Professional Documents
Culture Documents
net/publication/317644345
CITATIONS READS
0 3,771
1 author:
Myrtati D. Artaria
Airlangga University
59 PUBLICATIONS 38 CITATIONS
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Membangun Klinik Terpadu sebagai Upaya Penanggulangan HIV AIDS Pasca Penutupan Lokalisasi di Surabaya View project
All content following this page was uploaded by Myrtati D. Artaria on 18 June 2017.
Myrtati D. Artaria
myrtati.artaria@fisip.unair.ac.id
(Departemen Antropologi Fisip-Universitas Airlangga, Surabaya)
Abstract
The terms of sex, gender, and sexual orientation are often confused in the public view. Although maybe they
were related to one another, but it is not always like a mathematical formula that sex and gender are
aligned, that sexual orientation is always uniform in a particular direction. Human life is quite complex, in-
cluding sex, gender, and sexual orientation. It has become more interesting to study the biological cause of
variation of the sex, gender, and sexual orientation. Furthermore, there is the effeminacy and tomboy phe-
nomenon that is also found in certain people, which is not always related to sexual orientation. However,
among cultures around the world there are many different perception of gender, such as in Bugis there are
five kinds of gender--woman, calalai, bissu, calabai, and man. Based on the review it can be concluded that
sex, gender, and sexual orientation patterns also biological bases which causes them to be varied, and there
must be good reasons that the variation occur in nature.
Abstrak
Istilah jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual sering dicampuradukkan dalam pandangan masyara-
kat. Meskipun mungkin mereka ada yang terkait satu sama lain, tetapi tidak selalu seperti rumus mate-
matika bahwa jika jenis kelamin dan gender tidak sejalan, maka orientasi seksualnya selalu seragam ke
arah tertentu. Kehidupan manusia cukup kompleks, termasuk terkait tiga hal tersebut di atas. Menjadi
semakin menarik ketika dijumpai variasi pola keterkaitan ke tiga hal tersebut di atas. Ditambah lagi fe-
nomena adanya effeminacy dan tomboy yang juga dijumpai pada orang-orang tertentu, yang mana tidak
selalu terkait dengan orientasi seksual ke arah tertentu. Lebih menarik adalah menelaah apa sebab terja-
dinya Jenis kelamin, gender, dan orientasi seksual yang tidak selalu berjalan sesuai pola yang dikehenda-
ki. Namun demikian, perlu diketahui bahwa dalam berbagai masyarakat di dunia, didapati berbagai pene-
rimaan yang berbeda tentang adanya jenis kelamin dan masyarakat, seperti misalnya di Bugis ada lima
macam gender, yaitu perempuan, calalai, bissu, calabai, dan laki-laki. Lebih menarik lagi ketika menelaah
bagaimana secara biologis bagaimana penyebab terjadinya berbagai jenis kelamin yang lebih dari dua,
gender yang dimungkinkan lebih dari dua, maupun pola orientasi seksual yang tidak selalu seragam ber-
dasarkan jenis kelaminnya. Dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin, gender, serta pola orientasi seksual
mempunyai dasar biologis yang menyebabkan mereka menjadi bervariasi, dan alam mempunyai alasan
bahwa hal seperti ini dapat terjadi.
K
biologi laki-laki dan perempuan yang
onsep gender berbeda dari seks menentukan perbedaan peran mereka
atau jenis kelamin (laki-laki dan dalam reproduksi (Oakley, 2015).
perempuan). Jenis Kelamin ada- Istilah gender seringkali tumpang tindih
dengan seks (jenis kelamin), padahal dua Tidak semua masyarakat dapat me-
kata itu merujuk pada sesuatu yang nerima gender yang lebih dari dua, yaitu
berbeda. Gender mengacu pada laki-laki dan perempuan. Dalam berbagai
sekumpulan ciri-ciri khas yang dikaitkan masyarakat di dunia, didapati berbagai
dengan jenis kelamin seseorang dan penerimaan yang berbeda tentang adanya
diarahkan pada peran sosial atau jenis kelamin dan masyarakat. Di Indone-
identitasnya dalam masyarakat (Oakley, sia, sedikitnya ada satu budaya yang
2015). Jenis Kelamin dan Gender tidaklah mempunyai lebih dari dua gender, yaitu
sesederhana yang diperkirakan masyara- Bugis. Dalam budaya Bugis, terdapat lima
kat. Tidak seperti anggapan umum, bahwa macam gender, yaitu perempuan, calalai,
jenis kelamin itu tidak hanya ada dua (la- bissu, calabai, dan laki-laki (Davies, 2007).
ki-laki dan perempuan), demikian pula Terlepas dari pandangan budaya, bagai-
fenomena laki-laki yang dianggap berperi- mana dasar biologis dari fenomena ini
laku feminin, dan perempuan berperilaku adalah menarik untuk ditelaah.
“tomboy”, sering dianggap karena penga-
ruh lingkungan atau tontonan di TV, se-
Jenis Kelamin Manusia
hingga mereka menjadi seperti itu.
dengan perilaku individunya, apakah pe- sederhana, rupanya tidak banyak yang
rilaku tersebut feminin (untuk perem- menyadari. Mengapa dikatakan tidak se-
puan), dan maskulin (untuk laki-laki). Ser- derhana? Karena secara alami, populasi
ing, laki-laki yang berperilaku feminin manusia ternyata terdiri dari lebih ba-
menjadi bahan percakapan orang, demi- nyak dari pada dua macam jenis kelamin.
kian pula perempuan “tomboy” sering Secara statistik memang yang banyak
mendapatkan pandangan aneh. Demikian adalah jenis kelamin laki-laki dan perem-
pula, orientasi seksual sering menjadi puan. Masalahnya, manusia tidak sese-
pembicaraan di media akhir-akhir ini, derhana statistik. Ketika hanya satu saja
yang disingkat LGBTQ. Perlu diingat bah- ditemukan jenis yang lain di populasi, te-
wa jenis kelamin (yang terkait dengan tap harus diingat, bahwa dia juga manusia
seksual, dan perilaku seksual adalah tiga Jenis kelamin manusia terbentuk ke-
hal berbeda. tika minggu ke delapan di dalam kandun-
gan (Moore et al., 2015). “By default”, pa- yang mempunyai hanya satu kromosom,
da awal kehamilan semua janin adalah yaitu X. Maka, untuk menjadi perempuan,
serupa, yaitu perempuan (Moore et al., dia masih kekurangan satu kromosom X,
2015). Janin mulai membentuk menjadi dan karenanya individu tersebut tidak
jenis kelamin laki-laki pada minggu ke de- dapat disebut sebagai jenis kelamin pe-
lapan, jika ada unsur Y di dalam kromo- rempuan. Jika mempunyai kromosom XXY
som. Di ujung kromosom Y ini terdapat maka di dunia kesehatan disebut Klinefel-
yang bernama SRY, yang kemudian memi- ter. Di Inggris, terdapat satu dari 650 ke-
cu dilepasnya hormon laki-laki atau tes- lahiran yang mempunyai kromosom XXY,
tosteron (Pask, 2016). Sejak saat itu ter- dan di Amerika terdapat satu orang dari
jadi proses maskulinisasi dan defeminisa- 100 kelahiran yang mempunyai kromo-
si. Ada kalanya, proses ini tidak terjadi som XXY (Glinka, t.t.). Demikian pula XXX,
secara sempurna. Misalnya proses masku- frekuensinya diperkirakan satu orang dari
linisasi untuk membentuk alat reproduksi 1000 kelahiran (Liu et al., 2016 ).
laki-laki terjadi, tapi defeminisasi tidak Lalu, apakah XXY nampak normal
terjadi dengan baik. Kesalahan-kesalahan seperti layaknya dua jenis kelamin lain?
dalam alam seperti ini dapat terjadi di Menurut Aksglaede et al. (2013) mereka
berbagai level, dari level genetis, level berbeda, karena dari sisi kromosom me-
hormonal, sampai dengan level morfolo- mang berbeda dari dua jenis kelamin yang
gis. Karenanya, kelelakian atau keperem- lain. Pada umumnya, mereka lebih aktif
puanan makhluk hidup manusia kadang dari anak-anak kebanyakan, dan menga-
tidak sesederhana yang dibayangkan. lami keterlambatan kematangan mental.
Bagaimana penjelasannya suatu je- Secara fisik bisa jadi kelihatan normal di
nis kelamin adalah “bukan perempuan” bagian morfologi luar, dan tingkat
dan “bukan laki-laki”? Bagaimana tidak, kecerdasannya berada dalam kisaran
jika perempuan terdiri dari kromosom XX normal. Akan tetapi, karena masalah ter-
dan laki-laki mempunyai kromosom XY sebut di atas maka banyak yang menim-
(Moore et al., 2015), sementara ada indi- bulkan masalah di sekolah sehingga perlu
vidu yang mempunyai kromosom XXX dan pendampingan khusus. Individu yang
XXY(Lee et al., 2015). Tentu individu ter- mempunyai kromosom XXX biasanya
sebut tidak dapat disebut dengan laki-laki mengalami kelainan organ reproduksi se-
maupun perempuan. Ada pula individu hingga tidak mengalami pubertas seperti
manusia yang mempunyai perbedaan dari meskipun, jika dibandingkan dengan jum-
kebanyakan seperti diceritakan di atas lah yang lebih memilih heteroseksual ada-
umumnya cenderung dipinggirkan secara lah lebih banyak. Tentu, hal ini terkait
sosial. dengan kecenderung untuk memperta-
hankan keberlangsungan species, bahwa
ketertarikan pada lawan jenis seharusnya
Orientasi Seksual
lebih banyak daripada ketertarikan pada
Lalu, bagaimana dengan hal yang sesama jenis. Dengan kata lain, jika terjadi
akhir-akhir ini dibicarakan secara luas, ketertarikan sesama jenis, secara statistik
misalnya tentang perbincangan mengenai jumlahnya dapat dikatakan sebagai keti-
LGBTQ? Apakah hal yang kita bahas di daknormalan, karena normal secara sta-
atas terkait dengan orientasi seksual? tistik adalah rata-rata dalam populasi.
Kelainan genetis semacam yang dibahas Jumlah yang bukan merupakan rata-rata
di atas tidak sama dengan populasi ini apa sebabnya? Di dunia bina-
homoseksualitas. Orientasi seksual atau tang orientasi seksual pada sesama jenis
ketertarikan terhadap lawan atau sesama tentu bukan disebabkan oleh kesalahan
jenis mempunyai penyebab yang berbeda. pergaulan. Dalam ilmu biologi, hal sema-
Apakah selalu lingkungan penyebabnya? cam ini merupakan varian yang dapat ter-
Hal ini ternyata juga tidak sesederhana jadi.
itu. Dalam bukunya Sexual Behavior in
Apakah benar orientasi seksual ter- the Human Male, Alfred Kinsey (1948)
hadap sesama jenis selalu disebabkan mengejutkan umat manusia dengan me-
oleh kesalahan lingkungan dan kesalahan nulis bahwa 10 persen dari laki-laki ada-
pergaulan? Telah diketahui bahwa terda- lah homoseksual. Tahun 2000, ada sema-
pat kecenderungan pada makhluk hidup cam Task Force di AS, yang mengeluarkan
yang bukan manusia adanya ketertarikan angka bahwa 2-3 persen laki-laki di AS
pada sesama jenis juga dijumpai. Apakah dan 2 persen perempuan di AS adalah
disebabkan karena kesalahan pergaulan? homoseksual (Cahill, & Makadon, 2014).
Beberapa bukti dari penelitianmenjumpai Lalu, apakah selalu kesalahan pergaulan
bahwa sekitar 1500 jenis species yang yang menyebabkan terjadinya hal ini,
pernah diteliti mempunyai ketertarikan ataukah mirip dengan populasi di dunia
pada sesama jenis (Driscoll, 2016), binatang, bahwa hal seperti ini secara
alami dapat terjadi? Seperti diketahui gian dari otak yang bernama Hipotalamus,
bahwa manusia menurut Linneaus (Hux- dan menemukan bahwa di sana sel yang
ley, 1875) termasuk ke dalam golongan bernama INAH3 pada laki-laki homosek-
“Animal Kingdom”, bukan termasuk ke sual mengalami perbedaan ukuran (lebih
dalam kerajaan tumbuh-tumbuhan. kecil) dari pada laki-laki yang heterosek-
sual. Pada laki-laki homoseksual, ukuran-
Memang dalam dunia manusia ada yang
nya lebih menyerupai INAH3 pada pe-
bernama “peer group”. Kelompok perte-
rempuan. Bahkan sebelumnya, telah di-
manan dapat mempengaruhi individu di
publikasi oleh Mc Cormick dan Witelson
dalam kelompok tersebut. Apalagi, jika itu
(1991) di jurnal Psichoneuroendocrinolo-
merupakan kelompok ABG (anak baru
gy, bahwa hormon yang menyelimuti ja-
gede) yang masih mencari identitas. Ka-
nin selama dalam kandungan dapat mem-
renanya sering dikatakan agar manusia
pengaruhi perilaki seksual manusia. Seca-
yang telah dewasa pun, seyogyanya pan-
ra prenatal (ketika janin masih dalam
dai memilih teman agar mendapat penga-
kandungan) dapat terjadi bahwa si janin
ruh yang baik. Namun demikian, terkait
terekspos terhadap hormon misalnya ka-
dengan LGBT, kembali lagi pertanyaan-
rena meminum obat-obatan tertentu
nya, apakah selalu lingkungan yang men-
(contohnya congenital adrenal hyperpla-
jadi penyebabnya?
sia (CAH) atau diethylstilbestrol (DES)).
Penelitian pernah dilakukan oleh
Seperti dikatakan oleh Ehrhardt (2013)
sekelompok lima peneliti yang melakukan
bahwa “fetal androgens” atau lingkungan
studi tentang penyebab orientasi seksual
janin yang mengandung hormon laki-laki
terhadap sesama jenis pada laki-laki. Te-
sewaktu bayi di dalam kandungan dapat
lah ditemukan yang namanya marker
mempengaruhi diferensiasi genitalia eks-
Xq28 pada area subtelomeric di kromo-
ternal pada mammalia.
som X yang merupakan penentu orientasi
Pada perempuan, suatu kondisi yang
seksual pada laki-laki (Sanders et al.,
dapat terjadi adalah yang disebut dengan
2015). Jadi pada laki-laki, karena mempu-
Adrenogenital Syndrome (AGS). Penyebab
nyai satu kromosom X, maka hal ini dapat
AGS adalah kelainan produksi hormon
diturunkan dari garis keturunan ibu. Le-
pada bayi perempuan, di mana kelenjar
bih lanjut tulisan Le Vay dan Hamer
adrenalin tidak cukup memproduksi kor-
(1994) yang dimuat di Scientific American
tisol (Vukina et al., 2015). Kelenjar pitui-
melaporkan bahwa mereka meneliti ba-
tari mengetahui hal ini dan kemudian Penelitian lain memberikan hasil
mensekresi banyak hormon corticotropin bahwa apa yang terjadi ketika individu
agar kortisol meningkat. Hormon ini ke- masih di dalam perut, dapat menyebab-
mudian menyebabkan kelenjar adrenalin kan kelainan pada individu setelah dia
memproduksi terlalu banyak hormon in- lahir. Diduga, eksposur terhadap bahan
termediari, sehingga ini menyebabkan kimia untuk melembutkan plastik, ber-
terjadinya virilisasi. Bayi perempuan da- nama phthalates dapat menyebabkan be-
lam kandungan yang mempunyai AGS berapa hal, seperti dimuat di International
akan mempunyai eksternal genitalia, atau Journal of Andrology (Moore et al., 2001).
alat kelamin luar, yang menyerupai alat Hal ini akan menyebabkan produksi tes-
kelamin luar laki-laki, dan juga berpenga- tosteron yang rendah, dan kemudian me-
ruh pada perilaku; yaitu aktifitas yang nyebabkan perkembangan alat reproduk-
lebih kelelakian, sikap yang agresif, peran si yang tidak normal, dan juga diduga da-
gender yang lebih ke arah lelaki, penam- pat mempengaruhi perilaku bermain ke-
pilan yang kelelakian, dan ketertarikan tika masih anak-anak di mana dia akan
pada perempuan (Hines et al., 2002). lebih menyukai permainan anak perem-
puan. Akan tetapi, perlu diteliti lebih lan-
jut tentang hal itu, dengan sampel lebih
Maskulinitas dan Femininitas
banyak. Yang pasti, effeminacy tidak sela-
Ada suatu istilah tentang tindak- lu terkait dengan orientasi seksual . Laki-
tanduk laki-laki yang dikenal dengan ef- laki yang mempunyai perilaku tidak terla-
feminacy . Effeminacy adalah suatu istilah lu maskulin banyak dijumpai, dan seba-
yang merujuk pada sifat feminin, perilaku, gian besar mempunyai orientasi seksual
atau peran gender pada laki-laki yang di- terhadap lawan jenisnya.
anggap “ke-perempuan-perempuan-an” Karenanya dapat disimpulkan bah-
(Sinfield, 1994). Di usia kehamilan 8 wa pada masyarakat manusia, jenis kela-
minggu terjadi polarisasi oleh kromosom min dan gender tidaklah sesederhana
Y, yang dimiliki oleh individu laki-laki. Ek- yang diperkirakan. Khususnya tentang
spresi gen ini bisa terjadi ekstrem, seten- gender dan orientasi seksual, ternyata ti-
gah, atau juga seperempat. Manusia itu dak melulu karena salah pergaulan. Ada
sendiri tidak bisa memilih. Jika hanya se- faktor-faktor lain yang dapat menjadi pe-
perempat misalnya, maka dia akan men- nyebab seseorang berbeda dari orang ke-
jadi lebih feminin dari pada laki-laki lain.
LeVay, S., & Hamer, D. H. (1994). Evidence Russell, D. W., & Wilson, J. D. (2014). Ste-
for a biological influence in male roid 5α-Reductase 2 Deficiency.
homosexuality. Scientific Ameri- In Genetic Steroid Disorders (pp.
can, 270(5), 19. 199-214). Academic Press San Di-
ego.
Liu, K., Kurien, B. T., Zimmerman, S. L.,
Kaufman, K. M., Taft, D. H., Kottyan, Sanders, A. R., Martin, E. R., Beecham, G.
L. C., ... & Chodosh, J. (2016). X W., Guo, S., Dawood, K., Rieger, G., ...
Chromosome Dose and Sex Bias in & Duan, J. (2015). Genome-wide
Autoimmune Diseases: Increased scan demonstrates significant lin-
Prevalence of 47, XXX in Systemic kage for male sexual orienta-
Lupus Erythematosus and Sjögren's tion. Psychological medicine, 45(07),
Syndrome. Arthritis & Rheumatolo- 1379-1388.
gy, 68(5), 1290-1300.
Sinfield, A. (1994). The Wilde Century: ef-
Moore, K. L., Persaud, T. V. N., & Torchia, feminacy, Oscar Wilde, and the queer
M. G. (2015). The developing human: movement. Cassell.
clinically oriented embryology. El-
sevier Health Sciences. Vikawati, N. E. (2015). Analisis Polimor-
fisme V89L Gen SRD5A2 dan Mikrose-
Moore, R. W., Rudy, T. A., Lin, T. M., Ko, K., lesi Gen AZF dan SRY pada Pasien Hi-
& Peterson, R. E. (2001). Abnormali- pospadia Isolated (Doctoral disserta-
ties of sexual development in male tion, Master Program of Biomedical
rats with in utero and lactational Science).
exposure to the antiandrogenic plas-
ticizer Di (2-ethylhexyl) phtha- Vukina, J., Chism, D. D., Sharpless, J. L.,
late. Environmental Health Perspec- Raynor, M. C., Milowsky, M. I., &
tives, 109(3), 229. Funkhouser, W. K. (2015). Metach-
ronous bilateral testicular Leydig-
Oakley, A. (2015). Sex, gender and society. like tumors leading to the diagnosis
Ashgate Publishing, Ltd.. of congenital adrenal hyperplasia
(adrenogenital syndrome). Case re-
Parker, D. A. (2014). Sex, cells, and same- ports in pathology, 2015.
sex desire: The biology of sexual pre-
ference. Routledge. Yürekli, B. S., Kutbay, N. Ö., Karaca, E., Er-
dogan, M., Çetinkalp, S., Kitis, Ö., ... &
Pask, A. (2016). The Reproductive System. Saygili, L. F. (2015). Olfactory Sulcus
In Non-coding RNA and the Repro- Hypoplasia Images in a Case of
ductive System (pp. 1-12). Springer Kallmann Syndrome. Journal of Clin-
Netherlands. ical Research in Pediatric Endocri-
nology, 7(2).
Rodrigues, A. D. S., Machado, A. Z., Nishi,
M. Y., Cunha, F. S., Silva, R. B., Costa,
E. M., ... & Domenice, S. (2015). SAT-
087: Heterozygous AR Gene Muta-
tions Identified in Patients with Am-
biguous Genitalia.