Professional Documents
Culture Documents
413 1 1313 1 10 20190628
413 1 1313 1 10 20190628
e-ISSN/p-ISSN: 2615-7977/2477-118X
DOI: https://doi.org/10.32697/integritas.v5i1.413
©Komisi Pemberantasan Korupsi
burhanuddin.muhtadi@uinjkt.ac.id
Abstract
How many voters sell their votes in Indonesia, and how effective is it? Elaborated from a
wide range of survey methods —whether individual, observational, or derived from the list-
experiment, the proportion of voters participating in vote-buying in the 2019 election was
between 19,4% and 33,1%. This range is comparatively high by international standards,
with Indonesia’s level of vote buying being the third largest in the world. Given that the list-
experiment and the straight-forward survey questions result inconsistent findings, it can be
concluded that vote buying is less likely to be stigmatized, and such practice has become a
new normal during the election. This study also finds that Indonesia’s open-list proportional
system shapes the supply-side of vote buying. Under such an electoral system, candidates
are forced to compete against co-partisans for personal votes. And because, according to
the open-list system, a seat (or seats) secured by a party must be allocated to that party’s
candidates who obtained the most individual votes, candidates only need to win a small
slice of the votes to defeat their co-partisans. To do so, they need to differentiate themselves
from their party peers, including by buying votes.
Abstrak
Seberapa banyak politik uang di Indonesia, dan seberapa efektif mempengaruhi pilihan?
Tulisan ini coba menjawab dua pertanyaan penting yang selama ini menghantui para ahli
tentang Indonesia. Dengan menggunakan banyak metode, baik individual, observasional
dan teknik eksperimental, proporsi pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019
di kisaran 19,4% hingga 33,1%. Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar
internasional, dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik
uang terbesar nomor tiga sedunia. Desain eksperimen juga menghasilkan temuan yang
konsisten dengan pertanyaan langsung, sehingga bisa disimpulkan bahwa politik uang
telah menjadi praktik normal baru dalam pemilu kita. Studi ini menegaskan bahwa
sistem proporsional terbuka berkontribusi atas maraknya politik uang karena caleg
dipaksa bertarung antarsesama caleg dalam satu partai untuk mengejar personal vote.
Kemudian karena kursi yang diperoleh partai diberikan kepada kandidat dengan suara
terbanyak, maka mereka hanya memerlukan “sedikit” suara untuk mengalahkan rival
separtainya. Politik uang merupakan mekanisme diferensiasi seorang caleg dalam rangka
memberi nilai lebih di mata pemilih dibanding pesaing internal.
55
Burhanuddin Muhtadi
56
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
akuntabilitas ini berubah arah jika politisi setelah dukungan itu diberikan. Kedua,
telah membeli suara. Bukan politisi yang strategi politik uang grosiran, kolektif dan
berhak untuk dimintai lebih bersifat jangka panjang dengan
pertanggungjawaban atas suara yang menyalahgunakan kebijakan programatik
diberikan pemilih, tapi pemilihlah yang seperti bantuan sosial atau hibah maupun
justru dimintai pertanggungjawabannya dana pork barrel untuk kepentingan
karena mereka sudah menukar mandat elektoral.
demokratik yang mereka miliki dengan Secara teoretik, ada beberapa faktor
harga yang murah. yang diduga mempengaruhi tinggi
Fokus tulisan ini adalah praktik rendahnya politik uang. Salah satu faktor
politik uang yang melibatkan politisi dan penting yang dipercaya menyumbang
pemilih dalam pemilu legislatif. Jika insiden politik uang adalah desain
menggunakan estimasi paling tinggi, lebih institusi politik, termasuk sistem
dari sepertiga pemilih pada Pemilu 2019 multipartai ekstrem (van de Walle, 2007).
lalu terpapar praktik jual-beli suara, Sebagaimana kita tahu, Indonesia paska-
sehingga menempatkan Indonesia berada Soeharto, memasuki era multipartai. Pada
di peringkat tiga besar negara yang paling Pemilu Legislatif 2019, 16 partai nasional
banyak melakukan politik uang di dunia. berkompetisi memperebutkan 575 kursi
Politik uang bukan lagi sesuatu yang tabu di tingkat pusat, naik dari 12 partai yang
dalam pemilu dan telah menjadi berlaga di 2014, 38 partai di 2009, 24
normalitas baru (new normal) dalam partai pada 2004 dan 48 partai pada
pemilu paska-Orde Baru. Desain institusi, 1999. Pada saat yang sama, sebagian
terutama sistem proporsional terbuka, besar partai relatif baru tanpa kredibilitas
terbukti menyumbang maraknya insiden politik yang memadai (Vlaicu, 2016).
politik uang. Tulisan ini Secara umum, partai juga tidak memiliki
merekomendasikan evaluasi menyeluruh diferensiasi ideologis, sehingga pemilih
terhadap sistem proporsional terbuka sulit membedakan satu partai dengan
agar praktik politik uang tidak lagi partai yang lain. Akibatnya, perilaku
menjadi rutinitas biasa dalam pemilu- pemilih lebih ditentukan strategi
pemilu di Indonesia ke depan. kampanye personal yang dijalankan calon
ketimbang platform partai.
Penjelasan Institusional. Desain kelembagaan politik lainnya
Secara umum, politik uang dapat yang dianggap berkontribusi terhadap
dipahami sebagai bentuk mobilisasi maraknya jual beli suara adalah sistem
elektoral dengan cara memberikan uang, pemilu. Hicken (2007a: 49) misalnya
hadiah atau barang kepada pemilih agar berpendapat, “all else being equal, where
dicoblos dalam pemilu. Sejumlah studi electoral systems limit voters to a single
merujuk politik uang pada teori distribusi choice among parties, as in closed-list
politik yang dapat dibedakan dalam dua proportional representation systems,
bentuk (Muhtadi, 2018a). Pertama, politik candidates are more likely to rely on party-
uang yang spesifik menunjuk pada centred strategies.” Dalam sistem
strategi retail jual beli suara (vote buying). proporsional tertutup dimana pemilih
Dari segi waktu biasanya dilakukan jelang hanya berhak memilih partai, kandidat
pemilu atau apa yang kita kenal dengan cenderung menggunakan strategi
“serangan fajar.” Kadang dilakukan kampanye berbasis partai. Inilah yang
prabayar sebelum hari-H pemilihan, terjadi pada pemilu 1999 ketika kita
kadang juga dilakukan paska-bayar memakai proporsional tertutup. Agar
57
Burhanuddin Muhtadi
58
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
dalam satu partai. Berdasarkan Exit Poll dan DPRD Kabupaten/Kota, proporsi
LSI pada Pemilu 2009, dari 3685 pemilih yang mencoblos nama kandidat
responden yang diwawancarai secara saja bahkan lebih tinggi, yakni masing-
acak setelah mereka keluar dari TPS, masing mencapai 47,5% dan 52,1%
38,1% responden mencoblos caleg saja (Tabel 2). Jadi semakin rendah level
dan 34,7% memilih partai dan nama pemilu legislatif, caleg cenderung makin
caleg dalam satu partai, sehingga total menggunakan strategi personal vote dan
pemilih yang menunjukkan preferensinya semakin besar kecenderungan pemilih
kepada caleg mencapai 72,8%.6 Pada mencoblos nama caleg ketimbang partai.
Pemilu 2014 yang juga menggunakan Jadi terdapat bukti empiris yang kuat
sistem pemilu yang sama dengan 2009, bahwa penerapan sistem proporsional
KPU menemukan 70% dari total terbuka sejak Pemilu 2009 hingga
124,972,491 suara sah menunjukkan sekarang berkontribusi atas naiknya
preferensinya kepada kandidat dan hanya pengaruh kandidat dalam menentukan
30% yang mencoblos gambar partai saja. hasil akhir pemilu. Naiknya pengaruh
Singkat kata, data menunjukkan tren kandidat dalam merebut suara ini
naiknya preferensi pemilih dalam berkorelasi dengan meningkatnya insiden
mencoblos nama kandidat ketimbang politik uang dari pemilu ke pemilu,
partai saja. seperti yang akan diulas di bagian lain
Survei masif yang dilakukan tulisan ini.
Indikator Politik Indonesia di 56 daerah
pemilihan (dapil) pada Februari 2014 Tabel 2. Personal Votes pada Pemilu Legislatif
dengan total responden mencapai 43510 2014 (%)
juga menunjukkan peran kandidat yang Cara Pemilih DPR DPRD DPRD
makin besar dalam menyumbang suara. Mencoblos Surat Pusat Provinsi Kab/Kota
Survei LSI dan La Trobe University di Suara
59
Burhanuddin Muhtadi
60
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
95% confidence level. Studi ini juga Kedua, pertanyaan dalam tiga skala
menggunakan data pembanding dari yang juga tanpa menyebut eksplisit
survei post-election 2014 yang penulis Pemilu 2019. Pertanyaan yang digunakan:
laksanakan pada 22-26 April 2014 dengan “Kejadian-kejadian berikut ini kadang
metodologi dan pertanyaan yang sama.8 terjadi pada setiap penyelenggaran
Berhubung politik uang selalu pemilu di tanah air. Apakah Ibu/Bapak
diasosiasikan dengan stigma negatif, pernah ditawari uang atau barang agar
maka studi yang penulis lakukan memilih partai atau calon anggota DPR?”
mengikuti metode yang dikembangkan Jawaban yang tersedia adalah “tidak,” “ya,
Brusco dan kawan-kawan (2004: 69), hanya sekali atau dua kali,” atau “ya,
yakni dengan memotret malpraktik beberapa kali.” Sebanyak 17% menjawab
tersebut melalui berbagai macam menerima tawaran politik uang “satu atau
pengukuran. Pertama, pertanyaan dengan dua kali,” 7% menjawab “beberapa kali
empat skala tanpa menyebut secara ditawari,” 73% mengaku tidak pernah
langsung Pemilu Legislatif 2019: “Dalam ditawari, dan 3% tidak menjawab. Jadi
beberapa tahun belakangan, berkaitan berdasarkan survei paska-pemilu 2019,
dengan kampanye pemilihan calon total 24% pemilih mengakui sesekali atau
anggota DPR, seberapa sering calon atau beberapa kali ditawari uang. Dengan
orang dari partai politik tertentu yang wording dan skala yang sama, proporsi ini
pernah menawari Ibu/Bapak barang, sedikit turun dibandingkan temuan pada
uang atau hadiah agar calon tersebut Pemilu 2014 yang menemukan angka
dipilih dalam pemilu?” Jawaban 29%.
responden dalam empat skala Likert Dua pengukuran terakhir memakai
(sangat sering, cukup sering, jarang, dan dua skala yang secara eksplisit
tidak pernah). Harapannya, pertanyaan menanyakan praktik politik uang di
ini mampu memotret seluruh pengalaman Pemilu Legislatif 2019. Karena
menerima tawaran politik uang, termasuk pertanyaan dikemas dalam jawaban “ya”
berdasarkan pemilu 2019 yang baru atau “tidak” (dikotomis atau binary
berlangsung. Dengan tidak menyebut response) menerima tawaran uang, dan
secara eksplisit Pemilu 2019, responden menyebut Pemilu 2019 yang baru saja
tidak merasa “diinterogasi” karena berlangsung, maka responden tidak bisa
bagaimanapun politik uang bersifat ilegal. mengelak. Karenanya terbuka
Total mereka yang menjawab “sangat kemungkinan mereka tidak sepenuhnya
sering, sering, dan jarang” mencapai menjawab jujur. Jadi pertanyaan ketiga
33,1%. Dengan wording yang sama, post- menanyakan politik uang pada tingkat
election survei pada April 2014 juga individual: “Menjelang pemilu tanggal 17
menemukan kisaran yang sama, 33% April 2019 yang lalu, apakah ada partai
responden menjawab “sangat sering, politik atau calon anggota legislatif atau
sering, dan jarang” ditawari uang atau anggota tim sukses mereka yang
barang atau hadiah sebagai imbalan atas menawarkan Ibu/Bapak uang, sembako,
suara yang mereka berikan. peralatan rumah tangga atau barang
lainnya (selain topi, kaos, kalender, stiker
atau barang-barang peraga kampanye
8
Lebih jauh mengenai pengukuran dan hasil lainnya)?” Sebanyak 19,4% mengakui
survei post-election 2014, lihat Burhanuddin ditarget politik uang. Dengan pertanyaan
Muhtadi, Vote Buying in Indonesia: The
dan format yang sama, temuan lima tahun
Mechanics of Electoral Bribery (Singapore:
Springer). lalu sedikit lebih besar dibanding 2019.
61
Burhanuddin Muhtadi
62
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
caleg karena turunnya minat caleg makin vulgar dan masif dan modus
veteran untuk berkompetisi di Pemilu operandinya juga kian lama kian canggih
2019. Kedua, meningkatnya partisipasi dan variatif (Aspinall dan Sukmajati,
dalam pemilu serentak membuat pemilih 2016). Politik uang telah menjadi bahasa
banyak yang berduyun-duyun komunikasi politik yang mempertemukan
menggunakan hak pilihnya tanpa harus relasi antara politisi dan pemilih di
diiming-imingi insentif material. Tingkat Indonesia.
partisipasi pada pemilu legislatif 2014
mencapai 75%. Karena antusiasme Perspektif Perbandingan.
pemilih yang tinggi dalam pemilu Lantas, seberapa signifikan temuan
serentak presiden dan anggota di atas jika dibandingkan dengan data dari
DPR/DPD/DPRD, tingkat partisipasi negara-negara lain? Untuk itu, selain
mencapai 81,69% untuk pemilu legislatif memakai metodologi survei yang sama,
dan 81,97% (Pramono Ubaid, Komisioner pertanyaan yang dipakai sebagai
KPU, status di akun Twitter pribadi, perbandingan harus sama atau mirip.
29/5/2019). Pada saat yang sama, total Diantara empat pengukuran politik uang
jumlah DPT juga meningkat dari 187 juta yang sudah penulis jelaskan di atas,
di Pemilu 2014 menjadi 192 juta di pengukuran politik uang dengan empat
Pemilu 2019. Secara kasar, pada Pemilu skala yang menghasilkan proporsi 33%
Legislatif 2014 total pemilih yang yang paling mendekati dengan
menggunakan hak suara sekitar 140 juta pengukuran politik uang yang dipakai
(75% dari 187 juta), sedangkan pada secara internasional. Sekadar
2019 sekitar 156 juta pemilih mencoblos mengingatkan kembali, pertanyaan survei
di TPS. Artinya, ada 15 juta lebih pemilih- yang kami gunakan adalah: “Dalam
entah disebabkan oleh antusiasme beberapa tahun belakangan, berkaitan
mereka dalam pemilu serentak, terutama dengan kampanye pemilihan calon
pilpres-datang ke bilik suara mungkin anggota DPR, seberapa sering calon atau
tanpa digerakkan uang. Intinya, perlu orang dari partai politik tertentu yang
studi lanjut efek pemilu serentak pernah menawari Ibu/Bapak barang,
terhadap politik uang. Data anekdotal uang atau hadiah agar calon tersebut
menunjukkan sulitnya para kandidat dipilih dalam pemilu?” Pertanyaan ini
mencari sponsor pendanaan kampanye mirip dengan yang digunakan LAPOP
dalam pemilu serentak 2019 kemarin. Americas Barometer dan Afrobarometer.
Karena pemilu serentak, para pengusaha Data politik uang di Amerika Latin dan
yang biasa menjadi donatur kampanye Afrika didasarkan oleh dua asosiasi survei
harus membagi sumberdaya yang terkemuka ini.
terbatas kepada banyak kandidat dan tim Tabel 3 jelas menunjukkan bahwa
sukses yang membantunya. tingkat politik uang di Asia, Amerika Latin
Terlepas dari tren penurunan itu, dan Afrika beragam dalam dekade
kisaran politik uang yang terjadi di Pemilu terakhir. Rata-rata insiden politik uang di
Legislatif 2019 antara 19% hingga 33% dunia mencapai 14,22%. Malpraktik
bukanlah angka yang kecil. Harus diingat, elektoral ini banyak terjadi di Uganda
meskipun sedikit menurun, tingkat politik (41%), Benin (37%), Indonesia (33%),
uang kita masih menempati peringkat Kenya (32%), Liberia (28%), Swaziland
terbesar ketiga sedunia, seperti akan (27%), Mali (26%) dan Niger (24%).
dijelaskan di bagian berikut tulisan ini. Ironisnya, tingkat politik uang di
Praktik politik uang juga makin lama Indonesia-dengan pengukuran
63
Burhanuddin Muhtadi
64
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
65
Burhanuddin Muhtadi
66
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
maka praktik tersebut dibolehkan agar antara mereka yang menganggap politik
tercipta lapangan permainan yang rata (a uang sebagai wajar atau tidak wajar
level playing field). sebelum dan sesudah penerapan
proporsional terbuka April 2009.
Efek Sistem Pemilu terhadap Politik Namun, perbedaan respon baru
Uang. terlihat nyata ketika mereka yang menilai
Penulis sudah mengindikasikan politik uang wajar diberi pertanyaan
bahwa sistem proporsional terbuka turut lanjutan: apakah mereka akan menerima
bertanggung jawab atas meningkatnya bila ada orang yang memberi uang atau
praktik jual beli suara di Indonesia. Pada hadiah? (Data valid N=210524). Grafik
pemilu pertama kali paska-jatuhnya jelas menunjukkan bahwa 18%
Soeharto, politik uang nyaris tak responden dari gabungan data survei
terdengar karena sistem pemilu yang sejak 2006-April 2009-mengatakan akan
dipakai pada saat itu adalah proporsional menerima dan memilih calon yang
tertutup, dimana pemilih hanya memberi uang atau hadiah. Proporsi jenis
mencoblos partai. Politik uang mulai pemilih ini meningkat berdasarkan
populer sejak Pemilu Legislatif 2009 pada survei-survei paska-April 2009 hingga
saat sistem proporsional terbuka pertama 2015 menjadi 23,7%. Proporsi pemilih
kali digunakan. Benih klientelisme ini yang akan menerima dan memilih
sebenarnya mulai tampak pada saat era tawaran uang yang lebih besar juga
pemilihan kepala daerah secara langsung meningkat paska-penerapan proporsional
dimulai, yakni pada 2005. Namun terbuka. Sebaliknya, pemilih oportunis
berhubung aktor/calon yang maju di yang akan menerima uang tapi soal
pilkada tidak sebanyak di pemilu memilih mereka akan mencoblos sesuai
legislatif, maka prevalensi politik uang hati nuraninya menurun persentasenya
jauh lebih besar di pemilu legislatif dibandingkan sebelum dan sesudah April
ketimbang pilkada. Maka untuk 2009. Hal ini menunjukkan bahwa sistem
mendapatkan bukti empiris, perlu data proporsional terbuka menyumbang
survei sebelum dan sesudah penerapan naiknya perilaku transaksional di
sistem proporsional terbuka pada pemilu kalangan warga.
legislatif April 2009. Oleh karena itu,
penulis menggunakan gabungan data 80
survei pemilukada 2006-2015. 70
66,9
63,5
Akan menerima
dan akan
Analisis data dibobot menurut 60 memilih calon
wilayah kabupaten/kota. Data yang 50
yang memberi
uang atau
dianalisis hanya data yang ada sampel 40 hadiah tersebut
kabupaten/kotanya di kedua periode 30 23,7
18,9
sebelum dan sesudah April 2009 (valid 20
N= 495101). Pertanyaan pertama adalah: 10 5,9 3,9
4,3
6,3 5,1
1,3
“sebagai usaha untuk memenangkan 0
pemilihan umum, ada calon atau orang Sebelum April Setelah April
2009 2009
yang membantunya memberikan uang
Sumber: Data survei nasional Lembaga Survei Indonesia
atau hadiah tertentu agar memilih calon (LSI), Indikator Politik Indonesia, dan Saiful Mujani
tersebut. Menurut Ibu/Bapak, apakah Research and Consulting (SMRC)
pemberian itu dapat diterima sebagai hal
Grafik 3. Politik uang sebelum dan sesudah
yang wajar, atau tidak bisa diterima?”
penerapan proporsional terbuka (%)
Hasilnya, tidak ada perbedaan signifikan
67
Burhanuddin Muhtadi
68
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
yang mengaku menerima uang, hanya tidak terlalu besar (Muhtadi, 2018a;
15% yang mengaku menerima amplop Muhtadi 2019). Namun, terlepas dari
ganda. Proporsi penerima amplop ganda efektivitas “obyektif” politik uang “hanya”
meningkat di Februari 2018 menjadi 18% di kisaran 10% dari total pemilih, efek
dari mereka yang ditawari uang. Sebulan elektoral ini secara relatif masih lebih
sebelum pemilu, yakni Maret 2019, baik dan efisien dibanding strategi-
proporsi mereka yang menerima multiple strategi kampanye yang lain. Bahwa
payment meroket menjadi 35%. Jika sistem proporsional terbuka mendorong
pertanyaan yang diajukan bukan hanya kampanye yang berbasis personal tidak
multiple payment dari partai lain, tapi juga secara otomatis menjadikan money
yang berasal dari caleg dalam satu partai, politics sebagai satu-satunya mobilisasi
sangat mungkin persentase penerima elektoral yang bisa dipakai caleg (Hicken,
amplop ganda makin meningkat. Jangan 2007a: 53). Para kandidat bisa saja
lupa dalam sistem proporsional terbuka, menggunakan strategi club goods,10
persaingan antarcaleg bukan hanya intimidasi ke pemilih, mengunjungi
antarpartai, tapi juga caleg dalam satu pemilih (canvassing) atau kampanye via
partai. Intinya, kepanikan melanda media. Perlu dicatat bahwa strategi-
sebagian besar caleg menjelang strategi elektoral ini bisa dijalankan
pemilihan. Mereka merasa para caleg secara bersamaan (Hicken, 2007a).
lainnya makin gencar menyebar uang Terkait club goods, banyak kandidat yang
sehingga harus diantisipasi dengan cara penulis temui yang percaya bahwa
serupa. Saking paniknya, ketika seorang strategi ini mubazir. Menurut mereka,
caleg mendengar informasi lawan banyak pemilih yang menikmati bantuan
melakukan serangan fajar di hari kolektif tersebut (common collective
pemilihan, caleg yang lain meresponnya goods) tapi tidak bisa dipastikan
dengan melakukan “serangan dhuha,” pilihannya sama sekali. Benar bahwa
yakni membagi-bagi uang bahkan di saat penerima politik uang juga tidak
pemilih akan atau sedang mengantri seluruhnya memilih caleg yang menebar
(Caleg PKB, Wawancara, 20 April 2014). amplop, tapi strategi ini dianggap lebih
60 48 45 53 efisien dan menghasilkan suara
50 37 38 35
40 ketimbang club goods. Demikian pula
30 15 18
20 12 intimidasi kepada pemilih. Selain
10
0 membutuhkan sumberdaya besar seperti
Des'18 Feb'19 Mrt'19 mengumpulkan preman dan
1 partai > 1 partai Tidak jawab
Sumber: Survei Desember 2018, Februari 2019 dan Maret membutuhkan dana lebih besar, taktik ini
2019 dilaksanakan oleh Indikator
juga mudah terjerat hukum karena relatif
Grafik 4. Intensitas amplop ganda meningkat
jarang digunakan para caleg. Berbeda
jelang Pemilu 2019 (%)
dengan politik uang yang telah menjadi
Terakhir, politik uang semakin norma baru, sehingga banyak caleg yang
menjadi praktik normal baru karena merasa polisi atau Bawaslu takkan
sistem proporsional terbuka mendorong
para caleg menghalalkan segala cara 10
Club goods adalah taktik elektoral yang
dalam rangka meraih suara terbanyak di biasa digunakan caleg dengan cara memberi
partainya. Seperti dijelaskan di atas, efek bantuan pembangunan kecil-kecilan seperti
elektoral politik uang, baik dalam renovasi sekolah, rumah ibadah atau
sejenisnya atau dalam bentuk donasi kepada
meningkatkan partisipasi pemilih atau organisasi atau komunitas tertentu (Aspinall
mengubah pilihan, memang terkesan dan Sukmajati, 2016).
69
Burhanuddin Muhtadi
menindak pelaku politik uang karena jika pemilu.11 Pusat Kajian Politik Universitas
dilakukan penjara akan penuh oleh para Indonesia (PUSKAPOL UI) mencatat lebih
politisi (Politisi Golkar, Wawancara, 23 dari separuh caleg yang bertarung pada
April 2014). Pemilu 2014 (58.86%) adalah pengusaha
atau professional. Mereka masuk melalui
Rekomendasi Kebijakan. jalur khusus pencalegan dengan
Di atas segalanya, sistem mengorbankan kader yang lama
proporsional terbuka memiliki dampak mengabdi di partai karena dianggap tak
yang lebih luas dari sekadar memiliki pendanaan cukup guna
meningkatnya insiden politik uang. memenangkan persaingan pemilu yang
Pertama, berhubung sistem ini sengit (Budiman Sudjatmiko, Wawancara,
mendorong kandidat untuk menempuh 29 April 2014). PUSKAPOL juga mencatat
strategi personal yang padat modal bahwa 77 dari of 560 caleg terpilih pada
(politik uang, pembentukan jaringan 2014 adalah bagian dari dinasti politik
timses, club goods, dan lain-lain), uang (Republika, 9 Oktober 2014). Tujuh
menjadi kunci kemenangan dalam diantara caleg dinasti tersebut masuk
persaingan. Memang uang tak menjamin kategori 10 caleg yang meraih perolehan
kesuksesan elektoral, tapi kapital akan suara terbanyak pada 2014.
meningkatkan peluang untuk menang Kedua, sebagai akibat proporsional
(Aspinall et al., 2015). Zuhairi Misrawi, terbuka yang membuat pemilu makin
caleg PDIP yang berlatar belakang NU candidate-centric, hubungan partai dan
punya plesetan menarik soal ini, “Kaidah pemilih juga merenggang. Akibatnya,
ushul fiqh politiknya adalah ‘Al-fulus pemilih tak lagi menjadikan partai sebagai
tuhyin nufus, ma fi fulus manfus’ (Uang variabel dalam menentukan pilihan, tapi
akan memperpanjang nafas. Jika tidak mereka justru tertarik iming-iming jangka
punya, maka secara politik kamu mati)” pendek yang ditawarkan kandidat. Sistem
(Komunikasi informal, 2 Juli 2016). proporsional terbuka bertanggung jawab
Pandangan umum yang berkembang atas merosotnya kedekatan pemilih
adalah makin mahalnya pemilu membuat terhadap partai (party ID) dan
hanya caleg yang kaya atau memiliki melemahkan pelembagaan kepartaian
akses terhadap sumberdaya saja yang kita, sebagaimana telah diulas di atas.
bisa kompetitif dalam pemilu. Data survei menunjukkan tingkat party ID
Terlebih lagi partai politik makin kita merosot sejak Indonesia menerapkan
nir-ideologis dan pragmatis, sehingga sistem proporsional terbuka. Data survei
melakukan jalan pintas dengan nasional terakhir yang direkam Mei 2019
mencalonkan caleg non-kader asalkan menemukan hanya 10% pemilih yang
memiliki modal kapital dan popularitas masih memiliki kedekatan dengan partai.
kuat. Forum Masyarakat Peduli Parlemen Akibatnya, kampanye programatik
Indonesia (FORMAPPI) mencatat bahwa berbasis ideologi dan kebijakan partai
hanya 33% caleg yang berlaga pada makin tak laku.
Pemilu 2014 yang bisa dikategorikan Intinya, studi ini
sebagai kader partai. Hampir separuh dari merekomendasikan untuk melakukan
total caleg (3241 dari total 6607) yang evaluasi komprehensif terhadap sistem
maju pada tingkat DPR Pusat memiliki proporsional terbuka yang terbukti
latar belakang pengusaha dan bergabung
ke partai hanya beberapa bulan sebelum 11
FORMAPPI, “Anatomi Caleg Pemilu
2014,” 3 Oktober 2013.
70
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
71
Burhanuddin Muhtadi
72
Politik Uang dan New Normal dalam Pemilu Paska-Orde Baru
Hicken, A. (2007a). “How Do Rules and Rich, R. (2013). Parties and Parliaments in
Institutions Encourage Vote Southeast Asia: Non-partisan
Buying?” Dalam F.C. Schaffer Chambers in Indonesia, the
(ed) Elections for Sale: The Philippines and Thailand.
Causes and Consequences of London and New York:
Vote Buying. Colorado: Lynne Routledge.
Rienner Publisher, Inc.
Schaffer, F.C. dan Schedler, A. (2007).
——— (2007b). “How Effective are “What is Vote Buying?” Dalam
Institutional Reforms?” Dalam F.C. Schaffer (ed) Elections for
F.C. Schaffer (ed) Elections for Sale: The Causes and
Sale: The Causes and Consequences of Vote Buying.
Consequences of Vote Buying. Boulder: Lynne Reinner.
Colorado: Lynne Rienner
Publisher, Inc. Sherlock, S. (2009). “Indonesia’s 2009
Elections: The New Electoral
Kerkvliet, B.J. (1991). “Understanding System and the Competing
Politics in a Nueva Ecija Rural Parties.” CDI Policy Papers on
Community.” Dalam B. Political Governance.
Kerkvliet and R. Mojares (eds) Canberra: Centre for
From Marcos to Aquino: Local Democratic Institutions.
Perspectives on Political
73
Burhanuddin Muhtadi
74