You are on page 1of 23

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/277006945

SITOGENETIKA DAN PERANANNYA DALAM KEGANASAN HEMATOLOGI

Research · May 2015


DOI: 10.13140/RG.2.1.3122.5761

CITATIONS READS

0 7,059

1 author:

Yunika puspa dewi


Siloam Hospitals Yogyakarta
20 PUBLICATIONS   4 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Micronutrients View project

All content following this page was uploaded by Yunika puspa dewi on 21 May 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


SITOGENETIKA DAN
PERANANNYA DALAM KEGANASAN HEMATOLOGI

Tinjauan Pustaka
Karya Ilmiah Hematologi

Oleh :

Yunika Puspa Dewi

11/326437/PKU/12910

Kepada

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2015

1
SITOGENETIKA DAN
PERANANNYA DALAM KEGANASAN HEMATOLOGI

Tinjauan Pustaka
Karya Ilmiah Hematologi

Dipresentasikan pada tanggal :


4 Februari 2015

Oleh :
Yunika Puspa Dewi
11/326437/PKU/12910

Pembimbing

dr. Tri Ratnaningsih, M.Kes, SpPK(K)


NIP. 19731110 199903 2 001

Mengetahui,

Kepala Bagian Patologi Klinik Ketua Program Studi Patologi Klinik


Fakultas Kedokteran UGM Fakultas Kedokteran UGM

Prof. dr. Budi Mulyono, MM, SpPK-K dr. Umi S Intansari, M.Kes, SpPK-K
NIP.19521226 197903 1 003 NIP.19700110 199702 2 001
2
Cytogenetic and Its Application on Hematologic Malignancies
Yunika Puspa Dewi, Tri Ratnaningsih
Department of Clinical Laboratory, Faculty of Medicine, University of Gadjah Mada
Yogyakarta

ABSTRACT

Background: The diagnosis of hematopoietic neoplasms is one of the more challenging areas of
pathology, requiring correlation of clinical, morphologic, immunophenotypic and cytogenetic data for
meaningful classification. The rational classification of hematopoietic neoplasms is based on the
separation of diseases with distinct clinicopathologic features. Recurrent chromosomal abnormalities
that correlate with morphologic, clinical and/or immunophenotypic subsets of hematologic
maaignancies provide further objective criteria for distinction.
This review will discuss about cytogenetic itself, both conventional and molecular methods and its
application on hematologic malignancies.

Discussion: Cytogenetics is the study of the structure and properties of chromosomes, chromosomal
behaviour during somatic cell division in growth and development (mitosis) and germ cell division in
reproduction (meiosis), chromosomal influence on the phenotype and the factors that cause
chromosomal changes. In Cytogenetics, there are two main methods; classical methods like
karyotyping using GTG banding technique and molecular methods like fluorescent in situ
hybridization (FISH).
Recognizing the association between certain cytogenetic abnormalities and specific morphologic and
clinical features, the World Health Organization (WHO) has re-classified tumour of hematopoeitic
and limphoid tissues based on cytogenetics. Some cytogenetic abnormalities are not specific to either
morphologic subsets of disease or associated with specific clinical features; however, they remain
valuable independent prognostic variables. Such findings have been used to stratify patients with
MDS, chronic lymphocytic leukemia (CLL) and precursor B -cell acute lymphoblastic leukemia
(ALL) into favorable and unfavorable prognostic categories, thus allowing for varied intensities of
therapy.

Conclusion: Application of cytogenetic analysis for the identification of specific lesions and
insurance of products specific for given type of hematologic malignancies, could move us to a period
of personalised, molecularly targeted therapy against malignant molecules of each single patient.

Keywords: cytogenetics – FISH – kariotyping – chromosome – hematologic malignancies - leukemia

3
Sitogenetika dan Peranannya dalam Keganasan Hematologi
Yunika Puspa Dewi, Tri Ratnaningsih
Bagian Laboratorium Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

INTISARI

Pendahuluan: Diagnosis keganasan hematologi adalah salah satu bagian yang paling menantang bagi
ahli patologi, karena membutuhkan korelasi klinis, pemeriksaan morfologi, immunophenotyping dan
sitogenetika sumsum tulang untuk dapat menegakkan diagnosis. Klasifikasi keganasan hematologi
yang rasional berdasarkan pada gambaran klinis dan laboratoris. Abnormalitas kromosom berulang
yang berhubungan dengan morfologi, gambaran klinis dan / atau immunophenotypic pada keganasan
hematologi memberikan kriteria objektif lanjut untuk penegakkan diagnosis.
Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai teknik sitogenetika itu sendiri baik yang konvensional
maupun molekular dan peranannya dalam penatalaksanaan keganasan hematologi

Pembahasan: Sitogenetika adalah ilmu tentang struktur dan sifat kromosom, perilaku kromosom
selama pembelahan sel somatik dalam pertumbuhan dan perkembangan (mitosis) dan pembelahan sel
germinal dalam reproduksi (meiosis), kromosom mempengaruhi fenotip dan faktor-faktor yang
menyebabkan perubahan kromosom. Analisis sitogenetika, ada dua metode utama; metode klasik
seperti karyotyping menggunakan teknik banding GTG dan metode molekuler seperti fluorescent in
situ hybridization (FISH).
Menyadari hubungan antara kelainan sitogenetik tertentu dan morfologi dan gambaran klinis tertentu,
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah kembali mengklasifikasikan tumor hematopoeitic dan
jaringan limphoid berdasarkan sitogenetika. Beberapa abnormalitas sitogenetika tidak spesifik
terhadap gambaran sumsum tulang penyakit tertentu ataupun dengan gambaran klinis yang spesifik;
Namun, abnormalitas sitogenetika tetap merupakan variabel prognostik independen yang berharga.
Temuan abnormalitas sitogenetika tersebut telah digunakan untuk stratifikasi pasien dengan MDS,
leukemia limfositik kronis (CLL) dan leukemia limfoblastik akut (ALL) precursor sel B dalam
kategori prognostik yang menguntungkan dan tidak menguntungkan, sehingga memungkinkan untuk
menentukan intensitas terapi tergantung kategori prognostiknya.

Kesimpulan:. Penerapan analisis sitogenetik untuk identifikasi lesi spesifik dan kepastian dari produk
spesifik untuk jenis keganasan hematologi tertentu, semakin mendekatkan kita pada masa
personalised, molecularly targeted therapy terhadap molekul ganas setiap pasien.

Kata kunci: sitogenetika – FISH – kariotipe – kromosom – keganasan hematologi - leukemia

4
PENDAHULUAN

Kanker adalah penyakit genetik yang dapat berkembang dari mutasi bawaan kemudian diikuti
oleh mutasi yang diperoleh atau dari akumulasi mutasi. Onkogen dan gen supresor tumor mengontrol
proliferasi sel dengan kematian sel atau pembelahan sel, sedangkan gen pengendali mengendalikan
laju mutasi. Sel dengan gen pengendali cacat mungkin mempunyai mutasi pada semua gen, termasuk
onkogen dan gen supresor tumor1,2.

Keganasan hematologi adalah kelompok neoplasma yang berasal dari sel sumsum tulang
ganas. Jenis kanker ini mempengaruhi darah tepi, sumsum tulang, hati, limpa dan kelenjar getah
bening. Variasi dalam kelompok gangguan ini disebabkan oleh kompleksitas dalam hematopoiesis
dan sistem imunologi. Abnormalitas kromosom tidak acak merupakan tanda umum dari banyak
keganasan hematologi dan merupakan komponen kunci dari patogenesisnya. Dengan demikian,
analisis kromosom rutin sangat penting dalam pemeriksaan laboratorium untuk kasus yang dicurigai
adanya gangguan mielodisplastik atau mieloproliferatif, leukemia, dan limfoma. Pemeriksaan
sitogenetika dapat memberikan (1) konfirmasi diagnosis; (2) informasi yang berguna untuk
klasifikasi, staging dan prognosi; (3) informasi untuk memilih terapi yang tepat; dan (4) bukti remisi
atau kambuh. Dalam evaluasi kelenjar getah bening, sitogenetika dapat membedakan proses reaktif
dari kondisi ganas3,4.

Dulu keganasan hematologi diklasifikasikan berdasarkan morfologi menurut klasifikasi


French-American-British (FAB). Dengan berjalannya waktu, banyak klasifikasi dikembangkan namun
yang paling diterima adalah klasifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2008. Klasifikasi
ini mengintegrasikan pemeriksaan morfologi, imunofenotipe, dan sitogenetika. Sitogenetika
konvensional seperti karyotyping menggunakan teknik banding GTG dan metode molekuler seperti
fluorescent in situ hybridization (FISH) merupakan baku emas5,1.

Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai teknik sitogenetika itu sendiri baik yang
konvensional maupun molekular dan peranannya dalam penatalaksanaan keganasan hematologi.

PEMBAHASAN

Sitogenetik adalah ilmu tentang kromosom dan penyakit terkait yang disebabkan oleh
abnormalitas jumlah dan/atau struktur kromosom. Kromosom tidak dapat dilihat dengan mikroskop
cahaya, tetapi selama metafase atau akhir profase, kromosom memadat sehingga dapat dianalisis2,6,7.
Kromatin adalah material yang tercat gelap pada inti sel. Pada saat interfase, kromatin berbentuk
benang irregular dan longgar yang diebut reticulum kromatin. Pada saat sel membelah, kromatin akan
memadat menjadi benang yang lebih pendek dan tebal yang disebut kromosom. Pada sel diploidi
normal, ada 46 kromosom (23 pasang), dimana setiap pasang berasal dari ayah dan ibu7.
5
Sejarah

Kontribusi sitogenetika pada pengetahuan kita tentang kanker berkembang selama empat
dekade ini dan dapat dibagi menjadi tiga era1. Era pertama dimulai dengan suksesnya kultur
kromosom invitro dan identifikasi jumlah kromosom manusia. Meskipun Profesor Walther Flemming
pada tahun 1876 telah mendeskripsikan kromosom, baru sekitar 80 tahun kemudian jumlah kromosom
manusia yang benar dalam sel (46) dijelaskan oleh Tjio dan Levan3,2,8.

Kemudian era pita, yang termasuk klasifikasi kromosom menggunakan teknik banding
dengan resolusi tinggi1. "Era banding" dari akhir 1960-an dan 1970-an meningkatan visualisasi
kromosom manusia melalui pembentukan pola pita yang unik pada setiap kromosom. Perkembangan
quinacrine banding, Giemsa banding, C-banding menggunakan barium hidroksida dan reverse
banding menggunakan acridine orange meningkatkan kemampuan laboratorium sitogenetika untuk
dapat menentukan kelainan kromosom numerik dan struktural lebih akurat3,6,8. Kelainan sitogenetika
pertama terkait dengan jenis keganasan tertentu digambarkan oleh Nowell dan Hungerford pada tahun
1960. Kromosom penanda, bernama kromosom Philadelphia, dikaitkan dengan chronic myelogenous
leukemia (CML). Memanfaatkan teknik banding yang lebih baik, Janet Rowley di University of
Chicago kemudian mengidentifikasi penanda ini sebagai turunan kromosom 22 yang berasal dari
translokasi antara kromosom 9 dan 22 [t (9; 22) (q34;q11.2)]. Limfoma Burkitt adalah keganasan
limfoid pertama yang diidentifikasikan kelainan kromosomnya [t (8; 14) (q24;q32)]3,2.

Era ketiga sudah ada lebih dari satu dekade, ditandai dengan ditemukannya in situ
hybridization (ISH) dan berbagai pengembangannya1. Metode ini menggunakan probe DNA berlabel
biotin yang dideteksi dengan cara hibridisasi menggunakan streptavidin-horseradish peroksidase dan
diaminobenzidin diikuti oleh visualisasi menggunakan mikroskop cahaya. Sedikit modifikasi dari
prosedur ISH enzimatik ini, dikenal sebagai Chromogenic in situ hybridization (CISH), menggunakan
probe DNA berlabel fluoresen. Teknik ini, dikenal sebagai fluoresensi in situ hybridization (FISH),
awalnya menggunakan probe DNA fluorophore tunggal3. Perbaikan dalam teknik sitogenetik selama
30 tahun terakhir telah memungkinkan deteksi yang semakin sensitif terhadap kelainan kromosom
pada keganasan hematologi. Salah satu kemajuan yang paling signifikan dalam diagnostik
sitogenetika leukaemia adalah penggunaan interphase FISH. Ketersediaan probe komersial berkualitas
baik untuk karakteristik gen fusi pada leukemia berperan dalam kesuksesan ini4.

Sekarang kita memasuki era genom dari microarray genomic resolusi tinggi dan komparasi
hibridisasi genom1. Pada abad ke-21 ini, sitogenetika klinis dalam persimpangan jalan karena
perkembangan teknologi diagnostik yang semakin maju sehingga mengaburkan perbedaan antara
genetika molekuler dan analisi sitogenetika3.

6
Teknik sitogenetika

Sitogenetika konvensional

Analisis sitogenetika konvensional merupakan prosedur rutin dalam mendeteksi kelainan


kromosom baik dalam jumlah maupun struktur.

Pengambilan dan penyimpanan spesimen

Sumsum tulang merupakan spesimen terbaik untuk analisis kromosom. Pengambilan 1-2 ml
aspirasi sumsum tulang cukup memadai dalam banyak kasus; akan tetapi jumlah sampel yang lebih
sedikit dapat diterima jika sumsum tulang hiperseluler. Jika aspirasi sumsum tulang tidak dapat
diperoleh, biopsi sumsum tulang dapat digunakan. Pada pasien dengan jumlah leukosit lebih dari
10.000 x 109/L dan setidaknya 10% sel blas, kultur spesimen darah tepi tanpa phytohemagglutinin
(PHA) dapat digunakan. Phytohemagglutinin akan merangsang pembelahan sel normal yang
berpotensi mengganggu analisis pembelahan sel kanker yang spontan. Untuk limfoma digunakan
spesimen kelenjar getah bening3,9,10.

Heparinisasi segera pada sampel aspirasi sumsum tulang sangat penting, karena adanya
bekuan dapat mempersulit memprosesan spesimen dan mungkin, dalam kasus yang ekstrim, membuat
sampel tidak dapat digunakan untuk analisis sitogenetika7. Pengiriman spesimen aspirasi sumsum
tulang harus dalam wadah steril yang mengandung pengawet -free sodium heparin, medium kultur
jaringan seperti RPMI 1640 dilengkapi dengan heparin, atau Hank’s balanced salt solution (HBSS)
yang mengandung heparin. Jika ada kemungkinan keterlambatan dalam pengiriman, spesimen harus
disimpan dalam media kultur jaringan yang steril untuk menjaga kelangsungan hidup sel. Sampel
dapat disimpan pada suhu 4oC selama tidak lebih dari 3 hari. Semakin lama penundaan semakin besar
kemungkinan hasil negatif palsu. Spesimen dengan angka leukosit yang tinggi dan spesimen ALL
sangat rentan dan harus segera diproses tanpa penundaan 3.

Pemprosesan spesimen dan kultur jaringan

Kultur jaringan yang baik membutuhkan kepadatan sel yang optimal, untuk spesimen
sumsum tulang adalah sekitar 10 6/mL sel. Untuk menentukan pengenceran yang tepat harus
memastikan kepadatan sel, ada dua metode yang umum digunakan. Pertama, hemositometer dapat
digunakan untuk menghitung jumlah sel, dan yang kedua menggunakan jumlah leukosit untuk
menentukan jumlah tetes suspensi sumsum tulang untuk ditambahkan dalam 10 mL media kultur
jaringan. Pengetahuan tentang gejala klinis dan diagnosis yang dicurigai sangat membantu dalam
menentukan tipe dan jumlah kultur yang harus dibuat3,9.

7
Pemanenan kultur, pembuatan dan pengecatan preparat

Pemanenan spesimen membutuhkan kultur dalam mitotic spindle inhibitor, seperti Colcemid
(0,05 mg/ml) untuk mengumpulkan kromosom dalam tahap metafase, kemudian menambahkan
larutan hipotonik (0,075 M KCl), dan inkubasi pada 37◦C selama 10-15 menit. Kemuadian diikuti
dengan beberapa langkah fiksasi menggunakan larutan metanol : asam asetat glasial (3:1). Dengan
tiap langkah fiksasi, pelet sel "dibersihkan," untuk memastikan suspensi sel yang optimal dengan
sedikit atau tanpa latar belakang pada saat preparat dibuat. Setelah 4-5 langkah fiksasi, sel disuspensi
kembali ke dalam larutan fiksatif dan dapat disimpan pada suhu -20◦C3,10.

Teknik pembuatan preparat bervariasi untuk masing-masing laboratorium. Tujuannya adalah


untuk membuat preparat dengan kromosom yang menyebar sehingga dapat dianalisis dengan baik.
Pembersihan slide dengan etanol 95% sebelum pembuatan preparat membantu pembuatan preparat
yang merata sehingga meningkatkan kualitas preparat. Selain itu, kelembaban optimal (45-55%) dan
suhu lingkungan (70-75◦F) juga penting3.

Berbagai macam cat dapat digunakan untuk memvisualisasi kromosom di bawah


mikroskop10:

 Q-banding

Teknik ini tidak membutuhkan perlakuan awal akan tetapi membutuhkan mikroskop
fluoresensi. Caspersson dkk (1970) menemukan salah satu dari teknik banding yang pertama,
yaitu pengecatan kromosom menggunakan fluorokrom seperti quinacrine mustard
orquinacrine dihydrochloride7.

 G-banding

G-bands dihasilkan dari pengecatan kromosom menggunakan Giemsa. Sebelum dilakukan


pengecatan, kromosom terlebih dahulu dipaparkan dengan senyawa (biasanya tripsin), yang
mengubah struktur protein. Ini merupakan metode banding yang paling banyak digunakan,
karena metode ini mempunyai resolusi yang lebih baik dibandingkan Q-banding, permanen
dan tidak membutuhkan mikroskop fluorensen7.

 R-banding

R-bands merupakan kebalikan dari G-bands. Modifikasi metode dari Dutrillaux dan Lejeune
(1971) membutuhkan denaturasi panas pada Earle’s balanced salt solution (87ºC),
merupakan metode yang banyak digunakan7.

8
 C-banding

C-bands mengidentifikasi regio heterokromatik dari kromosom. Metode asli oleh Arrighi dan
Hsu (1971) melibatkan perlakuan slide dengan asam klorida 0.2 N hydrochloric acid diikuti
RNAse dan natrium hidroksida7

 T-banding

Metode ini mengecat regio telometrik (akhir) dari kromosom. Dutrillaux (1973), untuk
menghasilkan T-bands memperlakukan slide buffer fosfat atau larutan Earle’s balanced salt
kemudian dicat menggunakan larutan mixed Giemsa7

Pada tahap metafase dari siklus sel, kromosom memadat sehingga gambaran kromosom
secara detail dapat dikenali. Gambaran Kromosom ditandai dengan ukuran, posisi sentromer, dan pola
pita3. Prosedur standar untuk menganalisa kromosom adalah topografi (atau digitalisasi di computer)
seluruh apusan metaphase, memotong kromosom satu per satu (manual atau secara digital) dan
meyusun kromosom sesuai standar kariotipe dimana setiap kromosom homolog dipasangkan dan
disusun berurutan10.

Panduan analisis mikroskopik sumsum tulang

Pada sebagian besar kasus, sel-sel normal dan ganas akan ada dalam spesimen. Tujuannya,
oleh karena itu, adalah untuk mengidentifikasi sel-sel ganas yang berpotensi membawa satu atau lebih
kelainan kromosom. Dalam menganalisis berdasarkan proporsi sel normal dan abnormal diperlukan
perhatian khusus, karena juga dipengaruhi oleh kondisi kultur sel serta kesalahan pengambilan
sampel3.

Analisis kromosom memerlukan pemeriksaan 20 sel metafase. Suatu kelainan klonal


sebagaimana dimaksud dalam An International System of Human Cytogenetic Nomenclature (ISCN)
2009 terdiri dari dua atau lebih sel dengan penambahan kromosom yang sama atau penataan ulang
struktur, atau tiga sel dengan delesi kromosom yang sama. Jika kelainan sel tunggal diidentifikasi,
proses tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai klonal; Namun, jika abnormalitas itu merupakan
karakteristik yang berhubungan dengan gangguan hematolymphoid tertentu atau diamati pada pasien
yang menunjukkan hal itu sebagai bagian dari klon abnormal dari analisis sebelumnya, diperlukan
pemeriksaan lebih lanjut3.

Nomeklatur kariotipe dan sitogenetika

Kariotipe adalah nomenklatur normal dimana kromosom ditata secara berpasangan (homolog)
secara sistematik untuk mendeskripsikan kromosom normal atau abnormal7 atau gambar representasi

9
dari 46 kromosom dalam setiap sel (Gambar 1). Kromosom diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan
posisi sentromer menjadi tujuh kelompok. Dalam masing-masing kelompok, homolog kromosom
individu dipasangkan satu sama lain berdasarkan pola pita yang sama3. Kromosom mempunyai lengan
pendek yang disebut p dan lengan panjang yang disebut q, yang dipisahkan oleh sentromer. Dalam
menunjukan posisi pita tertentu, empat item harus ada: nomor kromosom, simbol lengan, nomor
region, dan nomor pita dalam region. Sebagai contoh 1q23 berarti kromosom nomer 1, lengan panjang
regio 2 dan pita 32.

Gambar1. Kariotipe sumsum tulang normal3

Upaya pertama untuk standarisasi nomeklatur kromosom adalah usulan Standard System of
Nomenclature of Human Mitotic yang dipresentasikan pada Konferensi Denver tahun 1960,
sedangkan revisi terbaru dari ICSN tahun 2009 baru dipublikasikan3.

Kelainan kromosom terdiri dari dua jenis, numerik dan struktural. Jumlah kromosom normal
adalah 46, disebut sel diploidi. Jika lebih atau kurang dari 46 kromosom, sel ini disebut aneuploidi.
Jika lebih dari 46 kromosom, disebut hiperdiploidi; jika kurang dari 45 kromosom, disebut
hipodiploidi. Tambahan kromosom ini disebut trisomi, sementara kehilangan kromosom disebut
monosomi. Hal ini digambarkan dalam disain kariotipe sebagai "+" atau "-”3,2.

Kelainan struktural digambarkan dari jenis kelainan dan breakpoints yang terlibat.
Breakpoints dapat terletak dalam sebuah pita kromosom atau di persimpangan antara dua pita
kromosom. Sebuah pita kromosom adalah bagian dari kromosom yang dapat jelas dibedakan dari
segmen yang berdekatan yang mungkin terang atau lebih gelap tergantung pada teknik banding.
10
Setiap pita, pada resolusi yang lebih baik, dibagi lagi menjadi sub pita. Pita dan sub pita diberi nomor
sesuai letaknya dari sentromer3.

Tabel1. Kelainan kromosom struktural pada keganasan3


Tipe kelaian Perubahan
Translokasi Pertukaran dua segmen kromosom distal dari breakpoint pada ke
dua kromosom; dapat seimbang maupun tidak seimbang.
Inversi Inversi 180o dari segmen kromosom antara dua breakpoint
Perisentrik: breakpoint pada lengan p dan q
Parasentri: kedua breakpoint pada lengan yang sama
Delesi Hilangnya segmen kromosom
Terminal – hilangnya segmen distal dari breakpoint tunggal
Intersisial – hilangnya segmen antara dua breakpoint
Add Kromosom dengan penambahan segmen kromosom
Isokromosom Lengan kromosom identik dengan sentromer tunggal

Adanya kelainan klon multipel, buruknya kualitas metafase dan indek mitosis yang rendah
merupakan masalah utama dalam analisis sitogenetika konvensional untuk keganasan hematologi.
Akibatnya, proporsi yang signifikan (15% -20%) dari kariotipe sumsum tulang pada pasien leukemia
dilaporkan sebagai tidak ada kelainan dengan analisis sitogenetika konvensional. Untuk mengatasi
keterbatasan ini dan untuk mengidentifikasi perubahan submikroskopik, FISH dikembangkan11.

Analisis Sitogenetika molekuler

Prinsip dasar Fluorescence In Situ Hybridization (FISH)

Analisis sitogenetika konvensional dari sumsum tulang atau kultur darah leukemia
memungkinkan penentuan kelainan kromosom dalam tingkat genom; Namun, kadang-kadang
terhambat oleh indek mitosis yang rendah, morfologi kromosom yang jelek, kompleksitas kariotipe,
dan normal kariotipe. Fluoresensi in situ hybridization dapat mengatasi masalah ini dengan menarget
sekuens asam nukleat spesifik dengan cepat dan sensitif3.

Salah satu kemajuan terbesar teknik FISH adalah kemampuan untuk menggunakan sel yang
tidak membelah sebagai target (interfase FISH), yang memungkinkan untuk identifikasi kelainan
kromosom numerik dan struktural dalam sejumlah besar inti sel. Interfase FISH adalah metode pilihan
untuk mendeteksi sisa penyakit pada pasien dengan keganasan hematologi atau setelah transplantasi
sumsum tulang alogenik12,11.

Prinsip dasar FISH adalah molekul DNA untai tunggal akan mengenali dan mengikat urutan
komplementer pada kromosom metafase atau interfase inti sel. Probe dan DNA target dimasukan
dalam larutan formamida panas untuk mendenaturasi DNA untai ganda, diikuti oleh penempelan
probe pada DNA terget dan inkubasi pada 37◦C. Selama proses inkubasi, terjadi penempelan probe ke
DNA target sesuai pasangan basa komplementernya. Sebuah mikroskop fluoresensi dilengkapi

11
dengan filter yang sesuai kemudian digunakan untuk mendeteksi probe hibridisasi pada target, sinyal
yang muncul berwarna cerah3,2,11,10,7.

Indikasi klinis FISH pada keganasan hematologi

Indikasi umum FISH pada keganasan hematologi meliputi berikut: (1) konfirmasi kelainan
kromosom yang terdeteksi sitogenetika konvensinal dan penetapan pola sinyal FISH untuk memantau
perkembangan penyakit, (2) deteksi kelainan kromosom ketika gejala klinis dan morfologi sugestif
kelainan kromosom spesifik [misalnya, t (11; 14) dalam limfoma sel mantel], (3) karakterisasi
penyimpangan genetik menggunakan panel probe spesifik penyakit untuk stratifikasi risiko dan
manajemen terapi, seperti pada limfoblastik akut leukemia (ALL), leukemia limfositik kronis (CLL),
dan sel plasma mieloma (PCM), (4) deteksi translokasi samar atau bertutupi ketika analisis kromosom
tidak meyakinkan atau menghasilkan kariotipe normal [seperti t(12; 21 ) pada ALL atau t(4; 14) pada
mieloma], (5) deteksi limfoma terkait translokasi pada jaringan parafin, (6) kuantisasi penyakit
residual minimal dan deteksi remisi dan kambuh sitogenetik melalui analisis dari sejumlah besar sel
baik yang membelah mapupun, (7) deteksi cepat fusi gen PML/RARA pada leukemia promyelocytic
akut, di mana diagnosis cepat diperlukan untuk pengobatan yang tepat 3,13.

Tipe probe FISH yang secara rutin digunakan dalam keganasan hematologi

Ada ke tiga tipe probe yang banyak digunakan dalam klinis: centromere enumeration probes
(CEPs), locus-specific identifier (LSI) probes, dan whole-chromosome paint (WCP) probes3,12.

Gambar2. (A) centromere enumeration probes


(CEPs), (B) whole-chromosome paint (WCP)
probes,( C) locus-specific identifier (LSI)
probes14.

12
Kelebihan FISH adalah dapat (1) dilakukan pada sel metafase atau interfase (sel yang tidak
membelah), (2) menargetkan genetik aberasi yang menujukan gen kandidat yang terlibat dalam
leukemogenesis, (3) menilai penyimpangan kromosom, fenotipe selular, dan morfologi jaringan
secara bersamaan menggunakan jaringan parafin, (4) mendetekti kelainan secara cepat, sangat
spesifik, sensitif, dan reprodusibel secara objektif, (5) secara simultan menilai beberapa target genom,
(6) memberikan resolusi superior (interfase FISH> 20 kb, metafase FISH> 100 kb) dibandingkan
dengan sitogenetika konevensional (> 10 Mb), dan (7) mendeteksi kelainan kromosom samar tertentu.
Sedangkan keterbatasan FISH adalah sebagai berikut: (1) ketidakmampuannya untuk memberikan
penilaian kromosom secara umum; (2) diperlukan informasi klinis atau diagnosis banding untuk
memandu penentuan probe yang akan digunakan, dan (3) diperlukan untuk mikroskop fluoresensi
berkualitas tinggi dengan beberapa filter, kamera CCD yang dapat mendeteksi emisi cahaya rendah,
dan perangkat lunak pencitraan yang canggih3.

Keganasan hematologi

French American British (FAB) mengusulkan skema klasifikasi keganasan mieloid dan
limfoid menjadi subkelompok yang bermakna pada tahun 1976, yang terutama berdasarkan pada
morfologi jaringan. Revised European–American Classification of Lymphoid Neoplasms (REAL) pada
tahun 1994 memperluas dasar klasifikasi keganasan limfoid dengan memasukkan morfologi,
imunologi, dan genetik; gejala klinis dan perjalanan penyakit. Pada tahun 1997, Organisasi Kesehatan
Dunia (WHO) merilis edisi pertama: klasifikasi berdasarkan kombinasi morfologi dan sitogenetik.
Edisi terbaru (edisi ke-4) diterbitkan pada tahun 2008 mengkategorikan keganasan hematolymphoid
berdasarkan gambaran klinis dan biologis, morfologi, imunofenotipe, kelainan sitogenetik, dan mutasi
genetik molekuler3.

Tabel2. Peran sitogenetika dalam keganasan hematologi15

13
Chronic Myeloproliferative Diseases (MPDs)

Sampai sekarang, selain CML, tidak ada kategori dalam grup ini yang mempunyai perubahan
genetic spesifik; akan tetapi aktivasi jalur sinyal transduksi tirosin kinase sering dikaitkan dengan
patogenesisnya1.

 Chronic Myelogenous Leukemia (CML)

Dalam klasifikasi WHO, kriteria diagnostik untuk CML adalah adanya kromosom
"Philadelphia" (Ph) penataan ulang [t (9;22) (Q34; q11.2)], melibatkan Breakpoint Cluster
Region dan Ableson onkogen (BCR dan ABL1). Pada saat diagnosis, sekitar 90-95% pasien
CML ditemukan kromosom Philadelphia. Meskipun keterlibatan kromosom 9 atau kromosom
22 mungkin tersembunyi dan kariotipe terlihat normal ("Ph negatif CML"), gen BCR/ABL1
hibrid selalu ada (jika tidak, penyakit bukan CML)1. Dengan ditemukannya BCR-ABL1
tyrosine kinase inhibitors (TKIs), maka selain sebagai penanda diagnosis, kromosom Ph juga
dapat digunakan untuk memantau respon terapi. Kategori respon berdasarkan sitogenetika
adalah respon sitogenetika minimal, dengan ditemukan 36% sampai 95% kromosom Ph;
respon sitogenetika parsial, dengan ditemukan 1% sampai 35% kromosom Ph; respon
sitogenetika mayor, dengan ditemukan 0% sampai 35% kromosom Ph; dan respon
sitogenetika sempurna dengan ditemukan 0% kromosom Ph2,16,17.

Gambar 3. Pasien CML dengan kromosom Ph yang tertutupi. Analisis FISH memperlihatkan
adanya fusi gen BCR dan ABL1 pada kromosom 22. Probe BCR/ABL dual color, dual
fusion – merah: sinyal terlihat pada kromosom 9q34, hijau: pada kromosom 22q11.25.
14
 Chronic Neutrophilic Leukemia (CNL)

Tidak adanya kromosom Philadelphia merupakan kriteria diagnostik untuk CNL. Bila
ada translokasi BCR / ABL1, bahkan dalam bentuk chimeric atau samar, diagnosis CNL tidak
dapat ditegakkan dan kasus ini harus dianggap CML. Kelainan yang paling sering adalah
trisomi kromosom 8 dan 9 dan delesi kromosom 22q dan 11q1.

Myelodysplastic/Myeloproliferative Diseases

Sampai sekarang tidak ada kelainan genetik spesifik pada kelompok penyakit ini. Ada
beberapa kelainan kromosom berulang, tetapi tidak spesifik dan terlihat pada beberapa kelainan yang
hampir sama1.

 Chronic Myelomonocytic Leukemia

Leukemia kronis myelomonocytic (CMML) adalah gangguan klonal yang ditandai


dengan persisten monositosis dengan blas <20%, displasia, dan tidak adanya kromosom
Philadelphia. Pada sekitar 20-40% kasus ditemukan abnormalitas klonal1.

 Atypical Chronic Myeloid Leukemia (aCML)

Salah satu kriteria diagnostik aCML adalah tidak adanya kromosom Philadelphia.
Sekitar 80% dari pasien aCML memiliki kelainan kromosom. Kelainan sitogenetika dalam
gangguan ini termasuk trisomi kromosom 8 dan 13, delesi kromosom 20q dan 12p, dan
isokromosome17q. Karena tidak ada translokasi kromosom yang spesifik, diagnosis biasanya
dibuat berdasarkan gambaran sumsum tulang dengan tambahan pemeriksaan sitogenetika dan
pemeriksaan lainnya1.

 Juvenile Myelomonocytic Leukemia(JMML)

Kriteria diagnostik JMML termasuk monositosis perifer lebih dari 10 9 sel/L, blas,
termasuk promonosit, <20%, tidak adanya kromosom Philadelphia. Sebagian besar kasus
JMML menunjukkan adanya bukti kelainan kromosom klonal. Saat ini, tidak ada kelainan
sitogenetika atau lesi genetik yang spesifik untuk JMML, tetapi sitogenetika membantu dalam
menegakkan diagnosis dan digunakan sebagai penanda untuk memantau perkembangan
pasien. Kelainan sitogenetik yang paling umum adalah monosomi 7, yang terlihat pada sekitar
30-40% pasien1.

15
Myelodysplastic Syndromes (MDS)

Gejala klinis, pemeriksaan hematologi, histopatologi dan sitogenetika konvensional penting


untuk mendiagnosis, mengklasifikasi dan menentukan prognosis MDS. Pada saat ini, kariotipe
merupakan faktor paling penting dalam menentukan prognosis MDS. Hampir semua system
prognostic, the International Prognostic Scoring System (IPSS) 4 dan the World Health Organization
classification based Prognostic Scoring System (WPSS) 16 membutuhkan pemeriksaan sitogenetika
untuk menentukan risiko. Kelaianan kromosom yang paling umum adalah delesi interstitial
kromosom 5 (5q), ditemukan pada sekitar 15% kasus, dan 8 dengan del(7q) / monosomi 7 (sekitar
10%) dan trisomi 8 (sekitar 10%)1,18,16.

Gambar 4. Distribusi kelainan sitogenetika pada MDS18.

Tabel 3. Abnormalitas kariotipe penting sebagai penanda prognostic pada MDS 18


Subgroup Abnormalitas sitogenetika Fre- Median Progresifitas HR
prognostik kuen- survival ke AML OS AML
si % (thn) (thn)
Sangat baik -Y, del(11q) 4 5.4 NR 0.7 0.4
Baik Normal, del(5q), del(12q), del(20q) 72 4.8 9.4 1 1
Intermediet del(7q), +8, +9, i(17q) 13 2.7 2.5 1.5 1.8
Jelek -7, inv (3) atau t(3q) atau del(3q) 4 1.5 1.7 2.3 2.3
Sangat jelek Komplek (>3 abnormalitas) 7 0.7 0.7 3.8 3.6
Berdasarkan IPSS-R
NR: not reach; OS: overall survival

16
Acute Myeloid Leukemia (AML)

Secara sitogenetika, AML adalah penyakit yang sangat heterogen, dengan lebih dari 160
kelainan kromosom struktural berulang. Kelainan sitogenetika pada AML dapat diklasifikasikan ke
dalam kelainan primer dan sekunder. Kelainan kromosom primer sering ditemukan sebagai kelainan
kariotipe tunggal dan sering dikaitkan dengan AML subtipe tertentu. kelainan kromosom sekunder
tampaknya memainkan peran penting dalam progresifitas penyakit, tetapi jarang ditemukan sebagai
kelainan tunggal1.

Analisis sitogenetika konvensional merupakan pemeriksaan wajib dalam mendiagnosis pasien


dengan dugaan leukemia akut. Sekitar 45% dari leukemia akut memiliki kariotipe normal dengan
perubahan kromosom berulang, dan sekitar 15% memiliki 3 atau lebih kelainan sitogenetika (kariotipe
kompleks). Kelainan sitogenetika merupakan indikator prognostik yang sangat penting dan
mengklasifikasikan menjadi 3 kelompok risiko umum: favorable, intermediate, dan adverse.
Kelompok risiko favorable termasuk acute promyelocytic leukemia dengan t(15; 17). Kasus dengan t
(9; 11) berkaitan dengan risiko intermediate, bersama dengan kasus yang dengan tambahan atau
hilangnya seluruh kromosom Y. Kelompok risiko adverse termasuk t(6; 9), inv(3)/t(3, 3), dan
kariotipe kompleks. Kasus dengan beberapa abnormalitas cenderung diamati dengan pasien yang
lebih tua dan memiliki prognosis yang sangat buruk19, 20.

Klasifikasi WHO:

 Acute myeloid leukemia dengan abnormalitas genetika berulang

o AML dengan t(8;21)(q22;q22) (AML1atau CBFα/ETO) (sering FAB M2)

o AML dengan abnormal eosinofil; inv(16)(p13q22) atau t(16;16)(p13;q22)


(CBFβ/MYH11) (sering FAB M4EO)

o Acute promyelocytic leukemia ([AML dengan t(15;17)(q22;q12)(PML/RARA) dan


varian] (FAB M3).

o AML dengan abnormalitas 11q23 (MLL)

 Acute myeloid leukemia with multilineage dysplasia: abnormalitas kromosom pada subtype
ini hampir sama dengan yang ditemukan pada MDS dan sering melibatkan penambahan atau
delesi segmen mayor pada kromosom tertentu.

 Acute myeloid leukemia dan myelodysplastic syndrome atau therapy-related AML:


Abnormalitas klonal sitogenetika banyak terlihat pada subkelompok ini. Abnormalitas pada

17
kelompok ini mirip dengan yang terlihat pada AML dengan displasia multilineage, MDS,
sitopenia refraktori dengan displasia multilineage, atau anemia refraktori. Penyimpangan yang
umum adalah translokasi atau delesi tidak seimbang yang melibatkan kromosom 5 dan / atau
7, dengan hilangnya semua atau sebagian dari lengan panjang kromosom ini.

 Acute myeloid leukemia not otherwise characterized: Dasar utama klasififikasi dalam kategori
ini adalah gambaran sumsum tulang dan sitogenetika dari sel leukemia dan derajat
maturitasnya1.

Precursor B-Cell dan T-Cell Neoplasms

Gambar dibawah berasal dari data karyotipe yang dikumpulkan dari lebih dari 4000 anak dan
dewasa pasien yang termasuk dalam ALL treatment trial di Inggris masuk ke Inggris. Hal ini
menunjukkan bahwa abnormalitas tertentu bervariasi sesuai dengan usia. Tingginya kasus dengan
penyusunan ulang yang melibatkan gen MLL pada bayi dan proporsi ALL dengan kromosom Ph
signifikan lebih tinggi pada orang dewasa serta hubungan abnormalitas ini dengan prognosis buruk
pada kelompok usia tersebut sudah banyak diketahui. Gambar ini juga memperlihatkan dominasi
abnormalitas sebagai faktor risiko baik: hiperdiploidi tinggi dan translokasi, t(12;21)(p13;q22); di
antara pasien muda, sementara pasien dengan translokasi iAMP21 dan IGH cenderung anak yang
lebih tua dan remaja8.

Gambar 5. Distribusi abnormalitas sitogenetika pada ALL berdasarkan umur. HeH: hiperploidi8.

18
Ploidi merupakan penanda prognostik penting pada ALL. Hyperdiploidi, terutama trisomi
kromosom 4, 10, dan 17 (disebut “triple trisomy”), berhubungan dengan prognosis yang baik. Tingkat
ketahanan hidup meningkat hingga di atas 90% pada pasien dengan penanda sitogenetika ini ditambah
dengan gambaran klinis yang baik lainnya. Di sisi lain, hampir ploidi dan hipodiploidi berhubungan
dengan keluaran yang buruk dan mengurangi tingkat ketahanan hidup turun hingga 20-30%21,8,22,16.

Abnormalitas kromosom structural, khusunya translokasi kromosom berulang tertentu


berhubungan dengan prognosis baik atau buruk. Kromosom Ph pada ALL sampai saat ini dikaitkan
dengan keluaran yang buruk, tapi dengan kemoterapi intensif dan obat Imatinib Mesylate (dipasarkan
oleh Novartis sebagai Gleevec / Glivec) tingkat kesembuhan telah meningkat hingga 87% 21,22.

 Precursor B-Cell Acute Lymphoblastic Leukemia/Lymphoma

Abnormalitas sitogenetika pada precursor B-cell lymphoblastic leukemia/lymphoma terbagi


dalam kelompok sebagai berikut:

o Hipodiploidi

o Hiperdiploidi dengan <50 kromosom

o Hiperdiploidi dengan >50 kromosom

o Translokasi

 t(9;22)(q34;q11.2); BCR/ABL1

 t(variable;11q23); MLL rearranged

 t(12;21)(p13;q22); TEL/AML1

 t(1;19)(q23;p13.3); PBX/E2A

o Pseudodiploidi1

Tabel 4. Implikasi prognostik abnormalitas genetika pada precursor B lymphoblastic leukemia anak1
Sitogenetika Perubahan genetika Frekuensi (%) Prognosis
t(9;22)(q34;q11.2) BCR/ABL1 3-4 Unfavorable
t(4;11)(q21;q23)a Af4/MLL 2-3 Unfavorable
t(1;19)(q23;p13.3) PBX1 (PBX1/E2A) 6 (25% pre B-ALL) unfavorableb
c
t(12;21)(p13;q22) TEL/AML1 16-29 Favorable
Hiperploidi >50 20-25 Favorable
Hipoploidi 5 Unfavorable
a
prototype translokasi 11q23 pada precursor B-ALL; translokasi lain mungkin berhubungan dengan
gen MLL
b
tidak semuanya unfavorable dengan terapi
c
terdeteksi dengan pemeriksaan smolekular
19
o Precursor T-Lymphoblastic Leukemia/Lymphoblastic Lymphoma

Abnormalitas sitogenetika pada T-ALL and T-LBL lebih jarang ditemukan daripada
B-ALL. Kira-kira hanya 70% kasus T-ALL dengan kelainan kromosom dan tidak seperti pada
B-ALL, untuk T-ALL/LBL, abnormalitas sitogenetika tidak berguna untuk menentukan
risiko maupun prognosis1,8.

Mature B-Cell Neoplasms

Beberapa mature B-cell neoplasms memiliki karakteristik kelainan genetik yang sangat
berguna dalam diagnosis banding. Penyimpangan ini termasuk t(11;14)(q13;q32) pada mantle cell
lymphoma, t(14;18)(q32;q21) pada limfoma folikular, t(8;14)(q24;q32) pada limfoma Burkitt, dan
t(11;18)(q21;q21) pada limfoma MALT1.

Multiple Myeloma (MM)

Multiple myeloma adalah penyakit heterogen dengan perjalanan penyakit serta respon
terhadap terapi yang bervariasi. Multiple myeloma adalah keganasan sel plasma dengan
ketidakstabilan sitogenetik dan mekanisme molekuler yang mendasari perkembangannya MM belum
sepenuhnya dipahami. Multiple myeloma secara kasar dapat dibagi menjadi dua berdasarkan
abnormalitas genetikanya, tumor nonhiperdiploidi yang sering memiliki translokasi kromosom yang
melibatkan lokus rantai berat immunoglobulin (IGH), dan tumor hiperdiploidi yang memiliki
prevalensi translokasi IGH lebih rendah dan, secara umum, memiliki prognosis lebih baik16.

KESIMPULAN

Abnormalitas kromosom yang didapat merupakan penyebab molekular utama keganasan


hematologi. Delesi, translokasi, amplifikasi yang merupakan perubahan klonal dalam kariotipe dapat
terdeteksi pada sebagian besar kasus keganasan hematologi. Teknik sitogenetika seperti sitogenetika
konvensional dan FISH masih merupakan baku emas dalam mendeteksi abnormalitas tersebut. Pada
abad XXI ini, tatalaksana keganasan hematologi seharusnya menggabungkan berbagai pemeriksaan
mulai dari gambaran klinis, gambaran sumsum tulang, immunophenotyping dan analisis sitogenetika
baik konvensional maupun molekular sesuai dengan panduan WHO sehingga tatalaksananya dapat
dilakukan secara komprehensif dan semakin mendekatkan kita pada masa personalised and targeted
theraph5.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Gersen SL, Keagle MB. The Principles of Clinical Cytogenetic. 2nd ed. Totowa, NJ: Humana
Press Inc; 2005.

2. Hardi F, Sudoyo AW. Cytogenetics in oncology : From hematologic malignancies to solid


tumors. Med J Indones. 2009;18(1):69–75.

3. Micale MA. Classical and Molecular Cytogenetic Analysis of Hematolymphoid Disorders. In:
Crisan D, editor. Hematopathology: Genomic Mechanisms of Neoplastic Diseases [Internet].
Totowa, NJ: Humana Press; 2011 [cited 2015 Jan 12]. p. 39–79. Available from:
http://link.springer.com/10.1007/978-1-60761-262-9

4. Kearney L, Horsley SW. Molecular cytogenetics in haematological malignancy: current


technology and future prospects. Chromosoma [Internet]. 2005 Sep [cited 2015 Jan
12];114(4):286–94. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16003502

5. Mały E, Nowak J, Januszkiewicz-Lewandowska D. Cytogenetics in Hematooncology. In:


Tirunilai PP, editor. Recent Trends in Cytogenetic Studies. InTech; 2012. p. 57–70.

6. Smeets DFCM. Historical prospective of human cytogenetics : from microscope to microarray.


Clin Biochem. 2004;37:439–46.

7. Ponnuraj KT. Cytogenetic Techniques in Diagnosing Genetic Disorders. In: Ikehara DK,
editor. Advances in the Study of Genetic Disorders [Internet]. 2011. Available from:
http://www.intechopen.com/books/advances-in-the-study-of-genetic-disorders/cytogenetic-
techniques-in- diagnosing-genetic-disorders

8. Harrison CJ. Cytogenetics of paediatric and adolescent acute lymphoblastic leukaemia. Br J


Haematol [Internet]. 2009 Jan [cited 2015 Jan 23];144(2):147–56. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19006567

9. Swansbury J. Cytogenetic Studies in Hematologic Malignancies. Methods in Molecular


Biology: Cancer Cytogenetics: Methods and Protocols [Internet]. 2003. p. 9–23. Available
from: http://www.springer.com/978-1-58829-080-9

10. Moore CM, Best RG. Chromosome Preparation and Banding. Encyclopedia of Life sciences
[Internet]. 2001;1–7. Available from: www.els.net

11. Kolialexi A, Tsangaris GTH, Kitsiou S, Kanavakis E, Mavrou A. Impact of Cytogenetic and
Molecular Cytogenetic Studies on Hematologic Malignancies. Anticancer Res.
2005;2984:2979–83.

12. Vorsanova SG, Yurov YB, Iourov IY. Human interphase chromosomes : a review of available
molecular cytogenetic technologies. Mol Cytogenet. 2010;3(1):1–15.

13. Charles Ming-Lok Chan EP-TL. Clinical Applications of Molecular Technologies in


Hematology. J Med Diagnostic Methods [Internet]. 2013 [cited 2015 Feb 2];02(04):2–7.
Available from: http://www.omicsgroup.org/journals/clinical-applications-of-molecular-
technologies-in-hematology-2168-9784.1000130.php?aid=18953

21
14. Najfeld V. Conventional and Molecular Cytogenetic Basis of Hematologic Malignancies.
Hematology ed 6th [Internet]. Sixth Edit. Elsevier Inc.; p. 728–80. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-4377-2928-3.00054-X

15. Haematology G, Force T, Members WP, Haematology C, Force T. The role of cytology ,
cytochemistry , immunophenotyping and cytogenetic analysis in the diagnosis of
haematological neoplasms. Clin Lab Haem. 1996;18:231–6.

16. Simons A, Sikkema-Raddatz B, de Leeuw N, Konrad NC, Hastings RJ, Schoumans J.


Genome-wide arrays in routine diagnostics of hematological malignancies. Hum Mutat
[Internet]. 2012 Jun [cited 2015 Jan 29];33(6):941–8. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22488943

17. Brien SO, Radich JP, Abboud CN, Akhtari M, Altman JK, Berman E, et al. Chronic
Myelogenous Leukemia, Version 1.2014: Featured Updates to the NCCN Guidelines. J Natl
Compr Canc Netw. 2013;11(11):1327–40.

18. Nybakken GE, Bagg A. The Genetic Basis and Expanding Role of Molecular Analysis in the
Diagnosis , Prognosis , and Therapeutic Design for Myelodysplastic Syndromes. J Mol
Diagnostics [Internet]. American Society for Investigative Pathology and the Association for
Molecular Pathology; 2014;16(2):145–58. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.jmoldx.2013.11.005

19. Betz BL, Hess JL. Acute Myeloid Leukemia Diagnosis in the 21st Century. Arch Pathol Lab
Med. 2010;134:1427–33.

20. Dohner H, Estey EH, Amadori S, Appelbaum FR, Bu T, Burnett AK, et al. Review article
Diagnosis and management of acute myeloid leukemia in adults : recommendations from an
international expert panel , on behalf of the European LeukemiaNet. Blood J.
2010;115(3):453–75.

21. Szychot E, Brodkiewicz A. How Have Advances in Our Understanding Leukaemia Led to
Improved Targeted Therapies. Adv Clin Exp Med. 2014;23(3):469–74.

22. Faderi S, Kantarjian HM, Talpaz M, Estrov Z. Clinical Significance of Cytogenetic


Abnormalities in Adult Acute Lymphoblastic Leukemia. J Am Soc Hematol.
1998;91(11):3995–4019.

22

View publication stats

You might also like