Professional Documents
Culture Documents
2008 BWH
2008 BWH
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI
Bogor, April
2008
Kata kunci : jerami padi, dedak padi, ubi kayu, urea, tepung kedelai, ekstrusi
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah
ini, dalam bentuk apa pun, tanpa izin tertulis dari IPB
REKAYASA SUPLEMEN PROTEIN PADA
RANSUM SAPI PEDAGING BERBASIS
JERAMI DAN DEDAK PADI
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Disertasi: Rekayasa Suplemen Protein pada Ransum Sapi Pedaging
Berbasis Jerami dan Dedak Padi
Nama : Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetiyono
NIM : D061030031
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.
Anggota Anggota
Diketahui
Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga telah tersusun disertasi yang berjudul Rekayasa Suplemen Protein
pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Perekayasaan
suplemen protein ini dilandasi oleh kaidah keilmuan tentang utilisasi protein pada
ruminansia dengan mempertimbangkan kondisi lokal.
Penulisan disertasi ini dapat diselesaikan atas pengarahan serta bimbingan
dari Tim Komisi Pembimbing. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan terima kasih dan hormat kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA
sebagai ketua komisi, Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS., Prof. Dr.Ir.Toto Toharmat,
M.AgrSc., serta Prof. Dr. Lily Amalia Sofyan, MSc. (Almarhumah), atas
pengarahan dan bimbingan yang sangat berharga.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor dan Pimpinan Sekolah
Pascasarjana IPB atas kesempatan penulis mengikuti studi program Doktor.
Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Peternakan UNDIP disampaikan terima kasih
atas ijin melanjutkan studi Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Ditjen Dikti yang telah memberikan beasiswa studi pascasarjana di IPB.
Terima kasih juga disampaikan kepada pemilik Peternakan Sapi “Luwes”
Karang anyar Jawa Tengah dan Pimpinan Pabrik Kertas Padalarang Jawa Barat
yang telah membantu berbagai fasilitas materi penelitian, serta semua pihak yang
telah memberikan berbagai bentuk bantuan sehingga penelitian dan penulisan
disertasi ini dapat terwujud. Kepada isteri tercinta Sri Handayani, ananda tercinta
Pandu Prashanantyo dan Yui Prashandika, penulis sampaikan terima kasih dan
penghargaan atas pengertian dan doa restunya. Juga ucapan terima kasih yang
paling dalam kepada yang tercinta Almarhum Ayahnda Suprodjo dan
Almarhumah Ibunda Sriyati Al Musriyati, atas doa restunya pada saat sebelum
dipanggil Allah SWT, semoga amal kebaikan beliau mendapat imbalan yang
berlebih dari Allah SWT.
Semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, April 2008
PENDAHULUAN ………………………………………………………... 1
Latar Belakang ………………………………………………………. 1
Tujuan ……………………………………………………………...... 2
Hipotesis ……………………………………………………………… 3
Manfaat …………………………………………………….………... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Peran Suplemen Protein ……………………………………………... 4
Penggunaan Nitrogen Bukan Protein untuk Optimalisasi Biosintesis
Protein Mikrobial Rumen …………………………………………..... 8
Proteksi Protein Kedelai dari Degradasi dalam Rumen ……………... 17
Pemberian Pakan pada Sapi Pedaging ……………………………….. 20
Komposisi Tubuh ……………………………………………………. 21
LAMPIRAN ………………………………………………….................... 81
DAFTAR TABEL
Halaman
3 Contoh RUP, ID, dan IADP dari berbagai suplemen protein ……… 18
19 Kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah makan ……... 63
xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
3 Spektrum Infra Merah pada Casrea1 (a) dan Casrea2 (b) ………….. 44
Halaman
3 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji
DMRT pada percobaan 1 ………………………………………….. ……... 84
7 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji
DMRT pada percobaan 2 …………………………………………………. 88
26 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap lemak tubuh (%) dan
uji DMRT pada percobaan 3 ……………………………………………… 107
27 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap air tubuh (%) dan uji
DMRT pada percobaan 3 …………………………………………………. 108
xv
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Konsumsi daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan, dari 330 300
ton pada tahun 2002 menjadi 389 300 ton pada tahun 2006. Sebaliknya populasi
ternak sapi pedaging cenderung mengalami penurunan dari 11 297 625 ekor pada
tahun 2002 menjadi 10 835 686 ekor pada tahun 2006 (DITJENAK 2006).
Permasalahan utamanya adalah produksi sapi pedaging masih rendah, sehingga
secara nasional kesenjangan terjadi antara permintaan dan penawaran (supply-
demand) semakin lama semakin lebar. Salah satu upaya adalah melalui perbaikan
kualitas pakan.
Potensi jerami padi di Indonesia melimpah yaitu 60 135 501 ton (BPS
2004), namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi masih rendah, karena
teknologi yang tersedia kurang aplikatif apabila diterapkan dalam skala besar,
sehingga sulit diadopsi oleh peternak di daerah sekitar persawahan padi. Peternak
di daerah sekitar lahan persawahan padi, umumnya hanya menggunakan pakan
tambahan pada jerami padi berupa dedak padi. Padahal kedua bahan utama ini
memiliki kualitas protein yang rendah, yaitu kandungan protein kasar jerami dan
dedak padi masing-masing 5.06% dan 8.56% (Hasil Analisis Laboratorium 2006),
sehingga akan mengganggu keseimbangan kebutuhan energi-protein sapi dan
kurang efisien penggunaannya. Oleh karena itu, salah satu cara yang strategis dan
aplikatif adalah melalui program suplementasi protein pada kedua bahan utama
tersebut. Program suplementasi protein ini dipandang strategis karena (1)
suplemen memiliki kualitas yang tinggi; (2) dosis pemberiannya rendah; (3)
mampu mengatasi masalah defisiensi nutrisi; (4) meningkatkan kapasitas cerna
melalui perbaikan metabolisme dan kemampuan mikrobial rumen; (5) praktis
dalam penyajiannya, yaitu efisiensi waktu dan mengurangi beban tenaga kerja; (6)
berbahan baku lokal dan mampu mendukung usaha pemanfaatan hasil samping
(by product) pertanian yang kontinyu; (7) mudah diterapkan dan dapat diproduksi
dalam skala pabrik pakan mini ditingkat kelompok petani dan peternak.
Disisi lain, bahan pakan sumber protein pada umumnya relatif sulit
pengadaannya dan mahal, sehingga ketersediaannya menjadi kendala. Perlu
2
Tujuan
1. Mengkaji manfaat ekstrusi ubi kayu-urea untuk perlambatan pelepasan
ammonia dan biosintesis protein mikrobial rumen
2. Menguji potensi xylosa black liquor sebagai protektor degradasi protein kedelai
3. Menguji manfaat biologis suplemen protein pada ransum sapi pedaging
berbasis jerami dan dedak padi guna memperkuat integrasi padi dan ternak sapi
(Crop Livestock System)
3
Hipotesis
1. CASREA berbahan utama ubi kayu-urea terekstrusi mampu meningkatkan
biosintesis protein mikrobial rumen
2. Xylosa black liquor (limbah pabrik kertas) dapat memproteksi protein kedelai
dari degradasi dalam rumen
3. Suplemen protein berbahan dasar kombinasi CASREA dan SOYXYL dapat
meningkatkan produksi ternak sapi pedaging.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan: (1) basis ilmiah rekayasa suplemen protein yang bersifat
terdegradasi secara lambat dalam rumen (Slow Release of Ammonia = SRA) , (2)
basis ilmiah proteksi protein dari degradasi dalam rumen, (3) teknologi pembuatan
dan penyajian suplemen protein berbahan baku lokal.
Selain itu, juga diharapkan membuka jalan untuk memanfaatkan suplemen
protein pada ransum berbahan dasar utama yaitu jerami padi dan produk samping
penggilingan beras berupa dedak padi secara maksimal, dalam upaya
meningkatkan produksi ternak sapi pedaging. Dampak secara ekonomis,
diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani, karena akan merangsang
usaha tani terpadu (integrated farming) yaitu antara usaha tani padi dengan ternak
sapi pedaging yang selama ini belum meluas, walaupun potensi integrasi padi
sawah – ternak sapi pedaging sangat potensial. Hasil penelitian diharapkan dapat
dijadikan teknologi untuk memperkuat Crop Livestock System di Indonesia dan
juga untuk memperkuat Industri Pakan Mini di daerah persawahan, khususnya
untuk penerapan program suplementasi protein.
TINJAUAN PUSTAKA
yang pada akhirnya dapat menurunkan kecernaan dan konsumsi pakan, utamanya
pakan berserat misalnya jerami padi.
Jerami padi telah dikenal sebagai salah satu makanan pokok untuk
ruminansia di Indonesia, dan sudah biasa diberikan pada ternak sapi, terutama
didaerah persawahan padi. Kebiasaan ini mengingat penyediaan hijauan makanan
ternak semakin berkurang seiring dengan menyempitnya kepemilikan lahan
sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk. Produksi jerami padi sangat
berlimpah seiring dengan meningkatnya produksi padi di Indonesia. Data
produksi jerami padi di Indonesia menunjukkan potensi cukup besar yaitu 60 135
501 ton bahan kering (BPS 2004). Disisi lain, sebaran populasi ternak sapi
pedaging di Indonesia tidak merata dan populasinya masih rendah yaitu 10 726
347 ekor pada tahun 2004 (DITJENAK 2004). Pada Tabel 1 disajikan data tentang
populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia. Berdasarkan
data tersebut, menunjukkan bahwa jerami padi di Indonesia sebagai produk
samping hasil pertanian di daerah persawahan padi, tersedia dalam jumlah yang
cukup banyak. Disisi lain, sebaran jumlah sapi di berbagai propinsi di Indonesia
masih rendah, sehingga terdapat kesenjangan antara ketersediaan jerami padi
dengan populasi sapi pedaging. Dengan demikian, jerami padi di daerah
persawahan padi banyak yang tidak termanfaatkan sebagai pakan sapi.
Akibatnya, masih banyak terlihat adanya pembakaran jerami padi di daerah
persawahan padi.
Penggunaan jerami padi sebagai pakan mempunyai keterbatasan karena nilai
protein dan nilai cernanya rendah, selain itu juga kurang palatabel. Kandungan
dinding sel jerami padi kurang lebih 86% dari BK, sedangkan komponen utama
dari dinding sel adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan kandungannya
secara berturut-turut adalah 30-51%, 6-28% dan 4-10% dari BK (Doyle et al.
1986). Sedangkan kandungan protein kasarnya juga rendah yaitu rata-rata 4.21%,
TDN (43.2%), serat kasar (32.5%), lemak kasar (1.47%), abu (16.9%), bahan
ekstrak tanpa nitrogen (45%), Ca (0.41%), dan P (0.29%) dari bahan kering
(Sutardi 1981). Lebih lanjut disebutkan bahwa peningkatan fermentabilitas jerami
sebagai pakan sapi dapat diupayakan dengan memberikan beberapa perlakuan
pendahuluan (pretreatment), misalnya dengan perlakuan kimia (perlakuan alkali,
6
halus, sehingga akan meningkatkan jumlah asam amino pakan yang mudah
diserap; (2) optimalisasi fermentasi rumen untuk meningkatkan jumlah protein
mikrobial, sehingga akan meningkatkan asam amino mikrobial yang mudah
diserap; (3) enkapsulasi spesifik asam amino (atau asam amino analog)
menggunakan agen proteksi degradasi mikrobial rumen. Stern et al. (2006)
menegaskan bahwa setelah memaksimalkan sintesis protein mikrobial, jumlah
substansi protein tidak terdegradasi di rumen (RUP) dari suplemen protein harus
diinkoporasi kedalam pakan ruminansia yang berproduksi tinggi. Protein
mikrobial rumen merupakan protein berkualitas tinggi untuk ruminansia, yaitu
memiliki kecernaan yang tinggi didalam usus halus. Mengingat laju pertumbuhan
mikrobial rumen mempengaruhi pasokan asam amino ternak ruminansia, maka
penting untuk memaksimalkan sintesis protein mikrobial dalam rumen. Sintesis
protein mikrobial dalam rumen memberikan sejumlah besar protein yang disuplai
ke usus halus ruminansia, yaitu sampai 50-80% dari total protein yang dapat
diserap. Jumlah protein mikrobial yang masuk ke usus halus tergantung pada
ketersediaan nutrien dan efisiensi penggunaan nutrien-nutrien oleh bakteri rumen.
Menurut Brunetti (2004) sekitar 60% protein murni didegradasi menjadi
ammonia dalam rumen yang digunakan sebagai makanan mikrobial, selanjutnya
akan menjadi protein mikrobial bagi ternak ruminansia, sedangkan yang 40% lagi
lolos degradasi ke organ pasca rumen untuk diserap dalam usus halus. Disisi lain
100% Nitrogen bukan protein (NBP) dalam makanan didegradasi menjadi
ammonia rumen, dan jika ammonia tersebut tidak dimetabolismekan oleh
mikrobial, akan diserap oleh dinding rumen, yang pada akhirnya akan kembali
menjadi nitrogen darah yang berasal dari urea. Oleh karena itu, berbagai alasan
ini oleh para ahli gizi ternak ruminansia pada jaman sekarang ingin mengetahui
seberapa banyak protein terlarut (protein soluble) dan bypass dalam ransum.
dikonsumsi sapi didegradasi dalam rumen menjadi peptide, asam amino, dan
ammonia oleh aksi enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme-
mikroorganisme tersebut. Selain itu, senyawa NBP, misalnya urea (NH2)2C=O
juga didegradasi menjadi karbon dioksida (CO2) dan ammonia (NH3) didalam
rumen. Mikroorganisme-mikroorganisme rumen akan menggunakan ammonia
yang dilepas dari degradasi protein dan NBP untuk dikonversi menjadi protein
mikrobial (Sewell 1993; Rossi & Silcox 2007). Urea mudah larut dalam rumen
dan mikroorganisme rumen akan cepat mendekomposisi menjadi NH3 dan CO2.
Menurut Perry (1980), nasib NH3 yang dilepas dari urea kemudian melewati
dua jalur (Gambar 1), yaitu 1) digunakan untuk sintesis protein mikrobial, dan 2)
diabsorbsi melalui dinding rumen masuk pembuluh darah yang membawanya
sampai ke hati. Hati akan mendetoxifikasi ammonia, dengan mengkonversi
ammonia menjadi urea, untuk selanjutnya diekskresi ke urin. Tetapi, sebagian
urea ini juga masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus
dinding rumen (dengan melalui saluran darah) masuk kedalam cairan rumen.
Namun demikian, bila NH3 yang terlepas dari rumen terlalu cepat, kapasitas NH3
di hati akan berlebihan, dan akan meluap ke sistem pembuluh darah. Level NH3
yang tinggi dalam sirkulasi darah dapat menyebabkan keracunan dan bahkan
kematian. Fenomena ini menunjukkan bahwa, urea akan efektif menjadi sumber
protein sapi, bila kondisi didalam rumen menguntungkan bagi mikroorganisme
untuk menggunakan ammonia dari urea sebelum NH3 lepas dari rumen.
Penggunaan urea oleh mikroorganisme rumen tergantung pada pertumbuhan
populasi mikrobial dan jumlah nutrien esensial yang diperlukan untuk
pertumbuhan yang cepat, seperti vitamin, mineral, dan sumber energi yang siap
tersedia (readily available source of energy). Jadi, pemenuhan kebutuhan nutrisi
bagi mikrobial rumen sangat mempengaruhi metabolisme Nitrogen dalam rumen
(Bach et al. 2005; Stern et al. 2006). Ammonia yang berlebih dapat digunakan
lebih efisien pada ransum yang memiliki energi tinggi (seperti pati dan biji-
bijian), bila dibandingkan dengan ransum yang berenergi rendah (Sewell 1993).
Karbohidrat yang mudah terfermentasi seperti pati dan gula lebih efektif dari pada
sumber karbohidrat lain, misalnya selulosa dalam mendukung pertumbuhan
mikrobial rumen (Stern & Hoover 1979). Pendapat ini juga sejalan dengan
10
PEPTIDA
RUMEN
ASAM AMINO NH3 HATI
NH3
AS.AMINO
PROTEIN
MIKROBIAL
UREA
N- PAKAN TIDAK
FECES TERCERNA
METABOLISME JARINGAN
N- METABOLIC JARINGAN
FECES
Hoover & Stokes (1991) bahwa bila jumlah bahan organik yang terfermentasi
dalam rumen meningkat maka sintesis protein mikrobial juga meningkat.
Beberapa percobaan in vitro (Stern et al. 1978) dan in vivo (Casper & Schingoethe
1989; Cameron et al. 1991) telah dilakukan bahwa infusi peningkatan sejumlah
karbohidrat yang mudah terfermentasi dapat menurunkan konsentrasi N-ammonia,
karena meningkatnya konsumsi N oleh mikrobial rumen. Ditemukan pula bahwa
bila laju degradasi protein melebihi laju fermentasi karbohidrat, maka sejumlah
besar N dapat hilang sebagai ammonia, dan sebaliknya bila laju fermentasi
karbohidrat melebihi laju degradasi protein, maka sintesis protein mikrobial dapat
11
menurun (Nocek & Russel 1988). Ditegaskan oleh Jouany (1991) mikrobial
rumen selain membutuhkan N (NH3, oligopeptida untuk bakteri, peptida untuk
protozoa), juga rantai karbon (VFA rantai cabang) dan ATP sebagai sumber
energi untuk sintesis protein mikrobial.
Berbagai metoda digunakan untuk memprediksi sintesis protein mikrobial
rumen antara lain marker mikrobial ribonucleic acid (RNA) dan di-amino-pimilic
acid (DAPA), serta isotop (35S, 15
N, 32
P), namun demikian proses penggunaan
marker-marker atau isotop tersebut sangat komplex dan sulit diterapkan di kondisi
lapang (Singh et al. 2007). Metode lain yang dapat digunakan untuk memprediksi
sintesis protein mikrobial adalah melalui derivate purin yang diekskresikan
melalui urin. Purin (hasil degradasi asam nukleat dalam rumen) yang diabsorbsi
dikonversikan menjadi derivate purin yaitu berupa asam urat dan allantoin. Purin
yang diekskresikan per hari mempunyai korelasi linier dengan jumlah purin
mikrobial yang diabsorbsi. Dengan asumsi rasio protein dan purin konstan dalam
populasi mikrobial, maka ekskresi derivate purin digunakan sebagai index untuk
menentukan protein mikrobial (Chen et al. 1990; Singh et al. 2007).
Prioritas utama dalam pemberian pakan ruminansia adalah menjamin tidak
ada defisiensi nutrien dalam pakan yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobial.
Lebih lanjut Galo et al. (2003) menegaskan bahwa NBP dalam pakan sapi
pedaging dan sapi perah, dapat digunakan secara efektif sebagai sumber nitrogen
untuk mikrobial rumen. Urea sebagai suplemen ransum ruminansia sering dipakai
di beberapa negara, terutama yang memiliki keterbatasan tersedianya protein
pakan dan secara ekonomi penggunaannya menguntungkan. Menurut Kowalczyk
(1976) senyawa-senyawa NBP yang dapat digunakan sebagai pengganti protein
untuk ruminansia harus tidak mahal, digunakan mikrobial rumen dengan baik, dan
tidak berpengaruh negatip terhadap kesehatan ternak. Dibandingkan dengan
senyawa NBP yang lain (Tabel 2), harga urea tidak mahal untuk setiap unit
protein ekuivalen (N x 6.25), sehingga memungkinkan untuk menyusun ransum
dengan harga yang relatif murah (Rossi & Silcox 2007). Disamping itu urea
sudah dikenal dan secara luas digunakan petani di Indonesia.
Acetamide, glycine dan glutamine dihidrolisis dengan laju yang lebih lambat
dari pada urea, dan Nitrogen yang terkandung dapat digunakan efisien oleh ternak
12
Ammonium CH3CHOHCO2NH4 13 81
lactate
penggunaan ini dan tingkat penggunaan biuret untuk ternak ruminansia masih
kontroversi (Fonnesbeck et al. 1975).
Penggunaan urea memiliki keterbatasan yaitu terlalu cepatnya urea
melepaskan ammonia begitu kontak dengan enzim urease di dalam cairan rumen
(Coppock et al. 1976; Visek 1984). Bloomfield et al. (1960) mendapatkan bahwa
kecepatan pelepasan ammonia dari hidrolisis urea dapat mencapai 4 kali lebih
cepat daripada kecepatan penggunaannya oleh mikrobial rumen.
Upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan urea adalah melalui
sinkronisasi laju fermentasi karbohidrat dengan laju pelepasan ammonia dari
fermentasi urea. Helmer & Bartley (1971) menyebutkan bahwa penggunaan pati
berpengaruh lebih baik sebagai sumber energi karena pati dalam menyediakan
kerangka karbon dan energi lebih sejalan dengan waktu pelepasan ammonia dari
13
pati dapat mengakibatkan ikatan pati menjadi lebih longgar (Gambar 2) sehingga
terjadi pembebasan amilosa yang akan menyebabkan daya kelarutan meningkat.
Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Sofyan (1983) bahwa ubi kayu yang
dimasak dengan pengukusan dapat mempengaruhi kelarutan pati. Sedangkan
Szylit et al. (1978) menyebutkan bahwa proses pemasakan pati diantaranya
bertujuan untuk mempercepat pemecahan pati oleh mikrobial rumen sehingga
pelepasan energinya akan sejalan dengan pelepasan ammonia dari senyawa
nitrogen bukan protein yang mudah dihidrolisis seperti urea dan akibatnya
ammonia dapat digunakan lebih efisien dalam rumen.
Pati terdiri dari suatu rantai unit-unit D-glucopyranosil dan memiliki rumus
umum (C6H10O5)n dengan n = 250 sampai diatas 1000. Ada 2 komponen utama
pada molekul pati yaitu amylopektin (75-80% ) yang bentuknya merupakan suatu
rantai bercabang dan sisanya adalah amylosa yang berbentuk linear (Austin
1986).
Ubi kayu merupakan sumber pati yang sangat potensial, dan merupakan
tanaman lokal yang mudah dibudidayakan di Indonesia serta dapat tumbuh
sepanjang tahun. Produksi ubi kayu di Indonesia cukup tinggi yang ditunjukkan
data statistik selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan yaitu dari 18 523
810 ton pada tahun 2003 menjadi 18 950 274 ton pada tahun 2007 (BPS 2007).
16
Tabel 3 Contoh RUP, ID, dan IADP dari berbagai suplemen protein.
No. Sumber protein RUP ID IADP
(% PK) (% RUP) (%PK)
1. Bungkil biji kapuk 55 80 43
2. Tepung kedelai 25 90 22
3. Tepung kedelai terekstrusi 66 88 58
4. Ampas bir 57 77 44
5. Tepung darah 88 63 55
6. Tepung bulu 76 67 51
7. Tepung ikan 65 80 52
8. Tepung tulang &daging (MBM) 59 55 33
Sumber: Stern et al. (2006).
Dijelaskan pula bahwa xylosa lebih cepat bereaksi dengan asam amino melalui
reaksi pencoklatan (browning reaction) dibandingkan gula pereduksi lainnya.
Temuan ini juga didukung oleh Can & Yilmaz (2002), bahwa xylosa dapat
digunakan sebagai protektor protein kedelai dari degradasi rumen, melalui reaksi
Mailard (non-enzimatic browning reaction) dan aman dikonsumsi ternak.
Menurut Harper et al. (1979) xylosa termasuk karbohidrat dari grup
monosakarida yang memiliki lima atom karbon (pentose: C5H10O5). Hasil
penelitian Lewis et al., (1988) yang disitasi oleh Leng (1991) tentang pengaruh
suplementasi pakan sapi berbahan dasar hijauan dan protein tepung kedelai yang
disemprot dengan xylosa (berbahan asal cairan sulfite) dan dipanaskan pada suhu
200 oF selama 2 jam menghasilkan bobot badan harian sapi seperti yang tersaji
pada Tabel 4.
Komposisi Tubuh
Komponen penyusun utama dari tubuh seekor ternak adalah air, lemak,
protein, dan abu. Komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh jenis ternak, bobot
badan, umur, jenis kelamin, dan status nutrisi (Soeparno 1992). Disebutkan pula
bahwa sejalan dengan kenaikan bobot badan, maka akan terjadi perubahan
22
Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial
4X3 dengan 3 kali ulangan pada tiap kombinasi perlakuan. Faktor A adalah
macam CASREA: Casrea1 (dibuat tanpa melalui ekstrusi sebelumnya); Casrea2
(diekstrusi sebelumnya), Casrea3 (diekstrusi sebelumnya), dan Casrea4 (diekstrusi
sebelumnya). Faktor B adalah waktu inkubasi: 2, 4, dan 6 jam. Ekstrusi dilakukan
pada suhu (180oC) dan tekanan sama (3000 kg/cm2) pada semua perlakuan
(Helmer et al. 1970) dengan menggunakan mesin ektruder merk Toshiba. Kajian
2: analisis kecernaan protein kasar (Tilley & Terry 1969) menggunakan RAL
dengan perlakuan 4 macam CASREA (sama dengan kajian 1) dan 3 kali ulangan.
dirancang dengan RAL pola faktorial (3x4), 3 ulangan. Faktor A adalah suhu
ekstrusi: 120, 150, dan 180oC, dan faktor B adalah kadar BL: 0, 3, 6 dan 9% dari
bahan kering tepung kedelai yang diuji. Waktu inkubasi batch culture dilakukan
selama 4 jam untuk pengukuran NH3, VFA, dan protein endapan, sedangkan
metode untuk pengukuran kecernaan protein kasar sama dengan percobaan 1.
Tabel 6 Kandungan nutrien bahan pakan yang diberikan pada sapi percobaan.
Bahan BK Abu Protein Lemak Serat Gross
(%) (%) kasar kasar kasar energy
(%) (%) (%) (kalori/g)
Jerami padi 76.93 23.06 5.06 3.85 34.98 2841.8
Dedak padi 91.19 16.7 8.56 10.87 32.62 3988.2
SPN A 93.41 10.5 44.06 5.98 16.15 4294.9
SPN B 92.74 11.64 49.81 5.5 15.98 3695.5
SPN C 91.19 12.39 56.93 5.86 12.52 3204.1
ammonia darah sebelum dan 3 jam setelah diberi ransum, protein mikrobial
rumen, komposisi tubuh, dan energi methan. Pendugaan protein mikrobial rumen
dilakukan melalui analisis derivate purine urine (Pimpa et al. 2001), pendugaan
komposisi tubuh dengan teknik urea space (Astuti & Sastradipradja 1999), dan
pendugaan energi methan melalui metode Kurihara et al. (1999), pengukuran
konsentrasi urea dan ammonia darah masing-masing dengan metode Berthelot dan
metode Raneff (Chaney & Marbach 1962).
Pengukuran Peubah
Teknik Fermentasi in vitro
Teknik fermentasi in vitro yang dipakai adalah metode batch culture (GLP
1966). Sebanyak 3 gram sampel suplemen protein dimasukkan kedalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum (yang berasal dari rumen
sapi berfistula) dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok. Larutan
penyangga McDougall tersebut memiliki komposisi seperti disajikan pada Tabel
8, dan sebelumnya dijenuhkan dengan CO2, sehingga pH-nya berkisar 6.8-6.9.
Sebelum difermentasikan isi fermentor juga dialiri CO2 untuk menciptakan
suasana anaerob dan selanjutnya fermentor ditutup rapat dengan tutup karet
berventilasi. Kemudian diinkubasikan kedalam Shaker bath pada temperature
40oC. Proses fermentasi dihentikan dengan menggunakan 0.2 ml HgCl2 jenuh.
Kemudian diambil sampel cairan rumen hasil fermentasi tersebut untuk dianalisis
konsentrasi VFA, NH3, dan protein endapan.
diaduk merata dan didiamkan 10 menit, lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000
rpm selama 20 menit. Supernatan dibuang, endapan ditambahkan lagi 1 ml larutan
TS dan ditambahkan aquades sampai volumenya 8 ml, kemudian disentrifuse lagi.
Endapan yang diperoleh dianalisis konsentrasi protein kasar (PK) dengan metode
Kjeldahl.
Metode Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi, dan
titrasi. Tahap destruksi adalah sebagai berikut: ditimbang sekitar 0.3 gram sampel
secara teliti dan dicatat sebagai X, kemudian dimasukkan kedalam labu destruksi.
Kemudian ditambahkan 1 gram katalis campuran selen serta 20 ml H2SO4 pekat
teknis dan dihomogenkan. Campuran dipanaskan dengan alat destruksi, mula-
mula pada posisi “low” sekitar 10 menit, kemudian pada posisi “mid” selama 5
menit, dan pada posisi “high” sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau,
proses ini berlangsung dalam ruang asam.
Selanjutnya tahapan destilasi, labu destruksi tadi didinginkan kemudian
larutan tersebut dimasukkan kedalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300
ml air bebas N. Setelah itu ditambahkan 5 butir batu didih dan larutan dijadikan
basa dengan menambahkan 300 ml NaOH 33%. Kemudian labu penyuling
dipasang dengan cepat diatas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan
hingga semua N tertangkap oleh H2SO4 yang ada didalam Erlenmeyer, atau
setelah dua pertiga larutan dalam labu penyuling telah menguap.
Proses terakhir adalah titrasi. Labu Erlenmeyer yang berisi hasil sulingan
tadi diambil, kemudian kedalam H2SO4 ditambahkan indikator pp dan kemudian
dititar dengan menggunakan NaOH 0.3 N. Proses titrasi dihentikan setelah terjadi
perubahan warna dari merah jambu menjadi biru. Volume NaOH dicatat sebagai
Z ml. Kemudian dibandingkan dengan titar blanko Y ml. Bobot protein endapan
(gram) dihitung berdasarkan rumus berikut:
Percobaan in vivo
Pada percobaan in vivo telah dilakukan beberapa pengukuran peubah yang
terkait dengan produksi ternak, utilisasi zat makanan, dan metabolit darah.
Peubah tersebut antara lain pertambahan bobot badan harian, konsumsi dan
kecernaan nutrien, sintesis N mikrobial rumen, deposisi protein, energi tercerna,
efisiensi ransum, kadar urea dan ammonia darah, serta pendugaan komposisi
tubuh dan energi methan.
PBBH = W2 – W1
t2 – t1
PBBH = Pertambahan bobot badan harian sapi
W2 = bobot badan sapi pada akhir pengamatan
W1 = bobot badan sapi pada awal pengamatan
t2 = waktu akhir pengamatan
t1 = waktu awal pengamatan
Konsumsi Nutrien
Konsumsi nutrien diperoleh dengan menimbang pakan segar yang diberikan
dikalikan dengan kandungan nutrien (BK, PK, BO), kemudian dikurangi sisa
pakan dan dikalikan dengan kandungan nutrien sisa pakan tersebut.
Efisiensi Ransum
Efisiensi ransum dihitung dengan cara membagi pertambahan bobot badan
harian dengan konsumsi BK ransum. Rumus menghitung efisiensi ransum adalah
sebagai berikut:
33
Kecernaan nutrien
Kecernaan nutrien dihitung dengan rumus berikut:
Energi Methan
Energi methan dihitung melalui pendugaan seperti yang telah dilakukan oleh
Kurihara et al. (1999), dengan rumus sebagai berikut:
CH4 (liter/hari)= 63.27 + 0.02678X, dimana X= konsumsi BK (g/hari)
Selanjutnya data produksi CH4 (liter/hari) dikonversikan menjadi nilai
energi dengan mengalikan 9.45 kal/liter dan 4.184 J untuk tiap kalori.
Sintesis N mikrobial
Sintesis N-mikrobial diestimasikan berdasarkan ekskresi total derivate purin
(DP) yaitu allantoin dan asam urat. Estimasi sintesis N- mikrobial dihitung
menurut Pimpa et al. (2001), dengan rumus berikut:
Y=0.85 X + (0.147) BB0.75
N-mikrobial (gN.hr-1) = X(mmol.hari-1) x 70 = 0.727 X
0.116 x 0.83 x 1000
Keterangan:
Y = ekskresi DP (mmol.hr-1)
X = absorbsi purin
0.85 = proporsi DP melalui plasma dan diekskresikan lewat urin
0.147 BB0.75 = kontribusi endogenus pada ekskresi DP
0.83 = koefisien cerna untuk N mikrobial
70 = kandungan N purin (mg/mmol)
0.116 = rasio N purin : total N pada biomas mikrobial
34
sehingga dapat masuk dalam kisaran larutan standar yang digunakan. Sebanyak 1
ml urin yang telah diencerkan dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah 5 ml
aquades dan 1 ml 0.5 M NaOH, dicampur sehingga homogen dengan vortex.
Tabung dimasukkan dalam oil bath bersuhu 100oC selama 7 menit kemudian
didinginkan. Selanjutnya ditambahkan 1 ml HCl 0.5 M dan 1 ml phenil hidrazin
dan dicampur hingga homogen dengan vortex, diinkubasikan kembali dalam oil
bath bersuhu 100oC selama 7 menit dan didinginkan dalam alcohol ice. Sebanyak
3 ml HCl pekat dingin dan 1 ml potassium ferrisianida dicampur dengan vortex,
dan setelah 20 menit dilakukan pembacaan pada panjang gelombang 522 nm.
langsung untuk larutan yang mengandung ammonia atau setelah hidrolisis dengan
urea menjadi larutan yang mengandung urea. Analisis ammonia dari sampel yang
stabil dapat diukur langsung (penentuan).
Sebanyak 1 ml larutan LA (Tungstat) + 2 ml plasma darah + 1 ml Larutan B
dingin (simpan dalam almari es) dan dicampur. Kemudian sampel ini disimpan
dalam friser selama 48 jam. Sampel di sentrifuse pada 15.000 g selama 10 menit.
Tabung yang lain ditambahkan 20 ml sampel+2.5 ml L.C.+2.5ml L.D. dan
kemudian segera dicampur. Inkubasi pada waterbath 40°C selama 30 menit.
Terbentuk warna biru. Setelah itu didinginkan pada suhu kamar, dan membaca
dengan spektronik pada l 630 nm.
Reagent yang digunakan untuk analisis ammonia:
- Larutan Sodium Hypochlorid 5%
- Monohidrat sodium karbonat 35 g atau Na2CO3 anhid 29.9193 g
- Chlorimeted lime (kaporid) 50 g
- Aquadest 259 ml
Cara pembuatan:
1. Na2CO3 dilarutkan dengan 125 ml aquadest
2. Chlorimeted lime dilarutkan dengan 125 ml aquadest
Larutan no 1 dicampur dengan larutan no.2, kemudian didiamkan selama 1
malam, digojog lalu disaring.
Larutan A (L.A) = 10% Sodium Tungstate (b/v)
Larutan B (L.B) = H2SO4 1N ® 28.032 ml H2SO4 95%/liter aquadest disimpan
dalam kulkas.
Larutan C (L.C) = phenol
50 mg Na Nitroprusside
10 gram phenol krustal
larutan menjadi 1 l dengan aquadest, kemudian disimpan dalam refrigerator
Larutan D (L.D) = Hypochloride
5 gram NaOH pellet,
21.31 g Na2HPO4 anhid atau 26.7125 g Na2HPO4 2H2O dilarutkan lebih dulu
dengan 100 ml aquadest, 25 ml Sodium Hypochlorid 5%, semua dicampur dan
dilarutkan menjadi 1 liter aquadest simpan dalam kulkas.
37
Energi Tercerna
Energi tercerna diketahui dengan cara menghitung jumlah energi pakan yang
dikonsumsi dikurangi dengan energi yang keluar melalui feces.
Deposisi Protein
Deposisi protein diketahui dengan cara menghitung jumlah protein pakan
yang dikonsumsi dikurangi dengan protein yang keluar melalui feces dan urin.
39
Analisis Data
Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisa keragaman menggunakan
ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Range Tests =
DMRT) menggunakan general linear procedure (GLM) Statistical Analyses
System (SAS 2000). Semua data dalam Tabel disajikan dalam nilai rataan dan
standar deviasi (nilai rataan ± standar deviasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan Umum
Hasil pemrosesan ekstrusi bahan suplemen protein berbasis ubi kayu-urea
memiliki tekstur keras dan pejal. Menurut Muchtadi et al. (1988) pati mempunyai
peranan penting bagi produk-produk ekstrusi, karena akan berpengaruh terhadap
tekstur. Pengaruh itu terutama disebabkan pada rasio amilosa/amilopektin dalam
pati. Rasio amilosa/amilopektin pada pati ubi kayu yaitu 32.5/67.5
(Sudarmonowati et al. 2006). Amilopektin diketahui bersifat merangsang
terjadinya proses mekar, sehingga produk ekstrusi yang berasal dari pati-patian
dengan kandungan amilopektin tinggi akan bersifat ringan, porus dan mudah
patah. Kebalikannya, pati dengan kandungan amilosa tinggi, yaitu pati yang
berasal dari umbi-umbian, misalnya ubi kayu cenderung menghasilkan produk
ekstrusi yang keras dan pejal karena proses mekar hanya terjadi secara terbatas
(Muchtadi et al. 1988).
Secara umum produk ekstrusi sangat efisien bila diproduksi dalam jumlah
besar atau skala industri, karena proses pembuatannya cepat (High Temperature
Short Time =HTST), produk yang dihasilkan seragam, proses ekstrusi
berkemampuan merusak senyawa toksik, memantapkan stabilitas urea, tidak
banyak menimbulkan limbah serta memudahkan dalam hal transportasi produk.
Fermentasi In Vitro
Berdasarkan analisis statistik tidak ada interaksi antara macam Casrea
dengan waktu inkubasi batch culture pada percobaan in vitro terhadap konsentrasi
VFA (Tabel 10) , NH3 (Tabel 11) , dan protein endapan (Tabel 12).
Tabel 10 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi VFA
(mM).
Tabel 11 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi NH3
(mM).
Gambar 3 Spektrum infra merah pada Casrea1 (a) dan Casrea2 (b).
semakin besar, dan ikatan ini sangat sulit dipecah kecuali dengan bantuan
biocatalyst berupa enzim-enzim yang ada dalam rumen.
Percobaan ini juga dikuatkan dari hasil penelitian yang dilakukan Galo et al.
(2003) yang mana urea yang dilapisi polimer (polymer-coated urea) mampu
memperlambat hidrolisis menjadi ammonia dari pada urea yang tidak dilapisi,
dan ammonia dapat digunakan lebih efisien oleh mikrobial rumen. Huntington et
al. (2006) juga menguatkan hasil penelitian ini, bahwa produk Slow Release Urea
(SRU) mampu efektif mengurangi laju pelepasan N ammonia rumen dibandingkan
dengan penggunaan suplemen urea dalam ransum sapi jantan kebiri.
Tabel 11 menunjukkan bahwa waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap
konsentrasi NH3 (p<0.05). Waktu inkubasi 2 jam menghasilkan NH3 lebih rendah
dibandingkan waktu inkubasi 4 dan 6 jam. Namun demikian, waktu inkubasi 4
dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, ini menunjukkan bahwa
konsentrasi NH3 mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam sampai 6 jam. Pada
waktu mulai inkubasi 4 jam penggunaan NH3 oleh mikrobial rumen mulai
45
optimal, sehingga pada inkubasi berikutnya (6 jam) tidak terjadi peningkatan NH3
yang nyata.
Tabel 12 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap bobot protein
endapan (mg).
Kecernaan Protein
Kecernaan protein mencerminkan mutu protein yang masuk ke dalam usus
halus setelah melalui rumen, baik yang berupa protein mikrobial maupun protein
pakan. Gambar 4 menunjukkan bahwa kecernaan protein pada Casrea1 lebih
rendah (p<0.05) dibandingkan ke tiga Casrea lainnya (Casrea2, Casrea3, dan
Casrea 4). Fenomena ini menunjukkan bahwa proses ekstrusi mampu
meningkatkan mutu protein yang masuk ke usus halus. Kecernaan protein pada
Casrea1, Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 masing-masing adalah 53.95, 76.16,
72.18 dan 69.07%. Casrea2 memiliki kecernaan protein tertinggi dibandingkan
Casrea1 (54%), Casrea3 (72%) dan Casrea4 (69%). Tingginya kecernaan protein
pada perlakuan Casrea2 disebabkan produksi protein mikrobial pada perlakuan ini
menunjukkan angka yang lebih besar (29.04 mg) diantara perlakuan lainnya. Hasil
ini membuktikan bahwa protein mikrobial rumen mempunyai kualitas yang baik
dan kecernaan yang tinggi serta sangat besar artinya untuk peningkatan pasokan
protein bagi ternak. Menurut Stern et al. (2006) karena protein mikrobial memiliki
kualitas yang tinggi, maka sangat penting untuk memaksimalkan sintesis protein
47
mikrobial dalam rumen. Disebutkan pula bahwa sintesis protein mikrobial dalam
rumen memiliki kontribusi yang besar terhadap pasokan protein ke dalam usus
halus ruminansia yaitu antara 50 – 80% dari total protein yang diabsorbsi. Jumlah
total protein mikrobial yang masuk dalam usus halus tergantung pada ketersediaan
nutrien dan efisiensi penggunaan nutrien-nutrien tersebut oleh mikrobial rumen.
CASREA selain mampu menyediakan suplai NH3 yang efisien juga mampu
bertindak sebagai sumber energi dan kerangka karbon bagi pertumbuhan
mikrobial rumen.
b b
76.16
b
72.18
80 69.07
a
70
53.95
60
50
40
30
20
10
0
Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4
Macam Casrea
Pengamatan Umum
Hasil pemrosesan ekstrusi tepung kedelai terproteksi xylosa black liquor,
memiliki tekstur keras dan remah serta beraroma. Aroma produk ini berbau enak
dan diharapkan dapat meningkatkan palatibilitas bila dikonsumsi oleh ternak
ruminansia. Bau yang enak ini, karena adanya reaksi mailard antara protein
kedelai dan gula xylosa yang berasal dari black liquor.
Secara umum produk ekstrusi sangat efisien bila diproduksi dalam jumlah
besar atau skala industri, karena proses pembuatannya yang cepat (High
Temperature Short Time =HTST), dan produk yang dihasilkan juga seragam.
48
Fermentasi In Vitro
Berdasarkan analisis statistik tidak ada interaksi antara perlakuan kadar BL
dengan suhu ekstrusi pada fermentasi in vitro terhadap konsentrasi VFA (Tabel
13), ammonia (Tabel 14), protein endapan (Tabel 15), dan kecernaan protein
(Tabel 16).
Tabel 13 Nilai rataan konsentrasi VFA (mM) selama 4 jam inkubasi pada
fermentasi In vitro
Tabel 14 Nilai rataan konsentrasi NH3 (mM) selama 4 jam inkubasi pada
fermentasi In vitro
Tabel 15 Nilai rataan bobot protein endapan (mg) selama 4 jam inkubasi
pada fermentasi In vitro
Kecernaan Protein
Tabel 16 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi
pada formulasi suplemen terhadap kecernaan protein melalui fermentasi in vitro.
Pengamatan Umum
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian demonstrative di perusahaan
peternakan sapi LUWES Karanganyar Jawa Tengah, serta dirancang bentuk
perlakuan yang tidak mengganggu pengelolaan ternak dan makanan pokoknya
sehari-harinya, terutama jerami dan dedak padi. Harapannya adalah agar hasil
yang diperoleh adalah tepat guna dan sesuai dengan lingkungan dan kondisi cara
pemberian pakan setempat. Peternak disekitar lingkungan perusahaan, pada
umumnya memelihara sapi pedaging yang rata-rata memberikan jerami padi dan
pakan tambahan berupa dedak padi. Perusahaan peternakan sapi LUWES
memelihara sapi pedaging dari jenis Peranakan Frisian Holstein (PFH) jantan
untuk tujuan penggemukan dan PFH betina untuk tujuan produksi susu. Selama
percobaan pemberian pakan berlangsung suhu rata-rata lingkungan pada pagi hari
53
25.3oC dan siang hari 30.4oC dengan kelembaban nisbi pada pagi hari 78.15% dan
60.32% pada siang hari. Suhu lingkungan ini sedikit lebih tinggi dari suhu
nyaman bagi sapi jenis FH (Frisian Holstein) yaitu : 18-20oC.
0.9
b b
0.8
0 .6 1 0 .6 2
0.7
0.6
0.5 a
0 .3 2
0.4
0.3
0.2
0.1
0
R0 R1 R2 R3
b b
ab 7. 63
7. 55
7. 32
8
a b
6. 41 b b
7 6. 03 6. 13
5. 87
a
6 5. 06
b b c
2 1. 1
a 0. 93 0. 99
0. 56
0
R0 R1 R2 R3
Nilai rataan konsumsi bahan kering ini (X, kg.hr-1) bila dihubungkan dengan
nilai rataan PBBH (Y, kg.hr-1) mengikuti persamaan regresi Y= -1.98 + 0.36 X
(R2= 0.90), artinya bahwa setiap peningkatan konsumsi bahan kering sebesar 1
kg.hr-1, maka PBBH meningkat rata-rata sebesar 0.36 kg.hr-1.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan penambahan SPN
pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi berpengaruh nyata (p<0.05)
terhadap konsumsi nutrien. Konsumsi nutrien pada R1, R2, dan R3 menunjukkan
nilai lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan R0. Hasil ini menunjukkan bahwa
penambahan suplemen protein pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi
dapat meningkatkan konsumsi nutrien (BK, BO, dan PK). Fenomena ini juga
mencerminkan bahwa ransum berbasis jerami dan dedak yang disuplementasi
protein memiliki palatibilitas lebih tinggi dibandingkan tanpa suplementasi
protein. Dengan demikian, pemberian SPN mampu meningkatkan selera makan
ternak. Disisi lain, konsumsi bahan kering dan bahan organik pada R1, R2, dan
R3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa
suplementasi protein pada ransum R1, R2, dan R3 memiliki palatibilitas yang
sama.
Konsumsi BK pada R0 menunjukkan nilai yang terendah (6.41 kg.hr-1)
sedangkan ransum R3 memiliki nilai tertinggi (7.63 kg.hr-1). Nilai rataan
konsumsi BK pada R3 ini lebih besar dari hasil temuan Kusuma (2006) yang
meneliti efek penambahan konsentrat komersial pada ransum sapi PFH jantan
berbasis jerami padi, yaitu mampu meningkatkan konsumsi bahan kering (BK)
sebesar 7.16 kg.hr-1. Menurut Choi & Song (2001) konsumsi BK merupakan
upaya memenuhi kebutuhan ternak untuk hidup pokok dan produksi. Peningkatan
konsumsi bahan kering disebabkan meningkatnya kecernaan ransum, sehingga
laju pengosongan isi rumen berlangsung lebih cepat.
Hasil penelitian ini juga memperkuat pendapat Haryanto & Djayanegara
(1993) bahwa konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh suplemen pakan yang
diberikan, kualitas pakan, serta ketersediaan zat-zat makanan seperti protein,
karbohidrat dan nutrisi lainnya. Owen et al. (1980) juga menemukan bahwa
penambahan suplemen protein yang diberi nama produk SRU (slow-release urea)
mampu meningkatkan konsumsi pakan secara signifikan (p<0.05) dibandingkan
56
penambahan suplemen urea pada domba jantan kebiri yang diberi kulit biji kapuk.
Sejalan dengan penelitian ini bahwa SPN C pada R3 mengandung 80% CASREA
mampu memperlambat pelepasan ammonia (slow release of ammonia) dalam
rumen, sehingga ammonia dapat digunakan lebih efisien untuk pertumbuhan
mikrobial rumen yang berpengaruh terhadap peningkatan kecernaan pakan yang
pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi total pakan.
Peningkatan pertambahan bobot badan yang sangat menonjol akibat
pemberian suplemen protein dengan diikuti peningkatan konsumsi bahan kering
yang tidak begitu tinggi pada R3 dibandingkan R0, maka akan menyebabkan nilai
efisiensi penggunaan ransum cenderung meningkat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penambahan suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi
berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap efisiensi penggunaan ransum (Tabel 17).
Efisiensi penggunaan ransum pada R1, R2, dan R3 lebih tinggi dibandingkan R0.
Hasil ini menunjukkan bahwa suplementasi protein mampu meningkatkan
efisiensi penggunaan ransum. Nilai efisiensi penggunaan ransum memiliki arti
penting dalam manajemen produksi ternak sapi pedaging, sehingga sering
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Efisiensi
penggunaan ransum tertinggi dicapai pada R3 (11%), sedangkan terendah R0
(5.2%).
Peubah Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05).
57
mineral sulfur, minyak kelapa dan ikan, serta asam amino bercabang, menemukan
bahwa komposisi protein dan lemak tubuh, masing-masing berkisar antara
14.67%-14.96% dan 28.27%-29.65%, serta relatif tidak mengalami perubahan
dibandingkan ransum tanpa suplementasi.
60 a
a a a
5 1 .6 1
4 8 .9 7 4 8 .1 7 4 8 .4 3
50
a a
40 a
3 3 .3 6 3 4 .4 1 3 4 .0 8 a
2 9 .8 7
30
20 a a a a
1 2 .6 8 1 2 .5 1 1 2 .5 7 1 3 .4 3
10
0
R0 R1 R2 R3
meningkatkan sintesis mikrobial rumen. Hubungan antara energi gas methan (Y,
MJ.kgKBK-1.hr-1) dengan sintesis mikrobial rumen (X, gN.hr-1) mengikuti
persamaan Y=1.51-0.002X (R2= 0.9), artinya bahwa setiap peningkatan sintesis
mikrobial rumen sebesar 1 gN.hr-1, maka energi methan menurun rata-rata sebesar
0.002 MJ.kgKBK-1.hr-1. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Leng (1991),
bahwa pemberian suplemen urea pada jerami padi dapat mereduksi gas methan.
Disebutkan pula bahwa kontribusi gas methan asal ternak ruminansia (sapi,
kambing, domba) terhadap pemanasan global atmosfer, diestimasikan berkisar 15-
25% dari produksi methan global. Hasil penelitian ini juga mencerminkan bahwa
pemberian suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi,
memiliki kontribusi terhadap penurunan emisi gas methan, sehingga produk
rekayasa SPN ini berpeluang ramah lingkungan.
Peubah Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05).
61
menggunakan protein murni dari pakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sintesis N mikrobial rumen meningkat (p<0.05) akibat pemberian SPN. Nilai
rataan sintesis protein mikrobial rumen pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing
adalah 26.83, 50.80, 65.20, dan 70.15 g N.hr-1. Hasil tertinggi sintesis N mikrobial
rumen dicapai pada R3 (70.15 gN.hr-1), sedangkan yang terendah adalah R0
(26.83 gN.hr-1). Peningkatan sintesis N mikrobial rumen ini sangat besar artinya
untuk peningkatan aktivitas fermentasi rumen maupun untuk pasokan protein ke
usus halus. Peningkatan sintesis mikrobial rumen juga berlanjut pada peningkatan
kecernaan zat-zat makanan. Protein mikrobial yang diproduksi didalam rumen
oleh berbagai mikroorganisme merupakan sumber utama protein untuk
ruminansia dan pendugaan efisiensi produksi protein mikrobial adalah sangat
penting dalam nutrisi ruminansia (Srinivas & Krishnamoorthy 2005).
Proporsi CASREA (80%) yang lebih besar dari pada SOYXYL (20%)
dalam SPN C pada ransum R3 berdampak positip terhadap peningkatan sintesis
mikrobial rumen (Tabel 18). Hasil ini didukung percobaan 1, bahwa suplemen
protein CASREA ini mampu menghasilkan produksi protein mikrobial yang
optimal. Disisi lain, fenomena ini juga menunjukkan bahwa peningkatan sintesis
mikrobial rumen pada R3 dibandingkan perlakuan lainnya, berdampak terhadap
menurunnya penggunaan SOYXYL sebagai sumber suplemen RUP. Menurut
Chumpawadee et al. (2006), produksi protein mikrobial rumen yang tinggi dapat
menurunkan kebutuhan suplementasi RUP. Berkurangnya proporsi penggunaan
RUP, maka secara ekonomis akan menurunkan biaya pakan (feed cost) dalam
suatu manajemen pengelolaan sapi, karena suplemen RUP berbahan baku utama
tepung protein kedelai berharga relatif mahal. Sebaliknya CASREA berbahan
baku utama ubi kayu dan urea, selain mudah didapat juga relatif lebih murah.
Hasil penelitian ini didukung oleh temuan Golombeski et al. (2006), bahwa
penggantian penggunaan tepung kedelai dengan produk SRU mampu
meningkatkan efisiensi pakan pada ransum sapi perah yang sedang laktasi.
Produksi protein mikrobial rumen sebagian besar tergantung pada ketersediaan
karbohidrat dan nitrogen dalam rumen. Proporsi CASREA sebesar 80% dalam
SPN C mengandung sejumlah besar ubi kayu (68%) juga merupakan sumber
karbohidrat potensial, sehingga CASREA selain menyediakan N juga bertindak
63
sebagai penyedia kerangka karbon dan energi untuk sintesis mikrobial rumen.
Hasil penelitian ini menguatkan temuan Shabi et al. (1998) bahwa ketersediaan
energi dalam rumen (Ruminal degradable organic matter) merupakan faktor
pembatas terpenting dalam penggunaan N rumen oleh mikrobial rumen. Khampa
et al. (2006) juga menemukan bahwa ubi kayu dalam ransum dapat meningkatkan
populasi bakteri, dan memperbaiki pasokan N mikrobial dalam rumen.
Tabel 19 Kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah makan
Peubah Perlakuan
R0 R1 R2 R3
urea darah ini diduga berhubungan erat dengan meningkatnya kadar ammonia
rumen akibat penambahan SPN dalam ransum. Hasil penelitian Chanjula et al.
64
Tabel 20 Pengaruh SPN dalam ransum terhadap IOFC (Income Over Feed Cost)
setelah 3 jam makan yaitu hanya sebesar 0.96 mg% pada R3, sedangkan batas
toleransi maximal konsentrasi ammonia dalam darah adalah 5 mg%. Rendahnya
konsentrasi ammonia dalam darah akibat penambahan SPN C, membuktikan
bahwa mikrobial rumen sangat efisien dalam menggunakan ammonia yang
terlepas dari CASREA. Fenomena ini juga diperkuat dengan diperolehnya
konsentrasi urea dalam darah yang merupakan hasil detoxifikasi ammonia dalam
organ hati, pada 3 jam setelah makan yaitu sebesar 37.56 mg% pada R3. Nilai ini
ternyata juga masih dibawah batas toleransi maximal kadar urea darah pada
ruminansia yaitu sebesar 40 mg%. Dengan demikian, secara fisiologis efek
pemberian SPN C aman dikonsumsi oleh ternak sapi.
Efek pemberian SPN C pada ransum berbasis jerami dan dedak padi mampu
mereduksi gas methan dibandingkan ransum kontrol. Pada SPN C menghasilkan
energi methan sebesar 1.40 MJ.kgKBK-1.hr-1, sedangkan ransum kontrol sebesar
1.47 MJ.kgKBK-1.hr-1. Reduksi energi methan ini disebabkan oleh keampuhan
SPN C untuk meningkatkan efisiensi fermentasi dalam rumen akibat peningkatan
sintesis mikrobial rumen. Hasil ini dalam aplikasinya juga mengindikasikan
bahwa SPN C secara tidak langsung memiliki kontribusi terhadap penurunan
emisi gas methan di atmosfer, yang selama ini diestimasikan oleh para peneliti
bahwa ruminansia memiliki kontribusi tehadap pemanasan global di atmosfer
berkisar antara 15%-25% dari produksi methan global. Dengan demikian, produk
SPN C berpeluang menjadi suplemen protein yang ramah lingkungan.
Bila dilihat dari rendahnya komposisi pemakaian SOYXYL dalam SPN C
yaitu hanya sebesar 20% secara ekonomis sangat menguntungkan, karena bahan
utama dalam SOYXYL adalah tepung kedelai, yang harganya relatif lebih mahal
dan ketersediannya tidak kontinyu, dibandingkan urea sebagai penyusun
CASREA. Walaupun demikian, SOYXYL juga berperan dalam memasok protein
bernilai hayati tinggi yang berasal dari pakan, karena SOYXYL mampu bertindak
sebagai bypass protein yang berasal dari tepung kedelai terproteksi xylosa black
liquor melalui proses ekstrusi. Dengan demikian pemakaian bahan kedelai dapat
lebih efisien, karena sebagian besar protein kedelai akan terdegradasi dalam
rumen apabila tanpa melalui proteksi. Berdasarkan komposisi suplemen yang
ideal ini (80% CASREA & 20% SOYXYL), maka SPN C mampu memberikan
68
IOFC yang tertinggi yaitu sebesar Rp 7500 ekor-1.hr-1 dibandingkan kontrol yang
hanya menghasilkan IOFC sebesar Rp1360 ekor-1.hr-1.
Berdasarkan berbagai analisis terhadap peubah dalam penelitian ini, maka
dapat diperkirakan bahwa efek positip SPN C tersebut disebabkan: (1) SPN C
mampu meningkatkan konsumsi dan kecernaan beberapa zat makanan, (2) SPN C
berbahan kombinasi ideal antara sumber RDP (Rumen Degradable Protein) dan
RUP (Rumen Undegradable Protein) mampu memberikan kondisi yang lebih
kondusif dalam rumen dan pasca rumen, yaitu optimalisasi sintesis mikrobial
rumen dengan teknik SRA dan optimalisasi efisiensi suplemen protein bernilai
hayati tinggi yang diproteksi limbah black liquor sebagai agen xylosa, (3) SPN C
mampu meningkatkan produksi ternak, yang direfleksikan adanya penambahan
bobot badan, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan IOFC, (4) SPN C
cenderung mampu menghasilkan karkas sapi yang lebih berdaging (lean),
(5) SPN C aman dikonsumsi ternak sapi, ramah lingkungan, dan praktis dalam
penggunaannya.
sawah dan ternak sapi (Crop Livestock System) secara optimal. Dengan demikian,
penerapan program suplementasi protein di daerah persawahan padi, akan
menjamin sistem keberlanjutan usaha tani baik usaha tani padi maupun usaha
ternak sapi. Oleh karena itu, program suplementasi protein ini secara tidak
langsung dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan
produksi padi dan swasembada daging.
Teknik penyajian suplemen protein cukup praktis, karena hanya
mencampurkannya pada bahan utama dedak padi, sehingga efisien waktu dan
mengurangi beban tenaga kerja. Suplemen protein ini dapat dibuat dari bahan
baku lokal (seperti ubi kayu, urea, dan kedelai), sehingga membuka peluang untuk
didirikan pabrik-pabrik pakan mini di daerah sekitar persawahan padi melalui
pemberdayaan usaha kelompok petani dan peternak.
Secara umum, alternatif pengembangan program suplementasi protein yang
dapat dilakukan ke depan adalah:
1. Pendirian pabrik pakan mini di daerah sekitar persawahan padi dengan
memanfaatkan penggunaan suplemen protein.
2. Pembuatan dedak plus yaitu dedak yang diperkaya dengan suplemen protein
sebagai pakan ruminansia.
3. Mendorong pabrik penggilingan beras (huller) untuk melakukan diversifikasi
usaha pembuatan dedak plus.
4. Menggerakkan dan memperluas penyebaran sapi pedaging di daerah
persawahan padi.
Secara ringkas, implementasi pengembangan program suplementasi protein
di daerah persawahan padi diilustrasikan pada Gambar 8.
70
PERSAWAHAN PENGGILINGAN
PADI BERAS
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka secara umum
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Proses ekstrusi ubi kayu-urea bermanfaat untuk memperlambat pelepasan
amonia dan memacu biosintesis protein mikrobial rumen, sehingga dapat
dijadikan dasar alternatif rekayasa suplemen protein CASREA (degradable
protein). CASREA yang optimal dapat direkayasa dari ekstrusi 22% urea dan
68% ubi kayu.
2. Xylosa black liquor dari limbah pabrik kertas dapat digunakan sebagai bahan
protektor protein kedelai melalui proses ekstrusi. Suplemen protein SOYXYL
yang bersifat undegradable protein dapat direkayasa dari kedelai yang
dicampur xylosa black liquor 3% dan diekstrusi pada suhu 150oC.
3. Ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi dapat ditingkatkan
manfaat nutrisi & ekonomisnya melalui penggunaan suplemen protein.
4. Teknologi pembuatan suplemen protein yang dapat meningkatkan
produktivitas sapi pedaging dapat direkayasa dari kombinasi yang tepat antara
CASREA dan SOYXYL dengan rasio 80/20.
SARAN
1. Mengingat dominasi peran mesin ekstruder dalam rekayasa suplemen protein
CASREA dan SOYXYL, maka perlu dikembangkan mesin ekstruder mini
agar dapat memudahkan aplikasinya pada pabrik pakan mini di daerah
persawahan padi.
2. Mendorong pabrik penggilingan beras (huller) untuk mengembangkan
diversifikasi usaha dengan menghasilkan dedak plus, yaitu dedak yang sudah
diperkaya dengan suplemen protein, sehingga dapat menghindari praktek
manipulasi pencampuran dedak padi dengan bahan lain yang rendah mutunya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah AY, Awawdeh FT. 2004. The effect of protein source and
formaldehyde treatment on growth and carcass composition of Awassi
Lambs. Asian-Aust J Anim Sci 17: 1080-1087.
Andrew SM, Erdman RA, Waldo DR. 1995. Prediction of body composition of
dairy cows at three physiological stages from deuterium oxide and urea
dilution. J Dairy Sci 78:1083-1095.
Andries JI, Buysse FX, DeBrabander DL, Cottyn BG. 1987. Isoacids in
ruminant nutrition:Their role in ruminal and intermediary metabolism and
possible influences on performance-A review. Anim Feed Sci Technol 18:
169.
Antonelli AC, Mori CS, Soares PC, Kitamura SS, Ortolani EL. 2004.
Experimental ammonia poisoning in cattle fed extruded or prilled
urea:clinical findings. Braz J Vet Res Anim Sci 41:67-74.
Berg TR, Butterfield MR. 1976. New Concept of Cattle Growth. Australia:
Sydney University.
Bloomfield RA, Garner GB, Muhrer ME. 1960. Kinetics of urea metabolism in
sheep. J Anim Sci 19:1248 (abstr.).
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat
Statistik.
[BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat
Statistik.
Brunetti J. 2004. True Protein vs. ‘Funny Protein’. Canada: Acres USA.
Cameron MR, Klusmeyer TH, Lynch GL, Clark JH, Nelson DR. 1991. Effect
of urea and starch on rumen fermentation, nutrient passage to the
duodenum, and performance of cows. J Dairy Sci 74:1321-1336.
73
Casper DP, Schingoethe DJ. 1989. Lactational response of dairy cows to diets
varying in ruminal solubilities of carbohydrate and crude protein. J Dairy
Sci 72:928-941.
Chalupa W. 1974. Rumen bypass and protection of proteins and amino acids. J
Dairy Sci 58:1198-1218.
Chaney AL, Marbach EP. 1962. Modified reagent for determination of urea
and ammonia. Clinical Chemistry 8:130-132.
Chen XB, Howell FD, Orskov DE, Brower. 1990. Excretion of purine
derivative by ruminant: effect of exogen nucleic acid supply on purine
derivative excretion by sheep. Br J Nutr 63:131-142.
Choi SH, Song MK. 2001. Effect of feeding level of concentrate and age on the
FAS activities of adipose tissues in Hanwoo steers. Asian-Aust J Anim Sci
14 : 1696–1700.
Cleale RM, Klopfenstein TJ, Britton RA, Satterlee LD, Lowry SR. 1987.
Induced non-enzymatic browning of soybean meal. III. Digestibility and
efficiency of protein utilization by ruminants of soybean meal treated with
xylose or glucose. J Anim Sci 65:1327-1335.
Coppock CE, Peplowski MA, Lake GB. 1976. Effect of urea form and method
of feeding on rumen ammonia concentration. J Dairy Sci 59:1152-1156.
74
Crampton EW, Harris LE. 1969. Applied Animal Nutrition. San Francisco: WH
Freeman & Co.
Cullison AE. 1968. Feeds and Feeding. New Delhi: Prentice-Hall of India.
Doyle PT, Devendra C, Pearce GR. 1986. Rice Straw as a Feed Ruminants.
Canberra: International Development Program of Australian Universities
and Colleges Limited (IDP).
Ensminger ME, Oldfield JE, Heinemann WW. 1990. Feeds and Nutrition. 2nd
Edition. California: The Ensminger Comp.
Fonnesbeck PV, Kearl LC, Harris LE. 1975. Feed grade biuret as a protein
replacement for ruminants. J Anim Sci 40:1151.
Frisch JE. 1978. Adaptation, Nutrition, and Agronomy: Course Manual in Beef
Cattle Management and Economics. Brisbane: Australian Vice-
Chancellors Committee, Academic Press Pty.Ltd.
Galo E, Emanuele SM, Sniffen CJ, White JH, Knapp JR. 2003. Effect of
polymer-coated urea product on Nitrogen metabolism in lactating
Holstein dairy cattle. J Dairy Sci 86:2154-2162.
Gerpacio AL, Pascual FS, Querubin LJ, Mercado CI, Bechayda CT. 1979.
Evaluation of tuber meals as energy sources. IV. The effect of varying
energy/protein ratios on the feeding value of broiler rations containing
Tannia/(Xanthosema sp). and Pongapong (Amorphophallus
campanulatus) meals. Phil J Vet Animal Sci 5(1): 1-13.
Golombeski GL, Kalscheur KF, Hippen AR, Schingoethe DJ. 2006. Slow-
release Urea and Highly Fermentable Sugars in Diets Fed to lactating
dairy cows. J Dairy Sci 89:4395-4403.
Helmer LG, Bartley FE, Deyoe CW, Meyer RM, Pfost HB. 1970. Feed
processing. V. Effect of an expansion-processed mixture of grain and
urea (Starea) on nitrogen utilization in vitro. J Dairy Sci 53 (3).
Helmer LG, Bartley FE. 1971. Progress in the utilization of urea as protein
replacer for ruminants. A review J Dairy Sci 1:25-29.
Hoover WH, Stokes SR. 1991. Balancing carbohydrates and protein for
optimum rumen microbial yield. J Dairy Sci 74:3630-3644.
Huber JT, Kung L . 1981. Protein and non-protein nitrogen utilization in dairy
cattle. J Dairy Sci 64:1170-1195.
Huntington GB, Harmon DL, Kristensen NB, Hanson KC, Spears JW. 2006.
Effects of a slow-release urea source on absorpsion of ammonia and
endogenous production of urea by cattle. Anim Feed Sci Technol
doi:10.1016/ j.anifeedsci.2006.01.012.
Jesse GW, Thompson GB, Clark JL, Hendrick HB, Weimer KG. 1976. Effect
of ration energy and slaughter weight on composition of empty body
weight and carcass gain of beef cattle. J Anim Sci 43(2):418-425.
Kusuma IM. 2006. Deposisi energi pada sapi peranakan Ongole dan sapi
peranakan Frisian Holstein jantan yang mendapat pakan 60% konsentrat
dengan pakan basal jerami padi [skripsi]. Semarang: Fakultas Peternakan,
Universitas Diponegoro.
Loest CA, Titgemeyer EC, Drouillard JS, Lambert BD, Trater AM. 2001.
Urea and biuret as nonprotein nitrogen sources in cooked molasses blocks
for steers fed prairie hay. Anim Feed Sci Tech 94:115-126.
Maynard LA, Loosli JK, Harold FH, Warner RG. 1979. Animal Nutrition.
New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company Limited.
Nakamura T, Klopfenstein TJ, Owen FG, Britton RA, Grant RJ. 1992.
Nonenzymatically browned soybean meal for lactating dairy cows. J
Dairy Sci 75:3519.
Nocek JE, Russel JB. 1988. Protein and energy as an integrated system.
Relationship of ruminal protein and carbohydrate availability to microbial
synthesis and milk production. J Dairy Sci 71:2070-2107.
Ortiz RMA, Haenlein GFW, Galina M. 2001. Effect on feed intake and body
weight gain when substituting maize with sugar cane in diets for Zebu
steers complemented with slow release urea supplements. Int J Anim Sci
16 (2): 239-245.
Owen FN, Lusby KS, Mizwicki K, Forero O. 1980. Slow ammonia release from
urea:rumen and metabolism studies. J Anim Sci 50(3):527-531.
Perry TW. 1980. Beef Cattle Feeding and Nutrition. New York: Academic
Press.
Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production Systems with
Available Resources in the Tropics and Sub-Tropics. Armidale:
Penambul Books.
Preston TR, Willis MB. 1974. Intensive Beef Production. 2nd Edition. Oxford:
Pergamon Press.
78
Rule DC, Arnold RN, Hentges EJ, Beitz DC. 1986. Evaluation of urea dilution
technique for estimating body composition of beef steers in vivo:
validation of published equation &comparison chemical composition. J
Anim Sci 63:1935.
[SAS] Statistical Analysis System. 2000. SAS User’s Guide. NC: SAS
Institute Inc., SAS Campus Drive, Cary, NC 27513.
Schingoethe DJ. 1996. Dietary influence on protein level in milk and milk yield
in dairy cows. Anim Feed Sci Technol 60:181-190.
Scott M, Dalden L, Mesheim C, Young RJ. 1976. Nutrition of the Chicken. 2nd
Edition. New York: M.L.Scott & Associates.
Sewell HB. 1993. Urea Supplements for Beef Cattle. Columbia: Department of
Animal Sciences, University of Missouri.
Skoog DA, West DM, Holler FJ. 1992. Analytical Chemistry. New York:
Saunder College Publishing.
Sofyan LA. 1983. Perubahan kepekaan ubi kayu oleh waktu pemasakan
terhadap amilolisis mikroba rumen serta pemanfaatannya untuk ransum
domba dan kerbau yang mengandung urea [disertasi]. Bogor: Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Stanton TL, Whittier J. 2006. Urea and NPN for Cattle and Sheep. Colorado:
Colorado State University Extension-Agriculture.
Stern MD, Hoover WH, Sniffen CJ, Crooker BA, Knowlton PH. 1978. Effect
of nonstructural carbohydrate, urea, and soluble protein on microbial
protein synthesis in continuous culture of rumen content. J Anim Sci
47:944-956.
Stern MD, Hoover WH. 1979. Methods for determining and factors affecting
rumen microbial protein synthesis: A review. J Anim Sci 49:1590-1603.
Suryahadi, Amrullah IK. 1989. Pembuatan “OGREA” sebagai pakan dari hasil
ikutan tanaman dan pengolahan ubi kayu yang difermentasi dengan
Aspergillus niger. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Tilley JM, Terry RS. 1969. A two stage technique for in vitro digestion of
forage crops. J Br Grassland Society 18(2):104-111.
Van Soest PJ. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. Oregon: O and B
Books.
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 3.429762
Number of Means 2 3 4
Critical Range 1.802 1.892 1.951
A 43.4194 9 1
B 31.4417 9 4
B 30.5433 9 3
B 29.6450 9 2
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 3.429762
Number of Means 2 3
Critical Range 1.560 1.639
B 36.3825 12 3
B 35.4842 12 2
A 29.4204 12 1
83
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 169.1667
Number of Means 2 3 4
Critical Range 12.65 13.29 13.70
A 168.222 9 1
B 153.444 9 2
B 151.444 9 3
B 150.444 9 4
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 169.1667
Number of Means 2 3
Critical Range 10.96 11.51
B 166.833 12 3
B 163.500 12 2
A 137.333 12 1
84
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 15.56026
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.838 4.031 4.155
B 29.040 9 2
B 27.436 9 3
B 26.619 9 4
A 21.097 9 1
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 15.56026
Number of Means 2 3
Critical Range 3.324 3.491
B 28.386 12 3
B 26.979 12 2
A 22.779 12 1
85
Lampiran 4 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan
uji DMRT pada percobaan 1
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 8
Error Mean Square 32.71505
Number of Means 2 3 4
Critical Range 10.77 11.22 11.48
B 76.162 3 2
B 72.178 3 3
B 69.073 3 4
A 53.951 3 1
86
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 4.035014
Number of Means 2 3
Critical Range 1.693 1.778
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 4.035014
Number of Means 2 3 4
Critical Range 1.954 2.053 2.116
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 221.6667
Number of Means 2 3
Critical Range 12.54 13.18
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 221.6667
Number of Means 2 3 4
Critical Range 14.49 15.21 15.68
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 16.24045
Number of Means 2 3
Critical Range 3.396 3.566
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 16.24045
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.921 4.118 4.245
Lampiran 8 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan
uji DMRT pada percobaan 2
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 22.95139
Number of Means 2 3 4
Critical Range 4.661 4.896 5.046
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.021142
Number of Means 2 3 4
Critical Range .2326 .2428 .2486
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.021142
Number of Means 2 3 4
Critical Range .2326 .2428 .2486
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 3617.544
Number of Means 2 3 4
Critical Range 96.2 100.4 102.8
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 25.75344
Number of Means 2 3 4
Critical Range 8.117 8.473 8.677
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.323111
Number of Means 2 3 4
Critical Range .9092 .9490 .9719
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.171099
Number of Means 2 3 4
Critical Range .6616 .6906 .7073
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 3490.932
Number of Means 2 3 4
Critical Range 94.5 98.6 101.0
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 5.483781
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.746 3.910 4.004
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 5.691428
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.816 3.983 4.079
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 4.30904
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.320 3.466 3.549
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 2.849923
Number of Means 2 3 4
Critical Range 2.700 2.819 2.887
Lampiran 19 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 0 jam
(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.00483
Number of Means 2 3 4
Critical Range .1112 .1160 .1188
Lampiran 20 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 0 jam
(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 15.07715
Number of Means 2 3 4
Critical Range 6.211 6.483 6.639
Lampiran 21 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 3 jam
(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.043117
Number of Means 2 3 4
Critical Range .3321 .3467 .3551
Lampiran 22 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 3 jam
(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 35.46251
Number of Means 2 3 4
Critical Range 9.53 9.94 10.18
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 218.2869
Number of Means 2 3 4
Critical Range 23.63 24.67 25.26
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.001342
Number of Means 2 3 4
Critical Range .05859 .06115 .06263
Lampiran 25 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap protein tubuh (%)
dan uji DMRT pada percobaan 3
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.870294
Number of Means 2 3 4
Critical Range 1.492 1.558 1.595
.
107
Lampiran 26 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap lemak tubuh (%)
dan uji DMRT pada percobaan 3
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 21.65357
Number of Means 2 3 4
Critical Range 7.443 7.769 7.957
Lampiran 27 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap air tubuh (%)
dan uji DMRT pada percobaan 3
Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 12.42731
Number of Means 2 3 4
Critical Range 5.639 5.886 6.028