahari sedang pada puncaknya
35
termasuk suhu tubuh, jika pada saat suhu tubuh disiram air dingin akan
menyebabkan penurunan yang drastis suhu tubuh secara mendadak akibatnya
yang bersangkutan akan pingsan atau masuk angin. Begitupun pada saat
maghrib udara sudah dingin, jika memaksakan mandi tubuh akan kebulusan
(menggigil kedinginan) yang tentunya akan berakibat sakit.
2. Lalaki teu kenging ka goah, artinya: laki-laki tidak boleh memasuki tempat
penyimpanan beras atau keperluan dapur (apalagi mengambilnya).
Tabu ini mengandung nilai bahwa di Kampung Kuta telah menetapkan
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas mencari
nafkah (di luar rumah) dan perempuan memasak serta menyiapkan makanan
di dapur (di dalam rumah). Jika seorang laki-laki mengerjakan pekerjaan
perempuan dipandang rendah dalam kultur masyarakat, demikian pula
sebaliknya. Situasi tersebut menunjukkan adanya saling percaya antara suami
dan istri.
3. Teu kenging calik dina lawang panto, artinya: tidak boleh duduk diambang
pintu.
Tabu ini biasanya ditujukan kepada anak-anak. Kepada anak perempuan
biasanya ditambah dengan kalimat bisi nongtot jodo maksudnya susah
mendapatkan jodoh dan kepada anak laki-laki menggunakan kalimat bisi loba
halangan maksudnya dikhawatirkan banyak rintangan dalam melakukan
suatu pekerjaan. Dalam tabu ini mengandung ajaran pendidikan agar anak
laki-laki mau berusaha dan bekerja keras, sedangkan anak perempuan harus
dapat menjaga harga diri kewanitaannya. Secara logis larangan ini
dimaksudkan agar yang duduk tidak menghalangi orang lain yang lalu lalang,
tidak mustahil tamu yang akan datang pun dapat membatalkan kunjungan.
4. Teu kenging sisiaran sareupna, artinya: tidak boleh mencari kutu pada saat
maghrib.
Tabu ini ditujukan kepada anak perempuan, orang tua dilarang melakukan
pekerjaan ini karena pada waktu maghrib adalah waktu untuk beribadah.
Secara harfiah, apabila pekerjaan ini dilakukan akan dapat membuat
kerusakan pada mata karena telah berkurangnya sinar matahari.
5. Ngaran teu kenging tina bahasa jawa kudu sunda, artinya: nama tidak boleh
36
ditujukan kepada orang yang akan menjemput paraji atau dukun beranak.
Masyarakat Kampung Kuta mempercayai bahwa orang yang menjemput
paraji biasanya diikuti oleh makhluk halus pengganggu seperti kuntilanak
yang bertujuan mengganggu wanita sedang hamil atau mau melahirkan.
Makhluk halus tersebut takut dengan cahaya, maka disarankan untuk selalu
menggunakan obor.
10. Lamun nyadap ulah nyolendangkeun sarung, artinya: apabila akan menyadap
(air nira) tidak boleh berselendang sarung.
Tabu ini merupakan nasihat kepada para penyadap yang akan mengambil air
lahang (air nira). Jika menyadap sambil berselendang sarung dikhawatirkan
akan tersangkut pada barangbang (pelepah daun enau) dan orang tersebut
terjatuh. Tabu ini mengandung pesan bahwa dalam bekerja itu seseorang
harus disiplin, baik dalam penggunaan peralatan kerja ata dalam pakaian
kerja.
11. Tujuh poe sanggeus nikah teu meunang sakamar, artinya: tujuh hari setelah
menikah (mengucapkan akad nikah) tidak boleh sekamar.
Larangan ini muncul karena pernikahan jaman dulu yang terjadi dengan cara
dijodohkan orang tua sangat mungkin diantara keduanya tidak saling
mencintai atau rasa cinta hanya dimiliki oleh sebelah pihak saja. Oleh sebab
itu untuk mengantisipasi perceraian akibat ketidaksukaan terhadap
pasangannya, mereka tidak boleh tidur sekamar, dengan harapan jika terjadi
perceraian pun, gadis tersebut masih perawan.
12. Tujuh poe samemeh disepitan, teu kenging lulumpatan, artinya: tujuh hari
sebelum disunat, anak yang akan disunat tidak boleh berlari-lari (bermain-
main).
Tabu ini merupakan ungkapan sayang orang tua terhadap anaknya yang akan
disunat. Tabu tersebut erat kaitannya dengan masalah kesehatan anak yang
akan disunat. Jika berlari-larian dikhawatirkan pada saat disunat anak akan
sakit atau banyak mengeluarkan darah.
13. Teu kenging ka cai sareupna, artinya: tidak boleh ke jamban pada hari
menjelang malam atau saat magrib.
Tabu tersebut lebih ditujukan kepada wanita yang sedang hamil. Makna yang
38
terkandung dalam tabu tersebut berupa nasihat bahwa sebaiknya mandi tidak
terlalu sore atau malam hari karena udara dingin. Letak kamar mandi yang
jauh dari rumah dikhawatirkan membahayakan wanita hamil misalnya jatuh
terpeleset disebabkan penglihatan menjadi tidak jelas karena gelap.
14. Parawan teu kenging lila-lila di cai, artinya: seorang gadis atau perawan
tidak boleh terlalu lama di jamban.
Makna yang terkandung berupa nasihat kepada seorang gadis. Secara mistis
dipercaya benar bahwa kuntilanak senang bermain air, sehingga jika berlama-
lama di jamban dikhawatirkan akan diganggu kuntilanak. Secara logis jika
berlama-lama di air akan kedinginan. Selain itu, jika mandi terlalu lama,
tubuh yang tidak tertutup sehelai baju dikhawatirkan akan terlihat orang lain.
15. Ulah moyok urang Kampung Kuta, artinya: tidak boleh menghina orang
Kampung Kuta.
Larangan ini sebenarnya bukan hanya berlaku untuk orang kuta, tetapi
berlaku juga untuk orang lain. Sikap menghina orang lain adalah sikap salah,
orang yang dihina belum tentu lebih rendah daripada yang menhina. Tabu ini
bermakna bahwa manusia di mata Allah memiliki kedudukan yang sama,
tidak dibedakan oleh kekayaan, kedudukan, melainkan dibedakan oleh amal
perbuatannya.
16. Nu kakandungan teu kenging ngadahar butuh, artinya: wanita hamil tidak
boleh memakan kelapa yang sudah berkecambah (hampir menjadi kitri).
Tabu ini berisi nasihat kepada wanita hamil untuk tidak memakan buah
kelapa yang sudah hampir tumbuh tunas. Larangan ini berdasarkan pada
kepercayaan bahwa pelanggaran terhadap larangan ini akan mengakibatkan
bayi yang dilahirkan kelak akan terjangkit panas. Alasan ini sangat rasional
karena buah kelapa yang hendak muncul tunasnya dalam keadaan asam dan
dapat menggugurkan kandungan sama halnya jika memakan buah nanas
muda.
Bentuk kepercayaan terhadap hari baik dan hari buruk pun masih dianut
serta dipergunakan oleh masyarakat Kampung Kuta. Perhitungan hari tersebut
digunakan untuk untuk menentukan saat-saat baik dan kurang baik dalam
memulai kegiatan. Umumnya perhitungan didasarkan kepada nama orang yang
39
suami istri akan terhindarkan dari masalah rumah tangga, dan lain
sebagainya. Bagi anak yang dikhitan selain lancar dalam
penyelenggaraannya, juga anaknya diharapkan menjadi anak yang sholeh,
banyak rejeki, dan berbakti pada kedua orang tuanya.
Menentukan hari baik dan hari buruk untuk memulai suatu kegiatan tidak
dapat dilakukan sendiri, mengingat keterbatasan pengetahuan mereka akan
pengetahuan tersebut. Oleh sebab itu bagi penduduk yang memerlukan penentuan
hari baik dan hari buruk akan bertanya kepada orang yang menguasai ilmu
tersebut yaitu punduh. Punduh ini adalah sesepuh/kokolot yaitu laki-laki yang
telah tua usianya, sangat wajar orang tua dianggap punduh mengingat usia yang
menunjukkan banyaknya pengalaman hidup, dan berbagai kejadian dalam
kehidupan, atau sudah lama mengenal asam garam kehidupan.
Bentuk rumah di Kampung Kuta terikat oleh suatu aturan dalam bentuk
dan bahan bangunan yang digunakan, kriteria dari rumah adat tersebut dapat
dilihat pada Tabel 6. Pembangunan rumah baru atau memperbaiki rumah,
masyarakat masih tetap mengikuti bentuk dan material rumah adat Kampung Kuta
karena dilarang (pamali) membuat rumah dengan bahan selain yang dijelaskan di
atas. Membangun rumah tanpa merubah bentuk dan menggunakan bahan yang
sama dengan aslinya ini merupakan upaya pelestarian arsitektur rumah khas
Kampung Kuta yang perlu dipertahankan, dipelihara dan dijaga keasliannya.
Upaya pelestarian ini untuk menghindari pengaruh pola arsitektur rumah
dari luar Kampung Kuta atau menghindari tergesernya nilai-nilai rumah
tradisional yang memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Penataan ruangan
dalam rumah tetap mempertimbangkan aspek keindahan dan kepraktisan. Tidak
ada satupun pamali yang diperlakukan dalam penataan ruangan rumah, selain
bentuk atap, bentuk bangunan dan bahan bangunan rumah.
Kondisi rumah terpelihara dengan baik. Rumah-rumah yang rusak
dibangun atau diperbaiki dengan menggunakan bahan bangunan yang sesuai
dengan pesan leluhur yang tetap ditaati atau dipatuhi oleh mayoritas masyarakat
Kampung Kuta. Namun terlihat adanya pelanggaran terhadap aturan ini, terdapat
beberapa bangunan yang menggunakan bangunan permanen, menggunakan
tembok dan beratapkan genting atau asbes. Pelanggaran terhadap aturan ini
menyebabkan sebuah keluarga meninggal satu per satu di tahun 2004, hal ini
sesuai dengan pernyataan Bpk Mryn (64 tahun):
“…eta teh kana nu saur sesepuh anu tos ngalanggar amanah. Aya hiji
bangunan tos dibongkar. Aya hiji deui anu teu acan. Ieu teh anu saur
sepuh tos ngarampak amanah, sok aya bae kajadianana. Langsung bikin
tembok, langsung musibah. Langsung maot sakaluarga. Langsung udur,
taun 2004an. Aya bahasa/amanah Urang mah ulah hayang hirup-hirup
dikubur, aya oge ulah bikin istana jadi astana. Upami katinggang jadi
maot, astana kan hartina kuburan...”
(Itu yang menurut lelehur yang sudah melanggar amanah. Ada satu
bangunan yang sudah dibongkar dan satu lagi belum. Ini yang disebut
melanggar manah, ada saja kejadiannya. Membuat rumah tembok,
langsung dapat musibah dan meninggal sekeluarga. Meninggal tahun
2004an. Ada bahasa, kita jangan mau hidup-hidup dikubur, jangan
membuat rumah jadi kuburan. Jika ketimpa jadi meninggal.)
42
bumi). Di puseur bumi kuncen akan mengucapkan ikrar atau mantra yang
berbunyi:
“…disinimah suci gabisa dibawa jahat. Ada orang niat jahat ga bakal
bisa masuk. Dulu ada tentara pengen nginep didalem keramat, kta bapak
ga boleh, disini mah bukan tempat semedi. Ceuk tentara teh ‘ah saya
mah penasaran’ terus masuk ka keramat tentara teh. Ari pas masuk
ceunah aya suara anu ngomong ka tentara di jero keramat “balik siah
tong ngajedog didieu, didieu mah lain tempat pamukiman jelema, ieu
mah tempat suci”. Trus ku bapa kuncen disusulan da sieun kunanaon
diditu, dicari jam12 malem ke keramat, tapi teu aya di jero keramat. eh
ketemunya lagi ngerayap ditebing tinggi di lampiran. Keur ngaronta-
ronta diditu. Isukanana dianter ku bapak kuncen ka karemat, tentarana
menta maap ka nu aya dijero hutan gede. kajadianana tahun 80an. Eta
tentara nepi ayeuna teu pernah lagi nincak kesini..”
(disini suci, tidak bisa dibawa jahat. Ada orang niat jahat tidak dapat
masuk. Dulu ada tentara ingin menginap di dalam Hutan Keramat. Tapi
tidak diboleh kan oleh Bapak Kuncen karena di sini bukan tempat untuk
bersemedi. Tentara itu berkata ‘saya penasaran’ lalu masuklah tentara
tersebut. Setelah masuk ada suara yang didengar oleh tentara di dalam
Hutan Keramat “pulang kamu jangan diam disini, disini bukan tempat
tinggal manusia, ini tempat suci”. Lalu karena khawatir, Bapak Kuncen
menyusul ke dalam dan tidak menemukan tentara tersebut. Tentara
tersebut ditemukannya sedang merayap di tebing tinggi dan sedang
meronta-ronta disana. Keesokannya Bapak Kuncen mengantarkan tentara
tersebut ke dalam Hutan Keramat untuk meminta maaf kepada yang
tinggal di dalam hutan nesar. Kejadian ini terjadi tahun 80an. Hingga saat
ini tentara tersebut tidak pernah kembali ke Kampung Kuta.)
49
5. Jika kuncen meninggal dalam usia muda, dan anak laki-lakinya belum ada
yang dewasa (akil balig), maka jabatan kuncen diduduki oleh adik laki-laki
kuncen.
6. Jika kuncen tidak memiliki anak laki-laki, maka yang menggantikannya
adalah keponakan laki-laki dari keturunan bapak dan jika dari garis keturunan
bapak tidak memiliki anak laki-laki (termasuk didalamnya belum memenuhi
ketentuan adat), maka kuncen dijabat oleh keponakan anak laki-laki dari adik
atau kakak perempuan bapak.
7. Untuk mencegah timbulnya perselisihan karena banyak kerabat dekat kuncen
yang masing-masing merasa berhak menggantikan kuncen sebelumnya, maka
diadakan musyawarah adat yang dihadiri oleh pejabat formal tingkat desa dan
dusun, orang yang dituakan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki
pengaruh untuk berembuk dan memutuskan siapa diantara mereka yang
paling berhak dan pantas menjadi kuncen (sebagai pedoman utama dalam
penentuan siapa yang menjadi kuncen berdasarkan rembukan ini adalah
silsilah dan aspek-aspek lain yang tidak bertentangan dengan adat). Setelah
keputusan diambil, seluruh kerabat kuncen dikumpulkan di Balai Dusun dan
diberitahu tentang hasil rembukan dan meminta agar mereka menerima apa
yang sudah diputuskan dengan ikhlas.
8. Upacara pelantikan/penetapan kuncen biasanya dilakukan keesokan harinya,
dimana dalam upacara itu selain dihadiri kerabat dekat kuncen juga
disaksikan oleh pejabat formal dan seluruh masyarakat Kuta, sehingga tidak
ada keraguan tentang siapa yang menjadi kuncen.
9. Benda-benda yang menjadi pertanda kekuncenan berupa sebilah keris,
sebilah tombak, dan sebuah benda yang terbuat dari rotan dengan ukuran
sejengkal diserahkan kepada kuncen baru, yang akan terus dimiliki dan dijaga
sampai dengan ia meninggal dunia atau menyerahkannya secara sukarela
kepada kuncen berikutnya. Berikut ini merupakan daftar nama kuncen yang
diinformasikan oleh Bapak Mryn (64 tahun):
51
6.4 Ikhtisar
Kearifan lokal yang ada di masyarakat Kampung Kuta berlandaskan pada
budaya pamali diwariskan oleh leluhur secara turun-temurun. Kearifan lokal
masih tetap dijalankan sampai saat ini karena sifatnya amanah sehingga harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan main yang ada di Kampung Kuta. Tabu atau
pamali terungkap dalam prinsip-prinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau
kuncen sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya.
Berdasarkan ungkapan-ungkapan yang ada, terdapat empat hal yang sangat
diutamakan dalam budaya pamali yang terbukti masih dipertahankan, dijaga, dan
dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Kuta. Keempat hal tersebut adalah
pelestarian rumah adat, pelarangan penguburan mayat di Kampung Kuta,
pelarangan pembuatan sumur, dan pelestarian Hutan Keramat berdasarkan aturan-
aturan pamali tersebut. Keempat hal tersebut menjadi norma adat yang mengikat
masyarakat karena bersumber dari kepercayaan spiritual masyarakat Kampung
Kuta.
Kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya air
adalah larangan dalam pembuatan sumur dalam. Prinsip pamali ini merupkan inti
dari seluruh bentuk pengelolaan sumberdaya air di Kampung Kuta.
Seluruh pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan terjadinya
musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga mengenai seluruh
penduduk kampung. Masyarakat Kampung Kuta meyakini bahwa sanksi yang
diterima pelanggar berasal dari karuhun yang murka.
BAB VII
IMPLEMENTASI DAN DINAMIKA KEARIFAN LOKAL DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR
“…cara masangna teh dibikin sumur dulu, klo udah dibikin sumur,
dimasukin selang ato paralon, langsung ditunggu nepi kaluar caina,
selangna dikira-kira beraha lenteun sampe anu dituju, misalnya ti
Cibungur ka jamban, 50 lente, 1 lente 4 meter. Tapi sumurnya dibikin
kurang lebih semeter, kadang setengah meter, pokona sampe aer keluar,
maksimal sameter..”
(Cara memangnya dibuat sumur terlebih dahulu, selanjutnya dimasukkan
selang atau paralon sampai airnya keluar. Selang yang digunakan dikira-
kira berapa lente sampai tempat yang dituju. Misalnya dari Cibungur ke
pemandian umum digunakan 50 lente yang 1 lente berarti 4 meter. Sumur
yang dimanfaatkan maksimal satu meter, bisa kurang dari satu meter,
terkadang setengah meter hingga air keluar.)
“…disini juga ga boleh bikin sumur, jadi warga lamun mau ke air, ya
kudu ke jamban pemandian umum, ari larangan teh kusabab tanah disini
mah labil jadi klo bikin sumur ntar malah jadi bahaya, ga boleh bikin
kamar mandi di dalem rumah, nah disini aja yang punya kamar mandi
cuma Bapak, itu juga letakna diluar rumah, dipinggir, ga boleh ada di
wilayah rumah yang bentuknya persegi, jadi kudu di misah ti bentuk
persegi. Ari masyarakat laen mah mending milih ka pemandian umum
kusabab ari pemandian umum mah selang-selangna tos dipasangkeun ku
warga. Pemasangan teh dilakukeun gotong royong. Ngambil air na ti
mata air Ciasihan anu paling seeur mah. Meskipun kemarau, eta
Ciasihan tetep weh ngalir, Ciasihan salah satu anu dijaga oge didieu,
jadi ga boleh nebang pohon disekitar wilayah dinya. Ari cai anu ngalir
ka bumi Bapak mah sanes ti Ciasihan, tapi ti Cibungur, caket oge sareng
Ciasihan. Lamun Bapak mah pake listrik, jadi di tarik ku Sanyo…”
(disini juga tidak boleh membuat sumur, jadi warga jika mau ke air harus
ke jamban atau pemandian umum. Larangan tersebut dikarenakan tanah
disini labil jadi jika membuat sumur akan membahayakan. Tidak boleh
membuat kamar mandi di dalam rumah, disini yang memiliki kamar
mandi hanya Bapak, itupun letaknya di pinggir rumah, tidak boleh ada di
wilayah rumah yang berbentuk persegi. Masyarakat lain lebih memilih ke
pemandian umum karena disanan sudah ada selang-selang yang
dipasangkan oleh warga. Pemasangan ini dilakukan secara gotong
royong. Sumber air yang dimanfaatkan dari Ciasihan. Meskipun kemarau,
Ciasihan tetap mengalir. Ciasihan termasuk salah satu yang dijaga disini,
jadi tidak boleh menebang pohon di sekitar wilayah. Air yang mengalir
ke rumah Bapak bukan dari Ciasihan tapi dari Cibungur, letaknya juga
dekat dengan Ciasihan. Tapi Bapak menggunakan listrik untuk
mengambila air tersebut, menggunakan Sanyo.)
“…ibu mah lamun bade ibak, bade nyeuseuh, yaa ka jamban weh. Pan
didieu mah teu kenging ngadamel kamar mandi, trus deui upami make
Sanyo mah kudu dibayar listikna meureun, jadi ibu mah ka jamban wae
meskipun jauh ti bumi, da entos biasa ti baheula tiap hari ka jamban…”
(Jika mau mandi, mencuci, ibu pergi ke jamban atau pemandian umum.
Karena disini tidak boleh membuat kamar mandi, dan lagi jika
menggunakan Sanyo harus dibayar listriknya. Jadi ibu pergi ke jamban
saja meskipun jauh dari rumah karena sudah biasa dari dulu tiap hari ke
jamban.)
tercemar. Sehingga masyarakat selalu berusaha untuk menjaga agar kondisi atau
kualitas air di hulu tetap terjaga. Jadi secara sadar atau pun tidak mereka telah
melakukan penjagaan dan konservasi terhadap lingkungan mata air.
Pengelolaan sumberdaya air yang dilakukan oleh masyarakat Kampung
Kuta merupakan suatu upaya pendayagunaan sumber-sumber air dengan upaya
pengendalian dan pelestariannya. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Saleh
dan Rasul (2008) mengenai pengelolaan sumberdaya air. Upaya pengendalian dan
pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat berhubungan dengan kearifan lokal
yang terdapat di Kampung Kuta. Dengan adanya budaya pamali mengenai
pelarangan pembuatan sumur di Kampung Kuta, maka masyarakat memiliki
inisiatif dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air.
Tidak ada aturan adat khusus atau pamali yang berhubungan dengan
teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya air tersebut. Namun,
masyarakat wajib menjaga kelestarian sumberdaya air dengan tidak menebang
pohon disekitar area sumber air. Tanpa adanya aturan tertulis dengan sanksi
tertulis pun masyarakat tetap mematuhi aturan adat ini. Hal ini dikarenakan
masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengelola sumberdaya air
sebaik mungkin sehingga segala kebutuhan masyarakat akan air akan terpenuhi
dengan baik. Mereka menyadari bahwa pengelolaan sumberdaya air di hulu sangat
diperlukan dan secara tidak langsung masyarakat Kampung Kuta sudah
melakukan konservasi terhadap sumberdaya air. Ditambah lagi, masyarakat mulai
melakukan penanaman tanaman tahunan seperti sengon/albasiah.
peraturan adat pamali yang terkait dengan kelestarian Hutan Keramat yaitu:
1. Tidak boleh menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal).
2. Tidak boleh meludah, buang air kecil dan besar di areal Hutan Keramat,
2. Tidak boleh membawa alat-alat yang terbuat dari besi seperti golok dan sabit,
karena dengan membawa alat tersebut memungkinkan seseorang melakukan
penebangan terhadap pohon-pohon yang menghalangi jalan misalnya.
3. Tidak boleh menangkap apalagi membunuh binatang yang ada di Hutan
Keramat.
4. Tidak boleh mematahkan ranting apalagi menebang pohon-pohon yang ada di
Hutan Keramat.
5. Tidak boleh membuang sampah yang mengandung api.
Tabel 8. Budaya Pamali dalam Pengelolaan Sumberdaya Air dan Hutan di Hutan
Keramat
Sumberdaya Sumberdaya Air Sumberdaya Hutan
Kelembagaan Budaya Pamali Budaya Pamali
Aktor Penting - Kuncen - Kuncen
- Pemilik tanah - Seluruh masyarakat Kampung Kuta
- Pemilik selang
- Seluruh masyarakat
Kampung Kuta
Norma- 1. Tidak boleh 1. Tidak boleh menggunakan alas
normanya membuat sumur kaki (sepatu atau sandal).
dalam, maksimal 2. Tidak boleh meludah, buang air
hanya satu meter. kecil dan besar di areal Hutan
2. Tidak boleh Keramat.
menebang pohon 3. Tidak boleh membawa alat-alat
di sekitar kawasan yang terbuat dari besi seperti
sumber air. golok dan sabit, karena dengan
membawa alat tersebut
memungkinkan seseorang
melakukan penebangan terhadap
pohon-pohon yang menghalangi
jalan misalnya.
4. Tidak boleh menangkap apalagi
membunuh binatang yang ada di
Hutan Keramat.
5. Tidak boleh mematahkan
ranting apalagi menebang
pohon-pohon yang ada di Hutan
Keramat
6. Tidak boleh membuang sampah
yang mengandung api.
57
diakibatkan oleh adanya rasa penasaran dari pihak tertentu untuk mencoba hal-hal
baru yang sebenarnya sudah melanggar pamali. Dari keempat norma adat yang
ditekankan dalam budaya pamali, perubahan hanya terlihat dari pelestarian rumah
adat saja. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Mryn (64 tahun) berikut:
“…ya memang aya perubahan, lebih luwes, tapi upami kaca teu
dimanahkeun. Kamar mandi saleresna mah teu kenging, kudu misah
sareng bangunan imah...”
(Ya memang ada perubahan, jadi lebih luwes. Jika kaca tidak
diamanahkan. Kamar mandi seharusnya tidak boleh, harus memisah dari
bangunan rumah.)
seorang wanita menikah dengan laki-laki Kampung Kuta, maka wanita tersebut
akan menetap di Kampung Kuta. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab
pergeseran karena adanya budaya-budaya yang masuk yang dibawa oleh orang-
orang luar tersebut. Budaya yang dimaksudkan contohnya dalam hal pembuatan
rumah, para pendatang umumnya berasal dari daerah perkotaan sehingga mereka
terbiasa dengan bentuk rumah yang bertembok. Hal ini sangat bertentangan
dengan aturan adat di Kampung Kuta. Selain itu, perpindahan penduduk
berhubungan dengan mata pencaharian. Beberapa masyarakat Kampung Kuta
memilih untuk meninggalkan Kampung Kuta untuk mencari pekerjaan di luar
pertanian. Umumnya mereka pergi ke Kabupaten Ciamis, Jawa Tengah, dan
Jakarta.
Nilai
Ketaatan Masyarakat pada
Kekuatan Supranatural
Faktor penyebab
Implikasi terhadap perubahan
1. Kelestarian 1. Perpindahan atau
sumberdaya alam masuknya penduduk
2. Masyarakat lain ke Kampung Kuta
Kampung Kuta 2. Kemajuan IPTEK
“…ari perubahan teh asalna tina pengaruh tv, anu ngadamel bumi ku
tembok the gara-gara naronton tv pasti. Yah memang lamun aturan
adat mah teu ngalarang teknologi berkembang di Kampung Kuta
soalna teu termasuk anu diamanahkeun ku laluhur didieu. Masyarakat
Kuta mah terbuka tina hal-hal baru anu sakirana teu mere pengaruh
jore sareng teu bertentangan sareng Pamali…”
(Perubahan ini muncul setelah masuknya televisi. Namun, untuk aturan
adat Kampung Kuta sendiri tidak melarang teknologi berkembang di
Kampung Kuta karena hal ini tidak termasuk hal yang diamanahkan
oleh leluhur mereka. Masyarakat Kampung Kuta terbuka terhadap hal-
hal baru yang sekiranya tidak akan memberikan pengaruh buruk bagi
mereka dan tidak bertentangan dengan pamali atau tabu Kampung
Kuta.)
Kampung Kuta sangat menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual yang ada dalam
pamali tersebut. Mayoritas masyarakat masih mempertahankan budaya pamali ini
sebagai pedoman hidup mereka sehari-hari. Aturan ini sudah mengikat mereka
secara turun-temurun, setiap masyarakat dari bebagai golongan usia sudah
mengenal mengenai budaya pamali ini.
Untuk kasus di Kampung Kuta, tidak terjadi peluruhan kearifan lokal.
Beberapa perubahan memang ada namun tidak mempengaruhi budaya pamali
sebagai landasan kearifan lokal di Kampung Kuta. Berdasarkan keempat hal
pokok aturan dalam budaya pamali, hanya aturan mengenai pembuatan rumah
yang mengalami pergeseran. Hal ini ditandai dengan ditemukannya dua bangunan
rumah tembok. Perubahan ini pun tidak mempengaruhi atau menimbulkan
dampak negatif pada pengelolaan sumberdaya alam di sekitar Kampung Kuta.
boleh?” maka semua orang tua akan menjawabnya dengan perkataan “pamali”.
Dengan jawaban itu, umumnya anak-anak paham dengan jawaban orang tuanya
dan mentaati apa yang dimintanya. Namun jika ada anak yang tidak puas dan
kembali bertanya “mengapa pamali?” maka sebagian dari orang tua akan
menjawabnya dengan “pokona pamali, budak mah teu kudu apal” (pokoknya
tidak boleh, anak-anak tidak perlu tahu alasannya). Sebagian lain menjawabnya
dengan memberikan contoh-contoh kejadian (musibah) yang dialami oleh orang
yang melakukan pelanggaran. Dan beberapa orang tua yang menjawabnya dengan
cara memberikan penjelasan berdasarkan kisah yang mengiringi munculnya
aturan tersebut, yaitu kisah kedatangan Ki Bumi dan Ki Batasela.
Kendala dalam transfer of knowledge ini adalah waktu yang diperlukan
dalam memberikan pemahaman kepada para generasi muda mengenai cerita-cerita
masa lalu yang terkait dengan budaya pamali. Tidak adanya sumber catatan atau
tulisan mengenai budaya pamali ini menyebabkan pamali hanya diketahui dari
mulut ke mulut. Sehingga memungkinkan adanya perbedaan persepsi dari setiap
orang yang menerimanya. Namun, hal ini tidak merubah pemahaman mereka
mengenai larangan-larangan yang terkait dengan pamali. Hal-hal yang
disampaikan kepada generasi muda seperti pamali dalam memasuki Hutan
Keramat dan pamali dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
Seiring berjalannya waktu, para generasi muda ini akan terus diberikan
pengetahuan mengenai aturan-aturan yang sangat ditekankan dalam pamali. Oleh
karena itu kearifan lokal pamali ini akan terus berkelanjutan dari generasi ke
generasinya. Masyarakat Kampung Kuta terus menjaga dan melestariakan budaya
pamali ini agar langgeng dan dapat diturunkan kepada generasi-generasi
selanjutnya.
Proses transfer of knowledge yang dilakukan oleh generasi tua kepada
generasi muda sejak mereka masih kecil menjadi kunci utama dalam proses
pelanggengan kearifan lokal pamali. Proses penanaman pengetahuan ini tidak
mengalami penolakan karena pada umumnya seorang anak akan mendengarkan
apa yang dikatakan oleh orangtuanya. Hal ini akan mempermudah dalam
memberikan pemahaman kepada para generasi muda mengenai pentingnya
pamali.
66
Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa laki-laki berperan pada ketiga hal
dalam pengelolaan sumberdaya air (pemeliharaan, pemanfaatan, dan konservasi)
sedangkan wanita lebih fokus pada pemanfaatan sumberdaya air. Ketiga pembeda
dalam pengelolaan sumberdaya air ini didasarkan pada keterlibatan laki-laki dan
wanita dalam pengelolaan sumberdaya air tersebut.
Keterlibatan laki-laki pada ketiga hal di atas juga berhubungan dengan
prinsip pamali yang berbunyi lalaki teu kenging ka goah. Makna yang dapat
diambil adalah laki-laki bertugas di luar rumah sedangkan perempuan mengurusi
hal-hal yang berhubungan dengan urusan di dalam rumah. Berdasarkan tabu
tersebut, pada pengelolaan sumberdaya air pun laki-laki yang lebih terlibat dalam
hal pemeliharaan, pemanfaatan, dan konservasi sumberdaya air. Wanita hanya
memanfaatkan sumberdaya air tersebut untuk memenuhi keperluan pribadi dan
rumah tangga.
pengelolaan hutan dan air dengan berlandaskan budaya pamali yang telah
dilakukan secara turun-temurun.
Melalui pengelolaan secara adat, kelestarian Hutan Keramat sebagai
penyangga Kampung Kuta akan tetap lestari. Keanekaraganaman tumbuhan,
satwa, dan ekosistem di dalamnya akan terjaga dengan baik. Melalui pengelolaan
air yang baik maka sumberdaya air di hulu tetap terjaga dengan baik sehingga
sumberdaya air tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung
Kuta. Dengan adanya pamali mengenai pelarangan pembuatan sumur, maka
masyarkat secara tidak langsung sudah melakukan konservasi terhadap
sumberdaya alam di sekitar kawasan Kampung Kuta. Mata air yang berada di
dalam maupun di luar Hutan Keramat akan terjaga dengan baik.
Tabel 10. Keberhasilan Kampung Kuta dalam Melestarikan Budaya Pamali
Kearifan Lokal Keberhasilan Kampung Kuta
1. Melestarikan rumah adat dusun
Kuta.
2. Melestarikan hutan lindung (Hutan
Keramat) dan satwa yang ada di
dalamnya.
3. Melestarikan sumber-sumber mata
air melalui
Budaya Pamali penanaman/pemeliharaan tanaman
tahunan sekitar mata air.
4. Melestarikan kesenian setempat
seperti Ronggeng Tayub, Terbang,
dan Gondang Buhun.
5. Melestarikan upacara adat setempat
yaitu Nyuguh, Hajat Bumi, dan
Babarit.
Kearifan lokal memandang antara manusia dengan alam adalah suatu
bagian yang tidak bisa dipisahkan dan saling mempengaruhi. Hubungan ini
melahirkan suatu kebiasaan untuk senantiasa memanfaatkan sumberdaya alam
dengan berpijak pada aspek-aspek ekologi. Bentuk pengelolaan sumberdaya hutan
dan sumberdaya air yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta melalui
budaya pamali telah menjaga kelestarian sumberdaya alam. Selain itu, aturan adat
mengenai pengelolaan Hutan Keramat merupakan salah satu bentuk konservasi
yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta secara turun temurun.
Keempat hal utama dalam budaya pamali kearifan lokal yaitu pelestarian
rumah adat, pengaturan mengenai Hutan Keramat, pelarangan pembuatan sumur,
70
7.6 Ikhtisar
Sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta digunakan dalam dua
fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat. Air
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum, masak,
MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi sawah, kolam ikan, dan memenuhi
kebutuhan hewan ternak diambil dari sumber air bersih yang berasal dari empat
mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan. Masyarakat
hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-
hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Pelarangan penggalian sumur ini
untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan untuk menjaga
tanah yang kondisinya sangat labil. Pelanggaran pembuatan sumur ini merupakan
salah satu budaya pamali yang sangat ditekankan di Kampung Kuta.
Sumberdaya air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual nyipuh adalah
sumber air yang berada di dalam Hutan Keramat. Pengelolaan Hutan Keramat
merupakan bagian dari budaya pamali yang memiliki norma-norma dan
merupakan suatu bentuk konservasi hutan yang dilakukan hingga saat ini oleh
masyarakat Kampung Kuta.
Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan
peluruhan kearifan lokal. Hal ini dikarenakan masyarakat masih memegang teguh
amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi
landasan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pergeseran memang terlihat
dari ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini
tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Bentuk kearifan
72
lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam
mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan
rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke
Kampung Kuta dan Kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK).
Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu
ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali. Selain itu,
penggunaan Sanyo juga dapat mengancam kelestarian kearifan lokal yang akan
berdampak pada hancurnya kelestarian lingkungan.
Kearifan lokal budaya pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu
dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of
knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan
melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang
efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.
Pengelolaan hutan dan air yang dilakukan masyarakat berhasil dalam
melestarikan lingkungan dan budaya adat yang diwariskan leluhurnya. Hal ini
dibuktikan dengan diterimanya penghargaan Kalpataru dalam hal pelestarian
lingkungan pada tahun 2002. Kearifan lokal memberikan implikasi bagi
kelestarian lingkungan dan bagi masyarakat Kampung Kuta. Melalui pengelolaan
secara adat, kelestarian Hutan Keramat sebagai penyangga Kampung Kuta akan
tetap lestari. Keanekaraganaman tumbuhan, satwa, dan ekosistem di dalamnya
akan terjaga dengan baik. Selain itu, keempat hal utama dalam kearifan lokal
pamali memiliki implementasi yang positif bagi pelestarian sumberdaya alam.
BAB VIII
PENUTUP
8.1 Kesimpulan
Kampung Kuta adalah salah satu kampung adat yang diakui
keberadaannya yang terletak di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari
Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Bentuk kearifan lokal yang berkembang
pada masyarakat Kampung Kuta adalah dalam bentuk budaya pamali yang sudah
dikenal dan merupakan amanah dilakukan secara turun-temurun sejak ratusan
tahun yang lalu. Kearifan lokal ini merupakan suatu keyakinan masyarakat
Kampung Kuta mengenai kepercayaan spiritual terhadap leluhur mereka dan
berkembang menjadi norma yang mengatur perilaku masyarakat lokal.
Tabu atau pamali terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang merupakan
prinsip-prinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai aturan
adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya. Berdasarkan prinsip-prinsip
kearifan lokal yang ada, terdapat empat hal yang sangat diutamakan dalam budaya
pamali yang terbukti masih dipertahankan, dijaga, dan dilaksanakan oleh
masyarakat Kampung Kuta. Keempat hal tersebut adalah pelestarian rumah adat,
pelarangan penguburan mayat di Kampung Kuta, pelarangan pembuatan sumur,
dan pelestarian Hutan Keramat berdasarkan aturan-aturan pamali tersebut.
Keempat hal tersebut menjadi norma adat yang mengikat masyarakat karena
bersumber dari kepercayaan spiritual masyarakat Kampung Kuta.
Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan
peluruhan kearifan lokal secara nyata. Sekalipun demikian terdapat indikasi wal
adanya modifikasi terhadap nilai-nilai baru yang masuk, seperti penggunaan
teknologi mesim pompa air, modifikasi bentuk rumah dan gaya modern, dan
penerimaan masyarakat terhadap gagasan pariwisata.
Namun, hingga saat ini masyarakat masih memegang teguh amanah yang
disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi
kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pergeseran memang terlihat dari
ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini
tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Bentuk kearifan
lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam
74
8.2 Saran
Perlu diadakan penelitian lanjutan yang berkaitan kearifan lokal
masyarakat Kampung Kuta. Mengingat keterbatasan pengetahuan peneliti,
memungkinkan masih banyak hal-hal lain yang masih belum tergali. Dengan
diketahuinya kearifan lokal masyarakat yang lebih mendalam, maka diharapkan
akan menjadi modal dalam menentukan bentuk pembangunan yang ideal
dijalankan di lokasi penelitian.
Masyarakat Kampung Kuta sudah berhasil dalam mempertahankan
kearifan lokal yang terangkum dalam budaya pamali. Namun, dengan dipeolehnya
penghargaan Kalpataru dalam kategori masyarakat pelestari alam dan lingkungan
dari Pemerintah Pusat, ada kecenderungan Kampung Kuta seperti dijadikan
daerah tujuan wisata budaya dan alam. Oleh karena itu, masyarakat dengan
dibantu oleh Pemerintah Pusat dan Daerah lebih selektif dalam menerima tamu
atau pihak-pihak yang ingin mengunjungi Kampung Kuta.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Hari/tanggal wawancara :
Lokasi wawancara :
Nama dan umur informan :
Jabatan :
Pertanyaan Penelitian:
1. Bagaimana sejarah Kampung Kuta?
2. Apa saja jenis ritual yang dilakukan?
3. Kapan saja waktu pelaksanaan?
4. Siapa saja pelaku yang terlibat?
5. Apa makna dari ritual adat yang dilakukan?
6. Apa saja bentuk kearifan lokal yang berada di Kampung Kuta?
7. Apakah norma-norma atau peraturan adat Kampung Kuta yang sesuai dengan
kearifan lokal tersebut?
8. Bagaimana bentuk kearifan lokal yang terdapat di kawasan Hutan Keramat?
9. Apakah norma/peraturan adat yang ada di dalam kawasan Hutan Keramat?
10. Mengapa dibuat peraturan adat di dalam kawasan tersebut?
11. Bagaimana pemeliharaan Hutan Keramat agar tetap terjaga kelestariannya,
terutama bagi mata air yang di dalamnya?
12. Apakah terjadi perubahan kearifan lokal di Kampung Kuta?
13. Apa saja yang aturan adat yang mengalami pergeseran?
14. Apa sumber perubahan?
15. Apakah norma-norma atau peraturan adat Kampung Kuta dalam pengelolaan
sumberdaya air?
16. Bagaimana pandangan Kampung Kuta terhadap proses pengelolaan
sumberdaya air?
79
luar kusabab orang Kuta mah moal berani melanggar. Contohna pas
taun 70, ada orang Cibodas keur ngarayap di tebing, pas ditanya
kunaon ternyata manehna nyolong jemuran, ceunah jadi teu
katingalian jalan, dibutakeun jalanna. Nah eta anu disebut
melanggar, jadi karuhun murka. Aya deui taun 2000 waktu Ibu
Gubernur datang sama rombongannya, supirna mau jalan-jalan
muter kampung, tapi manehna nanya moal sasab kan disini, nya eta
manehna oge jadi dibutakeun jalan ku karuhun gara-gara ngomong
sabab. Jadi disini mah ga boleh ngomong sasab, ari sasab teh kasasar
kitu, kusabab ari si Kuta mah nang sakieu ungul wilayahna jadi lewat
jalan manapun ga bakal sasab. Aya deui keur rombongan mahasiswa,
nginepna di rumah Pa Kuncen, eta perempuan semua, tapi mereka teh
sok gayana, jadi lamun didieu teh ulah sok, eta pas tengah malen
jamdua belasan aya harimau berdiri dina kaca rumah Pa Kuncen,
harimau sareng bayangan item gede. Eta aya genepan mahasiswana,
ngeliat semua mereka. Nah jadi disini mah ulah sembarangan,
kusabab setiap perbuatan urang anu salah pasti aya wae balesannana
ti karuhun…”
Bapak Krmn juga menjelaskan mengenai upacara ritual adat di Kampung Kuta:
“…Nyuguh sataun sekali, acaranya disatukan sama hasil bumi,
ngambil padi pake rengkong. Nyuguh untuk mensyukuri hasil panen.
Babaritmah, misalna ada pangiring-ngiring, lini, paririmbon
(petunjuk) misalna jam sekian bulan anu pasti ada di paririmbon, ini
teh saratna apa, harus disaratan udah ada di na paririmbon, baru
disebutna babarit. Jadi sedekah, makan bersama. Kaya tolak bala.
Misalnya disaratan ku embe hitam, pasti dilaksanakan ku masyarakat.
Dagingnya dimakan, kepala, kulit, kaki di kubur. Babrit bukan cuma
bencana hungkul, misalnya mau nyawah, itu babarit juga, abis panen
juga, trus mun kadangan ku karuhun, dina bulan mulud, rajab, jadi
sau kampung teh pada kumpul bawa nasi, babaritan. Babarit ga tentu,
gimana ada pangeling-ngeling (anu ngasih tau) dari karuhun. Hajat
bumi masyarakat satu kampung ikut ke Cijolang, bawa nasi sareng
deungeunna, bawa sesajen. Digotong pake rengkong, disini pake
hiburan, pake dogdog seperti gendang. Ngabring masyarakat datang
ka cijolang, trus pada dating ti desa, ti kabupaten. Jam 2 jam 3 start
ke cijolang ke panyawangan dina sisi Cijolang. Pangiringannya
diajukan ku sesepuh desa, terus makan-makan di sana. Pake boboko
diais…”
Lampiran
n 3. Dokum
mentasi
Gambar 4.
4 Penghargaan Kalpaataru
Gambar 5.
5 Rumah Adat
A Kamp
pung Kuta
91
Gambar 6.
6 Dodokan
n Tempat Upacara
U Nu
uguh
Gambar 7.
7 Permain
nan Gondan
ng
Gambar 8.
8 Rumah Tembok
T
Gambar 9.
9 Ritual Hutan
H Keramat
92
Gambar 10.
1 Mata Air
A Ciasihan
n
Gambar 11.
1 Pemasaangan denggan Sanyo
93