You are on page 1of 7

Identifikasi molekuler Eurytrema

Jurnal Bioteknologi Pertanian, sp. pada


Vol. 7, sapi di Indonesia
No. 1, 2002, pp. 25-31 25

Identifikasi molekuler Eurytrema sp. pada sapi di Indonesia


Molecular identification of Eurytrema sp. of cattle in Indonesia

Iskandar Mirza1 dan Kurniasih2


1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Aceh, Jalan T.P. Nyak Makam Nomor 27, Banda Aceh 23125, Indonesia
2
Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia

ABSTRACT dielektroforesis pada gel agarose dan hasilnya divisualisasikan


pada UV transiluminator. Hasil amplifikasi PCR pada daerah
Identification of Eurytrema sp. based on morphological 5,8S dan ITS2 terhadap 15 sampel cacing pada gel agarose 1%
characters is difficult due to the evolution process of the menghasilkan pita yang mengandung + 700 pb dan 1500 pb.
characters. A study was conducted to identify the Eurytrema Enzim restriksi RsaI dapat memotong semua sampel dengan
sp. using molecular technique. The specimens of Eurytrema jumlah pita yang dihasilkan bervariasi dari 2 sampai 3 pita.
sp. were obtained from the pancreatic duct of cattle DNA genom tersebut tidak mempunyai sisi pemotongan
slaughtered in Makassar (M), Yogyakarta (J), and Aceh (A). terhadap enzim restriksi Bam-HI, EcoRI, dan HindIII. Sampel
Six flukes of each cattle were fixated in absolute ethanol for J53, A21, dan A25 mempunyai urutan nukleotida yang sama,
DNA extraction. DNA were extracted using the phenol/ dengan M1 berbeda pada 3 tempat, M3 pada 1 tempat, dan J61
chloroform and isoamylalcohol methods and amplified using berbeda pada 7 tempat dari 350 nukleotida yang dianalisis.
polymerase chain reaction (PCR) in the 5,8S region. Berdasarkan urutan tersebut diduga bahwa sampel M3, J53,
Endonuclease restriction was conducted using BamHI, EcoRI, A21, dan A25 merupakan strain yang sama, sedangkan M1 dan
RsaI, and HindIII and the products were electrophoresed in J61 merupakan strain yang berbeda dari spesies Eurytrema.
agarose gel and visualized on UV transiluminator. Separation [Kata kunci: Eurytrema sp., sapi, DNA, restriksi endo-
of 5,8S and ITS2 regions from 15 samples in 1% agarose gel nuklease, PCR]
showed that there were two bands which had approximately
700 bp and 1500 bp. Results of the digestion using RsaI showed
that restriction occurred in all samples, whereas the number
of bands varied from two to three bands. The rDNA had no
restriction sites to BamHI, EcoRI, and HindIII enzymes. No PENDAHULUAN
variation were found in nucleotide sequence between sample
J53, A21, and A25, where M1 had difference at three Eurytrema pancreaticum termasuk dalam kelas Tre-
nucleotide sites, M3 at one nucleotide site, and J61 at seven
matoda, subkelas Digenea, famili Dicrocoeliidae,
nucleotide sites from 350 nucleotides compared. From the
DNA sequence it could be assumed that M3, J53, A21, and A25 genus Eurytrema. Genus ini terdiri atas tujuh spesies,
were the same strain, and M1 and J61 were other strains of the yaitu E. pancreaticum, E. coelomaticum, E. parvum,
Eurytrema sp. E. rebelle, E. dajii, E. tonkinense, dan E. satoi
[Keywords: Eurytrema sp., cattle, DNA, nucleotide sequence, (Yamaguti, 1958). Cacing ini ditemukan dalam pankreas
PCR] sapi, kerbau air, domba, kambing, marmut, babi, unta,
monyet, dan manusia (Tang, 1950). Cacing menyebab-
kan penyakit yang disebut zoonosis, yang diketahui
ABSTRAK juga dapat menyerang manusia (Tang, 1950; Ishii et al.,
1983).
Identifikasi cacing Eurytrema sp. berdasarkan sifat-sifat Perbedaan antara satu spesies dengan spesies
morfologis sukar dilakukan karena adanya proses evolusi dari
lainnya pada cacing ini didasarkan atas ciri-ciri
sifat-sifat tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
strain cacing Eurytrema sp. secara molekuler. Cacing dewasa morfologi seperti ukuran tubuh, telur, serta per-
diperoleh dari sapi yang terinfeksi dari rumah potong hewan bandingan ukuran batil isap perut dan batil isap mulut
Makassar (M), Yogyakarta (J), dan Aceh (A). Enam individu (Neveu-Lemaire, 1936). Meskipun demikian, identifi-
cacing dari tiap contoh sapi difiksasi dalam larutan etanol kasi hubungan antarspesies yang didasarkan pada
absolut untuk ekstraksi DNA. DNA diekstraksi dengan metode
ciri-ciri morfologi sulit dilakukan (Adlard, 1993) dan
fenol/khloroform/isoamil alkohol dan diamplifikasi meng-
gunakan polymerase chain reaction (PCR) pada daerah 5,8S.
tidak dapat diaplikasikan secara tetap, karena adanya
Restriksi endonuklease dilakukan dengan menggunakan enzim proses evolusi dari ciri-ciri morfologi dan siklus hidup
restriksi BamHI, EcoRI, RsaI, dan HindIII. Hasil pemotongan cacing. Oleh karena itu, identifikasi dengan urutan
26 Iskandar Mirza dan Kurniasih

nukleotida sering dipertimbangkan sebagai sumber Makassar berasal dari sapi Bali, Yogyakarta dari cross
utama dari informasi filogenetik (Barker et al., 1993). breed, dan Aceh sapi lokal (sapi Aceh).
Ribosomal DNA sering digunakan untuk penelitian
genetik, dan bagian internal transcribed spacers
Ekstraksi DNA
(ITS1 dan ITS2) yang terletak pada daerah 18S, 5,8S,
dan 28S telah digunakan untuk mengidentifikasi Enam individu cacing yang digunakan untuk ekstraksi
cacing pada tingkat spesies (Adlard, 1993). Variasi DNA diperoleh dari sampel pankreas sapi yang positif.
molekuler ini selanjutnya digunakan untuk tujuan Cacing dibilas dengan akuades, difiksasi dalam la-
taksonomi dan diagnostik (Blair, 1993). rutan etanol absolut, dan selanjutnya disimpan pada
Penelitian tentang molekuler Eurytrema sp. belum suhu 4oC. Ekstraksi DNA, elektroforesis, amplifikasi
pernah dilakukan di Indonesia, kecuali penelitian DNA, dan restriksi endonuklease dilaksanakan di
tentang morfologi oleh Handoko (1976) serta pre- Laboratorium Biokimia Pusat Antar Universitas (PAU)
valensi dan patologi pankreas oleh Wiroreno et al. Universitas Gadjah Mada. Ekstraksi DNA genom
(1987), Gatenby et al. (1992), Graydon et al. (1992), dilakukan dengan metode fenol khloroform/isoamil
Wilson dan Beriajaya (1992), Hill et al. (1994), dan alkohol yang sudah dimodifikasi oleh Kurniasih
Dorny et al. (1996). Dengan demikian, sampai saat ini (komunikasi pribadi).
belum diketahui gambaran molekuler dari Eurytrema Ekstraksi DNA genom dilakukan terhadap 15
sp. yang ada di Indonesia. Taksonomi cacing pan- individu cacing dewasa yang berasal dari Makassar,
kreas Eurytrema sp. sampai saat ini masih tetap Yogyakarta, dan Aceh. Cacing dibilas dengan etanol
kontroversial (Moriyama, 1982). dan dikeringkan dengan menggunakan kertas tisu,
Ada dua cara yang umum digunakan untuk pe- kemudian dimasukkan ke dalam mortar dingin steril
ngurutan molekul dioksiribonukleat, yaitu metode dan digerus bersama dengan nitrogen cair hingga
kimia oleh Maxam dan Gilbert dan metode enzimatik halus. Hasil gerusan dipindahkan ke dalam eppendorf
oleh Sanger dan Coulson. Kedua metode ini mem- 1,5 ml, ditambahkan 0,5 ml ekstrak bufer dan 0,05 ml
punyai prinsip yang berbeda, tetapi keduanya SDS 10% dan 10 ml proteinase K 1%, dan digoyang
menghasilkan oligonukleotida berlabel radioaktif dengan hati-hati. Sediaan diinkubasi dalam waterbath
yang dimulai dari titik tertentu dan berakhir di pada suhu 56oC selama 5 jam hingga 1 malam sambil
sembarang titik pada residu atau kombinasi residu dihomogenkan secara periodik dengan cara memukul-
tertentu. Metode Sanger memerlukan target DNA mukul bagian dasar eppendorf secara lembut dengan
untai tunggal, primer oligonukleotida spesifik, dan menggunakan salah satu jari.
preparasi enzim DNA polimerase. Namun, dengan Larutan selanjutnya dipisahkan dengan sentrifugasi
perkembangan reaksi pengurutan maka dikenal selama 5 menit pada 3000 rpm. Lapisan paling atas
metode dideoksi yang berasal dari pengembangan dipindahkan ke eppendorf baru, ditambahkan 0,5
metode Sanger. Hasilnya dapat dilihat dalam bentuk volume fenol khloroform/isoamil alkohol dan dihomo-
urutan nukleotida maupun grafik alogram (Ausubel et genkan secara periodik dengan cara seperti tersebut di
al., 1995). atas. Sesudah dipisahkan dengan sentrifugasi selama
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran 5 menit pada 10.000 rpm, lapisan bagian atas di-
molekuler cacing Eurytrema sp. pada sapi di In- pindahkan ke eppendorf baru, ditambahkan 0,5
donesia. Data yang diperoleh diharapkan dapat volume khloroform/isoamil alkohol, dan dihomogen-
digunakan sebagai acuan dan sumber informasi bagi kan. Selanjutnya, larutan disentrifugasi selama 5 menit
penelitian selanjutnya. pada 10.000 rpm, lapisan atas dipindahkan ke
eppendorf baru, ditambahkan sodium khlorida 0,2 M,
dan 2 volume awal larutan etanol absolut dingin,
digoyang secara perlahan-lahan, dan dipresipitasi
BAHAN DAN METODE
selama 1 jam pada -20oC. Setelah disentrifugasi selama
5 menit pada 10.000 rpm, cairan bagian atas dibuang
Bahan cacing
dan pelet yang menempel pada dasar eppendorf
Penelitian menggunakan cacing Eurytrema sp. dewasa dicuci dengan larutan etanol 70% dingin dua kali, dan
yang diperoleh dari 13 ekor sapi yang dipotong di dibiarkan sampai mengering. Pelet DNA diresuspensi
rumah potong hewan (RPH) Makassar (kode M), RPH dalam 30 µl bufer TE, diinkubasi dalam waterbath
Ngampilan, Yogyakarta (kode J), dan RPH Keudah, selama 1 jam pada 60oC sambil dihomogenkan secara
Nangroe Aceh Darussalam (kode A). Sampel dari periodik, selanjutnya disimpan pada suhu -20oC.
Identifikasi molekuler Eurytrema sp. pada sapi di Indonesia 27

Gel elektroforesis Pengurutan DNA


Hasil ekstraksi DNA genom diperiksa dengan elektro- Pengurutan DNA dilakukan di Laboratorium Eijkman
foresis menggunakan gel agarose 1% yang telah Institute for Molecular Biology, Jakarta menggunakan
diberi etidium bromida 10 mg/ml sebanyak 10 µl. DNA Sequencer ABI Prism 377. Analisis dilakukan
Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan bufer terhadap dua sampel dari masing-masing daerah
TAE 1x (40 mM Tris-asetat, 1 mM EDTA pH 8,0). dengan kombinasi forward primer 3SC yang telah
Sebanyak 3 µl hasil ekstraksi dan 2 µl loading dye (6x) diberi label dengan empat termination (A, C, G, T) dan
ditempatkan pada parafilm dan dihomogenkan de- Taq DNA polymerase untuk menghasilkan urutan dari
ngan cara memipet secara berulang sebanyak 2-3 kali satu DNA templat. Pengurutan dilaksanakan me-
dan selanjutnya dipipet ke dalam sumuran gel. Elek- ngikuti metode Sanger, menggunakan terminator dye
troforesis dilakukan pada beda potensial 100 volt berupa fluorescent dyes rhodamin (PRISM reaction
selama + 40 menit. Pengamatan pita DNA divisuali- dyedeoxy terminator cycle sequencing kit). Hasil
sasikan pada UV transiluminator, dan hasilnya pemeriksaan molekuler dianalisis secara deskriptif.
didokumentasi dengan film polaroid 667. Jika hasilnya
positif, selanjutnya DNA genom diamplifikasi dengan
menggunakan PCR.
HASIL DAN PEMBAHASAN

Amplifikasi DNA DNA dari semua sampel cacing berhasil diekstraksi.


Hasil ekstraksi DNA ribosom diamplifikasi dengan Hasil pengujian kualitatif terhadap hasil ekstraksi
menggunakan PCR pada daerah 5,8S dan ITS2. Reaksi DNA tersebut dengan gel agarose 1% dan pewarnaan
polimerisasi ini menggunakan PCR-kit Ready-To- etidium bromida memperlihatkan pita yang jelas.
Go TM dan ditambahkan 100 µg DNA genom, reverse Amplifikasi pada daerah 5,8S dan ITS2 terhadap 15
primer JB9 neu (5'-GCT GCA TTC ACA AAC AAC sampel cacing pada gel agarose 1% memperoleh pita
CCG-3') dan forward primers 3SC (5'-CGG TGG ATC yang mengandung + 700 pb dan 1500 pb (Gambar 1).
ACT CGG CTC G-3') yang telah dianalisis dan Pita yang hanya mengandung 700 pb dijumpai pada
ditentukan berdasarkan Gene Bank oleh Kurniasih sampel M1, M1, M2, M2, M3, J51, J54, J61, J63, A15,
(komunikasi pribadi) masing-masing 1 µl (dengan A22, A25, A27, M1, dan J51, sedangkan pita yang
konsentrasi masing-masing 20 pm/µl), serta 20 µl dH2O mengandung 700 pb dan 1500 pb terdapat pada sampel
steril. Sebelum dimasukkan ke dalam alat pengatur
suhu thermocycler, ke dalam tabung ditambahkan
minyak mineral 25 µl untuk mencegah penguapan
selama proses polimerisasi.
M1 M1 M2 M2 M3 P J 5 1 J 5 3 J 5 4 J 6 1 J 6 3 A 1 5 A 2 1 A 2 2 A 2 5 A27 M1 J 5 1

Restriksi endonuklease
Restriksi endonuklease dilakukan dengan meng-
gunakan enzim restriksi BamHI, EcoRI, RsaI, dan
HindIII. Untuk enzim RsaI, reaksi dilakukan pada
volume reaksi 8 ml yang terdiri atas 2 ml produk PCR,
4 ml enzim, dan 2 ml bufer, sedangkan untuk enzim
BamHI, EcoRI, dan HindIII volume reaksi adalah 10 ml
yang terdiri atas 2 ml produk PCR, 4 ml enzim, dan 4 ml
bufer. Selanjutnya, larutan diinkubasi selama 5 jam
pada 37oC. Semua hasil pemotongan dielektroforesis
pada gel agarose 0,7% (BamHI, EcoRI, HindIII) dan
1,4% (RsaI) dalam bufer TAE 1x. Elektroforesis Gambar 1. Hasil amplifikasi DNA genom pada gel agarose
1% dengan pewarnaan etidium bromida; M1 pada lajur 1, 2,
dilakukan pada beda potensial 50 volt selama + 2 jam.
dan 17 serta M2 pada lajur 3 dan 4 berasal dari sampel yang
Untuk mengetahui proses pemotongan digunakan sama. P adalah penanda.
penanda GeneRuler TM DNA Ladder Mix. Hasil Fig. 1. Result of genomic DNA amplification in 1% gel aga-
elektroforesis divisualisasikan pada UV transilumi- rose with ethidium bromide; M1 at columns 1, 2, and 17 and
nator dan didokumentasi dengan film polaroid 667. M2 at columns 3 and 4 is the same sample. P is a marker.
28 Iskandar Mirza dan Kurniasih

J53 dan A21. Hasil pemecahan dengan enzim restriksi menghasilkan tiga pita DNA yang mengandung
endonuklease RsaI disajikan pada Gambar 2 dan masing-masing 100, 300, dan 600 pb. Sampel A15 juga
secara skematis pada Gambar 3. menghasilkan tiga pita DNA, namun ukuran DNA
Hasil pengujian menunjukkan bahwa pemotongan yang teramplifikasi berbeda dengan sampel lainnya
hanya terjadi dengan enzim restriksi RsaI. Pemotong- karena salah satu pitanya mengandung 500 pb. Dua
an terjadi pada semua sampel, dengan jumlah pita pita lainnya masing-masing mengandung 100 dan 300
yang dihasilkan bervariasi dari dua sampai tiga pita. pb.
Sampel M1 pada lajur 2, M2, dan J54 hanya meng- Pemotongan yang menghasilkan dua sampai tiga
hasilkan dua pita DNA yang mengandung masing- pita DNA menunjukkan bahwa DNA genom tersebut
masing 100 dan 300 pb. Sampel M1 pada lajur 3, M3, mempunyai lebih dari satu sisi pemotongan untuk
M3, J51, J53, J61, J63, A7, A22, A25, dan A27 enzim RsaI. Tidak terjadinya pemotongan dengan tiga

M1 M1 M2 M3 M3 P J51 J53 J54 J61 J63 A7 A15 A22 A25 A27

Gambar 2. Hasil pemecahan dengan enzim restriksi RsaI pada gel agarose 1,4% dengan pewarnaan etidium bromida. M1 pada
lajur 1 dan 2 serta M3 pada lajur 4 dan 5 berasal dari sampel yang sama. P adalah penanda.
Fig. 2. Result of digestion using RsaI enzyme restriction at 1.4% gel agarose with ethidium bromide. M1 at columns 1 and 2 and
M3 at columns 4 and 5 originated from the same sample. P is a marker.

bp P M1 M1 M2 M3 M3 J51 J53 J54 J61 J63 A7 A15 A22 A25 A27

10000
8000
6000
5000
4000
3500
3000
2500
2000
1500
1200
1031
900
800
700
600
500
400
300
200
100

Gambar 3. Skematis hasil digesti dengan enzim restriksi RsaI pada gel agarose 1,4% dengan pewarnaan etidium bromida. M1 pada
lajur 1 dan 2 serta M3 pada lajur 4 dan 5 berasal dari sampel yang sama. P adalah penanda.
Fig. 3. Schematic result of digestion using RsaI enzyme restriction at 1.4% gel agarose with ethidium bromide. M1 at columns
1 and 2 and M3 at columns 4 and 5 originated from the same sample. P is a marker.
Identifikasi molekuler Eurytrema sp. pada sapi di Indonesia 29

enzim restriksi lainnya ditunjukkan oleh ukuran pita dengan sampel M3, J53, J61, dan A21, dan berbeda
yang sama dengan ukuran pita produk PCR. Dengan satu tempat dengan sampel M1 pada nukleotida ke-13.
demikian dapat dikatakan bahwa DNA genom tersebut Secara keseluruhan, urutan nukleotida sampel M1 ber-
tidak mempunyai sisi pemotongan terhadap enzim beda pada tiga tempat, sampel M3 pada satu tempat,
restriksi BamHI, EcoRI, dan HindIII. sampel J61 pada tujuh tempat, dan J53 tidak berbeda
Blair dan McManus (1989) dalam Adlard (1993) dengan A21 dari 350 nukleotida yang dianalisis.
menggunakan enzim restriksi pada rDNA untuk Adlard (1993) melaporkan bahwa empat isolat F.
membandingkan spesies Fasciola. Adlard (1993) hepatica dari negara yang berbeda mempunyai variasi
menemukan sisi pemotongan untuk keterangan spe- urutan nukleotida pada daerah ITS2 yang sangat kecil,
sies Fasciola dengan menggunakan enzim restriksi, yaitu hanya berbeda 1 basa (pada isolat Meksiko) dari
tetapi sisi pemotongan tersebut tidak ditemukan pada 263 nukleotida yang dianalisis. Selanjutnya dilapor-
daerah ITS2. Blair dan McManus (1989) dalam Blair kan bahwa tidak ada variasi urutan nukleotida di
(1993) melaporkan bahwa pemotongan dengan enzim antara dua isolat F. gigantica (isolat Malaysia dan
restriksi tidak menunjukkan variasi intraspesifik pada Indonesia) dari 213 nukleotida yang dibandingkan;
rRNA F. hepatica (11 isolat dari enam negara yang demikian juga dari dua spesies genus digenea
berbeda) dan F. gigantica (dua isolat dari negara yang Dolicosaccus (Luton et al. dalam Adlard, 1993).
berbeda). Namun, terdapat perbedaan sisi restriksi Adlard (1993) melaporkan adanya perbedaan urutan
dari F. hepatica, Fascioloides magna, dan Fasciola basa antara DNA F. hepatica dan F. gigantica pada
sp. (isolat Jepang). enam tempat dari 231 nukleotida yang dianalisis.
Laporan tersebut menunjukkan bahwa tidak ada Selanjutnya antara F. hepatica dan Fascioloides
variasi sisi restriksi pada spesies yang sama meskipun magna urutannya berbeda pada 38 tempat dari 289
isolat berasal dari negara yang berbeda, sebaliknya nukleotida yang dibandingkan, antara F. gigantica
variasi terjadi pada spesies yang berbeda. Pada dan F. magna berbeda pada 34 tempat, antara Fasciola
penelitian ini diduga ada tiga sisi restriksi yang sp. (isolat Jepang) dan F. hepatica berbeda pada 7
berbeda dari 14 sampel yang dianalisis. Sisi restriksi tempat dari 214 nukleotida yang dibandingkan.
sampel M1 (lajur 1) sama dengan M2 dan J54, tetapi Dari laporan tersebut dapat diketahui bahwa urutan
berbeda dengan sampel lainnya. Sisi restriksi sampel nukleotida dari spesies yang sama tidak menunjukkan
M1 (lajur 2) sama dengan M3, J51, J53, J61, J63, A7, perbedaan, tetapi spesies yang berbeda memiliki
A22, A25, dan A27, tetapi berbeda dengan sampel urutan yang berbeda pula. Berdasarkan hasil
lainnya. Sisi restriksi sampel A15 berbeda dengan penelitian ini, terdapat tiga strain Eurytrema dari
semua sampel lainnya. Berdasarkan hasil tersebut spesies yang sama. Urutan nukleotida M3 memiliki
diduga bahwa dari 14 sampel yang dianalisis terdapat variasi sangat kecil, yaitu berbeda pada satu tempat.
tiga strain yang berbeda dari spesies yang sama. Dengan demikian M3 dianggap sama dengan J53, A21
Hasil pengurutan terhadap enam sampel rDNA yang dan A25, sedangkan M1 dan J61 merupakan dua
mewakili tiap-tiap daerah dengan menggunakan DNA strain yang berbeda dengan lainnya. Dengan demikian
Sequencer ABI Prism 377 disajikan pada Gambar 4. dapat disimpulkan bahwa masing-masing strain
Urutan nukleotida yang sama dijumpai pada sampel Eurytrema berbeda urutan nukleotidanya.
J53 dan A21. Perbedaan urutan dari nukleotida Variasi intraspesifik pada E. pancreaticum dan E.
pertama sampai dengan nukleotida ke-150 dijumpai coelomaticum juga pernah dilaporkan oleh Inoue et
pada sampel M1 pada nukleotida ke-13 (berbeda pada al. (1986) dengan melihat aktivitas enzim cacing
satu tempat) dan sampel M3 pada nukleotida ke-40 tersebut. Di antara 10 enzim yang diteliti, hanya enzim
(berbeda pada satu tempat). Pada nukleotida ke-151 glucosephosphatase isomerase (GPI) dan phospho-
sampai dengan ke-300, perbedaan urutan hanya glucomutase (PGM) yang menunjukkan variasi intra-
dijumpai pada sampel J61, yaitu pada nukleotida ke- spesifik, sedangkan alkaline phosphatase (ALP),
197, 244, dan 256 (berbeda pada tiga tempat). Pada esterase (EST), hexokinase (HK), lactate dehy-
nukleotida ke-301 sampai dengan ke-350, perbedaan drogenase (LDH), leucine aminopeptidase (LAP),
urutan dijumpai pada sampel J61 yaitu pada nukleotida leucylglycylglycine aminopeptidase (LGG), NADH-
ke-313, 320, 330, dan 336 (berbeda pada empat tempat) diaphorase (DIA), dan tetrazolium oxidase (TO),
dan sampel M1 pada nukleotida ke-349 dan ke-350 tidak memperlihatkan variasi individu, atau dengan
(berbeda pada dua tempat). Pada sampel A25, dari 200 kata lain dalam keadaan monomorfisme. Dilaporkan
nukleotida yang dapat dianalisis, urutannya sama pula bahwa enzim PGM bersifat polimorfik terhadap E.
30 Iskandar Mirza dan Kurniasih

M1 TGAACATCGACTGCTTGAACGCATATTGCGGCCATGGGTTAGCCTGTGGC 50
M3 TGAACATCGACTTCTTGAACGCATATTGCGGCCATGGGTAAGCCTGTGGC
J53 TGAACATCGACTTCTTGAACGCATATTGCGGCCATGGGTTAGCCTGTGGC
J61 TGAACATCGACTTCTTGAACGCATATTGCGGCCATGGGTTAGCCTGTGGC
A21 TGAACATCGACTTCTTGAACGCATATTGCGGNCATGGGTTAGCCTGTGGC
A25 TGAACATCGACTTCTTGAACGCATATTGCGGCCATGGGTTAGCCTGTGGC

M1 CACGCCTGTCCGAGGGTCGGCTTATGAAATATCACGACGCCCAATAAGTC 100
M3 CACGCCTGTCCGAGGGTCGGCTTATGAAATATCACGACGCCCAATAAGTC
J53 CACGCCTGTCCGAGGGTCGGCTTATGAAATATCACGACGCCCAATAAGTC
J61 CACGCCTGTCCGAGGGTCGGCTTATGAAATATCACGACGCCCAATAAGTC
A21 CACGCCTGTCCGAGGGTCGGCTTATGAAATATCACGACGCCCAATAAGTC
A25 CACGCCTGTCCGAGGGTCGGCTTATGAAATATCACGACGCCCAATAAGTC
M1 GTGGCTTGGGTTTTGCCAGCTGGCTATGATCCCCCAGCTTTAGTTGGGGG 1 5 0
M3 GTGGCTTGGGTTTTGCCAGCTGGCTATGATCCCCCAGCTTTAGTTGGGGG
J53 GTGGCTTGGGTTTTGCCAGCTGGCTATGATCCCCCAGCTTTAGTTGGGGG
J61 GTGGCTTGGGTTTTGCCAGCTGGCTATGATCCCCCAGCTTTAGTTGGGGG
A21 GTGGCTTGGGTTTTGCCAGCTGGCTATGATCCCCCAGCTTTAGTTGGGGG
A25 GTGGCTTGGGTTTTGCCAGCTGGCTATGATCCCCCAGCTTTAGTTGGGGG
M1 TGTCAGATCTATGGCGTTTCCCTAATGTATCCGGATACACGCATCTGGTT 2 0 0
M3 TGTCAGATCTATGGCGTTTCCCTAATGTATCCGGATACACGCATCTGGTT
J53 TGTCAGATCTATGGCGTTTCCCTAATGTATCCGGATACACGCATCTGGTT
J61 TGTCAGATCTATGGCGTTTCCCTAATGTATCCGGATACACGCATCTTGTT
A21 TGTCAGATCTATGGCGTTTCCCTAATGTATCCGGATACACGCATCTGGTT
A25 TGTCAGATCTATGGCGTTTCCCTAATGTATCCGGATACACGCATCTGGTT

M1 GTACCAGGTGGAGATGTGTCGACGGAGTCGTGGCTCAGTACTGGTTATGC 2 5 0
M3 GTACCAGGTGGAGATGTGTCGACGGAGTCGTGGCTCAGTACTGGTTATGC
J53 GTACCAGGTGGAGATGTGTCGACGGAGTCGTGGCTCAGTACTGGTTATGC
J61 GTACCAGGTGGAGATGTGTCGACGGAGTCGTGGCTCAGTACTGTTTATGC
A21 GTACCAGGTGGAGATGTGTCGACGGAGTCGTGGCTCAGTACTGGTTATGC

M1 GCGCTCCGTTT-CCATTTCGTGTGGCAATGTCCGATGAAAATCCAATCAA 3 0 0
M3 GCGCTCCGTTTACCATTTCGTGTGGCAATGTCCGATGAAAATCCAATCAA
J53 GCGCTCCGTTTACCATTTCGTGTGGCAATGTCCGATGAAAATCCAATCAA
J61 GCGCTGCGTTTACCATTTCGTGTGGCAATGTCCGATGAAAATCCAATCAA
A21 GCGCTCCGTTTACCATTTCGTGTGGCAATGTCCGATGAAAATCCAATCAA

M1 ACCTGACCTCGGATCAGACGTGATTACCCCGCTGAACTTAAACATATCCT 3 5 0
M3 ACCTGACCTCGGATCAGACGTGATTACCCCGCTGAACTTAAACATATCAC
J53 ACCTGACCTCGGATCAGACGTGATTACCCCGCTGAACTTAAACATATCAC
J61 ACCTGACCTCGGCTCAGACCTGATTACCCTGCTGACCTTAAACATATCAC
A21 ACCTGACCTCGGATCAGACGTGATTACCCCGCTGAACTTAAACATATCAC

Gambar 4. Hasil pengurutan rDNA Eurytrema sp. pada daerah 5,8S dari sampel asal Sulawesi (M1 dan M3), Jawa (J53 dan J61),
dan Sumatera (A21 dan A25). Urutan yang ditandai dengan penebalan dan digarisbawahi merupakan urutan yang berbeda.
Fig. 4. Result of rDNA sequencing at 5.8S region of Eurytrema sp. originated from Sulawesi (M1 and M3), Java (J53 and J61),
and Sumatra (A21 and A25). Sequences printed in bold, underlined are different sequences.

pancreaticum dan E. coelomaticum, sedangkan GPI KESIMPULAN


hanya bersifat polimorfik terhadap E. pancreaticum.
Variasi genetik cukup rendah, dengan nilai rata-rata P Hasil pemotongan dengan enzim EcoRI, HindIII, dan
(lokus polimorfik) dan H (rasio heterozigot) untuk E. BamHI tidak menunjukkan adanya variasi, sedangkan
pancreaticum masing-masing 15,4% dan 2,4% dan dengan RsaI tampak ada tiga kelompok cacing yang
untuk E. coelomaticum 7,7% dan 2,7% (Inoue et al., berbeda, yaitu: (1) M1, M2, dan J54; (2) M1, M1, M3,
1986). J51, J53, J61, J63, A7, A22, A25, dan A27; serta (3) A21.
Identifikasi molekuler Eurytrema sp. pada sapi di Indonesia 31

Hasil pengurutan juga menunjukkan adanya variasi Indonesia sheep associated with the trematode Eurytrema
urutan nukleotida pada tiga kelompok cacing, yaitu: pancreaticum. Vet. Res. 7: 443.
Handoko. 1976. Identifikasi cacing daun pada pankreas sapi
(1) M3, J53, A21, dan A25 variasinya sangat kecil (M3
berdasarkan morfologi. Skripsi. Fakultas Kedokteran
pada satu tempat); (2) M1 berbeda pada tiga tempat; Hewan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
dan (3) J61 berbeda pada tujuh tempat dari 350 Hill, T., I. Mirza, A. Batubara, R.M. Gatenbay, and A.J.
nukleotida yang dianalisis. Wilson. 1994. Study of sheep with wasting disease and the
potential pathogenic fluke Eurytrema pancreaticum.
Working Paper No 163. SR-CRSP, SBPT, Deli Serdang,
North Sumatra, Indonesia.
Inoue, T., A. Takeshi, and H. Shigehisa. 1986. Electrophoretic
DAFTAR PUSTAKA studies isozymes of two Japanese fluke, Eurytrema
pancreaticum and E. coelematicum. Jpn. J. Parasitol. 35 (2):
Adlard, R.D. 1993. Comparison of the second internal 115-120.
transcribed spacer (ribosomal DNA) from populations and Ishii, Y., M. Koga, T. Fujino, H. Higo, J. Ishibashi, K. Oka,
species of fasciolidae (Digenea). Int. J. Parasitol. 51 (3): and S. Saito. 1983. Human infection with the pancreas
423-425. fluke, Eurytrema pancreaticum. Am. J. Trop. Med. Hyg.
Ausubel, F.M., R. Brent, R.E. Kingston, D.D. Moore, J.G. 32 (5): 1019-1022.
Seidman, J.J. Smith, and K. Struhl. 1995. Current protocol Moriyama, N. 1982. Karyological studies of bovine
in molecular biology. Vol 1. John Wiley & Soon, Inc., pancreatic flukes (Eurytrema sp.) and their phenotypes. J.
Canada. Parasitol. 68 (5): 898-904.
Barker, S.S., D. Blair, A.R. Garrett, and T.H. Cribb. 1993. Utility Neveu-Lemaire, M. 1936. Traite D’helminthologie medicale
of the D1 domain of nuclear 28S rRNA for phylogenetic et veterinaire. V. Freres (Editeurs). Paris. p. 108-111.
inference in the Digenea. Systematic Parasitol. 181-187. Tang, C.C. 1950. Studies on the life history of Eurytrema
Blair, D. 1993. Molecular variation in fasciolids and pancreaticum. J. Parasitol. 36: 559-573.
Paragonimus. Vet. Parasitol. 53: 277-289. Wilson, A. and Beriajaya. 1992. Studies on the epidemiology
Dorny, P.A., A. Batubara, I. Mirza, and V.S. Pandey. 1996. and control of the important disease constraints of sheep
Helminth infections of sheep in North Sumatra, Indonesia. at Sungei Putih, North Sumatra. Final Report. INI
Vet. Parasitol. 61 (3-4): 353-358. ANSREDEF and RIVS, Bogor, Indonesia.
Gatenby, R.M., E. Romjali, A.J. Wilson, M. Hutauruk, J. Wiroreno, W., W.P. Carney, and M. Anshori. 1987. Description
Glenn, and A.D. Pitono. 1992. Comparison of three drugs and growth pattern of Eurytrema pancreaticum from Bos
to control pancreatic fluke (Eurytrema pancreaticum) in indicus from East Java. Proc. Helminth Society of
sheep. Working Paper No 137. SR-CRSP, SBPT, Deli Washington 54 (1): 73-77.
Serdang, North Sumatra, Indonesia. Yamaguti, S. 1958. Systema helminthum. The digenetic
Graydon, R.J., I.H. Carmichael, M.D. Sanchez, E. Wiedosari, trematodes of vertebrates. Interscience Publisher, Inc. New
and S. Widjayanti. 1992. Mortalities and wasting in York, Interscience Publisher, Ltd. London. 1 (2): 835-836.

You might also like