You are on page 1of 126

REKAYASA SUPLEMEN PROTEIN PADA

RANSUM SAPI PEDAGING BERBASIS


JERAMI DAN DEDAK PADI

BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Rekayasa Suplemen Protein


pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi adalah karya saya
dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
disertasi ini.

Bogor, April
2008

Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetiyono


NIM D061030031
ABSTRACT

BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO. Protein Supplement


Engineering in Rice Straw and Bran Based Ration for Beef Cattle. Under
direction of SURYAHADI, TOTO TOHARMAT, and RIZAL SYARIEF.

Three experiments were conducted to formulate the best protein supplement


(SPN) composed of CASREA and SOYXYL in rice straw and bran based ration
offered to beef cattle. The first experiment was designed to formulate and evaluate
a protein supplement of CASREA characterised by the slow released degradable
protein for stimulating rumen microbial protein. The treatments were kinds of
Casrea and incubation time allocated in a completely randomize design in a 4x3
factorial pattern. The kinds of Casrea were: Casrea1 (based on non extruded 32%
urea and 58% cassava), Casrea2 (based on extruded 22% urea and 68% cassava),
Casrea3 (based on extruded 27% urea and 63% cassava), Casrea4 (based on
extruded 32% urea and 58% cassava). The incubation time was: 2, 4, and 6 hours.
CASREA engineering with extrusion was proven effective in decreasing (p<0.05)
the rate of rumen NH3 release, but increasing (p<0.05) microbial protein synthesis
(MPS) and protein digestibility (PD). CASREA engineering with the extrusion of
22% urea and 68% cassava had the highest MPS and PD.
The second experiment was designed to formulate and evaluate a protein
supplement called SOYXYL which has high biological value for bypass proteins.
The treatments were temperature extrusion and xylose black liquor (BL)
concentration allocated in a completely randomize design in a 3x4 factorial
pattern. The temperature extrusion levels were 120, 150, and 180oC, whereas the
BL concentrations were 0, 3, 6, and 9 % of soybean meal (SBM) dry matter. The
protein supplement composed of extruded SBM-xylose BL was proven effective
in increasing (p<0.05) rumen undegradable protein (RUP). SOYXYL engineering
by protection of SBM with xylose BL 3% and extrusion at 150oC had the highest
RUP.
The third experiment was designed to formulate and evaluate the best
protein supplement composed of CASREA (the best treatment of experiment 1)
and SOYXYL (the best treatment of experiment 2) for improving productivity of
beef cattle fed on rice straw and bran based ration. Sixteen dairy cattle bulls aged
12-15 months were divided into 4 groups in a randomize block design, to receive
one of the following treatments: R0= control (rice straw and bran), R1= R0 +
SPN A, R2= R0 + SPN B, R3= R0 + SPN C. SPN A, B, and C composed of
CASREA: SOYXYL in ratio of 20:80, 50:50, and 80:20, respectively. SPN
increased (p<0.05) dry matter, organic matter and protein intake and their
digestibility, ration efficiency, and daily gain. The highest daily gain (0.85 kg.d-1),
ration efficiency (11%), and income over feed cost (Rp 7500 head-1.d-1) were
observed in treatment R3. The R3 treatment had lower methane energy (1.40
MJ.kgDMI-1.d-1) compare to R0 (1.47 MJ.kgDMI-1.d-1). In conclusion, the protein
supplements composed of CASREA and SOYXYL were proven effective in
increasing both MPS and RUP. Rice straw and bran based ration supplemented
with SPN C improved the performance of cattle.

Keywords: rice straw, bran, cassava, urea, soybean meal, extrusion.


RINGKASAN
BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO. Rekayasa Suplemen
Protein pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Dibimbing
oleh SURYAHADI, TOTO TOHARMAT dan RIZAL SYARIEF.

Potensi jerami padi di Indonesia melimpah, namun pemanfaatannya sebagai


pakan ternak sapi masih rendah, karena adanya keterbatasan input teknologi yang
aplikatif. Peternak di daerah sekitar lahan persawahan pada umumnya hanya
menggunakan pakan tambahan pada jerami padi berupa dedak padi. Padahal
kedua bahan utama ini memiliki kualitas protein yang rendah, sehingga akan
mengganggu keseimbangan kebutuhan energi-protein sapi dan kurang efisien
penggunaannya. Oleh karena itu, salah satu cara yang strategis dan aplikatif
adalah melalui suplementasi protein pada kedua bahan utama tersebut.
Tiga percobaan telah dilakukan yang bertujuan untuk memformulasi
suplemen protein terbaik (SPN) melalui kombinasi CASREA dan SOYXYL pada
ransum berbasis jerami dan dedak padi untuk sapi pedaging. Percobaan 1
dirancang untuk memformulasi dan mengevaluasi suplemen protein CASREA
yang memiliki karakteristik terdegradasi di rumen dengan laju diperlambat untuk
menstimulasi pertumbuhan mikrobial rumen. Perlakuan dalam percobaan terdiri
dari macam Casrea dan waktu inkubasi (batch culture method) yang dirancang
dalam rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial 4x3. Macam Casrea adalah:
Casrea1 (berbasis 32% urea dan 58% ubi kayu, tanpa ekstrusi), Casrea2 (berbasis
22% urea dan 68% ubi kayu, terekstrusi), Casrea3 (berbasis 27% urea dan 63%
ubi kayu, terekstrusi), dan Casrea4 (berbasis 32% urea dan 58% ubi kayu,
terekstrusi) dan waktu inkubasi adalah: 2, 4, dan 6 jam. Rekayasa CASREA
dengan ekstrusi terbukti efektif menurunkan (p<0.05) laju pelepasan NH3 rumen,
tetapi meningkatkan sintesis protein mikrobial rumen (MPS) dan kecernaan
protein (PD). Rekayasa CASREA melalui ekstrusi 22% urea dan 68% ubi kayu
menghasilkan MPS dan PD tertinggi.
Percobaan 2 dirancang untuk memformulasi dan mengevaluasi suplemen
protein SOYXYL yang memiliki nilai biologis tinggi untuk bypass protein.
Perlakuan dalam percobaan terdiri dari suhu ekstrusi dan kadar xylosa black
liquor (BL) yang dirancang dalam rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial
3x4. Level suhu ekstrusi adalah 120, 150, dan 180oC, dan kadar BL adalah: 0, 3,
6, dan 9% dari bahan kering kedelai. Suplemen protein SOYXYL yang
direkayasa melalui ekstrusi campuran kedelai dengan xylosa BL efektif
meningkatkan (p<0.05) protein yang lolos degradasi rumen (RUP). Rekayasa
suplemen protein SOYXYL dari kedelai yang dicampur xylosa BL 3% dan
diekstrusi pada 150oC menghasilkan RUP tertinggi.
Percobaan 3 dirancang untuk memformulasi dan mengevaluasi suplemen
protein terbaik melalui kombinasi yang ideal dari CASREA (hasil terbaik
percobaan 1) dengan SOYXYL (hasil terbaik percobaan 2) untuk meningkatkan
penampilan produksi sapi pedaging yang diberi ransum berbasis jerami dan dedak
padi. Enam belas sapi perah jantan umur 12-15 bulan dibagi 4 blok dalam
rancangan acak kelompok, dengan perlakuan: R0= kontrol (jerami dan dedak
padi), R1= R0 + SPN A, R2= R0 + SPN B, R3= R0 + SPN C. SPN A, B, dan C
tersusun dari CASREA : SOYXYL dengan rasio masing-masing 20:80, 50:50,
dan 80:20. SPN meningkatkan (p<0.05) konsumsi dan kecernaan nutrien (bahan
kering, bahan organik, dan protein), efisiensi ransum, serta pertambahan bobot
badan. Pertambahan bobot badan tertinggi (0.85 kg.hr-1), efisiensi ransum (11%),
dan income over feed cost (Rp7500 ekor-1.hr-1) dicapai R3. R3 menghasilkan
energi methan terendah (1.40 MJ.kgKBK-1.hr-1) dibanding R0 (1.47 MJ.kgKBK-1.
hr-1).
Disimpulkan bahwa suplemen protein dari kombinasi CASREA dan
SOYXYL efektif untuk meningkatkan MPS dan RUP. Ransum berbasis jerami
dan dedak padi yang disuplementasi dengan SPN C dapat meningkatkan
penampilan produksi sapi.

Kata kunci : jerami padi, dedak padi, ubi kayu, urea, tepung kedelai, ekstrusi
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008
Hak cipta dilindungi

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya ilmiah ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya ilmiah
ini, dalam bentuk apa pun, tanpa izin tertulis dari IPB
REKAYASA SUPLEMEN PROTEIN PADA
RANSUM SAPI PEDAGING BERBASIS
JERAMI DAN DEDAK PADI

BAMBANG WALUYO HADI EKO PRASETIYONO

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Ilmu Ternak

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
Judul Disertasi: Rekayasa Suplemen Protein pada Ransum Sapi Pedaging
Berbasis Jerami dan Dedak Padi
Nama : Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetiyono
NIM : D061030031

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Suryahadi, DEA


Ketua

Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS. Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.
Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana


Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan

Dr. Ir. Idat G. Permana, MSc.Agr. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 17 April 2008 Tanggal Lulus:


Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Jajat Jachja

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Pof. Dr. Syamsul Bahri, MS.


(Sekditjen Peternakan DEPTAN RI)

2. Dr. Ir. Bachtar Bakrie, MSc.


(BPTP Jakarta)
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga telah tersusun disertasi yang berjudul Rekayasa Suplemen Protein
pada Ransum Sapi Pedaging Berbasis Jerami dan Dedak Padi. Perekayasaan
suplemen protein ini dilandasi oleh kaidah keilmuan tentang utilisasi protein pada
ruminansia dengan mempertimbangkan kondisi lokal.
Penulisan disertasi ini dapat diselesaikan atas pengarahan serta bimbingan
dari Tim Komisi Pembimbing. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati
penulis menyampaikan terima kasih dan hormat kepada Dr. Ir. Suryahadi, DEA
sebagai ketua komisi, Prof.Dr.Ir. Rizal Syarief, DESS., Prof. Dr.Ir.Toto Toharmat,
M.AgrSc., serta Prof. Dr. Lily Amalia Sofyan, MSc. (Almarhumah), atas
pengarahan dan bimbingan yang sangat berharga.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Rektor dan Pimpinan Sekolah
Pascasarjana IPB atas kesempatan penulis mengikuti studi program Doktor.
Kepada Rektor dan Dekan Fakultas Peternakan UNDIP disampaikan terima kasih
atas ijin melanjutkan studi Doktor. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada
Ditjen Dikti yang telah memberikan beasiswa studi pascasarjana di IPB.
Terima kasih juga disampaikan kepada pemilik Peternakan Sapi “Luwes”
Karang anyar Jawa Tengah dan Pimpinan Pabrik Kertas Padalarang Jawa Barat
yang telah membantu berbagai fasilitas materi penelitian, serta semua pihak yang
telah memberikan berbagai bentuk bantuan sehingga penelitian dan penulisan
disertasi ini dapat terwujud. Kepada isteri tercinta Sri Handayani, ananda tercinta
Pandu Prashanantyo dan Yui Prashandika, penulis sampaikan terima kasih dan
penghargaan atas pengertian dan doa restunya. Juga ucapan terima kasih yang
paling dalam kepada yang tercinta Almarhum Ayahnda Suprodjo dan
Almarhumah Ibunda Sriyati Al Musriyati, atas doa restunya pada saat sebelum
dipanggil Allah SWT, semoga amal kebaikan beliau mendapat imbalan yang
berlebih dari Allah SWT.
Semoga disertasi ini bermanfaat.
Bogor, April 2008

Bambang Waluyo Hadi Eko Prasetiyono


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Semarang pada tanggal 2 November 1963 sebagai


putra pertama dari dua bersaudara, dari pasangan ayah Alm. Suprodjo dan Ibu
Almh. Sriyati Al Musriyati. Pendidikan Sarjana ditempuh di Fakultas Peternakan
Universitas Diponegoro (UNDIP), lulus pada tahun 1988. Pada tahun 1990,
penulis diterima di Program Studi Ilmu Ternak pada Program Pascasarjana IPB
dan menamatkannya pada tahun 1992 dengan mendapat gelar Magister Sains.
Pada tanggal 5 April 1999, penulis mengikuti pendidikan di Fakultas Pertanian
Universitas Ryukyus Jepang dan memperoleh gelar Master of Agriculture dalam
bidang Fisiologi Hewan, pada tanggal 23 Maret 2001. Kesempatan untuk
melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Ternak Sekolah
Pascasarjana IPB diperoleh pada tahun 2003.
Penulis bekerja sebagai Dosen pada Fakultas Peternakan UNDIP Semarang
sejak 1989, dan sampai saat ini aktif di Laboratorium Teknologi Makanan Ternak.
Penulis juga sebagai anggota Komisi Pakan Nasional Direktorat Jenderal
Peternakan Departemen Pertanian RI.
Karya ilmiah telah diterbitkan pada Desember 2007, dengan judul Strategi
Suplementasi Protein Ransum Sapi Potong Berbasis Jerami dan Dedak Padi, pada
jurnal Media Peternakan Vol. 30 No.3: 207-217. Karya ilmiah lain berjudul
Rekayasa Casrea Berbasis Ubi kayu-urea Terekstrusi sebagai Suplemen Protein
untuk Perlambatan Pelepasan Ammonia dalam Rumen In Vitro, pada jurnal
Animal Production Vol.10. No.1: 34-41, Januari 2008. Karya-karya ilmiah
tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis. Penelitian yang terkait
sebelumnya, juga telah dilakukan penulis dengan judul Pengaruh Tingkat
Penggunaan Urea dan Waktu Pengukusan Ubi Jalar (Ipomoea batatas) Terhadap
Biosintesis Protein Mikrobia Rumen. Penggalian informasi ilmiah dari hasil
penelitian tersebut juga sangat mendukung kegiatan penulis sehari-hari sebagai
praktisi dan konsultan pakan sapi di Indonesia.
Penulis menikah dengan Sri Handayani pada tahun 1989, dan sampai saat ini
telah dikaruniai 2 anak laki-laki bernama Pandu Prashanantyo dan Yui
Prashandika.
DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR TABEL ....................................................................................... xi

DAFTAR GAMBAR …………………………………………….…......... xiii

DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………….…….. xiv

PENDAHULUAN ………………………………………………………... 1
Latar Belakang ………………………………………………………. 1
Tujuan ……………………………………………………………...... 2
Hipotesis ……………………………………………………………… 3
Manfaat …………………………………………………….………... 3

TINJAUAN PUSTAKA
Peran Suplemen Protein ……………………………………………... 4
Penggunaan Nitrogen Bukan Protein untuk Optimalisasi Biosintesis
Protein Mikrobial Rumen …………………………………………..... 8
Proteksi Protein Kedelai dari Degradasi dalam Rumen ……………... 17
Pemberian Pakan pada Sapi Pedaging ……………………………….. 20
Komposisi Tubuh ……………………………………………………. 21

BAHAN DAN METODE


Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi ………...... 24
Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa BL. 25
Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi
Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL …………….. 26
Pengukuran Peubah ……………………….......................................... 28
Analisis Data ………………………………………………………… 39

HASIL DAN PEMBAHASAN


Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi ………….. 40
Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai dengan Xylosa BL. 47
Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi
Pedaging Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL …………….. 52
Aspek Ekonomis Suplementasi Protein ……………………………... 65
Analisis Komprehensif Manfaat Suplementasi Protein …………....... 65
Implementasi Pengembangan Program Suplementasi Protein ………. 68

KESIMPULAN DAN SARAN ……………...……………………………. 71

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………. 72

LAMPIRAN ………………………………………………….................... 81
DAFTAR TABEL

Halaman

1 Populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia ……. 6

2 Senyawa-senyawa Nitrogen bukan protein ………………………… 12

3 Contoh RUP, ID, dan IADP dari berbagai suplemen protein ……… 18

4 Pengaruh suplementasi hijauan pakan terhadap pertambahan bobot


badan Sapi …………………………………………………………... 20

5 Komposisi bahan dan proses pembuatan Casrea …………………… 25

6 Kandungan nutrisi bahan pakan yang diberikan pada Sapi percobaan 27

7 Kandungan nutrien ransum perlakuan yang dicobakan ……………. 27


8 Komposisi larutan penyangga ……………………………………… 29

9 Larutan standar untuk analisis kadar ammonia plasma darah ……… 37


10 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi
VFA ……..…………………………………………………………... 41

11 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi


NH3 …………………………………………………………………. 43

12 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap bobot protein


endapan …………………………………………………………….. 46

13 Nilai rataan konsentrasi VFA selama 4 jam inkubasi pada


fermentasi In vitro ………………………………………………….. 49

14 Nilai rataan konsentrasi NH3 selama 4 jam inkubasi pada


fermentasi In vitro …………………………………………………. 49

15 Nilai rataan bobot protein endapan selama 4 jam inkubasi pada


fermentasi In vitro …………………………………………………. 51

16 Nilai rataan kecernaan protein pada fermentasi In vitro …………… 51

17 Pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi penggunaan ransum,


deposisi protein, energi tercerna, dan energi methan ………………. 56
18 Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan nutrien,dan sintesis
N mikrobial rumen ………………………………………………… 60

19 Kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah makan ……... 63

20 Pengaruh SPN dalam ransum terhadap IOFC (Income Over Feed


Cost) ………………………………………………………………... 65

xii
DAFTAR GAMBAR
Halaman

1 Metabolisme Nitrogen pada ruminansia …………………………… 10

2 Struktur molekul amilosa amilopektin pada proses pengembangan


granula pati ………………………………………………………… 15

3 Spektrum Infra Merah pada Casrea1 (a) dan Casrea2 (b) ………….. 44

4 Pengaruh macam CASREA terhadap Kecernaan Protein ………….. 47

5 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan ….. 53

6 Pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi nutrien …………... 54

7 Pengaruh ransum perlakuan terhadap komposisi tubuh …………..... 59

8 Implementasi program suplementasi protein ………………………. 70


DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3(mM)


dan uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada percobaan 1............... 82

2 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM) dan


uji DMRT pada percobaan 1 ……………………………………………… 83

3 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji
DMRT pada percobaan 1 ………………………………………….. ……... 84

4 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan


uji DMRT pada percobaan 1………………………………………….......... 85

5 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 (mM) dan


uji DMRT pada percobaan 2 ……………………………………………… 86

6 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM) dan


uji DMRT pada percobaan 2 ……………………………………………… 87

7 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg) dan uji
DMRT pada percobaan 2 …………………………………………………. 88

8 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan


uji DMRT pada percobaan 2 ……………………………............................ 89

9 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot


badan harian (kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………… 90

10 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap deposisi protein


(g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………... 91

11 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi tercerna


(MJ.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………. 92

12 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BK


(kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………. 93

13 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BO


(kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………. 94

14 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi PK (g.hr-1)


dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………................ 95

15 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BK (%)


dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………………… 96
16 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BO (%)
dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………………… 97

17 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan PK (%)


dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………………... 98

18 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi ransum (%)


dan uji DMRT pada percobaan 3 …………………………....................... 99

19 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 0 jam


(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………... 100

20 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 0 jam


(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………... 101

21 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 3 jam


(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………... 102

22 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 3 jam


(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………... 103

23 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Sintesis mikroba


(gN.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………. 104

24 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi methan


(MJ.kgKBK-1.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3 …………………….. 105

25 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap protein tubuh (%)


dan uji DMRT pada percobaan 3 ………………………………………… 106

26 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap lemak tubuh (%) dan
uji DMRT pada percobaan 3 ……………………………………………… 107

27 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap air tubuh (%) dan uji
DMRT pada percobaan 3 …………………………………………………. 108

28 Hasil analisis xylosa black liquor ………………….......................... 109

xv
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Konsumsi daging sapi di Indonesia mengalami peningkatan, dari 330 300
ton pada tahun 2002 menjadi 389 300 ton pada tahun 2006. Sebaliknya populasi
ternak sapi pedaging cenderung mengalami penurunan dari 11 297 625 ekor pada
tahun 2002 menjadi 10 835 686 ekor pada tahun 2006 (DITJENAK 2006).
Permasalahan utamanya adalah produksi sapi pedaging masih rendah, sehingga
secara nasional kesenjangan terjadi antara permintaan dan penawaran (supply-
demand) semakin lama semakin lebar. Salah satu upaya adalah melalui perbaikan
kualitas pakan.
Potensi jerami padi di Indonesia melimpah yaitu 60 135 501 ton (BPS
2004), namun pemanfaatannya sebagai pakan ternak sapi masih rendah, karena
teknologi yang tersedia kurang aplikatif apabila diterapkan dalam skala besar,
sehingga sulit diadopsi oleh peternak di daerah sekitar persawahan padi. Peternak
di daerah sekitar lahan persawahan padi, umumnya hanya menggunakan pakan
tambahan pada jerami padi berupa dedak padi. Padahal kedua bahan utama ini
memiliki kualitas protein yang rendah, yaitu kandungan protein kasar jerami dan
dedak padi masing-masing 5.06% dan 8.56% (Hasil Analisis Laboratorium 2006),
sehingga akan mengganggu keseimbangan kebutuhan energi-protein sapi dan
kurang efisien penggunaannya. Oleh karena itu, salah satu cara yang strategis dan
aplikatif adalah melalui program suplementasi protein pada kedua bahan utama
tersebut. Program suplementasi protein ini dipandang strategis karena (1)
suplemen memiliki kualitas yang tinggi; (2) dosis pemberiannya rendah; (3)
mampu mengatasi masalah defisiensi nutrisi; (4) meningkatkan kapasitas cerna
melalui perbaikan metabolisme dan kemampuan mikrobial rumen; (5) praktis
dalam penyajiannya, yaitu efisiensi waktu dan mengurangi beban tenaga kerja; (6)
berbahan baku lokal dan mampu mendukung usaha pemanfaatan hasil samping
(by product) pertanian yang kontinyu; (7) mudah diterapkan dan dapat diproduksi
dalam skala pabrik pakan mini ditingkat kelompok petani dan peternak.
Disisi lain, bahan pakan sumber protein pada umumnya relatif sulit
pengadaannya dan mahal, sehingga ketersediaannya menjadi kendala. Perlu
2

terobosan rekayasa suplemen protein (SPN) dalam upaya mengefisienkan


penggunaan bahan pakan sumber protein dalam ransum yang memiliki daya guna
tinggi terhadap ternak sapi pedaging.
Penggunaan urea di Indonesia sebagai sumber nitrogen bukan protein dalam
ransum sapi pedaging sampai saat ini masih belum maksimal dan belum
memberikan rasa aman untuk digunakan oleh ternak. Disamping itu, penggunaan
bahan pakan sumber protein yang lolos degradasi rumen (bypass protein) juga
belum maksimal. Hal ini karena teknologi pemrosesan urea dan bypass protein
yang sesuai dengan kondisi pemberian pakan di Indonesia belum diketahui
dengan seksama.
Guna mengatasi permasalahan tersebut, maka serangkaian penelitian telah
dilakukan yaitu: (1) merekayasa suplemen protein berbasis ubi kayu-urea
terekstrusi (selanjutnya disebut CASREA) yang mempunyai karakteristik dapat
terdegradasi di rumen, namun dengan laju yang diperlambat (ditandai pelepasan
amonia yang diperlambat/slow release of ammonia =SRA), sehingga terjadi
peningkatan sintesis protein mikrobial rumen, (2) merekayasa suplemen protein
yang memiliki nilai biologis tinggi dan tahan terhadap degradasi di rumen dalam
bentuk protein kedelai yang telah diproteksi sebelumnya oleh xylosa black liquor
melalui ekstrusi (selanjutnya disebut SOYXYL), sehingga pasokan protein
bermutu tinggi ke organ pasca rumen meningkat, (3) merekayasa kombinasi
CASREA dan SOYXYL yang optimal sebagai suplemen protein ideal untuk
ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi. Suplemen protein ini
diujicobakan pada ransum sapi menggunakan bahan baku utama jerami dan dedak
padi.

Tujuan
1. Mengkaji manfaat ekstrusi ubi kayu-urea untuk perlambatan pelepasan
ammonia dan biosintesis protein mikrobial rumen
2. Menguji potensi xylosa black liquor sebagai protektor degradasi protein kedelai
3. Menguji manfaat biologis suplemen protein pada ransum sapi pedaging
berbasis jerami dan dedak padi guna memperkuat integrasi padi dan ternak sapi
(Crop Livestock System)
3

4. Menghasilkan teknologi pembuatan suplemen protein untuk meningkatkan


produktivitas sapi pedaging, yang memiliki ciri mampu mendukung
pertumbuhan mikrobial rumen, meningkatkan kapasitas cerna & memasok
protein pasca rumen berkualitas tinggi.

Hipotesis
1. CASREA berbahan utama ubi kayu-urea terekstrusi mampu meningkatkan
biosintesis protein mikrobial rumen
2. Xylosa black liquor (limbah pabrik kertas) dapat memproteksi protein kedelai
dari degradasi dalam rumen
3. Suplemen protein berbahan dasar kombinasi CASREA dan SOYXYL dapat
meningkatkan produksi ternak sapi pedaging.

Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan berguna untuk pengembangan ilmu
pengetahuan: (1) basis ilmiah rekayasa suplemen protein yang bersifat
terdegradasi secara lambat dalam rumen (Slow Release of Ammonia = SRA) , (2)
basis ilmiah proteksi protein dari degradasi dalam rumen, (3) teknologi pembuatan
dan penyajian suplemen protein berbahan baku lokal.
Selain itu, juga diharapkan membuka jalan untuk memanfaatkan suplemen
protein pada ransum berbahan dasar utama yaitu jerami padi dan produk samping
penggilingan beras berupa dedak padi secara maksimal, dalam upaya
meningkatkan produksi ternak sapi pedaging. Dampak secara ekonomis,
diharapkan mampu meningkatkan pendapatan petani, karena akan merangsang
usaha tani terpadu (integrated farming) yaitu antara usaha tani padi dengan ternak
sapi pedaging yang selama ini belum meluas, walaupun potensi integrasi padi
sawah – ternak sapi pedaging sangat potensial. Hasil penelitian diharapkan dapat
dijadikan teknologi untuk memperkuat Crop Livestock System di Indonesia dan
juga untuk memperkuat Industri Pakan Mini di daerah persawahan, khususnya
untuk penerapan program suplementasi protein.
TINJAUAN PUSTAKA

Peran Suplemen Protein


Ternak sapi membutuhkan protein untuk membangun dan menjaga protein
jaringan dan organ tubuh yang normal, serta untuk meningkatkan produksi yang
optimal. Bahan suplemen protein untuk ransum sapi relatif mahal, oleh karena itu
diperlukan seleksi yang tepat dan penggunaan suplemen protein yang efisien agar
dapat mengurangi biaya produksi. Beberapa kriteria yang harus dipertimbangkan
dalam penggunaan suplemen protein antara lain: palatibilitas, degradasi protein
rumen, kualitas protein, absorbsi asam amino di usus halus, biaya per unit protein,
ketersediaan dan konsistensi produk, dan dampaknya terhadap penampilan
produksi ternak (Stern et al. 2006). Suatu model nutrisi baru untuk sistem
pemberian protein pakan ternak sapi perah di Amerika telah berkembang dari
sistem yang berbasis protein kasar (NRC 1978), ke sistem yang lebih kompleks
berbasis degradabilitas protein rumen (Rumen Degradable Protein= RDP),
protein tidak terdegradasi di rumen (Rumen Undegradable Protein=RUP) dan
RUP tercerna di usus halus (NRC 2001). Jadi, model nutrisi baru ini lebih unggul
dari pada sistem sebelumnya, karena dirancang guna memenuhi kebutuhan protein
bagi mikrobial rumen dan juga pasokan protein yang lolos degradasi rumen, tetapi
tercerna dalam usus halus.
Isyarat tentang adanya defisiensi protein pada ternak ruminansia di negara-
negara tropis termasuk Indonesia sebetulnya telah lama dikemukakan oleh Leng
(1991). Menurut Rossi & Silcox (2007), defisiensi protein dapat mengakibatkan
penurunan bobot badan, laju pertumbuhan yang rendah, rendahnya reproduksi,
mengurangi produksi susu, dan menurunkan nafsu makan. Bila defisiensi protein
terjadi sebelum sapi beranak, maka akan menurunkan produksi kolustrum, dan
kondisi pedet lemah pada saat lahir. Guna meningkatkan efisiensi konversi pakan
dan produksi ternak pada ruminansia yang diberi pakan berkualitas rendah
termasuk pakan berbasis jerami padi perlu suplementasi nutrien-nutrien, seperti
mineral, urea, dan protein yang lolos fermentasi dalam rumen (bypass protein)
tetapi tercerna dalam usus halus (Leng 1991; Galina et al. 2000; Ortiz et al. 2001;
Loest et al. 2001). Menurut Leng (1991) defisiensi nutrien-nutrien yang
diperlukan oleh mikroorganisme rumen menurunkan pertumbuhan mikrobial,
5

yang pada akhirnya dapat menurunkan kecernaan dan konsumsi pakan, utamanya
pakan berserat misalnya jerami padi.
Jerami padi telah dikenal sebagai salah satu makanan pokok untuk
ruminansia di Indonesia, dan sudah biasa diberikan pada ternak sapi, terutama
didaerah persawahan padi. Kebiasaan ini mengingat penyediaan hijauan makanan
ternak semakin berkurang seiring dengan menyempitnya kepemilikan lahan
sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk. Produksi jerami padi sangat
berlimpah seiring dengan meningkatnya produksi padi di Indonesia. Data
produksi jerami padi di Indonesia menunjukkan potensi cukup besar yaitu 60 135
501 ton bahan kering (BPS 2004). Disisi lain, sebaran populasi ternak sapi
pedaging di Indonesia tidak merata dan populasinya masih rendah yaitu 10 726
347 ekor pada tahun 2004 (DITJENAK 2004). Pada Tabel 1 disajikan data tentang
populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia. Berdasarkan
data tersebut, menunjukkan bahwa jerami padi di Indonesia sebagai produk
samping hasil pertanian di daerah persawahan padi, tersedia dalam jumlah yang
cukup banyak. Disisi lain, sebaran jumlah sapi di berbagai propinsi di Indonesia
masih rendah, sehingga terdapat kesenjangan antara ketersediaan jerami padi
dengan populasi sapi pedaging. Dengan demikian, jerami padi di daerah
persawahan padi banyak yang tidak termanfaatkan sebagai pakan sapi.
Akibatnya, masih banyak terlihat adanya pembakaran jerami padi di daerah
persawahan padi.
Penggunaan jerami padi sebagai pakan mempunyai keterbatasan karena nilai
protein dan nilai cernanya rendah, selain itu juga kurang palatabel. Kandungan
dinding sel jerami padi kurang lebih 86% dari BK, sedangkan komponen utama
dari dinding sel adalah selulosa, hemiselulosa dan lignin dengan kandungannya
secara berturut-turut adalah 30-51%, 6-28% dan 4-10% dari BK (Doyle et al.
1986). Sedangkan kandungan protein kasarnya juga rendah yaitu rata-rata 4.21%,
TDN (43.2%), serat kasar (32.5%), lemak kasar (1.47%), abu (16.9%), bahan
ekstrak tanpa nitrogen (45%), Ca (0.41%), dan P (0.29%) dari bahan kering
(Sutardi 1981). Lebih lanjut disebutkan bahwa peningkatan fermentabilitas jerami
sebagai pakan sapi dapat diupayakan dengan memberikan beberapa perlakuan
pendahuluan (pretreatment), misalnya dengan perlakuan kimia (perlakuan alkali,
6

Tabel 1. Populasi sapi pedaging dan produksi jerami padi di Indonesia

No. Propinsi Jerami padi Sapi pedaging


(ton bh. kering)a (ekor)b
1 NAD 1 860 233 702 689
2 Sumut 4 157 211 248 971
3 Sumbar 2 134 039 623 520
4 Riau 725 917 116 035
5 Jambi 790 487 150 220
6 Sumatera selatan 3 155 720 506 203
7 Bengkulu 560 191 79 122
8 Lampung 2 502 371 388 977
9 Kep Bangka Belitung 37 380 20 831
10 DKI Jakarta 14 852 0
11 Jawa Barat 9 494 717 227 504
12 Jawa Tengah 8 261 406 1 346 955
13 DI Yogyakarta 670 963 226 489
14 Jawa Timur 8 570 537 2 517 227
15 Banten 1 841 841 10 432
16 Nusa Tenggara Barat 1 646 219 427 960
17 Nusa Tenggara Timur 908 046 523 036
18 Kalimantan Barat 1 843 664 160 500
19 Kalimantan Tengah 1 156 465 45 530
20 Kalimantan Selatan 2 239 715 175 790
21 Kalimantan Timur 722 165 57 268
22 Sulawesi Utara 466 817 126 026
23 Sulawesi Tengah 888 946 196 040
24 Sulawesi Selatan 3 906 119 751 283
25 Sulawesi Tenggara 428 684 214 470
26 Gorontalo 190 592 168 267
27 Maluku 56 358 64 047
28 Papua 76 841 71 346
29 Maluku Utara 98 091 35 132
INDONESIA 60 135 501 10 726 347
Sumber: a)Diolah dari BPS (2004), b) DITJENAK (2004).
7

amoniasi), perlakuan biologi (fermentasi dengan berbagai jenis mikroorganisme


erob maupun anerob), dan perlakuan fisik (penggilingan, pembuatan pellet, dan
pemanasan pada tekanan tinggi). Metode-metode tersebut sudah banyak dikaji dan
telah memperlihatkan hasil cukup baik. Tetapi, penerapan metode-metode
tersebut masih menghadapi banyak kendala apabila dalam skala yang besar,
sehingga sulit diadopsi oleh peternak di Indonesia.
Berbagai jenis tanaman leguminosa yang memiliki kandungan protein tinggi
juga telah banyak dicobakan ke ternak ruminansia sebagai suplemen. Hasil
penelitian Manurung (1989) menunjukkan bahwa suplementasi hijauan lamtoro
(Leucaena leucocephala) pada ransum berbasis jerami padi mendapatkan
pertambahan bobot badan sapi jantan peranakan ongol sebesar 394 g/ekor/hari.
Penerapan penggunaan suplementasi hijauan lamtoro juga sulit, karena produksi
hijauan leguminosa ini terbatas dan ketersediaannya tidak kontinyu akibat
semakin menyempitnya lahan penanaman hijauan pakan.
Suplemen urea dapat dikombinasikan dengan sumber energi yang siap
tersedia (Readily available energy sources) misalnya molases, dengan cara
disemprot pada pakan berserat berkualitas rendah, seperti jerami padi (Preston &
Leng 1987). Namun demikian menurut Sahoo et al. (2004) berbagai upaya untuk
mempopulerkan campuran urea molasses di tingkat petani di India tidaklah
berhasil karena sering terjadi insiden kelebihan urea (overdosage) atau
campurannya yang tidak homogen dengan pakan berserat, sehingga menimbulkan
keracunan bagi ternak ruminansia. Hasil penelitian Sahoo et al. (2004) tentang
suplementasi urea-molases pada ransum kerbau jantan berbasis jerami gandum
menunjukkan pertambahan bobot badan yang nyata dibanding ransum kontrol
atau tanpa suplemen (kontrol=213 g/ekor/hari dan dengan suplemen= 356
g/ekor/hari). Lebih lanjut juga disebutkan bahwa difisit protein pada pakan serat
berkualitas rendah dapat dilakukan dengan memberikan tambahan protein pakan
yang tidak tercerna dalam rumen (RUP) dan campuran urea-molases serta mineral
dalam ransum ternak ruminansia.
Menurut Sellier (2003), ada tiga pendekatan untuk memasok protein bagi
ternak ruminansia: (1) pasokan sumber protein dalam ransum yang tidak mudah
didegradasi oleh enzim mikrobial dalam rumen (RUP) dan dapat langsung ke usus
8

halus, sehingga akan meningkatkan jumlah asam amino pakan yang mudah
diserap; (2) optimalisasi fermentasi rumen untuk meningkatkan jumlah protein
mikrobial, sehingga akan meningkatkan asam amino mikrobial yang mudah
diserap; (3) enkapsulasi spesifik asam amino (atau asam amino analog)
menggunakan agen proteksi degradasi mikrobial rumen. Stern et al. (2006)
menegaskan bahwa setelah memaksimalkan sintesis protein mikrobial, jumlah
substansi protein tidak terdegradasi di rumen (RUP) dari suplemen protein harus
diinkoporasi kedalam pakan ruminansia yang berproduksi tinggi. Protein
mikrobial rumen merupakan protein berkualitas tinggi untuk ruminansia, yaitu
memiliki kecernaan yang tinggi didalam usus halus. Mengingat laju pertumbuhan
mikrobial rumen mempengaruhi pasokan asam amino ternak ruminansia, maka
penting untuk memaksimalkan sintesis protein mikrobial dalam rumen. Sintesis
protein mikrobial dalam rumen memberikan sejumlah besar protein yang disuplai
ke usus halus ruminansia, yaitu sampai 50-80% dari total protein yang dapat
diserap. Jumlah protein mikrobial yang masuk ke usus halus tergantung pada
ketersediaan nutrien dan efisiensi penggunaan nutrien-nutrien oleh bakteri rumen.
Menurut Brunetti (2004) sekitar 60% protein murni didegradasi menjadi
ammonia dalam rumen yang digunakan sebagai makanan mikrobial, selanjutnya
akan menjadi protein mikrobial bagi ternak ruminansia, sedangkan yang 40% lagi
lolos degradasi ke organ pasca rumen untuk diserap dalam usus halus. Disisi lain
100% Nitrogen bukan protein (NBP) dalam makanan didegradasi menjadi
ammonia rumen, dan jika ammonia tersebut tidak dimetabolismekan oleh
mikrobial, akan diserap oleh dinding rumen, yang pada akhirnya akan kembali
menjadi nitrogen darah yang berasal dari urea. Oleh karena itu, berbagai alasan
ini oleh para ahli gizi ternak ruminansia pada jaman sekarang ingin mengetahui
seberapa banyak protein terlarut (protein soluble) dan bypass dalam ransum.

Penggunaan Nitrogen Bukan Protein untuk


Optimalisasi Biosintesis Protein Mikrobial Rumen

Ruminansia memiliki empat bagian perut, yaitu rumen, retikulum, omasum


dan abomasum. Bagian yang terbesar (rumen) mengandung banyak
mikroorganisme untuk mencerna pakan. Lebih separuh dari protein yang
9

dikonsumsi sapi didegradasi dalam rumen menjadi peptide, asam amino, dan
ammonia oleh aksi enzim-enzim yang diproduksi oleh mikroorganisme-
mikroorganisme tersebut. Selain itu, senyawa NBP, misalnya urea (NH2)2C=O
juga didegradasi menjadi karbon dioksida (CO2) dan ammonia (NH3) didalam
rumen. Mikroorganisme-mikroorganisme rumen akan menggunakan ammonia
yang dilepas dari degradasi protein dan NBP untuk dikonversi menjadi protein
mikrobial (Sewell 1993; Rossi & Silcox 2007). Urea mudah larut dalam rumen
dan mikroorganisme rumen akan cepat mendekomposisi menjadi NH3 dan CO2.
Menurut Perry (1980), nasib NH3 yang dilepas dari urea kemudian melewati
dua jalur (Gambar 1), yaitu 1) digunakan untuk sintesis protein mikrobial, dan 2)
diabsorbsi melalui dinding rumen masuk pembuluh darah yang membawanya
sampai ke hati. Hati akan mendetoxifikasi ammonia, dengan mengkonversi
ammonia menjadi urea, untuk selanjutnya diekskresi ke urin. Tetapi, sebagian
urea ini juga masuk kembali ke rumen melalui saliva atau langsung menembus
dinding rumen (dengan melalui saluran darah) masuk kedalam cairan rumen.
Namun demikian, bila NH3 yang terlepas dari rumen terlalu cepat, kapasitas NH3
di hati akan berlebihan, dan akan meluap ke sistem pembuluh darah. Level NH3
yang tinggi dalam sirkulasi darah dapat menyebabkan keracunan dan bahkan
kematian. Fenomena ini menunjukkan bahwa, urea akan efektif menjadi sumber
protein sapi, bila kondisi didalam rumen menguntungkan bagi mikroorganisme
untuk menggunakan ammonia dari urea sebelum NH3 lepas dari rumen.
Penggunaan urea oleh mikroorganisme rumen tergantung pada pertumbuhan
populasi mikrobial dan jumlah nutrien esensial yang diperlukan untuk
pertumbuhan yang cepat, seperti vitamin, mineral, dan sumber energi yang siap
tersedia (readily available source of energy). Jadi, pemenuhan kebutuhan nutrisi
bagi mikrobial rumen sangat mempengaruhi metabolisme Nitrogen dalam rumen
(Bach et al. 2005; Stern et al. 2006). Ammonia yang berlebih dapat digunakan
lebih efisien pada ransum yang memiliki energi tinggi (seperti pati dan biji-
bijian), bila dibandingkan dengan ransum yang berenergi rendah (Sewell 1993).
Karbohidrat yang mudah terfermentasi seperti pati dan gula lebih efektif dari pada
sumber karbohidrat lain, misalnya selulosa dalam mendukung pertumbuhan
mikrobial rumen (Stern & Hoover 1979). Pendapat ini juga sejalan dengan
10

PAKAN PROTEIN NBP UREA SALIVA

PROTEIN NBP UREA

PEPTIDA
RUMEN
ASAM AMINO NH3 HATI

NH3
AS.AMINO
PROTEIN
MIKROBIAL

UREA

ABOMASUM NH3 URIN


& N- ENDOGEN
USUS PROTEIN
HALUS
ASAM AMINO

N- PAKAN TIDAK
FECES TERCERNA
METABOLISME JARINGAN
N- METABOLIC JARINGAN
FECES

Gambar 1 Metabolisme Nitrogen pada ruminansia (Perry 1980).

Hoover & Stokes (1991) bahwa bila jumlah bahan organik yang terfermentasi
dalam rumen meningkat maka sintesis protein mikrobial juga meningkat.
Beberapa percobaan in vitro (Stern et al. 1978) dan in vivo (Casper & Schingoethe
1989; Cameron et al. 1991) telah dilakukan bahwa infusi peningkatan sejumlah
karbohidrat yang mudah terfermentasi dapat menurunkan konsentrasi N-ammonia,
karena meningkatnya konsumsi N oleh mikrobial rumen. Ditemukan pula bahwa
bila laju degradasi protein melebihi laju fermentasi karbohidrat, maka sejumlah
besar N dapat hilang sebagai ammonia, dan sebaliknya bila laju fermentasi
karbohidrat melebihi laju degradasi protein, maka sintesis protein mikrobial dapat
11

menurun (Nocek & Russel 1988). Ditegaskan oleh Jouany (1991) mikrobial
rumen selain membutuhkan N (NH3, oligopeptida untuk bakteri, peptida untuk
protozoa), juga rantai karbon (VFA rantai cabang) dan ATP sebagai sumber
energi untuk sintesis protein mikrobial.
Berbagai metoda digunakan untuk memprediksi sintesis protein mikrobial
rumen antara lain marker mikrobial ribonucleic acid (RNA) dan di-amino-pimilic
acid (DAPA), serta isotop (35S, 15
N, 32
P), namun demikian proses penggunaan
marker-marker atau isotop tersebut sangat komplex dan sulit diterapkan di kondisi
lapang (Singh et al. 2007). Metode lain yang dapat digunakan untuk memprediksi
sintesis protein mikrobial adalah melalui derivate purin yang diekskresikan
melalui urin. Purin (hasil degradasi asam nukleat dalam rumen) yang diabsorbsi
dikonversikan menjadi derivate purin yaitu berupa asam urat dan allantoin. Purin
yang diekskresikan per hari mempunyai korelasi linier dengan jumlah purin
mikrobial yang diabsorbsi. Dengan asumsi rasio protein dan purin konstan dalam
populasi mikrobial, maka ekskresi derivate purin digunakan sebagai index untuk
menentukan protein mikrobial (Chen et al. 1990; Singh et al. 2007).
Prioritas utama dalam pemberian pakan ruminansia adalah menjamin tidak
ada defisiensi nutrien dalam pakan yang mempengaruhi pertumbuhan mikrobial.
Lebih lanjut Galo et al. (2003) menegaskan bahwa NBP dalam pakan sapi
pedaging dan sapi perah, dapat digunakan secara efektif sebagai sumber nitrogen
untuk mikrobial rumen. Urea sebagai suplemen ransum ruminansia sering dipakai
di beberapa negara, terutama yang memiliki keterbatasan tersedianya protein
pakan dan secara ekonomi penggunaannya menguntungkan. Menurut Kowalczyk
(1976) senyawa-senyawa NBP yang dapat digunakan sebagai pengganti protein
untuk ruminansia harus tidak mahal, digunakan mikrobial rumen dengan baik, dan
tidak berpengaruh negatip terhadap kesehatan ternak. Dibandingkan dengan
senyawa NBP yang lain (Tabel 2), harga urea tidak mahal untuk setiap unit
protein ekuivalen (N x 6.25), sehingga memungkinkan untuk menyusun ransum
dengan harga yang relatif murah (Rossi & Silcox 2007). Disamping itu urea
sudah dikenal dan secara luas digunakan petani di Indonesia.
Acetamide, glycine dan glutamine dihidrolisis dengan laju yang lebih lambat
dari pada urea, dan Nitrogen yang terkandung dapat digunakan efisien oleh ternak
12

ruminansia, tetapi penggunaannya dalam praktek pakan adalah terbatas karena


harganya mahal. Biuret, relatif tahan hidrolisis dalam rumen, tetapi perlu adaptasi
yang lama untuk penggunaannya oleh mikrobial rumen secara efisien. Kondisi

Tabel 2. Senyawa-senyawa Nitrogen bukan protein


Senyawa Rumus kimia Kandungan N Protein
% ekuivalen
(Nx6.25)
%
Urea (NH2)2CO 46.7 292

Ammonium CH3CHOHCO2NH4 13 81
lactate

Ammonium CH3CO2NH4 18 112


acetate

Acetamide CH3CONH2 23.7 148

Glutamine NH2CO(CH2)2CHNH2C 19 119


OOH

Biuret NH(CONH2)2 40 252


(pure)
Sumber: Kowalczyk (1976)

penggunaan ini dan tingkat penggunaan biuret untuk ternak ruminansia masih
kontroversi (Fonnesbeck et al. 1975).
Penggunaan urea memiliki keterbatasan yaitu terlalu cepatnya urea
melepaskan ammonia begitu kontak dengan enzim urease di dalam cairan rumen
(Coppock et al. 1976; Visek 1984). Bloomfield et al. (1960) mendapatkan bahwa
kecepatan pelepasan ammonia dari hidrolisis urea dapat mencapai 4 kali lebih
cepat daripada kecepatan penggunaannya oleh mikrobial rumen.
Upaya untuk meningkatkan efisiensi penggunaan urea adalah melalui
sinkronisasi laju fermentasi karbohidrat dengan laju pelepasan ammonia dari
fermentasi urea. Helmer & Bartley (1971) menyebutkan bahwa penggunaan pati
berpengaruh lebih baik sebagai sumber energi karena pati dalam menyediakan
kerangka karbon dan energi lebih sejalan dengan waktu pelepasan ammonia dari
13

fermentasi urea dalam rumen. Lebih lanjut, Kowalczyk (1976) menegaskan


bahwa pakan yang mengandung gula (molasses, gula tebu) dan pati (biji-bijian,
umbi-umbian) sangat baik dan cocok untuk suplementasi dengan urea.
Hasil penelitian Prasetiyono (1992) menunjukkan bahwa sinkronisasi
kecepatan pelepasan amonia asal urea dengan sumber energi asal ubi jalar yang
dikukus telah mampu memacu pertumbuhan mikrobial rumen. Namun demikian
kenyataannya sulit diterapkan karena membutuhkan bahan sumber energi yang
terlalu banyak dan energi bahan bakar untuk pengukusan yang relatif kurang
praktis. Hasil penelitian Chanjula et al. (2004) menunjukkan bahwa sinkronisasi
penggunaan urea dengan pati yang berasal dari ubi kayu dan jagung dalam ransum
sapi perah memberikan respon yang tidak berbeda terhadap penampilan produksi
sapi perah, namun menghasilkan income over feed cost yang lebih tinggi pada pati
asal ubi kayu (54.0 US$/bulan vs 51.40 US$/bulan). Fenomena ini menunjukkan
bahwa ubi kayu dapat dijadikan bahan sumber energi yang potensial sebagai
pakan ruminansia.
Nampaknya berbagai cara telah dilakukan dalam upaya untuk menekan
biaya penggunaan protein alami dengan menggunakan pengganti nitrogen bukan
protein, seperti urea. Teknik perlambatan pelepasan amonia di rumen (slow
release of ammonia=SRA) dari hidrolisis urea telah banyak diminati pada akhir-
akhir ini, karena dipandang lebih efisien dan praktis dalam penerapannya. Galo et
al. (2003) menemukan bahwa SRA terbuat dari urea yang dilapisi (coated
urea=CU) terbukti mampu meningkatkan efisiensi penggunaan Nitrogen oleh
mikrobial rumen. Selanjutnya, Antonelli et al. (2004) menemukan bahwa 20%
urea yang diekstrusi dengan 80% pati jagung dapat mencegah keracunan ammonia
dari hidrolisis urea dalam rumen. Menurut Stanton & Whittier (2006) keracunan
urea ditandai dengan tremor, salivasi yang berlebihan, bernapas terengah-engah,
kembung, dan tetani. Disebutkan pula bahwa ternak sapi biasanya mati bila level
ammonia darahnya mencapai 5 mg%. Lebih lanjut disebutkan bahwa penggunaan
bahan sumber energi akan memperbaiki penggunaan urea dalam ransum.
Peneliti lain, Coppock et al. (1976) menemukan bahwa produk pati-urea
tergelatinisasi (GSUP= Gelatinized Starch Urea Product) melalui pemasakan
ekstrusi campuran sorgum dan urea, dengan kandungan protein kasar GSUP
14

sebesar 70% dapat menurunkan konsentrasi amonia rumen dibandingkan kontrol


yang menggunakan urea dalam formula konsentrat sapi perah laktasi.
Penelitian Helmer et al. (1970) mengungkapkan bahwa produk pemasakan
ekstrusi campuran pati jagung dan urea, dapat meningkatkan efisiensi penggunaan
ammonia untuk dapat dikonversi menjadi protein mikrobial rumen, dibandingkan
tanpa ekstrusi. Hal ini karena adanya gelatinisasi pati pada proses ekstrusi dapat
menyediakan energi yang lebih besar, sehingga dapat meningkatkan penggunaan
amonia oleh mikrobial rumen. Produk ekstrusi ini dengan kadar protein kasar 34%
menghasilkan efisiensi yang tinggi dalam penggunan nitrogen oleh mikrobial
rumen. Disebutkan pula bahwa kompleks pati-urea tersebut juga merupakan
sumber energi yang baik serta memungkinkan sebagai substitusi protein untuk
ruminansia.
Proses ekstrusi sering digunakan dalam proses pengolahan bahan pangan
dan bahan yang dipakai kebanyakan merupakan sumber karbohidrat. Menurut
Muchtadi et al. (1988) proses ekstrusi bahan pangan adalah suatu proses dimana
bahan tersebut dipaksa mengalir dibawah satu atau lebih kondisi operasi seperti
pencampuran, pemanasan dan pemotongan melalui suatu cetakan yang dirancang
untuk membentuk hasil ekstrusi yang bergelombang kering (puff-dry). Alat untuk
melakukan ekstrusi adalah ekstruder. Lebih lanjut disebutkan bahwa, ada dua
jenis ekstruder berdasarkan jumlah ulir yang dipergunakan dalam proses ekstrusi
yaitu ekstruder berulir tunggal dan ekstruder berulir ganda. Mesin ekstruder
banyak digunakan dalam pengembangan produk-produk baru seperti makanan
ringan, makanan ternak atau produk modifikasi pati lainnya. Pada proses
pemasakan ekstrusi digunakan aplikasi suhu tinggi dengan waktu olah yang
singkat. Temperatur optimum proses ekstrusi kurang lebih 180oC dan kecepatan
ulir sekitar 300 rpm dalam waktu kurang lebih 10 detik. Disebutkan pula, bahwa
melalui aplikasi suhu tinggi bersaat olah singkat, maka kerusakan termal
senyawa-senyawa gizi dapat diusahakan seminimal mungkin, terutama untuk
protein dan vitamin, sekaligus berkemampuan merusak senyawa-senyawa anti-
nutrisi dan senyawa-senyawa toksik.
Scott et al. (1976) menyatakan bahwa proses pemasakan dapat memecah
dinding granula pati, sedangkan Cullison (1968) menyebutkan bahwa pemasakan
15

pati dapat mengakibatkan ikatan pati menjadi lebih longgar (Gambar 2) sehingga
terjadi pembebasan amilosa yang akan menyebabkan daya kelarutan meningkat.
Pendapat ini didukung oleh hasil penelitian Sofyan (1983) bahwa ubi kayu yang
dimasak dengan pengukusan dapat mempengaruhi kelarutan pati. Sedangkan
Szylit et al. (1978) menyebutkan bahwa proses pemasakan pati diantaranya
bertujuan untuk mempercepat pemecahan pati oleh mikrobial rumen sehingga
pelepasan energinya akan sejalan dengan pelepasan ammonia dari senyawa
nitrogen bukan protein yang mudah dihidrolisis seperti urea dan akibatnya
ammonia dapat digunakan lebih efisien dalam rumen.

Gambar 2 Struktur molekul amilosa amilopektin pada proses pengembangan


granula pati

Pati terdiri dari suatu rantai unit-unit D-glucopyranosil dan memiliki rumus
umum (C6H10O5)n dengan n = 250 sampai diatas 1000. Ada 2 komponen utama
pada molekul pati yaitu amylopektin (75-80% ) yang bentuknya merupakan suatu
rantai bercabang dan sisanya adalah amylosa yang berbentuk linear (Austin
1986).
Ubi kayu merupakan sumber pati yang sangat potensial, dan merupakan
tanaman lokal yang mudah dibudidayakan di Indonesia serta dapat tumbuh
sepanjang tahun. Produksi ubi kayu di Indonesia cukup tinggi yang ditunjukkan
data statistik selama lima tahun terakhir mengalami peningkatan yaitu dari 18 523
810 ton pada tahun 2003 menjadi 18 950 274 ton pada tahun 2007 (BPS 2007).
16

Menurut Gerpacio et al. (1979) ubi kayu merupakan sumber karbohidrat


yang relatif murah dibanding jagung dan memiliki kandungan pati yang lebih
tinggi (48.49%) dari pada jagung (45.35%). Disamping itu, ubi kayu mengandung
karbohidrat non-struktural lebih tinggi dari pada jagung (Sommart et al. 2000;
Chanjula et al. 2003). Namun demikian, ubi kayu memiliki kandungan protein
yang rendah (Kiyothong & Wanapat 2004; Wanapat & Khampa 2007).
Rendahnya protein ini dapat di perbaiki dengan bahan aditif protein lainnya
(Balagopalan 2002). Selain memanfaatkan umbinya, daun ubi kayu dapat
digunakan sebagai sumber asam amino. Suryahadi & Amrullah (1989)
menemukan bahwa daun tanaman ubi kayu dapat digunakan sebagai sumber asam
amino leusin, phenilalanin dan valin, berturut-turut: 10.5, 3.6 dan 6.8% dari
protein total daun ubi kayu. Penambahan asam-asam amino ini sangat tepat dalam
ransum yang mengandung nitrogen bukan protein dan dapat meningkatkan
produksi ternak.
Menurut Huber & Kung (1981) pada ransum yang mengandung NBP,
kerangka karbon bercabang sangat potensial untuk menjadi faktor pembatas
pertumbuhan mikrobial rumen. Asam-asam amino rantai cabang (branced-chain
amino acids = BCAA), seperti valin, leusin, dan isoleusin di dalam rumen akan
mengalami proses dekarboksilasi dan deaminasi menjadi asam-asam lemak rantai
cabang. Asam isobutirat, asam 2-metilbutirat, dan asam isovalerat berturut-turut
berasal dari asam amino valin, isoleusin, dan leusin. Asam-asam lemak rantai
cabang ini juga mendukung dalam sintesis mikrobial rumen. Proses deaminasi
dan dekarboksilasi asam-asam amino rantai cabang dapat disederhanakan pada
reaksi seperti berikut (Andries et al. 1987):

R-CH(NH2)COOH + H2O Æ RCOCOOH + NH3 + 2H+


RCOCOOH + H2O Æ RCOOH + CO2 + 2H+
R = (CH3)2CH-(valin)
= (CH3)2CHCH2-(leusin)
= CH3CH2CH(CH3)-(isoleusin)
17

Proteksi Protein Kedelai dari Degradasi dalam Rumen


Perbaikan nutrisi protein ternak ruminansia dapat ditempuh melalui
peningkatan pasokan protein asal mikrobial (protein mikrobial) dan protein asal
pakan yang lolos degradasi. Suatu sumber protein tidak tahan terhadap degradasi
mungkin hanya akan memberikan masukan protein berupa protein mikrobial saja
kepada hewan induk semang. Sebaliknya pemberian protein yang tahan
degradasi, disamping protein mikrobial, hewan induk semang juga akan mendapat
protein asal pakan yang lolos degradasi, sehingga persediaan asam amino bagi
penyerapan usus menjadi lebih banyak (Stern et al. 2006).
Menurut Stern et al. (2006), degradasi protein dalam rumen yang berasal
dari protein pakan yang terkonsumsi merupakan salah satu faktor penting yang
mempengaruhi suplai asam amino dalam usus halus ruminansia. Proteolisis
menentukan ketersediaan N-amonia, asam amino, peptide, VFA rantai cabang,
yang mempengaruhi laju pertumbuhan mikrobial dalam rumen. Laju dan tingkat
proteolisis dalam rumen tidak hanya mempengaruhi sintesis protein mikrobial,
tetapi juga jumlah dan kualitas protein pakan yang tidak terdegradasi yang masuk
dalam duodenum. Meskipun protein mikrobial sendiri mungkin mampu
mencukupi kebutuhan ruminansia yang berproduksi rendah, tetapi tidak mampu
mencukupi kebutuhan ruminansia yang berproduksi tinggi, terutama untuk
pertumbuhan, produksi wool, dan produksi susu. Oleh karena itu, untuk
ruminansia berproduksi tinggi, disamping pemberian suplemen protein pakan
yang terdegradasi dalam rumen untuk memaksimalkan protein mikrobial rumen,
perlu penambahan suplemen protein pakan yang lolos degradasi rumen (Rumen
Undegradable Protein= RUP) karena akan memperbaiki suplai asam amino ke
ternak ruminansia (Stern et al. 2006).
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi degradasi protein dalam rumen
adalah tipe protein, solubilitas dalam rumen, pH rumen, tipe substrat, serta tingkat
laju lolos degradasi rumen (Bach et al. 2005; Stern et al. 2006). Berikut ini
disajikan dalam Tabel 3, contoh RUP, kecernaan protein kasar (PK) dalam usus
halus (Intestinal CP Digestion= ID), dan daya serap protein pakan dalam usus
halus (Intestinally Absorbable Dietary Protein= IADP) dari berbagai suplemen
protein.
18

Solubilitas protein merupakan faktor kunci dalam menentukan kerentanan


terhadap enzim protease mikrobial dan degradabilitasnya, misalnya: prolamin dan
glutelin tidak larut dan lambat terdegradasi, sedangkan globulin larut dan mudah
terdegradasi dalam rumen (Stern et al. 2006). Selain itu, struktur protein juga
penting, misalnya: beberapa albumin dapat larut, tetapi mengandung ikatan
disulfide sehingga menyebabkan lambat terdegradasi dalam rumen.

Tabel 3 Contoh RUP, ID, dan IADP dari berbagai suplemen protein.
No. Sumber protein RUP ID IADP
(% PK) (% RUP) (%PK)
1. Bungkil biji kapuk 55 80 43
2. Tepung kedelai 25 90 22
3. Tepung kedelai terekstrusi 66 88 58
4. Ampas bir 57 77 44
5. Tepung darah 88 63 55
6. Tepung bulu 76 67 51
7. Tepung ikan 65 80 52
8. Tepung tulang &daging (MBM) 59 55 33
Sumber: Stern et al. (2006).

Menurut Kopecny & Wallace (1982) pH optimal untuk enzim proteolitik


berkisar antara 5.5 – 7.0; tetapi degradasi protein berkurang pada pH rumen yang
rendah. Selain degradasi protein terjadi karena aktivitas enzim proteolitik, juga
dapat disebabkan oleh aktivitas enzim lain.
Jumlah total protein yang tersedia untuk absorbsi dari usus halus tergantung
pada pasokan mikrobial dan protein pakan lolos degradasi kedalam duodenum dan
kecernaannya dalam usus halus (Stern et al. 2006). Disebutkan pula bahwa
protein pakan yang terabsorbsi di usus halus (IADP) didefinisikan sebagai jumlah
protein dari suatu specifik pakan yang tersedia untuk absorbsi dalam usus halus.
Nilai IADP merupakan suatu index kualitas suplemen protein sebagai sumber
RUP untuk ruminansia.
19

Kedelai merupakan suplemen protein untuk ternak ruminansia yang sudah


banyak digunakan terutama di luar negeri seperti Amerika digunakan sebagai
suplemen protein untuk ternak sapi pedaging dan sapi perah. Protein asal kedelai
memiliki keunggulan tersendiri dalam kandungan asam aminonya, terutama kaya
akan lysine, tetapi memiliki asam-asam amino pembatas pertama, kedua, dan
ketiga masing-masing adalah methionine, valine dan isoleucine (Schingoethe
1996). Oleh karena itu, bila kedelai dikombinasikan dengan jagung (yang
memiliki asam amino pembatas lysine) akan menghasilkan imbangan protein yang
baik. Namun demikian, kedelai memiliki efisiensi protein yang relatif rendah,
karena masih terdegradasi dalam rumen. Jumlah protein kedelai yang lolos dari
fermentasi rumen adalah 25% (Stern et al. 2006). Sehingga dalam aplikasinya
sebagai suplemen protein ruminansia masih perlu diproteksi agar dapat
meningkatkan kemampuan lolos dari degradasi rumen yang sangat penting
memberikan kontribusi bagi industri peternakan sapi pedaging dan sapi perah,
serta perkembangan industri kedelai.
Upaya untuk proteksi sumber protein pakan dari degradasi dalam rumen
sudah banyak dilakukan, yaitu dengan cara pemanasan bahan makanan,
pemberian air minum yang banyak, dan perlakuan kimiawi serta pembungkusan
protein dengan kapsul (Chalupa 1974). Orskov (2002) mencoba melindungi
protein dengan asam tannin. Hasil penelitiannya memperlihatkan bahwa asam
tannin dapat meningkatkan penyerapan N dalam saluran pencernaan pasca rumen
dibandingkan penggunaan kapsul dan tanpa perlindungan. Peneliti lain ada yang
menggunakan formaldehid sebagai protektor (Kanjanapruthipong et al. 2002;
Sahoo et al. 2004; Abdullah & Awawdeh 2004). Namun demikian, penggunaan
protektor tersebut kurang ekonomis dan sulit penerapannya, karena formaldehid
sebagai bahan protektor memiliki potensi karsinogenik (carcinogenic effect),
sehingga kurang aman bagi ternak (Leng 1991).
Menurut Leng (1991), perlakuan xylosa memberikan harapan sebagai
pilihan metoda untuk proteksi protein dari degradasi rumen. Hal ini karena,
selain tidak memiliki efek buruk terhadap ternak, xylosa juga sangat mudah
diproduksi dan relatif tidak mahal. Xylosa dapat diperoleh dari black liquor (BL),
yaitu hasil samping (by product) dari proses hidrolisis basa pada pabrik kertas.
20

Dijelaskan pula bahwa xylosa lebih cepat bereaksi dengan asam amino melalui
reaksi pencoklatan (browning reaction) dibandingkan gula pereduksi lainnya.
Temuan ini juga didukung oleh Can & Yilmaz (2002), bahwa xylosa dapat
digunakan sebagai protektor protein kedelai dari degradasi rumen, melalui reaksi
Mailard (non-enzimatic browning reaction) dan aman dikonsumsi ternak.
Menurut Harper et al. (1979) xylosa termasuk karbohidrat dari grup
monosakarida yang memiliki lima atom karbon (pentose: C5H10O5). Hasil
penelitian Lewis et al., (1988) yang disitasi oleh Leng (1991) tentang pengaruh
suplementasi pakan sapi berbahan dasar hijauan dan protein tepung kedelai yang
disemprot dengan xylosa (berbahan asal cairan sulfite) dan dipanaskan pada suhu
200 oF selama 2 jam menghasilkan bobot badan harian sapi seperti yang tersaji
pada Tabel 4.

Tabel 4 Pengaruh suplementasi hijauan pakan terhadap pertambahan bobot badan


Sapi

Perlakuan Pertambahan bobot hidup (g/hari)


Tanpa suplemen 591
+ 7 % tepung kedelai 673
+ 9 % tepung kedelai + 10 % sulfite liquor 823
+ 8 % tepung kedelai + 5 % sulfite liquor 841

Sumber: Lewis et al. (1988) yang disitasi oleh Leng (1991).

Pemberian Pakan pada Sapi Pedaging


Pakan ternak sapi pedaging terdiri dari pakan kasar dan konsentrat (Perry
1980). Pakan kasar atau hijauan memiliki kandungan serat kasar 18% atau lebih,
sedangkan konsentrat memiliki kandungan serat kasar yang rendah atau kurang
dari 18% (Ensminger 1990). Bahan konsentrat yang diberikan ke sapi sebagai
sumber energi antara lain: bekatul, gandum, dedak gandum, sorghum, tepung ubi
kayu, sedangkan yang merupakan sumber protein antara lain: tepung kedelai,
bungkil kapuk, bungkil wijen, bungkil kelapa (Perry 1980).
Prinsip dasar dalam pengembangan sistem pemberian pakan pada usaha sapi
pedaging, adalah: 1) memaksimalkan fungsi rumen sapi, melalui pemberian
21

nutrisi yang sesuai dengan kebutuhan mikroflora rumen dan memperbaiki


ekosistem rumen, 2) mengoptimalkan kebutuhan nutrisi untuk metabolisme
melalui suplementasi bypass protein, karbohidrat dan lemak, 3) meningkatkan
palatibilitas dan kecernaan, 4) mengoptimalkan kebutuhan mineral (Gurnadi
1993).
Menurut Frisch (1978) teknologi pakan yang digunakan untuk usaha
penggemukan sapi sistem feedlot sebaiknya dengan “Grainfed” , dengan
komposisi konsentrat 80 s/d 85% dan pakan kasar atau hijauan 15%. Disebutkan
pula bahwa pemberian konsentrat diatas 85% dapat mengakibatkan acidosis atau
asam lambung. Pakan kasar yang ditambahkan tersebut dapat menstimulasi
proses ruminansi dan mencegah kemungkinan adanya gangguan pencernaan.
Menurut Jesse et al. (1976) penggunaan konsentrat tinggi (lebih dari 70%) pada
usaha penggemukan sapi, akan meningkatkan konsumsi pakan, laju pertumbuhan,
efisiensi pakan, persentase karkas, dan persentase lemak, serta dapat menurunkan
alokasi biaya pakan untuk setiap unit pertambahan berat badan. Disebutkan pula
bahwa sapi pedaging mampu mengkonsumsi bahan kering pakan sebanyak 2.5 –
3% dari berat badan untuk setiap hari. Pemeliharaan sapi yang selalu
dikandangkan secara feedlot dengan pakan yang dominan adalah biji-bijian,
sering mengalami kekurangan vitamin A dan D, sehingga kedalam ransumnya
perlu adanya penambahan vitamin A dan D (Preston & Willis 1974). Beberapa
faktor yang mempengaruhi konsumsi bahan kering dan bahan organik antara lain:
sifat fisik atau kimia pakan, permintaan fisiologis ternak untuk hidup pokok dan
produksi sesuai dengan kapasitas saluran pencernaan, bobot hidup yang
berhubungan dengan perkembangan saluran pencernaan, karena pada umumnya
kapasitas saluran pencernaan meningkat seiring dengan bobot hidup sehingga
mampu menampung bahan kering dalam jumlah yang banyak (Parakkasi 1999).

Komposisi Tubuh
Komponen penyusun utama dari tubuh seekor ternak adalah air, lemak,
protein, dan abu. Komposisi tubuh ternak dipengaruhi oleh jenis ternak, bobot
badan, umur, jenis kelamin, dan status nutrisi (Soeparno 1992). Disebutkan pula
bahwa sejalan dengan kenaikan bobot badan, maka akan terjadi perubahan
22

komposisi tubuh, yaitu persentase air tubuh mengalami penurunan, persentase


lemak meningkat, proporsi tulang menurun, sedangkan persentase protein tubuh
relatif konstan. Sebaliknya, penurunan bobot badan menyebabkan peningkatan
proporsi tulang, sedangkan proporsi otot sedikit menurun dan proporsi lemak
tidak mengalami perubahan yang berarti (Soeparno 1992; Parakkasi 1999).
Menurut Berg & Butterfield (1976) komposisi tubuh dari bobot kosong pada
ternak sapi adalah air 39.8-77.6%, protein 12.4-20.6%, lemak 1.8-44.6%, dan abu
3.0-6.1%.
Beberapa metoda pendugaan komposisi tubuh telah banyak dilakukan, yaitu
metode langsung dan tidak langsung. Pendugaan komposisi tubuh dengan metode
langsung dapat dilakukan dengan pemotongan pada ternak. Pengukuran
komposisi tubuh dengan pemotongan ternak memiliki hasil yang cukup akurat,
tetapi biayanya cukup mahal. Sapi yang telah dipotong kemudian dilakukan
pemisahan daging, lemak dan tulang, kemudian diambil sampel untuk analisis
proksimat, sehingga dapat diketahui kadar air, lemak, protein, karbohidrat, dan
mineral ternak tersebut (Astuti dan Sastradipradja 1999).
Pendugaan komposisi tubuh dengan metode tidak langsung dapat dilakukan
dengan cara menginjeksikan perunut (tracer) atau dilution techniques ( McDonald
et al. 1988). Beberapa syarat yang harus digunakan pada metode dilution
techniques, antara lain: 1) mudah larut dan terbawa keseluruh tubuh, 2) tidak
bersifat racun dan tidak berpengaruh secara fisiologis, 3) tidak disekresi dan tidak
ikut dalam metabolisme tubuh, 4) konsentrasi dalam darah dapat diukur dengan
mudah. Beberapa perunut yang dapat digunakan untuk menduga komposisi tubuh
antara lain tritium (T2O), deuterium (D2O), potassium (40K), dan urea (Berg &
Butterfield 1976; Andrew et al. 1995).
Penggunaan metode dilution techniques dengan tracer urea banyak
direkomendasikan oleh para peneliti sebelumnya, karena bahan tracer ini mudah
didapat, murah harganya, dan dalam pengukurannya tidak terlalu sulit.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Astuti dan Sastradipradja (1999) yang
telah membandingkan metode langsung dengan urea space technique didapatkan
hasil tidak ada perbedaan yang nyata dan disimpulkan bahwa urea space
technique berkorelasi yang tinggi dengan metode langsung.
23

Penggunaan larutan urea sebagai perunut didasarkan atas kenyataan bahwa


molekul urea dapat bercampur merata dengan cepat bersama cairan tubuh dalam
waktu 12 – 15 menit pada sapi. Disamping itu, urea bukan merupakan senyawa
yang asing bagi tubuh sapi, serta mudah dalam pelaksanaan dan lebih akurat
hasilnya (Rule et al. 1986 ; Astuti & Sastradipradja (1999).
BAHAN DAN METODE

Penelitian telah dilakukan mulai bulan Pebruari 2006 sampai dengan


Desember 2006, yang terdiri dari serangkaian percobaan: (1) rekayasa CASREA
berbasis ubi kayu-urea terekstrusi, (2) rekayasa SOYXYL dari proteksi protein
kedelai dengan xylosa black liquor, (3) rekayasa suplemen protein sebagai
stimulan pertumbuhan sapi pedaging melalui kombinasi CASREA dan SOYXYL.
Pelaksanaan percobaan 1 dan 2 yaitu dengan uji fermentasi in vitro di
Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak UNDIP, sedangkan percobaan 3 yaitu
uji SPN pada ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi (feeding trial)
di perusahaan peternakan sapi “LUWES” Karang anyar, Jawa Tengah. Uji
fermentasi in vitro dilakukan dengan metode batch culture (GLP 1966), dengan
menggunakan cairan rumen sebagai sumber inokulum yang diperoleh dari satu
sapi berfistula rumen, dan pada percobaan in vivo (feeding trial) digunakan 16
sapi perah jantan untuk tujuan sebagai sapi pedaging.
Jerami dan dedak padi berasal dari varitas IR 64 dan merupakan pakan
utama yang sudah biasa diberikan di perusahaan peternakan sapi “LUWES”. Ubi
kayu (cassava) yang digunakan dalam percobaan 1 adalah ubi kayu lokal asal
Klaten Jawa Tengah dari varitas Cemani, sedangkan urea yang digunakan
diproduksi oleh Pabrik Pupuk Kaltim. Kedelai yang digunakan dalam percobaan 2
adalah kedelai lokal varitas Malabar asal Grobogan Jawa Tengah, sedangkan
xylosa black liquor berasal dari limbah pabrik kertas Padalarang Jawa Barat.

Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi


Guna memperoleh suplemen protein (SPN) yang dapat didegradasi dalam
rumen dan mampu mendukung pertumbuhan mikrobial rumen, maka dalam
percobaan ini diformulasikan dan dibuat SPN berbahan utama cassava dan urea
(selanjutnya disebut Casrea). Dalam percobaan ini dibandingkan 4 (empat)
macam Casrea yang berbeda dalam komposisi bahan dan proses pembuatannya
(Tabel 5).
Percobaan ini dibagi dalam 2 kajian, yaitu kajian 1: analisis konsentrasi
VFA dan NH3 (GLP 1966), serta protein endapan (Shultz & Shultz 1969).
25

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap (RAL) pola faktorial
4X3 dengan 3 kali ulangan pada tiap kombinasi perlakuan. Faktor A adalah
macam CASREA: Casrea1 (dibuat tanpa melalui ekstrusi sebelumnya); Casrea2
(diekstrusi sebelumnya), Casrea3 (diekstrusi sebelumnya), dan Casrea4 (diekstrusi
sebelumnya). Faktor B adalah waktu inkubasi: 2, 4, dan 6 jam. Ekstrusi dilakukan
pada suhu (180oC) dan tekanan sama (3000 kg/cm2) pada semua perlakuan
(Helmer et al. 1970) dengan menggunakan mesin ektruder merk Toshiba. Kajian
2: analisis kecernaan protein kasar (Tilley & Terry 1969) menggunakan RAL
dengan perlakuan 4 macam CASREA (sama dengan kajian 1) dan 3 kali ulangan.

Tabel 5 Komposisi bahan dan proses pembuatan Casrea

Bahan (%) Macam Casrea


Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4
tanpa ekstrusi ekstrusi
Urea 32 22 27 32
Ubi kayu 58 68 63 58
Tepung daun ubi kayu 5 5 5 5
Ca CO3 2 2 2 2
Garam 1 1 1 1
Mineral & Vitamin 2 2 2 2
(Merk Starvit)

Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai


dengan Xylosa Black Liquor

Guna memperoleh SPN bernilai hayati tinggi (SOYXYL) yang dapat


dimanfaatkan oleh organ pasca rumen, maka protein kedelai diproteksi dengan
xylosa Black Liquor (BL) melalui proses ekstrusi. BL diperoleh dari by product
olahan pabrik kertas Padalarang dengan bahan baku merang padi, melalui proses
hidrolisis basa. Berdasarkan hasil analisis dengan metode High Performance
Liquid Chromatography (HPLC), konsentrasi xylosa pada BL yang telah
dinetralkan dengan HCl adalah 3.2658 x 102 ppm (Lampiran 28). Percobaan
26

dirancang dengan RAL pola faktorial (3x4), 3 ulangan. Faktor A adalah suhu
ekstrusi: 120, 150, dan 180oC, dan faktor B adalah kadar BL: 0, 3, 6 dan 9% dari
bahan kering tepung kedelai yang diuji. Waktu inkubasi batch culture dilakukan
selama 4 jam untuk pengukuran NH3, VFA, dan protein endapan, sedangkan
metode untuk pengukuran kecernaan protein kasar sama dengan percobaan 1.

Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging


Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL

Guna memperoleh suplemen protein sebagai stimulan pertumbuhan sapi


pedaging diperlukan kombinasi yang ideal dari CASREA (SPN terdegradasi
dengan laju yang diperlambat, sebagaimana hasil percobaan 1 yang terbaik)
dengan SOYXYL (SPN tahan degradasi, sebagaimana hasil percobaan 2 yang
terbaik). Suplementasi dari kombinasi kedua bahan tersebut diberikan pada
ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi. Ternak yang digunakan
adalah 16 sapi perah jantan Peranakan Frisian Holstein (PFH) periode
pertumbuhan berumur antara 12-15 bulan. Semua sapi dilengkapi dengan
peralatan harness untuk koleksi feces dan urin. Percobaan menggunakan
rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan. Pengelompokkan
berdasarkan bobot badan awal penelitian, yaitu kelompok 1, 2, 3 dan 4 masing-
masing berkisar 160-201, 225-229, 239-271, dan 274-320 kg. Perlakuan terdiri
atas 4 macam ransum, yaitu R0= kontrol (sapi hanya diberi jerami dan dedak padi
tanpa suplementasi), R1= R0 + SPN A, R2= R0 + SPN B, dan R3= R0 + SPN C.
SPN A, B, dan C dengan rasio CASREA/SOYXYL masing-masing 20/80, 50/50,
dan 80/20. Sebelum pelaksanaan penelitian semua sapi tersebut diberi obat
cacing agar terbebas dari kontaminasi cacing dan secara fisiologis dinyatakan
sehat. Injeksi vitamin juga diberikan sebelum dilakukan penelitian yaitu vitamin
B1, A, D, dan E.
Percobaan dibagi menjadi dua periode, yaitu periode pendahuluan
(preliminary period) yang berlangsung selama 14 hari untuk menstabilkan dan
membiasakan konsumsi. Selama periode pendahuluan, pakan yang diberikan
sudah disesuaikan dengan kebutuhan bahan kering (BK), yang dihitung 3% dari
masing-masing bobot badan sapi. Selanjutnya periode pengumpulan data
27

(collecting period) selama 44 hari. Kandungan nutrien bahan pakan yang


diberikan pada sapi percobaan berupa jerami padi, dedak padi, dan suplemen
protein (SPN A, SPN B, dan SPN C), disajikan pada Tabel 6, sedangkan
kandungan nutrien ransum perlakuan pada Tabel 7.

Tabel 6 Kandungan nutrien bahan pakan yang diberikan pada sapi percobaan.
Bahan BK Abu Protein Lemak Serat Gross
(%) (%) kasar kasar kasar energy
(%) (%) (%) (kalori/g)
Jerami padi 76.93 23.06 5.06 3.85 34.98 2841.8
Dedak padi 91.19 16.7 8.56 10.87 32.62 3988.2
SPN A 93.41 10.5 44.06 5.98 16.15 4294.9
SPN B 92.74 11.64 49.81 5.5 15.98 3695.5
SPN C 91.19 12.39 56.93 5.86 12.52 3204.1

Tabel 7 Kandungan nutrien ransum perlakuan yang dicobakan.


Nutrien (%) Perlakuan
R0 R1 R2 R3
Bahan kering 86.86 88.51 88.44 88.28
Bahan organic 78.69 79.94 79.83 79.75
Protein kasar 7.51 11.41 12.00 13.00
TDN 60.50 65.00 64.00 63.00
Lemak kasar 6.00 6.22 6.17 6.20
Serat kasar 34.98 33.09 33.08 32.73
Ca 0.18 0.74 1.05 1.40
P 1.06 1.75 1.57 1.40

Perubahan konsumsi pakan secara periodik diamati dengan penimbangan


bobot badan setiap 10 hari sekali dengan menggunakan timbangan sapi digital
kapasitas 1000 kg merk RUDDWEIGH electronic weighing system. Jerami padi
dan air minum diberikan ad libitum. Dedak padi diberikan sebanyak 70% dari
kebutuhan BK (3% bobot badan) atau setara dengan 2.1% dari masing-masing
bobot badan sapi. Suplemen protein (SPN) diberikan sebanyak 10% dari
kebutuhan BK (3% bobot badan) atau setara dengan 0.3% dari masing-masing
bobot badan sapi.
Peubah yang diamati pada percobaan 3 adalah pertambahan bobot badan
harian, efisiensi penggunaan ransum, konsumsi dan kecernaan nutrien (bahan
kering, bahan organik, protein), deposisi protein, energi tercerna, kadar urea dan
28

ammonia darah sebelum dan 3 jam setelah diberi ransum, protein mikrobial
rumen, komposisi tubuh, dan energi methan. Pendugaan protein mikrobial rumen
dilakukan melalui analisis derivate purine urine (Pimpa et al. 2001), pendugaan
komposisi tubuh dengan teknik urea space (Astuti & Sastradipradja 1999), dan
pendugaan energi methan melalui metode Kurihara et al. (1999), pengukuran
konsentrasi urea dan ammonia darah masing-masing dengan metode Berthelot dan
metode Raneff (Chaney & Marbach 1962).

Pengukuran Peubah
Teknik Fermentasi in vitro
Teknik fermentasi in vitro yang dipakai adalah metode batch culture (GLP
1966). Sebanyak 3 gram sampel suplemen protein dimasukkan kedalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum (yang berasal dari rumen
sapi berfistula) dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok. Larutan
penyangga McDougall tersebut memiliki komposisi seperti disajikan pada Tabel
8, dan sebelumnya dijenuhkan dengan CO2, sehingga pH-nya berkisar 6.8-6.9.
Sebelum difermentasikan isi fermentor juga dialiri CO2 untuk menciptakan
suasana anaerob dan selanjutnya fermentor ditutup rapat dengan tutup karet
berventilasi. Kemudian diinkubasikan kedalam Shaker bath pada temperature
40oC. Proses fermentasi dihentikan dengan menggunakan 0.2 ml HgCl2 jenuh.
Kemudian diambil sampel cairan rumen hasil fermentasi tersebut untuk dianalisis
konsentrasi VFA, NH3, dan protein endapan.

Pengukuran Konsentrasi VFA


Konsentrasi VFA diukur dengan menggunakan metode “steam destilation”
(GLP 1966). Sebanyak 5 ml supernatan (cairan rumen) dimasukkan kedalam
tabung destilasi kemudian ditambahkan 1 ml H2SO4 15%. Tabung secepatnya
ditutup dengan sumbat karet yang telah dihubungkan dengan pipa destilasi
berdiameter ± 0.5 cm. Kemudian ujung pipa yang lain dihubungkan dengan alat
pendingin Leibig. Tabung destilasi dimasukkan kedalam labu destilasi yang telah
berisi air mendidih tanpa menyentuh permukaan air tersebut.
29

Hasil destilasi ditampung dalam Erlenmeyer 500 ml yang telah diisi 5 ml


NaOH 0.5 N. Destilasi selesai pada saat jumlah destilat yang tertampung
mencapai 300 ml. Destilat yang tertampung ditambahkan indikator
phenolphthalein (pp) sebanyak 2-3 tetes lalu dititrasi dengan HCl 0.5 N sampai
terjadi perubahan warna dari merah jambu menjadi tidak berwarna (bening).
Kadar VFA total dapat dihitung sebagai berikut:
VFA total (mM)=(ml HCl – ml blanko) x N HCl x 1000/5

Tabel 8 Komposisi larutan penyangga


Bahan Kimia Konsentrasi (g/6 liter)
NaHCO3 58.8
Na2HPO4.7H2O 42.0
KCl 3.42
NaCl 2.82
MgSO4. 7H2O 0.72
CaCl2 0.24
Sumber: GLP (1966).

Pengukuran Konsentrasi NH3 Rumen


Teknik pengukuran NH3 ini menggunakan metode micro difusi conway
(GLP 1966). Sebanyak 1 ml supernatan diletakkan dalam salah satu sekat cawan
conway. Pada sisi yang lain diletakkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Pada cawan
kecil dibagian tengah diisi dengan asam borat berindikator merah metil dan brom
kresol hijau sebanyak 1 ml. Kemudian cawan conway ditutup rapat dengan tutup
bervaselin lalu digoyang-goyangkan supaya supernatan bercampur dengan
Na2CO3. Setelah itu dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. NH3 yang terikat
asam borat dititrasi dengan H2SO4 0.005 N, sampai titik awal perubahan warna
dari biru menjadi kemerah-merahan. Konsentrasi NH3 dihitung menggunakan
rumus berikut:
NH3 (mM)=(ml H2SO4-ml H2SO4blanko) x N H2SO4x 1000

Pengukuran Bobot Protein Endapan


Pengukuran bobot protein endapan menggunakan metode Shultz & Shultz
(1969). Sebanyak 8 ml cairan rumen dicampur dengan 2 ml larutan TS (10%
TCA dan 2% SSA dalam 100 ml aquades) dalam perbandingan 4 : 1. Campuran
30

diaduk merata dan didiamkan 10 menit, lalu disentrifuse dengan kecepatan 3000
rpm selama 20 menit. Supernatan dibuang, endapan ditambahkan lagi 1 ml larutan
TS dan ditambahkan aquades sampai volumenya 8 ml, kemudian disentrifuse lagi.
Endapan yang diperoleh dianalisis konsentrasi protein kasar (PK) dengan metode
Kjeldahl.
Metode Kjeldahl terdiri dari tiga tahap yaitu tahap destruksi, destilasi, dan
titrasi. Tahap destruksi adalah sebagai berikut: ditimbang sekitar 0.3 gram sampel
secara teliti dan dicatat sebagai X, kemudian dimasukkan kedalam labu destruksi.
Kemudian ditambahkan 1 gram katalis campuran selen serta 20 ml H2SO4 pekat
teknis dan dihomogenkan. Campuran dipanaskan dengan alat destruksi, mula-
mula pada posisi “low” sekitar 10 menit, kemudian pada posisi “mid” selama 5
menit, dan pada posisi “high” sampai larutan menjadi jernih dan berwarna hijau,
proses ini berlangsung dalam ruang asam.
Selanjutnya tahapan destilasi, labu destruksi tadi didinginkan kemudian
larutan tersebut dimasukkan kedalam labu penyuling dan diencerkan dengan 300
ml air bebas N. Setelah itu ditambahkan 5 butir batu didih dan larutan dijadikan
basa dengan menambahkan 300 ml NaOH 33%. Kemudian labu penyuling
dipasang dengan cepat diatas alat penyuling. Proses penyulingan ini diteruskan
hingga semua N tertangkap oleh H2SO4 yang ada didalam Erlenmeyer, atau
setelah dua pertiga larutan dalam labu penyuling telah menguap.
Proses terakhir adalah titrasi. Labu Erlenmeyer yang berisi hasil sulingan
tadi diambil, kemudian kedalam H2SO4 ditambahkan indikator pp dan kemudian
dititar dengan menggunakan NaOH 0.3 N. Proses titrasi dihentikan setelah terjadi
perubahan warna dari merah jambu menjadi biru. Volume NaOH dicatat sebagai
Z ml. Kemudian dibandingkan dengan titar blanko Y ml. Bobot protein endapan
(gram) dihitung berdasarkan rumus berikut:

%PK = (Y-Z) x (14g/1000ml) x N NaOH x 6.25 x 100%


g Sampel (X)
Bobot PK (mg) = %PK x bobot endapan
31

Pengukuran Kecernaan Protein Kasar


Pengukuran kecernaan protein dilakukan dengan metode Tilley & Terry
(1969). Sebanyak 3 gram sampel suplemen protein dimasukkan kedalam tabung
reaksi kemudian ditambahkan 24 ml cairan inokulum (yang berasal dari rumen
sapi berfistula) dan 36 ml larutan penyangga McDougall lalu dikocok. Larutan
penyangga McDougall tersebut memiliki komposisi seperti disajikan pada Tabel
6, dan sebelumnya dijenuhkan dengan CO2, sehingga pH-nya berkisar 6.8-6.9.
Sebelum difermentasikan isi fermentor juga dialiri CO2 untuk menciptakan
suasana anaerob dan selanjutnya fermenteor ditutup rapat dengan tutup karet
berventilasi. Kemudian diinkubasikan kedalam Shaker bath pada temperature
40oC selama 24 jam dan setiap 4 jam dikocok dengan gas CO2 agar pH tetap.
Proses fermentasi dihentikan dengan menggunakan 0.2 ml HgCl2 jenuh. Efek
larutan penyangga dihilangkan dengan memisahkan supernatan dari endapan
setelah terlebih dahulu campuran inkubasi disentrifuse pada kecepatan 10 000
rpm selama 10 menit. Endapan (X) yang diperoleh sebagian digunakan untuk
analisis bahan kering (BK1) dan Protein Kasar (PK1) dan yang lainnya digunakan
untuk pencernaan hidrolisis yakni dengan cara menambahkan 10 ml larutan
pepsin 0.2% dalam 0.1 N HCl. Selanjutnya diinkubasikan kembali dengan tanpa
tutup tabung selama 24 jam. Sisa sampel yang tidak dicerna dipisahkan dengan
menyaring larutan melalui kertas saring Whatman no 41 dengan bantuan pompa
vakum. Kemudian berat sisa pencernaan ini ditimbang (Y) dan dianalisis
terhadap BK (BK2) dan PK (PK2). Kecernaan PK (KCPK) pasca rumen dihitung
dengan menggunakan rumus:

KCPK (%) = [(BK1.X.PK1) – (BK2.Y.PK2)] 100%


BK1.X.PK1
BK1 = BK sampel sebelum pencernaan hidrolisis “pepsin”
X = berat sampel sebelum pencernaan hidrolisis “pepsin”
PK1 = PK sampel sebelum pencernaan hidrolisis “pepsin”
BK2 = BK sampel setelah pencernaan hidrolisis “pepsin”
Y = berat sampel setelah pencernaan hidrolisis “pepsin”
PK2 = PK sampel setelah pencernaan hidrolisis “pepsin”
32

Percobaan in vivo
Pada percobaan in vivo telah dilakukan beberapa pengukuran peubah yang
terkait dengan produksi ternak, utilisasi zat makanan, dan metabolit darah.
Peubah tersebut antara lain pertambahan bobot badan harian, konsumsi dan
kecernaan nutrien, sintesis N mikrobial rumen, deposisi protein, energi tercerna,
efisiensi ransum, kadar urea dan ammonia darah, serta pendugaan komposisi
tubuh dan energi methan.

Pertambahan Bobot Badan Harian Sapi


Pertambahan bobot badan harian dapat digunakan untuk menilai suatu
pertumbuhan ternak sapi, yang diperoleh dari selisih antara bobot badan akhir
periode pengamatan dengan bobot badan awal periode pengamatan dibagi waktu
periode pengamatan. Pertambahan bobot badan harian sapi dihitung dengan
menggunakan rumus berikut:

PBBH = W2 – W1
t2 – t1
PBBH = Pertambahan bobot badan harian sapi
W2 = bobot badan sapi pada akhir pengamatan
W1 = bobot badan sapi pada awal pengamatan
t2 = waktu akhir pengamatan
t1 = waktu awal pengamatan

Konsumsi Nutrien
Konsumsi nutrien diperoleh dengan menimbang pakan segar yang diberikan
dikalikan dengan kandungan nutrien (BK, PK, BO), kemudian dikurangi sisa
pakan dan dikalikan dengan kandungan nutrien sisa pakan tersebut.

Efisiensi Ransum
Efisiensi ransum dihitung dengan cara membagi pertambahan bobot badan
harian dengan konsumsi BK ransum. Rumus menghitung efisiensi ransum adalah
sebagai berikut:
33

Efisiensi BK Ransum (%) = Pertambahan bobot badan harian (kg) x 100%


Konsumsi BK ransum harian (kg)

Kecernaan nutrien
Kecernaan nutrien dihitung dengan rumus berikut:

Kecernaan = nutrien yang dikonsumsi – nutrien dalam feces x 100%


nutrien yang dikonsumsi

Energi Methan
Energi methan dihitung melalui pendugaan seperti yang telah dilakukan oleh
Kurihara et al. (1999), dengan rumus sebagai berikut:
CH4 (liter/hari)= 63.27 + 0.02678X, dimana X= konsumsi BK (g/hari)
Selanjutnya data produksi CH4 (liter/hari) dikonversikan menjadi nilai
energi dengan mengalikan 9.45 kal/liter dan 4.184 J untuk tiap kalori.

Sintesis N mikrobial
Sintesis N-mikrobial diestimasikan berdasarkan ekskresi total derivate purin
(DP) yaitu allantoin dan asam urat. Estimasi sintesis N- mikrobial dihitung
menurut Pimpa et al. (2001), dengan rumus berikut:
Y=0.85 X + (0.147) BB0.75
N-mikrobial (gN.hr-1) = X(mmol.hari-1) x 70 = 0.727 X
0.116 x 0.83 x 1000
Keterangan:
Y = ekskresi DP (mmol.hr-1)
X = absorbsi purin
0.85 = proporsi DP melalui plasma dan diekskresikan lewat urin
0.147 BB0.75 = kontribusi endogenus pada ekskresi DP
0.83 = koefisien cerna untuk N mikrobial
70 = kandungan N purin (mg/mmol)
0.116 = rasio N purin : total N pada biomas mikrobial
34

Penentuan asam urat dalam urin dilakukan menggunakan spektrofotometer


pada panjang gelombang 293 nm. Dengan menggunakan lisin uricase maka asam
urat akan didegradasi menjadi allantoin dan senyawa lain yang tidak menyerap
cahaya pada panjang gelombang 293 nm, sehingga penurunan dalam pembacaan
spektrofotometer setelah perlakuan dengan uricase menunjukkan konsentrasi asam
urat.
Reagen yang digunakan adalah buffer KH2PO4 0.67 M, pH 9.4 (diatur
dengan penambahan KOH), uricase (Sigma Cat No. U.9375, 19 unit/g) yang
dilarutkan dalam buffer sehingga diperoleh konsentrasi 0.12 µ/ml, larutan asam
urat standar (50 mg asam urat ditambahkan 100 ml 0.01 M NaOH kemudian
volume ditetapkan menjadi 500 ml dengan aquades sehingga diperoleh larutan
dengan kadar 100 mg/l).
Urin diencerkan, yaitu 1 ml urin diencerkan 10 – 40 kali tergantung tingkat
kepekatan urin sehingga dapat masuk kisaran larutan standar yang dipakai.
Sebanyak 2.5 ml buffer phosphate (2 set) ditambah sampel urin yang telah
diencerkan, dicampur menggunakan vortex sehingga homogen. 150 µl uricase
ditambahkan pada set pertama dan 150 µl buffer ditambahkan pada set kedua,
kemudian diinkubasi dalam water bath bersuhu 37oC selama 90 menit. Setelah
diangkat dari water bath dihomogenkan kembali dengan vortex, kemudian larutan
dimasukkan dalam cuvet dan dibaca pada panjang gelombang 293 nm. Selisih
antara set pertama dengan set kedua menunjukkan konsentrasi asam urat.
Konsentrasi allantoin dalam urin diukur dengan spektrofotometer dengan
panjang gelombang 522 nm. Allantoin dihidrolisis dalam kondisi alkali pada suhu
100 oC menjadi asam allantoat yang kemudian akan didegradasi menjadi urea dan
asam glioksilat dalam larutan asam. Asam glioksilat akan bereaksi dengan phenil
hidrazin hidroklorid menjadi phenilhidrazon yang akan membentuk senyawa
berwarna dengan potassium ferrisianida.
Reagen yang digunakan adalah NaOH 0.5 M, HCl 0.5 M, Phenil hidrazin
hidroclorid 0.023 M yang dipreparasi segar sebelum digunakan (0.1663 g
phenilhidrazin hidroklorid dilarutkan dengan aquades sampai volume 50 ml). Urin
diencerkan yaitu 1 ml urin diencerkan 10 – 40 kali tergantung kepekatannya
35

sehingga dapat masuk dalam kisaran larutan standar yang digunakan. Sebanyak 1
ml urin yang telah diencerkan dimasukkan dalam tabung reaksi ditambah 5 ml
aquades dan 1 ml 0.5 M NaOH, dicampur sehingga homogen dengan vortex.
Tabung dimasukkan dalam oil bath bersuhu 100oC selama 7 menit kemudian
didinginkan. Selanjutnya ditambahkan 1 ml HCl 0.5 M dan 1 ml phenil hidrazin
dan dicampur hingga homogen dengan vortex, diinkubasikan kembali dalam oil
bath bersuhu 100oC selama 7 menit dan didinginkan dalam alcohol ice. Sebanyak
3 ml HCl pekat dingin dan 1 ml potassium ferrisianida dicampur dengan vortex,
dan setelah 20 menit dilakukan pembacaan pada panjang gelombang 522 nm.

Pengukuran Konsentrasi Urea Plasma Darah


Analisis konsentrasi urea plasma darah dilakukan dengan metode Berthelot
(Chaney & Marbach 1962). Membuat tiga macam larutan : 1) plasma darah
diencerkan dengan cara 20 µl plasma darah + 500 µl larutan NaCL fisiologis,
diambil 50 µl plasma darah yang telah diencerkan + 20 µl urease suspension; 2)
20 µl larutan standar urea diencerkan dengan 500 µl larutan NaCL fisiologis,
diambil 50 µl larutan standar yang telah diencerkan + 20 µl urease suspension; 3)
reagent blank dibuat dengan mengencerkan 20 µl urease suspension dengan 50 µl
aquabidest.
Ketiga macam larutan diatas diinkubasikan pada suhu 37oC selama 15
menit. Kemudian ditambahkan 500 µl phenol reagen dan 500 µl hypoclorit
solution. Selanjutnya diinkubasi kembali pada suhu 37oC selama 10 menit.
Absorban sampel dan standar dibaca diselingi dengan blank untuk mengenolkan.
Pembacaan absorban dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer coleman
44 dengan panjang gelombang 578 nm.
Konsentrasi urea plasma dihitung sebagai berikut:
Konsentrasi urea plasma darah (mg%) = Absorban sampel x ______40_______
Absorban standar

Pengukuran Kadar Ammonia Plasma Darah


Pengukuran kadar ammonia plasma darah menggunakan metode Raneff
(Chaney & Marbach 1962). Metode ini didasarkan pada reaksi indophenol yang
dikatalis menghasilkan senyawa biru yang stabil. Metode ini dapat dipakai
36

langsung untuk larutan yang mengandung ammonia atau setelah hidrolisis dengan
urea menjadi larutan yang mengandung urea. Analisis ammonia dari sampel yang
stabil dapat diukur langsung (penentuan).
Sebanyak 1 ml larutan LA (Tungstat) + 2 ml plasma darah + 1 ml Larutan B
dingin (simpan dalam almari es) dan dicampur. Kemudian sampel ini disimpan
dalam friser selama 48 jam. Sampel di sentrifuse pada 15.000 g selama 10 menit.
Tabung yang lain ditambahkan 20 ml sampel+2.5 ml L.C.+2.5ml L.D. dan
kemudian segera dicampur. Inkubasi pada waterbath 40°C selama 30 menit.
Terbentuk warna biru. Setelah itu didinginkan pada suhu kamar, dan membaca
dengan spektronik pada l 630 nm.
Reagent yang digunakan untuk analisis ammonia:
- Larutan Sodium Hypochlorid 5%
- Monohidrat sodium karbonat 35 g atau Na2CO3 anhid 29.9193 g
- Chlorimeted lime (kaporid) 50 g
- Aquadest 259 ml
Cara pembuatan:
1. Na2CO3 dilarutkan dengan 125 ml aquadest
2. Chlorimeted lime dilarutkan dengan 125 ml aquadest
Larutan no 1 dicampur dengan larutan no.2, kemudian didiamkan selama 1
malam, digojog lalu disaring.
Larutan A (L.A) = 10% Sodium Tungstate (b/v)
Larutan B (L.B) = H2SO4 1N ® 28.032 ml H2SO4 95%/liter aquadest disimpan
dalam kulkas.
Larutan C (L.C) = phenol
50 mg Na Nitroprusside
10 gram phenol krustal
larutan menjadi 1 l dengan aquadest, kemudian disimpan dalam refrigerator
Larutan D (L.D) = Hypochloride
5 gram NaOH pellet,
21.31 g Na2HPO4 anhid atau 26.7125 g Na2HPO4 2H2O dilarutkan lebih dulu
dengan 100 ml aquadest, 25 ml Sodium Hypochlorid 5%, semua dicampur dan
dilarutkan menjadi 1 liter aquadest simpan dalam kulkas.
37

Larutan E (Standar) ® 100 mg N/100 ml, 4.72 g (NH4)2SO4 dalam 1 liter


aquadest, kemudian disimpan dalam suhu kamar.

Tabel 9 Larutan standar untuk analisis kadar ammonia plasma darah


Ammonia N
0 5 10 20 30
(mg/100 ml)
H2O 5 4.75 4.5 4.0 3.5
L.E (standar) - 0.25 0.5 1.0 1.5
L.A 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5
(Tungstate)
L.B (H2SO4) 2.5 2.5 2.5 2.5 2.5

Pendugaan Komposisi Tubuh dengan Teknik Ruang Urea (Urea Space)


Larutan urea dibuat dengan melarutkan urea kristal 100 g ke dalam 500 ml
larutan NaCl fisiologis. Pengambilan darah dilakukan pada menit ke-0 (sebelum
injeksi larutan urea) dan menit ke-12 (12 menit setelah injeksi larutan urea).
Sebelum pelaksanaan pengambilan sampel darah, terlebih dahulu sapi ditimbang
untuk menentukan dosis larutan urea yang akan diinjeksikan. Perhitungan dosis
urea yang disuntikkan ke tubuh ternak adalah 0.65 ml (Astuti & Sastradipradja
1999) untuk setiap kg bobot badan metabolik (BB0.75).
Pengambilan darah menit ke-0 dilakukan dengan selang cathether yang
dipasang pada vena jugularis, kemudian darah diambil 10 ml dengan spuit.
Sampel darah yang diambil segera ditampung pada tabung reaksi yang telah berisi
Ethylene Diamine Tetra Acetic Acid (EDTA) dan segera disimpan kedalam termos
es. Langkah selanjutnya adalah menginjeksikan larutan urea ke dalam vena
jugularis. Larutan urea yang telah diinjeksikan harus masuk sesuai dengan jumlah
yang telah diperhitungkan, sehingga perlu didorong dengan larutan NaCl
fisiologis 10 ml. Injeksi larutan urea harus dilakukan secara perlahan-lahan dan
membutuhkan waktu, sehingga untuk menentukan waktu 0 menit injeksi larutan
urea ditentukan dengan pengambilan titik tengah antara waktu mulai dengan
selesai injeksi larutan urea.
38

Pengambilan darah pada menit ke-12 sebanyak 10 ml kemudian dimasukkan


kedalam tabung yang telah diberi EDTA, selanjutnya segera disimpan dalam
termos es. Semua sampel darah yang diperoleh disentrifuse dengan kecepatan
3000 rpm selama 10 menit untuk menghasilkan plasma darah yang selanjutnya
untuk dianalisis konsentrasi urea plasma darah. Pengukuran konsentrasi urea
plasma darah dilakukan dengan metode Berthelot.
Pendugaan komposisi tubuh diukur dengan pendekatan teknik Urea space
(Astuti & Sastradipradja 1999) dihitung dengan rumus sebagai berikut:

US (%) = V (ml) x C (mg/dl)


Δ BUN x 10 x BH
Air tubuh (%) = 59.1 + 0.22 x US (%) – 0.04 BH
Air tubuh (kg) = [air tubuh (%) x BBK (kg)] /100%
Lemak tubuh (%) = 98.0 – 1.32 x air tubuh (%)
Lemak tubuh (kg) = [lemak tubuh (%) x BBK (kg)]/100%
Protein tubuh (kg) = 0.265 x air tubuh (kg) – 0.47
Protein tubuh (%) = [protein tubuh (kg) / BBK (kg)] x 100
Dimana:
US = Urea Space (%)
V = volume urea yang diinfusikan (ml)
C = konsentrasi urea (mg/dl)
Δ BUN = perubahan konsentrasi urea darah (antara menit ke-0 dan ke-12),
(mg/dl)
BBK = bobot badan kosong (kg)
BH = bobot hidup (kg)

Energi Tercerna
Energi tercerna diketahui dengan cara menghitung jumlah energi pakan yang
dikonsumsi dikurangi dengan energi yang keluar melalui feces.

Deposisi Protein
Deposisi protein diketahui dengan cara menghitung jumlah protein pakan
yang dikonsumsi dikurangi dengan protein yang keluar melalui feces dan urin.
39

Analisis Data
Semua data yang diperoleh diolah dan dianalisa keragaman menggunakan
ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Duncan (Duncan’s Multiple Range Tests =
DMRT) menggunakan general linear procedure (GLM) Statistical Analyses
System (SAS 2000). Semua data dalam Tabel disajikan dalam nilai rataan dan
standar deviasi (nilai rataan ± standar deviasi).
HASIL DAN PEMBAHASAN

Rekayasa CASREA Berbasis Ubi Kayu-Urea Terekstrusi

Pengamatan Umum
Hasil pemrosesan ekstrusi bahan suplemen protein berbasis ubi kayu-urea
memiliki tekstur keras dan pejal. Menurut Muchtadi et al. (1988) pati mempunyai
peranan penting bagi produk-produk ekstrusi, karena akan berpengaruh terhadap
tekstur. Pengaruh itu terutama disebabkan pada rasio amilosa/amilopektin dalam
pati. Rasio amilosa/amilopektin pada pati ubi kayu yaitu 32.5/67.5
(Sudarmonowati et al. 2006). Amilopektin diketahui bersifat merangsang
terjadinya proses mekar, sehingga produk ekstrusi yang berasal dari pati-patian
dengan kandungan amilopektin tinggi akan bersifat ringan, porus dan mudah
patah. Kebalikannya, pati dengan kandungan amilosa tinggi, yaitu pati yang
berasal dari umbi-umbian, misalnya ubi kayu cenderung menghasilkan produk
ekstrusi yang keras dan pejal karena proses mekar hanya terjadi secara terbatas
(Muchtadi et al. 1988).
Secara umum produk ekstrusi sangat efisien bila diproduksi dalam jumlah
besar atau skala industri, karena proses pembuatannya cepat (High Temperature
Short Time =HTST), produk yang dihasilkan seragam, proses ekstrusi
berkemampuan merusak senyawa toksik, memantapkan stabilitas urea, tidak
banyak menimbulkan limbah serta memudahkan dalam hal transportasi produk.

Fermentasi In Vitro
Berdasarkan analisis statistik tidak ada interaksi antara macam Casrea
dengan waktu inkubasi batch culture pada percobaan in vitro terhadap konsentrasi
VFA (Tabel 10) , NH3 (Tabel 11) , dan protein endapan (Tabel 12).

Konsentrasi VFA Rumen


Konsentrasi VFA rumen merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai
fermentabilitas pakan dan erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikrobial
rumen. Mikrobial rumen mengkonversi karbohidrat pakan menjadi VFA,
41

karbondioksida dan methan. Energi yang dihasilkan dari konversi karbohidrat


pakan tersebut, digunakan untuk pertumbuhan mikrobial rumen.

Tabel 10 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi VFA
(mM).

Macam Waktu Inkubasi (jam)


CASREA 2 4 6 Rataan
Casrea1 150.67±8.96 176.00±7.94 178.00±2.65 168.22a±15.20
Casrea2 135.33±3.21 160.67±4.51 164.33±3.79 153.44b±15.80
Casrea3 132.00±11.0 159.33±6.51 163.00±4.00 151.44b±16.90
Casrea4 131.33±9.29 158.00±5.29 162.00±4.58 150.44b±16.70
Rataan 137.33a±9.10 163.50b±8.40 166.83b±7.50
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa macam Casrea nyata (p<0.05)


pengaruhnya terhadap konsentrasi VFA rumen (Tabel 10). Casrea1 menghasilkan
konsentrasi VFA rumen lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan ke tiga Casrea lainnya
(Casrea2, Casrea3, dan Casrea4). Dengan demikian, Casrea dengan bahan yang
diekstrusi sebelumnya mengakibatkan penurunan konsentrasi VFA. Penurunan
konsentrasi VFA ini akibat terjadinya kompleks ubi kayu-urea pada proses
ekstrusi, sehingga fermentabilitas Casrea menurun. Namun demikian, nilai
penurunan VFA ini masih berada pada kisaran VFA yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan mikrobial rumen yang optimal yaitu 80 -160 mM (Van Soest 1982).
Oleh karena itu, konsentrasi VFA pada Casrea dengan bahan terekstrusi masih
mampu menyediakan sumber energi dan kerangka karbon untuk sintesis mikrobial
rumen. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, bahwa proses pengukusan pada
ubi jalar yang kemudian baru ditambahkan urea, justru mengakibatkan
peningkatan konsentrasi VFA rumen (Prasetiyono 1992), karena pada proses
pengukusan tersebut tidak dihasilkan senyawa kompleks pati-urea. Disisi lain,
Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata,
walaupun komposisi urea dalam Casrea ditingkatkan dari 22 sampai 32%.
Fenomena ini mencerminkan bahwa ketersediaan VFA untuk sintesis mikrobial
rumen mulai stabil pada Casrea2 (komposisi urea 22%). Fermentabilitas pakan
erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikrobial rumen. Bersama-sama
42

dengan ammonia, VFA merupakan bahan utama pembentukan protein mikrobial


yang berguna bagi hewan induk semang (Preston & Leng 1987).
Pengaruh waktu inkubasi terhadap konsentrasi VFA tersaji pada Tabel 10.
Waktu inkubasi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap konsentrasi VFA. Namun
demikian, waktu inkubasi 4 dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata,
ini menunjukkan bahwa konsentrasi VFA mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam.
Pada waktu inkubasi 4 jam penggunaan VFA oleh mikrobial rumen mulai
optimal, sehingga pada inkubasi berikutnya (6 jam) tidak terjadi peningkatan
produksi VFA yang nyata.

Konsentrasi NH3 Rumen


Konsentrasi NH3 rumen juga merupakan salah satu tolok ukur untuk menilai
fermentabilitas pakan dan erat kaitannya dengan aktivitas dan populasi mikrobial
rumen. Selain itu, konsentrasi ammonia rumen merupakan kunci bagi sintesis
mikrobial rumen. Apabila kandungan protein pakan rendah atau protein pakan
tahan degradasi, maka konsentrasi ammonia rumen akan rendah dan sintesis
mikrobial rumen terhambat yang pada akhirnya pemecahan karbohidrat menjadi
lambat. Sebaliknya apabila konsentrasi ammonia yang dilepas dari sumber
nitrogen bukan protein (misalnya: urea) terlalu cepat dan melebihi kecepatan
penggunaannya oleh mikrobial rumen, maka ammonia akan terakumulasi dalam
darah sehingga dapat mengakibatkan racun (toxic) bagi ternak.
Tabel 11 menunjukkan bahwa konsentrasi NH3 pada Casrea2, Casrea3 dan
Casrea 4 lebih rendah (p<0.05) dibandingkan Casrea1. Dengan demikian, proses
ekstrusi pada bahan Casrea mampu menurunkan konsentrasi ammonia rumen.
Hasil ini disebabkan menurunnya fermentabilitas bahan akibat pembentukan
kompleks ubi kayu-urea pada proses ekstrusi. Namun demikian, Konsentrasi NH3
pada Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 tidak menunjukkan peningkatan yang nyata,
walaupun komposisi urea ditingkatkan yaitu pada pembuatan Casrea2, Casrea3
dan Casrea4 masing-masing 22%, 27% dan 32%. Fenomena ini menunjukkan
bahwa ekstrusi mampu meredam laju pelepasan NH3 (SRA) dari kompleks ubi
kayu-urea, sehingga pasokan NH3 dalam rumen dapat terkendali. Hasil penelitian
Helmer et al. (1970), yang menggunakan jagung-urea terekstrusi mampu
43

memperlambat laju pelepasan N-amonia dan meningkatkan protein bakteri rumen


dibandingkan jagung-urea yang tidak terekstrusi.

Tabel 11 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap konsentrasi NH3
(mM).

Macam Waktu Inkubasi (jam)


CASREA 2 4 6 Rataan
Casrea1 34.14±1.56 47.61±1.56 48.51±2.70 43.42a±8.10
Casrea2 26.95±0.00 30.54±1.56 31.44±1.56 29.65b±2.40
Casrea3 27.85±1.56 31.44±1.56 32.34±2.70 30.54b±2.40
Casrea4 28.75±1.56 32.34±2.70 33.24±1.56 31.44b±2.40
Rataan 29.42a±3.20 35.48b±8.10 36.38b±8.10
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).

Guna menerangkan pembentukan kompleks ubi kayu-urea, maka pada


percobaan ini juga dilakukan analisis bilangan gelombang gugus fungsi pada
Casrea1 (tanpa ekstrusi) dan Casrea2 (ekstrusi) yang mewakili CASREA terbaik,
melalui rekaman spectra inframerah dengan alat Spectrophotometry Infra Red,
seperti yang tersaji pada Gambar 3.
Berdasarkan Gambar tersebut tampak adanya perbedaan pola spektra pada
bilangan gelombang 1640-1720 cm-1 dan 3000-3600 cm-1 antara perlakuan tanpa
ektrusi (spectra a) dengan perlakuan ekstrusi (spectra b). Pada bilangan
gelombang 1640-1720 cm-1 merupakan pola spektra dari gugus fungsi CONH2
(amida) yang berasal dari urea sedangkan pada bilangan gelombang 3000-3600
cm-1 merupakan pola spektra gugus fungsi OH (hidroksil) yang berasal dari pati
ubi kayu. Secara detail, berdasarkan rekaman analisis spectra kedua SPN
(Casrea1 vs. Casrea2), maka bilangan gelombang gugus fungsi OH pada Casrea2
meningkat 100 cm-1 yakni dari 3000 cm-1 (Casrea1) berubah menjadi 3100 cm-1
(Casrea2). Sedangkan bilangan gelombang gugus fungsi CONH2 pada Casrea2
meningkat 20 cm-1 yakni dari 1640 cm-1 (Casrea1) berubah menjadi 1660 cm-1
(Casrea2). Berdasarkan rumus E= h.v, dimana E= energi radiasi electromagnet,
h=konstanta Planck (6.63 x 10-34), dan v= bilangan gelombang (Skoog et al.
1992), maka meningkatnya bilangan gelombang ini mengindikasikan bahwa
energi ikat pada persenyawaan kompleks ubi kayu-urea melalui ikatan antara NH2
(asal urea) dengan atom karbon nomer 6 dari unit polisakarida (pati ubi kayu)
44

Gambar 3 Spektrum infra merah pada Casrea1 (a) dan Casrea2 (b).

semakin besar, dan ikatan ini sangat sulit dipecah kecuali dengan bantuan
biocatalyst berupa enzim-enzim yang ada dalam rumen.
Percobaan ini juga dikuatkan dari hasil penelitian yang dilakukan Galo et al.
(2003) yang mana urea yang dilapisi polimer (polymer-coated urea) mampu
memperlambat hidrolisis menjadi ammonia dari pada urea yang tidak dilapisi,
dan ammonia dapat digunakan lebih efisien oleh mikrobial rumen. Huntington et
al. (2006) juga menguatkan hasil penelitian ini, bahwa produk Slow Release Urea
(SRU) mampu efektif mengurangi laju pelepasan N ammonia rumen dibandingkan
dengan penggunaan suplemen urea dalam ransum sapi jantan kebiri.
Tabel 11 menunjukkan bahwa waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap
konsentrasi NH3 (p<0.05). Waktu inkubasi 2 jam menghasilkan NH3 lebih rendah
dibandingkan waktu inkubasi 4 dan 6 jam. Namun demikian, waktu inkubasi 4
dan 6 jam tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, ini menunjukkan bahwa
konsentrasi NH3 mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam sampai 6 jam. Pada
waktu mulai inkubasi 4 jam penggunaan NH3 oleh mikrobial rumen mulai
45

optimal, sehingga pada inkubasi berikutnya (6 jam) tidak terjadi peningkatan NH3
yang nyata.

Bobot Protein Endapan


Peubah bobot protein endapan mencerminkan besarnya sumbangan protein
pasca rumen. Protein endapan ini merupakan protein pakan yang lolos dari
degradasi mikrobial rumen yang tercampur dengan protein mikrobial. Protein
mikrobial disintesis dari ammonia sebagai sumber N dan VFA sebagai kerangka
karbon.
Tabel 12 menunjukkan bahwa perlakuan CASREA nyata mempengaruhi
produksi protein endapan (p<0.05). Bobot protein endapan pada Casrea2,
Casrea3, dan Casrea4 lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan Casrea1. Fenomena ini
menunjukkan bahwa proses ekstrusi bahan Casrea mampu meningkatkan sintesis
mikrobial rumen sebagaimana yang diharapkan. Namun demikian, peningkatan
komposisi urea dari 22% sampai dengan 32% dalam bahan Casrea yang
diekstrusi tidak mampu meningkatkan sintesis mikrobial rumen. Fenomena ini
membuktikan bahwa penggunaan urea 22% dalam bahan Casrea2 sudah cukup
stabil untuk meningkatkan sintesis mikrobial rumen. Disisi lain, fermentabilitas
Casrea2 juga sangat efektif dalam menyediakan VFA (Tabel 10) sebagai kerangka
karbon dan sumber energi serta mampu mendukung ketersediaan NH3 (Tabel 11)
sebagai sumber N untuk sintesis mikrobial rumen yang optimal. Dengan
demikian, Casrea2 mampu menciptakan sinkronisasi antara pelepasan NH3 dari
kompleks ubi kayu-urea dengan ketersediaan kerangka karbon dan energi untuk
sintesis protein mikrobial rumen. Hasil penelitian ini menguatkan temuan
Chanjula et al. (2004) bahwa untuk meningkatkan produksi mikrobial rumen
diperlukan sinkronisasi antara ketersediaan N dengan energi. Walaupun demikian,
kondisi ini juga akibat dukungan mineral dalam formulasi, terutama sulfur.
Sulfur sangat penting dalam pembentukan asam amino oleh mikrobial rumen.
Suplementasi sulfur sangat penting dalam ransum dengan kandungan non-protein
yang tinggi terutama urea. Rendahnya intake sulfur dapat menyebabkan defisiensi
protein (Carneiro et al. 2000).
46

Tabel 12 Pengaruh waktu inkubasi dan macam Casrea terhadap bobot protein
endapan (mg).

Macam Waktu Inkubasi (jam)


CASREA 2 4 6 Rataan
Casrea1 15.95±2.88 21.44±0.95 25.90±4.27 21.10a±5.00
Casrea2 26.10±0.74 30.8±3.27 30.22±1.04 29.04b±2.60
Casrea3 25.03±6.45 28.09±1.18 29.20±1.28 27.44b±2.20
Casrea4 24.03±0.48 27.59±1.33 28.23±10.02 26.62b±2.30
Rataan 22.78a±4.60 26.98b±4.00 28.39b±1.80
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).

Tabel 12 menunjukkan bahwa, waktu inkubasi berpengaruh nyata terhadap


bobot protein endapan (p<0.05). Waktu inkubasi konsisten meningkatkan
sintesis mikrobial rumen, namun demikian waktu inkubasi 4 jam dan 6 jam tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata, ini menunjukkan bahwa sintesis mikrobial
rumen mulai stabil pada waktu inkubasi 4 jam. Data konsentrasi NH3 dan VFA
mendukung fenomena ini, pada waktu mulai inkubasi 4 jam penggunaan NH3 dan
VFA oleh mikrobial rumen mulai optimal.

Kecernaan Protein
Kecernaan protein mencerminkan mutu protein yang masuk ke dalam usus
halus setelah melalui rumen, baik yang berupa protein mikrobial maupun protein
pakan. Gambar 4 menunjukkan bahwa kecernaan protein pada Casrea1 lebih
rendah (p<0.05) dibandingkan ke tiga Casrea lainnya (Casrea2, Casrea3, dan
Casrea 4). Fenomena ini menunjukkan bahwa proses ekstrusi mampu
meningkatkan mutu protein yang masuk ke usus halus. Kecernaan protein pada
Casrea1, Casrea2, Casrea3, dan Casrea4 masing-masing adalah 53.95, 76.16,
72.18 dan 69.07%. Casrea2 memiliki kecernaan protein tertinggi dibandingkan
Casrea1 (54%), Casrea3 (72%) dan Casrea4 (69%). Tingginya kecernaan protein
pada perlakuan Casrea2 disebabkan produksi protein mikrobial pada perlakuan ini
menunjukkan angka yang lebih besar (29.04 mg) diantara perlakuan lainnya. Hasil
ini membuktikan bahwa protein mikrobial rumen mempunyai kualitas yang baik
dan kecernaan yang tinggi serta sangat besar artinya untuk peningkatan pasokan
protein bagi ternak. Menurut Stern et al. (2006) karena protein mikrobial memiliki
kualitas yang tinggi, maka sangat penting untuk memaksimalkan sintesis protein
47

mikrobial dalam rumen. Disebutkan pula bahwa sintesis protein mikrobial dalam
rumen memiliki kontribusi yang besar terhadap pasokan protein ke dalam usus
halus ruminansia yaitu antara 50 – 80% dari total protein yang diabsorbsi. Jumlah
total protein mikrobial yang masuk dalam usus halus tergantung pada ketersediaan
nutrien dan efisiensi penggunaan nutrien-nutrien tersebut oleh mikrobial rumen.
CASREA selain mampu menyediakan suplai NH3 yang efisien juga mampu
bertindak sebagai sumber energi dan kerangka karbon bagi pertumbuhan
mikrobial rumen.

b b
76.16
b
72.18
80 69.07
a
70
53.95
60
50
40
30
20
10
0
Casrea1 Casrea2 Casrea3 Casrea4

Macam Casrea

Kecernaan Protein (%)

Gambar 4 Pengaruh macam CASREA terhadap kecernaan protein.

Rekayasa SOYXYL dari Proteksi Protein Kedelai


dengan Xylosa Black Liquor

Pengamatan Umum
Hasil pemrosesan ekstrusi tepung kedelai terproteksi xylosa black liquor,
memiliki tekstur keras dan remah serta beraroma. Aroma produk ini berbau enak
dan diharapkan dapat meningkatkan palatibilitas bila dikonsumsi oleh ternak
ruminansia. Bau yang enak ini, karena adanya reaksi mailard antara protein
kedelai dan gula xylosa yang berasal dari black liquor.
Secara umum produk ekstrusi sangat efisien bila diproduksi dalam jumlah
besar atau skala industri, karena proses pembuatannya yang cepat (High
Temperature Short Time =HTST), dan produk yang dihasilkan juga seragam.
48

Proses ekstrusi berkemampuan merusak senyawa toksik, tidak banyak


menimbulkan limbah serta memudahkan dalam hal transportasi produk, karena
berat bahan menjadi ringan.

Fermentasi In Vitro
Berdasarkan analisis statistik tidak ada interaksi antara perlakuan kadar BL
dengan suhu ekstrusi pada fermentasi in vitro terhadap konsentrasi VFA (Tabel
13), ammonia (Tabel 14), protein endapan (Tabel 15), dan kecernaan protein
(Tabel 16).

Konsentrasi VFA Rumen


Tabel 13 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi
pada formulasi suplemen terhadap konsentrasi VFA melalui fermentasi in vitro.
Konsentrasi VFA menurun (p<0.05) akibat perlakuan proteksi xylosa BL 3%, 6%,
dan 9% dibandingkan BL 0%. Konsentrasi VFA menurun sampai 14, 16, dan
18% masing-masing akibat BL 3%, 6%, dan 9%, dibandingkan dengan BL 0%.
Namun demikian, diantara BL 3%, BL 6%, dan BL 9% tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata. Konsentrasi VFA akibat BL 3%, 6%, dan 9% masing-
masing adalah 112.556; 109.444; dan 107.444 mM. Konsentrasi VFA ini masih
berada pada kisaran VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikrobial rumen
yang optimal yaitu 80 -160 mM (Van Soest 1982).
Tabel 13 menunjukkan bahwa suhu ekstrusi 150oC (Eks150) dan 180oC
(Eks180) menurunkan (p<0.05) konsentrasi VFA. Namun demikian, Eks150 dan
Eks180 tidak menunjukkan perbedaan nyata. Konsentrasi VFA pada Eks150 dan
Eks180 masing-masing adalah 109,33 dan 104,75 mM, dan angka ini masih
berada pada kisaran VFA yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mikrobial rumen
yang optimal yaitu 80 – 160 mM. Hasil ini menunjukkan bahwa, suhu ekstrusi
150oC sudah cukup menurunkan konsentrasi VFA rumen, tetapi masih mampu
mendukung protein mikrobial dan kecernaan protein yang optimal. Hasil
penelitian Can & Yilmaz (2002), mendapatkan bahwa reaksi Mailard dari tepung
kedelai dengan xylosa murni optimal pada temperatur ekstrusi 150oC.
49

Tabel 13 Nilai rataan konsentrasi VFA (mM) selama 4 jam inkubasi pada
fermentasi In vitro

Suhu Kadar BL (%) Rataan


Eks. 0 3 6 9
(oC)
120 143.33±9.61 134.00±14.11 125.33±9.07 120.33±7.64 130.75a±12.74
150 131.33±5.03 102.33±21.00 102.00±16.46 101.67±9.02 109.33b±18.03
180 116.33±34.27 101.33±10.07 101.00±2.65 100.33±11.24 104.75b±17.47
Rataan 130.33a±21.45 112.56b±21.08 109.44b±15.24 107.44b±12.67
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).

Konsentrasi NH3 Rumen


Tabel 14 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi
pada formulasi suplemen terhadap konsentrasi NH3 melalui fermentasi in vitro.

Tabel 14 Nilai rataan konsentrasi NH3 (mM) selama 4 jam inkubasi pada
fermentasi In vitro

Suhu Kadar BL (%) Rataan


Ekstrusi 0 3 6 9
(oC)
120 42.22±1.56 30.54±1.56 29.65±2.70 29.65±2.70 33.01a±5.87
150 35.93±1.56 29.65±2.69 28.75±1.56 28.75±1.56 30.77b±3.53
180 35.04±2.70 27.85±1.56 27.85±1.56 26.05±1.56 29.20b±3.95
Rataan 37.73a±3.81 29.35b±2.11 28.75b±1.91 28.15b±2.38
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).

Berdasarkan Tabel 14, perlakuan proteksi xylosa BL pada tepung kedelai


terekstrusi menurunkan (p<0.05) konsentrasi NH3 (BL 0% vs BL 3%, BL 6%,
dan BL 9%. Konsentrasi NH3 menurun sampai 22 , 24, dan 25% masing-masing
akibat BL 3%, 6%, dan 9%, dibandingkan dengan BL 0%. Namun demikian,
diantara BL 3%, 6%, dan 9% tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Data ini
menunjukkan bahwa BL 3% sudah mampu menurunkan konsentrasi NH3 rumen.
Penurunan konsentrasi NH3 ini akibat keampuhan xylosa dalam black liquor
dalam memproteksi protein kedelai dari degradasi oleh mikrobial rumen, sehingga
mampu meningkatkan pasokan protein kedelai ke usus halus (bypass protein).
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Cleale et al. (1987), yang
menggunakan xylosa murni pada reaksi mailard dengan protein kedelai, dan
didapat bahwa melalui reaksi mailard dapat menekan pelepasan ammonia dari
tepung kedelai dalam rumen. Lebih lanjut disebutkan bahwa xylosa merupakan
gula pentosa yang paling reaktif dalam proses pemanasan reaksi mailard.
50

Menurut Nakamura et al. (1992) penurunan availabilitas protein dalam rumen


disebabkan karena adanya reaksi mailard antara gula aldehid dengan grup asam
amino bebas.
Tabel 14 menunjukkan bahwa suhu ekstrusi berpengaruh nyata terhadap
konsentrasi NH3 rumen. Suhu ekstrusi 120oC menghasilkan konsentrasi NH3
rumen lebih tinggi dibandingkan kedua suhu ekstrusi lainnya (150oC dan 180oC).
Konsentrasi NH3 menurun sampai 7% dan 12% masing-masing akibat perlakuan
suhu ekstrusi 150oC dan 180oC, dibandingkan dengan suhu ekstrusi 120oC. Hasil
ini membuktikan bahwa peningkatan suhu ekstrusi mampu menurunkan
konsentrasi NH3 rumen, namun demikian antara suhu ekstrtusi 150oC dengan
180oC tidak menunjukkan perbedaan penurunan yang nyata. Dengan demikian,
suhu ekstrusi 150oC sudah cukup menurunkan konsentrasi NH3 rumen.

Bobot Protein Endapan


Bobot protein endapan juga merupakan peubah untuk melihat besarnya
sumbangan protein pascarumen (bypass protein) dari pakan untuk ternak
ruminansia. Protein endapan ini merupakan campuran protein pakan yang lolos
dari degradasi mikrobial rumen bersama-sama dengan protein mikrobial rumen.
Tabel 15 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi
pada formulasi suplemen terhadap bobot protein endapan melalui fermentasi in
vitro. Berdasarkan Tabel 15, perlakuan proteksi xylosa BL pada tepung kedelai
terekstrusi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap bobot protein endapan.
Perlakuan BL 0% (tanpa xylosa BL) menghasilkan bobot protein endapan lebih
rendah dibandingkan ke tiga BL lainnya (BL 3, 6, dan 9%). Hasil ini
membuktikan bahwa perlakuan xylosa BL sebagai protektor mampu
meningkatkan bobot protein endapan. Bobot protein endapan meningkat sampai
14%; 13%; dan 12.6% masing - masing akibat perlakuan BL 3%, 6%, dan 9%,
dibandingkan dengan perlakuan BL 0%. Hasil ini menunjukkan bahwa reaksi
mailard antara gula aldehid dengan grup asam amino bebas pada proses ekstrusi
menyebabkan protein kedelai yang lolos degradasi rumen semakin meningkat.
Disisi lain, bobot protein endapan pada kadar BL 3%, 6%, dan 9% tidak
51

menunjukkan perbedaan yang nyata, hasil ini mengindikasikan bahwa bypass


protein kedelai mulai stabil pada kadar BL 3%.

Tabel 15 Nilai rataan bobot protein endapan (mg) selama 4 jam inkubasi
pada fermentasi In vitro

Suhu Kadar BL (%) Rataan


Ekstrusi 0 3 6 9
(oC)
120 53.03±2.64 59.65±1.92 59.70±3.65 61.19±7.07 58.39a±4.94
150 57.93±7.51 69.91±3.38 68.13±2.22 66.91±4.55 65.72b±6.35
180 58.86±2.99 68.57±2.93 66.98±0.95 66.27±3.00 65.17b±4.50
Rataan 56.60a±5.04 66.04b±5.41 64.94b±4.52 64.79b±5.22
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05)

Suhu ekstrusi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap bobot protein endapan.


Suhu ekstrusi 120oC menghasilkan bobot protein endapan lebih rendah
dibandingkan kedua suhu ekstrusi lainnya (150oC dan 180oC). Hasil ini
membuktikan bahwa peningkatan suhu ekstrusi mampu meningkatkan bobot
protein endapan, namun demikian antara suhu ekstrtusi 150oC dengan 180oC tidak
menunjukkan perbedaan peningkatan yang nyata. Dengan demikian, suhu ekstrusi
150oC sudah cukup menaikkan bobot protein endapan. Peningkatan bobot protein
endapan ini juga mencerminkan besarnya sumbangan protein kedelai yang lolos
degradasi rumen semakin meningkat.

Kecernaan Protein
Tabel 16 menunjukkan pengaruh berbagai level kadar BL dan suhu ekstrusi
pada formulasi suplemen terhadap kecernaan protein melalui fermentasi in vitro.

Tabel 16 Nilai rataan kecernaan protein (%) pada fermentasi In vitro

Suhu Kadar BL (%) Rataan


Ekstrusi 0 3 6 9
(oC)
120 59.16±1.00 72.36±1.22 75.24±6.62 75.63±3.0 70.60a±7.70
150 62.92±1.60 83.12±8.21 80.10±2.50 79.85±6.06 76.50b±9.45
180 65.01±1.23 84.83±2.26 78.47±5.67 76.86±8.28 76.29b±8.69
Rataan 62.37a±2.80 80.10b±7.27 77.94b±5.01 77.45b±5.66
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama berbeda nyata (p<0.05).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa, proteksi protein kedelai dengan


xylosa BL meningkatkan (p<0.05) kecernaan protein. Kecernaan protein pada BL
52

0% menunjukkan nilai lebih rendah dibandingkan BL 3%, 6%, dan 9%.


Fenomena ini menunjukkan bahwa, tepung kedelai yang diproteksi xylosa BL
mampu meningkatkan mutu pasokan protein ke usus halus. Namun demikian,
diantara BL 3%, 6%, dan 9% tidak memberikan efek yang nyata terhadap
kecernaan protein, artinya bahwa penggunaan xylosa BL 3% sudah cukup mampu
meningkatkan mutu pasokan protein ke usus halus, karena protein kedelai selain
memiliki kandungan protein yang tinggi (41%) juga memiliki nilai biologis yang
tinggi. Tinggginya kecernaan protein pada BL 3% ini, didukung data bahwa pada
BL 3% menghasilkan bobot protein endapan tertinggi dibandingkan dengan
perlakuan BL lainnya (Tabel 15).
Suhu ekstrusi berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap kecernaan protein
tepung kedelai. Tepung kedelai yang diekstrusi pada suhu 120oC memberikan
nilai kecernaan protein lebih rendah dibandingkan dengan suhu ekstrusi 150oC
dan 180oC, namun demikian peningkatan kecernaan protein pada suhu ekstrusi
150oC dan suhu ekstrusi 180oC tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ekstrusi pada suhu 150oC sudah cukup mampu
meningkatkan mutu pasokan protein kedelai ke dalam usus halus.

Rekayasa Suplemen Protein Sebagai Stimulan Pertumbuhan Sapi Pedaging


Melalui Kombinasi CASREA dan SOYXYL

Pengamatan Umum
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian demonstrative di perusahaan
peternakan sapi LUWES Karanganyar Jawa Tengah, serta dirancang bentuk
perlakuan yang tidak mengganggu pengelolaan ternak dan makanan pokoknya
sehari-harinya, terutama jerami dan dedak padi. Harapannya adalah agar hasil
yang diperoleh adalah tepat guna dan sesuai dengan lingkungan dan kondisi cara
pemberian pakan setempat. Peternak disekitar lingkungan perusahaan, pada
umumnya memelihara sapi pedaging yang rata-rata memberikan jerami padi dan
pakan tambahan berupa dedak padi. Perusahaan peternakan sapi LUWES
memelihara sapi pedaging dari jenis Peranakan Frisian Holstein (PFH) jantan
untuk tujuan penggemukan dan PFH betina untuk tujuan produksi susu. Selama
percobaan pemberian pakan berlangsung suhu rata-rata lingkungan pada pagi hari
53

25.3oC dan siang hari 30.4oC dengan kelembaban nisbi pada pagi hari 78.15% dan
60.32% pada siang hari. Suhu lingkungan ini sedikit lebih tinggi dari suhu
nyaman bagi sapi jenis FH (Frisian Holstein) yaitu : 18-20oC.

Pertambahan Bobot Badan dan Konsumsi Nutrien


Berdasarkan uji in vitro pada percobaan 1 dan 2 terbaik, yaitu masing-
masing disebut CASREA (bahan baku utama urea 22% dan ubi kayu 68% yang
diekstrusi sebelumnya) dan SOYXYL (kadar BL 3% dan suhu ekstrusi 150oC)
digunakan untuk rekayasa formulasi suplemen protein (SPN) pada percobaan 3.
Penampilan produksi ternak sapi pedaging yang direfleksikan pada
pertambahan bobot badan merupakan tujuan utama dalam pengujian suatu
ransum, dimana perubahan yang terjadi pada bobot badan adalah akibat dari
perlakuan yang diberikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
penambahan SPN pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi berpengaruh
nyata (p<0.05) terhadap pertambahan bobot badan harian (PBBH). Nilai rataan
PBBH pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 0.32, 0.61, 0.62, dan 0.85
kg.hr-1 (Gambar 5).
b
0 .8 5

0.9

b b
0.8
0 .6 1 0 .6 2

0.7

0.6

0.5 a
0 .3 2

0.4

0.3

0.2

0.1

0
R0 R1 R2 R3

PERTAMBAHAN BOBOT BADAN HARIAN (kg/hr)

Gambar 5 Pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan bobot badan


54

Perlakuan R0 menunjukkan PBBH lebih rendah (p<0.05) dibandingkan


perlakuan R1, R2, dan R3. Hasil ini mencerminkan bahwa suplementasi protein
pada ransum berbasis jerami dan dedak padi mampu meningkatkan PBBH,
sedangkan diantara perlakuan penambahan SPN A, B dan C pada ransum berbasis
jerami dan dedak padi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. PBBH terendah
adalah 0.32 kg.hr-1 (R0) dan tertinggi adalah 0.85 kg.hr-1 dicapai pada ransum R3,
yaitu ransum dengan SPN C. Nilai PBBH pada R3 ini lebih besar dari hasil
temuan Kusuma (2006) yang meneliti efek penambahan konsentrat komersial
pada ransum sapi PFH jantan berbasis jerami padi, yaitu mampu meningkatkan
PBBH sebesar 0.72 kg.hr-1.
Konsumsi nutrien (BK, BO, dan PK) dapat mempengaruhi PBBH. Nilai
rataan konsumsi bahan kering pada R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah
6.41, 7.32, 7.55, dan 7.63 kg.hr-1 (Gambar 6).

b b
ab 7. 63
7. 55
7. 32
8
a b
6. 41 b b
7 6. 03 6. 13
5. 87

a
6 5. 06

b b c
2 1. 1
a 0. 93 0. 99

0. 56

0
R0 R1 R2 R3

KONSUMSI BAHAN KERING (kg/hr)


KONSUMSI BAHAN ORGANIK (kg/hr)
KONSUMSI PROTEIN KASAR (kg/hr)

Gambar 6 Pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi nutrien


55

Nilai rataan konsumsi bahan kering ini (X, kg.hr-1) bila dihubungkan dengan
nilai rataan PBBH (Y, kg.hr-1) mengikuti persamaan regresi Y= -1.98 + 0.36 X
(R2= 0.90), artinya bahwa setiap peningkatan konsumsi bahan kering sebesar 1
kg.hr-1, maka PBBH meningkat rata-rata sebesar 0.36 kg.hr-1.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan penambahan SPN
pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi berpengaruh nyata (p<0.05)
terhadap konsumsi nutrien. Konsumsi nutrien pada R1, R2, dan R3 menunjukkan
nilai lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan R0. Hasil ini menunjukkan bahwa
penambahan suplemen protein pada ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi
dapat meningkatkan konsumsi nutrien (BK, BO, dan PK). Fenomena ini juga
mencerminkan bahwa ransum berbasis jerami dan dedak yang disuplementasi
protein memiliki palatibilitas lebih tinggi dibandingkan tanpa suplementasi
protein. Dengan demikian, pemberian SPN mampu meningkatkan selera makan
ternak. Disisi lain, konsumsi bahan kering dan bahan organik pada R1, R2, dan
R3 tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil ini menunjukkan bahwa
suplementasi protein pada ransum R1, R2, dan R3 memiliki palatibilitas yang
sama.
Konsumsi BK pada R0 menunjukkan nilai yang terendah (6.41 kg.hr-1)
sedangkan ransum R3 memiliki nilai tertinggi (7.63 kg.hr-1). Nilai rataan
konsumsi BK pada R3 ini lebih besar dari hasil temuan Kusuma (2006) yang
meneliti efek penambahan konsentrat komersial pada ransum sapi PFH jantan
berbasis jerami padi, yaitu mampu meningkatkan konsumsi bahan kering (BK)
sebesar 7.16 kg.hr-1. Menurut Choi & Song (2001) konsumsi BK merupakan
upaya memenuhi kebutuhan ternak untuk hidup pokok dan produksi. Peningkatan
konsumsi bahan kering disebabkan meningkatnya kecernaan ransum, sehingga
laju pengosongan isi rumen berlangsung lebih cepat.
Hasil penelitian ini juga memperkuat pendapat Haryanto & Djayanegara
(1993) bahwa konsumsi pakan dapat dipengaruhi oleh suplemen pakan yang
diberikan, kualitas pakan, serta ketersediaan zat-zat makanan seperti protein,
karbohidrat dan nutrisi lainnya. Owen et al. (1980) juga menemukan bahwa
penambahan suplemen protein yang diberi nama produk SRU (slow-release urea)
mampu meningkatkan konsumsi pakan secara signifikan (p<0.05) dibandingkan
56

penambahan suplemen urea pada domba jantan kebiri yang diberi kulit biji kapuk.
Sejalan dengan penelitian ini bahwa SPN C pada R3 mengandung 80% CASREA
mampu memperlambat pelepasan ammonia (slow release of ammonia) dalam
rumen, sehingga ammonia dapat digunakan lebih efisien untuk pertumbuhan
mikrobial rumen yang berpengaruh terhadap peningkatan kecernaan pakan yang
pada gilirannya akan meningkatkan konsumsi total pakan.
Peningkatan pertambahan bobot badan yang sangat menonjol akibat
pemberian suplemen protein dengan diikuti peningkatan konsumsi bahan kering
yang tidak begitu tinggi pada R3 dibandingkan R0, maka akan menyebabkan nilai
efisiensi penggunaan ransum cenderung meningkat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa penambahan suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi
berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap efisiensi penggunaan ransum (Tabel 17).
Efisiensi penggunaan ransum pada R1, R2, dan R3 lebih tinggi dibandingkan R0.
Hasil ini menunjukkan bahwa suplementasi protein mampu meningkatkan
efisiensi penggunaan ransum. Nilai efisiensi penggunaan ransum memiliki arti
penting dalam manajemen produksi ternak sapi pedaging, sehingga sering
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Efisiensi
penggunaan ransum tertinggi dicapai pada R3 (11%), sedangkan terendah R0
(5.2%).

Tabel 17 Pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi penggunaan ransum,


deposisi protein, energi tercerna, dan energi methan.

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Efisiensi ransum (%) 5.20a±1.4 8.52bc±2.6 8.19b±0.5 11.13c±1.1

Deposisi protein (g.hr-1) 166.97a±73.2 302.85b±65.5 353.57b±83.9 398.87b±11.0

Energi tercerna 59.30a±14.88 71.71b±14.28 76.83b±12.38 79.07b±15.03


(MJ.hr-1)

Energi methan 1.47a±0.1 1.41ab±0.1 1.40b±0.1 1.40b±0.1


(MJ.kgKBK-1.hr-1)

Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05).
57

Konsumsi bahan organik terlihat polanya hampir mengikuti pola konsumsi


bahan kering, yaitu pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 5.06, 5.87,
6.03, dan 6.13 kg.hr-1 (Gambar 6). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
penambahan SPN pada ransum berbasis jerami dan dedak padi meningkatkan
(p<0.05) konsumsi bahan organik. Konsumsi bahan organik terendah adalah 5.06
kg.hr-1 (R0), dan tertinggi dicapai oleh R3 sebesar 6.13 kg.hr-1. Menurut
Parakkasi (1999) jumlah bahan kering dan organik yang dikonsumsi dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: a) sifik fisik atau kimia pakan,
b) permintaan fisiologis ternak untuk hidup pokok dan produksi sesuai dengan
kapasitas saluran pencernaan, c) bobot hidup yang berhubungan dengan
perkembangan saluran pencernaan, karena pada umumnya kapasitas saluran
pencernaan meningkat seiring dengan bobot hidup sehingga mampu menampung
bahan kering dalam jumlah yang banyak.
Peningkatan konsumsi bahan organik (p<0.05) juga akan mempengaruhi
peningkatan konsumsi protein (p<0.05) akibat pemberian SPN. Nilai rataan
konsumsi protein pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 559.71, 932.42,
995.13, dan 1104.61 g.hr-1 (Gambar 6). Konsumsi protein terendah adalah 559.71
g.hr-1 (R0) dan yang tertinggi dicapai R3 sebesar 1104.61 g.hr-1.
Peningkatan konsumsi protein pada akhirnya juga akan mempengaruhi
jumlah protein yang terdeposisi. Deposisi protein dan kecernaan energi meningkat
(p<0.05) akibat pemberian SPN. Deposisi protein pada R0, R1, R2, dan R3
masing-masing adalah 166.97, 302.85, 353.57, dan 398.87 g.hr-1 (Tabel 17).
Sedangkan energi tercerna pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing adalah 59.3,
71.71, 76.83, dan 79.07 MJ.hr-1 (Tabel 17). Deposisi protein dan energi tercerna
pada R3 menunjukkan nilai tertinggi diantara perlakuan lainnya, yaitu masing-
masing 398.87 g.hr-1 dan 79.07 MJ.hr-1. Peningkatan protein dan energi tercerna
ini sangat besar artinya bagi penampilan produksi ternak sapi, karena protein
dan energi dibutuhkan oleh tubuh untuk pembentukan organ atau jaringan yang
baru terutama pada fase pertumbuhan (Crampton & Harris 1969). Selain itu,
peningkatan protein terdeposisi juga membuktikan bahwa ada akumulasi protein
dalam komponen pertumbuhan. Bila dilihat dari pola protein yang terdeposisi,
maka nampak memiliki pola yang tidak jauh berbeda dengan pola PBBH. Hasil
58

ini mencerminkan bahwa pengukuran peubah pertambahan bobot badan harian,


cukup akurat, dan tidak terlalu jauh berbias. Nilai PBBH ini sangat erat
berhubungan dengan peranan deposisi protein akibat penambahan SPN pada
ransum sapi berbasis jerami dan dedak padi. Hubungan antara PBBH (Y, kg.hr-1)
dengan deposisi protein (X, g.hr-1) mengikuti persamaan Y = 0.04+0.002X
(R2=0.93), artinya bahwa setiap peningkatan deposisi protein sebesar 1 g.hr-1,
maka PBBH meningkat rata-rata sebesar 2 g.hr-1.
Deposisi protein yang berasal dari ransum erat hubungannya dengan sintesis
protein daging (lean meat) karena sebagian besar protein yang terdeposisi
digunakan untuk peningkatan lean meat (daging tanpa lemak) tersebut. Menurut
Soeparno (1992) bahwa karkas yang lebih berdaging (lean) banyak mengandung
protein, tetapi lemak lebih rendah. Jika deposisi protein dihubungkan dengan
produksi lean meat ternyata ransum yang paling efisien adalah ransum berbasis
jerami dan dedak padi yang diberi SPN C. SPN C dengan komposisi CASREA
sebesar 80% dan SOYXYL 20% memiliki kualitas protein yang baik. Hasil ini
didukung percobaan 1 yang telah membuktikan kemampuan CASREA dalam
meningkatkan produksi protein mikrobial rumen, dan percobaan 2 yang telah
membuktikan keampuhan SOYXYL dalam memasok protein bernilai hayati
tinggi.
Nilai rataan komposisi tubuh (komposisi protein, lemak, dan air tubuh)
ternak disajikan pada Gambar 7. Pada Gambar 7 tampak bahwa komposisi tubuh
ternak, yang diduga dengan teknik ruang urea (urea space), secara statistik relatif
tidak berbeda antar perlakuan-perlakuan yang dicobakan. Hasil ini membuktikan
bahwa efek suplemen protein relatif tidak mengubah komposisi tubuh baik
komposisi protein, lemak, dan air tubuh dibandingkan ransum tanpa suplemen
protein (R0). Dengan demikian, kekhawatiran akan terjadinya akumulasi air dan
lemak tubuh yang berlebihan tidak terjadi akibat dari penggunaan suplemen
protein. Kisaran komposisi protein dan lemak tubuh pada semua perlakuan masih
dalam batasan normal, seperti yang direkomendasikan Maynard et al. (1979) yaitu
lemak tubuh normal antara 12.0-41.0%. Sedangkan kisaran normal protein tubuh
seperti yang direkomendasikan Berg & Butterfield (1976) antara 12.40-20.60%.
Penelitian Erwanto (1995) pada sapi PFH jantan yang mendapat suplementasi
59

mineral sulfur, minyak kelapa dan ikan, serta asam amino bercabang, menemukan
bahwa komposisi protein dan lemak tubuh, masing-masing berkisar antara
14.67%-14.96% dan 28.27%-29.65%, serta relatif tidak mengalami perubahan
dibandingkan ransum tanpa suplementasi.

60 a
a a a
5 1 .6 1
4 8 .9 7 4 8 .1 7 4 8 .4 3
50

a a
40 a
3 3 .3 6 3 4 .4 1 3 4 .0 8 a
2 9 .8 7
30

20 a a a a
1 2 .6 8 1 2 .5 1 1 2 .5 7 1 3 .4 3

10

0
R0 R1 R2 R3

PROTEIN TUBUH (%) LEMAK TUBUH (%) AIR TUBUH (%)

Gambar 7 Pengaruh ransum perlakuan terhadap komposisi tubuh.

Konsumsi pakan memiliki hubungan linier dengan produksi gas methan,


seperti yang telah diteliti oleh Kurihara et al. (1999). Hasil penelitian ini
menunjukkan hubungan antara energi gas methan (Y, MJ.kgKBK-1.hr-1) dengan
konsumsi bahan kering (X, kg.hr-1) mengikuti persamaan Y= 1.85-0.06X
(R2=0.99), artinya bahwa peningkatan konsumsi bahan kering sebesar 1 kg.hr-1,
maka energi methan menurun rata-rata sebesar 0.06 MJ.kgKBK-1.hr-1. Hasil
analisis statistik menunjukkan bahwa efek pemberian SPN mampu mereduksi
(p<0.05) energi gas methan (Tabel 17). Reduksi methan ini juga dapat disebabkan
oleh meningkatnya efisiensi fermentasi pakan dalam rumen akibat peningkatan
sintesis mikrobial rumen. Hasil ini didukung data pada Tabel 18 bahwa efek
penambahan suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi dapat
60

meningkatkan sintesis mikrobial rumen. Hubungan antara energi gas methan (Y,
MJ.kgKBK-1.hr-1) dengan sintesis mikrobial rumen (X, gN.hr-1) mengikuti
persamaan Y=1.51-0.002X (R2= 0.9), artinya bahwa setiap peningkatan sintesis
mikrobial rumen sebesar 1 gN.hr-1, maka energi methan menurun rata-rata sebesar
0.002 MJ.kgKBK-1.hr-1. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Leng (1991),
bahwa pemberian suplemen urea pada jerami padi dapat mereduksi gas methan.
Disebutkan pula bahwa kontribusi gas methan asal ternak ruminansia (sapi,
kambing, domba) terhadap pemanasan global atmosfer, diestimasikan berkisar 15-
25% dari produksi methan global. Hasil penelitian ini juga mencerminkan bahwa
pemberian suplemen protein pada ransum berbasis jerami dan dedak padi,
memiliki kontribusi terhadap penurunan emisi gas methan, sehingga produk
rekayasa SPN ini berpeluang ramah lingkungan.

Kecernaan Nutrien dan Sintesis Protein Mikrobial


Nilai rataan kecernaan zat-zat makanan (bahan kering, bahan organik dan
protein), dan sintesis N mikrobial disajikan pada Tabel 18. Kecernaan merupakan
perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan makanan dalam alat pencernaan.
Perubahan tersebut dapat berupa penghalusan makanan menjadi butir-butir atau
partikel kecil, atau penguraian molekul besar menjadi molekul kecil. Selain itu,
dalam alat pencernaan terutama pada ruminansia, bahan makanan mengalami pula
perombakan, sehingga sifat-sifat kimia bahan makanan berubah (Sutardi 1980).

Tabel 18 Pengaruh ransum perlakuan terhadap kecernaan nutrien, dan sintesis N


mikrobial rumen

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Kecernaan b.k (%) 43.17a±3.0 49.14b±2.4 50.17b±2.2 50.42b±2.1

Kecernaan b.o(%) 50.18a±3.2 55.17b±2.6 56.54b±2.2 56.6b±1.7

Kecernaan protein (%) 54.44a±1.5 67.50b±2.8 69.83b±2.0 73.53c±1.2

Sintesis N mikrobial 26.83a±7.48 50.80b±14.85 65.20b±11.55 70.15b±16.67


rumen (gN.hr-1)

Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05).
61

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan SPN pada ransum


berbasis jerami dan dedak padi mampu meningkatkan (p<0.05) kecernaan nutrien
(bahan kering, bahan organik dan protein). Pengaruh perlakuan terhadap
kecernaan bahan kering, bahan organik, dan protein memiliki pola yang sama,
dimana R1, R2, dan R3 berbeda (p<0.05) dengan R0, sedangkan diantara R1, R2,
dan R3 tidak menunjukkan perbedaan. Kecernaan bahan kering, bahan organik,
dan protein pada ransum dengan SPN C (R3) memiliki nilai tertinggi, masing-
masing adalah 50.4, 56.6, dan 73.53%, sedangkan ransum tanpa suplementasi
(R0) memiliki nilai terendah masing-masing 43.17, 50.18, dan 54.44% (Tabel 18).
Hasil ini menunjukkan bahwa ransum dengan SPN C (R3) mampu menyediakan
energi dan protein yang optimal bagi pertumbuhan mikrobial rumen, sehingga
kecernaan nutrien meningkat. SPN C mengandung 80% CASREA, dan
sebagaimana hasil percobaan 1 bahwa CASREA mampu memproduksi protein
mikrobial yang optimal. Bila dibandingkan dengan R0 maka ransum dengan SPN
C (R3) mampu meningkatkan kecernaan bahan kering & bahan organik sebesar
masing masing 16.8% dan 12.8%. Hasil penelitian ini lebih besar dari temuan Wu
et al. (2005), suplementasi urea-mineral lick block pada ransum ruminansia
berbasis jerami padi mampu meningkatkan (p<0.05) kecernaan bahan kering &
bahan organik sebesar masing masing 13.1% dan 12.7% dibandingkan tanpa
suplemen. Peningkatan nilai kecernaan bahan kering (16.8%) pada penelitian ini
juga lebih besar dari hasil percobaan In situ oleh Golombeski et al. (2006) yang
mendapatkan peningkatan kecernaan bahan kering pada produk SRU sebesar
8.44% dibandingkan tanpa menggunakan SRU.
Peningkatan kecernaan protein pada R3 memberi indikasi bahwa terjadi
peningkatan efisiensi penggunaan protein ransum. Data deposisi protein
memperkuat adanya indikasi tersebut (Tabel 17). Nilai kecernaan protein yang
diperoleh pada R3 (73.53%) lebih tinggi dari pada percobaan in vivo Golombeski
et al. (2006) sebesar 62.2% yang menggunakan produk SRU pada ransum sapi
perah sedang laktasi.
Konsep nutrisi ruminansia yang berkembang pada akhir-akhir ini banyak
difokuskan terhadap upaya memaksimalkan produksi protein mikrobial rumen
(Chumpawadee et al. 2006), karena dipandang lebih efisien dari pada
62

menggunakan protein murni dari pakan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sintesis N mikrobial rumen meningkat (p<0.05) akibat pemberian SPN. Nilai
rataan sintesis protein mikrobial rumen pada R0, R1, R2, dan R3 masing-masing
adalah 26.83, 50.80, 65.20, dan 70.15 g N.hr-1. Hasil tertinggi sintesis N mikrobial
rumen dicapai pada R3 (70.15 gN.hr-1), sedangkan yang terendah adalah R0
(26.83 gN.hr-1). Peningkatan sintesis N mikrobial rumen ini sangat besar artinya
untuk peningkatan aktivitas fermentasi rumen maupun untuk pasokan protein ke
usus halus. Peningkatan sintesis mikrobial rumen juga berlanjut pada peningkatan
kecernaan zat-zat makanan. Protein mikrobial yang diproduksi didalam rumen
oleh berbagai mikroorganisme merupakan sumber utama protein untuk
ruminansia dan pendugaan efisiensi produksi protein mikrobial adalah sangat
penting dalam nutrisi ruminansia (Srinivas & Krishnamoorthy 2005).
Proporsi CASREA (80%) yang lebih besar dari pada SOYXYL (20%)
dalam SPN C pada ransum R3 berdampak positip terhadap peningkatan sintesis
mikrobial rumen (Tabel 18). Hasil ini didukung percobaan 1, bahwa suplemen
protein CASREA ini mampu menghasilkan produksi protein mikrobial yang
optimal. Disisi lain, fenomena ini juga menunjukkan bahwa peningkatan sintesis
mikrobial rumen pada R3 dibandingkan perlakuan lainnya, berdampak terhadap
menurunnya penggunaan SOYXYL sebagai sumber suplemen RUP. Menurut
Chumpawadee et al. (2006), produksi protein mikrobial rumen yang tinggi dapat
menurunkan kebutuhan suplementasi RUP. Berkurangnya proporsi penggunaan
RUP, maka secara ekonomis akan menurunkan biaya pakan (feed cost) dalam
suatu manajemen pengelolaan sapi, karena suplemen RUP berbahan baku utama
tepung protein kedelai berharga relatif mahal. Sebaliknya CASREA berbahan
baku utama ubi kayu dan urea, selain mudah didapat juga relatif lebih murah.
Hasil penelitian ini didukung oleh temuan Golombeski et al. (2006), bahwa
penggantian penggunaan tepung kedelai dengan produk SRU mampu
meningkatkan efisiensi pakan pada ransum sapi perah yang sedang laktasi.
Produksi protein mikrobial rumen sebagian besar tergantung pada ketersediaan
karbohidrat dan nitrogen dalam rumen. Proporsi CASREA sebesar 80% dalam
SPN C mengandung sejumlah besar ubi kayu (68%) juga merupakan sumber
karbohidrat potensial, sehingga CASREA selain menyediakan N juga bertindak
63

sebagai penyedia kerangka karbon dan energi untuk sintesis mikrobial rumen.
Hasil penelitian ini menguatkan temuan Shabi et al. (1998) bahwa ketersediaan
energi dalam rumen (Ruminal degradable organic matter) merupakan faktor
pembatas terpenting dalam penggunaan N rumen oleh mikrobial rumen. Khampa
et al. (2006) juga menemukan bahwa ubi kayu dalam ransum dapat meningkatkan
populasi bakteri, dan memperbaiki pasokan N mikrobial dalam rumen.

Kadar Urea dan Amonia Darah


Hasil pengukuran kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah
makan pada sapi-sapi percobaan yang dilakukan pada akhir pengamatan disajikan
pada Tabel 19. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa suplementasi protein
pada ransum berbasis jerami dan dedak padi memberikan pengaruh nyata
(p<0.05) terhadap kadar urea darah, baik sebelum maupun 3 jam sesudah
mengkonsumsi ransum. Kadar urea darah akibat suplementasi protein pada
ransum berbasis jerami dan dedak padi (R1, R2, dan R3) menunjukkan nilai lebih
tinggi (p<0.05) dibandingkan dengan tanpa suplementasi protein (R0). Fenomena
ini menunjukkan bahwa penambahan suplemen protein pada ransum berbasis
jerami dan dedak padi dapat meningkatkan kadar urea darah. Peningkatan kadar

Tabel 19 Kadar urea dan ammonia darah sebelum dan sesudah makan

Peubah Perlakuan

R0 R1 R2 R3

Urea darah sebelum 17.17a±6.08 25.90b±6.07 26.04b±3.93 26.72b±2.10


makan (mg%)

Urea darah setelah 19.21a±7.77 31.52b±2.31 33.75b±6.65 37.56b±5.76


makan (mg%)

Ammonia darah 0.70a±0.07 0.68a±0.08 0.75a±0.07 0.76a±0.03


sebelum makan (mg%)

Ammonia darah 0.70a±0.07 0.81a±0.39 0.87a±0.40 0.96a±0.24


setelah makan (mg%)
Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama berbeda nyata (p<0.05).

urea darah ini diduga berhubungan erat dengan meningkatnya kadar ammonia
rumen akibat penambahan SPN dalam ransum. Hasil penelitian Chanjula et al.
64

(2004), menunjukkan bahwa peningkatan kadar ammonia rumen juga akan


meningkatkan level urea darah. Namun demikian, kadar urea darah akibat
penambahan SPN A, SPN B, dan SPN C tidak menunjukkan perbedaan yang
nyata, dan nilainya masih dibawah batas toleransi maximal bagi ternak sapi,
dimana kadar maksimal urea darah yang direkomendasikan oleh INRA (1978)
adalah 40 mg%. Kadar urea darah setelah 3 jam makan terendah pada R0 (19.21
mg%) dan tertinggi dicapai pada R3 (37.56 mg%).
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan suplemen protein
pada ransum berbasis jerami dan dedak padi tidak menunjukkan efek yang nyata
terhadap kadar ammonia darah, baik sebelum maupun 3 jam sesudah
mengkonsumsi ransum (Tabel 19). Hasil ini menunjukkan bahwa kadar ammonia
darah tidak mengalami peningkatan akibat penambahan suplemen protein, baik
sebelum maupun 3 jam sesudah diberi ransum. Dengan demikian, fenomena ini
membuktikan bahwa N ammonia rumen yang berasal dari hidrolisis SPN dapat
digunakan dan diabsorbsi di dalam rumen untuk sintesis protein mikrobial rumen
yang optimal. Hasil percobaan 1 membuktikan keampuhan CASREA dalam
menyediakan protein terdegradasi secara lambat (SRA) dan N-ammonia rumen
mampu digunakan oleh mikrobial rumen secara optimal, sehingga N ammonia
yang masuk kedalam sirkulasi darah masih dalam ambang batas yang normal dan
aman bagi ternak sapi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kadar ammonia
darah setelah 3 jam diberi ransum berkisar antara 0.7 mg% - 0.96 mg%. Nilai
kisaran kadar ammonia darah pada semua perlakuan ini masih dibawah batas
toleransi maximal, dimana batas toleransi maximal kadar ammonia darah adalah 5
mg% (Stanton & Whittier 2006). Hasil penelitian ini juga sejalan dengan
penelitian Huntington et al. (2006), bahwa suplemen produk SRU mampu
mengurangi (p<0.05) konsentrasi N ammonia plasma darah bila dibandingkan
dengan suplemen urea pada sapi perah jantan yang diberi ransum berbasis hijauan,
dan dikemukakan bahwa produk SRU juga efektif dalam menekan laju pelepasan
ammonia dalam rumen.
65

Aspek Ekonomis Suplementasi Protein


Walaupun secara teknis parameter efisiensi ransum dipakai untuk
mempertimbangkan segi ekonomis usaha peternakan, namun perlu dihitung
berapa IOFC (Income over feed cost) yaitu pendapatan yang diperoleh setelah
dikurangi biaya pakan. Suatu aplikasi teknologi pakan agar dapat diadopsi oleh
peternak baik skala industri maupun tradisional selalu mempertimbangkan 1)
kemudahan dan kepraktisan dalam pemberiannya, 2) penampilan produksi ternak,
dan 3) peningkatan nilai ekonomis. Berdasarkan segi kepraktisan, maka
pemberian SPN ini relatif mudah dilakukan, karena hanya mencampurkan pada
pakan utamanya, misalnya dedak padi.
Nilai IOFC (Tabel 20) terbaik berdasarkan harga yang berlaku pada saat
penelitian sebesar Rp7500 ekor-1.hr-1 (R3), dibandingkan Rp 3880 ekor-1.hr-1
(R2), Rp 3520 ekor-1.hr-1 (R1), dan Rp 1360 ekor-1.hr-1 (R0). Jadi tambahan
kenaikan IOFC akibat penggunaan SPN C (R3) adalah sebesar Rp 6140 ekor-1.hr-1
diatas nilai IOFC pada sapi kontrol yang tidak mendapat SPN.

Tabel 20 Pengaruh SPN dalam ransum terhadap IOFC (Income Over Feed Cost)

Plk Kons. Kons. Kons. Kons. Total PBBH Nilai IOFC


BK BK BK BK Biaya (kg.hr-1) PBBH (Rp.ek-1hr-1)
Ransum Jerami Dedak SPN Pakan (Rp.)*
(kg.hr-1) (kg.hr-1) (kg.hr-1) (kg.hr-1) Per hari
(Rp.)*

R0 6.41 1.50 4.91 - 4079.58 0.32 5440 1360

R1 7.32 1.32 5.26 0.75 6891.81 0.61 10412.5 3520

R2 7.55 1.55 5.26 0.74 6705.26 0.62 10582.5 3880

R3 7.63 1.23 5.61 0.80 6905.10 0.85 14407.5 7500

*) Koefisien harga pada saat penelitian bulan Oktober – Desember 2006:


Jerami = Rp 100,-/kg; Dedak = Rp 800,-/kg; SPN A= Rp. 3420,-/kg; SPN B = Rp. 3150,-/kg;
SPN C = Rp. 2880,-/kg; Harga jual sapi = Rp 17 000,- / kg bobot hidup.

Analisis Komprehensif Manfaat Suplementasi Protein

Suatu terobosan baru rekayasa suplemen protein telah dilakukan, yang


dilandasi atas fenomena bahwa ketersediaan bahan suplemen protein semakin
tidak kontinyu dan mahal harganya. Disisi lain, pemberian ransum sapi
66

pedaging sering mengalami kendala defisiensi nutrisi, terutama protein. Ransum


kontrol dalam penelitian ini disusun berdasarkan bahan utama yang sudah terbiasa
dipakai oleh peternak sapi pedaging di Indonesia, yaitu jerami dan dedak padi.
Kondisi pemberian pakan seperti ini ternyata kurang efisien, bila ditinjau dari segi
efisiensi ransum maupun segi ekonomis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa,
pemberian ransum sapi hanya berbahan jerami dan dedak padi mampu
mengkonsumsi 6.41 kgBK.hr-1 dan hanya mampu menghasilkan pertambahan
bobot badan harian 0.32 kg.hr-1, sehingga didapat efisiensi ransum hanya 5.2%.
Sedangkan, bila ransum kontrol tersebut ditambahkan SPN C dengan komposisi
80% CASREA dan 20% SOYXYL, maka konsumsi BK meningkat menjadi 7.63
kgBK.hr-1, tetapi mampu menghasilkan pertambahan bobot badan harian sebesar
0.85 kg.hr-1, sehingga efisiensi ransum meningkat menjadi 11.13%.
Bila ditinjau dari komposisi CASREA yang lebih dominan yaitu sebesar
80%, nampaknya kontribusi suplemen CASREA ini cukup besar terhadap
penampilan produksi ternak sapi. Fenomena ini antara lain bisa disebabkan oleh
adanya peran biosintesis protein mikrobial (p<0.05) akibat pemberian SPN C
dibandingkan ransum kontrol. Pasokan protein mikrobial akibat penambahan SPN
C adalah sebesar 70.15 gN.hr-1, sedangkan ransum kontrol hanya sebesar 26.83
gN.hr-1. Protein mikrobial ini memiliki kualitas yang tinggi, karena sumbangan
protein mikrobial rumen terhadap pemenuhan kebutuhan asam amino ternak
ruminansia dapat mencapai 40 – 80%. Mutu protein mikrobial ini juga dibuktikan
dengan kontribusinya terhadap nilai kecernaan protein yang cukup tinggi yaitu
sebesar 73.53% pada R3. Berdasarkan nilai ini dapat diduga bahwa kontribusi
SPN C terhadap peningkatan protein jaringan juga cukup besar, yang dibuktikan
dengan nilai protein yang terdeposisi sebesar 398.87 g.hr-1, sedangkan ransum
kontrol hanya memberikan kontribusi terhadap protein terdeposisi sebesar 166.97
g.hr-1.
CASREA yang digunakan dalam penelitian ini mengandung bahan slow
release of ammonia (SRA) berbahan dasar ubi kayu yang diekstrusi bersama urea,
yang mana produk CASREA ini telah mampu meredam pelepasan ammonia dari
hidrolisis urea dalam rumen. Keampuhan CASREA dalam peredaman pelepasan
ammonia telah dibuktikan dengan rendahnya konsentrasi ammonia dalam darah
67

setelah 3 jam makan yaitu hanya sebesar 0.96 mg% pada R3, sedangkan batas
toleransi maximal konsentrasi ammonia dalam darah adalah 5 mg%. Rendahnya
konsentrasi ammonia dalam darah akibat penambahan SPN C, membuktikan
bahwa mikrobial rumen sangat efisien dalam menggunakan ammonia yang
terlepas dari CASREA. Fenomena ini juga diperkuat dengan diperolehnya
konsentrasi urea dalam darah yang merupakan hasil detoxifikasi ammonia dalam
organ hati, pada 3 jam setelah makan yaitu sebesar 37.56 mg% pada R3. Nilai ini
ternyata juga masih dibawah batas toleransi maximal kadar urea darah pada
ruminansia yaitu sebesar 40 mg%. Dengan demikian, secara fisiologis efek
pemberian SPN C aman dikonsumsi oleh ternak sapi.
Efek pemberian SPN C pada ransum berbasis jerami dan dedak padi mampu
mereduksi gas methan dibandingkan ransum kontrol. Pada SPN C menghasilkan
energi methan sebesar 1.40 MJ.kgKBK-1.hr-1, sedangkan ransum kontrol sebesar
1.47 MJ.kgKBK-1.hr-1. Reduksi energi methan ini disebabkan oleh keampuhan
SPN C untuk meningkatkan efisiensi fermentasi dalam rumen akibat peningkatan
sintesis mikrobial rumen. Hasil ini dalam aplikasinya juga mengindikasikan
bahwa SPN C secara tidak langsung memiliki kontribusi terhadap penurunan
emisi gas methan di atmosfer, yang selama ini diestimasikan oleh para peneliti
bahwa ruminansia memiliki kontribusi tehadap pemanasan global di atmosfer
berkisar antara 15%-25% dari produksi methan global. Dengan demikian, produk
SPN C berpeluang menjadi suplemen protein yang ramah lingkungan.
Bila dilihat dari rendahnya komposisi pemakaian SOYXYL dalam SPN C
yaitu hanya sebesar 20% secara ekonomis sangat menguntungkan, karena bahan
utama dalam SOYXYL adalah tepung kedelai, yang harganya relatif lebih mahal
dan ketersediannya tidak kontinyu, dibandingkan urea sebagai penyusun
CASREA. Walaupun demikian, SOYXYL juga berperan dalam memasok protein
bernilai hayati tinggi yang berasal dari pakan, karena SOYXYL mampu bertindak
sebagai bypass protein yang berasal dari tepung kedelai terproteksi xylosa black
liquor melalui proses ekstrusi. Dengan demikian pemakaian bahan kedelai dapat
lebih efisien, karena sebagian besar protein kedelai akan terdegradasi dalam
rumen apabila tanpa melalui proteksi. Berdasarkan komposisi suplemen yang
ideal ini (80% CASREA & 20% SOYXYL), maka SPN C mampu memberikan
68

IOFC yang tertinggi yaitu sebesar Rp 7500 ekor-1.hr-1 dibandingkan kontrol yang
hanya menghasilkan IOFC sebesar Rp1360 ekor-1.hr-1.
Berdasarkan berbagai analisis terhadap peubah dalam penelitian ini, maka
dapat diperkirakan bahwa efek positip SPN C tersebut disebabkan: (1) SPN C
mampu meningkatkan konsumsi dan kecernaan beberapa zat makanan, (2) SPN C
berbahan kombinasi ideal antara sumber RDP (Rumen Degradable Protein) dan
RUP (Rumen Undegradable Protein) mampu memberikan kondisi yang lebih
kondusif dalam rumen dan pasca rumen, yaitu optimalisasi sintesis mikrobial
rumen dengan teknik SRA dan optimalisasi efisiensi suplemen protein bernilai
hayati tinggi yang diproteksi limbah black liquor sebagai agen xylosa, (3) SPN C
mampu meningkatkan produksi ternak, yang direfleksikan adanya penambahan
bobot badan, sehingga berpengaruh terhadap peningkatan IOFC, (4) SPN C
cenderung mampu menghasilkan karkas sapi yang lebih berdaging (lean),
(5) SPN C aman dikonsumsi ternak sapi, ramah lingkungan, dan praktis dalam
penggunaannya.

Implementasi Pengembangan Program Suplementasi Protein


Berdasarkan hasil penelitian ini, penggunaan suplemen protein memberikan
efek positip terhadap peningkatan produksi sapi pedaging yang diberi ransum
berbahan utama jerami dan dedak padi. Dampak peningkatan ekonomis yang
telah dibuktikan dengan bertambahnya income over feed cost (IOFC) akibat
penggunaan suplemen protein, maka akan merangsang masyarakat petani dan
peternak di daerah persawahan padi untuk dapat mengoptimalkan penggunaan
jerami dan dedak padi sebagai pakan ternak. Dampak yang lebih luas adalah
petani dan peternak didaerah persawahan padi akan termotivasi untuk dapat
mengembangkan dan meningkatkan produktivitas ternak sapi, sehingga akan
mengurangi kesenjangan antara produksi jerami padi dan populasi sapi pedaging
di Indonesia, yang mana potensi jerami padi melimpah sedangkan populasi sapi
pedaging sedikit.
Bila dilihat dari segi pengembangan wilayah, maka penerapan program
suplementasi protein di daerah persawahan padi akan berdampak positip dengan
terbangunnya kantong-kantong produksi sapi dalam suatu sistem integrasi padi
69

sawah dan ternak sapi (Crop Livestock System) secara optimal. Dengan demikian,
penerapan program suplementasi protein di daerah persawahan padi, akan
menjamin sistem keberlanjutan usaha tani baik usaha tani padi maupun usaha
ternak sapi. Oleh karena itu, program suplementasi protein ini secara tidak
langsung dapat mendukung upaya pemerintah Indonesia dalam meningkatkan
produksi padi dan swasembada daging.
Teknik penyajian suplemen protein cukup praktis, karena hanya
mencampurkannya pada bahan utama dedak padi, sehingga efisien waktu dan
mengurangi beban tenaga kerja. Suplemen protein ini dapat dibuat dari bahan
baku lokal (seperti ubi kayu, urea, dan kedelai), sehingga membuka peluang untuk
didirikan pabrik-pabrik pakan mini di daerah sekitar persawahan padi melalui
pemberdayaan usaha kelompok petani dan peternak.
Secara umum, alternatif pengembangan program suplementasi protein yang
dapat dilakukan ke depan adalah:
1. Pendirian pabrik pakan mini di daerah sekitar persawahan padi dengan
memanfaatkan penggunaan suplemen protein.
2. Pembuatan dedak plus yaitu dedak yang diperkaya dengan suplemen protein
sebagai pakan ruminansia.
3. Mendorong pabrik penggilingan beras (huller) untuk melakukan diversifikasi
usaha pembuatan dedak plus.
4. Menggerakkan dan memperluas penyebaran sapi pedaging di daerah
persawahan padi.
Secara ringkas, implementasi pengembangan program suplementasi protein
di daerah persawahan padi diilustrasikan pada Gambar 8.
70

PROGRAM SUPLEMENTASI PROTEIN

PERSAWAHAN PENGGILINGAN
PADI BERAS

JERAMI PRODUK SUPLEMEN PROTEIN DEDAK PADI


PADI PABRIK PAKAN MINI

TERNAK SAPI PEDAGING

Gambar 8 Implementasi program suplementasi protein


KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dalam penelitian ini, maka secara umum
dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Proses ekstrusi ubi kayu-urea bermanfaat untuk memperlambat pelepasan
amonia dan memacu biosintesis protein mikrobial rumen, sehingga dapat
dijadikan dasar alternatif rekayasa suplemen protein CASREA (degradable
protein). CASREA yang optimal dapat direkayasa dari ekstrusi 22% urea dan
68% ubi kayu.
2. Xylosa black liquor dari limbah pabrik kertas dapat digunakan sebagai bahan
protektor protein kedelai melalui proses ekstrusi. Suplemen protein SOYXYL
yang bersifat undegradable protein dapat direkayasa dari kedelai yang
dicampur xylosa black liquor 3% dan diekstrusi pada suhu 150oC.
3. Ransum sapi pedaging berbasis jerami dan dedak padi dapat ditingkatkan
manfaat nutrisi & ekonomisnya melalui penggunaan suplemen protein.
4. Teknologi pembuatan suplemen protein yang dapat meningkatkan
produktivitas sapi pedaging dapat direkayasa dari kombinasi yang tepat antara
CASREA dan SOYXYL dengan rasio 80/20.

SARAN
1. Mengingat dominasi peran mesin ekstruder dalam rekayasa suplemen protein
CASREA dan SOYXYL, maka perlu dikembangkan mesin ekstruder mini
agar dapat memudahkan aplikasinya pada pabrik pakan mini di daerah
persawahan padi.
2. Mendorong pabrik penggilingan beras (huller) untuk mengembangkan
diversifikasi usaha dengan menghasilkan dedak plus, yaitu dedak yang sudah
diperkaya dengan suplemen protein, sehingga dapat menghindari praktek
manipulasi pencampuran dedak padi dengan bahan lain yang rendah mutunya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah AY, Awawdeh FT. 2004. The effect of protein source and
formaldehyde treatment on growth and carcass composition of Awassi
Lambs. Asian-Aust J Anim Sci 17: 1080-1087.

Andrew SM, Erdman RA, Waldo DR. 1995. Prediction of body composition of
dairy cows at three physiological stages from deuterium oxide and urea
dilution. J Dairy Sci 78:1083-1095.

Andries JI, Buysse FX, DeBrabander DL, Cottyn BG. 1987. Isoacids in
ruminant nutrition:Their role in ruminal and intermediary metabolism and
possible influences on performance-A review. Anim Feed Sci Technol 18:
169.

Antonelli AC, Mori CS, Soares PC, Kitamura SS, Ortolani EL. 2004.
Experimental ammonia poisoning in cattle fed extruded or prilled
urea:clinical findings. Braz J Vet Res Anim Sci 41:67-74.

Astuti DA, Sastradipradja D. 1999. Evaluation of body composition using urea


dilution and slaughter technique of growing Priangan sheep. Media
Veteriner 6(3):5-9.

Austin GT. 1986. Shreve’s Chemical Process Industries. Singapore: McGraw


Hill Book Company.

Bach A, Calsamiglia S, Stern MD. 2005. Nitrogen metabolism in the rumen. J


Dairy Sci 88 (E.Suppl.): E9-E21.

Balagopalan C. 2002. Cassava: Biology, Production and Utilization. India:


CAB International.

Berg TR, Butterfield MR. 1976. New Concept of Cattle Growth. Australia:
Sydney University.

Bloomfield RA, Garner GB, Muhrer ME. 1960. Kinetics of urea metabolism in
sheep. J Anim Sci 19:1248 (abstr.).

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat
Statistik.

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Statistik Indonesia. Jakarta: Biro Pusat
Statistik.

Brunetti J. 2004. True Protein vs. ‘Funny Protein’. Canada: Acres USA.

Cameron MR, Klusmeyer TH, Lynch GL, Clark JH, Nelson DR. 1991. Effect
of urea and starch on rumen fermentation, nutrient passage to the
duodenum, and performance of cows. J Dairy Sci 74:1321-1336.
73

Can A, Yilmaz A. 2002. Usage of xylose or glucose as non-enzymatic


browning agent for reducing ruminal protein degradation of soybean
meal. Small Rum Res 46: 173-178.

Carneiro H, Puchala R, Owens FN, Sahlu T, Qi K, Goetsch AL. 2000. Effect of


dietary sulfur level on amino acid concentrations in ruminal bacteria of
goats. Small Rum Res 37:151.

Casper DP, Schingoethe DJ. 1989. Lactational response of dairy cows to diets
varying in ruminal solubilities of carbohydrate and crude protein. J Dairy
Sci 72:928-941.

Chalupa W. 1974. Rumen bypass and protection of proteins and amino acids. J
Dairy Sci 58:1198-1218.

Chaney AL, Marbach EP. 1962. Modified reagent for determination of urea
and ammonia. Clinical Chemistry 8:130-132.

Chanjula P, Wanapat M, Wachirapakorn C, Uriyapongson S, Rowlinson P.


2003. Ruminal degradability of tropical feeds and their potential use in
ruminant diets. Asian-Aust J Anim Sci 16: 211-216.

Chanjula P, Wanapat M, Wachirapakorn C, Rowlinson P. 2004. Effect of


synchronizing starch sources and protein (NPN) in the rumen on feed
intake, rumen microbial fermentation, nutrient utilization and
performance of lactating dairy cows. Asian-Aust J Anim Sci 17(10):
1400-1410.

Chen XB, Howell FD, Orskov DE, Brower. 1990. Excretion of purine
derivative by ruminant: effect of exogen nucleic acid supply on purine
derivative excretion by sheep. Br J Nutr 63:131-142.

Choi SH, Song MK. 2001. Effect of feeding level of concentrate and age on the
FAS activities of adipose tissues in Hanwoo steers. Asian-Aust J Anim Sci
14 : 1696–1700.

Chumpawadee S, Sommart K, Vongpralub T, Pattarajinda V. 2006. Effect of


synchronizing the rate of dietary energy and nitrogen release on ruminal
fermentation, microbial protein synthesis, blood urea nitrogen and
nutrient digestibility in beef cattle. Asian-Aust J Anim Sci 19(2): 181-188.

Cleale RM, Klopfenstein TJ, Britton RA, Satterlee LD, Lowry SR. 1987.
Induced non-enzymatic browning of soybean meal. III. Digestibility and
efficiency of protein utilization by ruminants of soybean meal treated with
xylose or glucose. J Anim Sci 65:1327-1335.

Coppock CE, Peplowski MA, Lake GB. 1976. Effect of urea form and method
of feeding on rumen ammonia concentration. J Dairy Sci 59:1152-1156.
74

Crampton EW, Harris LE. 1969. Applied Animal Nutrition. San Francisco: WH
Freeman & Co.

Cullison AE. 1968. Feeds and Feeding. New Delhi: Prentice-Hall of India.

[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2004. Statistik Peternakan.


Jakarta: Departemen Pertanian RI.

[DITJENAK] Direktorat Jenderal Peternakan. 2006. Statistik Peternakan.


Jakarta: Departemen Pertanian RI.

Doyle PT, Devendra C, Pearce GR. 1986. Rice Straw as a Feed Ruminants.
Canberra: International Development Program of Australian Universities
and Colleges Limited (IDP).

Ensminger ME, Oldfield JE, Heinemann WW. 1990. Feeds and Nutrition. 2nd
Edition. California: The Ensminger Comp.

Erwanto.1995. Optimalisasi sistem fermentasi rumen melalui suplementasi


sulfur, defaunasi, reduksi emisi metan dan stimulasi pertumbuhan
mikroba pada ternak ruminansia [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Fonnesbeck PV, Kearl LC, Harris LE. 1975. Feed grade biuret as a protein
replacement for ruminants. J Anim Sci 40:1151.

Frisch JE. 1978. Adaptation, Nutrition, and Agronomy: Course Manual in Beef
Cattle Management and Economics. Brisbane: Australian Vice-
Chancellors Committee, Academic Press Pty.Ltd.

Galina MA, Guerrero CM, Serrano G, Morales R, Haenlein G. 2000. Effect of


complex catalytic supplementation with non-protein nitrogen on ruminal
ecosystem of growing goats pasturing shrub land in Mexico. Small Rum
Res 36:33-42.

Galo E, Emanuele SM, Sniffen CJ, White JH, Knapp JR. 2003. Effect of
polymer-coated urea product on Nitrogen metabolism in lactating
Holstein dairy cattle. J Dairy Sci 86:2154-2162.

Gerpacio AL, Pascual FS, Querubin LJ, Mercado CI, Bechayda CT. 1979.
Evaluation of tuber meals as energy sources. IV. The effect of varying
energy/protein ratios on the feeding value of broiler rations containing
Tannia/(Xanthosema sp). and Pongapong (Amorphophallus
campanulatus) meals. Phil J Vet Animal Sci 5(1): 1-13.

[GLP] General Laboratory Procedure. 1966. Report of Dairy Science.


Madison: University of Wisconsin.
75

Golombeski GL, Kalscheur KF, Hippen AR, Schingoethe DJ. 2006. Slow-
release Urea and Highly Fermentable Sugars in Diets Fed to lactating
dairy cows. J Dairy Sci 89:4395-4403.

Gurnadi E. 1993. Agroindustri Sapi Potong. Jakarta: PT Insan Mitra


Satyamandiri.

Harper HA, Rodwell VW, Mayes PA. 1979. Review of Physiological


Chemistry. California: Lange Medical Publications.

Haryanto B, Djajanegara A. 1993. Pemenuhan kebutuhan zat-zat makanan


ternak ruminansia kecil. Di dalam: Manika, Wodzicka-Tomaszewska, IM
Mastika, A Djajanegara, S Gardiner, TR Wiradarya, editor. Produksi
Kambing dan Domba di Indonesia. Surakarta: Sebelas Maret University
Press.

Helmer LG, Bartley FE, Deyoe CW, Meyer RM, Pfost HB. 1970. Feed
processing. V. Effect of an expansion-processed mixture of grain and
urea (Starea) on nitrogen utilization in vitro. J Dairy Sci 53 (3).

Helmer LG, Bartley FE. 1971. Progress in the utilization of urea as protein
replacer for ruminants. A review J Dairy Sci 1:25-29.

Hoover WH, Stokes SR. 1991. Balancing carbohydrates and protein for
optimum rumen microbial yield. J Dairy Sci 74:3630-3644.

Huber JT, Kung L . 1981. Protein and non-protein nitrogen utilization in dairy
cattle. J Dairy Sci 64:1170-1195.

Huntington GB, Harmon DL, Kristensen NB, Hanson KC, Spears JW. 2006.
Effects of a slow-release urea source on absorpsion of ammonia and
endogenous production of urea by cattle. Anim Feed Sci Technol
doi:10.1016/ j.anifeedsci.2006.01.012.

INRA. 1978. Alimentation des Ruminants. France: INRA Publication,


Versailles.

Jesse GW, Thompson GB, Clark JL, Hendrick HB, Weimer KG. 1976. Effect
of ration energy and slaughter weight on composition of empty body
weight and carcass gain of beef cattle. J Anim Sci 43(2):418-425.

Jouany JP. 1991. Rumen Microbial Metabolism and Ruminant Digestion.


France: Institut National De La Recherche Agronomique.

Kanjanapruthipong J, Vajrabukka C, Sindhuvanich S. 2002. Effects of


formalin treated soybean as a source of rumen undegradable protein on
rumen functions of non-lactating dairy cows on concentrate based diets.
Asian-Aust J Anim Sci 15:1439-1444.
76

Khampa S, Wanapat M, Wachirapakorn C, Nontaso N, Wattiaux M. 2006.


Effect of urea level and sodium DL-malate in concentrate containing high
cassava chip on ruminal fermentation efficiency, microbial protein
synthesis in lactating dairy cows raised under tropical condition. Asian-
Aust J Anim Sci (19) 6: 837-844.

Kiyothong K, Wanapat M. 2004. Growth, hay yield and chemical composition


of cassava and Stylo 184 grown under intercropping. Asian-Aust J Anim
Sci 17:799-807.

Kopecny J, Wallace RJ. 1982. Cellular location and some properties of


proteolytic enzymes of rumen bacteria. Appl Environ Microbiol 43:1026-
1033.

Kowalczyk J. 1976. Maximizing NPN Use in Feeding Systems Based on Agro-


industrial By-products. Rome: Institute of Animal Physiology and
Nutrition, Polish Academy of Sciences.

Kurihara M, Magner T, Hunter RA, McCrabb GJ. 1999. Methane production


and energy partition of cattle in tropics. Br J Nutr 81:227-234.

Kusuma IM. 2006. Deposisi energi pada sapi peranakan Ongole dan sapi
peranakan Frisian Holstein jantan yang mendapat pakan 60% konsentrat
dengan pakan basal jerami padi [skripsi]. Semarang: Fakultas Peternakan,
Universitas Diponegoro.

Leng RA. 1991. Improving Ruminant Production and Reducing Methane


Emissions from Ruminants by Strategic Supplementation. Armidale:
Department of Biochemistry, Microbiology and Nutrition, University of
New England.

Loest CA, Titgemeyer EC, Drouillard JS, Lambert BD, Trater AM. 2001.
Urea and biuret as nonprotein nitrogen sources in cooked molasses blocks
for steers fed prairie hay. Anim Feed Sci Tech 94:115-126.

Manurung T. 1989. Manfaat leguminosa pohon sebagai sumber protein ransum


berjerami padi yang diperkaya dengan urea dan tetes. [disertasi]. Bogor:
Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JFD. 1988. Animal Nutrition. New


York: Longman Scientific&Technical.

Maynard LA, Loosli JK, Harold FH, Warner RG. 1979. Animal Nutrition.
New Delhi: McGraw-Hill Publishing Company Limited.

Muchtadi TR, Purwiyatno, Basuki A. 1988. Teknologi Pemasakan Ekstrusi.


Bogor: PAU, Institut Pertanian Bogor.
77

Nakamura T, Klopfenstein TJ, Owen FG, Britton RA, Grant RJ. 1992.
Nonenzymatically browned soybean meal for lactating dairy cows. J
Dairy Sci 75:3519.

Nocek JE, Russel JB. 1988. Protein and energy as an integrated system.
Relationship of ruminal protein and carbohydrate availability to microbial
synthesis and milk production. J Dairy Sci 71:2070-2107.

[NRC] National Research Council. 1978. Nutrient Requirements of Dairy


Cattle. 5th Rev.Edition. Washington: Natl.Acad.Sci.

[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy


Cattle. 7th Rev.Edition. Washington: Natl.Acad.Sci.

Orskov ER. 2002. Trails and Trials In Livestock Research. Scotland:


International Feed Resource Unit, Macaulay Land Use Research Institute.

Ortiz RMA, Haenlein GFW, Galina M. 2001. Effect on feed intake and body
weight gain when substituting maize with sugar cane in diets for Zebu
steers complemented with slow release urea supplements. Int J Anim Sci
16 (2): 239-245.

Owen FN, Lusby KS, Mizwicki K, Forero O. 1980. Slow ammonia release from
urea:rumen and metabolism studies. J Anim Sci 50(3):527-531.

Parakkasi A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminansia. Jakarta:


Universitas Indonesia Press.

Perry TW. 1980. Beef Cattle Feeding and Nutrition. New York: Academic
Press.

Pimpa O, Liang JB, Jelan ZA, Abdullah N. 2001. Urinary excretion of


duodenal purine derivatives in Kedah-Kelantan cattle. Anim Feed Sci
Technol 92:203-214.

Prasetiyono BWHE. 1992. Pengaruh tingkat penggunaan urea dan waktu


pengukusan ubi jalar terhadap biosintesis protein mikroba rumen [tesis].
Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor .

Preston TR, Leng RA. 1987. Matching Ruminant Production Systems with
Available Resources in the Tropics and Sub-Tropics. Armidale:
Penambul Books.

Preston TR, Willis MB. 1974. Intensive Beef Production. 2nd Edition. Oxford:
Pergamon Press.
78

Rossi J, Silcox R. 2007. Protein Supplements for Cattle. Georgia: Cooperative


extension, The University of Georgia.

Rule DC, Arnold RN, Hentges EJ, Beitz DC. 1986. Evaluation of urea dilution
technique for estimating body composition of beef steers in vivo:
validation of published equation &comparison chemical composition. J
Anim Sci 63:1935.

Sahoo A, Elangovan AV, Mehra UR, Singh UB. 2004. Catalitic


supplementation of urea-molasses on nutritional performance of male
Buffalo (Bubalus bubalis) Calves. Asian-Aust J Anim Sci 17(5): 621-
628.

[SAS] Statistical Analysis System. 2000. SAS User’s Guide. NC: SAS
Institute Inc., SAS Campus Drive, Cary, NC 27513.

Schingoethe DJ. 1996. Dietary influence on protein level in milk and milk yield
in dairy cows. Anim Feed Sci Technol 60:181-190.

Scott M, Dalden L, Mesheim C, Young RJ. 1976. Nutrition of the Chicken. 2nd
Edition. New York: M.L.Scott & Associates.

Sellier P. 2003. Protein nutrition for ruminants in European countries, in the


light of animal feeding regulations linked to bovine spongiform
encephalopathy. Rev Sci Tech off Int Epiz 22:259.

Sewell HB. 1993. Urea Supplements for Beef Cattle. Columbia: Department of
Animal Sciences, University of Missouri.

Shabi Z, Ariele A, Bruckental L, Aharoni Y, Zamwel S, Bor A, Tagari H. 1998.


Effect of the synchronization of the degradation of dietary crude protein
and organic matter and feeding frequency on ruminal fermentation and
flow of digesta in the abomasum of dietary cows. J Dairy Sci 81: 1991-
2000.

Shultz TA, Shultz E. 1969. Estimation of Rumen Microbial Nitrogen by Three


Analytical Methods. J Dairy Sci 53:781-784.

Singh M, Sharma K, Dutta N, Singh P, Verma AK, Mehra UR. 2007.


Estimation of rumen microbial protein supply using urinary purine
derivatives excretion in crossbred calves fed at different levels of feed
intake. Asian-Aust J Anim Sci 20(10):1567-1574.

Skoog DA, West DM, Holler FJ. 1992. Analytical Chemistry. New York:
Saunder College Publishing.

Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.
79

Sofyan LA. 1983. Perubahan kepekaan ubi kayu oleh waktu pemasakan
terhadap amilolisis mikroba rumen serta pemanfaatannya untuk ransum
domba dan kerbau yang mengandung urea [disertasi]. Bogor: Fakultas
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Sommart K, Parker DS, Wanapat M, Rowlinson P. 2000. Fermentation


characteristics and microbial protein synthesis in an in vitro system
using cassava, rice straw and dried ruzi grass as substrates. Asian-Aust
J Anim Sci 13:1084-1093.

Srinivas B, Krishnamoorthy U. 2005. Influence of diet induced changes in


rumen microbial characteristics on gas production kinetics of straw
substrates in vitro. Asian-Aust J Anim Sci 18(7):990-996.

Stanton TL, Whittier J. 2006. Urea and NPN for Cattle and Sheep. Colorado:
Colorado State University Extension-Agriculture.

Stern MD, Hoover WH, Sniffen CJ, Crooker BA, Knowlton PH. 1978. Effect
of nonstructural carbohydrate, urea, and soluble protein on microbial
protein synthesis in continuous culture of rumen content. J Anim Sci
47:944-956.

Stern MD, Hoover WH. 1979. Methods for determining and factors affecting
rumen microbial protein synthesis: A review. J Anim Sci 49:1590-1603.

Stern MD, Bach A, Calsamiglia S. 2006. New Concepts in Protein Nutrition of


Ruminants. St.Paul USA: Department of Animal Science, University of
Minnesota.

Sudarmonowati E, Hartati NS, Priadi D, Sukmarini L, Sugiharti S, Fitriani H,


Hartati, Rahman N, Rijadi SJ. 2006. Seleksi genotip ubi kayu Indonesia
dengan komposisi pati tertentu berdasarkan Marka genetik. Bogor: Puslit
Bioteknologi, LIPI.

Suryahadi, Amrullah IK. 1989. Pembuatan “OGREA” sebagai pakan dari hasil
ikutan tanaman dan pengolahan ubi kayu yang difermentasi dengan
Aspergillus niger. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Sutardi T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut


Pertanian Bogor.

Sutardi T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Bogor: Fakultas


Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Szylit O, Durand M, Borgida LP, Atinkpahoun H, Prieto F, Delort LJ. 1978.


Raw and steam-pelleted cassava, sweet potato and Yam Cayanensis as
starch sources for ruminant and chicken diets. Anim Feed Sci Technol
3:73-87.
80

Tilley JM, Terry RS. 1969. A two stage technique for in vitro digestion of
forage crops. J Br Grassland Society 18(2):104-111.

Van Soest PJ. 1982. Nutritional Ecology of the Ruminant. Oregon: O and B
Books.

Visek WJ. 1984. Ammonia: its effects on biological system, metabolic


hormones and reproduction. J Dairy Sci 67:481-498.

Wanapat M, Khampa S. 2007. Effect of levels of supplementation of


concentrate containing high levels of cassava chip on rumen ecology,
microbial N supply and digestibility of nutrients in beef cattle. Asian-Aust
J Anim Sci 20:75-81.

Wu YM, Hu WL, Liu JX. 2005. Effect of supplementary urea-mineral lick


block on the kinetics of fibre digestion, nutrient digestibility and nitrogen
utilization of low quality roughages. J Zhejiang Univ Sci B 6(8):793-797.
LAMPIRAN
82

Lampiran 1 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 (mM)


dan uji Duncan's Multiple Range Test (DMRT) pada percobaan 1

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 11 1624.294841 147.663167 43.05 <.0001
Error 24 82.314283 3.429762
Corrected Total 35 1706.609124

Source SS Mean Square F Value Pr > F


CASREA (C) 3 1133.637152 377.879051 110.18 <.0001
W.Inkubasi (WI) 2 344.186685 172.093342 50.18 <.0001
C*W 6 146.471004 24.411834 7.12 0.0002

Duncan's Multiple Range Test

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 3.429762
Number of Means 2 3 4
Critical Range 1.802 1.892 1.951

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Casrea

A 43.4194 9 1
B 31.4417 9 4
B 30.5433 9 3
B 29.6450 9 2

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 3.429762
Number of Means 2 3
Critical Range 1.560 1.639

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N WI

B 36.3825 12 3
B 35.4842 12 2
A 29.4204 12 1
83

Lampiran 2 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM)


dan uji DMRT pada percobaan 1

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 11 8145.55556 740.50505 4.38 0.0012
Error 24 4060.00000 169.16667
Corrected Total 35 12205.55556

Source SS Mean Square F Value Pr > F


CASREA (C) 3 1867.333333 622.444444 3.68 0.0260
W.Inkubasi (W) 2 6264.222222 3132.111111 18.51 <.0001
C*W 6 14.000000 2.333333 0.01 1.0000

Duncan's Multiple Range Test

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 169.1667
Number of Means 2 3 4
Critical Range 12.65 13.29 13.70

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Casrea

A 168.222 9 1
B 153.444 9 2
B 151.444 9 3
B 150.444 9 4

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 169.1667
Number of Means 2 3
Critical Range 10.96 11.51

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N WI

B 166.833 12 3
B 163.500 12 2
A 137.333 12 1
84

Lampiran 3 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg)


dan uji DMRT pada percobaan 1

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 11 568.3768186 51.6706199 3.32 0.0067
Error 24 373.4463542 15.5602648
Corrected Total 35 941.8231727

Source SS Mean Square F Value Pr > F


CASREA (C) 3 321.4559505 107.1519835 6.89 0.0017
W.Inkubasi (W) 2 204.2487587 102.1243793 6.56 0.0053
C*W 6 42.6721094 7.1120182 0.46 0.8328

Duncan's Multiple Range Test

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 15.56026
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.838 4.031 4.155

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Casrea

B 29.040 9 2
B 27.436 9 3
B 26.619 9 4
A 21.097 9 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 15.56026
Number of Means 2 3
Critical Range 3.324 3.491

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N WI

B 28.386 12 3
B 26.979 12 2
A 22.779 12 1
85

Lampiran 4 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan
uji DMRT pada percobaan 1

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 3 847.547082 282.515694 8.64 0.0069
Error 8 261.720439 32.715055
Corrected Total 11 1109.267521

Source SS Mean Square F Value Pr > F


CASREA 3 847.5470815 282.5156938 8.64 0.0069

Duncan's Multiple Range Test

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 8
Error Mean Square 32.71505
Number of Means 2 3 4
Critical Range 10.77 11.22 11.48

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Casrea

B 76.162 3 2
B 72.178 3 3
B 69.073 3 4
A 53.951 3 1
86

Lampiran 5 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi NH3 (mM)


dan uji DMRT pada percobaan 2

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 11 680.3033417 61.8457583 15.33 <.0001
Error 24 96.8403333 4.0350139
Corrected Total 35 777.1436750

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Suhu (S) 2 88.3668042 44.1834021 10.95 0.0004
Xylosa (X)) 3 551.1828972 183.7276324 45.53 <.0001
S*X 6 40.7536403 6.7922734 1.68 0.1684

Duncan's Multiple Range Test

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 4.035014
Number of Means 2 3
Critical Range 1.693 1.778

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Suhu
A 33.0138 12 1
B 30.7679 12 2
B 29.1958 12 3

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 4.035014
Number of Means 2 3 4
Critical Range 1.954 2.053 2.116

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Xylosa
A 37.7300 9 1
B 29.3456 9 2
B 28.7467 9 3
B 28.1478 9 4
87

Lampiran 6 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap konsentrasi VFA (mM)


dan uji DMRT pada percobaan 2

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 11 8017.88889 728.89899 3.29 0.0071
Error 24 5320.00000 221.66667
Corrected Total 35 13337.88889

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Suhu (S) 2 4622.722222 2311.361111 10.43 0.0006
Xylosa (X)) 3 2961.222222 987.074074 4.45 0.0127
S*X 6 433.944444 72.324074 0.33 0.9166

Duncan's Multiple Range Test

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 221.6667
Number of Means 2 3
Critical Range 12.54 13.18

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Suhu
A 130.750 12 1
B 109.333 12 2
B 104.750 12 3

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 221.6667
Number of Means 2 3 4
Critical Range 14.49 15.21 15.68

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Xylosa
A 130.333 9 1
B 112.556 9 2
B 109.444 9 3
B 107.444 9 4
88

Lampiran 7 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap protein endapan (mg)


dan uji DMRT pada percobaan 2

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 11 943.956625 85.814239 5.28 0.0003
Error 24 389.770816 16.240451
Corrected Total 35 1333.727441

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Suhu (S) 2 399.7618373 199.8809187 12.31 0.0002
Xylosa (X)) 3 514.0056653 171.3352218 10.55 0.0001
S*X 6 30.1891220 5.0315203 0.31 0.9256

Duncan's Multiple Range Test

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 16.24045
Number of Means 2 3
Critical Range 3.396 3.566

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Suhu
B 65.720 12 2
B 65.169 12 3
A 58.392 12 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 16.24045
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.921 4.118 4.245

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Xylosa
B 66.043 9 2
B 64.940 9 3
B 64.789 9 4
A 56.603 9 1
89

Lampiran 8 Analisis ragam pengaruh perlakuan terhadap kecernaan protein (%) dan
uji DMRT pada percobaan 2

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 11 2183.811146 198.528286 8.65 <.0001
Error 24 550.833343 22.951389
Corrected Total 35 2734.644490

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Suhu (S) 2 268.911807 134.455903 5.86 0.0085
Xylosa (X)) 3 1792.027891 597.342630 26.03 <.0001
S*X 6 122.871448 20.478575 0.89 0.5161

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 22.95139
Number of Means 2 3
Critical Range 4.037 4.240

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Suhu
B 76.495 12 2
B 76.293 12 3
A 70.599 12 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 24
Error Mean Square 22.95139
Number of Means 2 3 4
Critical Range 4.661 4.896 5.046

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Xylosa
B 80.101 9 2
B 77.935 9 3
B 77.449 9 4
A 62.365 9 1
90

Lampiran 9 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap pertambahan


bobot badan harian (kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 0.63350000 0.10558333 4.99 0.0161
Error 9 0.19027500 0.02114167
Corrected Total 15 0.82377500
F Value Pr > F
Source SS Mean Square
Ransum 3 0.55567500 0.18522500 8.76 0.0049
Block 3 0.07782500 0.02594167 1.23 0.3554

Duncan's Multiple Range Test

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.021142
Number of Means 2 3 4
Critical Range .2326 .2428 .2486

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 0.8475 4 4
B 0.6225 4 3
B 0.6125 4 2
A 0.3225 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.021142
Number of Means 2 3 4
Critical Range .2326 .2428 .2486

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 0.7025 4 4
A 0.6200 4 2
A 0.5700 4 3
A 0.5125 4 1
91

Lampiran 10 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap deposisi protein


(g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 138807.0988 23134.5165 6.40 0.0072
Error 9 32557.8956 3617.5440
Corrected Total 15 171364.9944

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 120905.1019 40301.7006 11.14 0.0022
Block 3 17901.9969 5967.3323 1.65 0.2462

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 3617.544
Number of Means 2 3 4
Critical Range 96.2 100.4 102.8

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 398.88 4 4
B 353.58 4 3
B 302.85 4 2
A 166.98 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 3617.544
Number of Means 2 3 4
Critical Range 96.2 100.4 102.8

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 358.63 2
A 299.40 4
A 298.30 3
A 265.95 1
92

Lampiran 11 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi tercerna


(MJ.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 3118.549300 519.758217 20.18 <.0001
Error 9 231.781000 25.753444
Corrected Total 15 3350.330300

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 937.021050 312.340350 12.13 0.0016
Block 3 2181.528250 727.176083 28.24 <.0001

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 25.75344
Number of Means 2 3 4
Critical Range 8.117 8.473 8.677

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 79.065 4 4
B 76.830 4 3
B 71.713 4 2
A 59.303 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 25.75344
Number of Means 2 3 4
Critical Range 8.117 8.473 8.677

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 89.693 4 4
B 72.323 4 3
B 67.450 4 2
C 57.445 4 1
93

Lampiran 12 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BK


(kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 28.01196938 4.66866156 14.45 0.0004
Error 9 2.90799554 0.32311062
Corrected Total 15 30.91996492

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 3.76847072 1.25615691 3.89 0.0492
Block 3 24.24349865 8.08116622 25.01 0.0001

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.323111
Number of Means 2 3 4
Critical Range .9092 .9490 .9719

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 7.6338 4 4
B 7.5477 4 3
AB 7.3198 4 2
A 6.4114 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.323111
Number of Means 2 3 4
Critical Range .9092 .9490 .9719

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
C 9.1183 4 4
B 7.2910 4 3
B 6.7888 4 2
A 5.7145 4 1
94

Lampiran 13 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi BO


(kg.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 18.56018906 3.09336484 18.08 0.0001
Error 9 1.53988755 0.17109862
Corrected Total 15 20.10007661

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 2.83498295 0.94499432 5.52 0.0199
Block 3 15.72520611 5.24173537 30.64 <.0001

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.171099
Number of Means 2 3 4
Critical Range .6616 .6906 .7073

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 6.1304 4 4
B 6.0279 4 3
B 5.8786 4 2
A 5.0624 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.171099
Number of Means 2 3 4
Critical Range .6616 .6906 .7073

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
C 7.2847 4 4
B 5.8472 4 3
B 5.4282 4 2
A 4.5394 4 1
95

Lampiran 14 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap konsumsi PK


(g.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 1061699.110 176949.852 50.69 <.0001
Error 9 31418.388 3490.932
Corrected Total 15 1093117.498

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 670963.6485 223654.5495 64.07 <.0001
Block 3 390735.4610 130245.1537 37.31 <.0001

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 3490.932
Number of Means 2 3 4
Critical Range 94.5 98.6 101.0

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
C 1104.61 4 4
B 995.12 4 3
B 932.42 4 2
A 559.71 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 3490.932
Number of Means 2 3 4
Critical Range 94.5 98.6 101.0

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
C 1132.94 4 4
B 914.34 4 3
B 845.14 4 2
A 699.44 4 1
96

Lampiran 15 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BK


(%) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 161.7713500 26.9618917 4.92 0.0169
Error 9 49.3540250 5.4837806
Corrected Total 15 211.1253750

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 139.7170250 46.5723417 8.49 0.0054
Block 3 22.0543250 7.3514417 1.34 0.3213

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 5.483781
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.746 3.910 4.004

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 50.415 4 4
B 50.165 4 3
B 49.143 4 2
A 43.173 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 5.483781
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.746 3.910 4.004

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 49.843 4 1
A 48.580 4 2
A 47.875 4 4
A 46.598 4 3
97

Lampiran 16 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan BO


(%) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 133.3798375 22.2299729 3.91 0.0334
Error 9 51.2228563 5.6914285
Corrected Total 15 184.6026937

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 110.6090187 36.8696729 6.48 0.0126
Block 3 22.7708188 7.5902729 1.33 0.3233

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 5.691428
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.816 3.983 4.079

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 56.600 4 4
B 56.538 4 3
B 55.165 4 2
A 50.175 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 5.691428
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.816 3.983 4.079

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 56.340 4 1
A 54.790 4 2
A 54.350 4 4
A 52.998 4 3
98

Lampiran 17 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Kecernaan PK


(%) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 834.9254375 139.1542396 32.29 <.0001
Error 9 38.7813563 4.3090396
Corrected Total 15 873.7067938

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 827.4211688 275.8070563 64.01 <.0001
Block 3 7.5042688 2.5014229 0.58 0.6424

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 4.30904
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.320 3.466 3.549

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
C 73.533 4 4
B 69.828 4 3
B 67.503 4 2
A 54.440 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 4.30904
Number of Means 2 3 4
Critical Range 3.320 3.466 3.549

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 67.423 4 4
A 66.258 4 1
A 66.075 4 2
A 65.548 4 3
99

Lampiran 18 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap efisiensi ransum


(%) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 76.4023206 12.7337201 4.47 0.0226
Error 9 25.6493031 2.8499226
Corrected Total 15 102.0516237

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 70.77980749 23.59326916 8.28 0.0059
Block 3 5.62251316 1.87417105 0.66 0.5983

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 2.849923
Number of Means 2 3 4
Critical Range 2.700 2.819 2.887

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
C 11.131 4 4
BC 8.519 4 2
B 8.186 4 3
A 5.197 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 2.849923
Number of Means 2 3 4
Critical Range 2.700 2.819 2.887

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 8.906 4 1
A 8.776 4 2
A 7.813 4 3
A 7.538 4 4
100

Lampiran 19 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 0 jam
(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 0.02392388 0.00398731 0.83 0.5779
Error 9 0.04347406 0.00483045
Corrected 15 0.06739794
Total

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 0.01793319 0.00597773 1.24 0.3521
Block 3 0.00599069 0.00199690 0.41 0.7475

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.00483
Number of Means 2 3 4
Critical Range .1112 .1160 .1188

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
A 0.76150 4 4
A 0.74850 4 3
A 0.69875 4 1
A 0.68100 4 2

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.00483
Number of Means 2 3 4
Critical Range .1112 .1160 .1188

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 0.75250 4 3
A 0.72175 4 4
A 0.71675 4 1
A 0.69875 4 2
101

Lampiran 20 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 0 jam
(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 393.1019654 65.5169942 4.35 0.0246
Error 9 135.6943576 15.0771508
Corrected Total 15 528.7963229

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 247.4118547 82.4706182 5.47 0.0204
Block 3 145.6901107 48.5633702 3.22 0.0755

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 15.07715
Number of Means 2 3 4
Critical Range 6.211 6.483 6.639

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 26.721 4 4
B 26.040 4 3
B 25.903 4 2
A 17.168 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 15.07715
Number of Means 2 3 4
Critical Range 6.211 6.483 6.639

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
B 28.257 4 4
AB 25.297 4 1
A 21.493 4 3
A 20.785 4 2
102

Lampiran 21 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap NH3 darah 3 jam
(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 0.90696100 0.15116017 3.51 0.0451
Error 9 0.38805475 0.04311719
Corrected Total 15 1.29501575

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 0.15198425 0.05066142 1.17 0.3723
Block 3 0.75497675 0.25165892 5.84 0.0170

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.043117
Number of Means 2 3 4
Critical Range .3321 .3467 .3551

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
A 0.9575 4 4
A 0.8685 4 3
A 0.8058 4 2
A 0.6898 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.043117
Number of Means 2 3 4
Critical Range .3321 .3467 .3551

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
B 1.1895 4 4
A 0.7880 4 3
A 0.7345 4 2
A 0.6095 4 1
103

Lampiran 22 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap urea darah 3 jam
(mg%) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 865.134032 144.189005 4.07 0.0298
Error 9 319.162612 35.462512
Corrected Total 15 1184.296644

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 754.8363813 251.6121271 7.10 0.0096
Block 3 110.2976507 36.7658836 1.04 0.4219

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 35.46251
Number of Means 2 3 4
Critical Range 9.53 9.94 10.18

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 37.556 4 4
B 33.747 4 3
B 31.518 4 2
A 19.216 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 35.46251
Number of Means 2 3 4
Critical Range 9.53 9.94 10.18

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 34.565 4 4
A 30.841 4 1
A 29.148 4 2
A 27.483 4 3
104

Lampiran 23 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap Sintesis mikrobia


(gN.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 4627.982156 771.330359 3.53 0.0442
Error 9 1964.582119 218.286902
Corrected Total 15 6592.564275

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 4529.705913 1509.901971 6.92 0.0103
Block 3 98.276243 32.758748 0.15 0.9270

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 218.2869
Number of Means 2 3 4
Critical Range 23.63 24.67 25.26

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
B 70.15 4 4
B 65.20 4 3
B 50.80 4 2
A 26.83 4 1

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 218.2869
Number of Means 2 3 4
Critical Range 23.63 24.67 25.26

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 56.57 4 4
A 54.05 4 1
A 52.64 4 2
A 49.71 4 3
105

Lampiran 24 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap energi methan


(MJ.kgKBK-1.hr-1) dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 0.07070000 0.01178333 8.78 0.0024
Error 9 0.01207500 0.00134167
Corrected Total 15 0.08277500

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 0.01302500 0.00434167 3.24 0.0747
Block 3 0.05767500 0.01922500 14.33 0.0009

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.001342
Number of Means 2 3 4
Critical Range .05859 .06115 .06263

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
A 1.46500 4 1
AB 1.40750 4 2
B 1.39750 4 4
B 1.39500 4 3

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.001342
Number of Means 2 3 4
Critical Range .05859 .06115 .06263

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 1.50000 4 1
B 1.43500 4 2
B 1.39500 4 3
C 1.33500 4 4
106

Lampiran 25 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap protein tubuh (%)
dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 3.47398698 0.57899783 0.67 0.6807
Error 9 7.83264949 0.87029439
Corrected Total 15 11.30663647

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 2.18278874 0.72759625 0.84 0.5073
Block 3 1.29119825 0.43039942 0.49 0.6950

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.870294
Number of Means 2 3 4
Critical Range 1.492 1.558 1.595

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
A 13.4268 4 4
A 12.6809 4 1
A 12.5719 4 3
A 12.5056 4 2

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 0.870294
Number of Means 2 3 4
Critical Range 1.492 1.558 1.595

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
13.2546 4 1
12.7830 4 4
12.6562 4 2
12.4914 4 3

.
107

Lampiran 26 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap lemak tubuh (%)
dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 93.4673769 15.5778962 0.72 0.6448
Error 9 194.8821602 21.6535734
Corrected Total 15 288.3495371

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 52.21199140 17.40399713 0.80 0.5226
Block 3 41.25538554 13.75179518 0.64 0.6109

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 21.65357
Number of Means 2 3 4
Critical Range 7.443 7.769 7.957

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
A 34.408 4 2
A 34.079 4 3
A 33.360 4 1
A 29.870 4 4

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 21.65357
Number of Means 2 3 4
Critical Range 7.443 7.769 7.957

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 34.552 4 3
A 33.593 4 2
A 33.306 4 4
A 30.265 4 1
108

Lampiran 27 Analisis ragam pengaruh ransum perlakuan terhadap air tubuh (%)
dan uji DMRT pada percobaan 3

Source DF S.Squares Mean Square F Value Pr > F


Model 6 53.6424481 8.9404080 0.72 0.6448
Error 9 111.8458143 12.4273127
Corrected Total 15 165.4882624

Source SS Mean Square F Value Pr > F


Ransum 3 29.96543451 9.98847817 0.80 0.5226
Block 3 23.67701355 7.89233785 0.64 0.6109

Duncan's Multiple Range Test


Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 12.42731
Number of Means 2 3 4
Critical Range 5.639 5.886 6.028

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Ransum
A 51.614 4 4
A 48.970 4 1
A 48.425 4 3
A 48.176 4 2

Alpha 0.05
Error Degrees of Freedom 9
Error Mean Square 12.42731
Number of Means 2 3 4
Critical Range 5.639 5.886 6.028

Means with the same letter are not significantly different.


Duncan Grouping Mean N Block
A 51.314 4 1
A 49.010 4 4
A 48.793 4 2
A 48.067 4 3
109

Lampiran 28 Hasil analisis xylosa black liquor

You might also like