You are on page 1of 110

 

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR


DI KAMPUNG KUTA
(Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)

TIA OKTAVIANI SUMARNA AULIA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
 
 

ABSTRACT

TIA OKTAVIANI SUMARNA AULIA. Local Wisdom of Water Resources


Management at Kampung Kuta (Supervised by: ARYA HADI
DHARMAWAN).

Water is important resources to fulfill human needs. So, water resources


must managed properly in order to maintain the sustainability of resources. Water
resources management should adapt to each area’s characteristic because it has
different local wisdom. Local wisdom not only as the features of a community, but
also as the effort for ecological environment sustainability. The purpose of this
research is to identify the form of local wisdom that existed in Kampung Kuta and
identify local wisdom implementation in taking care of water resources
sustainability. The method of this research is qualitative approach with
descriptive research type. This descriptive research gives clear picture about
phenomenon of local wisdom and its application of water resources management.
Researcher uses methodologies triangulation that is deep interview, limited of
perception shares, and observation. Research data is presented in the form of
daily note and presented in direct citation. This research is conduct in the
countryside of Karangpaningal, District of Tambaksari, Sub-Province of Ciamis,
Province of West Java.
The result of this research shows existence of Pamali as the form of local
wisdom that defended society in by generations. The form of pamali that become
obligatory tradition norm of society that is continuity of tradition house,
enjoinment of dead body obsequies, enjoinment of well making, and continuity
Hutan Keramat. The culture of pamali as the local wisdom in Kampung Kuta not
experiences of transformation. This local wisdom are fixed defended and effective
in arranging society life and nature. Pamali are alighted from old generation to
the rising generation. Transfers of knowledge are conducted by mouth passed by
stories and effective for permanence the local wisdom. Local wisdom
implementation in water resources management seen from Pamali that prohibit
society to make well. Pamali has given positive impact of water resources
sustainability in Kampung Kuta. This condition are proved with the of
appreciation Kalpataru in the case of environment sustainability in 2002. Water
resources in Kampung Kuta are used in two functions that is to fulfill everyday
need and for ritual tradition Nyipuh in Hutan Keramat.

Keyword: Local Wisdom, Water Resources, Kampung Kuta, Pamali


 
 

RINGKASAN

TIA OKTAVIANI SUMARNA AULIA. KEARIFAN LOKAL DALAM


PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DI KAMPUNG KUTA. Desa
Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa
Barat (Dibawah bimbingan Arya Hadi Dharmawan).

Sumberdaya air merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk
keberlanjutan kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Keberadaan air dapat
berperan multiguna, dapat digunakan sebagai air minum dan MCK (mandi, cuci,
kakus), mengairi lahan pertanian, relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan
ekonomi. Oleh karena itu, sumberdaya air perlu dikelola dengan baik agar selalu
bermanfaat pada masa yang akan datang (dapat terus berkelanjutan).
Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan karakteristik daerah
masing-masing. Pada masyarakat adat, pengelolaan sumberdaya air harus
disesuaikan dengan kearifan lokal yang telah ada sejak masa lalu dengan sejarah
dan adaptasi yang lama. Kearifan lokal tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas
suatu komunitas saja, tetapi juga berfungsi sebagai upaya untuk pelestarian
lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat.
Kampung Kuta merupakan salah satu komunitas masyarakat adat yang
terletak di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari Kabupaten Ciamis
Provinsi Jawa Barat. Kampung adat ini dihuni masyarakat yang dilandasi kearifan
lokal, dengan memegang budaya pamali (tabu), untuk menjaga keseimbangan
alam dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat. Salah satu yang menonjol
adalah dalam hal pelestarian hutan dan pelestarian mata air untuk sumber
kehidupan mereka.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk kearifan lokal yang
terdapat di Kampung Kuta dan mengetahui implementasi kearifan lokal dalam
menjaga kelestarian sumberdaya air. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
deskriptif. Penelitian deskriptif ini memberikan gambaran yang jelas tentang
karakteristik dari fenomena kearifan lokal yang sedang diteliti, sehingga akan
 
 

diperoleh gambaran yang jelas dari kearifan lokal dan aplikasinya dalam
pengelolaan sumberdaya air.
Bentuk kearifan lokal yang berkembang pada masyarakat Kampung Kuta
adalah budaya pamali yang sudah dikenal dan merupakan amanah yang dilakukan
secara turun-temurun. Kearifan lokal ini merupakan suatu keyakinan masyarakat
Kampung Kuta mengenai kepercayaan spiritual terhadap leluhur mereka. Terdapat
empat hal yang sangat diutamakan dalam budaya pamali yang terbukti masih
dipertahankan, dijaga, dan dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Kuta.
Keempat hal tersebut menjadi norma adat yang mengikat masyarakat yaitu
pelestarian rumah adat, pelarangan penguburan mayat, pelarangan pembuatan
sumur, dan pelestarian Hutan Keramat. Pelanggaran terhadap pamali dapat
menyebabkan terjadinya musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga
mengenai seluruh penduduk kampung. Masyarakat Kampung Kuta meyakini
bahwa sanksi yang diterima pelanggar berasal dari karuhun yang murka.
Budaya pamali sebagai kearifan lokal di Kampung Kuta tidak mengalami
perubahan bentuk. Kearifan lokal ini tetap dipertahankan dan efektif dalam
mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Pergeseran kecil hanya terlihat dari
ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini
tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Adanya pergeseran
aturan pembuatan rumah ini muncul akibat faktor perpindahan atau masuknya
penduduk lain ke Kampung Kuta dan kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi (IPTEK). Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan
salah satu ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali.
Kearifan lokal pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu dari
generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge
dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui
dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif
untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.
Implementasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air terlihat
dari adanya aturan pamali yang melarang masyarakat untuk membuat sumur.
Dengan adanya pelarangan pembuatan sumur di Kampung Kuta maka
sumberdaya air termanfaatkan dengan baik dan berkelanjutan bagi kehidupan
 
 

masyarakat Kampung Kuta. Pelarangan penggalian sumur ini untuk menjaga


kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan untuk menjaga tanah yang
kondisinya sangat labil. Kearifan lokal budaya pamali memiliki dampak postif
bagi kelestarian sumberdaya alam di Kampung Kuta. Hal ini dibuktikan dengan
diterimanya penghargaan Kalpataru dalam hal pelestarian lingkungan pada tahun
2002.
Sumberdaya air yang berada di Kampung Kuta dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum, masak, MCK (mandi, cuci,
kakus), mengairi sawah, kolam ikan, dan memenuhi kebutuhan hewan ternak.
Sumberdaya air diambil dari sumber air bersih yang berasal dari empat mata air,
yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan. Selain itu, sumberdaya air
yang berada di dalam Hutan Keramat hanya dimanfaatkan untuk ritual nyipuh
(ritual membersihkan diri).
 
 

KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR


DI KAMPUNG KUTA
(Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)

Oleh
Tia Oktaviani Sumarna Aulia
I34060073

SKRIPSI
Sebagai Syarat untuk Mendapatkan Gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
 
 

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang disusun oleh:


Nama Mahasiswa : Tia Oktaviani Sumarna Aulia
NRP : I34060073
Program Studi : Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
Judul Skripsi : Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumberdaya Air di
Kampung Kuta (Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat)
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui,
Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, Agr.


NIP. 19630914 199003 1 002

Mengetahui,
Ketua Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS


NIP. 19550630 198103 1 003

Tanggal Lulus: __________________


 
 

LEMBAR PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG


BERJUDUL “KEARIFAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN
SUMBERDAYA AIR DI KAMPUNG KUTA (DESA KARANGPANINGAL,
KECAMATAN TAMBAKSARI, KABUPATEN CIAMIS, JAWA BARAT)”
BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA
PERGURUAN TINGGI LAIN ATAU LEMBAGA LAIN MANAPUN
UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR AKADEMIK TERTENTU.
SAYA JUGA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENAR-BENAR
HASIL KARYA SAYA SENDIRI DAN TIDAK MENGANDUNG BAHAN-
BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK
LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN
DALAM NASKAH.

Bogor, Oktober 2010

Tia Oktaviani Sumarna Aulia


I34060073
 
 

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Tia Oktaviani Sumarna Aulia atau yang biasa
dipanggil Tia, lahir di Bogor pada tanggal 6 Oktober 1988. Penulis merupakan
anak kedua dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak Sumarna dan Ibu E. Suryati.
Penulis menempuh seluruh pendidikannya di kota Bogor, dimulai dengan
Taman Kanak-kanak Assasul Islam pada tahun 1993-1994, Sekolah Dasar Negeri
Pondok Rumput 1 Bogor pada tahun 1994-2000, Sekolah Menengah Pertama
Negeri 5 Bogor pada tahun 2000-2003, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 2
Bogor pada tahun 2003-2006.
Setelah menyelesaikan jenjang pendidikan Sekolah Menengah Atas, tahun
2006 penulis melanjutkan pendidikan di Institut Pertanian Bogor melalui jalur
USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Tahun 2007 penulis diterima masuk di
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat di bawah Fakultas
Ekologi Manusia.
Seiring dengan perjalanan akademis, penulis juga aktif menjalin hubungan
sosial melalui berbagai organisasi. Penulis aktif dalam Himpunan Mahasiswa
Peminat Ilmu-ilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (2007-sekarang)
dengan menjabat sebagai Sekretaris 1 (2009) dan anggota divisi Fotografi dan
Sinematografi (2007-sekarang). Selain itu, penulis juga pernah mengikuti
beberapa kepanitiaan acara seperti, Ketua Malam Seni Long Night With Art
Departemen SKPM (2009), Koordinator Acara Indonesian Ecology Expo 2008
(INDEX’2008), Divisi Acara Communication and Community Development Expo
2008 (COMMNEX’2008), Divisi Acara Masa Perkenalan Departemen (2008),
dan Divisi Acara Futsal Nasional (2007).
 
 

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini
ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi dan
Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Judul yang dipilih dalam skripsi ini ialah Kearifan Lokal dalam Pengelolaan
Sumberdaya Air di Kampung Kuta (Desa Karangpaningal, Kecamatan
Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bentuk kearifan lokal yang
terdapat di Kampung Kuta dan mengetahui implementasi kearifan lokal dalam
menjaga kelestarian sumberdaya air. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
proses pembelajaran bagi peneliti dalam memahami kearifan lokal yang terjadi di
lapangan. Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua
pihak.

Bogor, Oktober 2010

Tia Oktaviani Sumarna Aulia


 
 

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat


rahmat dan nikmat-Nya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan tepat pada
waktunya dan Insya Allah memuaskan. Selama penelitian dan penulisan skripsi
ini, penulis mendapatkan banyak dukungan moril maupun materiil dari berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc, Agr. selaku dosen pembimbing atas
bimbingan, arahan, dan sarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini.
2. Keluarga tersayang (Mamah, Bapak, Teh Neng, Rifqi) yang selalu setia
menemani dengan do’a, kasih sayang, perhatian, semangat dan motivasi yang
begitu besar.
3. Dr. Satyawan Sunito sebagai dosen penguji utama atas kesediaannya untuk
menguji dan memberikan saran yang berguna bagi skripsi ini.
4. Ir. Murdianto, M.Si sebagai dosen penguji wakil Departemen Sains KPM atas
kesediaannya untuk menguji dan memberikan saran yang berguna bagi skripsi
ini.
5. Ketua Adat, Kuncen, Kepala Dusun, dan seluruh masyarakat adat Kampung
Kuta terima kasih atas kesempatan yang diberikan sehingga penulis dapat
melaksanakan penelitian serta bimbingan, bantuan, dan informasi yang
dibutuhkan pada penelitian ini.
6. Pukiss Rio Ardian, Nadia Miranda, Irena Anggita, Dahlia Dessianayanthi,
Suzyant Yuanita, terima kasih banyak waktunya untuk memberikan
semangat, menemani, dan membantu penulis secara moril dalam penyelesaian
skripsi ini.
7. Teman yang selalu mendukung, Prima Yustitia, Selly Yunelda, Mochammad
Fajrin, Fajar Helmi, Ahmad Bayu, Ahmad Fikar, Tasya Adela Yuanita, Esa
Parahita, Muhammad Azis, Cecep Abdul terima kasih untuk kebersamaan dan
dukungan selama ini.
 
 

8. Teman satu bimbingan dalam menyusun proposal penelitian, Pitaloka


Maharani dan Ina Marina.
9. Teman-teman KPM 43 yang kurang lebih tiga tahun bersama dalam suka dan
duka menjalani aktifitas sebagai mahasiswa yang saling memberikan
dukungan, semangat, dan kerjasamanya selama ini.
10. Teman-teman KPM 42 dan KPM 44. Semoga semangat dan sukses selalu
mengiringi kita semua. Amin.
11. Serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi
ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk semua dan semoga kesuksesan saya dapat
bermanfaat dan membanggakan bagi keluarga, agama, teman-teman, bangsa, dan
negara. Amin.

Bogor, Oktober 2010

Penulis
 
 

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ............................................................................................................ i


DAFTAR TABEL .................................................................................................. iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. iv
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................................... 4
1.4 Kegunaan Penelitian ..................................................................................... 4
BAB II PENDEKATAN TEORITIS ...................................................................... 5
2.1 Tinjauan Pustaka ........................................................................................... 5
2.1.1 Komunitas Adat ..................................................................................... 5
2.1.2 Kearifan Lokal ....................................................................................... 5
2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Air ................................................................. 7
2.1.4 Perubahan Sosial .................................................................................... 9
2.2 Kerangka Pemikiran .................................................................................... 10
2.3 Definisi Konseptual..................................................................................... 11
BAB III PENDEKATAN LAPANG .................................................................... 12
3.1 Metode Penelitian ....................................................................................... 12
3.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................... 12
3.3 Teknik Pengumpulan Data .......................................................................... 13
3.4 Teknik Analisis Data ................................................................................... 14
BAB IV KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN .................................... 16
4.1 Keadaan Umum........................................................................................... 16
4.2 Penduduk dan Mata Pencaharian ................................................................ 17
4.3 Kondisi Sarana dan Prasarana ..................................................................... 18
4.4 Organisasi Kemasyarakatan ........................................................................ 19
BAB V SEJARAH KAMPUNG KUTA ............................................................... 21
5.1 Cerita Rakyat............................................................................................... 21
5.2 Kepercayaan Masyarakat ............................................................................ 25
ii
 

5.3 Upacara Adat............................................................................................... 25


BAB VI KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG KUTA ....................................... 28
6.1 Budaya Pamali sebagai Kearifan Lokal ...................................................... 28
6.2 Rumah Adat Kampung Kuta ....................................................................... 40
6.3 Hutan Keramat sebagai Arena Kearifan Lokal ........................................... 43
6.4 Ikhtisar ........................................................................................................ 51
BAB VII IMPLEMENTASI DAN DINAMIKA KEARIFAN LOKAL DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR ............................................................ 52
7.1 Pengelolaan Sumberdaya Air ...................................................................... 52
7.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Memenuhi Kebutuhan ............... 52
7.1.2 Pengelolaan Sumberdaya Air di Hutan Keramat ................................. 55
7.2 Dinamika Kearifan Lokal ............................................................................ 58
7.2.1 Analisis Perubahan Bentuk dan Efektifitas Kearifan Lokal ................ 58
7.2.2 Analisis Peluruhan Kearifan Lokal ...................................................... 62
7.2.3 Ancaman-ancaman terhadap Kelestarian Kearifan Lokal.................... 63
7.2.4 Proses Pelanggengan Kearifan Lokal................................................... 64
7.3 Kritik terhadap Pemerintah ......................................................................... 66
7.4 Analisis Gender terhadap Kearifan Lokal Pengelolaan Sumberdaya Air ... 67
7.5 Implikasi Kearifan Lokal ............................................................................ 68
7.5.1 Pada Kelestarian Sumberdaya Alam .................................................... 68
7.5.2 Pada Masyarakat Kampung Kuta ......................................................... 70
7.6 Ikhtisar ........................................................................................................ 71
BAB VIII PENUTUP............................................................................................ 73
8.1 Kesimpulan ................................................................................................. 73
8.2 Saran............................................................................................................ 75
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 76
LAMPIRAN .......................................................................................................... 78
 
 

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
Teks

Tabel 1. Luas Wilayah Pemanfaatan Lahan Kampung Kuta Tahun 2010 ...... 17
Tabel 2. Sumber Penghidupan di Kampung Kuta Tahun 2010 ....................... 17
Tabel 3. Tingkat Pendidikan di Kampung Kuta Tahun 2010 .......................... 18
Tabel 4. Prinsip-prinsip Utama dalam Budaya Pamali ................................... 29
Tabel 5. Bentuk Kearifan Lokal yang Ditekankan Di Kampung Kuta............. 32
Tabel 6. Kriteria Rumah Adat Kampung Kuta Tahun 2010 ............................ 42
Tabel 7. Daftar Kuncen Kampung Kuta, Juni 2010 ......................................... 51
Tabel 8. Budaya Pamali dalam Pengelolaan Sumberdaya Air dan Hutan
di Hutan Keramat................................................................................ 56
Tabel 9. Peran Laki-laki dan Wanita dalam Pengelolaan Sumberdaya Air .... 68
Tabel 10. Keberhasilan Kampung Kuta dalam Melestarikan Budaya Pamali ... 69
Tabel 11. Pamali dan Implikasi terhadap Pelestarian Sumberdaya Alam ......... 70
 
 

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman
Teks

Gambar 1. Kerangka Pemikiran ....................................................................... 10


Gambar 2. Skema Budaya Pamali dan Dinamika Perubahan .......................... 60
 
 

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
Teks

Lampiran 1. Panduan Pertanyaan ...................................................................... 78


Lampiran 2. Catatan Harian Penelitian ............................................................. 80
Lampiran 3. Dokumentasi ................................................................................. 90
 
 

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pengelolaan sumberdaya alam merupakan upaya-upaya pelestarian dan
perlindungan keanekaragaman biologi pada tingkat genetik, spesies dan
ekosistem, serta menjamin kekayaan alam, binatang dan tumbuhan di seluruh
kepulauan Indonesia (Mitchell, et al., 2000). Kesadaran akan pentingnya menjaga
keanekaragaman hayati sangat diperlukan tidak saja untuk kepentingan bangsa
Indonesia melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia secara keseluruhan
dan diarahkan untuk kepentingan jangka panjang. Pengelolaan sumberdaya alam
yang baik akan meningkatkan kesejahteraan umat manusia, dan sebaliknya
pengelolaan sumberdaya alam yang tidak baik akan berdampak buruk bagi umat
manusia (Fauzi, 2004). Oleh karena itu, diperlukan pengelolaan sumberdaya alam
yang baik agar menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi manusia
dengan tidak mengorbankan kelestarian sumberdaya alam itu sendiri. Pengelolaan
sumberdaya alam yang baik akan menjaga ketahanan atau keberlanjutan dari
kelestarian ekologi di bumi.
Sumberdaya air merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk
keberlanjutan kehidupan makhluk hidup terutama manusia. Keberadaan air dapat
berperan multiguna, dapat digunakan sebagai air minum dan MCK (mandi, cuci,
kakus), mengairi lahan pertanian, relijius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan
ekonomi. Maka diperlukan adanya suatu pengelolaan terhadap sumberdaya air
agar keberadaannya tetap bermanfaat dan berkelanjutan untuk kepentingan jangka
panjang. Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya air
merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan
upaya pengendalian dan pelestariannya.
Pengelolaan sumberdaya air harus disesuaikan dengan kondisi lokal dan
kearifan lokal pada setiap daerah karena setiap daerah memiliki karakteristik yang
berbeda-beda. Pada suatu komunitas tertentu dapat ditemukan kearifan lokal yang
terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam sebagai tata pengaturan lokal yang
telah ada sejak masa lalu dengan sejarah dan adaptasi yang lama. Kearifan lokal
tidak hanya berfungsi sebagai ciri khas suatu komunitas saja, tetapi juga berfungsi
2
 

sebagai upaya untuk pelestarian lingkungan ekologis suatu komunitas masyarakat.


Sesuai dengan pernyataan Gadgil, et al. (1993) dalam Mitchell, et al. (2000),
bahwa kearifan lokal masyarakat yang terakumulasi sepanjang sejarah hidup
mereka memiliki peran yang sangat besar dimana pandangan bahwa manusia
merupakan bagian dari alam dan sistem kepercayaan yang menekankan
penghormatan pada alam merupakan nilai yang sangat positif untuk pembangunan
yang berkelanjutan.
Salah satu kampung adat yang menarik untuk dikaji lebih dalam adalah
Kampung Kuta yang terletak di Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari,
Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Kampung ini dikenal sangat menghormati warisan
leluhurnya. Adat dan tradisi menjadi salah satu peninggalan leluhur yang tidak
boleh dilanggar. Kampung ini dikategorikan sebagai kampung adat karena
mempunyai kesamaan dalam bentuk dan bahan fisik bangunan rumah, adanya
ketua adat, dan adanya adat istiadat yang mengikat masyarakatnya (Mustafid,
2009). Seperti halnya kampung-kampung adat yang masih mempunyai undang-
undang atau aturan main, Kampung Kuta memiliki aturan main dalam
pengelolaan sumberdaya agar dapat menciptakan kelestarian bagi lingkungan.

1.2 Rumusan Masalah


Laksmiwati (2001) menjelaskan bahwa kearifan lokal merupakan
kebijakan manusia dan komunitas dengan bersandar pada filosofi, nilai-nilai,
etika, cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional untuk mengelola
sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan sumberdaya budaya secara
berkelanjutan. Salah satu contohnya adalah kearifan lokal dalam masyarakat Bali
mengenai sumber-sumber air yang dianggap sebagai kawasan-kawasan suci.
Masyarakat Bali memiliki berbagai perangkat kepercayaan tradisional yang
merupakan bagian yang terintegrasi dari sistem kepercayaan Agama Hindu yang
terbukti memberikan nilai positif bagi kelestarian dan pelestarian lingkungan,
sehingga air sungai atau mata air harus tetap bersih dan tidak tercemar oleh karena
fungsi tersebut masyarakat selalu berusaha untuk menjaga agar kondisi atau
kualitas air di hulu tetap terjaga. Jadi secara sadar atau pun tidak mereka telah
melakukan penjagaan dan konservasi terhadap lingkungan mata air.
3
 

Bagi krama subak, air sangat bermakna dalam kehidupan mereka. Secara
teknis air merupakan sumberdaya yang sangat penting bagi mereka agar dapat
melaksanakan aktivitas kehidupan bertani. Secara religius mata air diyakini
sebagai sumber kesejahteraan mereka. Hal ini dapat dilihat melalui aktivitas-
aktivitas keagamaan yang dilakukan petani selalu berorientasi pada pura-pura
yang terletak pada sumber-sumber air utama, yaitu Pura Ulun Suwi dan Pura
Ulun Danu.
Kearifan lokal yang dimiliki masyarakat lokal atau masyarakat adat
merupakan modal sosial masyarakat dalam bentuk suatu kebijakan tradisional
ataupun kearifan lokal suatu komunitas tertentu. Aplikasi dari kearifan lokal ini
akan memberi pedoman bagi masyarakat lokal dalam menjaga dan melestarikan
lingkungan ekologinya serta memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena itu,
identifikasi dari aplikasi kearifan lokal ini dianggap penting untuk mengetahui
sejauh mana kearifan lokal dapat bertahan hidup di masyarakat dan sejauh mana
kearifan lokal mampu beradaptasi dengan perubahan yang mungkin terjadi pada
masyarakat.
Berdasarkan contoh kasus Subak di atas, maka pengelolaan sumberdaya
air di hulu sangat menentukan keberlanjutan dari sumberdaya air tersebut. Melalui
pengelolaan daerah hulu yang baik maka masyarakat akan mendapatkan manfaat
penghidupan yang lebih baik dan lebih pasti dari keberadaan air bersih. Namun
tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini, pengelolaan sumberdaya alam di daerah
hulu semakin sulit dilakukan, air semakin mengalami kelangkaan. Pengelolaan
yang buruk di hulu akan berakibat pada kehancuran di hilir. Untuk itu diperlukan
upaya untuk mengelola sumberdaya air melalui kearifan lokal. Hanya sebagian
kecil masyarakat pada daerah-daerah khusus yang mampu melakukan pelestarian
sumberdaya air di daerah hulu, salah satunya Kampung Kuta yang memiliki
kearifan lokal melalui budaya pamali dalam pelestarian lingkungan. Maka
perumusan masalah yang dapat diambil untuk penelitian ke depan yaitu:
1. Bagaimana bentuk kearifan lokal sebagai upaya menyelamatkan sumberdaya
air yang terdapat di Kampung Kuta?
2. Bagaimana implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian
sumberdaya air?
4
 

1.3 Tujuan Penelitian


Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah di atas
tersusunlah tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui bentuk kearifan lokal sebagai upaya menyelamatkan sumberdaya
air yang terdapat di Kampung Kuta.
2. Menganalisa implementasi kearifan lokal dalam menjaga kelestarian
sumberdaya air.

1.4 Kegunaan Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai
pihak yang berminat maupun terkait dengan kajian kearifan lokal dalam
pemanfaatan sumberdaya air, khususnya kepada:
1. Bagi peneliti, dapat menganalisis kearifan lokal yang terdapat di Kampung
Kuta terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Selain itu, penelitian ini
dapat menjadi wahana pengetahuan dan pengalaman peneliti mengenai
kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air berbasis komunitas adat.
2. Bagi akademis, penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi atau
referensi untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi masyarakat khususnya komunitas Kampung Kuta, penelitian ini
diharapkan menjadi penghargaan tersendiri atas kegiatan pengelolaan
sumberdaya air di kawasan tersebut. Selain itu dapat memberikan pemahaman
tentang kearifan lokal yang mereka miliki sehingga mereka senantiasa
menjaga dan selalu melestarikan kearifan lokal tersebut.
 
 

BAB II
PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka


2.1.1 Komunitas Adat
Menurut Nasdian dan Dharmawan (2007) sebagaimana dikutip oleh
Tishaeni (2010), pemahaman lebih luas mengenai komunitas ialah suatu unit atau
kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan
kepentingan bersama (communities of common interest) baik yang bersifat
fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community dapat
diterjemahkan sebagai masyarakat setempat. Istilah komunitas dalam batas-batas
tertentu dapat merujuk pada warga sebuah desa, kota, suku, atau bangsa. Apabila
anggota-anggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kecil, hidup
bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat
memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi
disebut komunitas.
Komunitas adat menurut Siregar (2002) adalah komunitas yang hidup
berdasarkan asal usul leluhur, di atas wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas
tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial yang diatur oleh hukum adat, dan
lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya.
Komunitas adat juga merupakan kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan
terpencar serta kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan, baik
sosial ekonomi maupun politik.

2.1.2 Kearifan Lokal


Konsep kearifan lokal menurut Mitchell, et al. (2000) berakar dari sistem
pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Kearifan lokal adalah
kumpulan pengetahuan dan cara berpikir yang berakar dalam kebudayaan suatu
kelompok manusia, yang merupakan hasil pengamatan selama kurun waktu yang
lama (Babcock, 1999 sebagaimana dikutip oleh Arafah, 2002). Sedangkan
menurut Zakaria (1994) sebagaimana dikutip oleh Arafah (2002), pada dasarnya
kearifan lokal atau kearifan tradisional dapat didefinisikan sebagai pengetahuan
kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup
6
 

sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model


pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari. Kearifan tersebut
berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-
hal yang berkaitan dengan struktur lingkungan, fungsi lingkungan, reaksi alam
terhadap tindakan-tindakan manusia, dan hubungan-hubungan yang sebaiknya
tercipta antara manusia (masyarakat) dan lingkungan alamnya.
Ridwan (2007) mengemukakan bahwa kearifan lokal dapat dipahami
sebagai usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk
bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi dalam
ruang tertentu. Pengertian tersebut disusun secara etimologi, dimana
wisdom/kearifan dipahami sebagai kemampuan seseorang dengan menggunakan
akal pikirannya dalam bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap
sesuatu, objek atau peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom
kemudian diartikan sebagai kearifan/kebijaksanaan.
Ruddle (2000) sebagaimana dikutip oleh Satria (2009), melakukan
identifikasi karakteristik kearifan lokal pada masyarakat. Berdasarkan hasil
identifikasinya ini menunjukan bahwa karakteristik kearifan lokal terdiri dari:
1. Bersifat jangka panjang, empiris, berbasis observasi lokal, yang disesuaikan
dengan kondisi lokal dan mampu mencakup sejumlah variasi lokal, serta
bersifat rinci.
2. Berorientasi pada hal-hal praktis dan menyangkut prilaku, serta fokus pada
tipe-tipe sumber daya dan spesies.
3. Terstruktur sehingga kompatibel dengan konsep biologi dan ekologi barat,
khususnya terkait dengan kesadaran akan keterkaitan ekologis dan pentingnya
konservasi SDP.
4. Bersifat dinamis.
Sementara Berkes (1999) sebagaimana dikutip oleh Satria (2009),
berdasarkan hasil identifikasinya terhadap karakteristik dari kearifan lokal
masyarakat menunjukan bahwa:
1. Kearifan lokal masyarakat melekat pada budaya lokal yang ada pada
masyarakat bersangkutan.
2. Memiliki ruang dan waktu dalam proses perkembangannya.
7
 

3. Kurang memisahkan antara alam dan budaya, serta antara subyek dengan
obyek. Atau dengan kata lain bahwa kearifan lokal memandang bahwa alam
dan budaya maupun subyek dan obyek merupakan satu kesatuan yang
memiliki hubungan timbal balik.
4. Terdapat suatu komitmen yang memandang bahwa lingkungan lokal bersifat
unik dan merupakan tempat yang tidak dapat berpindah-pindah.
5. Di dalam memahami alam, tidak digunakan pendekatan instrumental.
Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), menjelaskan bahwa
bentuk-bentuk kearifan lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai,
norma, kepercayaan, dan aturan-aturan khusus. Bentuk yang bermacam-macam
ini mengakibatkan fungsi kearifan lokal menjadi bermacam-macam pula. Fungsi
tersebut antara lain adalah:
1. Kearifan lokal berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumberdaya alam.
2. Kearifan lokal berfungsi untuk mengembangkan sumber daya manusia.
3. Berfungsi sebagai pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.

2.1.3 Pengelolaan Sumberdaya Air


Pengelolaan sumberdaya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan,
memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air,
pendayagunaan air dan pengendalian daya rusak air (Kodoatie dan Sjarief, 2005).
Menurut Grigg (1996) dalam Kodoatie dan Sjarief (2005), pengelolaan
sumberdaya air didefinisikan sebagai aplikasi dan cara struktural dan non-
struktural untuk mengendalikan sistem sumberdaya air alam dan buatan manusia
untuk kepentingan/manfaat manusia dan tujuan-tujuan lingkungan. Tindakan
struktur (structural measures) untuk pengelolaan air adalah fasilitas-fasilitas
terbangun (constructed facilities) yang digunakan untuk mengendalikan aliran dan
kualitas air. Tindakan-tindakan non-struktural (non-structural measures) untuk
pengelolaan air adalah program-program atau aktifitas-aktifitas yang tidak
membutuhkan fasilitas-fasilitas terbangun.
Saleh dan Rasul (2008) menjelaskan bahwa pengelolaan sumberdaya air
merupakan upaya pendayagunaan sumber-sumber air secara terpadu dengan
8
 

upaya pengendalian dan pelestariannya. Beberapa aspek yang terkait pengelolaan


sumberdaya air yaitu: pembekalan air minum dan industri, irigasi, PLTA,
pelayaran, perikanan, rekreasi, drainase (pengelolaan limpasan hujan),
pengendalian banjir, pengendalian kekeringan, pengendalian kualitas air,
pengendalian dalinitas, pertahanan nasional, hubungan internasional dan
pengelolaan daerah aliran sungai (DAS).
Sjarief (2002) menjelaskan bahwa pola pengelolaan sumberdaya air perlu
diselenggarakan berdasarkan prinsip-prinsip sumberdaya air, yaitu:
1. Pengelolaan sumberdaya air berdasarkan prinsip satu sungai, satu rencana
induk dan satu managemen terkoordinasi dengan menggunakan pendekatan
wilayah sungai sebagi kesatuan wilayah pengelolaan.
2. Untuk terselenggaranya pengelolaan sumberdaya air secara berkelanjutan,
maka pendayagunaan sumberdaya air harus diimbangi dengan konservasi
yang memadai.
3. Proses penyusunan rencana induk diselenggarakan melalui keterlibatan semua
aktor yang berkepentingan.
4. Penetapan kebijakan operasional pengelolaan sumberdaya air diselenggarakan
secara demokratis dengan pelibatan semua pihak yang berkepentingan melalui
perwakilan dalam wadah koordinasi yang berlandaskan pada tujuh azas, yaitu
keseimbangan antara fungsi sosial dengan nilai ekonomi, kemanfaatn umum,
kelestarian, keadilan, keterpaduan, kemandirian, keterbukaan dan akuntabilitas
publik.
5. Implementasi kebijakan dilaksanakan oleh badan pengelola yang mandiri,
professional, dan akuntabel.
6. Masyarakat dan semua untur pihak yang berkepentingan harus dilibatkan pada
keseluruhan proses perencaanaan, pengambilan kebijakan dan pelaksanaan
pembangunan.
7. Biaya pengelolaan sumberdaya air perlu ditanggung bersama-sama oleh
seluruh penerima manfaat.
9
 

2.1.4 Perubahan Sosial


Selo Soemardjan (1962) sebagaimana dikutip oleh Soekanto (2002)
mendefinisikan perubahan sosial sebagai segala perubahan yang terjadi pada
lembaga-lembaga kemasyarakatan dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi
sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap dan pola prilaku diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat. Penekanannya adalah pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan dan perubahan yang menyertainya.
Masyarakat adat dengan segala kearifan lokal yang dimilikinya tentu saja
akan mengalami perubahan layaknya pada kebudayaan. Hal ini mengingat bahwa
kearifan lokal merupakan salah satu wujud dari kebudayaan masyarakat.
Perubahan ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor. Sartini (2004),
menjelaskan bahwa kebudayaan akan berubah dengan dipengaruhi oleh
pertumbuhan penduduk, perpindahan atau masuknya penduduk lain pada suatu
komunitas tertentu, masuknya peralatan baru sebagai produk modernisasi, dan
kemudahan akses masuk ke dalam atau ke luar suatu komunitas. Bahkan
hubungan antar individu atau kelompok juga dapat mempengaruhi kebudayaan.
Soekanto (2002), membagi faktor-faktor perubahan pada kebudayaan dan
perubahan sosial masyarakat menjadi dua kategori, yaitu faktor internal dan faktor
eksternal. Faktor internal ini berasal dari dalam masyarakat itu sendiri seperti:
1. bertambah/berkurangnya penduduk,
2. penemuan-penemuan baru,
3. pertentangan/konflik masyarakat, dan
4. terjadinya pemberontakan atau revolusi.
Sedangkan faktor ekternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat
diantaranya adalah:
1. sebab-sebab yang berasal dari lingkungan alam fisik yang ada di sekitar
manusia,
2. peperangan, dan
3. pengaruh kebudayaan masyarakat lain.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, faktor-faktor yang mempengaruhi
perubahan sosial dan kebudayaan ini merupakan faktor-faktor yang akan
mempengaruhi perubahan kearifan lokal. Hal ini mengingat bahwa kearifan lokal
10
 

merupakan produk kebudayaan masyarakat yang melembaga pada masyarakat.


Sehingga seiring dengan adanya perubahan sosial dan kebudayaan pada
masyarakat, maka kearifan lokal ini juga akan ikut mengalami perubahan.

2.2 Kerangka Pemikiran


Kearifan lokal di Kampung Kuta dalam pengelolaan sumberdaya air
melalui Hutan Keramat bermanfaat dalam menjaga keseimbangan alam,
keberlanjutan sumberdaya air, dan terpeliharanya tatanan hidup bermasyarakat.
Mengacu pada Sirtha (2003) sebagaimana dikutip oleh Sartini (2004), kearifan
lokal mencakup bentuk-bentuk tentang sumberdaya air tersebut. Bentuk kearifan
lokal yang ada dalam masyarakat dapat berupa: nilai, norma, kepercayaan, sanski
dan aturan-aturan khusus. Bentuk kearifan lokal akan menghasilkan suatu bentuk
implementasi dalam menjaga keberlanjutan sumberdaya air. Kearifan lokal ini
akan dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dalam proses
pelaksanaannya. Kedua faktor ini sangat memungkinkan akan menyebabkan
terjadinya perubahan kearifan lokal. Gambar 1 menjelaskan gambaran mengenai
kerangka pemikiran yang akan dikaji dalam penelitian.

Kearifan Lokal dalam


Pengelolaan Sumberdaya Air
(Mata Air)

Bentuk kearifan lokal: Faktor Internal


• Nilai
• Norma
• Kepercayaan
• Sanksi
Faktor Eksternal
• Aturan-aturan khusus

Implementasi kearifan lokal

Gambar 1. Kerangka Pemikiran


Keterangan:
: meliputi
: menghasilkan
11
 

2.3 Definisi Konseptual


1. Pengelolaan Sumberdaya Air adalah upaya pemanfaatan sumber-sumber air
secara terpadu dengan upaya pengendalian dan pelestariannya.
2. Kearifan lokal adalah suatu kebijaksanaan, gagasan-gagasan, ilmu
pengetahuan, keyakinan, pemahaman dan adat kebiasaan/etika masyarakat
lokal yang dianggap baik untuk dilaksanakan, bersifat tradisional, diwariskan,
penuh kearifan dan berkembang dalam jangka waktu tertentu dan merupakan
hasil dari timbal balik antara masyarakat dan lingkungannya.
3. Bentuk-bentuk kearifan lokal adalah suatu ciri yang membangun kearifan lokal
tersebut sehingga kearifan lokal tersebut memiliki wujud.
a. Nilai adalah suatu perbuatan atau tindakan yang oleh masyarakat dianggap
baik. Nilai dalam setiap masyarakat tidak selalu sama, karena nilai di
masyarakat tertentu dianggap baik tapi dapat dianggap tidak baik di
masyarakat lain.
b. Norma adalah suatu standar-standar tingkah laku yang terdapat di dalam
suatu masyarakat.
c. Kepercayaan adalah sesuatu yang diyakini kebenarannya.
d. Sanksi adalah suatu tindakan yang diberikan kepada seseorang yang
melanggar suatu peraturan.
e. Aturan-aturan khusus adalah aturan-aturan yang sengaja dibuat untuk
suatu kepentingan tertentu.
4. Implementasi kearifan lokal adalah suatu penerapan/aplikasi bentuk kearifan
lokal yang dilakukan komunitas adat yang sesuai dengan aturan adat yang
memberikan dampak, baik berupa perubahan pengetahuan, keterampilan
maupun nilai, dan sikap dari komunitas adat tersebut (Susilo, 2007 dalam
Mawardi, 2009).
5. Faktor internal adalah faktor berasal dari dalam masyarakat yang akan
mempengaruhi perubahan bentuk kearifan lokal.
6. Faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar masyarakat yang akan
mempengaruhi perubahan bentuk kearifan lokal.
 
 

BAB III
PENDEKATAN LAPANG

3.1 Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian kualitatif
merupakan penelitian yang mengambil fakta berdasarkan pemahaman subyek
penelitian, mengetengahkan hasil pengamatan itu secara sangat rinci (Agusta,
1998). Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk mengidentifikasi dari
keberadaan kearifan lokal di Kampung Kuta dan menggambarkan kearifan lokal
berdasarkan pemahaman subyek penelitian. Kerangka konseptual yang telah
dibangun peneliti menjadi pengarah agar hasil penelitian dapat memenuhi tujuan
penelitian.
Berdasarkan tujuan dalam memperoleh data, jenis penelitian ini adalah
penelitian deskriptif. Penelitian deskrptif merupakan jenis penelitian yang
bertujuan untuk memberikan gambaran yang jelas tentang karakteristik dari
fenomena yang sedang diteliti dan hubungan antar fenomena yang sedang diteliti
tersebut (Silaen, 2004). Fenomena yang diteliti tersebut adalah fenomena kearifan
lokal masyarakat di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan
Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat. Sehingga akan diperoleh gambaran
yang jelas dari kearifan lokal dan aplikasinya dalam pengelolaan sumberdaya
alam, yaitu sumberdaya air dan hutan. Selanjutnya akan di peroleh juga gambaran
atau uraian tentang karakteristik serta faktor-faktor yang mungkin akan
mempengaruhi perubahan kearifan lokal di Kampung Kuta.

3.2 Penentuan Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di Kampung Kuta, Desa Karangpaningal,
Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Proses
penentuan lokasi ini dilakukan secara purposive (sengaja). Alasan pemilihan
lokasi penelitian adalah karena Kampung Kuta ini dikategorikan sebagai salah
satu kampung adat yang memiliki dan masih mengaplikasikan kearifan lokal
dalam pengelolaan sumberdaya alam sebagai upaya menjaga kelestaraian
lingkungan. Selain itu, pada tahun 2002, Kampung Kuta mendapatkan
penghargaan secara nasional dari pemerintah sebagai penerima penghargaan
13
 

Kalpataru dalam hal upaya menjaga dan ramah lingkungan. Penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan Mei-Juli 2010.

3.3 Teknik Pengumpulan Data


Patton (1990) sebagaimana dikutip oleh Sitorus (1998) menyatakan bahwa
di lapangan pada prakteknya seorang peneliti kualitatif melakukan pengamatan,
pembicaraan dengan orang-orang, dan penelusuran dokumen sekaligus. Informasi
harus dikumpulkan dari berbagai sumber, karena tidak ada satu pun sumber
informasi tunggal yang dapat memberikan perspektif yang menyeluruh atas suatu
permasalahan. Peneliti menggunakan triangulasi metodologi untuk menggali data
mengenai gambaran kearifan lokal. Triangulasi metodologi yang digunakan
adalah kombinasi dari teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode
wawancara mendalam, pengamatan berperanserta terbatas dan penelusuan
(analisis) data sekunder. Triangulasi metodologi tersebut yaitu:
1. Wawancara Mendalam
Wawancara mendalam adalah temu muka berulang antara peneliti dan tineliti
dalam rangka memahami pandangan tineliti mengenai hidupnya,
pengalamannya, ataupun situasi sosial sebagaimana ia ungkapkan dalam
bahasanya sendiri (Taylor dan Bogdan (1894) sebagaimana dikutip oleh
Sitorus (1998)). Untuk memilih informan, peneliti akan menggunakan teknik
bola salju (snowball sampling) yaitu peneliti harus mengenal beberapa
informan kunci terlebih dahulu dan kemudian meminta mereka untuk
memperkenalkan informan lain yang dapat peneliti wawancarai. Informan
kunci yang akan dipilih secara purposive yaitu kepala adat, kuncen, dan
kepala dusun. Ketiga informan kunci ini dipilih karena mereka merupakan
pemimpin informal dan pemimpin formal di Kampung Kuta. Pedoman
wawancara dapat dilihat pada lampiran 1.
2. Pengamatan Berperanserta Terbatas
Pengamatan berperanserta menunjuk pada proses penelitian yang
mempersyaratkan interaksi sosial antara peneliti dengan tineliti dalam
lingkungan sosial tineliti sendiri. Peneliti akan menggunakan pengamatan
berperanserta-terbatas, yaitu dengan tidak merahasiakan identitas peneliti.
14
 

Pengamatan akan dilakukan dengan cara wawancara informal untuk


mengidentifikasi kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya air
berdasarkan persepsi tineliti.
3. Penelusuran (analisis) Data Sekunder
Penelusuran dokumen dilakukan sebagai penguatan terhadap data-data yang
tidak bisa dilengkapi dari pengamatan berperanserta dan wawancara
mendalam. Data sekunder diperoleh dengan menganalisis dan melakukan
kajian pustaka terhadap berbagai literatur, yakni jurnal, buku, makalah dan
informasi dari internet yang terkait dengan topik penelitian. Kajian literatur
ini membantu penulis dalam mengumpulkan data di lapangan.

3.4 Teknik Analisis Data


Data kualitatif hadir dalam wujud catatan harian. Isi catatan harian tersebut
adalah hasil-hasil pengamatan, hasil-hasil wawancara, dan kutipan dari berbagai
dokumen (Sitorus, 1998). Data yang diperoleh dari pendekatan kualitatif diolah
melalui tiga tahap analisis data kualitatif, yakni reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan. Miles dan Huberman (1992) sebagaimana dikutip oleh
Sitorus (1998) mendefinisikan tahap-tahap analisis data sebagai berikut:
1. Reduksi data adalah proses pemilihan, pemusatan perhatian pada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data “kasar” yang muncul
dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan bentuk
analisis yang menjamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang yang
tidak perlu, dan mengorganisasi data dengan cara sedemikian rupa hingga
kesimpulan-kesimpulan akhir dapat diambil.
2. Penyajian data adalah sekumpulan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Penyajian data dapat mengambil berbagai bentuk yaitu teks naratif dan
matriks, grafik, jaringan, dan bagan.
3. Penarikan kesimpulan dalam hal ini mencakup juga verifikasi atas
kesimpulan itu dengan cara: memikir ulang selama penulisan, tinjauan ulang
pada catatan-catatan lapangan, peninjauan kembali dan tukar pikiran antar
teman sejawat untuk mengembangkan “kesepakatan intersubyektif”, dan
15
 

upaya-upaya yang luas untuk menempatkan salinan suatu temuan dalam


seperangkat data yang lain.
 
 

BAB IV
KARAKTERISTIK WILAYAH PENELITIAN

4.1 Keadaan Umum


Kampung Kuta terletak di bagian Timur Laut Kabupaten Ciamis, berada di
bagian Lembah, dikelilingi oleh tebing yang curam setinggi 30-60 meter.
Kampung Kuta secara administratif berada di Desa Karangpaningal, Kecamatan
Tambaksari, wilayah Kabupaten Ciamis. Kampung Kuta dan di tetapkan sebagai
sebuah Dusun yaitu Dusun Kuta yang terdiri dari satu RW dengan empat RT.
Secara geografis wilayah Kampung Kuta berbatasan dengan beberapa wilayah
sebagai berikut:
a. Sebelah Utara, berbatasan dengan Dusun Cibodas.
b. Sebelah Barat, berbatasan dengan Dusun Margamulya.
c. Sebelah Timur dan Selatan, berbatasan dengan Sungai Cijolang, yang
sekaligus berbatasan dengan wilayah Jawa Tengah.
Kampung Kuta letaknya terpisah dengan kampung lain yang ada di Desa
Karangpaningal karena berada di suatu lembah yang dikelilingi tebing-tebing
tegak lurus yang sekaligus memisahkan atau menjadi batas dengan kampung
lainnya. Tebing-tebing yang mengelilingi Kampung Kuta tampak menyerupai
benteng yang melindungi Kampung tersebut. Sebagai daerah lembah, Kampung
Kuta merupakan daerah subur. Namun demikian daerah Kampung Kuta dan
daerah lainnya di Desa Karangpaningal mempunyai kondisi tanah yang labil.
Topografi tanah berada pada ketinggian ± 500 meter di atas permukaan air
laut. Dengan demikian kondisi udara Kampung Kuta cukup sejuk. Luas wilayah
Kampung Kuta sekitar 97 hektar, yang didalamnya mencakup 40 hektar
merupakan hutan lindung/Hutan Keramat dan sisanya diperuntukkkan bagi
pemukiman, lahan sawah tadah hujan, ladang, kolam, dan pengangonan (tanah
desa untuk pengembalaan hewan).
Gunung-gunung yang yang berada di sekitar Kampung Kuta yaitu Gunung
Semen, Gunung Panday Domas, Gunung Wayang, Gunung Barang, dan Gunung
Batu Goong. Nama gunung-gunung tersebut sesuai dengan legenda yang hidup di
masyarakat Kampung Kuta. Serta adanya mata air yang dikeramatkan karena
airnya menjadi sumber kebutuhan penduduk dan tidak pernah kering sepanjang
17
 

masa yaitu mata air Ciasihan. Selain itu terdapat pula mata air Panyipuhan,
Cinangka, dan Cibungur.

Tabel 1. Luas Wilayah Pemanfaatan Lahan Kampung Kuta Tahun 2010


No. Pemanfaatan Lahan Luas Wilayah (hektar)
1. Hutan Keramat 40
2. Lahan sawah tadah hujan 17
3. Perkebunan 18
4. Kolam 10
5. Pengangonan (tanah desa) 12
Sumber: Bapak Wrsm, 2010

4.2 Penduduk dan Mata Pencaharian


Jumlah penduduk berdasarkan hasil sensus penduduk 2010 yaitu sebanyak
298 jiwa terdiri atas penduduk laki-laki sebanyak 145 jiwa dan penduduk
perempuan sebanyak 153 jiwa dengan kepala keluarga sebanyak 127 Kepala
Keluarga (KK). Seluruh masyarakat di Kampung Kuta berkewarganegaraan
Indonesia dan beragama Islam.
Mata pencaharian penduduk Kampung Kuta diantaranya pegawai swasta,
pedagang, buruh, dan yang paling banyak bekerja sebagai petani dan pengrajin
gula aren. Produksi gula aren menjadi produk unggulan di Kampung Kuta. Hasil
gula aren mereka dijual ke pasar-pasar.

Tabel 2. Sumber Penghidupan di Kampung Kuta Tahun 2010


No. Sumber Penghidupan Jumlah (Jiwa)
1. Pegawai Swasta 11
2. Pedagang 6
3. Buruh 15
4. Petani 238
5. Lain-lain 28
Sumber: Bpk Wrsm, 2010
Sementara tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya adalah hanya
tamatan SD saja. Tingkat pendidikan tertinggi yang pernah dijalani oleh beberapa
masyarakat adalah S1. Hal ini menunjukan bahwa, tingkat pendidikan masyarakat
sudah bisa dikatakan baik. Karena secara umum, masyarakat desa yang memiliki
akses terbatas terhadap pendidikan sebagian besar hanya dapat mengenyam
pendidikan sampai dengan setingkat SLTA. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang
18
 

tidak tamat SD atau tidak pernah sama sekali duduk di bangku sekolah.

Tabel 3. Tingkat Pendidikan di Kampung Kuta Tahun 2010


No. Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa)
1. Belum Sekolah 9
2. Tamat Sekolah Dasar 209
3. Tamat SLTP 49
4. Tamat SLTA 6
5. Perguruan Tinggi 1
Sumber: Bpk Wrsm, 2010

4.3 Kondisi Sarana dan Prasarana


Sarana dan prasarana yang terdapat di Kampung Kuta diantaranya sarana
transportasi, komunikasi, dan peribadatan. Sarana transportasi yang sudah cukup
baik, jalan utama dapat dilalui oleh kendaraan darat apa saja meskipun kondisi
jalan belum di aspal seluruhnya, beberapa jalan kondisinya masih berbatu. Namun
hal tersebut tidak menjadi halangan bagi masyarakat untuk beraktifitas ke luar
Kampung Kuta dan bagi orang luar yang ingin mengunjungi Kampung Kuta.
Jarak tempuh dari Kampung Kuta ke Desa, Kecamatan dan Kabupaten yaitu:
Kampung Kuta ke Desa Karangpaningal : 1 km
Kampung Kuta ke Kantor Camat Tambaksari : 4 km
Kampung Kuta ke Ibukota Kabupaten Ciamis : 45 km
Sarana komunikasi yang berberkembang di Kampung Kuta yaitu
handphone (telepon genggam) dan televisi (menggunakan parabola). Kebutuhan
listrik di Kampung Kuta sudah terakomodasi dengan baik sejak tahun 1996.
Berdasarkan hasil observasi, hampir semua rumah sudah menggunakan listrik.
Namun tidak semua rumah sudah memiliki televisi, hal ini sebabkan oleh
keterbatasan ekonomi.
Terdapat Pasanggrahan dan Bale Sawala yang biasanya digunakan untuk
keperluan acara adat. Bangunan ini merupakan bantuan dari pemerintah daerah
setelah Kampung Kuta dinyatakan sebagai pemenang Kalpataru dalam hal
penyelamat lingkungan pada tahun 2002. Bangunan ini digunakan untuk acara
ritual atau upacara adat yang melibatkan seluruh masyarakat Kampung Kuta.
Selain itu, bangunan ini digunakan untuk menerima tamu yang berhubungan
dengan adat, seperti digunakan pada acara Musyawarah Daerah I Masyarakat
19
 

Adat Jawa Barat pada tanggal 19 Juni 2010.


Pemenuhan kebutuhan rohani terutama dalam hal peribadatan, di
Kampung Kuta sudah terdapat satu mesjid dan satu mushola. Mesjid terletak
bersebelahan dengan Balai Pertemuan Dusun Kuta. Balai ini biasanya digunakan
untuk keperluan rapat/keperluan acara Dusun Kampung Kuta. Mushola terletak di
dekat Pasanggrahan dan Bale Sawala.
Terdapat enam warga yang membuka warung kecil di depan rumahnya.
Barang yang dijual antara lain mie instan, sabun, makanan ringan, dan lain-lain.
Warung-warung ini sangat bermanfaat bagi masyarakat Kampung Kuta untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hal ini dikarenakan jarak tempuh yang cukup
jauh apabila ingin pergi ke pasar.
Sarana pemandian umum atau jamban dimanfaatkan oleh mayoritas
masyarakat Kampung Kuta. Pemandian umum ini digunakan untuk seluruh
aktifitas sehari-hari seperti mandi cuci kakus (MCK). Air yang dimanfaatkan dan
dialirkan ke pemandian umum berasal dari sumber-sumber mata air yang ada di
sekitar kawasan Kampung Kuta.

4.4 Organisasi Kemasyarakatan


Kehidupan masyarakat Kampung Kuta tampaknya banyak mengalami
kemajuan dibidang material dan spiritual. Kemajuan-kemajuan ini disadari oleh
masyarakat Kampung Kuta sebagai hasil usaha yang mereka lakukan sendiri.
Keberhasilan yang dicapai oleh masyarakat Kampung Kuta mengakibatkan
kebutuhan di segala bidang terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, diperlukan adanya kerjasama antara semua pihak terkait, baik dari
pimpinan formal, informal atau masyarakat itu sendiri, dengan membentuk
organisasi-organisasi kemasyarakatan yang dapat menunjang program
pembangunan sebagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Keberhasilan masyarakat Kampung Kuta tidak terlepas dari kearifan
pemimpin formal dan pemimpin informal. Pemimpin formal masyarakat adalah
kepala dusun yang dibantu oleh seorang ketua RW dan empat ketua RT.
Pemimpin informal adalah kuncen yang memiliki pengaruh besar dalam penataan
kehidupan bermasyarakat. Dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari kuncen
20
 

dibantu oleh seorang ketua adat, seorang wakil ketua adat, seorang sekretaris adat,
dan seorang bendahara adat.
 
 

BAB V
SEJARAH KAMPUNG KUTA

5.1 Cerita Rakyat


Nama Kampung Kuta diberikan karena sesuai dengan lokasinya yang
berada di lembah curam sedalam kurang lebih 75 meter dan dikelilingi oleh
tebing-tebing/perbukitan. Nama kuta sendiri dalam bahasa Sunda berbarti pagar
tembok.
Mengenai asal-usul Kampung Kuta, dalam beberapa dongeng buhun yang
tersebar di kalangan masyarakat Sunda sering disebut adanya nagara burung atau
daerah yang tidak jadi/batal menjadi ibukota Kerajaan Galuh, daerah ini
dinamakan Kuta Pandak. Masyarakat Ciamis dan sekitarnya menganggap Kuta
Pandak adalah Kampung Kuta di Desa Karangpaningal sekarang. Masyarakat
Cisaga menyebutnya dengan Kuta Jero. Dongeng tersebut ternyata mempunyai
kesamaan dengan cerita asal-usul Kampung Kuta. Mereka menganggap dan
mengakui dirinya sebagai keturunan Raja Galuh dan keberadaannya di Kampung
Kuta sebagai penunggu atau penjaga kekayaan Raja Galuh.
Sejak kapan berdiri Kampung Kuta, maupun asal-usul kampung tersebut,
belum diketahui secara pasti. Namun demikian, ada beberapa versi asal-usul
Kampung Kuta yang diturunkan kuncen Kampung Kuta. Asal-usul Kampung
Kuta terdiri atas dua bagian yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu Kampung
Kuta pada masa kerajaan Galuh dan pada masa Kerajaan Cirebon.
Versi Kampung Kuta pada masa Kerajaan Galuh ini dimulai pada awal
pendirian Kerajaan Galuh. Seorang Raja Galuh bernama Prabu Ajar Sukaresi
sedang mengembara bersama beberapa pengawal terpilih dan berpengalaman.
Pengembaraan dilakukan untuk mencari daerah yang cocok untuk mendirikan
pusat pemerintahan kerajaan. Pada saat rombongan Prabu Ajar Sukaresi tiba di
tepi sungai yang bernama Cijolang, Raja melihat daerah seberang sungai atau
sebelah barat cukup menarik dan menurut penglihatannya cocok untuk dijadikan
pusat kerajaan. Prabu Ajar Sukaresi segera memerintahkan para pengawalnya
untuk beristirahat dan membangun tempat peristirahatan di tempat tersebut. Dia
sendiri akan meneliti dan meninjau secara seksama daerah seberang sungai
Cijolang.
22
 

Setelah melakukan penelitian, Prabu Ajar Sukaresi memerintahkan para


pengawalnya untuk membongkar tempat peristirahatan sementara dan segera
pindah ke seberang sungai untuk memulai persiapan membuka daerah yang akan
dijadikan pusat kerajaan. Bekas tempat peristirahatan sementara yang terdapat di
tepi sungai Cijolang ini, sampai sekarang disebut dodokan, artinya daerah tempat
duduk atau tempat peristirahatan Raja. Sekarang ini, Dodokan dimanfaatkan oleh
masyarakat Kampung Kuta sebagai tempat upacara adat Nyuguh.
Prabu Ajar Sukaresi berkeliling ke daerah tersebut dan ternyata daerah
tersebut dikelilingi tebing-tebing tinggi. Melihat kondisi ini, Prabu Ajar Sukaresi
beranggapan bahwa daerah ini tidak dapat berkembang dan diperluas karena
dibatasi tebing. Dengan terpaksa, segala persiapan yang telah dilaksanakan untuk
membangun pusat pemerintahan dibatalkan dan ditinggalkan. Daerah ini sekarang
disebut Kampung Kuta karena sesuai dengan letaknya yang berada di sebuah
lembah dan dikelilingi tebing karena dalam bahasa Sunda, kondisi demikian
disebut Kuta.
Prabu Ajar Sukaresi dan rombongan melanjutkan pengembaraannya cukup
jauh dan memakan waktu yang cukup lama. Akhirnya rombongan tersebut
berhasil menemukan daerah pertemuan dua sungai yaitu Sungai Cimuntur dan
Sungai Citanduy yang cocok untuk pusat pemerintahan. Daerah ini dibangun
menjadi pusat kerajaan Galuh dan sekarang menjadi kawasan situs Karang
Kamulyan. Setelah ditinggalkannya Prabu Ajar Sukaresi, daerah Kampung Kuta
tidak diketahui kelanjutan ceritanya.
Versi asal-usul Kampung Kuta pada masa Kerajaan Cirebon diawali oleh
dua kerajaan yang menaruh perhatian besar terhadap Kampung Kuta, yaitu
Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Mataram Solo. Perhatian kedua kerajaan tersebut
disebabkan para penguasanya mendapat amanat dan wangsit dari leluhurnya untuk
memelihara dan menjaga daerah bekas peninggalan Prabu Ajar Sukaresi.
Raja Cirebon mengutus salah satu kepercayaannya yang bernama
Raksabumi agar menetap di Kuta. Kepada Raksabumi, Raja Cirebon berpesan
bahwa apabila di Kuta telah ada utusan dari kerajaan Mataram maka sebaiknya
mengalah (ngelehan mameh) dan Raksabumi (Ki Bumi) tidak boleh kembali ke
Cirebon. Demikian juga Raja Solo berpesan kepada utusannya yang bernama
23
 

Tuan Batasela bahwa jika utusan Cirebon telah ada di Kuta lebih dulu maka harus
mengalah dan tidak boleh kembali ke Solo. Dengan adanya perintah tersebut
maka kedua utusan berusaha keras agar dapat mencapai Kuta lebih dahulu.
Setelah kedua utusan itu berjalan siang malam entah berapa hari lamanya,
maka pada hari Kamis wage datang utusan dari Solo pada siang hari, dengan
melalui Sungai Cijolang yang kebetulan alirannya sedang deras dan besar. Jalan
bekas penyeberangan di Sungai Cijolang itu sampai sekarang terus hidup dilalui
manusia untuk penyeberangan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, penyeberangan
tersebut diberi nama pongpet. Kemudian, Batasela beristirahat di suatu kampung
kecil, bermalam di tempat tersebut, dan melanjutkan perjalanan keesokan harinya.
Begitupun dengan utusan dari Cirebon, Raksabumi sampai di suatu kampung
yang berdampingan dengan kampung yang ditempati oleh Batasela. Namun,
Raksabumi tidak bermalam di tempat tersebut melainkan melanjutkan perjalanan
ke Kuta melalui jalan yang curam, yang sampai sekarang jalan itu masih dipakai
oleh masyarakat yang diberi nama regol.
Setelah sampai, Raksabumi sendiri segera membuka hutan dan
membanagun pemukiman di sekitar situ (danau/rawa) dan dikenal dengan nama
pamarakan, artinya tempat marak atau menangkap ikan dengan cara
mengeringkan airnya. Sebagian masyarakat menyebutnya pamrekan bukan
pamarakan. Pamrekan berarti dekat karena Raksabumi membangun pemukiman
dekat dengan daerah yang dimaksud. Keesokan harinya, Batasela melanjutkan
perjalanan ke Kuta tetapi sudah terdahului oleh Raksabumi. Oleh karena itu,
Batasela menyerah dan kembali ke kampung tempat ia bermalam yang letaknya
ada di sebelah utara Kampung Kuta.
Menurut cerita, utusan dari Solo tersebut kekurangan makanan dan
meminta-minta kepada masyarakat di tempat itu tetapi tidak ada yang memberi,
kemudian keluar kata-kata dari Batasela “dikemudian hari di Kampung ini tidak
akan ada yang kaya”. Ternyata sampai sekarang kampung itu rakyatnya sedang-
sedang saja dan tidak ada yang kaya. Karena menderita akhirnya Batasela bunuh
diri dengan keris dan darah yang keluar berwarna putih yang terus mengalir
berbentuk parit, parit itu disebut Cibodas dan sampai sekarang kampung disebelah
utara Kuta bernama Cibodas. Kemudian, Batasela dimakamkan di kampung
24
 

tersebut tepatnya di tengah-tengah pesawahan. Oleh sebab itu sampai sekarang


setiap penduduk Kampung Kuta yang meninggal akan dikuburkan di Cibodas, hal
ini sebagai bentuk penghormatan terhadap leluhur yaitu Batasela yang meninggal
di Cibodas.
Akhirnya Raksabumi menjadi pemimpin di Kampung Kuta atau penunggu
dan penjaga daerah Kuta (kuncen) hingga akhir hayatnya. Setelah meningga
Raksabumi dimakamkan di Cibodas dan dikenal dengan nama Ki Bumi. Beliau
dianggap sebagai cikal bakal dan leluhur yang menurunkan masyarakat Kuta.
Raksabumi adalah pemimpin pertama dan sampai sekarang Kampung Kuta tetap
dipimpin oleh keturunan Ki Bumi.
Keberadaan Ki Bumi di Kampung Kuta ditugaskan oleh Raja Cirebon agar
menjaga dan memlihara daerah bekas peninggalan Prabu Ajar Sukaresi yang
terdapat di Kampung Kuta. Peninggalan tersebut umumnya berupa tempat di
Hutan Keramat yang dilihat dari namanya menunjukkan persiapan membangun
pemukiman, antara lain Panday Domas (Pandai Besi tempat pembuatan senjata
dan peralatan pembangunan), Panyipuhan (tempat menyepuh peralatan perang
atau emas), Gunung Apu, Gunung Semen, dan Gunung Barang.
Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa peninggalan itu disimpan di
tempat keramat yang di jaga oleh makhluk gaib yang bernama Bima Raksa
Kalijaga, Sang Maetil Putih, Kiai Bima Raksanagara, dan Prabu Mangkurat Jagat.
Oleh karena itu, masyarakat sangat patuh untuk memelihara dan menjaga Hutan
Keramat.
Versi lain menjelaskan bahwa Kampung Kuta telah ada sejak jaman dulu.
Dimulai dengan datangnya Ampu Raksa Bima Kalijaga suruhan Prabu Siliwangi
untuk membuka pusat Kerajaan Galuh di Kuta. Bukit-bukit persiapan tersebut
sampai kini masih tersimpan diantaranya persiapan semen merah masih tersimpan
di Gunung Semen, peralatan rumah tangga tersimpan di Gunung Pandaringan dan
Panday Domas, peralatan kesenian tersimpan di Gunung Wayang dan Gunung
Batu Goong. Namun pada saat mendirikan kerajaan tidak mencapai Patang
Ngewu Domas pendirian keraton digagalkan, semua barang-barang yang telah
dipersiapkan semuanya disimpan di Gunung Barang.
25
 

5.2 Kepercayaan Masyarakat


Masyarakat Kampung Kuta memiliki sistem kepercayaan yang
berhubungan dengan keyakinan terhadap makhluk gaib. Mereka meyakini di
dalam Hutan Keramat tinggal makhluk-makhluk gaib yang menguasai serta
mengendalikan seluruh wilayah Kuta. Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa
makhluk-makhluk gaib itulah yang menetapkan aturan-aturan yang secara turun-
temurun ditaati oleh semua orang termasuk kuncen. Ketaatan terhadap tabu yang
berlaku tersebut, didasarkan oleh rasa takut akan akibat yang harus ditanggung
apabila melanggarnya.
Larangan yang berlaku pada masyarakat Kampung Kuta yang ditopang
oleh sistem kepercayaan dimaksudkan untuk menjaga kelestarian hutan agar tidak
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Tabu atau pamali yang berlaku pada
masyarakat Kampung Kuta secara tidak langsung mengatur hubungan antara
manusia dengan lingkungan alamnya.

5.3 Upacara Adat


Masyarakat Kampung Kuta hingga kini masih melaksanakan berbagai
upacara/ritual adat yaitu diantaranya:
1. Upacara mendirikan rumah atau ngadeugkeun dan mendiami rumah baru.
Kedua upacara tersebut pada pokoknya bertujuan agar perkerjan mendirikan
rumah dapat diselesaikan dengan lancer, serta rumah yang didiami dapat
memberikan ketenangan bagi penghuninya. Selamatan mendirikan rumah
dimulai setelah mendapatkan “Hari Baik” dari punduh. Pendirian rumah
diawali dengan doa dan penguburan kepala ayam pada lahan yang akan
dibangun. Terakhir pada saat tiang atap (kuda-kuda) telah terpasang, pada
tiang atap paling atas (dudukan wuwung genting) disimpan sesajen berupa
rangkaian (geugeus) padi, tebu bendera merah putih, dan lain-lain. Biasanya
pemilik rumah akan meminta punduh berdoa dan disediakan tumpeng yang
dimakan oleh para pekerja. Upacara menempati rumah baru cukup dengan
mengundang tetangga guna berdoa bersama, setelah itu makan nasi tumpeng
bersama-sama.
2. Upacara yang berkaitan dengan seluruh masyarakat Kampung Kuta yaitu:
26
 

b. Upacara Nyuguh
Upacara ini merupakan upaca wajib yang selalu dilakukan pada tanggal
25 Safar (Kalender Hijriah). Upacara ini melibatkan seluruh masyarakat
Kampung Kuta yang bertempat di dodokan yang merupakan tempat
duduk/singgah Prabu Ajar sebelum mencapai Kampung Kuta. Dodokan
ini berada di sebelah Timur Kampung Kuta, tepatnya di pinggiran Sungai
Cijolang yang merupakan perbatasan Jawa Barat dengan Jawa Tengah.
Upacara ini bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan rejeki
dan terhindarnya malapetaka yang menimpa masyarakat Kampung Kuta.
c. Upacara Hajat Bumi
Upacara ini merupakan bagian dari upacara Nyuguh, sebelum dilakukan
Nyuguh, masyarakat akan memulai upacara Hajat Bumi di bale dusun.
Upacara ini pun melibatkan seluruh masyarakat Kampung Kuta.
Tujuannya adalah untuk mensyukuri keberhasilan dalam bercocok tanam
terutama padi dan juga memohon perlindungan pada masa tanam yang
akan datang.
d. Upacara Babarit
Upacara ini dilaksanakan apabila terjadi gejala-gejala alam seperti gempa
bumi, kemarau panjang, banjir atau kejadian alam lainnya. Upacara ini
dipimpin oleh ajengan dan kuncen dengan membaca doa untuk memohon
kepada penguasa alam dan para karuhun agar masyarakat terhindar dari
bencana. Upacara ini dilengkapi dengan sesajian dan makanan sebagai
persembahan kepada para leluhur.
Selain masih mempertahankan berbagai upacara adat, masyarakat
Kampung Kuta mengenal berbagai kesenian, baik kesenian tradisional maupun
kesenian modern, diantaranya: calung, reog, sandiwara (drama sunda), tagoni,
keliningan, jaipongan, qasidah, ronggeng, dan kesenian dangdut. Kesenian
tersebut dipertunjukkan pada saat hajatan perkawinan atau pada saat penerimaan
tamu kampung. Kelompok kesenian yang terdapat di Kuta, yaitu:
1. Degung, merupakan kesenian tradisional dengan seperangkat gamelan.
Kesenian ini dapat dimainkan secara instrumentalia dan mengiringi sinden
atau penari.
27
 

2. Terbang, merupakan kesenian tradisional dengan membawakan lagu-lagu


pujian yang bernafaskan Islam. Peralatan yang digunakan terdiri dari tiga
buah genjring (semacam gendang tapi tipis).
3. Gondang, merupakan kesenian tradisional yang jumlah pemainnya banyak
(tidak tentu). Peralatan yang digunakan adalah sebuah lisung panjang, alu,
nyiru (tampah), boboko, dan seikat padi pocongan. Kesenian ini
menggambarkan para pekerja (khususnya perempuan) yang bekerja
menumbuk padi sambil kakawihan (menyanyi).
4. Tayuh/tayuban, merupakan kesenian untuk menyambut tamu kehormatan.
Peralatan yang dipakai adalah soder (selendang). Pada pementasannya Tayub
diiringi oleh gamelan dengan seorang sinden dan beberapa penari.
 
 

BAB VI
KEARIFAN LOKAL DI KAMPUNG KUTA

6.1 Budaya Pamali sebagai Kearifan Lokal


Masyarakat Kampung Kuta merupakan suatu komunitas yang memiliki
kesamaan suku, agama, dan ras. Hal ini disebabkan karena mereka merupakan
suatu kesatuan, memiliki ikatan yang kuat satu sama lain karena merupakan satu
keturunan dari leluhur yang sama. Masyarakat Kampung Kuta memiliki kearifan
lokal yang sudah diwariskan oleh leluhur. Kearifan lokal masih tetap dijalankan
sampai saat ini karena sifatnya amanah sehingga harus dilaksanakan sesuai
dengan aturan main yang ada di Kampung Kuta. Bentuk kearifan lokal yang sudah
dijalankan masyarakat Kuta tersebut yaitu budaya pamali. Pamali (tabu) adalah
suatu aturan atau norma yang mengikat kehidupan masyarakat adat.
Sebagai kearifan lokal masyarakat Kampung Kuta, Pamali memiliki
karakteristik seperti halnya pada kearifan lokal pada umumnya. Karakteristik dari
pamali itu sendiri antara lain adalah sebagai berikut :
1. Pamali dalam perkembangannya menjadi suatu aturan yang melekat pada
budaya lokal yang ada dan berkembang pada masyarakat Kampung Kuta.
2. Pamali dengan segala aturan-aturan khusus yang mempengaruhi prilaku
masyarakat Kampung Kuta dan bersifat jangka panjang.
3. Pamali memandang bahwa alam dan budaya merupakan satu kesatuan yang
memiliki hubungan timbal balik.
4. Terdapat suatu komitmen yang memandang bahwa lingkungan lokal bersifat
unik dan merupakan tempat yang tidak dapat berpindah-pindah.
Tabu atau pamali terungkap dalam prinsip-prinsip utama yang
dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan
diyakini kebenarannya. Prinsip-prinsip yang disebutkan pada Tabel 4. dianggap
sebagai kearifan tradisional/kearifan lokal karena berasal dari warisan leluhur
yang telah berlaku secara turun temurun. Di Kampung Kuta, prinsip tradisional
tersebut masih berlaku sebagai pranata sosial yang dapat mengandalikan perilaku
manusia dalam berinteraksi dengan alam atau dengan sesamanya.
29
 

Tabel 4. Prinsip-prinsip Utama dalam Budaya Pamali


No. Prinsip-prinsip Utama dalam Pamali Terjemahan dalam Bahasa Indonesia
1. Teu kenging disapatu atawa sidandal, Tidak boleh menggunakan sepatu atau
teu kenging make emas lamun rek asup sandal, tidak boleh menggunakan perhiasan
ka tempat keramat. dari emas jika memasuki tempat-tempat
keramat.
2. Teu kenging nyiduh, kahampangan, Tidak boleh meludah, buang air kecil, buang
kabeuratan di tempat keramat. air besar di tempat keramat.
3. Jalma nu maot teu kenging dipendem di Setiap orang yang meninggal tidak boleh
Kuta. dikuburkan di Kampung Kuta.
4. Teu kenging ngadamel bumi ku tembok, Tidak boleh membuat rumah dari bahan
suhunan teu kenging ku kenteng, tapi tembok, atap tidak boleh menggunakan
kedah ku kiray atanapi injuk. genting, tetapi harus menggunakan alang-
alang atau injuk.
5. Teu kenging ngadamel sumur jero. Tidak boleh membuat sumur dalam.
6. Teu kenging ka cai wayah bedug. Tidak boleh pergi ke air/ke jamban pada saat
tengah hari atau dzuhur.
7. Lalaki teu kenging ka goah. Laki-laki tidak boleh memasuki tempat
penyimpanan beras atau keperluan dapur
(apalagi mengambilnya).
8. Teu kenging calik dina lawang panto. Tidak boleh duduk diambang pintu.
9. Teu kenging sisiaran sareupna. Tidak boleh mencari kutu pada saat maghrib.
10. Ngaran teu kenging tina bahasa jawa Nama tidak boleh menggunakan bahasa
kudu sunda. Jawa, harus dari bahasa Sunda.
11. Teu kenging turun ka ranjang atawa Tidak boleh menikahi adik ipar atau kakak
naik ka ranjang. ipar apabila salah satu pasangan suami istri
meninggal dunia.
12. Istri nu ngandeg teu kenging nganggo Tidak boleh memakai kain panjang terlalu
sinjang jangkung. tinggi/ke atas.
13. Teu kenging dahar bari nangtung. Tidak boleh makan saambil berdiri.
14. Lamun indit-inditan kudu mawa obor. Apabila berpergian (di waktu malam) harus
membawa obor (lampu minyak tanah yang
biasanya terbuat dari ruas bambu).
15. Lamun nyadap ulah nyolendangkeun Apabila akan menyadap (air nira) tidak boleh
sarung. berselendang sarung.
16. Tujuh poe sanggeus nikah teu meunang Tujuh hari setelah menikah (mengucapkan
sakamar. akad nikah) tidak boleh sekamar.
17. Tujuh poe samemeh disepitan, teu Tujuh hari sebelum disunat, anak yang akan
kenging lulumpatan. disunat tidak boleh berlari-lari (bermain-
main).
18. Teu kenging ka cai sareupna. Tidak boleh ke jamban pada hari menjelang
malam atau saat magrib.
19. Parawan teu kenging lila-lila di cai. Seorang gadis atau perawan tidak boleh
terlalu lama di jamban.
20. Ulah moyok urang Kampung Kuta. Tidak boleh menghina orang Kampung Kuta.
21. Nu kakandungan teu kenging ngadahar Wanita hamil tidak boleh memakan kelapa
butuh. yang sudah berkecambah (hampir menjadi
kitri).
Prinsip-prinsip utama di atas dibedakan menjadi dua bagian yaitu prinsip
utama yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam (1 - 5) dan prinsip
30
 

yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari (6 - 21). Untuk poin nomor 1


sampai dengan 5 merupakan prinsip yang paling utama dan paling ditekankan
oleh masyarakat Kampung Kuta, yaitu sebagai berikut:
1. Teu kenging disapatu atawa sidandal, teu kenging make emas lamun rek asup
ka tempat keramat, artinya: tidak boleh menggunakan sepatu atau sandal,
tidak boleh menggunakan perhiasan dari emas jika memasuki tempat-tempat
keramat.
Tabu ini mengandung nilai bahwa masyarakat Kampung Kuta sangat
menghormati sikap-sikap yang sederhana, bersahaja, kebersamaan dan patuh
kepada norma-norma sosial yang berlaku. Mereka memiliki sifat religius
yang sangat tinggi serta menghormati peninggalan leluhur, yaitu tempat
keramat. Tempat keramat yang dimaksud adalah sebuah kawasan hutan yang
dihuni oleh makhluk-makhluk gaib yang menguasai dan menjaga Kampung
Kuta. Setiap orang yang akan memasuki hutan tersebut tidak boleh
menggunakan sepatu, sandal atau perhiasan.
2. Teu kenging nyiduh, kahampangan, kabeuratan di tempat keramat, artinya:
tidak boleh meludah, buang air kecil, buang air besar di tempat keramat.
Tabu tersebut merupakan kearifan lokal yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebersihan dan kesopanan. Pemeliharaan hubungan alam dengan manusia
yang selaras dan seimbang tercermin dalam ungkapan tersebut. Jika
seseorang meludah, membuang air kecil bahkan air besar maka akan
menyebabkan lingkungan alam akan tercemar.
3. Jalma nu maot teu kenging dipendem di Kuta, artinya: setiap orang yang
meninggal tidak boleh dikuburkan di Kampung Kuta.
Tabu ini mencerminkan kepercayaan masyarakat Kampung Kuta terhadap
mitos leluhur dan penghargaan terhadap leluhurnya. Salah seorang karuhun
masyarakat yaitu Ki Bumi dimakamkan di Marga, maka setiap yang
meninggal akan dikuburkan di Cibodas seperti yang diungkapkan oleh Bapak
Mryn (64 tahun):

“…nah teu kenging mendem mayit di Kuta. Semua yg ada disini teh
asalna amanah. Tempat kesucian. Kecuali bayi. Waktu Ki Bumi maot
oge di pendemna di Marga. Jadi sadayana warga Kuta kudu dipendemna
di Cibodas, pokona di luar Kuta…”
31
 

(Tidak boleh mengubur mayat di Kuta. Semua yang ada disini asalnya
amanah. Tempat kesucian. Kecuali bayi. Saat Ki Bumi meninggal juga di
kuburnya di Marga. Jadi semua warga Kuta harus dikubur di Cibodas,
pokoknya di luar Kuta.)

Mitos yang dipercayai masyarakat Kampung Kuta bahwa tanah Kampung


Kuta tersimpan harta karun peninggalan nenek moyangnya, yaitu Ratu Galuh.
Mereka berkewajiban untuk memelihara harta karun tersebut. Oleh karena itu,
dilarang menggali tanah di Kampung Kuta karena jika digali (melanggar
tabu) maka arwah para leluhur akan murka dan Kampung Kuta akan musnah
tertimbun tanah. Kepercayaan mereka ini, didukung dengan keadaan tanah
Kuta yang merupakan endapan rawa yang sifatnya labil sehingga jika digali
terlalu dalam akan mengakibatkan longsor. Selain itu, dalam persepsi
masyarakat terdapat kepercayaan bahwa tanah Kuta harus selalu suci
sedangkan mayat sifatnya kotor karena banyak dosa. Maka untuk tetap
memelihara kesucian tanah setiap orang yang meninggal, terutama orang
dewasa dilarang untuk dimakamkan di Kampung Kuta.
4. Teu kenging ngadamel bumi ku tembok, suhunan teu kenging ku kenteng, tapi
kedah ku kiray atanapi injuk, artinya: tidak boleh membuat rumah dari bahan
tembok, atap tidak boleh menggunakan genting, tetapi harus menggunakan
alang-alang atau ijuk.
Tabu ini menunjukkan satu simbol jika bahan-bahan yang berasal dari tanah
(tembok dan genting) serta tempatnya melebihi batas kepala manusia, sama
artinya manusia berada dalam tanah atau dikubur. Artinya sama dengan orang
mati, padahal di dunia ini manusia hidup tidak boleh seperti orang mati yang
tidak berdaya. Tujuan lain dari tabu ini yaitu berhubungan juga dengan
kondisi tanah di Kampung Kuta yang labil. Jika rumah dari tembok dan
beratap genting akan menambah bobot tekanan terhadap tanah, hal ini
dikhawatirkan rumah akan melesat dan ambruk, kemungkinan akan
membahayakan keselamatan penghuninya.
5. Teu Kenging ngadamel sumur jero, artinya: tidak boleh membuat sumur
dalam.
Tabu ini menjelaskan bahwa kondisi tanah di Kampung Kuta bersifat labil
sehingga jika membuat sumur dalam akan membahayakan masyarakat sendiri
32
 

(longsor). Hal ini sesuai dengan yang diukapkan oleh Bapak Krmn (45
tahun):

“…disini juga ga boleh bikin sumur, jadi warga lamun mau ke air, ya
kudu ke jamban pemandian umum, ari larangan teh kusabab tanah disini
mah labil jadi klo bikin sumur ntar malah jadi bahaya…”
(disini juga tidak boleh membuat sumur, jadi warga jika mau ke air harus
ke jamban atau pemandian umum. Larangan tersebut dikarenakan tanah
disini labil jadi jika membuat sumur akan membahayakan.)

Kelima prinsip di atas merupakan norma adat yang sangat mengikat


masyarakat karena sudah dilakukan secara turun-temurun dan diketahui oleh
seluruh masyarakat Kampung Kuta. Jadi, yang ditekankan dalam budaya pamali
adalah pelestarian bentuk rumah, larangan penguburan mayat, larangan membuat
sumur, dan peraturan mengenai Hutan Keramat. Keempat hal ini masih dipegang
teguh oleh seluruh masyarakat Kampung Kuta sehingga tidak ada yang berani
melanggarnya. Keempat hal tersebut menjadi fokus dari budaya pamali yang ada
di kehidupan masyarakat Kampung Kuta yang dapat dilihat secara ringkas pada
Tabel 5.

Tabel 5. Bentuk Kearifan Lokal yang Ditekankan di Kampung Kuta


Kearifan Lokal Budaya Pamali
Nilai Kepercayaan terhadap kekuatan supranatural
Norma 1. Pelestarian rumah adat
2. Peraturan mengenai Hutan Keramat
3. Pelarangan pembuatan sumur
4. Pelarangan menguburkan mayat
Aktor Seluruh masyarakat Kampung Kuta
Sanksi Seluruh pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan
terjadinya musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi
juga mengenai seluruh penduduk kampung. Masyarakat
Kampung Kuta meyakini bahwa sanksi yang diterima pelanggar
berasal dari Karuhun yang murka.
Budaya pamali memiliki aturan-aturan yang harus ditaati oleh masyarakat
Kampung Kuta. Setiap orang yang melanggarnya selalu mendapatkan balasan
yang diyakini berasal dari karuhun mereka yang murka. Apabila ada seseorang
yang melanggar, para sesepuh kampung, kuncen, dan ketua adat akan musyawarah
atau diskusi untuk mengingatkan para pelanggar untuk merubah perilakunya.
Seperti yang dipaparka oleh Bapak Mryn (64 tahun):
33
 

“...budaya pamali diangge ku masyarakat, saleresna pamali teh lamun di


pamarintah mah undang-undang, aturan. Kuta alatnya sanjatanya
nyaeta bahasa pamali. Turunan ti wiwtian ti AKi Bumi. Bapa keturunan
ka 10 anu resmina. Warga sini patuh ke pamali. Kejadian warga
ngelanggar mah aya wae sok aya panggeuing, aya anu nyaram. Ari ku
masyarakat teh sok dialog, diskusi, musyawarah heula ka anu ngarampak
amanah teh…”.
(Budaya pamali dipakai oleh masyarakat, sebenarnya kalau seperti di
pemerintahan itu, pamali adalah undang-undang atau aturan. Kalau di
Kuta perangkatnya yaitu pamali. Awalnya bermula dari Aki Bumi,
resminya Bapak keturunan ke sepuluh. Warga Kuta patuh pada pamali.
Ada kejadian, apabila ada warga yang melanggar suka ada yang ngingetin
dan ngelarang. Bagi yang melanggar, awalnya dilakukan musyawarah,
diskusi dan berdialog dulu.)

Pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan terjadinya


musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga mengenai seluruh
penduduk kampung. Bentuk-bentuk musibah yang datang dapat bermacam-
macam seperti penyakit, serangan hama tanaman, gempa bumi berupa tanah
longsor, angin topan atau banjir, dan bahkan kematian. Masyarakat Kampung
Kuta menyakini bahwa musibah yang menimpa mereka merupakan akibat dari
perbuatan mereka sendiri, seperti diungkapkan oleh Bapak Mryn (64 tahun):

“…musibah datangna lain ti Allah tapi akibat perbuatan urang.


Sebenerna urang kudu maca amal perbuatan urang, jadi lain ti Allah tapi
urang sorangan. Padamelanana ti urang keneh…
(Musibah datangnya bukan dari Allah tapi akibat perbuatan sendiri.
Sebenarnya kita harus membaca amal perbuatan kita. Jadi bukan dari
Allah tapi kita sendiri. Perbuatannya dari kita sendiri.)

Sanksi yang berupa musibah atau kemarahan karuhun yang diterima tidak
hanya sebatas kepada keempat hal yang difokuskan dalam budaya pamali.
Namun, pada hal-hal kecil yang sekiranya mengganggu ketentraman masyarakat
Kampung Kuta dan tidak disukai oleh karuhun dapat saja terjadi. Seperti yang
diceritakan oleh Bapak Krmn (45 tahun) mengenai kejadian-kejadian yang terjadi
di Kampung Kuta di bawah ini:

“…disini mah aman, motor ditaro dimana-mana oge aman, ga seperti di


kota, rumah harus digembok, disini mah rumah ga dikunci oge aman, da
ga ada yang bakal berani, kusabab aya wae kajadiannana lamun
ngalanggar, tapi rata-rata teh anu kena musibah bukan orang Kuta, tapi
orang luar kusabab orang Kuta mah moal berani melanggar. Contohna
pas taun 70an, ada orang Cibodas keur ngarayap di tebing, pas ditanya
kunaon ternyata manehna nyolong jemuran, ceunah jadi teu katingalian
34
 

jalan, dibutakeun jalanna. Nah eta anu disebut melanggar, jadi karuhun
murka. Aya deui taun 2000an waktu Ibu Gubernur datang sama
rombongannya, supirna mau jalan-jalan muter kampung, tapi manehna
nanya “moal sasab kan disini?”, nya eta manehna oge jadi dibutakeun
jalan ku karuhun gara-gara ngomong sabab. Jadi disini mah ga boleh
ngomong sasab, ari sasab teh kasasar kitu, kusabab ari si Kuta mah nang
sakieu ungkul wilayahna jadi lewat jalan manapun ga bakal sasab. Aya
deui keur rombongan mahasiswa, nginepna di rumah Pa Kuncen, eta
perempuan semua, tapi mereka teh sok gayana, jadi lamun didieu teh
ulah sok, eta pas tengah malem jam12an aya harimau berdiri dina kaca
rumah Pa Kuncen, harimau sareng bayangan item gede. Eta aya
genepan mahasiswana, ngeliat semua mereka. Meuni sararieuneun. Nah
jadi disini mah ulah sembarangan, kusabab setiap perbuatan urang anu
salah pasti aya wae balesannana ti karuhun…”
(Disini aman, motor disimpan di mana-mana saja juga aman, tidak seperti
di kota, rumah harus di kunci, disini rumah tidak di kunci juga aman.
Tidak ada yang berani karena selalu ada kejadian jika melanggar. Tapi
rata-rata yang terkena musbah bukan orang Kuta tapi orang luar Kuta
karena orang Kuta tidak akan berani melanggar. Contohnya pada tahun
70an, ada orang Cibodas sedang merayap di tebing, setelah ditanya
ternyata dia maling jemuran, katanya jadi tidak terlihat jalan, dibutakan
jalannya. Nah itu yang disebut melanggar, jadi karuhun marah. Ada lagi
tahun 2000an saat Ibu Gubernur datang bersama rombongnnya, supirnya
ingin jalan-jalan keliling kampung, tapi dia bertanya “tidak akan kesasar
kan disini?”, lalu dia juga dibutakan jalannya oleh karuhun karena
berbicara “kesasar”. Hal ini dikarenakan, Kuta hanya sigini saja
wilayahnya jadi lewat jalan manapun tidak akan kesasar. Ada lagi ketika
rombongan mahasiswa yang menginap di rumah Pak Kuncen, perempuan
semua yang gayanya “sok”. Saat tengah malam jam12an ada harimau
berdiri di kaca rumah Pak Kuncen, harimau dan bayangan hitam besar.
Keenam mahasiswa tersebut melihat semua dan ketakutan. Jadi disini
tidak boleh sembarangan karena setiap perbuatan kita yang salah pasti
ada saja balasannya dari karuhun.)

Selain keempat hal pokok yang ditekankan dalam pamali tersebut, terdapat
prinsip pamali yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari dan masih
dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta, yaitu sebagai berikut:
1. Teu kenging ka cai wayah bedug, artinya: tidak boleh pergi ke air/ke jamban
pada saat tengah hari atau dzuhur.
Tabu ini menunjukkan kepercayaan masyarakat Kampung Kuta terhadap
makhluk atau roh halus sebagai pengganggu dan pemelihara. Roh/makhluk
pengganggu biasanya berkeliaran pada waktu dzuhur dan sareupna/maghrib
di tempat-tempat pemandian. Jika hal ini dilanggar, si pelanggar akan
kesurupan atau akan sakit. Secara logis larangan tersebut berhubungan
dengan kesehatan manusia. Tengah hari matahari sedang pada puncaknya
35
 

termasuk suhu tubuh, jika pada saat suhu tubuh disiram air dingin akan
menyebabkan penurunan yang drastis suhu tubuh secara mendadak akibatnya
yang bersangkutan akan pingsan atau masuk angin. Begitupun pada saat
maghrib udara sudah dingin, jika memaksakan mandi tubuh akan kebulusan
(menggigil kedinginan) yang tentunya akan berakibat sakit.
2. Lalaki teu kenging ka goah, artinya: laki-laki tidak boleh memasuki tempat
penyimpanan beras atau keperluan dapur (apalagi mengambilnya).
Tabu ini mengandung nilai bahwa di Kampung Kuta telah menetapkan
pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki bertugas mencari
nafkah (di luar rumah) dan perempuan memasak serta menyiapkan makanan
di dapur (di dalam rumah). Jika seorang laki-laki mengerjakan pekerjaan
perempuan dipandang rendah dalam kultur masyarakat, demikian pula
sebaliknya. Situasi tersebut menunjukkan adanya saling percaya antara suami
dan istri.
3. Teu kenging calik dina lawang panto, artinya: tidak boleh duduk diambang
pintu.
Tabu ini biasanya ditujukan kepada anak-anak. Kepada anak perempuan
biasanya ditambah dengan kalimat bisi nongtot jodo maksudnya susah
mendapatkan jodoh dan kepada anak laki-laki menggunakan kalimat bisi loba
halangan maksudnya dikhawatirkan banyak rintangan dalam melakukan
suatu pekerjaan. Dalam tabu ini mengandung ajaran pendidikan agar anak
laki-laki mau berusaha dan bekerja keras, sedangkan anak perempuan harus
dapat menjaga harga diri kewanitaannya. Secara logis larangan ini
dimaksudkan agar yang duduk tidak menghalangi orang lain yang lalu lalang,
tidak mustahil tamu yang akan datang pun dapat membatalkan kunjungan.
4. Teu kenging sisiaran sareupna, artinya: tidak boleh mencari kutu pada saat
maghrib.
Tabu ini ditujukan kepada anak perempuan, orang tua dilarang melakukan
pekerjaan ini karena pada waktu maghrib adalah waktu untuk beribadah.
Secara harfiah, apabila pekerjaan ini dilakukan akan dapat membuat
kerusakan pada mata karena telah berkurangnya sinar matahari.
5. Ngaran teu kenging tina bahasa jawa kudu sunda, artinya: nama tidak boleh
36
 

menggunakan bahasa Jawa, harus dari bahasa Sunda.


Ungkapan ini merupakan salah satu bentuk fanatisme daerah sunda karena
merupakan peninggalan nenek moyangnya. Oleh karena itu, untuk menjaga
kelestariannya maka nama orang sunda harus menggunakan bahasa Sunda.
6. Teu kenging turun ka ranjang atawa naik ka ranjang, artinya: tidak boleh
menikahi adik ipar atau kakak ipar apabila salah satu pasangan suami istri
maninggal dunia.
Tabu ini ditujukan kepada orang yang ditinggal mati oleh suami atau istrinya,
tidak boleh menikahi adik atau kakak suami atau istrinya. Maksudnya untuk
memeperluas persaudaraan sebab jika perkawinan hanya dilakukan antar
saudara akan mempersempit tali persaudaraan, jika hal tersebut dilakukan
anggapan masyarakat Kampung Kuta akan menyebabkan anak yang lahir
akan cacat bawaan.
7. Istri nu ngandeg teu kenging nganggo sinjang jangkung, artinya: tidak boleh
memakai kain panjang terlalu tinggi/ke atas. Tabu ini ditujukan kepada
perempuan yang sedang hamil agar tidak terlihat aurat. Maksud sinjang
jangkung adalah pemakaian kain yang dililitkan antara lutut hingga dada.
Oleh karena ukuran lebar kain hanya dua belas centimeter, maka apabila
dipakai terlalu rendah akan terlihat aurat bagian bawah. Selain itu,
masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa jika seseorang melanggarnya akan
mudah dimasuki oleh setan.
8. Teu kenging dahar bari nangtung, artinya: tidak boleh makan sambil berdiri.
Tabu ini biasa digunakan orang tua untuk mendidik anaknya agar mereka
senantiasa mempunyai sifat disiplin serta sopan santun, baik dalam
lingkungan keluarga maupun masyarakat. Masyarakat Kampung Kuta
beranggapan bahwa orang yang makan sambil berdiri tidak sopan terhadap
orang-orang disekitarnya termasuk tidak sopan pada leluhurnya.
9. Lamun indit-inditan kudu mawa obor, artinya: apabila berpergian (di waktu
malam) harus membawa obor (lampu minyak tanah yang biasanya terbuat
dari ruas bambu).
Tabu ini menunjukkan keadaan alam Kampung Kuta yang banyak dirimbuni
pepohonan membuat suasana malam sangat gelap. Ungkapan ini biasanya
37
 

ditujukan kepada orang yang akan menjemput paraji atau dukun beranak.
Masyarakat Kampung Kuta mempercayai bahwa orang yang menjemput
paraji biasanya diikuti oleh makhluk halus pengganggu seperti kuntilanak
yang bertujuan mengganggu wanita sedang hamil atau mau melahirkan.
Makhluk halus tersebut takut dengan cahaya, maka disarankan untuk selalu
menggunakan obor.
10. Lamun nyadap ulah nyolendangkeun sarung, artinya: apabila akan menyadap
(air nira) tidak boleh berselendang sarung.
Tabu ini merupakan nasihat kepada para penyadap yang akan mengambil air
lahang (air nira). Jika menyadap sambil berselendang sarung dikhawatirkan
akan tersangkut pada barangbang (pelepah daun enau) dan orang tersebut
terjatuh. Tabu ini mengandung pesan bahwa dalam bekerja itu seseorang
harus disiplin, baik dalam penggunaan peralatan kerja ata dalam pakaian
kerja.
11. Tujuh poe sanggeus nikah teu meunang sakamar, artinya: tujuh hari setelah
menikah (mengucapkan akad nikah) tidak boleh sekamar.
Larangan ini muncul karena pernikahan jaman dulu yang terjadi dengan cara
dijodohkan orang tua sangat mungkin diantara keduanya tidak saling
mencintai atau rasa cinta hanya dimiliki oleh sebelah pihak saja. Oleh sebab
itu untuk mengantisipasi perceraian akibat ketidaksukaan terhadap
pasangannya, mereka tidak boleh tidur sekamar, dengan harapan jika terjadi
perceraian pun, gadis tersebut masih perawan.
12. Tujuh poe samemeh disepitan, teu kenging lulumpatan, artinya: tujuh hari
sebelum disunat, anak yang akan disunat tidak boleh berlari-lari (bermain-
main).
Tabu ini merupakan ungkapan sayang orang tua terhadap anaknya yang akan
disunat. Tabu tersebut erat kaitannya dengan masalah kesehatan anak yang
akan disunat. Jika berlari-larian dikhawatirkan pada saat disunat anak akan
sakit atau banyak mengeluarkan darah.
13. Teu kenging ka cai sareupna, artinya: tidak boleh ke jamban pada hari
menjelang malam atau saat magrib.
Tabu tersebut lebih ditujukan kepada wanita yang sedang hamil. Makna yang
38
 

terkandung dalam tabu tersebut berupa nasihat bahwa sebaiknya mandi tidak
terlalu sore atau malam hari karena udara dingin. Letak kamar mandi yang
jauh dari rumah dikhawatirkan membahayakan wanita hamil misalnya jatuh
terpeleset disebabkan penglihatan menjadi tidak jelas karena gelap.
14. Parawan teu kenging lila-lila di cai, artinya: seorang gadis atau perawan
tidak boleh terlalu lama di jamban.
Makna yang terkandung berupa nasihat kepada seorang gadis. Secara mistis
dipercaya benar bahwa kuntilanak senang bermain air, sehingga jika berlama-
lama di jamban dikhawatirkan akan diganggu kuntilanak. Secara logis jika
berlama-lama di air akan kedinginan. Selain itu, jika mandi terlalu lama,
tubuh yang tidak tertutup sehelai baju dikhawatirkan akan terlihat orang lain.
15. Ulah moyok urang Kampung Kuta, artinya: tidak boleh menghina orang
Kampung Kuta.
Larangan ini sebenarnya bukan hanya berlaku untuk orang kuta, tetapi
berlaku juga untuk orang lain. Sikap menghina orang lain adalah sikap salah,
orang yang dihina belum tentu lebih rendah daripada yang menhina. Tabu ini
bermakna bahwa manusia di mata Allah memiliki kedudukan yang sama,
tidak dibedakan oleh kekayaan, kedudukan, melainkan dibedakan oleh amal
perbuatannya.
16. Nu kakandungan teu kenging ngadahar butuh, artinya: wanita hamil tidak
boleh memakan kelapa yang sudah berkecambah (hampir menjadi kitri).
Tabu ini berisi nasihat kepada wanita hamil untuk tidak memakan buah
kelapa yang sudah hampir tumbuh tunas. Larangan ini berdasarkan pada
kepercayaan bahwa pelanggaran terhadap larangan ini akan mengakibatkan
bayi yang dilahirkan kelak akan terjangkit panas. Alasan ini sangat rasional
karena buah kelapa yang hendak muncul tunasnya dalam keadaan asam dan
dapat menggugurkan kandungan sama halnya jika memakan buah nanas
muda.
Bentuk kepercayaan terhadap hari baik dan hari buruk pun masih dianut
serta dipergunakan oleh masyarakat Kampung Kuta. Perhitungan hari tersebut
digunakan untuk untuk menentukan saat-saat baik dan kurang baik dalam
memulai kegiatan. Umumnya perhitungan didasarkan kepada nama orang yang
39
 

akan menyelenggarakan kegiatan tertentu, berdasarkan naptu hari, naptu bulan,


dan weton (hari kelahiran), dan sebagainya. Beberapa kegiatan/keperluan yang
didasarkan kepada hari baik dan hari buruk, antara lain:
1. Memberi nama kepada bayi; bayi yang baru lahir harus diberi nama yang baik
berdasarkan perhitungan tertentu. Harus dihindarkan nama-nama yang
perhitungannya jatuh kepada perhitungan yang mendapatkan lara (sengsara)
atau pati (kematian), tetapi harus dipilih nama-nama yang perhitungannya
akan jatuh kepada kebahagiaan seperti hari yang sama dengan sri (kaya akan
hasil tanaman), lungguh (pangkat dan ilmu yang tinggi), dan dunya (kekayaan
yang banyak).
2. Melakukan pekerjaan; seseorang yang akan melakukan pekerjaan seperti akan
mencari nafkah, berdagang, bercocok tanam, menyimpan padi di lumbung,
dan lain sebagainya harus menghitung hari yang tepat. Jika harinya tidak
baik/buruk (apes), maka pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan tidak akan
menghasilkan sesuatu yang menggembirakan, bahkan akan mendapatkan
kekecewaan. Misalnya berdagang tidak memperoleh keuntungan, menagih
utang tidak akan berhasil, atau tanaman yang ditanam hasilnya sedikit karena
tanamannya diserang hama atau sebab-sebab lainnya.
3. Mendirikan rumah; mereka memperhitungkan hari baik dalam mendirikan
rumah ataupun memindahkan rumah. Akan tetapi tidak hanya menentukan
hari baiknya saja, merekapun menentukan arah serta tata letak rumah yang
akan dibangun. Hal ini dimaksudkan agar rumah yang dibangun menjadi
rumah yang menentramkan penghuninya, terhindar dari segala macam
kejahatan baik dari manusia atau dari makhluk halus, serta penghuninya
selalu diberi limpahan rejeki.
4. Menentukan hari perkawinan/khitanan; hari perkawinan atau khitanan anak
merupakan saat-saat yang monumental dan hanya dilakukan sekali seumur
hidup, oleh sebab itu semua yang terkait dengan saat-saat itu diperhitungkan
dan dipertimbangkan secara matang dan hati-hati termasuk penentuan hari
pelaksanaan acara tersebut. Dengan hari yang dianggap tepat
penyelenggaraan perkawinan akan berjalan lancar, keluarga yang dibangun
dari perkawinan tersebut akan menjadi keluarga yang bahagia dan sejahtera,
40
 

suami istri akan terhindarkan dari masalah rumah tangga, dan lain
sebagainya. Bagi anak yang dikhitan selain lancar dalam
penyelenggaraannya, juga anaknya diharapkan menjadi anak yang sholeh,
banyak rejeki, dan berbakti pada kedua orang tuanya.
Menentukan hari baik dan hari buruk untuk memulai suatu kegiatan tidak
dapat dilakukan sendiri, mengingat keterbatasan pengetahuan mereka akan
pengetahuan tersebut. Oleh sebab itu bagi penduduk yang memerlukan penentuan
hari baik dan hari buruk akan bertanya kepada orang yang menguasai ilmu
tersebut yaitu punduh. Punduh ini adalah sesepuh/kokolot yaitu laki-laki yang
telah tua usianya, sangat wajar orang tua dianggap punduh mengingat usia yang
menunjukkan banyaknya pengalaman hidup, dan berbagai kejadian dalam
kehidupan, atau sudah lama mengenal asam garam kehidupan.

6.2 Rumah Adat Kampung Kuta


Pemukiman penduduk Kampung Kuta menunjukkan pola menyebar.
Rumah-rumah terletak berjajar atau berderet di tepi jalan kampung atau
mengelompok pada tanah yang rata. Kelompok rumah satu dengan yang lainnya
tersebut letaknya berjauhan. Arah rumah pada umumnya menghadap ke arah jalan
desa atau gang. Pembatas halaman yang satu dengan halaman yang lain
menggunakan pagar tanaman hidup atau tanpa pagar sebagai batasnya.
Kampung Kuta memiliki ciri khas yaitu mempunyai kesamaan dalam
bentuk dan bahan fisik bangunan rumah. Keaslian turun temurun tetap dapat
dipertahankan karena mereka masih patuh dan taat pada aturan yang berlaku dari
leluhurnya dan merupakan salah satu bagian dari budaya pamali seperti yang
dituturkan oleh Bapak Krmn (45 tahun):

“…masyarakat Kampung Kuta ngajalankeun anu jadi amanah, dasar


pamalina anu dipegang ku masyarakat, ari bentuk bumi teh kudu
disesuaikeun ku kondisi tanah disini, mana didieu udarana tiis jadi pan
kalo pake tembok nanti kedinginan. Jadi eta kusabab kudu mertahankeun
bentuk rumah…
(Masyarakat Kampung Kuta menjalani yang menjadi amanah, dasar
pamali yang dipegang oleh masyarakat, bentuk rumah harus disesuaikan
dengan kondisi tanah disini, disini udaranya dingin jadi jika memakai
tembok nanti bisa kedinginan. Jadi itu alasan mempertahankan bentuk
rumah.)
41
 

Bentuk rumah di Kampung Kuta terikat oleh suatu aturan dalam bentuk
dan bahan bangunan yang digunakan, kriteria dari rumah adat tersebut dapat
dilihat pada Tabel 6. Pembangunan rumah baru atau memperbaiki rumah,
masyarakat masih tetap mengikuti bentuk dan material rumah adat Kampung Kuta
karena dilarang (pamali) membuat rumah dengan bahan selain yang dijelaskan di
atas. Membangun rumah tanpa merubah bentuk dan menggunakan bahan yang
sama dengan aslinya ini merupakan upaya pelestarian arsitektur rumah khas
Kampung Kuta yang perlu dipertahankan, dipelihara dan dijaga keasliannya.
Upaya pelestarian ini untuk menghindari pengaruh pola arsitektur rumah
dari luar Kampung Kuta atau menghindari tergesernya nilai-nilai rumah
tradisional yang memiliki ciri khas dan keunikan tersendiri. Penataan ruangan
dalam rumah tetap mempertimbangkan aspek keindahan dan kepraktisan. Tidak
ada satupun pamali yang diperlakukan dalam penataan ruangan rumah, selain
bentuk atap, bentuk bangunan dan bahan bangunan rumah.
Kondisi rumah terpelihara dengan baik. Rumah-rumah yang rusak
dibangun atau diperbaiki dengan menggunakan bahan bangunan yang sesuai
dengan pesan leluhur yang tetap ditaati atau dipatuhi oleh mayoritas masyarakat
Kampung Kuta. Namun terlihat adanya pelanggaran terhadap aturan ini, terdapat
beberapa bangunan yang menggunakan bangunan permanen, menggunakan
tembok dan beratapkan genting atau asbes. Pelanggaran terhadap aturan ini
menyebabkan sebuah keluarga meninggal satu per satu di tahun 2004, hal ini
sesuai dengan pernyataan Bpk Mryn (64 tahun):

“…eta teh kana nu saur sesepuh anu tos ngalanggar amanah. Aya hiji
bangunan tos dibongkar. Aya hiji deui anu teu acan. Ieu teh anu saur
sepuh tos ngarampak amanah, sok aya bae kajadianana. Langsung bikin
tembok, langsung musibah. Langsung maot sakaluarga. Langsung udur,
taun 2004an. Aya bahasa/amanah Urang mah ulah hayang hirup-hirup
dikubur, aya oge ulah bikin istana jadi astana. Upami katinggang jadi
maot, astana kan hartina kuburan...”
(Itu yang menurut lelehur yang sudah melanggar amanah. Ada satu
bangunan yang sudah dibongkar dan satu lagi belum. Ini yang disebut
melanggar manah, ada saja kejadiannya. Membuat rumah tembok,
langsung dapat musibah dan meninggal sekeluarga. Meninggal tahun
2004an. Ada bahasa, kita jangan mau hidup-hidup dikubur, jangan
membuat rumah jadi kuburan. Jika ketimpa jadi meninggal.)
42
 

Tabel 6. Kriteria Rumah Adat Kampung Kuta Tahun 2010


No. Kriteria Keterangan
1. Model rumah Panggung tanpa tembok.
2. Bentuk Persegi/persegi panjang tidak boleh berbentuk sikon
(menyiku) dengan ukuran panjang 11 meter dan lebar 6
meter.
3. Atap Terbuat dari rumbia dan atau ijuk, atap rendah berbentuk
trapesium memiliki empat bagian atap. Masing-masing
bagian atapnya berbentuk segitiga.
4. Plafon/langit- Seluruh plafon/langit-langit terbuat dari anyaman bambu
langit (bilik) dengan motif kepang kecuali dapur yang tidak
menggunakan plafon, tetapi langsung ke konstruksi atap.
5. Dinding Bahan dinding bangunan rumah terbuat dari bilik
(anyaman irisan bilah bambu) atau triplek. Tiang-tiang
penyangga dari kayu, jendela dari kaca atau gebyog
(seluruhnya dari papan). Setiap tiang-tiang utama rumah
berdiri pada tatapakan (batu pahat yang berbentuk kubus
persegi panjang), yang memiliki kolong yang dapat
dipergunakan untuk menyimpan kayu bakar atau sebagai
kandang ternak seperti ayam dan bebek. Bagian pintu
depan dibuat tangga yang disebut golodog. Golodog ini
memiliki dua fungsi yaitu sebagai tangga untuk masuk ke
dalam rumah dan sekaligus sebagai tempat duduk-duduk
santai.
6. Tiang Tiang dari kayu yang mendukung rangka atap, lantai serta
sebagai bagian rangka bangunan rumah pada umumnya
berjumlah enam belas tiang. Untuk pondasi tiang
digunakan batu alam yang berbentuk menyerupai balok
persegi panjang.
7. Pintu Memiliki satu pintu depan yang terletak di bagian depan
rumah menuju ke dalam ruangan depan “tepas” dan satu
pintu belakang di bagian dapur. Selain itu terdapat
beberapa pintu lainnya yaitu pintu kamar tidur dan pintu
kamar gudang (goah).
8. Jendela Jendela terletak di samping kanan, di samping kiri, dan
bagian depan rumah. Jendela berbentuk persegi panjang
dengan daun jendela kayu atau kaca sebagai penutupnya.
9. Lantai Lantai terbuat dari papan kayu. Selain lantai papan di
sejumlah rumah masih memakai lantai terbuat dari bambu
yang dibentuk lempengan-lempengan bambu (talupuh)
yang digelarkan di atas bambu bulat (utuh) dinamakan
darurang. Ruangan dapur atau di sekitar tempat masak
lantainya langsung ke tanah, Tinggi lantai rumah bagian
depan dari permukaan tanah sekitar setengah meter.
10. Tempat Menggunakan tungku (hawu) dan disini terdapat parako,
masak dan paraseuneu.
Sumber: Ketua Adat, 2010
43
 

Berdasarkan pernyataan Bapak Mryn (kuncen Kampung Kuta) di atas,


terlihat bahwa sanksi yang diterima sifatnya tidak tertulis. Tidak ada sanksi
khusus yang diberikan berdasarkan aturan-aturan adat tersebut. Seluruh sanksi
yang diterima diyakini berasal dari karuhun mereka. Ketua adat, kuncen, dan
masyarakat Kampung Kuta hanya sekedar memberikan nasihat kepada pihak yang
telah melanggarnya. Setelah itu mengembalikan segala keputusan kepada pihak-
pihak yang melanggar aturan tersebut.
Pada kasus pembuatan rumah berdinding tembok dan beratapkan genting
ini, mereka tetap meneruskan pembuatan rumah tanpa dibantu oleh masyarakat
Kampung Kuta. Setelah pembuatan rumah selesai, satu per satu anggota keluarga
sakit dan meninggal dunia. Satu bangunan rumah bertembok ini sudah dibongkar.
Tersisa satu bangunan lagi yang hanya ditempati oleh seorang wanita yang sakit-
sakitan. Masyarakat Kampung Kuta hal ini merupakan balasan dari ketidaktaatan
terhadap aturan adat leluhur yang sudah ada.

6.3 Hutan Keramat sebagai Arena Kearifan Lokal


Meskipun seluruh masyarakat dusun Kuta menganut agama Islam, namun
dalam kenyataan hidup sehari-hari masih sulit dibedakan antara kaedah-kaedah
ajaran agama Islam dengan adat-istiadat. Masyarakat dusun Kuta yakin bahwa
bumi dimana mereka tinggal dikuasai dan dikendalikan oleh makhluk gaib seperti
Ambu Rama Bima Raksa Kalijaga, Prabu Mangkurat Jaga, Sang Mentil Putih, dan
Kyai Bima Raksa Nagara yang tinggal di tebet-tebet (tempat-tempat keramat)
sehingga untuk memasuki tebet-tebet tersebut diwajibkan mentaati aturan yang
ditetapkan.
Tempat-tempat yang dikeramatkan oleh mereka itu antara lain Hutan
Keramat atau Leuweung Gede (termasuk didalamnya Ciasihan dan
telaga/rawa/kawah), Gunung Panday Domas, Gunug Barang, Gunung Semen, dan
Gunung Batu Goong. Diantara tebet-tebet tersebut, Hutan Keramat dianggap
sebagai titik pusat dari semua tebet-tebet yang ada. Hutan Keramat merupakan
suatu kawasan hutan lindung yang dijaga kelestariannya oleh masyarakat
Kampung Kuta sesuai dengan budaya pamali. Kawasan Hutan Keramat boleh
dikunjungi oleh orang-orang yang bermaksud mencapai keselamatan, ketenangan
44
 

hati, kehamonisan rumah tangga, kesuksesan, dan dilarang meminta harta


kekayaan.
Untuk memasuki Hutan Keramat harus ditemani dan meminta bantuan
kuncen sebagai pemangku adat yang dipercaya mampu berhubungan dengan
leluhur yang tinggal di Hutan Keramat. Kuncen dianggap sebagai penjaga Hutan
Keramat, dan dapat menjadi penghubung antara penunggu Hutan Keramat dengan
orang-orang yang mempunyai maksud. Dalam memasuki Hutan Keramat
diwajibkan untuk mentaati aturan-aturan berikut:
1. Tidak boleh memasuki Hutan Keramat, kecuali hari Jum’at dan Senin.
Diperbolehkannya seseorang untuk memasuki Hutan Keramat pada kedua
hari itu didasarkan pada mitos, ketika Ki Bumi mengikuti sayembara untuk
menjadi kuncen, ia tiba di Kuta pada hari Jum’at, dan pada hari itu juga ia
memasuki Hutan Keramat untuk menancapkan pohon jarak sebagai tanda
bahwa ia telah tiba. Sedangkan hari Senin minggu berikutnya (selang tiga hari
setelah Ki Bumi), Ki Batasela tiba di Kuta, dan dalam hari itu juga, ia masuk
ke Hutan Keramat untuk memberikan selamat kepada Ki Bumi yang telah
tiba lebih dahulu dan memenangkan sayembara. Menurut mitos juga, kedua
orang ini secara bersama-sama keluar dari Hutan Keramat pada hari Senin
sore. Ki Batasela yang menolak untuk tinggal di Kuta dan menjadi abdi Ki
Bumi, kembali ke Cibodas untuk kemudian menetap sampai meninggal
disana bersama enam pengawalnya. Sedangkan Ki Bumi tetap tinggal di Kuta
dan menjadi kuncen pertama. Hari-hari dimana kedua tokoh ini memasuki
Hutan Keramat untuk pertama kalinya, dijadikan pedoman bagi orang-orang
yang hidup sesudahnya untuk memasuki Hutan Keramat pada hari yang sama.
Kedua hari tersebut dijadikan sebagai hari suci di dusun Kuta.
2. Tidak boleh menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal). Larangan ini
bermula dengan dijadikannya Hutan Keramat sebagai tempat persembunyian
Dewi Naganingrum dari kejaran para pengawal kerajaan Bojong Galuh
Kamulyan yang ditugaskan untuk menangkapnya. Pada saat itu alas kaki
hanya biasa digunakan oleh pegawai kerajaan dan merupakan salah satu ciri
yang membedakan mereka dengan rakyat biasa. Oleh karena itu para pengikut
setia Dewi Naganingrum berusaha dengan segala cara untuk mencegah
45
 

(melarang) orang yang menggunakan alas kaki untuk memasuki tempat


persembunyian itu. Selain alasan di atas, juga kebiasaan Ki Bumi yang tidak
pernah menggunakan alas kaki, menjadi pedoman bagi generasi berikutnya
untuk tidak beralas kaki saat memasuki Hutan Keramat tersebut.
3. Tidak boleh mengenakan perhiasan yang terbuat dari emas, karena emas
dilambangkan sebagai kemewahan duniawi. Larangan ini didasari keyakinan
bahwa para leluhur yang pernah hidup dan sekarang arwahnya menghuni
Hutan Keramat adalah orang-orang yang tidak mementingkan kemewahan
duniawi. Hidup bersahaja dan menerima apa yang diberikan alam adalah pola
hidup yang dianut para leluhur.
4. Tidak boleh meludah, buang air kecil dan besar di areal Hutan Keramat,
karena hal itu selain mengotori tempat tersebut, juga tanpa disadari (karena
tidak terlihat) kotoran yang dikeluarkan itu bisa saja mengenai makhluk gaib
penghuni hutan yang menyebabkan mereka murka. Kemurkaan mereka
berwujud dalam bentuk bencana alam.
5. Tidak boleh membawa alat-alat yang terbuat dari besi seperti golok dan
sabit, karena dengan membawa alat tersebut memungkinkan seseorang
melakukan penebangan terhadap pohon-pohon yang menghalangi jalan
misalnya, padahal pohon itu milik leluhur yang sengaja ditanam dan
dipelihara. Jika hal itu yang terjadi dapat dipastikan leluhur akan marah, dan
kemarahannya bisa berbentuk bencana yang menimpa seluruh warga dusun.
6. Tidak boleh mengenakan pakaian serba hitam, karena selain warna hitam
dianggap lambang kejahatan, menurut mitos Ki Bumi yang dianggap sebagai
peletak dasar kehidupan di Kuta dan merupakan kuncen pertama selalu
menanggalkan baju hitamnya manakala akan memasuki Hutan Keramat.
7. Tidak boleh mengenakan pakaian dinas. Seperti larangan untuk
menggunakan alas kaki larangan ini bermula sejak Hutan Keramat dijadikan
sebagai tempat persembunyian Dewi Naganingrum dari kejaran para
pengawal kerajaan Bojong Galuh Kamulyan yang ditugaskan untuk
menangkapnya. Pakaian dinas kerajaan merupakan ciri utama yang
membedakan mereka dengan rakyat biasa. Oleh karena itu para pengikut setia
Dewi Naganingrum berusaha dengan segala cara untuk mencegah (melarang)
46
 

orang yang berseragam itu memasuki tempat persembunyian. Larangan itu


terus berlanjut sampai sekarang dengan aplikasi yang berbeda yaitu larangan
menggunakan pakaian dinas pemerintahan.
8. Tidak boleh menangkap apalagi membunuh binatang yang ada di Hutan
Keramat. Larangan ini didasari keyakinan bahwa makhluk gaib yang
menghuni leuweung itu adalah makhluk-makhluk sakti yang bisa mancala
putra mancala putri (berubah bentuk sesuai dengan yang dikehendakinya).
Binatang yang ditangkap atau dibunuh itu bisa saja meupakan penjelmaan
dari mereka. Jika hal itu terjadi, dapat dipastikan bencana yang lebih dahsyat
akan terjadi.
9. Tidak boleh mematahkan ranting apalagi menebang pohon-pohon yang ada
di Hutan Keramat. Larangan ini didasari dengan kepercayaan bahwa pohon-
pohon yang ada di hutan itu dimiliki dan dipelihara para leluhur yang
menghuninya. Jika dirusan apalagi ditebang dapat dipastikan leluhur akan
marah, dan kemarahannya berbentuk bencana yang menimpa seluruh warga
dusun.
10. Tidak boleh membuang sampah yang mengandung api. Larangan ini bermula
dari kebiasaan Ki Bumi yang menurut mitos ia akan memadamkan rokok
yang tengah dihisapnya manakala memasuki Hutan Keramat.
11. Tidak boleh mengucapkan kata-kata yang tidak pantas (sompral), karena
ucapan kotor apalagi kata-kata yang menantang dapat dipastikan akan
mengganggu kedamaian leluhur yang menghuni hutan. terganggunya
kedamaian mereka akan berdampak tidak baik bagi yang mengucapkannya.
12. Tidak boleh memasuki Hutan Keramat tanpa didampingi oleh kuncen.
Keberadaan kuncen sebagai pendamping, selain dimaksudkan agar tidak
kesasar juga kuncen berperan sebagai perantara untuk menyampaikan apa
yang dikehendaki pengunjung/penjuarah kepada penguasa alam gaib yang
bermukim di Hutan Keramat.
Setelah memasuki Leuweung Gede dan tiba di mata air Ciasihan, kuncen dan
penjiarah harus membersihkan tubuh/muka dari segala kotoran yang melekat
ditubuh sebelum melanjutkan perjalanan menuju puseur bumi (titik pusat
47
 

bumi). Di puseur bumi kuncen akan mengucapkan ikrar atau mantra yang
berbunyi:

“Puun…, marek tea mak ka Ambu, ka Rama, ka Bima Raksa Kalijaga


anu ngancik di karamat Kuta Jero, kanu Agung ka Gusti, ka Gusti nu
Maha Suci sim kuring dipuntangan ku anak putu ngalunturkeun
duduluran bade nyipuh, nyuhunkeun aya dina kasalametan,
kabarokahan, nyuhunkeun diparengkeun rejekina, dijauhkeun balaina,
dianggangkeun bahayana, mugi dibukakeun lawang dunya hartana,
mugi-mugi eta dipikaasih kubalarea, dipiasih nya ku dunya nya ku harta.
Muga-muga ieu kapareng katarindekan sapanejana. Atuh tina
pertanianana boh didaratna boh disawahna, mugi subur, sing kapeutik
hasilna kaala buahna, siang aya harkat jaitanana aya katetelan
kaandelanana. Atuh tina dagangna mugi-mugi lancar, sing raris
daganganana, sing ageung batina, mugi-mugi sing aya dina
kajujuranana, kamamuranana, sing aya unggulna, mugi-mugi eta
permilikanana, nya rejekina, saeutik nyamahi loba nyesa. Muga-muga
kapareng sapanejana, ayeuna kukuring jeung kudulur kuring
disuhunkeun”.
(Permisi…, kepada para leluhur, kepada Bima Raksa Kalijaga yang
menguasai Kuta Jero, kepada Tuhan Yang Maha Besar, kepada Tuhan
Yang Maha Suci, saya mengantarkan saudara saya yang akan
membersihkan diri dari segala perbuatan yang tidak baik, agar ia diberi
keselamatan, kebahagiaan, didekatkan rizkinya, dijauhkan dari segala
mara bahaya, semoga diberi harta yang melimpah, dicintai sesamanya.
Semoga apa yang dimintanya terkabul. Jika mau bertani semoga hasil
pertaniannya melimpah, jika mau berdagang cepat habis dagangannya
dengan hasil yang besar, semoga ia jujur, kaya raya lebih dari yang
lainnya. Semoga permohonan kami dikabulkan.).

Setelah ikrar selesai, dilanjutkan dengan membasuh diri di kawah/telaga, dan


botol yang dibawa diisi air setengahnya untuk dipenuhi dengan air Ciasihan
yang terlewati ketika pulang. Ritual membasuh diri disebut dengan nyipuh,
yaitu dengan wudhu. Apabila ada air yang tertelan, tidak boleh diludahkan.
Harus terus diminum.
Setiap orang yang ingin memasuki kawasan Hutan Keramat harus
mematuhi aturan-aturan yang telah ditetapkan oleh adat baik masyarakat asli
Kampung Kuta maupun tamu yang khusus ingin memasuki Hutan Keramat.
Berdasarkan cerita ketua adat, wakil ketua adat, kuncen, dan beberapa warga, dulu
pernah ada seorang tentara melanggar aturan untuk masuk ke Hutan Keramat.
Tentara tersebut meminta ijin kepada kuncen untuk memasuki Hutan Keramat
seorang diri pada malam hari. Permintaan ini di tolak oleh kuncen dan para
sesepuh lainnya. Namun tentara tersebut tetap memaksakan diri untuk memasuki
48
 

Hutan Keramat dengan pakaian dinasnya meskipun sudah dicegah oleh


masyarakat Kampung Kuta. Akhirnya tentara itupun masuk dan hingga lewat
tengah malam tentara itu belum kembali.
Pak Kuncen memiliki firasat buruk lalu kemudian masuk ke dalam Hutan
Keramat untuk menjemput tentara tersebut. Namun, tentara tersebut tidak
ditemukan keberadaannya. Hingga keesokan harinya seorang warga melihat
keberadaan tentara tersebut sedang meronta-ronta tebing di perbatasan sungai
Cijolang. Kemudian tentara tersebut disusul dan dibawa ke rumah Pak Kuncen.
Setelah itu tentara tersebut menceritakan bahwa ia mendengar suara yang
menyuruh dia keluar meninggalkan Hutan Keramat, dengan perasaan takut tentara
tersebut berlari dan ia merasa tidak dapat melihat jalan dengan jelas. Setelah itu,
tentara tersebut kembali memasuki Hutan Keramat dengan ditemani kuncen untuk
meminta maaf kepada karuhun yang berada di Hutan Keramat. Cerita ini
diperkuat dengan pernyataan yang disampaikan oleh Ibu Mm (49 tahun):

“…disinimah suci gabisa dibawa jahat. Ada orang niat jahat ga bakal
bisa masuk. Dulu ada tentara pengen nginep didalem keramat, kta bapak
ga boleh, disini mah bukan tempat semedi. Ceuk tentara teh ‘ah saya
mah penasaran’ terus masuk ka keramat tentara teh. Ari pas masuk
ceunah aya suara anu ngomong ka tentara di jero keramat “balik siah
tong ngajedog didieu, didieu mah lain tempat pamukiman jelema, ieu
mah tempat suci”. Trus ku bapa kuncen disusulan da sieun kunanaon
diditu, dicari jam12 malem ke keramat, tapi teu aya di jero keramat. eh
ketemunya lagi ngerayap ditebing tinggi di lampiran. Keur ngaronta-
ronta diditu. Isukanana dianter ku bapak kuncen ka karemat, tentarana
menta maap ka nu aya dijero hutan gede. kajadianana tahun 80an. Eta
tentara nepi ayeuna teu pernah lagi nincak kesini..”
(disini suci, tidak bisa dibawa jahat. Ada orang niat jahat tidak dapat
masuk. Dulu ada tentara ingin menginap di dalam Hutan Keramat. Tapi
tidak diboleh kan oleh Bapak Kuncen karena di sini bukan tempat untuk
bersemedi. Tentara itu berkata ‘saya penasaran’ lalu masuklah tentara
tersebut. Setelah masuk ada suara yang didengar oleh tentara di dalam
Hutan Keramat “pulang kamu jangan diam disini, disini bukan tempat
tinggal manusia, ini tempat suci”. Lalu karena khawatir, Bapak Kuncen
menyusul ke dalam dan tidak menemukan tentara tersebut. Tentara
tersebut ditemukannya sedang merayap di tebing tinggi dan sedang
meronta-ronta disana. Keesokannya Bapak Kuncen mengantarkan tentara
tersebut ke dalam Hutan Keramat untuk meminta maaf kepada yang
tinggal di dalam hutan nesar. Kejadian ini terjadi tahun 80an. Hingga saat
ini tentara tersebut tidak pernah kembali ke Kampung Kuta.)
49
 

Untuk memasuki Hutan Keramat, peranan kuncen sangat penting sebagai


perantara untuk berhubungan dengan leluhur. Besarnya pengaruh kuncen di dusun
Kuta itu, tidak saja tampak dalam hal Hutan Keramat, pewarisan dan pelestarian
adat istiadat, melainkan juga dalam hal lain yang sebenarnya tidak ada sangkut
pautnya dengan jabatan kekuncenannya. Hal ini dimungkinkan, karena
masyarakat beranggapan bahwa kuncen merupakan perwujudan para leluhur yang
ditugaskan ke bumi untuk memimpin mereka. Oleh karena itu, tidak semua orang
bisa menjadi kuncen dan hanya orang yang memenuhi ketentuan adat berikut
yang dapat mendudukinya:
1. Jabatan kuncen diwariskan secara turun-temurun berdasarkan garis darah.
Ketentuan ini selain dilandasi dengan anggapan bahwa laki-laki tidak pernah
mengalami masa kotor (haid) yang dapat mengganggu tugas-tugas
kekuncenan yang dituntut untuk selalu dalam keadaan bersih dan suci dari
segala hadast (kotoran), juga karena Ki Bumi yang menjadi kuncen pertama
di Kuta berjenis kelamin laki-laki.
2. Kuncen dijabat oleh seorang laki-laki dewasa (akil balig). Ketentuan ini
ditetapkan selain karena kuncen memiliki tugas untuk menjaga tebet-tebet,
juga kuncen berperan sebagai pimpinan adat, dan pimpinan dalam
melaksanakan ritual-ritual yang berhubungan dengan adat. Disamping itu, Ki
Bumi yang menjadi kuncen pertama di Kuta, menduduki jabatan itu setelah ia
berusia dewasa.
3. Jika kuncen meninggal dunia atau mengundurkan diri karena usia sudah
sangat lanjut, atau karena kesehatan/fisiknya tidak lagi menunjang untuk
melaksanakan tugas kekuncenannya, jabatan kuncen diserahkan kepada anak
laki-laki pertamanya.
4. Jika anak laki-laki pertama tidak mungkin menjabat kuncen karena secara
mental maupun fisiknya dianggap tidak layak untuk menjadi kuncen, maka
jabatan itu diserahkan kepada adik laki-lakinya. Jika alasan yang sama terjadi
juga pada anak laki-laki kedua, maka jabatan kuncen diserahkan kepada anak
laki-laki ketiga. Demikian seterusnya sampai anak laki-laki kuncen yang
terakhir.
50
 

5. Jika kuncen meninggal dalam usia muda, dan anak laki-lakinya belum ada
yang dewasa (akil balig), maka jabatan kuncen diduduki oleh adik laki-laki
kuncen.
6. Jika kuncen tidak memiliki anak laki-laki, maka yang menggantikannya
adalah keponakan laki-laki dari keturunan bapak dan jika dari garis keturunan
bapak tidak memiliki anak laki-laki (termasuk didalamnya belum memenuhi
ketentuan adat), maka kuncen dijabat oleh keponakan anak laki-laki dari adik
atau kakak perempuan bapak.
7. Untuk mencegah timbulnya perselisihan karena banyak kerabat dekat kuncen
yang masing-masing merasa berhak menggantikan kuncen sebelumnya, maka
diadakan musyawarah adat yang dihadiri oleh pejabat formal tingkat desa dan
dusun, orang yang dituakan, dan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki
pengaruh untuk berembuk dan memutuskan siapa diantara mereka yang
paling berhak dan pantas menjadi kuncen (sebagai pedoman utama dalam
penentuan siapa yang menjadi kuncen berdasarkan rembukan ini adalah
silsilah dan aspek-aspek lain yang tidak bertentangan dengan adat). Setelah
keputusan diambil, seluruh kerabat kuncen dikumpulkan di Balai Dusun dan
diberitahu tentang hasil rembukan dan meminta agar mereka menerima apa
yang sudah diputuskan dengan ikhlas.
8. Upacara pelantikan/penetapan kuncen biasanya dilakukan keesokan harinya,
dimana dalam upacara itu selain dihadiri kerabat dekat kuncen juga
disaksikan oleh pejabat formal dan seluruh masyarakat Kuta, sehingga tidak
ada keraguan tentang siapa yang menjadi kuncen.
9. Benda-benda yang menjadi pertanda kekuncenan berupa sebilah keris,
sebilah tombak, dan sebuah benda yang terbuat dari rotan dengan ukuran
sejengkal diserahkan kepada kuncen baru, yang akan terus dimiliki dan dijaga
sampai dengan ia meninggal dunia atau menyerahkannya secara sukarela
kepada kuncen berikutnya. Berikut ini merupakan daftar nama kuncen yang
diinformasikan oleh Bapak Mryn (64 tahun):
51
 

Tabel 7. Daftar Kuncen Kampung Kuta, Juni 2010


Urutan Kuncen Nama Kuncen Periode
Pertama Aki (Ki) Bumi -
Kedua Aki Danu -
Ketiga Aki Maena -
Keempat Aki Surabangsa -
Kelima Aki Rasipan -
Keenam Aki Karsan -
Ketujuh Aki Amirta -
Kedelapan Aki Madtasri -
Kesembilan Aki Sanusi tahun 1977-2000
Kesepuluh Mryn tahun 2000-sekarang
Sumber: Bapak Mryn, 2010

6.4 Ikhtisar
Kearifan lokal yang ada di masyarakat Kampung Kuta berlandaskan pada
budaya pamali diwariskan oleh leluhur secara turun-temurun. Kearifan lokal
masih tetap dijalankan sampai saat ini karena sifatnya amanah sehingga harus
dilaksanakan sesuai dengan aturan main yang ada di Kampung Kuta. Tabu atau
pamali terungkap dalam prinsip-prinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau
kuncen sebagai aturan adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya.
Berdasarkan ungkapan-ungkapan yang ada, terdapat empat hal yang sangat
diutamakan dalam budaya pamali yang terbukti masih dipertahankan, dijaga, dan
dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Kuta. Keempat hal tersebut adalah
pelestarian rumah adat, pelarangan penguburan mayat di Kampung Kuta,
pelarangan pembuatan sumur, dan pelestarian Hutan Keramat berdasarkan aturan-
aturan pamali tersebut. Keempat hal tersebut menjadi norma adat yang mengikat
masyarakat karena bersumber dari kepercayaan spiritual masyarakat Kampung
Kuta.
Kearifan lokal yang berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya air
adalah larangan dalam pembuatan sumur dalam. Prinsip pamali ini merupkan inti
dari seluruh bentuk pengelolaan sumberdaya air di Kampung Kuta.
Seluruh pelanggaran terhadap tabu (pamali) dapat menyebabkan terjadinya
musibah bukan saja melanda kepada pelanggar tapi juga mengenai seluruh
penduduk kampung. Masyarakat Kampung Kuta meyakini bahwa sanksi yang
diterima pelanggar berasal dari karuhun yang murka.
 
 

BAB VII
IMPLEMENTASI DAN DINAMIKA KEARIFAN LOKAL DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR

7.1 Pengelolaan Sumberdaya Air


7.1.1 Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Memenuhi Kebutuhan
Air merupakan sumber kehidupan bagi setiap makhluk hidup, begitu pula
bagi masyarakat Kampung Adat Kuta. Air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari seperti untuk minum, masak, MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi
sawah, kolam ikan, dan memenuhi kebutuhan hewan ternak.
Sumber air bersih yang digunakan masyarakat Kuta berasal dari empat
sumber mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan.
Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan
hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Pelarangan
penggalian sumur ini untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik,
bersih dan untuk menjaga tanah yang kondisinya sangat labil. Pelanggaran
pembuatan sumur ini merupakan salah satu budaya pamali yang sangat
ditekankan di Kampung Kuta.
Mata air Ciasihan merupakan salah satu mata air keramat yang dipercaya
merupakan satu-satunya mata air tidak akan pernah kering meskipun pada musim
kemarau. Pada musim kemarau, masyarakat akan mengantri untuk mendapatkan
air di Ciasihan. Pada umumnya semua mata air yang digunakan masyarakat
Kampung Kuta merupakan air rembesan dari pepohonan yang berada di sekitar
mata air.
Masyarakat bebas menggunakan air yang sudah ada di penampungan atau
di pemandian umum kecuali di sumber mata air yang berada di wilayah hak milik
orang lain. Kepemilikan tanah di Kampung Kuta merupakan tanah milik pribadi,
setiap orang sudah memiliki surat tanah. Untuk masalah kepemilikian tanah, tidak
ditemukan adanya hukum adat yang mengatur. Mata air Ciasihan sendiri berada di
kawasan tanah milik Bapak A. Sehingga, untuk memasang selang aliran air harus
meminta ijin kepada Bapak A. Salah satu orang yang mengalirkan air dari
Ciasihan adalah Bapak Udn, dengan biaya sendiri Bapak Udn membeli
selang/paralon untuk dialirkan ke penampungan atau pemandian umum. Proses
53
 

pemasangannya tetap dilakukan secara gotong royong oleh seluruh masyarakat


Kampung Kuta.
Untuk mengalirkan air dari mata air ke tempat pemandian umum,
menggunakan selang plastik/paralon dan bambu ke tempat penampungan atau
pemandian umum. Pemandian umum dan jamban terletak di atas kolam ikan
sehingga rantai kehidupan berjalan baik. Cara pemasangan paralon ini dibuat
sumur terlebih dahulu seperti yang dijelaskan oleh Bapak Krmn (45 tahun) berikut
ini:

“…cara masangna teh dibikin sumur dulu, klo udah dibikin sumur,
dimasukin selang ato paralon, langsung ditunggu nepi kaluar caina,
selangna dikira-kira beraha lenteun sampe anu dituju, misalnya ti
Cibungur ka jamban, 50 lente, 1 lente 4 meter. Tapi sumurnya dibikin
kurang lebih semeter, kadang setengah meter, pokona sampe aer keluar,
maksimal sameter..”
(Cara memangnya dibuat sumur terlebih dahulu, selanjutnya dimasukkan
selang atau paralon sampai airnya keluar. Selang yang digunakan dikira-
kira berapa lente sampai tempat yang dituju. Misalnya dari Cibungur ke
pemandian umum digunakan 50 lente yang 1 lente berarti 4 meter. Sumur
yang dimanfaatkan maksimal satu meter, bisa kurang dari satu meter,
terkadang setengah meter hingga air keluar.)

Pemasanganan selang/paralon harus dilakukan dari hulu ke hilir sehingga


air dapat mengalir dengan baik. Berdasarkan pernyataan Bapak Krmn diatas,
tahap pemasangan selang/paralon yaitu:
1. Melakukan penggalian tanah sekitar lima puluh sentimeter.
2. Memasukkan selang/paralon pada galian tersebut.
3. Menimbun selang/paralon tersebut menggunakan batu atau ijuk. Batu atau ijuk
digunakan agar selang tertahan dan tidak keluar dari galian tersebut.
4. Untuk mengalirkan air, selang/paralon yang digunakan sekitar lima sampai
sepuluh lente (satu lente sama dengan empat meter).
Terdapat empat orang yang sudah menggunakan jet pump (Sanyo) untuk
menarik air. Mata air yang ditarik menggunakan Sanyo adalah mata air Cibungur,
salah satunya dimanfaatkan oleh Bapak Krmn (Ketua Adat) untuk menarik air ke
samping rumahnya dan pemandian umum untuk tamu di dekat Pasanggrahan. Hal
ini seperti yang dipaparkan oleh Bpk Krmn (45 tahun) sebagai berikut:
54
 

“…disini juga ga boleh bikin sumur, jadi warga lamun mau ke air, ya
kudu ke jamban pemandian umum, ari larangan teh kusabab tanah disini
mah labil jadi klo bikin sumur ntar malah jadi bahaya, ga boleh bikin
kamar mandi di dalem rumah, nah disini aja yang punya kamar mandi
cuma Bapak, itu juga letakna diluar rumah, dipinggir, ga boleh ada di
wilayah rumah yang bentuknya persegi, jadi kudu di misah ti bentuk
persegi. Ari masyarakat laen mah mending milih ka pemandian umum
kusabab ari pemandian umum mah selang-selangna tos dipasangkeun ku
warga. Pemasangan teh dilakukeun gotong royong. Ngambil air na ti
mata air Ciasihan anu paling seeur mah. Meskipun kemarau, eta
Ciasihan tetep weh ngalir, Ciasihan salah satu anu dijaga oge didieu,
jadi ga boleh nebang pohon disekitar wilayah dinya. Ari cai anu ngalir
ka bumi Bapak mah sanes ti Ciasihan, tapi ti Cibungur, caket oge sareng
Ciasihan. Lamun Bapak mah pake listrik, jadi di tarik ku Sanyo…”
(disini juga tidak boleh membuat sumur, jadi warga jika mau ke air harus
ke jamban atau pemandian umum. Larangan tersebut dikarenakan tanah
disini labil jadi jika membuat sumur akan membahayakan. Tidak boleh
membuat kamar mandi di dalam rumah, disini yang memiliki kamar
mandi hanya Bapak, itupun letaknya di pinggir rumah, tidak boleh ada di
wilayah rumah yang berbentuk persegi. Masyarakat lain lebih memilih ke
pemandian umum karena disanan sudah ada selang-selang yang
dipasangkan oleh warga. Pemasangan ini dilakukan secara gotong
royong. Sumber air yang dimanfaatkan dari Ciasihan. Meskipun kemarau,
Ciasihan tetap mengalir. Ciasihan termasuk salah satu yang dijaga disini,
jadi tidak boleh menebang pohon di sekitar wilayah. Air yang mengalir
ke rumah Bapak bukan dari Ciasihan tapi dari Cibungur, letaknya juga
dekat dengan Ciasihan. Tapi Bapak menggunakan listrik untuk
mengambila air tersebut, menggunakan Sanyo.)

Mayoritas masyarakat Kampung Kuta lebih memilih untuk memanfaatkan


air yang ada di pemandian umum. Hal ini dikarenakan masyarakat sekitar sudah
terbiasa untuk pergi ke pemandian umum meskipun letaknya jauh dari rumah.
Selain itu, masyakat tidak memiliki beban listrik yang harus dibayar apabila
menggunakan Sanyo seperti yang diungkapkan oleh Ibu Ims (35 tahun) berikut:

“…ibu mah lamun bade ibak, bade nyeuseuh, yaa ka jamban weh. Pan
didieu mah teu kenging ngadamel kamar mandi, trus deui upami make
Sanyo mah kudu dibayar listikna meureun, jadi ibu mah ka jamban wae
meskipun jauh ti bumi, da entos biasa ti baheula tiap hari ka jamban…”
(Jika mau mandi, mencuci, ibu pergi ke jamban atau pemandian umum.
Karena disini tidak boleh membuat kamar mandi, dan lagi jika
menggunakan Sanyo harus dibayar listriknya. Jadi ibu pergi ke jamban
saja meskipun jauh dari rumah karena sudah biasa dari dulu tiap hari ke
jamban.)

Masyarakat Kampung Kuta memiliki berbagai kepercayaan tradisional


dalam budaya pamali yang terbukti memberikan nilai positif bagi kelestarian dan
pelestarian lingkungan. Oleh sebab itu, sumber air harus tetap bersih dan tidak
55
 

tercemar. Sehingga masyarakat selalu berusaha untuk menjaga agar kondisi atau
kualitas air di hulu tetap terjaga. Jadi secara sadar atau pun tidak mereka telah
melakukan penjagaan dan konservasi terhadap lingkungan mata air.
Pengelolaan sumberdaya air yang dilakukan oleh masyarakat Kampung
Kuta merupakan suatu upaya pendayagunaan sumber-sumber air dengan upaya
pengendalian dan pelestariannya. Hal ini sesuai dengan yang dijelaskan oleh Saleh
dan Rasul (2008) mengenai pengelolaan sumberdaya air. Upaya pengendalian dan
pelestarian yang dilakukan oleh masyarakat berhubungan dengan kearifan lokal
yang terdapat di Kampung Kuta. Dengan adanya budaya pamali mengenai
pelarangan pembuatan sumur di Kampung Kuta, maka masyarakat memiliki
inisiatif dalam upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air.
Tidak ada aturan adat khusus atau pamali yang berhubungan dengan
teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya air tersebut. Namun,
masyarakat wajib menjaga kelestarian sumberdaya air dengan tidak menebang
pohon disekitar area sumber air. Tanpa adanya aturan tertulis dengan sanksi
tertulis pun masyarakat tetap mematuhi aturan adat ini. Hal ini dikarenakan
masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengelola sumberdaya air
sebaik mungkin sehingga segala kebutuhan masyarakat akan air akan terpenuhi
dengan baik. Mereka menyadari bahwa pengelolaan sumberdaya air di hulu sangat
diperlukan dan secara tidak langsung masyarakat Kampung Kuta sudah
melakukan konservasi terhadap sumberdaya air. Ditambah lagi, masyarakat mulai
melakukan penanaman tanaman tahunan seperti sengon/albasiah.

7.1.2 Pengelolaan Sumberdaya Air di Hutan Keramat


Pengelolaan sumberdaya di dalam Hutan Keramat sangat erat kaitannya
dengan budaya pamali yang terdapat di Kampung Kuta. Kelestarian hutan
menjadi salah satu faktor penting yang ditekankan oleh masyarakat Kampung
Kuta karena merupakan amanah yang didapatkan dari leluhur mereka.
Pengelolaan hutan yang diterapkan merupakan salah satu bentuk konservasi yang
dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta. Pengelolaan dikontrol oleh
masyarakat adat dan dipantau oleh kuncen. Pengelolaan hutan melalui kearifan
lokal pamali terbukti efektif dalam menjaga hutan. Seperti pada Tabel 8, beberapa
56
 

peraturan adat pamali yang terkait dengan kelestarian Hutan Keramat yaitu:
1. Tidak boleh menggunakan alas kaki (sepatu atau sandal).
2. Tidak boleh meludah, buang air kecil dan besar di areal Hutan Keramat,
2. Tidak boleh membawa alat-alat yang terbuat dari besi seperti golok dan sabit,
karena dengan membawa alat tersebut memungkinkan seseorang melakukan
penebangan terhadap pohon-pohon yang menghalangi jalan misalnya.
3. Tidak boleh menangkap apalagi membunuh binatang yang ada di Hutan
Keramat.
4. Tidak boleh mematahkan ranting apalagi menebang pohon-pohon yang ada di
Hutan Keramat.
5. Tidak boleh membuang sampah yang mengandung api.
Tabel 8. Budaya Pamali dalam Pengelolaan Sumberdaya Air dan Hutan di Hutan
Keramat
Sumberdaya Sumberdaya Air Sumberdaya Hutan
Kelembagaan Budaya Pamali Budaya Pamali
Aktor Penting - Kuncen - Kuncen
- Pemilik tanah - Seluruh masyarakat Kampung Kuta
- Pemilik selang
- Seluruh masyarakat
Kampung Kuta
Norma- 1. Tidak boleh 1. Tidak boleh menggunakan alas
normanya membuat sumur kaki (sepatu atau sandal).
dalam, maksimal 2. Tidak boleh meludah, buang air
hanya satu meter. kecil dan besar di areal Hutan
2. Tidak boleh Keramat.
menebang pohon 3. Tidak boleh membawa alat-alat
di sekitar kawasan yang terbuat dari besi seperti
sumber air. golok dan sabit, karena dengan
membawa alat tersebut
memungkinkan seseorang
melakukan penebangan terhadap
pohon-pohon yang menghalangi
jalan misalnya.
4. Tidak boleh menangkap apalagi
membunuh binatang yang ada di
Hutan Keramat.
5. Tidak boleh mematahkan
ranting apalagi menebang
pohon-pohon yang ada di Hutan
Keramat
6. Tidak boleh membuang sampah
yang mengandung api.
57
 

Peraturan adat tersebut benar-benar dijalankan oleh masyarakat Kampung


Kuta dan wajib diikuti pula oleh masyarakat luar yang berkunjung ke Kampung
Kuta. Secara sadar maupun tidak sadar, pemeliharaan hutan yang dilakukan
masyarakat Kampung Kuta yang dilakukan secara turun-temurun merupakan
suatu bentuk pengelolaan hutan yang efektif dilakukan.
Hutan Keramat dapat dikatakan sebagai hutan konservasi kawasan hutan
ciri khas, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan
dan satwa serta ekosistem di dalamnya. Pada hutan konservasi ini, Kampung Kuta
dapat dapat digolongkan menjadi:
1. Kawasan hutan suaka alam, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang
juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan Kampung Kuta.
2. Kawasan hutan pelestarian alam, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa.
Pengelolaan hutan erat kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya air yang
ada di dalamnya. Sumberdaya air yang ada di dalam Hutan Keramat tidak
dimanfaatkan untuk memenuhi kebuthan masyarakat sehari-hari. Hal ini
disebebkan adanya pelarangan dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada di
dalam Hutan Keramat demi kelestarian Hutan Keramat. Adanya Budaya pamali
dalam pengelolaan Hutan Keramat yang terbukti menjaga kelstarian ekosistem di
dalamnya maka, sumberdaya air yang ada di dalamnya pun terjaga dengan baik.
Sumberdaya air di dalam Hutan Keramat hanya digunakan atau
dimanfaatkan pada saat seseorang melakukan ritual nyipuh. Seseorang yang
melakukan nyipuh akan membasuh diri (berwudhu) di kawah/telaga dan Ciasihan
yang terdapat di dalam Hutan Keramat. Selain digunakan untuk membasuh diri,
air dari kawah dan Ciasihan boleh dibawa pulang dengan dimasukkan ke dalam
botol. Botol yang dibawa diisi air setengah dari kawah dan setengahnya lagi untuk
dipenuhi dengan air Ciasihan yang terlewati ketika pulang. Apabila ada air yang
tertelan, tidak boleh diludahkan. Harus terus diminum. Sumberdaya air yang
terdapat di dalam Hutan Keramat hanya digunakan untuk keperluan ritual nyipuh
yang ditemani oleh kuncen.
58
 

7.2 Dinamika Kearifan Lokal


7.2.1 Analisis Perubahan Bentuk dan Efektifitas Kearifan Lokal
Kearifan lokal di Kampung Kuta erat kaitannya dengan budaya pamali
yang masih tetap dipertahankan hingga saat ini. Budaya pamali tersebut
merupakan amanah para leluhur yang dipercaya oleh masyarakat Kampung Kuta.
Dari sekian banyak pamali di Kampung Kuta, terdapat empat hal peraturan adat
yang sangat ditekankan di Kampung Kuta yaitu bentuk rumah, larangan
penguburan mayat, larangan membuat sumur, dan peraturan mengenai Hutan
Keramat. Keempat hal ini masih dipegang teguh oleh seluruh masyarakat
Kampung Kuta sehingga tidak ada yang berani melanggarnya. Jika melanggar
tabu atau larangan itu, maka orang tersebut akan mendapatkan sanksi berupa
malapetaka dari karuhun mereka.
Pamali sebagai suatu bentuk kearifan lokal masyarakat yang melekat pada
kebudayaan setempat, tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat
rentan mengalami benturan-benturan dengan berbagai faktor perubahan yang
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan pada kearifan lokal itu sendiri. Adanya
faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan kebudayaan masyarakat berimplikasi
pada berubahnya pamali yang merupakan kearifan lokal masyarakat. Akan tetapi
dalam prakteknya, tidak semua faktor perubahan kebudayaan ini berpengaruh
pada pamali yang merupakan kearifan lokal masyarakat.
Kenyataan di lapangan menunjukan faktor perubahan ini tidak dapat
merubah pola aplikasi pamali sebagai kearifan lokal masyarakat. Karena kearifan
lokal tersebut ternyata bersifat dinamis sehingga mampu menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan yang terjadi pada lingkungannya atau pada
masyarakat setempat, yang merupakan tempat tumbuh dan berkembangnya
kearifan lokal tersebut. Hal ini terbukti dari masih terus terjaga dan adanya pamali
sampai saat ini. Kearifan lokal pamali ini efektif dalam menjadi pedoman hidup
masyarakat di Kampung Kuta.
Seiring dengan berkembangnya jaman dan masuknya teknologi ke
Kampung Kuta, beberapa aturan memang sudah mengalami sedikit pergeseran.
Pergeseran tersebut ditandai dengan sudah adanya dua bangunan rumah yang
menggunakan tembok permanen dan beratapkan asbes dan genting. Perubahan ini
59
 

diakibatkan oleh adanya rasa penasaran dari pihak tertentu untuk mencoba hal-hal
baru yang sebenarnya sudah melanggar pamali. Dari keempat norma adat yang
ditekankan dalam budaya pamali, perubahan hanya terlihat dari pelestarian rumah
adat saja. Seperti yang disampaikan oleh Bapak Mryn (64 tahun) berikut:

“…ya memang aya perubahan, lebih luwes, tapi upami kaca teu
dimanahkeun. Kamar mandi saleresna mah teu kenging, kudu misah
sareng bangunan imah...”
(Ya memang ada perubahan, jadi lebih luwes. Jika kaca tidak
diamanahkan. Kamar mandi seharusnya tidak boleh, harus memisah dari
bangunan rumah.)

Perubahan memang ada namun semua hal dikembalikan pada pribadi


masing-masing. Para sesepuh hanya akan sekedar menegur dan memeberikan
nasihat kepada para pelanggar budaya pamali tersebut.
Masyarakat Kampung Kuta memiliki suatu nilai/values yaitu ketaatan
masyarakat pada kekuatan supranatural. Hal ini dikarenakan kearifan lokal
bersumber dari warisan turun-temurun dari leluhur mereka. Mereka memiliki
kepercayaan dan keyakinan terhadap segala bentuk amanah yang sudah mereka
kenal sejak dahulu. Berdasarkan Gambar 2, dapat dilihat bahwa kearifan lokal
yang bersumber dari leluhur mereka dikenal sebagai budaya pamali atau tabu.
Terdapat empat hal yang ditekankan dalam aturan adat pamali tersebut, yaitu
larangan pembuatan sumur, larangan penguburan mayat, pelestarian Hutan
Keramat, dan pelestarian rumah adat Kuta. Keempat hal ini saling mempengaruhi
pengelolaan sumberdaya hutan dan sumberdaya air.
Pergeseran aturan pembuatan rumah muncul akibat perpindahan atau
masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta dan Kemajuan dalam bidang Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Kedua faktor tersebut dijelaskan sebagai
berikut:
1. Perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta.
Penduduk yang pindah atau masuk ke Kampung Kuta adalah orang yang
telah mempunyai ikatan kekerabatan dengan masyarakat asli Kampung Kuta,
seperti adanya ikatan pernikahan. Pada umumnya apabila seorang laki-laki
menikah dengan wanita Kampung Kuta, laki-laki tersebut akan membawa sang
wanita pindah meninggalkan Kampung Kuta. Begitupun sebaliknya, apabila
60
 

seorang wanita menikah dengan laki-laki Kampung Kuta, maka wanita tersebut
akan menetap di Kampung Kuta. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab
pergeseran karena adanya budaya-budaya yang masuk yang dibawa oleh orang-
orang luar tersebut. Budaya yang dimaksudkan contohnya dalam hal pembuatan
rumah, para pendatang umumnya berasal dari daerah perkotaan sehingga mereka
terbiasa dengan bentuk rumah yang bertembok. Hal ini sangat bertentangan
dengan aturan adat di Kampung Kuta. Selain itu, perpindahan penduduk
berhubungan dengan mata pencaharian. Beberapa masyarakat Kampung Kuta
memilih untuk meninggalkan Kampung Kuta untuk mencari pekerjaan di luar
pertanian. Umumnya mereka pergi ke Kabupaten Ciamis, Jawa Tengah, dan
Jakarta.

Nilai
Ketaatan Masyarakat pada
Kekuatan Supranatural

Aturan Adat Pamali


1. Larangan pembuatan sumur
Pengelolaan
2. Larangan penguburan
1. Air
mayat di Kampung Kuta
3. Pelestarian Hutan Keramat 2. Hutan
4. Pelestarian Rumah Adat
Kuta

Faktor penyebab
Implikasi terhadap perubahan
1. Kelestarian 1. Perpindahan atau
sumberdaya alam masuknya penduduk
2. Masyarakat lain ke Kampung Kuta
Kampung Kuta 2. Kemajuan IPTEK

Gambar 2 Skema Budaya Pamali dan Dinamika Perubahan


Keterangan:
: mempengaruhi
: saling mempengaruhi
61
 

2. Kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK)


Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi dapat membawa budaya-budaya
baru dan pengetahuan baru yang nantinya dapat mempengaruhi kearifan lokal
masyarakat. Globalisasi memberi dampak terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) dengan masuknya peralatan baru sebagai
produk modernisasi. Perkembangan IPTEK dalam era global dapat
memberikan dambak positif dan dampak negatif pada suatu masyarakat adat.
Nilai postif akan sangat bermanfaat bagi kemajuan negara, dampak
negatifnya akan mengikis nilai norma yang ada pada suatu masyarakat adat.
Untuk kasus di Kampung Kuta, perkembangan IPTEK tidak menjadi bagian
pamali yang diamanahkan oleh leluhur Kampung Kuta. Namun, pemanfaatan
IPTEK ini hendaknya dimanfaatkan sebaik mungkin sehingga tidak
menggeser norma adat di Kampung Kuta. Pengaruh masuknya televisi
diyakini menjadi menjadi sebab utama ditemukannya pergeseran dalam hal
pembuatan rumah bertembok di Kampung Kuta. Hal ini berdasarkan
pernyataan dari Bapak Wrsm (51 tahun):

“…ari perubahan teh asalna tina pengaruh tv, anu ngadamel bumi ku
tembok the gara-gara naronton tv pasti. Yah memang lamun aturan
adat mah teu ngalarang teknologi berkembang di Kampung Kuta
soalna teu termasuk anu diamanahkeun ku laluhur didieu. Masyarakat
Kuta mah terbuka tina hal-hal baru anu sakirana teu mere pengaruh
jore sareng teu bertentangan sareng Pamali…”
(Perubahan ini muncul setelah masuknya televisi. Namun, untuk aturan
adat Kampung Kuta sendiri tidak melarang teknologi berkembang di
Kampung Kuta karena hal ini tidak termasuk hal yang diamanahkan
oleh leluhur mereka. Masyarakat Kampung Kuta terbuka terhadap hal-
hal baru yang sekiranya tidak akan memberikan pengaruh buruk bagi
mereka dan tidak bertentangan dengan pamali atau tabu Kampung
Kuta.)

Adanya kedua faktor di atas (tekanan penduduk dan perkenalan teknologi


modern) secara tidak langsung telah membuat budaya pamali mengalami
pergeseran. Kedua faktor ini memang tidak di atur dalam pamali, akan tetapi
mempengaruhi peraturan di dalam pamali itu sendiri. Fakta yang menjelaskan hal
ini adalah:
1. Penggunaan mesin pompa air Sanyo yang menyebabkan intensitas
penyedotan air dari sumber mata air meningkat secara tidak disadari. Hal ini
62
 

akan berdampak pada penyedotan air secara terus-menerus dan dapat


mempengaruhi kondisi air dan tanah di sekitar kawasan yang menggunakan
mesin pompa air tersebut. Keadaan ini dapat menyebabkan kerusakan atau
kehancuran dari sumberdaya itu sendiri sedangkan dalam pamali sangat
ditekankan pengelolaan sumberdaya alam yang lestari dan terus
berkelanjutan. Teknologi dan kebutuhan air bersih telah mengabaikan atau
melunturkan ketaatan masyarakat lokal pada nilai-nilai pamali.
2. Mulai dikenalnya modifikasi atau modernisasi penduduk/warga yang tidak
mentaati atau tidak sesuai lagi dengan prinsip-prinsip pamali yang selama ini
dipegang. Hal ini dibuktikan dengan munculnya dua bangunan rumah yang
menggunakan tembok atau dinding permanen yang jelas-jelas sudah dilarang
dalam pamali.

7.2.2 Analisis Peluruhan Kearifan Lokal


Masyarakat Kampung Kuta masih mempertahankan budaya pamali,
khususnya keempat aturan pokok yang sangat mengikat yaitu pelestarian rumah,
pelestarian hutan keramat, pelarangan pembuatan sumur, dan pelarangan
penguburan mayat. Hingga saat ini masyarakat masih menjaga pamali tersebut
agar tetap dilaksanakan. Adanya pergeseran kearifan lokal hanya terlihat dari
ditemukannya dua bangunan rumah tembok.
Adanya faktor-faktor penyebab perubahan kearifan lokal ternyata tidak
serta merta merubah bentuk kearifan lokal yang ada di Kampung Kuta. Bentuk
kearifan lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif
dalam mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya faktor penyebab
kearifan lokal yaitu perpindahan atau masuknya penduduk lain ke Kampung Kuta
dan Kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) tidak
mempengaruhi dalam pengelolaan sumberdaya alam yang di dalamnya terdapat
sumberdaya hutan dan sumberdaya air. Kelestarian sumberdaya alam tetap terjaga
dengan baik karena masyarakat sendiri memisahkan antara hal-hal yang dilarang
dalam pamali dan hal-hal di luar pamali.
Pada kasus Kampung Kuta, kearifan lokal budaya pamali tidak mengalami
perubahan yang cukup drastis. Hal ini dikarenakan mayoritas masyarakat
63
 

Kampung Kuta sangat menjunjung tinggi nilai-nilai spiritual yang ada dalam
pamali tersebut. Mayoritas masyarakat masih mempertahankan budaya pamali ini
sebagai pedoman hidup mereka sehari-hari. Aturan ini sudah mengikat mereka
secara turun-temurun, setiap masyarakat dari bebagai golongan usia sudah
mengenal mengenai budaya pamali ini.
Untuk kasus di Kampung Kuta, tidak terjadi peluruhan kearifan lokal.
Beberapa perubahan memang ada namun tidak mempengaruhi budaya pamali
sebagai landasan kearifan lokal di Kampung Kuta. Berdasarkan keempat hal
pokok aturan dalam budaya pamali, hanya aturan mengenai pembuatan rumah
yang mengalami pergeseran. Hal ini ditandai dengan ditemukannya dua bangunan
rumah tembok. Perubahan ini pun tidak mempengaruhi atau menimbulkan
dampak negatif pada pengelolaan sumberdaya alam di sekitar Kampung Kuta.

7.2.3 Ancaman-ancaman terhadap Kelestarian Kearifan Lokal


Pergeseran kearifan lokal sudah terlihat dari ditemukannya dua bangunan
rumah permanen. Hal ini menjadi suatu ancaman bagi keberlangsungan kearifan
lokal. Kearifan lokal akan mengalami peluruhan jika satu per satu aturan-aturan
dalam pamali sudah mulai mengalami pergeseran.
Ancaman terhadap kearifan lokal berasal dari ditemukannya pergeseran-
pergeseran kecil dalam pelanggaran budaya pamali. Hal-hal yang sekiranya
dianggap kecil ini akan menjadi besar apabila terus dibiarkan. Tidak adanya
sanksi tertulis dalam pelanggaran budaya pamali ini menjadi salah satu faktor
kemungkinan terjadinya pelanggaran dalam budaya pamali dan mengancam pada
keberlangsungan dari kearifan lokal itu sendiri.
Budaya pamali yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air adalah
larangan mengenai pembuatan sumur dalam. Selain menggunakan peralatan
tradisional, beberapa masyarakat menggunakan Sanyo untuk memanfaatkan
sumberdaya air tersebut. Sejauh ini memang terlihat tidak ditemukan adanya
masalah terkait penggunaan Sanyo. Namun, dalam jangka waktu yang lama akan
membahayakan kondisi tanah sekitar kawasan sumberdaya air karena Sanyo
sifatnya menarik air dari dalam tanah. Jika masyarakat semakin memanfaatkan
penggunaan Sanyo untuk memenuhi kebutuhan akan air maka semakin besar
64
 

Sanyo “bekerja”. Hal ini berarti semakin membahayakan kondisi sekitarnya


karena kondisi tanah di Kampung Kuta yang sifatnya labil.
Penggunaan Sanyo memang tidak menjadi salah satu aturan yang terdapat
dalam budaya pamali. Akan tetapi hal ini menjadi salah satu ancaman yang akan
merugikan dan membahayakan kelestarian lingkungan. Secara tidak langsung,
ancaman ini pun akan bertentangan dengan prinsip budaya pamali dalam hal
pembuatan sumur dalam.
Secara tidak langsung sudah ditemukan adanya dua ancaman yang dapat
meyebabkan peluruhan kearifan lokal budaya pamali yaitu pembuatan rumah
permanen dan penggunaan Sanyo. Jika kedua hal ini terus dibiarkan, tidak
menutup kemungkinan kearifan lokal akan mengalami kehancuran yang akan
berdampak kehancuran pada kelestarian lingkungan sekitar.

7.2.4 Proses Pelanggengan Kearifan Lokal


Kearifan lokal pamali tidak mengalami perubahan dan tetap dilakukan
oleh masyarakat Kampung Kuta. Kearifan lokal ini masih dipertahankan oleh
masyarakat karena sifatnya amanah dari leluhur. Kearifan lokal hingga saat ini
tetap berlangsung dan diturunkan dari generasi ke generasi.
Moda transfer of knowledge ini dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-
cerita yang disampaikan oleh para generasi tua kepada generasi muda. Cerita-
cerita rakyat yang disampaikan oleh para generasi tua terkait dengan kearifan
lokal ini adalah mengenai sejarah dan asal-usul pamali serta larangan-larangan
yang terkait dengan pamali. Cerita rakyat yang disampaikan oleh para generasi
tua disajikan sebagai dongeng yang ceritakan kepada generasi muda.
Para generasi tua menanamkan kepada generasi muda sejak kecil cerita
mengenai pamali. Sehingga sejak kecil, para generasi muda sudah tahu apa itu
pamali meskipun mereka tidak memahami terlalu dalam mengenai pamali.
Mereka tahu bahwa hal-hal yang pamali itu tidak boleh dilakukan dan pasti akan
ada balasan yang akan diterima apabila mereka melanggarnya. Pemahaman
mengenai pamali akan bertambah seiring berjalannya umur dari para generasi
muda ini.
Jika anak-anak bertanya “mengapa ini boleh dan mengapa ini tidak
65
 

boleh?” maka semua orang tua akan menjawabnya dengan perkataan “pamali”.
Dengan jawaban itu, umumnya anak-anak paham dengan jawaban orang tuanya
dan mentaati apa yang dimintanya. Namun jika ada anak yang tidak puas dan
kembali bertanya “mengapa pamali?” maka sebagian dari orang tua akan
menjawabnya dengan “pokona pamali, budak mah teu kudu apal” (pokoknya
tidak boleh, anak-anak tidak perlu tahu alasannya). Sebagian lain menjawabnya
dengan memberikan contoh-contoh kejadian (musibah) yang dialami oleh orang
yang melakukan pelanggaran. Dan beberapa orang tua yang menjawabnya dengan
cara memberikan penjelasan berdasarkan kisah yang mengiringi munculnya
aturan tersebut, yaitu kisah kedatangan Ki Bumi dan Ki Batasela.
Kendala dalam transfer of knowledge ini adalah waktu yang diperlukan
dalam memberikan pemahaman kepada para generasi muda mengenai cerita-cerita
masa lalu yang terkait dengan budaya pamali. Tidak adanya sumber catatan atau
tulisan mengenai budaya pamali ini menyebabkan pamali hanya diketahui dari
mulut ke mulut. Sehingga memungkinkan adanya perbedaan persepsi dari setiap
orang yang menerimanya. Namun, hal ini tidak merubah pemahaman mereka
mengenai larangan-larangan yang terkait dengan pamali. Hal-hal yang
disampaikan kepada generasi muda seperti pamali dalam memasuki Hutan
Keramat dan pamali dalam menjalankan aktifitas sehari-hari.
Seiring berjalannya waktu, para generasi muda ini akan terus diberikan
pengetahuan mengenai aturan-aturan yang sangat ditekankan dalam pamali. Oleh
karena itu kearifan lokal pamali ini akan terus berkelanjutan dari generasi ke
generasinya. Masyarakat Kampung Kuta terus menjaga dan melestariakan budaya
pamali ini agar langgeng dan dapat diturunkan kepada generasi-generasi
selanjutnya.
Proses transfer of knowledge yang dilakukan oleh generasi tua kepada
generasi muda sejak mereka masih kecil menjadi kunci utama dalam proses
pelanggengan kearifan lokal pamali. Proses penanaman pengetahuan ini tidak
mengalami penolakan karena pada umumnya seorang anak akan mendengarkan
apa yang dikatakan oleh orangtuanya. Hal ini akan mempermudah dalam
memberikan pemahaman kepada para generasi muda mengenai pentingnya
pamali.
66
 

Keluarga memegang peranan penting dalam proses sosialisasi kearifan


lokal pamali. Melalui keluarga inilah anak-anak mengalami proses sosialisasi
yang pertama dan mendasari semua proses sosialisasi lebih lanjut. Ibu, bapak
mengajari anak-anaknya tentang sikap dan perilaku yang baik menurut adat dan
harus dilakukan serta sikap dan perilaku yang tidak boleh dilakukan karena
bertentangan dengan adat. Saudara kandung yang lebih tua juga memiliki peran
turun serta menjelaskan mengenai norma-norma yang telah didapatkan dari orang
tua dan kerabat lainnya kepada saudaranya yang lebih muda.

7.3 Kritik Terhadap Pemerintah


Kampung Kuta mendapatkan penghargaan Kalpataru pada tahun 2002
dalam kategori masyarakat pelestari alam dan lingkungan dari Pemerintah Pusat.
Setelah memperoleh penghargaan Kalpataru tersebut, Kampung Kuta semakin di
kenal oleh pihak luar dan semakin banyak yang mengunjungi Kampung Kuta dari
berbagai kalangan (pelajar, mahasiswa, peneliti, pegawai pemerintah, pihak
media, dan masyarakat umum). Mereka datang dengan berbagai tujuan, dari
penelitian, meminta berkah dengan memasuki Hutan Keramat, hingga hanya
sekedar untuk melihat situasi Kampung Kuta saja.
Setelah mendapatkan penghargaan Kalpataru, ada kecenderungan
Kampung Kuta akan dijadikan daerah tujuan wisata budaya dan alam. Persiapan
ke arah itu nampak dengan didirikannya beberapa bangunan (pembuatan
Pasanggrahan, Bale Sawana, model rumah, dan model leuit) dan tempat parkir
kendaraan bermotor. Pembangunan ini sebenarnya merupakan hadiah dari
pemerintah pusat atas keberhasilan Kampung Kuta memperoleh penghargaan
Kalpataru. Namun, hal ini dikhawatirkan akan dimanfaatkan oleh Dinas
Pariwisata untuk mengembangkan daerah wisata budaya dan alam.
Kekhawatiran tersebut beralasan karena bila terjadi komersialisasi
Kampung Kuta sebagai kawasan wisata, maka paling tidak dua akibat akan
diperkirakan dialami masyarakat Kampung Kuta, yaitu:
1. Persentuhan dengan budaya luar meningkat seiring masuknya wisatawan. Hal
ini dapat berakibat pada melunturnya nilai-nilai pamali. Secara tidak
67
 

langsung para wisatawan dikhawatirkan akan memberikan pengaruh tentang


budaya luar (budaya modern) pada masyarakat Kampung Kuta.
2. Tekanan ekologis pada Kampung Kuta meningkat seiring dengan kedatangan
para wisatawan. Tekanan ekologis tersebut berupa sampah dan gangguan
ketenangan lainnya.
Dengan demikian, komersialisasi Kampung Kuta sebagai obyek wisata hendaknya
mengantisipasi dampak negatif yang akan ditimbulkan. Bila hal-hal di atas tidak
diperhatikan, maka daya tarik dan kekhasan serta keunggulan budaya Kampung
Kuta akan lenyap.

7.4 Analisis Gender terhadap Kearifan Lokal Pengelolaan Sumberdaya Air


Budaya pamali sebagai kearifan lokal yang ada di Kampung Kuta ini
dilaksanakan oleh seluruh masyarakat Kampung Kuta baik tua maupun muda, dan
laki-laki maupun wanita. Semua masyarakat berpartisipasi dalam melaksanakan
setiap peraturan yang ada dalam budaya pamali. Keterlibatan semua kalangan
sangat dibutuhkan dalam menjalankan budaya pamali tersebut.
Pada masyarakat Kampung Kuta, peran laki-laki lebih dominan dalam
membuat keputusan terkait dengan kehidupan bermasyarakat maupun dalam
keluarga. Hal ini terlihat dari para pemimpin informal dan pemimpin formal yang
dipegang oleh laki-laki. Jabatan kuncen pertama hingga saat ini diduduki oleh
laki-laki, ketentuan ini selain dilandasi dengan anggapan bahwa laki-laki tidak
pernah mengalami masa kotor (haid) yang dapat mengganggu tugas-tugas
kekuncenan yang dituntut untuk selalu dalam keadaan bersih dan suci dari segala
hadast (kotoran). Begitu pula untuk jabatan ketua adat dan ketua dusun diduduki
oleh laki-laki karena dianggap mampu untuk memimpin dengan baik sementara
wanita dianggap hanya untuk mengerjakan pekerjaan rumah saja.
Adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan didukung pula
oleh salah satu prinsip pamali yang berbunyi lalaki teu kenging ka goah, artinya:
laki-laki tidak boleh memasuki tempat penyimpanan beras atau keperluan dapur
(apalagi mengambilnya). Tabu ini mengandung nilai bahwa di Kampung Kuta
telah menetapkan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki
bertugas mencari nafkah (di luar rumah) dan perempuan memasak serta
68
 

menyiapkan makanan di dapur (di dalam rumah). Jika seorang laki-laki


mengerjakan pekerjaan perempuan dipandang rendah dalam kultur masyarakat,
demikian pula sebaliknya.
Terkait dengan pengelolaan sumberdaya air di Kampung Kuta, laki-laki
dan wanita memiliki peran yang berbeda-beda yang dibedakan dari pemeliharaan,
pemanfaatan, dan konservasi sumberdaya air. Ketiga pembedaan ini dijelaskan
pada Tabel 9.
Tabel 9. Peran Laki-laki dan Wanita dalam Pengelolaan Sumberdaya Air
Fungsi Kearifan Lokal dalam
Laki-laki Wanita
Pengelolaan Sumberdaya Air
Pemeliharaan Sumberdaya Air √ -
Pemanfaatan Sumberdaya Air √ √
Konservasi Sumberdaya Air √ -

Berdasarkan tabel di atas, terlihat bahwa laki-laki berperan pada ketiga hal
dalam pengelolaan sumberdaya air (pemeliharaan, pemanfaatan, dan konservasi)
sedangkan wanita lebih fokus pada pemanfaatan sumberdaya air. Ketiga pembeda
dalam pengelolaan sumberdaya air ini didasarkan pada keterlibatan laki-laki dan
wanita dalam pengelolaan sumberdaya air tersebut.
Keterlibatan laki-laki pada ketiga hal di atas juga berhubungan dengan
prinsip pamali yang berbunyi lalaki teu kenging ka goah. Makna yang dapat
diambil adalah laki-laki bertugas di luar rumah sedangkan perempuan mengurusi
hal-hal yang berhubungan dengan urusan di dalam rumah. Berdasarkan tabu
tersebut, pada pengelolaan sumberdaya air pun laki-laki yang lebih terlibat dalam
hal pemeliharaan, pemanfaatan, dan konservasi sumberdaya air. Wanita hanya
memanfaatkan sumberdaya air tersebut untuk memenuhi keperluan pribadi dan
rumah tangga.

7.5 Implikasi Kearifan Lokal


7.5.1 Pada Kelestarian Sumberdaya Alam
Kearifan lokal yang berupa budaya pamali berhasil menjaga kelestarian
hutan dan sumberdaya air di Kampung Kuta. Kearifan lokal ini merupakan suatu
bentuk aplikasi konservasi hutan dan air. Masyarakat secara sadar melakukan
69
 

pengelolaan hutan dan air dengan berlandaskan budaya pamali yang telah
dilakukan secara turun-temurun.
Melalui pengelolaan secara adat, kelestarian Hutan Keramat sebagai
penyangga Kampung Kuta akan tetap lestari. Keanekaraganaman tumbuhan,
satwa, dan ekosistem di dalamnya akan terjaga dengan baik. Melalui pengelolaan
air yang baik maka sumberdaya air di hulu tetap terjaga dengan baik sehingga
sumberdaya air tersebut mampu memenuhi kebutuhan masyarakat Kampung
Kuta. Dengan adanya pamali mengenai pelarangan pembuatan sumur, maka
masyarkat secara tidak langsung sudah melakukan konservasi terhadap
sumberdaya alam di sekitar kawasan Kampung Kuta. Mata air yang berada di
dalam maupun di luar Hutan Keramat akan terjaga dengan baik.
Tabel 10. Keberhasilan Kampung Kuta dalam Melestarikan Budaya Pamali
Kearifan Lokal Keberhasilan Kampung Kuta
1. Melestarikan rumah adat dusun
Kuta.
2. Melestarikan hutan lindung (Hutan
Keramat) dan satwa yang ada di
dalamnya.
3. Melestarikan sumber-sumber mata
air melalui
Budaya Pamali penanaman/pemeliharaan tanaman
tahunan sekitar mata air.
4. Melestarikan kesenian setempat
seperti Ronggeng Tayub, Terbang,
dan Gondang Buhun.
5. Melestarikan upacara adat setempat
yaitu Nyuguh, Hajat Bumi, dan
Babarit.
Kearifan lokal memandang antara manusia dengan alam adalah suatu
bagian yang tidak bisa dipisahkan dan saling mempengaruhi. Hubungan ini
melahirkan suatu kebiasaan untuk senantiasa memanfaatkan sumberdaya alam
dengan berpijak pada aspek-aspek ekologi. Bentuk pengelolaan sumberdaya hutan
dan sumberdaya air yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta melalui
budaya pamali telah menjaga kelestarian sumberdaya alam. Selain itu, aturan adat
mengenai pengelolaan Hutan Keramat merupakan salah satu bentuk konservasi
yang dilakukan oleh masyarakat Kampung Kuta secara turun temurun.
Keempat hal utama dalam budaya pamali kearifan lokal yaitu pelestarian
rumah adat, pengaturan mengenai Hutan Keramat, pelarangan pembuatan sumur,
70
 

dan pelarangan menguburkan mayat memiliki implikasi terhadap pelestarian


sumberdaya alam. Hubungan kearifan lokal dan implikasi pelestarian sumberdaya
alam dijelaskan pada Tabel 11.
Tabel 11. Pamali dan Implikasinya terhadap Pelestarian Sumberdaya Alam
Implikasi terhadap Pelestarian
No. Budaya Pamali
Sumberdaya Alam
1. Pelestarian rumah adat Menjaga keadaan tanah karena kondisi tanah
di Kampung Kuta bersifat labil sehingga jika
menggunakan rumah dari tembok dan beratap
genting akan menambah bobot tekanan
terhadap tanah, hal ini dikhawatirkan rumah
akan melesat dan ambruk, kemungkinan akan
membahayakan keselamatan penghuninya.
2. Peraturan mengenai Menjaga kelestarian Hutan Keramat sebagai
Hutan Keramat penyangga Kampung Kuta sehingga tetap
lestari. Keanekaraganaman tumbuhan, satwa,
dan ekosistem di dalamnya akan terjaga
dengan baik.
3. Pelarangan pembuatan Menjaga keadaan tanah karena kondisi tanah
sumur di Kampung Kuta bersifat labil sehingga jika
membuat sumur dalam akan membahayakan
masyarakat sendiri (longsor).
4. Pelarangan Menjaga keadaan tanah Kuta yang merupakan
menguburkan mayat endapan rawa yang sifatnya labil sehingga
jika digali terlalu dalam akan mengakibatkan
longsor. Selain itu, dalam persepsi masyarakat
terdapat kepercayaan bahwa tanah Kuta harus
selalu suci sedangkan mayar sifatnya kotor
karena banyak dosa. Maka untuk tetap
memelihara kesucian tanah setiap orang yang
meninggal, terutama orang dewasa dilarang
untuk dimakamkan di Kampung Kuta.

7.5.2 Pada Masyarakat Kampung Kuta


Kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyakat Kampung Kuta
memberikan hasil dampak untuk kehidupan mereka. Keberhasilan tersebut telah
membawa masyarakat Kampung Kuta memperoleh penghargaan Kalpataru
Tingkat Nasional tahun 2002 yang penyerahannya dilaksanakan oleh Presiden
Republik Indonesia tanggal 5 Juni 2002 di Bali. Manfaat yang dapat dirasakan
dari keberhasilan masyarakat Kampung Kuta dalam melestarikan lingkungan dan
budaya adat yang diturunkan dari leluhurnya yaitu:
71
 

1. Biaya pembuatan/perbaikan rumah lebih murah.


2. Menumbuhkan pola hidup sederhana.
3. Kerusakan lingkungan dapat ditekan/dikendalikan.
4. Lestarinya sumber-sumber mata air, meskipun musim kemarau airnya tetap
tersedia.
5. Tumbuhnya sikap kebersamaan dan gotong royong.
6. Pekarangan rumah dan jalan selalu bersih.
7. Memiliki potensi hiburan tradisional khas Kampung Kuta.

7.6 Ikhtisar
Sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta digunakan dalam dua
fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat. Air
diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti untuk minum, masak,
MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi sawah, kolam ikan, dan memenuhi
kebutuhan hewan ternak diambil dari sumber air bersih yang berasal dari empat
mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan, Cinangka dan Cipanyipuhan. Masyarakat
hanya memanfaatkan sumber mata air ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-
hari dan dilarang untuk menggali sumur sendiri. Pelarangan penggalian sumur ini
untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik, bersih dan untuk menjaga
tanah yang kondisinya sangat labil. Pelanggaran pembuatan sumur ini merupakan
salah satu budaya pamali yang sangat ditekankan di Kampung Kuta.
Sumberdaya air yang dimanfaatkan untuk kebutuhan ritual nyipuh adalah
sumber air yang berada di dalam Hutan Keramat. Pengelolaan Hutan Keramat
merupakan bagian dari budaya pamali yang memiliki norma-norma dan
merupakan suatu bentuk konservasi hutan yang dilakukan hingga saat ini oleh
masyarakat Kampung Kuta.
Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan
peluruhan kearifan lokal. Hal ini dikarenakan masyarakat masih memegang teguh
amanah yang disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi
landasan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pergeseran memang terlihat
dari ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini
tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Bentuk kearifan
72
 

lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam
mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan
rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke
Kampung Kuta dan Kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK).
Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu
ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali. Selain itu,
penggunaan Sanyo juga dapat mengancam kelestarian kearifan lokal yang akan
berdampak pada hancurnya kelestarian lingkungan.
Kearifan lokal budaya pamali diturunkan dari generasi ke generasi, yaitu
dari generasi tua ke generasi muda sejak mereka kecil. Moda transfer of
knowledge dilakukan dengan lisan/oral melalui cerita-cerita yang disampaikan
melalui dongeng. Pendekatan melalui keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang
efektif untuk kelanggengan kearifan lokal pamali.
Pengelolaan hutan dan air yang dilakukan masyarakat berhasil dalam
melestarikan lingkungan dan budaya adat yang diwariskan leluhurnya. Hal ini
dibuktikan dengan diterimanya penghargaan Kalpataru dalam hal pelestarian
lingkungan pada tahun 2002. Kearifan lokal memberikan implikasi bagi
kelestarian lingkungan dan bagi masyarakat Kampung Kuta. Melalui pengelolaan
secara adat, kelestarian Hutan Keramat sebagai penyangga Kampung Kuta akan
tetap lestari. Keanekaraganaman tumbuhan, satwa, dan ekosistem di dalamnya
akan terjaga dengan baik. Selain itu, keempat hal utama dalam kearifan lokal
pamali memiliki implementasi yang positif bagi pelestarian sumberdaya alam.
 
 

BAB VIII
PENUTUP

8.1 Kesimpulan
Kampung Kuta adalah salah satu kampung adat yang diakui
keberadaannya yang terletak di Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari
Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Bentuk kearifan lokal yang berkembang
pada masyarakat Kampung Kuta adalah dalam bentuk budaya pamali yang sudah
dikenal dan merupakan amanah dilakukan secara turun-temurun sejak ratusan
tahun yang lalu. Kearifan lokal ini merupakan suatu keyakinan masyarakat
Kampung Kuta mengenai kepercayaan spiritual terhadap leluhur mereka dan
berkembang menjadi norma yang mengatur perilaku masyarakat lokal.
Tabu atau pamali terungkap dalam ungkapan-ungkapan yang merupakan
prinsip-prinsip utama yang dikemukakan ketua adat atau kuncen sebagai aturan
adat yang harus dipatuhi dan diyakini kebenarannya. Berdasarkan prinsip-prinsip
kearifan lokal yang ada, terdapat empat hal yang sangat diutamakan dalam budaya
pamali yang terbukti masih dipertahankan, dijaga, dan dilaksanakan oleh
masyarakat Kampung Kuta. Keempat hal tersebut adalah pelestarian rumah adat,
pelarangan penguburan mayat di Kampung Kuta, pelarangan pembuatan sumur,
dan pelestarian Hutan Keramat berdasarkan aturan-aturan pamali tersebut.
Keempat hal tersebut menjadi norma adat yang mengikat masyarakat karena
bersumber dari kepercayaan spiritual masyarakat Kampung Kuta.
Budaya pamali di Kampung Kuta tidak mengalami perubahan dan
peluruhan kearifan lokal secara nyata. Sekalipun demikian terdapat indikasi wal
adanya modifikasi terhadap nilai-nilai baru yang masuk, seperti penggunaan
teknologi mesim pompa air, modifikasi bentuk rumah dan gaya modern, dan
penerimaan masyarakat terhadap gagasan pariwisata.
Namun, hingga saat ini masyarakat masih memegang teguh amanah yang
disampaikan oleh leluhur mereka dan budaya pamali sudah menjadi landasan bagi
kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pergeseran memang terlihat dari
ditemukannya dua bangunan rumah tembok di Kampung Kuta. Namun hal ini
tidak menjadi alasan dikatakannya perubahan kearifan lokal. Bentuk kearifan
lokal dalam budaya pamali ini tetap dipertahankan dan tetap efektif dalam
74
 

mengatur kehidupan masyarakat dan alam. Adanya pergeseran aturan pembuatan


rumah muncul akibat oleh faktor perpindahan atau masuknya penduduk lain ke
Kampung Kuta dan kemajuan dalam bidang Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
(IPTEK). Adanya pergeseran aturan pembuatan rumah merupakan salah satu
ancaman terhadap kelestarian kearifan lokal budaya pamali.
Proses pelanggengan kearifan lokal budaya Pamali dilakukan dengan
penurunan dari generasi ke generasi, yaitu dari generasi tua ke generasi muda
sejak mereka kecil. Moda transfer of knowledge dilakukan dengan lisan/oral
melalui cerita-cerita yang disampaikan melalui dongeng. Pendekatan melalui
keluarga menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk kelanggengan kearifan
lokal pamali.
Kearifan lokal budaya pamali berdampak positif bagi kelestarian
sumberdaya alam di Kampung Kuta. Hal ini dibuktikan dengan diterimanya
penghargaan Kalpataru dalam hal pelestarian lingkungan pada tahun 2002.
Kearifan lokal pamali ini diimplementasikan dalam pengelolaan sumberdaya air
demi terciptanya kelestarian sumberdaya alam. Dengan adanya pelarangan
pembuatan sumur di Kampung Kuta maka sumberdaya air termanfaatkan dengan
baik dan berkelanjutan bagi kehidupan masyarakat Kampung Kuta. Pelarangan
penggalian sumur ini untuk menjaga kondisi air bawah tanah agar selalu baik,
bersih dan untuk menjaga tanah yang kondisinya sangat labil.
Sumberdaya air yang terdapat di Kampung Kuta digunakan dalam dua
fungsi yaitu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan untuk ritual adat nyipuh
di dalam Hutan Keramat. Air diperlukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari
seperti untuk minum, masak, MCK (mandi, cuci, kakus), mengairi sawah, kolam
ikan, dan memenuhi kebutuhan hewan ternak. Sumberdaya air ini diambil dari
sumber air bersih yang berasal dari empat mata air, yaitu Cibungur, Ciasihan,
Cinangka dan Cipanyipuhan. Masyarakat hanya memanfaatkan sumber mata air
ini untuk semua kebutuhan hidup sehari-hari dan dilarang untuk menggali sumur
sendiri. Sementara untu ritual adat, digunakan sumber air dari Ciasihan dan
Pamarakan yang ada di dalam Hutan Keramat.
75
 

8.2 Saran
Perlu diadakan penelitian lanjutan yang berkaitan kearifan lokal
masyarakat Kampung Kuta. Mengingat keterbatasan pengetahuan peneliti,
memungkinkan masih banyak hal-hal lain yang masih belum tergali. Dengan
diketahuinya kearifan lokal masyarakat yang lebih mendalam, maka diharapkan
akan menjadi modal dalam menentukan bentuk pembangunan yang ideal
dijalankan di lokasi penelitian.
Masyarakat Kampung Kuta sudah berhasil dalam mempertahankan
kearifan lokal yang terangkum dalam budaya pamali. Namun, dengan dipeolehnya
penghargaan Kalpataru dalam kategori masyarakat pelestari alam dan lingkungan
dari Pemerintah Pusat, ada kecenderungan Kampung Kuta seperti dijadikan
daerah tujuan wisata budaya dan alam. Oleh karena itu, masyarakat dengan
dibantu oleh Pemerintah Pusat dan Daerah lebih selektif dalam menerima tamu
atau pihak-pihak yang ingin mengunjungi Kampung Kuta.
 
 

DAFTAR PUSTAKA

Agusta, I. 1998. Cara Mudah Menggunakan Metode Kualitatif pada Sosiologi


Pedesaan. Kelompok Dokumentasi Ilmu Sosial IPB. Bogor.
Arafah, N. 2002. Pengetahuan Lokal Suku Moronene Dalam Sistem Pertanian Di
Sulawesi Tenggara. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan: Teori dan Aplikasi.
PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Kodoatie, R. J. dan Sjarief, R. 2005. Pengelolaan Sumberdaya Air Terpadu. Andi.
Yogyakarta.
Laksmiwati, I. 2001. Mata Air sebagai Kawasan Suci (Sebuah Kearifan Lokal
dalam Pelestarian Sumber Daya Alam). Fakultas sastra Universitas
Udayana.
Mawardi, 2009. Implementasi Kurikulum: Sebuah Prinsip Dasar.
http://mawardiumm.blogspot.com/2009/08/implementasi-kurikulum-sebuah-
prinsip.html. diakses 18 April 2010, pukul 02.23.
Mitchell, B, B Setiawan, dan Dwita H R. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Mustafid. 2009. Kampung Kuta; Dusun Adat Yang Tersisa Di Ciamis.
http://artikelindonesia.com/kampung-kuta-dusun-adat-yang-tersisa-di-
ciamis.html. diakses 7 April 2010, pukul 11:30.
Ridwan, N. 2007. Landasan Keilmuan Kearifan Lokal.
http://ibda.files.wordpress.com/2008/04/2-landasan-keilmuan-kearifan-
lokal.pdf. diakses 22 Maret 2010, diakses 7 April 2010, pukul 11:20.
Saleh, T. dan Rasul, R. 2008. Pengenalan Pengelolaan Sumberdaya Air.
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/db20326d7baed0dca1bebc8428
f6f2ee4fbd2e0b.pdf. diakses 20 November 2009, pukul 12:48.
Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafat. Jurnal
Filsafat: Agustus 2004, Jilid 37, Nomor 2.
Satria, A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. IPB Press. Bogor.
Silaen, S. 2004. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Remaja Bidang Ilmu
Pengetahuan Sosial. Jakarta:BPI-LIPI dan PT. Tugu Pratama Indonesia.
77
 

Siregar, B. 2002. Kembali ke Akar: Kembali ke Konsep Otonomi Masyarakat


Asli. Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat. Jakarta.
Sitorus, MT F. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial IPB. Bogor.
Sjarief, R. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Air.
http://repository.gunadarma.ac.id%3A8000%2Fhal_44_sd_56%2C_PENGE
LOLAAN_SUMBER_DAYA_AIR_roestam_586.pdf. diakses 20 November
2009, pukul 12:30.
Soekanto, S. 2002. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta : PT. Grafindo Persada.
Tishaeni, H. 2010. Keberlanjutan Komunitas Adat Kampung Cireundeu
Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
78
 

LAMPIRAN

Lampiran 1. Panduan Pertanyaan

PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM


KEPALA ADAT/WAKIL KETUA ADAT/KUNCEN

Hari/tanggal wawancara :
Lokasi wawancara :
Nama dan umur informan :
Jabatan :
Pertanyaan Penelitian:
1. Bagaimana sejarah Kampung Kuta?
2. Apa saja jenis ritual yang dilakukan?
3. Kapan saja waktu pelaksanaan?
4. Siapa saja pelaku yang terlibat?
5. Apa makna dari ritual adat yang dilakukan?
6. Apa saja bentuk kearifan lokal yang berada di Kampung Kuta?
7. Apakah norma-norma atau peraturan adat Kampung Kuta yang sesuai dengan
kearifan lokal tersebut?
8. Bagaimana bentuk kearifan lokal yang terdapat di kawasan Hutan Keramat?
9. Apakah norma/peraturan adat yang ada di dalam kawasan Hutan Keramat?
10. Mengapa dibuat peraturan adat di dalam kawasan tersebut?
11. Bagaimana pemeliharaan Hutan Keramat agar tetap terjaga kelestariannya,
terutama bagi mata air yang di dalamnya?
12. Apakah terjadi perubahan kearifan lokal di Kampung Kuta?
13. Apa saja yang aturan adat yang mengalami pergeseran?
14. Apa sumber perubahan?
15. Apakah norma-norma atau peraturan adat Kampung Kuta dalam pengelolaan
sumberdaya air?
16. Bagaimana pandangan Kampung Kuta terhadap proses pengelolaan
sumberdaya air?
79
 

17. Bagaimana motivasi Kampung Kuta dalam pelaksanaan pengelolaan


sumberdaya air?
18. Kendala apa saja yang dialami saat melakukan proses pengelolaan
sumberdaya air di kawasan Kampung Kuta?
19. Bagaimana pengaruh kearifan lokal air pada masyarakat dan pada kelestarian
sumberdaya air?
80
 

Lampiran 2. Catatan Harian Penelitian

1. Hari/Tanggal : Minggu, 13 Juni 2010


Pukul : 14.00-17.30 WIB
Tempat : Rumah Bpk Krmn
Nara Sumber : Bpk Krmn (45 tahun)
Pekerjaan : Ketua Adat Kampung Kuta, Petani, Pedagang
Hasil Wawancara : Sejarah Kampung Kuta dan Budaya Pamali
Bapak Krmn adalah Ketua Adat Kampung Kuta. Beliau menjabat sebagai
ketua sejak 2002 sebelum penerimaan penghargaan Kalpataru dari Presiden.
Pemilihan Ketua Adat dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan
seluruh masyarakat Kampung Kuta dengan disaksikan oleh pihak Desa,
Kecamatan, dan Provinsi. Selain memiliki kemampuan untuk menjadi Ketua
Adat, Bapak Krmn dipilih masih ada hubungan saudara dengan Kuncen
Kampung Kuta. Bapak Krmn adalah adik ipar dari Bapak Mryn (Kuncen).
Jabatan Ketua Adat berhubungan dengan masalah keadatan dengan dunia luar.
Jadi, jika ada undangan-undangan dari pihak pemerintah ataupun yang lainnya,
Ketua Adat yang akan mewakili.
Menurut Bapak Krmn, Kampung Kuta sebagai kampung adat sudah dari dulu,
jadi bukan kampung adat buatan. Semua aturan-aturan adat yang ada asalnya
dari leluhur mereka dan sifatnya amanah, “…disini mah bukan buatan, ti dulu
sampe sekarang mah nu penting teh amanah, jadi gimana kata orang dulu
diikutin..” (disini bukan buatan, dari dahulu sampai sekarang yang penting
adalah amanah, jadi bagaimana perkataan orang dulu diikuti).
Nama Kuta diambil karena kuta berarti tebing dan daerah ini dikelilingi tebing
sehingga disebut Kampung Kuta. Kampung Kuta memiliki kearifan lokal yang
masih dipertahankan sampai saai ini. Kearifan lokal yang ada merupakan
warisan lelehur mereka yaitu semenjak Ki Bumi sampai di daerah ini. Kearifan
lokal yang ada terlihat dari kebiasaan masyarakat Kampung Kuta yang
mempertahankan aturan-aturan adat dalam melakukan aktifitas sehari-hari.
Peraturan adat ini masih dipertahankan karena sifatnya amanah jadi harus tetap
dilaksanakan dan dilestarikan. Masyarakat Kampung Kuta percaya bahwa jika
81
 

seseorang melanggarnya maka orang tersebut sudah melanggar amanah yang


diturunkan oleh leluhur sehingga para leluhur akan murka yang akan
mengakibatkan bencana.
Menurut penuturan Bapak Krmn, terdapat empat hal pokok yang harus tetap
dijalankan yaitu pelestarian bentuk rumah adat, pelestarian Hutan Keramat,
larangan membuat sumur, dan larangan menguburkan mayar di Kampung
Kuta. Empat hal ini yang menjadi kuci utama kearifan lokal yang ada di
Kampung Kuta.
“…ari di Kampung Kuta teh anu dipegangna amanah, ceuk karuhun
entong, nya kudu diinget misalna disini ga boleh bikin kuburan,
makana sampe sekarang gaboleh, ari nguburkeun pokonya diluar
dusun kuta. Kusabab dusun kuta teh yg dikelilingi tebing, lamun ka
kuburan teh jadi manjat ke atas perjalanan 2 km dari sini. Ari ga
boleh kusabab yang karuhun Ki Bumi dikuburkeun di kampung
Marga, jadi anu laenna kudu dikuburkeun Cibodas…”
“…masyarakat Kampung Kuta ngajalankeun anu jadi amanah, dasar
pamalina anu dipegang ku masyarakat, ari bentuk bumi teh kudu
disesuaikeun ku kondisi tanah disini, mana didieu udarana tiis jadi
pan kalo pake tembok nanti kedinginan. Jadi eta kusabab kudu
mertahankeun bentuk rumah…”
“…ari Hutan Keramat atau hutan lindung teh diurus ritual-ritualna
ku Kuncen. Hutan yang luasnya sebanyak 40 ha jangan diganggu.
Jadi hutan disini mah utuh ga boleh ngambil apapun, kecuali ada yg
jiarah, ngambil aer dari dalem untuk mandi untuk sgala rupa boleh
seijin Pa Kuncen…”
“…ari ceuk pemerintah teh, ko ada hutan lindung di tengah lembur
bisa aman, nah ini teh anu disebut mertahankeun amanah karuhun,
jadi masyarakat Kuta mah tetep ngajalankeun dan ga mungkin
ngerusak hutan, kusabab sararieun ku murka karuhun…”
“…disini juga ga boleh bikin sumur, jadi warga lamun mau ke air, ya
kudu ke jamban pemandian umum, ari larangan teh kusabab tanah
disini mah labil jadi klo bikin sumur ntar malah jadi bahaya, ga boleh
bikin kamar mandi di dalem rumah, nah disini aja yang punya kamar
mandi cuma Bapak, itu juga letakna diluar rumah, dipinggir, ga boleh
ada di wilayah rumah yang bentuknya persegi, jadi kudu di misah ti
bentuk persegi. Ari masyarakat laen mah mending milih ka
pemandian umum kusabab ari pemandian umum mah selang-selangna
tos dipasangkeun ku warga. Pemasangan teh dilakukeun gotong
royong. Ngambil air na ti mata air Ciasihan anu paling seeur mah.
Meskipun kemarau, eta Ciasihan tetep weh ngalir, Ciasihan salah
satu anu dijaga oge didieu, jadi ga boleh nebang pohon disekitar
wilayah dinya. Ari cai anu ngalir ka bumi Bapak mah sanes ti
Ciasihan, tapi ti Cibungur, caket oge sareng Ciasihan. Lamun Bapak
mah pake listrik, jadi di tarik ku Sanyo…”
“…disini mah aman, motor ditaro dimana-mana oge aman, ga seperti
di kota, rumah harus digembok, disini mah rumah ga dikunci oge
aman, da ga ada yang bakal berani, kusabab aya wae kajadiannana,
tapi rata-rata teh anu kena musibah bukan orang Kuta, tapi orang
82
 

luar kusabab orang Kuta mah moal berani melanggar. Contohna pas
taun 70, ada orang Cibodas keur ngarayap di tebing, pas ditanya
kunaon ternyata manehna nyolong jemuran, ceunah jadi teu
katingalian jalan, dibutakeun jalanna. Nah eta anu disebut
melanggar, jadi karuhun murka. Aya deui taun 2000 waktu Ibu
Gubernur datang sama rombongannya, supirna mau jalan-jalan
muter kampung, tapi manehna nanya moal sasab kan disini, nya eta
manehna oge jadi dibutakeun jalan ku karuhun gara-gara ngomong
sabab. Jadi disini mah ga boleh ngomong sasab, ari sasab teh kasasar
kitu, kusabab ari si Kuta mah nang sakieu ungul wilayahna jadi lewat
jalan manapun ga bakal sasab. Aya deui keur rombongan mahasiswa,
nginepna di rumah Pa Kuncen, eta perempuan semua, tapi mereka teh
sok gayana, jadi lamun didieu teh ulah sok, eta pas tengah malen
jamdua belasan aya harimau berdiri dina kaca rumah Pa Kuncen,
harimau sareng bayangan item gede. Eta aya genepan mahasiswana,
ngeliat semua mereka. Nah jadi disini mah ulah sembarangan,
kusabab setiap perbuatan urang anu salah pasti aya wae balesannana
ti karuhun…”
Bapak Krmn juga menjelaskan mengenai upacara ritual adat di Kampung Kuta:
“…Nyuguh sataun sekali, acaranya disatukan sama hasil bumi,
ngambil padi pake rengkong. Nyuguh untuk mensyukuri hasil panen.
Babaritmah, misalna ada pangiring-ngiring, lini, paririmbon
(petunjuk) misalna jam sekian bulan anu pasti ada di paririmbon, ini
teh saratna apa, harus disaratan udah ada di na paririmbon, baru
disebutna babarit. Jadi sedekah, makan bersama. Kaya tolak bala.
Misalnya disaratan ku embe hitam, pasti dilaksanakan ku masyarakat.
Dagingnya dimakan, kepala, kulit, kaki di kubur. Babrit bukan cuma
bencana hungkul, misalnya mau nyawah, itu babarit juga, abis panen
juga, trus mun kadangan ku karuhun, dina bulan mulud, rajab, jadi
sau kampung teh pada kumpul bawa nasi, babaritan. Babarit ga tentu,
gimana ada pangeling-ngeling (anu ngasih tau) dari karuhun. Hajat
bumi masyarakat satu kampung ikut ke Cijolang, bawa nasi sareng
deungeunna, bawa sesajen. Digotong pake rengkong, disini pake
hiburan, pake dogdog seperti gendang. Ngabring masyarakat datang
ka cijolang, trus pada dating ti desa, ti kabupaten. Jam 2 jam 3 start
ke cijolang ke panyawangan dina sisi Cijolang. Pangiringannya
diajukan ku sesepuh desa, terus makan-makan di sana. Pake boboko
diais…”

2. Hari/Tanggal : Senin, 14 Juni 2010


Pukul : 08.30-16.30 WIB
Tempat : Wilayah Sekitar Hutan Keramat
Nara Sumber : Bpk Mryn (64 tahun)
Pekerjaan : Kuncen Kampung Kuta, Petani
Hasil Wawancara : Sejarah Kampung Kuta dan Budaya Pamali
Bapak Mryn adalah kuncen kesepuluh di Kampung Kuta. Untuk menjadi
kuncen harus memiliki syarat-syarat tertentu, khusunya merupakan keturunan
83
 

dari kuncen sebelumnya. Setelah pemilihan Ketua Adat berlangsung, kuncen


fokus pada hal-hal yang berhubungan dengan Hutan Keramat. Meskipun
demikian, kuncen tetap menjadi pemimpin mereka yang perkataannya masih
dipercaya selalu benar.
“…ari Kuta teh kan tebing, namina ti eta dikelilingi tebing, nyaeta
Kuta Jero kusabab letakna di jero tebing. Wiwitan teh Ki Bumi,
margina aya cariosan tapi teu aya tutulisan. Kan sejarahna ti prabu
silliwangi, tempat dodokan. Dodok duduk. Jadi upacara adatna
didinya…”
Kampung Kuta memiliki kearifan lokal yang masih dipertahankan, yaitu
budaya pamali atau tabu.
“...budaya pamali diangge ku masyarakat, saleresna pamali teh lamun
di pamarintah mah undang-undang, aturan. Kuta alatnya sanjatanya
nyaeta bahasa yaeta pamali. Turunan ti wiwtan ti Ki Bumi. Bapa
keturunan ka 10 anu resmina. Warga sini patuh ke pamali. Kejadian
warga ngelanggar mah aya wae sok aya panggeuing, aya anu nyaram.
Ari ku masyarakat teh sok dialog, diskusi, musyawarah heula ka anu
ngarampak amanah teh…”.
Terdapat empat poin yang disebutkan oleh Bapak Mryn terkait dengan pamali
atau aturan yang ada di Kampung Kuta, yaitu: pelarangan pembuatan sumur,
pelarangan penguburan mayat, pelestarian rumah adat, dan pelestarian hutan
keramat. Keempat hal ini terangkum dari ungkapan-ungkapan pamali yang
sudah dikenal sejak turun-temurun, yaitu:
1. Teu kenging disapatu atawa sidandal, teu kenging make emas lamun rek
asup ka tempat keramat.
2. Teu kenging nyiduh, kahampangan, kabeuratan di tempat keramat.
3. Jalma nu maot teu kenging dipendem di Kuta.
4. Teu kenging ngadamel bumi ku tembok, suhunan teu kenging ku kenteng,
tapi kedah ku kiray atanapi injuk.
5. Teu Kenging ngadamel sumur jero
Selain itu terdapat pula ungkapan-ungkapan yang berhubungan dengan Pamali,
yaitu:
1. Teu kenging ka cai wayah bedug.
2. Lalaki teu kenging ka goah.
3. Teu kenging calik dina lawang panto.
4. Teu kenging sisiaran sareupna.
5. Ngaran teu kenging tina bahasa jawa kudu sunda.
6. Teu kenging turun ka ranjang atawa naik ka ranjang.
7. Istri nu ngandeg teu kenging nganggo sinjang jangkung.
8. Teu kenging dahar bari nangtung.
9. Lamun indit-inditan kudu mawa obor.
10. Lamaun nyadap ulah nyolendangkeun sarung.
11. Tujuh poe sanggeus nikah teu meunang sakamar.
84
 

12. Tujuh poe samemeh disepitan, teu kenging lulumpatan.


13. Teu kenging ka cai sareupna.
14. Parawan teu kenging lila-lila di cai.
15. Ulah moyok urang Kampung Kuta.
16. Nu kakandungan teu kenging ngadahar butuh.
Aturan-aturan pamali ini berasal dari leluhur oleh karena itu harus
dilaksanakan oleh masyarakat Kampung Kuta. Tetapi yang paling utama dan
harus dilaksanakan benar-benar adalah hal-hal yang berhungan dengn Hutan
Keramat, pembuatan rumah, larangan pembuatan sumur, dan larangan
menguburkan mayat di Kampung Kuta. Bapak Mryn yang khusus mengurusi
hal-hal yang berkaitan dengan Hutan Keramat. Untuk masuk ke Hutan
Keramat harus di hari Senin dan Jumat.
“…ari menurut sesepuh mah hari dibukana. Jadi dikedahken Senin
atawa Jumat. Karena hari suci, hari baiklah. Di jero Hutan Keramat
teh urang kudu nyipuh. Ari nyebatnya nyipuh, ari disipuh mah
kedahna mah ibak. Tapi cekap ku abdhas, tos ditawahsuhkeun. Teu
kenging kekemes, upami aya anu kaeueut. Teu kenging
diluddahkeunlah. Bilih aya anu kaeueut, teras weh, upami kekemes
diludahkeun, jadina batal wudhu, teu sah nyaeta kitu…”.
Jika membuat rumah tidak boleh menggunakan tembok, tapi harus
menggunakan bilik dan beratapkan rumbia atau ijuk. Namun, ditemukan ada
dua bangunan yang menggunakan tembok dan bertapkan genting dan asbes.
“…eta teh kana nu saur sesepuh anu tos ngalanggar amanah. Aya hiji
tos dibongkar. Aya hiji deui anu teu acan. Ngarampak amanah
namina, sok aya bae kajadianana. Langsung bikin tembok, langsung
musibah. Langsung maot sakaluarga. Langsur udur, eta taun 2004.
Yang penting tina triplek, kayu, tembok anu paling dilarang. Itu
amanah para leluhur…”
“…ya memang aya perubahan, lebih luwes, tapi upami kaca teu
dimanahkeun. Kamar mandi saleresna mah teu kenging, kudu misah
sareng bangunan imah...”
“…aya bahasa/amanah urang mah ulah hayang hirup-hirup dikubur,
aya oge jangan bikin istana jadi astana. Nah ari musibah lain dari
Allah tapi akibat perbuatan urang. Upami katinggang jadi maot,
astana kan kuburan. Ayeuna sok aya kajantenan di daerah-daerah
sanes. Misalnya gempa bangunan, pan eta jadi astana. Sebenerna
maca amal perbuatan urang, jadi lain Allah tapi urang.
Padamelanana ti urang keneh. Para laluhur maca adatnya kadinya.
Akibatna teh perbuatan urang. Seperti kitu. Ari bahasa sepuh, diisina
ku urang. Kantun urang ngisi, ari sepuh mah masihan cangkang
urang anu neterjemahkeun. Anu ngisian bahasa-bahasa teh kudu
urang…”
“…nah teu kenging mendem mayit di Kuta. Semua yg ada disini teh
asalna amanah. Tempat kesucian. Kecuali bayi. Waktu Ki Bumi maot
oge di pendemna di Marga. Jadi sadayana warga Kuta kudu
dipendemna di Cibodas, pokona di luar Kuta…”
85
 

Selain hal-hal yang berhubungan dengan peraturan adat, masyarakat Kampung


Kuta pun terbiasa melakukan upacara-upacara adat, yaitu Nyuguh, Hajat Bumi,
dan Babarit.
“…upacara adat nyuguh tah dina bulan 25 Safhar, ngarep ka Mulud.
Masyarakat berkumpul di tempat panyawangan, perbatasan Jawa
tengah. Pada marawa makanan kampung. Acarana satu hari. Biasana
ngalaksanakeun sore, kusabab tos amanah ti leluhur…”.
Upacara Nyuguh dan Hajat Bumi dilaksanakan dalam satu hari.
“…ari hajat bumi enjing-enjing, nyuguh sorena. Sadayana upacara
tujuannya intina syukuran…”.
“…ari kasenian Dongdang biasana dipake kangge upacara adat,
ngaramekeun pas ngagotong kupat. Ngabring tidieu. Berkumpulna di
adat, sok ngundang oge ti propoinsi…”
“…sarepnya isuk sarepna poe sarepna sore teu kenging berkeliaran.
Upami sarepna poe teh kalangkang teu kenging katincak, bujeng-
bujeng sirah langsung. Pan sirah teh pusat. Jadi kudu di
mumule/pelihara. Eta kanormalan. Lanjung ritulu/teu damang…”
Di Kampung kuta tidak boleh membuat sumur, ini juga merupakan hal yang
dimanahkan oleh lelehur dan masih dipertahankan. Sumur yang dimasudkan
adalah sumur yang kedalamannya bisa mencapai 10-20 meter yang biasanya
ditarik menggunakan timbaan. Berbeda dengan di desa lain, hal ini sangat
dilarang. Tanah hanya boleh digali sampai 1 meter saja, itupun tidak di
sembarang tempat tetapi harus di sekitar kawasan mata air. Mata air yang
dimanfaatkan adalah Ciasihan, Cipanyipuhan, Cinangka, dan Cibanguara. Mata
air Ciasihan dipercaya tidak akan pernah kering meskipun air mengalir kecil.
Pada musim kemarau hanya mata air ini yang tetap mengalir. Sumber air di
Kampung Kuta merupakan air rembesan di dalam tanah atau pepohonan,
sehingga untuk memanfaatkan air tersebut diperlukan beberapa cara.
Masyarakat memanfaatkan selang atau paralon untuk mengalirkan air tersebut.
Untuk menjaga kelestarian di hulu mata air tetap terjaga, masyarakat tidak
boleh menebang pepohonan di sekitarnya. Selain itu, masyarakat Kampung
Kuta juga mulai menanam pohon tahunan seperti albasiah atau sengon.
86
 

3. Hari/Tanggal : Rabu, 16 Juni 2010


Pukul : 14.00-20.30 WIB
Tempat : Rumah Bpk Krmn
Nara Sumber : Bpk Krmn (45 tahun)
Pekerjaan : Ketua Adat Kampung Kuta, Petani, Pedagang
Hasil Wawancara : Pengelolaan Sumberdaya Air
Pengelolaan air yang dimanfaatkan oleh warga ini dilakukan dengan dua cara
yaitu menggunakan selang yang disalurkan dari atas disalurkan ke bawah.
Seperti dari mata air ciasihan, disalurkan ke kolam, ke pemandian umum.
Selain itu sudah ada yang menggunakan tenaga listrik langsung sampai ke
rumah.
Cara memasang selang yang disalurkan dari rembesan pohon yaitu:
“…cara masangna teh dibikin sumur dulu, klo udah dibikin sumur,
dimasukin selang ato paralon, langsung ditunggu nepi kaluar caina,
selangna dikira-kira beraha lenteun sampe anu dituju, misalnya ti
Cibungur ka jamban, 50 lente, 1 lente sami sareng 4 meter. Tapi
sumurnya dibikin kurang lebih semeter, kadang setengah meter,
pokona sampe aer keluar, maksimal sameter..”
Pemakaian selang dikontrol oleh setiap masyarakat yang mandi atau
memanfaatkan pemandian umum. sehingga terlihat apakah ada masalah apabila
terjadi selang yang copot atau bocor. Pemasangan dari air rembesan pohon ini
ditahan menggunakan ijuk dan batu agar tidak rugrug atau longsor.
Yang menggunakan Sanyo hanya sekitar empat orang. Di wilayah Kuta dalem
hanya Bapak Krmn yang menggunakannya.
“…Air jadi masalah, warga nya mesti ngapain kusabab dikuta mah
tanahnya tanah hujan, jadi tetep masyarakat manfaatinya dari mata
air, klo nyawah juga ga ada irigasi, tadah hujan. Traktor udah masuk
taun 90an, kusabab memang itu traktor gda larangan. Sapi disini
banyak tiap rumah punya 2, kurang lebih 200an ada. 3 hari satu bata.
Traktor sehari ga. Sapi mah diternakeun. Traktor Cuma ada 5. Nang
cukuplah. Ga semua ku traktor. Listik masuk taun 96. Tv mah dari
dulu ada dari taun 70an, Cuma dulu mah pake aki. Parabola baru
taun 2000an. Dulu pake pemancar. Dulu jarang, sekarang mah
banyak…”
87
 

4. Hari/Tanggal : Jumat, 18 Juni 2010


Pukul : 18-40-21.30 WIB
Tempat : Rumah Bapak Krmn
Nara Sumber : Bpk Wrsm (51 tahun)
Pekerjaan : Kepala Dusun Kampung Kuta
Hasil Wawancara : Pengelolaan Sumberdaya Air
Tidak ada istilah sistem PAM di Kampung Kuta. Di sebelah atas ada mata air
Ciasihan yang dimanfaatkan. Ada penampungan atau pemandian umum yang
digunakan masyarakat. Ada juga sumber yang menggunakan Sanyo. Di
penampungan sifatnya bebas, kecuali di sumber yang adanya di tanah orang.
Selain Ciasihan, ada Cibungur (dulu masih ada pohon-pohon besar),
panyipuhan, dan cinangka. Jika mengambil di sumber yang bukan hasil usaha
sendiri meminta kepada yang mempunyai tanah tidak akan diberikan, karena
itu tanah orang lain. Jadi, yang tidak punya selang, memanfaatkan air yang ada
di pemandian umum.
Jika semua orang menggunakan listrik, pasti ada beban listik yang akan
diterima masyarakat. Air memang penting, tapi jika memberatkan masyarakat
lebih baik tidak perlu, sehingga masyarakat menggunakan air yang ada di
pemandian umum. Bagusnya memang ada sumber air yang ditarik ke atas lalu
dialirkan ke rumah-rumah dengan resiko sekecil-kecilnya. Yang menjadi
masalah yaitu mencari sumber yang bisa jalan sendiri tanpa tenaga listrik. Di
sini banyaknya digunakan pertanian dengan sawah yang tadah hujan.
Aturan menggali sumur di Kuta tidak boleh lebih dari 1 meter, tidak seperti di
luar dusun kuta sekitar 15-20 meter. Hal ini akan merusak tanah jika digali
dalam-dalam. Partisipasi masyarakat sangat positif dalam membantu
pengelolaan sumberdaya air ini.
Air paling bersih disini berasal dari Ciasihan, yang lain kadang-kadang
ditemukan serbuk putih-putih disebut gamping. Untuk penggunaan alat tidak
ada larangan di Kuta. Ini termasuk urusan pribadi, yang penting tidak boleh
menggali sumur dalam.
“…dari masyarakat A sampai Z undah tau hukumannya, soalnya
sudah diceritakan oleh orang tua duli, hingga anak-anak udah tau
mana yang boleh, mana yang ga boleh…”
“…Biar air terus ngalir harus dikonservasi, dihutankan kembali.
88
 

Sengaja dilindungi pohon2 besar. Emang itu tanah milik masyarakat,


tapi klo ada sumber airnya. Sumber air ga kena pajak. Klopun kena
mungkin pajak disatukan dengan kebon mereka…”
Keempat sumber air (Ciasihan, Cinangka, Cibungur, dan Cipanyipuhan) hanya
sebagai kebutuhan hidup dan sumber air yanga ada di dalam Hutan Keramat
digunakan untuk ritual nyipuh (ritual membersihkan diri).

5. Hari/Tanggal : Sabtu, 19 Juni 2010


Pukul : 18.30-21.00 WIB
Tempat : Rumah Bapak Snmrn
Nara Sumber : Bpk Snmrn (52 tahun)
Pekerjaan : Sesepuh Kampung, Wakil Ketua Adat,
Ketua RT 02
Hasil Wawancara : Pengelolaan Sumberdaya Air dan Pamali
Kampung Kuta tanahnya labil jadi tidak bisa digali dalam-dalam karena bisa
urug (longsor). Sumur yang digali hanya satu meter. Di sini tanahnya tidak
seperti di luar Kuta yang tanahnya merah. Pengambilan air menggunakan
paralon tapi ada juga yang memakai Sanyo (hanya empat orang). Jika
menggunakan Sanyo, dikubakin (digali) paling dalam satu meter, pipa
dimasukan, lalu pake Sanyo.
“…kita mah ke empang aja. Itu juga pake ledengan dari mata air
langsung. Yang deket disitu yuk bikin tempat yg lain gabung. Ga usah
repot-repot bikin. Bikin kubakan dikit, langsung bikin pancoran…”
“…sumur bor ga bisa, sumur gali ga bisa, Pamali. Karna Pamali teh
begitu, klo bikin sumur yg dalem ntar ketimpa. Ari sumur tua diurug
ga boleh, harus keurug sendiri, akhirnya Pamali juga, bisa kualat
juga. Klo sumur sudah dibuang gaboleh diurug sama orang, ntar bisa
kesambet, Pamali…”
“…Pamali itu adalah apa yg dari dulu orang tua ga boleh sampe skrg
juga ga boleh. Pake tembok ga boleh, genteng ga boleh, rumah ga
boleh bikin sikon, jadi banyak pamali disini mah, larangan-larangan
yg diamanahkan sama orang tua dulu, yg ga boleh dari dulu sampe
skrng…”
“…Disini mah ga boleh bikin kuburan pamali juga. Semua yg
diamanahkan pasti pamali juga, bisa kualat juga. Orang tua dulu
seluruh yg sudah dipamalikan sudah dikerjakan dulu. Ada gunung ki
Pamali ada disini, jadi seluruh yg dilanggar pasti Pamali. Pamali klo
dilanggar pasti pamali, klo ada yg coba-coba langsung kena. Disini
mah terjadi memang, bukan dulu. Sekarang juga diyakinkan, sudah
ketauan. Kemajuan dunia jadi coba2, sekarang udah ga ada
orangnya. Itu yg bikin rumah tembok. Udah pernah diomongin, sudah
dikasi nasehat. Itu mah kan sudah jadi kewajiban pemerintah kuta,
89
 

tapi selanjutnya terserah. Kalo udah diperingatin jadi resiko


pribadi…”
Pemeliharaan sumber air yaitu tempat itu jangan di rusak, jangan diurug, jadi
musim kemarau bisa dimanfaatkan. Ciasihan alirannya sedikit tapi mencukupi
semua warga. Semua orang pasti memelihara. Tapi tidak ada orang khusus
yang melihara. Ciasihan tanahnya milik orang.

6. Hari/Tanggal : Senin, 21 Juni 2010


Pukul : 09.00-14.00 WIB
Tempat : Rumah Bapak Krmn
Nara Sumber : Ibu Mm (49 tahun)
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hasil Wawancara : Sanski yang didapat Pelanggar Pamali
Ibu Mm adalah kakak ipar dari Bapak Krmn dan merupakan anak dari Bpk
Mryn. Menurut Ibu Mm, ditemukan adanya kejadian yang berhubungan
dengan pelanggaran sanksi pamali.
“…di sini mah ga boleh bikin rumah gedong, boro-boro gedong,
genteng aja ga boleh. Tuh ada tuh diturunan seumur-umur sakit
melulu. Yang di pinggir jalan. Rumah bapaknya yang udah dibongkar.
Bapaknya udah meninggal. Bapaknya lurah dulunya, dia tau padahal
ga boleh bikin tembok, tapi yah gitu, penasaran meurun, seumur-umur
sakit istrinya sekarang. Anaknya yang kaya sekarang habis
kekayaannya. Itu sekeluarga kena penyakit koreng…”
“…disinimah suci gabisa dibawa jahat. Ada orang niat jahat ga bakal
bisa masuk. Dulu ada tentara pengen nginep didalem keramat, kta
bapak ga boleh, disini mah bukan tempat semedi. Ceuk tentara teh ‘ah
saya mah penasaran’ terus masuk ka keramat tentara teh. Ari pas
masuk ceunah aya suara anu ngomong ka tentara di jero keramat
“balik siah tong ngajedog didieu, didieu mah lain tempat pamukiman
jelema, ieu mah tempat suci”. Trus ku bapa kuncen disusulan da sieun
kunanaon diditu, dicari jam12 malem ke keramat, tapi teu aya di jero
keramat. eh ketemunya lagi ngerayap ditebing tinggi di lampiran.
Keur ngaronta-ronta diditu. Isukanana dianter ku bapak kuncen ka
karemat, tentarana menta maap ka nu aya dijero hutan gede.
kajadianana tahun 80an. Eta tentara nepi ayeuna teu pernah lagi
nincak kesini..”
90
 

Lampiran
n 3. Dokum
mentasi

3 Papan Larangan Hutan


Gambar 3. H Kera
amat

Gambar 4.
4 Penghargaan Kalpaataru

Gambar 5.
5 Rumah Adat
A Kamp
pung Kuta
91
 

Gambar 6.
6 Dodokan
n Tempat Upacara
U Nu
uguh

Gambar 7.
7 Permain
nan Gondan
ng

Gambar 8.
8 Rumah Tembok
T

Gambar 9.
9 Ritual Hutan
H Keramat
92
 

Gambar 10.
1 Mata Air
A Ciasihan
n

Gambar 11.
1 Pemasaangan denggan Sanyo
93
 

Gambar 112. Pemand


dian Umum
m

You might also like