You are on page 1of 25

Usulan Perbaikan Kualitas Proses Produksi Untuk Meningkatkan Kualitas

Produk Jumper Menggunakan Six Sigma - DMAIC


(Studi Kasus Unit Produksi PT. Suryajaya Teknotama)

Julius Marlissa dan Dana Santoso


E-mail: juliusmarlissa@gmail.com dan dana.s@mercubuana.ac.id

ABSTRACT

The purpose of this study is to analyze the quality of the production process of jumper, identify and analyze
the factors causing of defective jumper in production process and propose the solutions to improve the
quality of production process. Analysis was performed by Six Sigma DMAIC method. This study found that
discontinuities in connexion of cable-connector of jumper that has been produced as causes of defective
jumper. The root cause is derived from human (lack of supervision, lack of skills and lack of controlling);
machine/equipment (lack of other support equipment); and method (lack of procedure for managing goods in
process area and lack of procedure for maintain equipment) largely come from stripping process. Index
of process capability (Cp) is 0.4 or 1,5 in Sigma metric, indicating the quality of current processis not
adequate. This study proposes some solutions to improve qualtiy of stripping process, i. e. perform
supervision on production process based on information systems, conduct a training for operators and plan
the availability of replacement tool (human); fit out tools necessary and subtitute manual work standard
by machine standard (machine/equipment); establish procedures to managing goods in process area as well
as to arrange the placement of goods in process are and establish procedures to maintain equipment and
organize regular maintenance for equipment (method).

Key words: Six Sigma, DMAIC, quality of process, defective product, discontinuities cable - connector in
jumper, index Cp, capability process, VSWR.

1. PENDAHULUAN

Aktivitas produksi jumper yang dilakukan oleh PT. Suryajaya Teknotama memainkan peranan
penting, selain bagi transmisi telekomunikasi wireless, jumper F4-PDMDM-12M yang diproduksi,
merupakan jumper penggunaan khusus yang tidak dibuat masal oleh manufaktur. Sehingga aktivitas
produksi jumper ini menjadi memberi keunggulan bisnis.
Produksi jumper pengerjaannya diselenggarakan oleh unit produksi Departemen Warehouse.
Kualitas yang ditetapkan adalah produk akhir jumper dengan VSWR1,000 - 1,050 pada frekuensi
operasi 2100 MHz - 2700 Mhz. Aktivitas produksi ini dimulai sejak tahun 2012, dan selama rentang
tahun 2012 hingga 2014 ditemukan rata-rata 17% dari total produk jumper yang dihasilkan proses
adalah produk cacat.
Adanya temuan produk cacat yang dihasilkan oleh proses produksi ini menunjukan bahwa
persoalan kualitas produk dapat disebabkan oleh sejumlah faktor yang bersumber dari proses
produksi. Tidak memadainya kualitas proses akan berdampak pada kualitas produk yang dihasilkan
proses tersebut. Sehingga perbaikan kualitas produk yang dihasilkan proses hendaknya dilakukan
melalui perbaikan kualitas proses. Selain itu, kualitas produk merupakan faktor penting bagi bisnis.
Adanya temuan produk cacat hasil produksi ini berpotensi memberi ancaman pada keunggulan

1
bisnis. Grafik 1.1 menjelaskan jumlah produksi dan temuan produk jumper cacat selama tahun
2012 hingga 2014.

Grafik 1.1 Jumlah Produksi dan Temuan Cacat Tahun 2012 – 2014

Sumber: PT. Suryajaya Teknotama

Menyadari potensi dampak yang timbul dari produk jumper cacat yang dihasilkan oleh proses
produksi, dari sisi Departemen Warehouse sebagai pihak yang melakukan aktivitas produksi, perlu
melakukan evaluasi atas kualitas proses produksi yamg diselenggarakannya, mengidentifikasi
penyebab produk cacat, dan mencari alternatif solusi bagi perbaikan kualitas.proses produksi.
Untuk melakukan evaluasi kualitas proses produksi, mengidentifikasi penyebab produk cacat,
dan mencari alternatif solusi perbaikan kualitas.proses produksi, diperlukan adanya sebuah metode.
Six Sigma melalui penerapannya dalam DMAIC, memberi informasi tentang kualitas proses dan
memberi pendekatan penyelesaian persoalan kualitas. Dengan menggunakan pendekatan Six Sigma,
penelitian ini berupaya untuk melakukan evaluasi terhadap kualitas proses produksi yang
diselenggarakan oleh Departemen Warehouse, mengusut faktor-faktor penyebab yang mendorong
proses produksi menghasilkan sejumlah produk jumper cacat dan merekomendasikan solusi
perbaikan kualitas yang perlu dilakukan guna memperbaiki kualitas proses produksi dan produk
yang dihasilkannya. Berdasarkan latar belakang masalah masalah yang telah diuraikan, maka
dirumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1) Bagaimanakah kualitas proses poduksi jumper yang sedang berlangsung saat ini dalam kaidah
Six Sigma ?
2) Faktor-faktor dominan apa sajakah yang menyebabkan proses produksi menghasilkan jumper
cacat?
3) Apakah alternatif solusi untuk memperbaiki setelah mengetahui faktor-faktor dominan
penyebab proses produksi menghasilkan sejumlah jumper cacat?

1.1.Batasan Masalah
Penelitian ini mengikuti tahapan-tahapan DMAIC. Penelitian yang dilakukan hanya sampai
pada usulan alternatif solusi untuk memperbaiki kualitas proses. Pelaksanaan atau penerapan
perbaikan pada tahap improve, dan standarisasi pada tahap Control tidak dilakukan penelitian lebih
lanjut.

2
2. KAJIAN TEORI

2.1. Transmisi Telekomunikasi


Pada transmisi telekomunikasi berbasis sistem radio, impedansi adalah salah satu yang
mempengaruhi kualitas transmisi. Impedansi bersifat menghambat aliran listrik. Dalam transmisi,
bila impedansi antena tidak sesuai dengan impedansi jumper, atau bila impedansi komponen-
komponen jumper tidak sesuai, maka listrik yang dialirkan melalui jumper menuju antena akan
terhambat dan dipantulkan kembali. Listrik yang memantul ini bertemu dengan listrik yang
ditransmisikan ke antena sehingga menimbulkan tegangan gelombang berdiri atau voltage standing
wave pada jumper. Selain karena impedansi, diskontinuitas saluran transmisi seperti kerusakan pada
kabel jumper (penyok, terjepit atau patah), kerusakan pada konektor (korosi dan kerusakan lainnya),
atau kurang memadainya sambungan kabel – konektor (tidak presisi, dan pengencangan yang
kurang) juga dapat menghambat aliran listrik yang dialirkan melalui jumper menuju antena dan juga
menyebabkan voltage standing wave pada jumper (Bagus dan Sudjadi, undated; dan Huber -
Shehner, 2007:22).
VSWR (Voltage Standing Wave Ratio) mengukur tegangan gelombang berdiri yang terjadi
pada saluran transmisi karena sebab-sebab impedansi dan diskontinuitas. Menurut Kuphaldt
(2007:520), VSWR merupakan perbandingan dari impedansi beban (ZL) dengan impedansi jumper
sebagai saluran transmisi (ZL), perbandingan tersebut tergantung dari mana yang lebih besar:

= atau (1)

Besaran VSWR akan semakin mendekati 1,000 bila beda impedansi komponen jumper
semakin kecil. Pada kondisi ini voltage standing wave yang terjadi sangat kecil. Nilai VSWR
semakin menjauh dari 1,000 bila beda impedansi komponen jumper semakin besar. Pada kondisi ini
Voltage Standing Wave yang terjadi semakin besar (Chi dan Hsi, 2009:373). VSWR ideal adalah
1,000. Pada kondisi ini tidak terjadi perbedaan impedansi sehingga listrik yang membawa sinyal
dialirkan secara sempurna oleh saluran transmisi dan diserap secara sempurna pula oleh antena
(Mahjud, 2009:140).

2.2. Karakteristik Impedansi Saluran Transmisi


Jumper merupakan salah satu bentuk saluran transmisi. Kabel yang digunakan untuk jumper
diantaranya adalah kabel koaksial. Kabel koaksial disusun atas 2 konduktor yang dipisahkan oleh
dielektrik. Menurut Pole (undated); dan Adam dan Packard, (1992:35), karakteristik impedansi
kabel koaksial dipengaruhi oleh diameter konduktor inti (inner) dan konduktor luar (outer), serta
konstanta dari bahan dielektriknya. Hubungan antara konduktor inti (inner), konduktor luar (outer)
dan dielektrik yang menyusun karakteristik impedansi kabel koaksial di tunjukan oleh persamaan
berikut:

( ) (2)
=
√Ɛ

3
Dimana Z adalah karakteristik impedansi (ohm); D adalah diameter bagian luar konduktor (outer); d
diameter inti (inner) dan Ɛ adalah konstanta bahan dielektrik. Gambar 2.1. menjelaskan kabel
koaksial.

Konduktor luar
(outer) Konduktor inti
(inner)

Dielektrik

Gambar 3.1. Impedansi Kabel Koaksial


Sumber data: dibuat pada saat penelitian

2.3. Pengertian Kualitas


Kualitas dikelompokan ke dalam kualitas produk dan kualitas proses (de Koning dan de Mast,
2006:771). Kualitas produk adalah seberapa baik produk yang dihasilkan oleh proses produksi
sesuai dengan keinginan si pengguna produk. Dalam konteks ini, perbaikan kualitas produk
dilakukan dengan dengan mengembangkan karakteristik-karakteristik produk, sehingga produk
mampu memenuhi keinginan penggunanya.
Kualitas proses menjelaskan kemampuan proses untuk menghasilkan produk sesuai spesifikasi
yang ditetapkan. Tidak memadainya kualitas proses akan berdampak pada kualitas produk yang
dihasilkan oleh proses tersebut. Dalam konteks ini maka upaya-upaya untuk mengurangi hingga
menghilangkan penyimpangan kualitas produk yang dihasilkan proses terhadap spesifikasi
dilakukan dengan memperbaiki proses produksi (Pulakanam, 2011:9; dan Baia, 2015:51).
2.4. Pengertian Six Sigma
Six Sigma (6σ) memberi dasar pengukuran kualitas proses. Angka di depan simbol Sigma (σ)
menjelaskan Sigma kualitas proses atau metrik Sigma. Simbol Sigma (σ) adalah standar deviasi,
menjelaskan variasi yang terjadi pada proses (Besterfield, 2013:11,54). Variasi pada proses
kemudian dirujuk kepada standar deviasi dari ukuran karaktersitik kualitas sebuah produk yang
sedang dihasilkan proses (Remy., et.al 2014:4).
Dalam Six Sigma, kualitas proses yang baik adalah apabila setelah 6 kali standar deviasi (6σ)
dari ukuran-ukuran produk yang dihasilkan, sebaran ukuran-ukuran produk yang dihasilkan oleh
proses hendaknya masih berada dalam rentang LSL-USL atau 6σ ≤ USL - LSL (Besterfield,
2013:80). Agar proses produksi dapat menghasilkan produk yang kualitasnya berada dalam rentang
LSL-USL maka sigma (σ) atau standar deviasi dari ukuran-ukuran kualitas produk yang sedang
dihasilkan proses hendaknya perlu tetap dipertahankan sekecil mungkin, dalam kondisi ini maka
metrik Sigma akan semakin tinggi. Ini berarti semakin baik kualitas proses yang sedang
berlangsung.

4
2.5. DMAIC
DMAIC merupakan metode sistematis yang dirancang bagi penerapan Six Sigma untuk
meningkatkan kualitas proses. DMAIC disusun atas tahapan Define, Measure, Analyze, Improve dan
Control.
2.5.1. Define
Tahap Define ini adalah tahap untuk menentukan CTQ (de Koning dan de Mast, 2006:783).
Dalam penerapannya ada 3 hal yang perlu dilakukan pada tahap Define, yaitu: mengindentifikasi
CTQ produk; mengidentifikasi cacat produk; dan menentukan area proses yang memberi kontribusi
terhadap cacat produk.
2.5.2. Measure
Pada tahap Measure ini dilakukan analisis kapabilitas proses (de Koning dan de Mast,
2006:783). Analisis kapabilitas proses memberi informasi Sigma kualitas proses saat ini.
Pengukuran kapabilitas proses pada penelitian ini menggunakan pendekatan Cp.
Dalam Six Sigma, kualitas proses yang baik adalah apabila setelah 6 kali standar deviasi (6σ)
dari ukuran-ukuran produk yang dihasilkan, sebaran ukuran-ukuran produk yang dihasilkan oleh
proses hendaknya masih berada dalam rentang LSL-USL atau 6σ ≤ USL - LSL. Berdasarkan
pendapat ini indeks Cp menurut Remy., et.al (2014:2 dijelaskan dengan persamaan berikut:

− (3)
=

LSL-USL adalah batas spesifikasi kualitas produk. Sigma (σ) adalah variasi yang sedang terjadi pada
proses, merujuk pada standar deviasi ukuran-ukuran kualitas produk yang sedang dihasilkan proses.
Pada penelitian ini standar deviasi dihitung dengan menggunakan rumus STDEV Excel. Pemahaman
angka indeks Cp menurut Besterfield (2013), adalah sebagai berikut:
 Cp = 1 proses cukup memadai dan sedang menghasilkan produk yang kualitasnya berada
dalam LSL-USL yang ditetapkan.
 Cp > 1,33 proses sangat memadai dan proses sedang menghasilkan produk yang kualitasnya
berada di dalam LSL-USL.
 Cp < 1 proses tidak memadai dan sedang menghasilkan sejumlah produk yang kualitasnya
berada diluar spesifikasi kualitas yang ditetapkan.
Jika Sigma (σ) atau variasi proses sedemikian kecil, maka keragaman ukuran kualitas produk
yang dihasilkan proses akan semakin kecil. Dalam kondisi ini akan semakin besar kemungkinan
proses produksi menghasilkan produk yang ukuran-ukuran kualitasnya berada dalam LSL-USL, dan
akan semakin kecil kemungkinan terjadinya produk cacat. Ketika variasi proses semakin kecil, maka
indeks Cp akan semakin besar. Sebaliknya, bila Sigma (σ) atau variasi proses yang terjadi semakin
besar, berarti semakin besar keragaman ukuran kualitas produk yang dihasilkan proses. Dalam
kondisi ini akan semakin besar kemungkinan proses produksi menghasilkan produk yang ukuran-
ukuran kualitasnya berada di luar LSL-USL, dan akan semakin besar kemungkinan terjadinya
produk cacat. Ketika variasi proses yang terjadi semakin besar, maka angka indeks Cp akan semakin
kecil. Tabel 2.1 Menjelaskan hubungan indeks Cp dengan Metrik Sigma dan produk cacat.

5
Tabel 2.1 Indeks Cp dan Metrik Sigma
Angka Persentase
Metrik ppm Persentase
Indeks Sesuai
Sigma defective Cacat
Cp Spesifikasi
0.5 1.5 133.614 866,386 13,361
0.67 2 45.5 954,500 4,550
0.83 2.5 12.419 987,581 1,242
1 3 2.7 997,300 0,270
1.17 3.5 465 999,535 0,0465
1.33 4 63 999,937 0,0063
1.5 4.5 7 999,993 0,0007
1.67 5 0,057 99,999,994 0,0000057
1.83 5.5 0,038 999,999,962 0,0000038
2 6 0,002 999,999,998 0,0000002
Sumber data: Park. (2003:23); dan Kubiak (2009)

2.5.3. Analyze
Pada tahap Analyze diidentifikasi faktor yang mempengaruhi kualitas (de Koning., dan de
Mast, 2006:783). Faktor yang mempengaruhi kualitas adalah hal-hal yang menyebabkan terjadinya
cacat pada produk. Dengan demikian pada bagian ini akan dilakukan analisis penyebab cacat
produk. Demikianpun, analisis penyebab cacat akan menghasilkan sejumlah akar permasalahan,
sehingga perusahaan perlu menetapkan akar masalah mana yang menjadi prioritas perbaikan, untuk
itu perlu dilakukan juga analisis. Sehingga pada tahap Analyze ada 2 hal yang perlu dilakukan, yaitu
analisis penyebab cacat dan analisis prioritas perbaikan.
2.5.4. Improve
Tahap Improve adalah tahap untuk mendesain perbaikan kualitas (de Koning., dan de Mast,
2006:783). Pada tahap improve dirancang solusi yang dapat mengurangi hingga menghilangkan
penyebab-penyebab yang mendorong munculnya variasi (Mandahawi., dan Obeidat, 2012:251).
Solusi merupakan rencana tindakan yang untuk mengurangi atau menghilangkan penyimpangan
dalam praktek produksi yang menyebabkan terjadi cacat produk (Das., dan Prasun, 2012:15); atau
juga berupa rekomendasi usulan untuk memberbaiki ketidak sesuaian dalam praktek proses produksi
(Laricha., et.al 2013:91; dan Awaj., et.al 2013:114).
2.5.5. Control
Tahap Control adalah tahap untuk memperbaiki sistem kendali kualitas (de Koning., dan de
Mast, 2006:784). Mengelola dan mempertahankan peningkatan kualitas yang telah dicapai melalui
perbaikan memerlukan rencana pengendalian yang dilengkapi dengan prosedur-prosedur sehingga
perbaikan kualitas yang telah dicapai dapat dijaga terus menerus. Untuk itu perlu dilakukannya
standarisasi atas metode perbaikan dan mekanisme pengendalian kualitas yang telah berhasil
memperbaiki kualitas. Sehingga dalam penerapannya, pada tahap Improve ini dilakukan perubahan-
perubahan dan penetapan standar pengendalian kualitas untuk mengontrol pelaksanaan solusi yang
telah berhasil membawa perbaikan kualitas dan menemukan peluan-peluang baru bagi perbaikan
kualitas.

6
3. METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini adalah investigasi untuk menjelaskan masalah yang sedang terjadi dan
mengusulkan perbaikannya. Peneliti berangkat dari data untuk menggambarkan fenomena yang
terjadi. Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan juga data kualitatif yang dikumpulkan pada
saat observasi dan wawancara dimana interpretasi bersifat subyektif berdasarkan pengalaman
peneliti dan subyek yang diteliti. Berdasarkan hal ini maka penelitian ini memenuhi karakteristik
penelitian deskriptif studi kasus. Peneliti selanjutnya menggunakan desain penelitian deskriptif
kualitatif studi kasus karena untuk dapat menjawab pertanyaan penelitian di butuhkan beragam data
baik kuantitatif maupun kaulitatif dari beragam sumber. Desain ini menjadi jawaban bagi peneliti,
karena peneliti dapat melakukan pengumpulan data yang dibutuhkan.

3.2. Jenis Dan Sumber Data


Penelitian ini menggunakan 2 sumber data, yaitu data primer dan data sekunder. Data primer
dikumpulkan secara langsung oleh peneliti. Data sekunder dikutip dari pihak lain, seperti penelitian
terdahulu maupun dan catatan-catatan organisasi. Data sekunder yang dikumpulkan dari sumber
perusahaan adalah data uji DTF tahun 2014, data uji kualitas VSWR dan DTF 2015 (Januari - Juni),
serta data spesifikasi produk jumper, kabel dan konektor.

3.2.1. Teknik Pengumpulan Data


Data primer dikumpulkan dengan melakukan observasi dan wawancara terstruktur. Observasi
dilakukan untuk menggali informasi di area proses pada saat melakukan analisis akar masalah cacat
produk dan untuk memeriksa cacat produk. Penelitian ini juga menggunakan pengumpulan data
primer dengan melakukan wawancara terstruktur dengan mengisi kuesioner dan memberi skor. Ini
dilakukan untuk menggali opini dari orang yang dianggap ahli untuk menilai kekuatan hubungan
antara penyebab cacat dengan cacat yang terjadi.
3.3. Metode Analisis

3.3.1. Define
Pada tahap Define ada 3 hal yang akan dianalisis yaitu: identifikasi CTQ produk, identifikasi
cacat produk, dan identifikasi area proses. Masing-masing analisis dilakukan sebagai berikut:
1. Identifikasi CTQ produk, merujuk pada spesifikasi produk dari perusahaan.
2. Identifikasi cacat produk meneliti penyimpangan yang terjadi terhadap spesifikasi/CTQ yang
ditetapkan. Ada 4 hal yang dianalisis pada bagian ini:
 Mengidentifikasi kemungkinan cacat karena karakteristik impedansi tidak sesuai dengan
spesifikasi/CTQ, dianalisis menggunakan persamaan (2).
 Mengidentifikasi kemungkinan cacat karena sebab beda impedansi komponen jumper,
dianalisis menggunakan persamaan (1).
 Mengidentifikasi kemungkinan cacat karena sebab diskontinuitas dilakukan analisis
dengan menggunakan data hasil uji VSWR dan DTF.
 Mengidentifikasi jenis cacat yang paling berdampak pada kualitas produk dengan
menggunakan Pareto.

7
3. Identifikasi area proses, identifikasi area proses asal cacat produk untuk membuat batasan
area proses yang perlu diperbaiki. Analisis dilakukan bantuan SIPOC.

3.3.2. Measure
Pada tahap Measure dilakukan analisis Sigma kualitas proses saat ini. Analisis Sigma kualitas
proses menggunakan indeks kapabilitas proses Cp pada persamaan (3). Untuk standar deviasi
dihitung dengan menggunakan rumus STDEV Excel. Nilai indeks hasil hitung kemudian di rujuk ke
tabel 2.1 untuk mendapatkan Sigma kualitas proses.

3.3.3. Analyze
Pada tahap Analyze dilakukan analisis terhadap 2 hal, yaitu:
1. Identifikasi akar masalah cacat yang bersumber dari faktor manusia, mesin/peralatan,
material, metode dan lingkungan. Analisis dilakukan dengan menggunakan metode Five
Whys dan Fishbone.
2. Identifikasi akar masalah prioritas dilakukan dengan menilai kekuatan hubungan antara
faktor penyebab cacat dengan cacat menggunakan pendekatan Matrik Sebab Akibat. Orang-
orang yang dianggap ahli dimintai pendapat dan memberi skor 1 – 9, dimana dimana skor 1
– 2 hubungan lemah; 3 – 5 hubungan cukup; 6 – 7 hubungan kuat; dan 8 – 9 sangat sangat
kuat.

3.3.4. Improve
Tahap Improve adalah tahap untuk merancang alternatif solusi untuk memperbaiki kualitas
proses. Analisis pada bagian ini bersifat kualitatif dengan merujuk pada analisis peneliti berdasarkan
berdasarkan akar masalah-akar masalah dan analisis five whys pada bagian sebelumnya.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Selama Januari hingga Juni tahun 2015 telah diproduksi sejumlah 3.338 pcs jumper dan
ditemukan sejumlah 508 pcs jumper yang dilaporkan cacat. Pemeriksaan kemudian dilakukan
kepada 508 pcs jumper cacat tersebut. Berikut uraiannya dalam kerangka DMAIC.

4.1. Tahap Define


Tahap Define ini adalah tahap untuk menentukan CTQ. Dalam penerapannya, ada 3 hal yang
dilakukan, yaitu: mengindentifikasi CTQ produk; mengidentifikasi cacat produk; dan menentukan
area proses yang memberi kontribusi terhadap cacat produk.

4.1.1. Identifikasi CTQ Produk


CTQ adalah parameter-parameter penting yang diperlukan untuk mencapai suatu kualitas
tertentu dari. VSWR merupakan indikator yang mengukur voltage standing wave pada saluran
transmisi karena sebab-sebab beda impedansi pada komponen jumper dan diskontinuitas sambungan
kabel - konektor. Dengan demikian, impedansi dan diskontinuitas sambungan kabel - konektor
merupakan CTQ bagi pencapaian VSWR 1,000 - 1,050 dari jumper.yang diproduksi.
CTQ selanjutnya merujuk pada spesifikasi produk yang disusun oleh perusahaan. Dari
identifikasi terhadap spesifikasi produk jumper, telah diatur impedansi dan diskontinuitas
sambungan kabel - konektor pada jumper sebagai berikut:

8
1. Impedansi kabel dan konektor:
 Impedansi kabel koaksial 50 ohm ± 1 ohm merupakan kombinasi dari dari diameter
konduktor luar atau outer (12,192 mm); diameter konduktor inti atau inner (3,550 mm)
dan konstanta dielektrik (bahan foam 2,2).
 Impedansi konektor 50 ohm ± 1 ohm
2. Sambungan kabel - konektor guna menghindari diskontinuitas:
 Diameter bending kabel koaksial 640 mm. Diameter yang kurang dari 640 mm akan
menyebabkan tekukan pada kabel sehingga menghambat aliran listrik.
 Kondisi kabel tidak penyok, jacket tidak koyak, dan konektor tidak rusak atau korosi.
Kerusakan pada kabel dan koenktor akan menghambat aliran listrik di sepanjang jumper.
 Ukuran panjang konduktor luar (outer) dan konduktor inti (inner) yang ditanam ke
konektor berdampak pada presisi sambungan. Masing-masing ukurannya sebagai
berikut:
 Panjang konduktor luar (outer) dipasang pada konektor 22,00 mm
 Panjang konduktor inti (inner)dipasang pada inti konektor 7,00 mm ± 0,2 mm
 Total keseluruhan panjang kabel koaksial dipasang pada konketor 51,10 mm
 Pengencangan sambungan kabel - konektor meliputi pemasangan ring karet dan
kekuatan pengencangan sambungan kabel – konektor 20 N.m

4.1.2. Identifikasi Cacat Produk


Jumper cacat (VSWR diluar 1,000 – 1,050) dapat terjadi karena sebab beda impedansi atau
karena diskontinuitas sambungan kabel - konektor. Identifikasi cacat produk kemudian meneliti
kemungkinan penyebab jumper cacat karena sebab beda impedansi dan karena sebab diskontinuitas
sambungan kabel – konektor.

4.1.2.1. Penelitian Penyebab Cacat Karena Sebab Beda Impedansi

1. Impedansi Kabel Koaksial


Impedansi kabel koaksial dipengaruhi oleh diameter konduktor inti (inner) dan konduktor luar
(outer), serta konstanta dari bahan dielektriknya. Merujuk pada data inspeksi Departemen Kualitas
terhadap 200 pcs jumper kualitas bagus yang diproduksi selama Januari - Juni 2015, diketahui
diameter konduktor inti (inner) 3,550 mm dan diameter konduktor luar (outer) 12,192 mm.
Berdasarkan ukuran konduktor inti (inner) dan konduktor luar (outer) karakteristik impedansi kabel
koaksial dapat dianalisis dengan menggunakan persamaan (1) sebagai berikut:
,
138 log( ,
)
=
√2,2
138 log 3,434
=
1,48
73,94683
=
1,48
= 49,85

9
Berdasarkan analisis perhitungan, karakteristik impedansi kabel koaksial yang digunakan
adalah 49,85 ohm. Pada tahap ini disimpulkan impedansi kabel koaksial jumper berada dalam
spesifikasi 50 ohm ± 1 ohm.

2. Impedansi Konektor
Departemen kualitas pada tahun 2014 melakukan uji DTF. Berdasarkan uji ini dianalisis
impedansi konektor. Grafik 4.1 menjelaskan uji DTF (Distance To Fault) menggunakan dummy
load 50 ohm.
Grafik 4.1 Uji DTFJumper Tahun 2014

M2

Sumber: Data uji tahun 2014, Departemen Kualitas

Uji DTF menjelaskan titik lonjakan voltage standing wave sepanjang jumper yang terjadi
karena perbedaan impedansi kabel – konektor.M1 adalah titik sambungan konektor jumper dengan
alat uji dengan besaran VSWR 1,003. M2 adalah titik sepanjang kabel jumper dengan besaran VSWR
relatif stabil pada 1,002. M3 adalah titik sambungan konektor jumper dengan dummy load dengan
besaran VSWR 1,006. Berdasarkan besaran VSWR di titik M1 dan besaran impedansi kabel 49,85
ohm, dapat dianalisis impedansi konektor (ZL) dengan menggunakan persamaan (2) sebagai berikut:
49,85
1,003
ZL
49,85
ZL
1,003
ZL 49,701
Impedansi konektor dapat juga di analisis dari titik M3. Jika Impedansi dummy load yang digunakan
50 ohm, maka impedansi konektor dapat dianalisis dengan persamaan (2) sebagai berikut:
50,00
1,006
ZL
50,00
ZL
1,006
ZL 49,701

10
Berdasarkan analisis di ketahui impedansi konektor sebesar 49,701 ohm, dan masih berada
dalam spesifikasi 50 ohm ± 1 ohm. Besaran impedansi konektor ini tidak jauh berbeda dengan
besaran impedansi kabel. Perbedaan VSWR yang terjadi di titik M1 dan M3 disebabkan karena
impedansi dummy load (50 ohm) sedikit lebih besar dari impedansi kabel (49,85 ohm) sehingga
besaran VSWR di kedua titik konektor menjadi berbeda. Namun perbedaan impedansi kabel,
konektor dan dummy load masih berada dalam batas spesifikasi 50 ohm ± 1 ohm yang ditetapkan.

3. Impedansi Jumper dan VSWR Jumper


Berdasarkan analisis diketahui bahwa beda impedansi kabel dan konektor sangat kecil dan
masih berada pada batas spesifikasi yang disyaratkan. Jika dilakukan perbandingan impedansi kabel
terhadap impedansi konektor berdasarkan persamaan (2) ZL/Z0, maka besaran VSWR jumper ideal
adalah 1,0029 atau berada dalam rentang 1,002 - 1,003, dan jika mempertimbangkan impedansi
dummy load maka VSWR jumper ideal akan berada pada 1,002 - 1,006. Analisis tersebut tidak jauh
berbeda dengan pengukuran aktual Depatemen Kualitas terhadap 200 pcs jumper kualitas bagus
hasil produksi Januari-Juni 2015 seperti yang ditampilkan pada grafik 4.2. Dari uji tersebut dapat
dilihat besaran VSWR tiap titik. VSWR pada M1 (konektor) berada pada 1,002 - 1,003; pada M2
(kabel) 1,002 - 1,003 dan M3 (dummy load) 1,005 - 1,006. Sementara besaran VSWR jumper berada
pada 1,005 - 1,006.
Grafik 4.2 Uji Kualitas VSWR 200 Pcs Jumper
1.007
1.006
Besaran VSWR

1.005
1.004
1.003
1.002
1.001
100
109
118
127
136
145
154
163
172
181
190
199
10
19
28
37
46
55
64
73
82
91
1

Sampel QC
VSWR M1 M2 M3
Sumber: PT. Suryajaya Teknotama.

Besaran VSWR saluran transmisi akan semakin mendekati 1,000 bila beda impedansi
komponen jumper semakin kecil. Pada kondisi ini voltage standing wave yang terjadi sangat kecil.
Nilai VSWR semakin menjauh dari 1,000 bila beda impedansi komponen jumper semakin besar.
Pada kondisi ini Voltage Standing Wave yang terjadi semakin besar. Dari analisis disimpulkan
bahwa impedansi komponen jumper sangat kecil dan semuanya masih berada dalam batas
spesifikasi. Besaran VSWR ini sesuai dengan spesifikasi 1,000 - 1,050. Dengan demikian pada tahap
ini disimpulkan jumper cacat, yaitu jumper yang VSWR-nya di luar 1,000 - 1,050 tidak disebabkan
karena beda impedansi kabel dan konektor.

11
4.1.2.2. Penelitian Penyebab Cacat Karena Sebab Diskontinuitas
Diskontinuitas sambungan kabel - konektor juga dapat menghambat aliran listrik sehingga
menimbulkan voltage standing wave. Selama Januari - Juni 2015 telah diperiksa 508 jumper yang
gagal mencapai VSWR 1,000 - 1,050. Berdasarkan karakteristik CTQ, ditemukan 4 kondisi yang
selanjutnya diidentifikasi sebagai jenis cacat, yaitu cacat A panjang inti konduktor (inner) kurang
7.00 mm ± 0,2 mm; cacat B panjang inti konduktor (inner) lebih 7.00 mm ± 0,2 mm; cacat C kabel
penyok; dan cacat D sambungan kabel-konektor goyang.

1. Jenis Cacat A
Pada uji DTF terhadap sejumlah jumper cacat, ditemukan lonjakan VSWR di titik sambungan
jumper dengan alat uji (M1) atau titik sambungan jumper dengan dummy load (M3). Grafik 4.3.
menjelaskan salah satu pemeriksaan DTF jumper nomor produksi 0005 yang ditemukan jenis cacat
A. Besaran VSWR di titik M1 1.067. Karena tidak terjadi beda impedansi kabel - konektor, maka
kondisi ini menunjukan adanya masalah pada sambungan konektor - kabel.

Grafik 4.3 DTF Jumper Pada Cacat Jenis A

Sumber: PT. Suryajaya Teknotama.


Gambar 4.1 menjelaskan temuan jenis cacat A. Panjang inti konduktor (inner) kurangnya dari
7.00 ± 0,2 mm menyebabkan kabel dan konektor tidak tersambung dengan baik sehingga
menghambat aliran listrik pada jumper. Cacat ini mencapai 460 temuan pada 508 jumper cacat.

Gambar 4.1 Jenis Cacat A


Sumber: PT. Suryajaya Teknotama.

12
2. Jenis Cacat B
Pada uji DTF terhadap sejumlah jumper cacat, juga ditemukan lonjakan VSWR di titik
sambungan jumper dengan alat uji (M1) atau dengan dummy load (M3). Grafik 4.4 menjelaskan
salah satu pemeriksaan DTF jumper nomor produksi 1751 yang ditemukan jenis cacat B. Besaran
VSWR di M3 1.060 menunjukan adanya masalah pada sambungan kabel-konektor.
Grafik 4.4. DTF Jumper Pada Cacat Jenis B

Sumber: PT. Suryajaya Teknotama

Gambar 4.2 (a) dan (b) adalah temuan jenis cacat B. Panjang inti melebihi 7.00 mm ± 0,2 mm
menyebabkan kerusakan pada inti konektor ketika dilakukan pengencangan sambungan kabel -
konektor. Cacat ini mencapai 130 temuan pada 508 jumper cacat.

Inti konektor pecah, karena panjang inti


konduktor yang melebihi 7,00 mm telah
memberi tekanan pada saat pengencangan.

b
Gambar 4.2 Jenis Cacat B
Sumber: PT. Suryajaya Teknotama.

13
3. Jenis Cacat C
Pada uji DTF terhadap sejumlah jumper cacat, ditemukan lonjakan VSWR pada titik tertentu di
sepanjang kabel jumper. Grafik 4.5 menjelaskan salah satu pemeriksaan DTF dari jumper nomor
produksi 0718 yang ditemukan jenis cacat C. Besaran VSWR di M2 (kabel) pada meteran ke 9
adalah 1, 075 menunjukan adanya masalah pada kabel jumper.
Grafik 4.5 DTF Jumper Pada Cacat Jenis C

Sumber: PT. Suryajaya Teknotama.

Gambar 4.3 menjelaskan jenis cacat dan C, kabel penyok. Cacat ini menyebabkan
terhambatnya aliran listrik. Cacat ini mencapai 10 temuan pada 508 jumper cacat.

Gambar 4.3 Jenis Cacat C


Sumber: PT. Suryajaya Teknotama

4. Jenis Cacat D
Pada uji DTF terhadap sejumlah jumper cacat, ditemukan lonjakan VSWR di titik sambungan
jumper dengan alat uji atau dengan dummy load. Grafik 4.6 adalah salah satu pemeriksaan DTF
pada jumper nomor produksi 2485 yang ditemukan jenis cacat D. Besaran VSWR di M3 1.067
menunjukan adanya masalah sambungan kabel - konektor.

14
Grafik 4.6 DTF Jumper Pada Cacat Jenis D

Sumber: PT. Suryajaya Teknotama.

Gambar 4.4 menjelaskan jenis cacat dan D. Walaupun kekuatan pengencangan mencapai 20
N.m namun kekuatan sambungan tidak optimal ketika ring karet tidak dipasang. Jenis cacat ini
mencapai 7 temuan pada 508 jumper cacat.

Ring karet

Tanpa ring karet

a) Kabel jumper di pasang ring b) Temuan tanpa ring karet pada


karet jumper cacat
Gambar 4.4 Jenis Cacat D
Sumber: PT. Suryajaya Teknotama.

Merujuk pada spesifikasi jumper, kondisi A,B,C dan D merupakan bentuk diskontinuitas.
Sehingga dapat disimpulkan jumper cacat terjadi karena diskontinuitas sambungan kabel - konektor
dan kondisi A,B,C dan D adalah jenis cacat pada jumper. Grafik 4.7 menjelaskan analisis Pareto.
Jenis cacat A dan B merupakan cacat dominan yang paling berdampak pada kualitas produk akhir
jumper. Kedua jenis cacat ini secara kumulatif mencapai 97,3%. Perbaikan yang dilakukan pada
kedua jenis cacat akan berdampak besar pada perbaikan kualitas jumper hasil produksi. Sehingga
pada penelitian ini jenis cacat A dan B selanjutnya akan menjadi area analisis untuk perbaikan.

15
Grafik 4.7 Pareto Cacat Produk
97,3% 98,8% 100%
75,8%

460 130 10 7

A B C D

Jenis Cacat Kumulatif Persentase

Sumber: Data diolah dari penelitian (2015).

4.1.3. Identifikasi Area Proses


Bagian-bagian CTQ dihasilkan oleh proses yang terlibat dalam produksi. Sehingga setiap
proses yang terlibat memberi kontribusi bagi kualitas produk. Agar dapat menentukan ruang lingkup
area proses yang perlu diperbaiki, maka perlu dijabarkan proses produksi yang berlangsung untuk
mengetahui area proses yang menjadi sumber cacat. Penjabaran proses dilakukan dengan SIPOC.
Gambar 4.5 menjelaskan SIPOC proses produksi jumper.

Supplier Input Process Ouput Customer

Sub unit  Mesin cutting Bahan baku 1: Sub unit


Memotong kabel
Pemotongan kabel  Potongan kabel 1280 perakitan,
Unit Produksi  Forklift mm unit produksi
Dep. Warehouse  Kabel FSJ4-  Kabel di- Dep.
50B Original bendingdengan Warehouse
500 mtr diameter 640 mm
 Operator  Kabel tidak penyok,
tertekuk/patah dan
sobek jacket

Sub unit  Mesin kupas Bahan baku 1 di Sub unit


kabel Mengupas & kupas: pemasangan
Pengupasan unit
produksi Dep.  Alat ukur Memotong  Panjang kabel kabel -
Warehouse  Alat Konduktor jumper setelah konektor
pemotong: pengupasan 1.200
 Piasu mm ± 60
marker  Panjang konduktor
 Tang luar (outer) 22.00
 Kikir mm
 Bahan baku 1  Panjang konduktor
 Operator inti (inner) 7.00
mm ± 0,2 mm

16
Sub unit  Kunci  Pemasangan Departemen
Perakitan unit Torka konektor pada Kualitas
Memasang kabel
produksi Dep.  Bahan baku kabel 51.10 mm
- konektor
Warehouse 2  Terpasang
 Operator lengkap dengan
dengan ring dan
pengencangan 20
N.m ± 1 N.m

Departemen  Jumper PDMDR- Pelanggan


Kualitas  Alat uji Uji Kualitas 12M, VSWR 1.00 perusahaan
VSWR - 1.05, frekuensi pengguna
 Dummy load Operasi 2100 produk
50 ohm MHz - 2700 MHz jumper
 Jumper
yang telah
dirakit
 Operator
Gambar 4.5 SIPOC Proses Produksi Jumper
Sumber: Data diolah dari hasil penelitian (2015).

Output masing-masing proses ini merupakan CTQ yang perlu di capai, dan dari identifikasi
area proses diketahui bahwa jenis Cacat A dan B berasal dari area proses pengupasan; jenis cacat C
berasal dari area proses pemotongan kabel; dan jenis cacat D berasal dari area proses perakitan.
Jenis cacat A dan B merupakan cacat dominan dengan kumulatif mencapai 97,3%. Cacat A dan B
menjadi jenis cacat yang dipilih untuk diperbaiki. Karena jenis cacat A dan B berasal dari area
proses pengupasan, maka ditetapkan ruang lingkup perbaikan adalah area proses pengupasan

4.2. Tahap Measure


Pada tahap Measure ini dilakukan analisis kapabilitas proses. Pada penelitian ini
menggunakan pendekatan indeks Cp. Selama Januari – Juni telah di produksi 3.383 pcs jumper.
Standar deviasi dari seluruh VSWR produk di hitung dengan rumus Excel STDEV. Dari perhitungan
didapatkan nilai standar deviasi sebesar 0,02. Indeks Cp kemudian dianalisis dengan menggunakan
persamaan (3) sebagai berikut:
1.050 − 1.025
=
6 x 0.02
0.050
=
0,12
Cp = 0.42

Cp < 1 menunjukan proses tidak memadai dan sedang menghasilkan sejumlah produk yang
kualitasnya tidak sesuai spesifikasi atau berada di luar LSL-USL. Merujuk pada tabel 2.1 metrik
Sigma kualitas proses untuk angka indeks Cp hasil hitung adalah 1.5 Sigma. Ini berarti proses
produksi saat ini diperkirakan hanya mampu menghasilkan sekitar 86,6% produk yang sesuai
spesifikasi dan 13,4% sisanya adalah produk cacat.

17
Kualitas proses yang baik adalah apabila setelah 6 kali standar deviasi (6σ) dari ukuran-ukuran
produk yang dihasilkan, sebaran ukuran-ukuran produk yang dihasilkan oleh proses hendaknya
masih berada dalam rentang LSL-USL atau 6σ ≤ USL - LSL. Jika selisih USL-LSL adalah 0.05 maka
standar deviasi dari ukuran-ukuran VSWR jumper yang diproduksi hendaknya harus sebesar
0,008333 saja. Dari perhitungan didapatkan standar deviasi dari VSWR seluruh jumper yang
diproduksi selama Januari - Juni 2015 sebesar 0.02. Ini sekitar 2,4 kali lebih besar dari variasi yang
diperkenankan oleh LSL-USL sehingga VSWR jumper menyebar pada ukuran 1.000 - 1.075, dan
melampui LSL 1.000 - USL 1.050.
Cacat yang menyebabkan jumper tidak dapat mencapai kualitas VSWR yang diharapkan
merupakan perwujudan dari variasi proses. Area proses pengupasan telah diidentifikasi sebagai area
asal jenis cacat dominan A dan B yang secara kumulatif mencapai 97,3% dari permasalahan jumper
cacat tersebut. Dengan demikian, variasi dan kualitas Sigma proses saat ini merupakan cerminan
dari kualitas proses area tersebut. Sehingga dengan melakukan perbaikan pada area proses
pengupasan akan berdampak pada perbaikan dan peningkatan kualitas proses dan produk yang
dihasilkan proses tersebut.

4.3. Tahap Analyze


Dengan demikian pada bagian ini akan dilakukan analisis penyebab cacat produk. Penelitian
untuk jenis cacat A dan B ini kemudian di satukan. Ini disebabkan karena 2 jenis cacat ini berasal
dari area proses yang sama dan jenis pekerjaan yang sama, yaitu memotong inti konduktor (inner)
ke ukuran 7.00 mm ± 0,2 mm.

4.3.1. Analisis Penyebab Cacat


Berdasarkan pengusutan terhadap akar masalah, ditemukan 3 faktor penyebab, yaitu manusia,
mesin/peralatan dan metode. Tabel 4.1 menjelaskan Five Whys dan gambar 4.6 adalah Fishbone
yang menjelaskan secara visual analisis Five Whys.

Tabel 4.1 Five Whys Jumper Cacat


Faktor Why (1) Why (2) Why (3) Why (4) Why (5)
Penyebab
Manusia Tidak semua  Beberapa operator  Kurang -
operator dapat tidak cukup pelatihan
memotong dengan terampil.
akurat.
Pemeriksaan  Kurang - -
ukuran tidak pengawasan
dijalankan dengan
konsisten
Mesin pengupas  Alat kupas rusak.  Penggunaan  Belum ada  Kurang
tersumbat sisa telah maksimal persediaan kontrol
pemotongan untuk terhadap
sebelumnya. mengganti persediaan
alat yang alat
rusak
Mesin/ Marking tidak  Sulit untuk  Tidak dapat  Belum ada -
Peralatan akurat melakukan melihat dengan alat bantu
marking pada jelas dan tepat. yang tepat
sekeliling inti

18
konduktor.

Metode Pembengkokan  Goresan marking  Pisau marker  Kurang  Belum ada


mematahkan lebih tidak tumpul perawatan prosedur
panjang inti meninggalkan perawatan
konduktor dari bekas kedalaman
marking yang pada inti
ditandai konduktor
Operator  Penempatan  Terjadi  Skedul  Belum ada
pemotongan barang dalam Penumpukan produksi prosedur
menyerahkan proses di area barang di tunda pengaturan
barang yang salah pemotongan . karena barang di
tidak tertata skedul area proses
pelanggan
menerima
barang di
tunda
 Tidak dilakukan  Tidak ada
pemeriksaan pemeriksaan di
pengukuran di proses perakitan
area perakitan
Sumber: Data diolah dari penelitian (2015).

Manusia Mesin/Peralatan
Kurang
Beberapa operator pengawasan
kurang terampil Sulit melihat dengan
Kurang Pelatihan tepat dan jelas
Pemeriksaan
Tidak semua operator Kurangnya
memotong akurat Ukuran
ketersediaan alat
tidak bantu yang diperlukan
Belum ada persediaan
alat pengganti dijalankan
Kurang konsisten Marking tidak
kontrol Alat pengupas akurat
Penggunaan telah rusak
maksimal dan cukup lama
Sumbatan pada
Panjang Inti
alat kupas Konduktor
(inner) Tidak
Skedul produksi di Tidak memeriksa
7,00 mm ± 0,2
tunda karena ukura pada saat mm
pelanggan menunda Tidak ada serah terima
menerima barang prosedur Marking tidak Kurang perawatan
pemeriksaan meninggalkan Tidak ada
di area bekas prosedur/aturan
Tidak ada prosedur yang Pisau marker tentang perawatan
mengatur barang di area perakitan
tumpul
proses Penempatan tidak tertata Patahan lebih panjang
dari yang ditandai
Penumpukan barang di
area proses
Menyerahkan
barang yg salah
Gambar 3.5 SIPOC Proses Produksi Jumper
Metode
Sumber: Hasil Penelitian

Gambar 4.6 adalah Fishbone Jenis Cacat A dan B


Sumber: Data diolah dari penelitian (2015).

19
4.3.2. Analisis Prioritas Perbaikan
Perusahaan perlu menetapkan akar masalah penyebab cacat yang menjadi prioritas agar
perbaikan yang dilakukan tepat sasaran dan berdampak maksimal. Untuk itu perlu dilakukan
analisis. Dengan menggunakan pendekatan Matrik Sebab Akibat, analisis ini mencari kekuatan
hubungan faktor penyebab cacat dengan cacat yang terjadi menurut pendapat orang-orang yang
dianggap ahli. Karena jenis cacat A dan B dari area proses pengupasan merupakan jenis cacat
dominan, maka jenis cacat ini menjadi satu-satunya jenis cacat yang dianalisis dan diberi skor
kepentingan 9 (sangat penting). Setiap skor kekuatan hubungan akan di kalikan 9. Berdasarkan
analisis Five Whys sebelumnya ditemukan 3 faktor penyebab cacat, yaitu:
 Pada faktor manusia ditemukan 3 akar masalah penyebab cacat A dan B, yaitu: kurangnya
pelatihan; kurangnya pengawasan dan kurangnya kontrol persediaan alat pengganti.
 Pada faktor mesin/peralatan di temukan 1 penyebab, yaitu belum tersedianya alat bantu
tambahan untuk mendukung pekerjaan.
 Pada faktor metode ditemukan 3 penyebab yaitu: tidak ada prosedur pemeriksaan ukuran di
area proses perakitan; tidak ada prosedur perawatan peralatan; dan tidak prosedur yang
mengatur penempatan barang di area proses.
Tabel 4.2 adalah rangkuman penilaian akar masalah prioritas dari pendapat ahli internal
perusahaan. Skor kekuatan hubungan x kepentingan pada tabel tersebut memperingkatkan akar
masalah yang menjadi prioritas perbaikan.
Tabel 4.2 Matrik Sebab Akibat Penyebab Cacat A dan B
Skor Kekuatan
Kekuatan Hubungan x
Faktor Penyebab
Hubungan Kepentingan
(rata-rata) (rata-rata)
Manusia Kurangnya pengawasan 8.45 76.09
Manusia Kurangnya kontrol persediaan 8.18 73.64
Metode Prosedur pengaturan barang di area proses 8.18 73.64
Manusia Kurangnya pelatihan 7.73 69.55
Metode Prosedur perawatan peralatan 7.73 69.55
Mesin Perlu alat bantu pada proses marking 6.73 60.55
Prosedur pemeriksaan ukuran di area
Metode 4.36 39.27
perakitan
Total 462.27
Sumber: Data diolah dari penelitian (2015).

Berdasarkan tabel di atas, faktor terbesar berasal dari faktor manusia (47%); selanjutnya
adalah metode (40%); dan terakhir faktor mesin (13%). Guna menentukan arah perbaikan yang
paling berdampak maksimal perlu di tetapkan prioritas perbaikan. Grafik 4.8 menjelaskan Pareto
yang disusun berdasarkan tabel 5.6 sebelumnya. Dari Pareto dapat dilihat bahwa 78,41% hingga
80% perbaikan kualitas akan dapat dicapai dengan melakukan perbaikan pada system pengawasan,
kontrol dan pelatihan (faktor manusia); menetapkan prosedur pengaturan barang di area proses
pengupasan dan menetapkan prosedur perawatan peralatan (faktor metode).

20
Grafik 5.9 Pareto Faktor Penyebab Cacat A dan B

Sumber: Data diolah dari penelitian (2015).

4.4. Tahap Improve


Pada tahap improve dirancang solusi untuk mengurangi hingga menghilangkan penyebab-
penyebab yang mendorong munculnya cacat. Berdasarkan akar masalah pada analisis Five Whys
sebelumnya di usulkan alternatif solusi perbaikan seperti yang ditampilkan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Usulan Perbaikan
Faktor Penyebab Akar Masalah Usulan
Manusia Pemeriksaan ukuran 1. Kurang pengawasan 1. Melakukan pembinaan dan pelatihan
inti konduktor (inner) pada operator
tidak dijalankan 2. Melakukan pengawasan berbasis sistem
informasi yang terintegrasi dengan
aktivitas produksi.
Tidak semua operator 1. Kurang pelatihan 1. Memberikan pelatihan pemotongan inti
dapat memotong konduktor merujuk pada metode saat ini
dengan akurat 2. Memantau peningkatan skill setelah
pelatihan.
Alat pengupas 1. Kurang kontrol pada 1. Membuat jadwal pengadaan alat
pengganti tidak persediaan pengganti
tersedia 2. Membeli peralatan tambahan sebagai
back up
Mesin/ Pembuatan marking 1. Belum ada alat 1. Memasang lensa zoom.
Peralatan yang akurat sulit pendukung yang 2. Mengganti metode kerja manual saat ini
dicapai memadai dengan standar mesin.
Metode Tidak ada bekas 1. Pisau tumpul, kurang 1. Menyusun dan menerapkan prosedur
kedalaman goresan perawatan pada alat tata cara perawatan
marking marker karean prosedur 2. Menjadwalkan perawatan secara berkala

21
perawatan belum ada serta membuat log perawatan
Operator pemotongan 1. Belum ada prosedur 1. Menyusun dan menerapkan prosedur
menyerahkan barang penempatan dan yang mengatur penempatan dan aliran
yang salah pengaturan aliran barang barang
di area proses 2. Menyerahkan pengelolaan barang di
pengupasan area proses pada bagian penyimpanan
2. Belum ada prosedur persediaan
pemeriksaan di area 3. Prosedur pemeriksaan di area proses
proses perakitan perakitan tidak perlu karena sudah ada
usulan pengawasan berbasis sistem
informasi yang terintegrasi dengan
proses produksi dan ada usulan prosedur
untuk penempatan barang di area proses
pengupasan
Sumber: Data diolah dari penelitian

4.5. Pembahasan
Penelitian ini menemukan bahwa cacat pada jumper yang dihasilkan oleh proses produksi
adalah diskontinuitas pada sambungan kabel kanektor. Akar masalahnya bersumber dari faktor
manusia, mesin/peralatan dan metode yang berasal dari area proses pengupasan.
Prioritas perbaikan kualitas dalam jangka pendek, sekitar 3 bulan ke depan, hendaknya
diarahkan pada perbaikan-perbaikan yang berdampak maksimal, seperti perbaikan sistem
pengawasan di area produksi, pembinaan dan training, dan menjadwalkan ketersediaan alat
pengganti serta mengadakan alat tambahan (faktor manusia); menyusun prosedur perawatan
peralatan dan menjadwalkan perawatan peralatan secara berkala, dan menyusun serta menjalankan
prosedur pengelolaan barang di area porses pengupasan untuk mengurangi penumpukan barang
(faktor metode). Adanya kebutuhan alat pendukung kerja menunjukan kondisi kerja manual saat ini
sulit dalam mencapai standar akurasi yang ditetapkan. Usulan untuk mengganti kerja manual saat
ini dengan standar mesin perlu dikaji karena melibatkan investasi dan potensi permintaan pasar
sehingga dapat menjadi prioritas perbaikan dalam jangka panjang.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Kualitas proses yang berlangsung saat ini 1,5 Sigma. Dengan Sigma kualitas porses ini 86,6%
jumper yang dihasilkan proses adalah produk yang sesuai spesifikasi dan 13,4% jumper yang
dihasilkan oleh proses adalah produk cacat.
2) Faktor-faktor dominan yang menyebabkan proses produksi menghasilkan sejumlah jumper
cacat adalah faktor-faktor yang berasal dari area proses pengupasan. Faktor dominan tersebut
adalah:
 Faktor manusia merupakan masalah tebesar dengan kontribus 47%, dengan akar masalah
kurangnya pengawasan dan kurangnya pelatihan dan kurangnya kontrol persediaan alat
pengganti.
 Faktor metode berkontribusi 40%, dengan akar masalah belum adanya prosedur yang
mengatur pengelolaan dan aliran barang di area proses; dan belum dilaksanakannya
perawatan pada peralatan karena belum adanya prosedur tata cara perawatan.

22
 Faktor mesin/peralatan berkontribusi 13%, dengan akar belum tersedianya peralatan
pendukung pekerjaan yang memadai.
3) Alternatif solusi perbaikan kualitas proses produksi berdasarkan temuan akar adalah sebagai
berikut:
a) Faktor Manusia
 Mengembangkan pengawasan berbasis sistem informasi. yang terintegrasi dengan
proses produksi sehingga secara real time dapat memantau kinerja operator.
 Memberikan pembinaan dan pelatihan pemotongan inti konduktor, pelatihan tentang
kualitas, pelatihan product knowledge dan memantau peningkatan skill setelah pelatihan.
 Menjadwalkan pengadaan persediaan alat pengganti sesuai waktu dan kebutuhan dan
membeli peralatan tambahan sebagai back up
b) Faktor Metode
 Menyusun dan menerapkan prosedur yang mengatur pengelolaan dan aliran barang di
area proses untuk menghindari penumpukan.
 Menyusun prosedur tata cara perawatan peralatan dan melaksanakan jadwal perawatan
dengan konsisten.
c) Faktor Mesin/Peralatan
 Melengkapi peralatan yang diperlukan untuk mencapai akurasi pemotongan
 Mengganti standar kerja manual dengan standar kerja mesin

5.2. Saran
1) Departemen Warehouse perlu meneliti dampak dari penerapan usulan perbaikan yang
diajukan terhadap perbaikan kualitas
2) Panjang inti konduktor yang ditetapkan menurut spesifikasi adalah 7,00 mm ± 0,02 mm untuk
karakteristik konektor F4-PDMV2C. Dari penelitian ditemukan panjang inti konduktor
penyebab diskontinuitas yang berdampak pada jumper cacat adalah 3,28 mm - 5,77 mm dan
8,73 mm - 10,15 mm, disini ada gap dari 3,28 mm - 5,77 mm ke 7,00 mm ± 0,02 mm dan dari
7,00 mm ± 0,02 ke8,7310,15 mm. Untuk itu perlu dilakukan penelitian dalam bentuk Design
Of Experiment guna mengetahui secara akurat ukuran minimum panjang inti konduktor
penyebab diskontinuitas yang berdampak pada kualitas akhir jumper dan panjang inti
konduktor yang berdampak pada besaran VSWR jumper.

23
DAFTAR PUSTAKA

Adam, Stephen. F., dan Packard, Hewlett. (1992). Microwave Theory And Application. Prentice
Hall, USA.
Algassem, Fahed., et.al. (2014).“Application of Lean Six Sigma Principles to Food Distribution
SMEs”. American Academic & Scholarly Research Journal. Vol. 6. No. 4. pp. 251-258
Anritsu. (Undated). Understanding Cable & Antenna Analysis. Anritsu Company, USA.
Atmaca, Ediz., dan Girenes, S.Sule. (2013). “Lean Six Sigma methodology and application”.
Quality and Quantity. Vol. 47. No. 4. pp. 2107–2127
Awaj, Yonathan Mengesha., et.al (2013). “Quality Improvement Using Statistical Process Control
Tools In Glass Bottles Manufacturing Company”. International Journal Of Quality
Research. Vol 7. No.1. pp. 107-126.
Bagus., dan Sudjadi. (undated). Pengukuran Nilai VSWR Dan DTF Menggunakan Site Master Anritsu
S331D. Makalah Seminar Kerja Praktek. Teknik Elektro Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro.
Baia, Amandio Pereira. (2015). “Achieving Customer Specification Through Process Improvement
Using Six Sigma: Case Study Of Nutrisoil – Portugal”. The Quality Management Journal.
Vol 22. No. 2. pp. 48-60.
Besterfield, Dale.H. 2013. Quality Improvement 9th edition. Prentice Hall, United States Of
America.
Bubshait., Abdulaziz. A., dan Al-Dosary, Abdullah A. (2014). “Application of Lean Six-Sigma
Methodology to Reduce the Failure Rate of Valves at Oil Field”. Proceedings of the World
Congress on Engineering and Computer Science. WCECS, 22-24 October, 2014, San
Francisco, USA
Chi, Richard., dan Li Hsi. (2009). Radio Frequency Design. Willey & Sons, Inc. USA
chin Hung, Hsiang., et.al. (2011). “Application Of Six Sigma In The TFT-LCD Industry: A Case
Study”. The International Journal of Organizational Innovation. Vol. 4. No. 1. pp. 74-93.
Chen, K.S., et.al. (2009). “The Communion Bridge To Six Sigma And Process Capability Indices”.
Quality and Quantity. Vol. 44. No. 3. pp. 463-469.
Das, Prasun., dan Gupta, Abhranil. (2012). “Molding Solution”. ASQ Six Sigma Forum Magazine.
Vol. 11. No. 4. p. 9.
de Koning, Henk., dan de Mast, Jeroen. (2006). “A Rational Reconstruction of Six-Sigma’s
Breakthrough Cookbook”. International Journal of Quality & Reliability Management.
Vol. 23. No. 7. pp. 766-787.
Dewi, Shanty Kusuma (2012). “Minimasi Defect Product Dengan Konsep Six Sigma”. Jurnal
Teknik Industri. Vol.13. No.1. pp. 43-50.
Fransiskus, Hanky., Prithadevi, Chintya Juwono., dan Sarah, Astari Isabelle. (2014). “Implementasi
Metode Six Sigma DMAIC Untuk Mengurangi Paint Bucket Cacat di PT.X”. Jurnal
Rekayasa Sistem Industri. Vol. 3. No. 2. pp.53-64.
Gijo, E.V., et.al. (2011). “Application of Six Sigma Methodology to Reduce Defects of a Grinding
Process”. Quality And Reliability Engineering International. Vol.27. Issue 8. pp. 1221-
1234.

24
Huber - Suhner. (2007). RF Connector Guide. Understanding Connector Technology 4 th Edition.
Huber + Suhner AG, Switzerland.
Hendrawan, Donny. (2013). “Analisa Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Kesalahan Pengiriman
Barang Dari Gudang (Studi Kasus : PT. Niro Ceramic Sales Indonesia)”. Jurnal MIX. Vol.
6 No. 1, pp.74-87
Kubiak, TM. (2009). Perusing Performacne Metric. http://asq.org/quality-progress/2009/08/34-per-
million/perusing-process-performance-metrics.html (Diakses tanggal 30 Mei 2015).
Kuphaldt, Tony.R. (2007). Lessons In Electric Circuits, Volume II – AC 6th Edition. Design Science
License, USA
Laricha, Lithrone., et.al. (2013). “Usulan Perbaikan Kualitas Dengan Penerapan Metode Six Sigma
Dan FMEA (Failure Mode And Effect Analysis) Pada Proses Produksi Roller Conveyor
MBC Di PT. XYZ”. Jurnal Teknik Industri. Vol. 1. No.2. pp. 86-94.
Mahjud, Ihsan. (2003) Gelombang Berdiri dan Pengaruhnya Terhadap Pentransmisian Sinyal
Informasi. Polirekayasa. Vol. 4. No. 2. pp. 133-180.
Mandawi, Nabeel., dan Obeidat, Suleman. (2012). “Six Sigma Implementation To Minimize Weight
Variation For Lido Diaper Manufacturing Company”. International Journal Six Sigma and
Competitive Advantage. Vo. 7. No. 5 pp. 243-254.
Montgomery, Douglas. C. (2009). Introduction To Statistical Quality Control 6th edition. John
Willey & Sons, USA.
Mukhopadhyay, Arup Ranjan., dan Das, Nandini. (2009). “Sparking a Solution”. ASQ Six Sigma
Forum Magazine. Vol. 8. No. 9. p. 18
Park, Sung H. (2003). Six Sigma For Quality And Productivity Promotion. Asian Productivity
Organization, Tokyo, Japan.
Poole, Ian. (undated). CoaxialCable Impedance. http://www.radio-
electronics.com/info/antennas/coax/rf-coaxial-cable-impedance.php. (Diakses 24 Juli 2015)
Pulakanam, Venkateswarlu. (2011). “Responsibility Of Product Quality Problem In Sequential
Manufacturing: A Case Study From Meat Industry”. The Quality Management Journal.
Vol. 18. No. 1. pp. 7-22
Pusporini, Pregiwati., dan Andesta, Deny. (2009). “Integrasi Model Lean Six Sigma Untuk
Peningkatan Kualitas Produk”. Jurnal Teknik Industri. Vol. 10. No. 2. pp. 91–97
Remy, Dulce Maria Rabago., et.al. (2014). “Statistical Quality Control and Process Capability
Analysis for Variability Reduction of the Tomato Paste Filling Process”. Industrial
Engineering & Management. Vol. 3. Issue 4. pp. 1-7
Sharma, G.V.S.S., dan Rao, Srinivasa. P. (2014). “A DMAIC Approach For Process Capability
Improvement An Engine Crankshaft Manufacturing Process” Journal Industrial
Engineering International. Vol. 10. No.65. pp. 1-11.
Sokovic, M., et.al. (2005). “Application Of Six Sigma Methodology For Process Design”. Journal
of Materials Processing Technology. Vol. 162-163. pp. 777-783
Valles, Adan., et.al. (2009). “Implementation of Six Sigma in a Manufacturing Process: A Case
Study”. International Journal Of Industrial Engineering. Vol. 16. No. 3. pp. 171-181
Wooluru, Yerriswamy., Swamy., dan Nagesh, P. (2014). “The Process Capability Analysis – A Tool
For Process Performance Measure And Metrics – A Case Study”. International Journal Of
Quality Research. Vol. 8. No. 3. pp. 399-416.

25

You might also like