You are on page 1of 13

ANALISIS JUAL BELI JAKET “HOODIE” ANTARA DISTRIBUTOR

DENGAN TOKO PENGECER DI PASAR BELAURAN PALANGKARAYA


MENGGUNAKAN TEORI MASLAHAH MURSALAH

Mahyuddin
Institut Agama Islam Palangka raya, Indonesian
E-mail : d_mahyuddin@yahoo.com
Abstract : The phenomenon of many buying and selling adverse to either party
and Contain speculative elements to be interesting to study. This article is the
result Field research to answer questions, 1) How to buy and sell jackets
"hoodie" between distributors with store retailers in Palangkaraya Market 2) How
is the perspective of a muress on buying and selling a "hoodie" jacket between
Distributor with retailer store in the market of Palangkaraya?

This research Data is obtained from distributors and retailer stores that
Subject of this study. The data collection techniques used are observations,
Interviews, and documentation then the data that was successfully collected next
Analysis using a descriptive method of analysis with the mindset Describing or
describing and assessing the data associated Related to the practice of buying and
selling "hoodie" jackets in Palangkaraya market Arguing with the grounds and
legal basis. The results concluded that buying and selling "hoodie" jacket in the
market of Palangkaraya is considered permissible, with the reason that the sale
does not contain any garar elements (fraud), the element of a willingness between
the two parties by being realized In the form of accepting and giving, and not
Even though the naked eye is sold to buy a "hoodie" jacket there is no contract
condition such as buying and selling of unknown goods before the contract.
Buyer does not To know the goods purchased, only through an element of
suspicion and truth can Categorized at 80% according to the contract. This issue
has been interpreted by the seller (distributor) and buyer (retailer store) as
previously described Through their respective codes. In the concept of Maslahah
Mursalah, when the The buyer buys the goods in one party, then finds some
defects or Less functional then the buyer can return the whole item or remain
may take the following damages for the defective item. In line with the above
conclusion there are some suggestions that want writers Convey: First, for
distributors must hold to Islamic law in the Making transactions, other than that
distributors should be more observant in choosing Goods from suppliers.
Secondly, for retailer stores should be careful in choosing Goods from
distributors and be cautious in conducting transactions. Then between
Distributors and retailer stores must be honest and responsible.

Keywords : Hoodie; Market retailer; Legal perspective

Pendahuluan

Pakaian adalah kebutuhan primer manusia selain makanan dan tempat


berteduh (rumah).Dengan menjadi kebutuhan utama tersebut, maka dapat
dipastikan pertumbuhan industri pakaian di Indonesia pun akan terus berkembang.
Fakta membuktikan bahwa menurut Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat
Belanja Indonesia (APPBI), Stefanus Ridwan, dijelaskan bahwa tingkat penjualan
produk pakaian jadi diperkirakan meningkat hingga lima kali lipat selama tahun
2014. Hal ini menunjukkan bahwa memang industri pakaian merupakan salah satu
industry yang cukup berpotensi di Indonesia.

Di Indonesia sendiri, pakaian memiliki berbagai macam jenis, salah


satunya yang paling terkenal dan laku di pasaran adalah pakaian berjenis hoodie.
Hoodie merupakan baju sweater yang memiliki penutup kepala. Kata hoodie
berasal dari bahasa Inggris yakni hood yang berarti tudung atau penutup kepala.
Jadi kita sekarang sudah mengetahui mengapa pakaian tersebut dinamakan
hoodie. Pada umumnya, hoodie dirancang memiliki kantong dibagian depan dan
menggunakan tali sebagai penutup kepala. Di bagian depan hoodie menggunakan
resleting dan ada juga yang tanpa pembuka di bagian depan. Hoodie biasa kita
lihat dipakai oleh orang-orang ketika berolahraga jogging supaya suhu tubuh
meningkat.Busana ini bisa dikenakan oleh siapa saja, baik pria dan wanita, dan
untuk semua kelompok umur, termasuk bayi, remaja,dan dewasa.

Dalam islam melakukan jual beli, yang penting diperhatikan ialah mencari
barang yang halal dan dengan jalan yang halal pula. Artinya carilah barang yang
halal untuk diperjual belikan atau diperdagangkan dengan cara yang
sejujurjujurnya. Bersih dari segala sifat yang dapat merusakkan jual beli, seperti
penipuan, pencurian, riba, dan lain sebagainya. Jika barang yang diperjual
belikan tidak sesuai dengan yang tersebut di atas, artinya tidak mengindahkan
peraturan-peraturan jual beli, perbuatan dan barang hasil jual beli yang
dilakukannya haram hukumnya. Haram dipakai dan haram dimakan sebab
tergolong perbuatan bathil (tidak sah).1 Oleh karena itu ada etika yang harus
dilakukan oleh pebisnis muslim yaitu mengacu kepada sifat-sifat Nabi dalam
berdagang di antaranya: jujur, istiqamah, qana’ah, fatanah, amanah, dan tablig.
Jadi yang harus disempurnakan dalam akad jual beli ada 4 macam syarat yakni
syarat in’iqad (syarat yang ditetapkan syara’), syarat sah, syarat nafaz (syarat
pelaksanaan akad) dan syarat lujum (kemestian), tujuannya adalah untuk
mencegah terjadinya pertentangan dan perselisihan diantara pihak yang
bertransaksi, menjaga hak dan kemaslahatan kedua belah pihak serta
mengurangi segala bentuk ketidakpastian dan resiko.

Jika salah satu syarat dalam syarat in’iqad tidak terpenuhi, maka akad
akan menjadi batil, jika syarat sah tidak lengkap, maka akad menjadi fasid,
jika dalam salah satu syarat nafaz tidak terpenuhi, maka akad menjadi mawquf,
dan jika salah satu syarat lujum tidak terpenuhi, maka pihak yang bertransaksi
memiliki hak khiyar, memutuskan atau membatalkan akad.2

Menurut para pengecer dan distributor, jaket “hoodie” adalah jaket stok
lama pabrik yang dalam satu Bal ukurannya tidak seri dan sebagian cacat
atau rusak akibat lamanya barang tersimpan atau kesalahan produksi. Dalam
praktek jual beli jaket “hoodie” distributor mendapatkan barang dari pabrik
untuk di jual kepada toko pengecer, dan toko pengecer membeli barang tersebut
dengan jumlah dan barang yang sudah ditentukan oleh distributor.

Dalam transaksi tersebut apabila distributor mendapatkan jaket rusak


atau cacat maka bisa komplain ke pabrik untuk di ganti dengan yang baru.
Kemudian distributor menjual kembali kepada toko pengecer dengan kebijakan
tidak boleh membuka Bal saat transaksi dan retur (mengembalikan barang)

1
Ibnu Mas’ud, Zainal Abidin S, Fiqh Madzhab Syafi’i, jilid 2 (Bandung: Pustaka Setia,
2007),24
2
Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, 74
maupun komplain jika terdapat sepatu yang cacat dan tidak layak dijual kembali
kepada konsumen, sehingga toko pengecer dirugikan akibat kebijakan tersebut.

Akibat dari jual beli jaket “hoodie” ini berdampak terhadap persoalan
sosial. Para pemilik toko pengecer tidak dapat menggunakan haknya secara
maksimal atau keseluruhan. Konsekwensinya, mereka terus bergelimang dengan
keterbatasan ekonomi dan selalu dalam ketidakpastian yang sulit diselesaikan.
Sebenarnya dalam kasus ini, toko pengecer sudah terbebani perasaan
tidak rela. Akan tetapi, pihaknya tidak dapat menegaskan perasaan tersebut.
Sebab jika tidak dilakukannya dengan cara seperti itu, mereka akan kesulitan
mendapatkan nafkah sebagai kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Berdasarkan uraian diatas, praktek jual beli jaket “hoodie” yang terjadi
antara distributor dengan toko pengecer di pasar belauran Palangkaraya masih
dipertanyakan bagaimana hukumnya, dikarenakan ada unsur ketidakjelasan
barang yang dijual sehingga dapat merugikan salah satu pihak.

Namun yang menjadi persoalan adalah apakah teori hukum Islam yang
mampu memberikan sebuah solusi terhadap masyarakat yang berjualan jaket
“hoodie”, dikarenakan hal ini terkait dengan ekonomi masyarakat itu sendiri yang
sudah terjadi bertahun-tahun. Jika untuk menghidupi keluarganya serta
memberikan pendidikan yang layak terhadap anak-anaknya, hal ini merupakan
sebuah problematika yang patut untuk di carikan solusinya agar masyarakat tetap
hidup sejahtera karena pada prinsipnya Islam itu adalah “rahmatanlil’alamin”.

Dalam penelitian kali ini peneliti menggunakan suatu penelitian dan


pengamatan secara intensif terhadap praktek yang dijalankannya. Dengan judul:
“ANALISIS JUAL BELI JAKET “HOODIE” ANTARA DISTRIBUTOR
DENGAN TOKO PENGECER DI PASAR BELAURAN PALANGKARAYA
MENGGUNAKAN TEORI MASLAHAH MURSALAH”.
A. Tinjauan Tentang Jual Beli Sepatu Solid di Pasar Belauran Palangkaraya

Dengan mengikuti empat mazhab fiqh, Islam merupakan agama praktis


yang dijadikan acuan dalam berbagai tuntutan serta menunjukkan elastisitas dan
fleksibelitas sekaligus memungkinkan bagi penulis untuk beralih mazhab secara
total maupun dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan meskipun
kenyataan keseharian para ulama’ Indonesia menggunakan fiqh yang bersumber
dari mazhab Syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa para ulama’ juga
selalu bersumber pada mazhab Syafi’i. Namun kadang-kadang dalam keadaan
tertentu untuk tidak terlalu melawan budaya konvensional berpaling ke mazhab
lain. Sikap ini menunjukkan Islam memberikan jalan untuk mencapai kebahagiaan
serta memperoleh kekayaan yang baik dan bermanfaat melalui usaha yang giat
dan interaksi sesamanya secara harmonis.

Berkaitan dengan jual beli jaket hoodie di Pasar Belauran Palangkaraya


dilakukan antara distributor dengan pengecer. Distributor mendapatkan produk
barang dagangan dari tangan pertama atau produsen secara langsung. Dimana
proses pemesanan barang yang dilakukan oleh distributor kepada produsen
melalui sistem kode dimana pemesanan melalui sistem kode inilah yang
menentukan isi barang yang di pesan. Selain kode barang di luar packing juga
terdapat model dan ukuran barang. Setelah distributor sudah mendapatkan barang
dari produsen, barang tersebut dijual ke pengecer sesuai dengan pesanan
pengecer. Namun barang tersebut tetap diletakkan dalam sebuah packing atau
belum di cek barang tersebut sehingga pengecer tidak mengetahui keadaan barang
yang ada di dalamnya.

Oleh karena itu kalau dilihat dari perspektif hukum islam jual beli jaket
“hoodie” ada syarat akad yang tidak terpenuhi seperti jual beli barang yang belum
diketahui sebelum akad (garar), karena pada kenyataannya barang yang dijual itu
memang ada unsur ketidakpastiannya yaitu dari sisi kualitas barang yang tidak
menjamin baik atau tidaknya barang tersebut. Namun hal ini tidak menjadikan
suatu alasan yang signifikan sehingga mempunyai akibat hukum karena barang
yang dibeli bukan hanya pembeli yang tidak mengetahui namun juga tidak
diketahui oleh pihak penjual karena terdapat di dalam sebuah Bal. Penjual
(distributor) hanya menjelaskan kepada pembeli (pengecer) melalui kode dan
tulisan tentang model dan ukuran yang terdapat di kertas di luar packing sehingga
jarang pembeli yang merasa dirugikan.

Penjualannya hanya melalui unsur dugaan dan kebenarannya dapat di


kategorikan 80% sesuai dengan akad. Jika keadaan barang yang ada di packing
kurang baik atau tidak sesuai dengan keinginan barang tersebut tidak bisa
dikembalikan, hal tersebut menjadi resiko pembeli. Akan tetapi tidak sedikit
pengecer yang mengalami keuntungan banyak dari penjualan ini bahkan
satusatunya tonggak pemasukan ekonomi mereka untuk menghidupi keluarganya.
Dipandang dari sisi ekonomi sangat membantu kesejahteraan mereka. Sesuai
dengan kemaslahatannya maka penjualan semacam ini dapat menguntungkan
banyak pihak baik dari distributor dan pengecer karena masyarakat bisa
mendapatkan sepatu yang berkualitas namun harga murah sehingga penampilan
masyarakat kelas bawah tidak kalah bagusnya dengan masyarakat kelas atas
bahkan para pejabat sekalipun.

B. Sudut Pandang Maslahah Mursalah Dalam Jual Beli Jaket Hoodie di


Palangkaraya

Seiring perkembangan zaman permasalahan kehidupan manusia akan


semakin cepat berkembang dan semakin kompleks. Permasalahan itu harus
dihadapi umat Islam yang menuntut adanya jawaban penyelesaiannya dari segi
hukum. Untuk kasus tertentu kemungkinan akan kesulitan untuk menggunakan
metode qiyas dalam menetapkan hukumnya, karena tidak dapat ditemukan
padanannya dalam nash atau ijma’.

Dalam keadaan demikian, jika berhadapan dengan beberapa kasus


(masalah) yang secara rasional dapat dinilai baik buruknya untuk menetapkan
hukumnya dari nash. Dalam upaya untuk mencari solusi agar seluruh tindak
tanduk umat Islam dapat ditempatkan dalam tatanan hukum agama, itu dapat
dijadikan salah satu alternatif sebagai dasar dalam berijtihad.

Adapun yang menjadi tolak ukur untuk menentukan baik buruknya


(manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan
pokok pembinaan hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi
kehidupan manusia itu bertingkat-tingkat yakni maslahah daruriyyah, maslahah
hajiyyah, dan maslahah tahsiniyyah.3

Seluruh hukum yang ditetapkan Allah swt atas hamba-Nya dalam bentuk
suruhan atau larangan adalah mengandung maslahah. Tidak ada hukum syara’
yang sepi dari maslahah. Seluruh suruhan Allah bagi manusia untuk
melakukannya mengandung manfaat untuk dirinya sendiri baik secara langsung
atau tidak. Begitu pula dengan semua larangan Allah untuk dijauhi manusia. Di
balik larangan itu terkandung kemaslahatan, yaitu terhindar manusia dari
kebinasaan atau kerusakan.

Semua ulama sependapat tentang adanya kemaslahatan dalam hukum


Islam yang ditetapkan Allah. Namun mereka berbeda pendapat tentang “Apakah
karena untuk mewujudkan maslahah itu Allah menetapkan hukum syara’?” Atau
dengan kata lain “Apakah maslahat itu menndorong Allah menentukan hukum,
atau karena ada sebab lain?”.

Meskipun ada perbedaan pendapat dikalangan ulama menganai maslahah


tersebut, tetapi perbedaan pendapat itu tidak memberi pengaruh apa-apa secara
praktis dalam hukum.4

a. Sebagian ulama berpendapat bahwa Allah menetapkan hukum bukan karena


terdorong untuk mendatangkan kemaslahatan, tetapi semata-mata karena
iradat dan qudrat-Nya. Tidak suatupun yang mendesak, mendorong, memaksa
Allah menetapkan hukum. Ia berbuat menurut kehendak-Nya.
b. Sebagian ulama berpendapat bahwa tujuan Allah menetapkan hukum atas
hamba-Nya adalah untuk mendatangkan kemaslahatan kepada hamba-Nya.
Karena kasih sayang-Nya, maka Ia menginginkan hamba-Nya selalu berada
dalam kemaslahatan. Untuk maksud itulah Ia menetapkan hukum.

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, yang jelas bahwa dalam


setiap perbuatan yang mengandung kebaikan dalam pandangan manusia, maka

3
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 322
4
Ibid., 323
biasanya untuk perbuatan itu terdapat hukum syara’ dalam bentuk suruhan.
Sebaliknya, pada setiap perbuatan yang dirasakan manusia mengandung
kerusakan, maka biasanya untuk perbuatan itu ada dalam bentuk larangan.
Setiap hukum syara’ selalu sejalan dengan akal manusia, dan akal manusia
selalu sejalan dengan hukum syara’.

Maslahah mursalah (kesejahteraan umum) yakni yang dimutlakkkan,


menurut istilah ulama ushul fiqh yaitu, maslahah dimana syari’ tidak
mensyariatkan hukum untuk mewujudkan maslahah itu, juga tidak terdapat dalil
yang menunjukkan atas pengakuannya atau pembatalannya. Maslahah itu
disebut mutlak, karena tidak dibatasi dengan dalil pengakuan atau dalil
pembatalan.

Abdul Wahab Khallaf menjelaskan beberapa persyaratan dalam


memfungsingkan maslahah mursalah, yaitu:

1. Sesuatu yang dianggap maslahat itu haruslah berupa maslahat yang hakiki
yaitu yang benar-benar akan mendatangkan kemanfaatan atau menolak
kemudharatan, bukan berupa dugaan belaka dengan hanya
mempertimbangkan adanya kemanfaatan tanpa melihat kepada akibat negatif
yang ditimbulkannya.5
2. Sesuatu yang dianggap maslahat itu hendaklah berupa kepentingan umum,
bukan kepentingan pribadi. Maksudnya agar dapat ditetapkan bahwa dalam
pembentukan hukum suatu kejadian dapat mendatangkan keuntungan
kepada kebanyakan ummat manusia, atau dapat menolak mudharat mereka
dan bukan mendatangkan keuntungan kepada seseorang atau beberapa
orang saja di antara mereka.
3. Sesuatu yang dianggap maslahah itu tidak bertentangan dengan ketentuan
yang ada ketegasan dalam al-Qur‘an atau Sunnah Rasulullah atau
bertentangan dengan ijma’.6

Jual beli jaket “hoodie” dibolehkan sesuai dengan kebutuhannya. Seperti


dalam kaidah fiqih:
5
Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh, 152.
6
Ibid., 153
“Keadaan darurat, ukurannya ditentukan menurut kadar
kedaruratannya”.7

Atau kaidah fiqih:

“Setiap keringanan yang dibolehkan karena darurat atau karena al-hajah,


tidak boleh dilaksanakan sebelum terjadinya kondisi darurat atau al-hajah”.8

Segala usaha yang mengarah pada pemeliharaan jiwa itu adalah


perbuatan baik, karenanya disuruh Allah untuk melakukannya. Sebaliknya,
segala sesuatu yang dapat menghilangkan atau merusak jiwa adalah perbuatan
buruk yang dilarang oleh Allah.9

Dalam hal ini Allah melarang menjatuhkan diri dari kebinasaan atau
kerusakan, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah: 195 :






Artinya: Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam


kebinasaan. (QS. Al-Baqarah:195)10

Dalam kaidah fiqih disebutkan:

‫َما ا ُ ِب ْی َح ِللض َُّر ْو َر ِة یُقَ ِد ُِّر ِبقَد ِْرھَا‬

7
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), 73.
8
Ibid., 77
9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, 210.
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 31.
“Apa yang dibolehkan karena adanya ke-mad}orotan diukur menurut
kadar kemadorotan-nya”11

Atau kaidah:

“Menolak mafsadah didahulukan dari pada meraih maslahat”.12

Jadi Islam mewajibkan kepada umatnya untuk menjauhi kemudaratan,


boleh melanggar apabila dalam keadaan yang memaksa, seperti berhias berlebihan
yang dalam keadaan dhoruri untuk menyenangkan suami. Apabila jual beli yang
hanya untuk merusak pedagang eceran maka Islam mengharamkanya. Apabila
padanya ada unsur penyamaran karena telah menampakkan bukan pada hakikat
sebenarnya tanpa ada keperluan. Jika seperti ini jual beli jaket “Hoodie” tidak di
perbolehkan.

Agama Islam menentang kehidupan yang bersifat kesengsaraan dan


menyiksa diri, sebagaimana yang telah dipraktikan oleh sebagian dari pemeluk
agama lain dan aliran tertentu. Agama Islam pun menganjurkan bagi ummatnya
untuk selalu tampak indah dengan cara sederhana dan layak, yang tidak
berlebih-lebihan.

11
Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih, (Jakarta: Kalam Mulia, 2005), 37.
12
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, 29.
Kesimpulan

1. Dalam melakukan transaksi jual beli jaket “hoodie” di Pasar Belauran


Palangkaraya dilakukan oleh distributor dengan toko pengecer. Secara kasat
mata jual beli jaket “hoodie” ada syarat akad yang tidak terpenuhi seperti jual
beli barang yang belum diketahui sebelum akad. Adapun jual beli jaket
“hoodie” hanya melalui unsur dugaan dan kebenarannya, walaupun barang itu
bisa dapat dikategorikan 80% sesuai akad.
2. Dapat dilihat dalam konsep maslahah mursalah, apabila si pembeli membeli
beragam atau berbagai motif jaket “hoodie” dalam satu partai, lalu ia
mendapati sebagiannya cacat, maka dalam hal ini para ulama bersepakat
bahwa yang boleh dikembalikan adalah barang yang cacat saja dan apabila
setiap barang dari keseluruhan macam barang itu disebutkan harganya. Begitu
juga halnya, bilamana setiap macam barang itu saling berhubungan secara
elementer dalam pemanfaatannya atau kurang fungsional lantaran dipisahkan
maka si pembeli boleh mengembalikan seluruh macam barang itu atau boleh
tetap mengambilnya berikut biaya ganti rugi atas barang yang cacat tersebut.
Hal demikian disepakati pula oleh para ulama.
DAFTAR PUSTAKA

Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, Jilid 2. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2008.

Satria Efendi, M. Zein, Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media


Group, 2005.

A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih. Jakarta: Kencana Prenada Media Group,


2007.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya


Agung, 2006

Abdul Mujib, Kaidah-Kaidah Ilmu Fiqih. Jakarta: Kalam Mulia, 2005.

You might also like