You are on page 1of 13

PENGOLAHAN BIJI KAKAO PRODUKSI PERKEBUNAN RAKYAT

UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN PETANI


(Processing of Smallholder Plantations Cocoa Production
to Increase Farmers Income)
Radot Manalu
Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu IPTEK (PAPPIPTEK)-LIPI
Gedung A, PDII-LIPI, Jl. Jend. Gatot Subroto No.10, Jakarta Selatan 12720
Telp. (021) 5225711 Ext: 4054; Fax. (021) 5201602; radotmanalu@yahoo.com, manaluradot@gmail.com
Naskah diterima: 20 April 2018
Naskah direvisi: 21 Mei 2018
Naskah diterbitkan: 31 Desember 2018

Abstract
The cocoa commodity is one of the plantation commodities in Indonesia which has an important role for the national economy to
increase the country’s foreign exchange. However, the quality of Indonesian cocoa, especially the production of smallholder cocoa
beans, is still low. The results showed that smallholder plantations farmers in South Sulawesi Province did not pay attention to the quality
of cocoa beans because usually farmers sell cocoa beans that have not been fermented. If farmers of smallholder cocoa plantations
process cocoa beans with fermentation technology will get better quality and economic value because the price of fermented cocoa
beans is higher than the price of unfermented cocoa beans with a price difference of around Rp3,000/kg - Rp5,000/kg. In addition to
improving quality to obtain better economic value, the results of the study also show that animal feed from fermented cocoa beans is
also better than non-fermented cocoa beans. The purpose of this study is to review and formulate policy recommendations to improve
the quality of cocoa beans produced by smallholders to increase farmer income. Therefore, technical guidance on the management of
cocoa beans from the local government to smallholder plantation farmers is very important so that the quality of farmer cocoa beans
can be improved. Furthermore, in the future the cocoa development program in the future must be directed towards efforts to realize
high-quality cocoa bean products, so as to obtain better economic value especially for farmers as suppliers of cocoa beans. This study
uses a qualitative method with a descriptive approach. The research sample was taken through purposive sampling technique. Data
analysis was carried out with a qualitative exploratory approach with a research framework for post-harvest cocoa bean processing
so that it could explain and answer problems in the study.
Keywords: processing, quality, cocoa, income, farmers, technology

Abstrak
Kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah satu komoditas perkebunan di Indonesia yang memiliki peranan penting bagi
perekonomian nasional untuk peningkatan devisa negara. Namun demikian, mutu kakao Indonesia khususnya produksi biji kakao
perkebunan rakyat masih rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para petani perkebunan rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan
belum memerhatikan mutu biji kakao karena pada umumnya petani menjual biji kakao hasil pertaniannya yang belum difermentasi.
Jika petani perkebunan kakao rakyat mengolah biji kakao dengan teknologi fermentasi akan mendapatkan mutu dan nilai ekonomi
yang lebih baik karena harga biji kakao fermentasi lebih tinggi dari harga biji kakao yang tidak difermentasi dengan selisih harga
sekitar Rp3.000,-/kg – Rp5.000,-/kg. Selain peningkatan mutu untuk memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik, hasil penelitian
juga menunjukkan bahwa pakan ternak dari limbah biji kakao yang difermentasi juga lebih baik dibandingkan dengan biji kakao
yang tidak fermentasi. Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan merumuskan saran kebijakan guna meningkatkan mutu biji kakao
produksi perkebunan rakyat untuk meningkatkan pendapatan petani. Oleh karena itu, bimbingan teknis pengelolaan biji kakao dari
pemerintah daerah kepada petani perkebunan rakyat sangat penting agar mutu biji kakao petani dapat ditingkatkan. Selanjutnya,
secara berkelanjutan program pengembangan kakao di masa depan harus diarahkan kepada upaya mewujudkan produk biji kakao
yang bermutu tinggi, sehingga dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik terutama bagi petani sebagai pemasok biji kakao.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Pengambilan sampel penelitian dilakukan melalui
teknik purposive sampling. Analisis data dilakukan dengan pendekatan kualitatif eksploratif dengan kerangka penelitian pengolahan
biji kakao pascapanen sehingga dapat menjelaskan dan menjawab permasalahan dalam penelitian.
Kata kunci: Pengelolaan, mutu, kakao, pendapatan, petani, teknologi

PENDAHULUAN Sulawesi (63,8%), Sumatera (16,3%), Jawa (5,3%),


Kakao (Theobroma cacao L) merupakan salah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Bali
satu komoditas perkebunan di Indonesia yang (4,0%), Kalimantan (3,6%), Maluku dan Papua (7,1%)
memiliki peranan penting bagi perekonomian (Ditjenbun, 2013). Data tersebut menunjukkan
nasional untuk peningkatan devisa negara. bahwa Sulawesi merupakan provinsi yang memiliki
Berdasarkan data Program Gerakan Nasional luas areal perkebunan kakao tertinggi dibandingkan
(Gernas) 2012, Indonesia memiliki sentra perkebunan dengan wilayah lainnya. Luas areal perkebunan
kakao yang tersebar di beberapa provinsi antara lain: kakao di Indonesia ditunjukkan pada Tabel 1.

Radot Manalu, Pengolahan Biji Kakao Produksi Perkebunan Rakyat untuk Meningkatkan Pendapatan Petani | 99
Tabel 1. Luas Areal Perkebunan Kakao Indonesia Tahun rakyat itu sendiri. Untuk memenuhi ketentuan
2015 – 2017 pasar internasional tersebut perlu menjaga mutu
Luas Areal biji kakao dengan kesiapan teknologi dan sarana
Tahun pascapanen yang cocok untuk kondisi petani agar
Perkebunan
Rakyat
BUMN Swasta Total dapat menghasilkan biji kakao dengan mutu sesuai
kebutuhan pasar. Uraian di atas menunjukkan
2015 1.667.337 15.171 26.776 1.709.284 bahwa untuk menjaga mutu biji kakao tersebut,
2016 1.659.598 15.101 26.652 1.701.351 teknologi fermentasi biji kakao menjadi sangat
2017 1.649.827 15.012 26.495 1.691.334
penting dan mutlak dilakukan oleh para petani di
Indonesia karena harga biji kakao sangat ditentukan
Sumber: Diolah dari Statistik Perkebunan Indonesia, Direktorat Jenderal
Perkebunan, Deptan, 2016. berdasarkan harga pasar internasional difermentasi
atau tidaknya biji kakao yang diperdagangkan.
Jika dilihat dari luas areal perkebunan kakao Seiring dengan tuntutan pasar yang semakin
secara nasional pada tahun 2017 sebesar 1.691.334 memerhatikan mutu, pemerintah melalui Badan
Ha yang terdiri dari Perkebunan Rakyat sebesar Standardisasi Nasional (BSN) membuat standar
1.649.827 Ha, Perkebunan BUMN sebesar 15.012 mutu biji kakao Indonesia yang diatur dalam
Ha, dan Perkebunan Swasta sebesar 26.495 Ha. Standar Nasional Indonesia (SNI) Biji Kakao (SNI 01
Sejak tahun 2007 produksi kakao di Indonesia terus – 2323 – 1991). Ketentuan standar SNI ini meliputi
menurun (Tempo.Co., Bisnis, 2014). Menurut data definisi, klasifikasi, syarat mutu, cara pengambilan
International Cocoa Organization (ICCO) 2014, dapat contoh, cara uji, syarat penandaan (labelling),
dikatakan bahwa sejak tahun 2006 produksi biji cara pengemasan dan rekomendasi. Standar mutu
kakao Indonesia cenderung mengalami penurunan ditentukan sebagai tolak ukur untuk pengawasan
terutama pada tahun 2011. Tahun 2011 produksi pengendalian mutu. Setiap bagian biji kakao yang akan
biji kakao perkebunan Indonesia turun drastis diekspor harus memenuhi persyaratan standar mutu
menjadi 440.000 ton dari 557.596 ton di tahun 2010, tersebut yang diawasi oleh lembaga pengawasan
kemudian pada tahun 2012 kembali turun menjadi terkait yang ditunjuk. Salah satu prasyarat menjaga
440.000 ton, selanjutnya jumlah produksi di tahun mutu biji kakao tersebut adalah fermentasi.
2013 naik sedikit menjadi 425.000 ton. Ketentuan SNI Biji kakao tersebut telah
Uraian di atas menunjukkan bahwa dari tahun ditindaklanjuti dengan Peraturan Menteri
ke tahun produktivitas kakao Indonesia semakin Pertanian Nomor 51/Permentan/OT.140/9/2012,
menurun. Disamping produktivitas yang semakin tentang pedoman penanganan pascapanen kakao.
menurun, mutu kakao Indonesia khususnya biji Upaya ini bertujuan untuk meningkatkan dan
kakao produksi perkebunan rakyat masih rendah. mempertahankan mutu biji kakao dan mampu
Menurut Kanara (2009), rendahnya produktivitas mengangkat kakao nasional agar dapat bersaing
dan mutu kakao Indonesia terutama disebabkan baik di pasar domestik maupun global serta
oleh beberapa hal, antara lain karena biji kakao berkontribusi dalam mendukung pertumbuhan
yang diperdagangkan oleh petani pada umumnya ekonomi nasional. Untuk menghasilkan biji kakao
tidak difermentasi terlebih dahulu, padahal mutu biji yang berkualitas dan memiliki nilai ekonomi yang
dan harga jual kakao yang telah difermentasi lebih lebih tinggi, tidak hanya tergantung pada varietas
baik daripada yang belum difermentasi dan patokan dan lingkungan pertumbuhan tanaman kakao saja,
harga di pasar internasional berdasarkan biji kakao tetapi yang terutama adalah bagaimana para petani
yang telah difermentasi. Rendahnya mutu kakao kakao mengolah biji kakao tersebut untuk menjaga
tersebut terutama adalah karena kemampuan petani mutu yang lebih baik. Salah satu faktor yang sangat
perkebunan kakao rakyat baik kemampuan untuk menentukan mutu biji kakao adalah difermentasi
memanfaatkan teknologi maupun kemampuan atau tidaknya biji kakao tersebut. Namun ketentuan
terkait dengan pengetahuan manajerialnya sehingga dan kebijakan tersebut belum berjalan dengan baik
perilaku petani perkebunan kakao pada umumnya karena walaupun diwajibkan tapi tidak ada sanksi
cenderung memperdagangkan biji kakao yang tidak yang diberlakukan bila ketentuan tersebut dilanggar
difermentasi. oleh pelaku yang bersangkutan.
Padahal jika petani kakao rakyat tersebut Uraian di atas menjelaskan bahwa diperlukan
melakukan fermentasi pada pascapanen yang peran pemerintah untuk menjaga mutu biji kakao
bertujuan untuk menghasilkan produk kakao perkebunan tersebut berupa bimbingan teknis,
bermutu dan berdaya saing tinggi tentu saja akan pengawasan, dan pengendalian agar biji kakao yang
meningkatkan harga dan memperoleh nilai ekonomi diekspor dapat berdaya saing tinggi sesuai dengan
yang lebih baik bagi petani perkebunan kakao kebutuhan pasar internasional. Oleh karena itu

100 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, (E-ISSN: 2528-4673 P-ISSN: 2086-6313) Vol. 9, No. 2, Desember 2018 99 - 111
setiap pelaku usaha perkebunan terutama petani Dewi (2014) mengatakan bahwa keinginan petani
perkebunan kakao rakyat harus memerhatikan dan untuk dapat segera memperoleh uang pembayaran
menjaga mutu biji kakao sesuai dengan SNI yang biji kakao menjadi salah satu kendala sedangkan
telah ditetapkan. Nilai ekonomi atau harga biji kakao jika biji kakao terlebih dahulu difermentasi dianggap
yang lebih tinggi dapat diperoleh jika para petani menunggu terlalu lama.
perkebunan rakyat melakukan fermentasi sebelum Senada dengan itu hasil penelitian menunjukkan
menjualnya ke pedagang pengumpul atau pedagang bahwa rendahnya produktivitas dan mutu biji
besar. kakao yang dihasilkan perkebunan kakao rakyat
Penelitian di sektor perkebunan khususnya disebabkan karena kurangnya perhatian petani itu
komoditi kakao penting dilakukan karena kakao sendiri terhadap mutu (Siahaan, Saut, dkk., 2014).
merupakan salah satu komoditas yang mempunyai Mutu kakao hasil petani perkebunan kakao rakyat di
peran penting bagi perekonomian nasional, sebagai sentra-sentra perkebunan terutama karena petani
salah satu komoditi unggulan dan penyumbang pada umumnya menjual kakao hasil perkebunan
devisa negara peringkat ketiga di sektor perkebunan. tanpa melalui proses fermentasi dan sortasi terlebih
Setiap daerah memiliki persoalan dan tantangan dahulu. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang
masing-masing, namun secara umum terdapat 5 menunjukkan bahwa petani kakao rakyat memiliki
(lima) persoalan dan tantangan spesifik di setiap kecenderungan untuk mengolah dan menjual tanpa
daerah yang patut dicermati dalam merancang fermentasi dan tidak memerhatikan kualitas (John,
kebijakan daerah yaitu: globalisasi, kemajuan iptek, Davit M., dkk., 2013).
ekonomi, jaringan, pengetahuan, dan tumpuan Sementara itu pedagang pengumpul tetap
pada kekhasan faktor lokal (Marzuki, Ervan, 2012). membeli biji kakao dengan harga yang bervariasi
Uraian tersebut menegaskan bahwa walaupun tergantung mutu dengan tingkat kekeringan dan
pemerintah khususnya pemerintah daerah telah kebersihan kakao yang dijual oleh petani. Selanjutnya
berupaya membangun perekonomian masyarakat pedagang besar juga membeli biji kakao dari pedagang
melalui berbagai program namun harus diakui baik pengumpul walaupun dengan mutu rendah, namun
pemerintah maupun masyarakatnya sendiri memiliki harus melakukan sortasi dan pengeringan terlebih
kelemahan dan tentu saja masih banyak persoalan dahulu sebelum biji kakao diekspor.
dan tantangan yang nyata dalam kegiatan masyarakat Sebenarnya pedagang pengumpul dan pedagang
sehari-hari khususnya di sektor perkebunan termasuk besar juga menginginkan biji kakao yang berkualitas
perkebunan kakao rakyat. baik dengan standar pasar internasional sesuai
Permasalahan yang ada bahwa produksi kakao dengan permintaan pengguna. Namun demikian hal
hasil perkebunan Indonesia masih banyak diekspor tersebut tampaknya masih sulit terpenuhi karena
ke negara tertentu dalam bentuk biji yang belum dapat dikatakan bahwa petani adalah pelaku utama
diolah atau belum difermentasi yang biasa disebut dalam tata niaga kakao karena petani merupakan
biji asalan dan pada umumnya biji asalan ini berasal pemasok pertama yang akan berdampak sampai ke
dari hasil perkebunan kakao rakyat. Berdasarkan pengguna akhir. Uraian di atas menunjukkan bahwa
data Direktorat Jenderal Perkebunan bahwa sekitar kunci bermutu tidaknya biji kakao berada di tangan
90 persen dari total produksi perkebunan kakao petani karena petani merupakan pemasok pertama
di Indonesia merupakan biji kakao yang belum dan berada di hulu perkebunan.
difermentasi, sedangkan harga ekspor biji kakao Pemerintah daerah telah berupaya melakukan
ditetapkan di pasar internasional berdasarkan biji program peningkatan mutu dan produktivitas melalui
kakao fermentasi (Ditjenbun, 2012). program Gernas, namun upaya tersebut belum
Fakta menunjukkan pada umumnya para petani berdampak signifikan terhadap peningkatan mutu
perkebunan kakao rakyat kurang memerhatikan karena terkendala dengan keterbatasan sumber
mutu. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan daya termasuk tenaga pendamping/PPL. Menurut
bahwa biji kakao dari para petani di Provinsi informasi bahwa tenaga pendamping/PPL untuk
Sulawesi Selatan umumnya bermutu rendah karena komoditas kakao masih sangat terbatas. Padahal
pengolahan pascapanen yang dilakukan oleh petani tanaman kakao terkenal tanaman manja yang lebih
kakao di Provinsi Sulawesi Selatan masih tradisional sulit dipelihara dibanding tanaman lainnya, seperti
artinya belum melakukan fermentasi. Hal ini diperkuat sawit, karet, kopi, dll. Untuk itu, petani membutuhkan
juga dengan hasil penelitian yang menunjukkan pembimbingan teknis yang lebih maksimal untuk
bahwa mutu produk kakao yang dihasilkan dari meningkatkan pemahaman mereka bagaimana
perkebunan rakyat sangat rendah karena tidak cara pengelolaan kakao yang baik. Berdasarkan
difermentasi, serta banyak mengandung kotoran permasalahan tersebut di atas dapat dikatakan
dan jamur (Listiyati Dewi, 2014). Lebih jauh Listiyati bahwa petani perkebunan kakao rakyat di Provinsi

Radot Manalu, Pengolahan Biji Kakao Produksi Perkebunan Rakyat untuk Meningkatkan Pendapatan Petani | 101
Sulawesi Selatan belum memerhatikan mutu kakao inovasi. Nilai tambah dari aspek ekonomi adalah
hasil perkebunannya. Peningkatan mutu biji kakao ini meningkatkan nilai produk (Boland, Mike, 2009).
juga bertujuan agar petani perkebunan kakao rakyat Selanjutnya suatu produksi dikatakan memiliki
juga dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik nilai tambah ketika produk tersebut telah mencapai
dari hasil penjualan biji kakao mereka. Jika mutu biji bentuk tertentu seperti kualitas; memenuhi harapan
kakao dari petani lebih terjamin, hasil yang diperoleh pengguna, menyediakan bentuk sesuai kebutuhan
industri tentu akan mengalir juga ke petani sebagai (Anderson & Hall, 2011 dalam Onditi, Ominde Gladys
pemasok bahan baku melalui peningkatan harga jual. 2014). Sementara itu, menurut Coltrain, et al., (2000)
Oleh karena itu perlu solusi atau upaya peningkatan dalam Onditi Ominde Gladys (2014), untuk memperoleh
atau perbaikan mutu biji kakao di Provinsi Sulawesi nilai tambah dapat melalui dua jenis pendekatan yaitu
Selatan melalui teknologi fermentasi. melalui inovasi dan kolaborasi. Inovasi merupakan
Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan suatu aktivitas untuk memperbaiki proses yang baik
merumuskan saran kebijakan guna meningkatkan prosedur, pelayanan, atau menciptakan produk baru.
mutu biji kakao produksi perkebunan rakyat Uraian di atas menunjukkan bahwa proses
dalam rangka meningkatkan pendapatan petani. inovasi merupakan suatu cara atau upaya perbaikan
Peningkatan mutu biji kakao tersebut ditujukan sesuatu barang atau jasa terhadap proses sebelumnya
untuk memenuhi permintaan pasar internasional. untuk memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik
Upaya untuk memperbaiki mutu biji kakao dapat di lingkungan organisasi maupun di kalangan bisnis
dilakukan melalui pengolahan biji kakao. Pengolahan termasuk dalam usaha perkebunan kakao rakyat.
biji kakao menggunakan teknologi fermentasi Jadi yang dimaksud dengan nilai ekonomi dalam
dengan dukungan pemerintah daerah. Pemberian penelitian ini adalah perbuatan seseorang atau
bimbingan dilakukan untuk mendorong para pelaku sekelompok orang untuk melakukan perubahan atas
usaha perkebunan kakao rakyat agar menghasilkan dasar pertimbangan untuk mendapatkan keuntungan
biji kakao dengan mutu sesuai dengan ketentuan SNI finansial yang lebih baik.
dan pasar internasional. Sistem pemasaran pertanian mencakup kegiatan
Menurut Daryanto, Arif (2009), bahwa dengan produktif yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
memperbaiki dan meningkatkan teknologi di setiap yang ada dalam sistem komoditas baik secara vertikal
tahapan produksi akan memungkinkan peningkatan berdasarkan urutan penambahan kegunaan atau
kuantitas dan kualitas produksi per satuan aset penciptaan nilai tambah maupun secara horizontal
ataupun per satuan tenaga kerja. Lebih jauh dikatakan berdasarkan tingkatan kegiatan produktif yang
bahwa untuk meningkatkan nilai produk dari setiap sama (Said, Gumbira, et al., 2001). Uraian tersebut
satuan aset yang digunakan dapat ditempuh dengan menunjukkan bahwa dalam sistem pemasaran suatu
perbaikan produktivitas, perbaikan kualitas, dan produk tertentu diperlukan kreativitas dari para
peningkatan harga per satuan produk yang diterima pelaku usaha untuk memperoleh nilai ekonomi yang
petani. lebih baik. Berdasarkan uraian di atas dapat diartikan
Oslo manual dalam Fizzanty (2010) mendefinisikan bahwa dalam setiap proses kegiatan atau aktivitas
bahwa inovasi merupakan implementasi dari produk perlu dilakukan suatu perubahan yang berorientasi
baru atau perbaikan terhadap produk (barang atau ke arah peningkatan nilai ekonomi yang lebih baik.
jasa), atau proses sebelumnya secara signifikan, Menurut Sabahannur, dkk (2016), petani kakao
suatu metode pemasaran yang baru, atau metode sebagian besar mengolah buah kakao menjadi biji
organisasi yang baru dalam praktik-praktik bisnis, kering dengan alat dan cara seadanya, sehingga
organisasi kerja atau hubungan eksternal. Berkaitan kurang lebih 90 persen biji kakao yang dihasilkan
dengan nilai tambah produk dapat dicapai dengan tergolong mutu rendah dengan ciri-ciri utama, kurang
beberapa cara, namun yang terutama adalah kering, terserang jamur dan banyak mengandung

Buah Kakao Pemecahan Proses


Pengeringan
Buah Fermentasi

Pemasaran Pengemasan Sortir Buah

Sumber: Natawidjaya, 2012.


Gambar 1. Konsep Proses Pengolahan Kakao Pascapanen

102 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, (E-ISSN: 2528-4673 P-ISSN: 2086-6313) Vol. 9, No. 2, Desember 2018 99 - 111
kotoran (kontaminan). Secara umum alur proses Sudah tentu dengan pengelolaan biji kakao
kegiatan pengolahan biji kakao dalam penanganan yang kurang baik akan menghasilkan mutu biji
pascapanen dapat dilihat dalam Gambar 1. kakao yang kurang baik pula. Mutu produk yang
Alur proses pascapanen usaha perkebunan kakao diperdagangkan sangat terkait dengan daya saing.
yang baik dimulai dari sortasi biji kakao, kemudian Hal ini senada dengan pendapat bahwa mutu kakao
buah kakao dipecahkan, selanjutnya difermentasi yang rendah akan menghambat peningkatan daya
untuk mendapatkan mutu yang lebih baik. Setelah saing kakao Indonesia (Purba, Frans, 2014). Terkait
fermentasi dilakukan, kemudian dikeringkan atau dengan keunggulan daya saing produk tidak dapat
dijemur, kemudian disortir kembali sebelum dikemas, dipungkiri dan semakin diyakini bahwa keunggulan
terakhir disimpan dalam gudang penyimpanan atau daya saing global semakin ditentukan oleh faktor-
langsung dipasarkan. Namun demikian, menurut faktor lokalitas (Marzuki, Ervan, 2012).
Karmawati, Elna dkk (2010) bahwa biji kakao juga tidak Uraian di atas menjelaskan bahwa sebaik
baik jika berlebihan dalam proses fermentasi karena apapun program yang digulirkan oleh pemerintah
biji kakao yang berlebihan proses fermentasinya akan jika si penerima program dalam hal ini petani atau
mudah pecah, berwarna coklat tua tidak cerah, cita rakyat tidak peduli dan tidak mendukung program
rasa coklatnya kurang dan berbau apek. tersebut tentu saja hasilnya juga tidak sesuai dengan
Cita rasa khas kakao atau biasa disebut coklat apa yang diharapkan. Untuk mendapatkan mutu biji
sangat ditentukan oleh fermentasi dan penyangraian. kakao sesuai SNI seperti disebutkan di atas harus
Proses fermentasi dilakukan untuk membentuk melalui fermentasi. Oleh karena itu pengolahan biji
cita rasa khas, warna coklatnya yang cerah, keping kakao melalui proses fermentasi sangat diperlukan
bijinya yang berongga serta untuk mengurangi rasa dan mutlak dilakukan untuk memenuhi standar
pahit dan sepat yang ada dalam biji kakao sehingga pasar internasional dan memperoleh nilai ekonomi
menghasilkan biji kakao dengan mutu dan aroma yang lebih baik.
yang baik, serta warna coklat cerah dan bersih.
Selain harus melakukan fermentasi para petani METODE
juga harus memerhatikan mutu biji kakao dengan Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri
standar mutu yang telah diatur dalam SNI 2323:2008. dari data primer dan data sekunder. Data sekunder
Menurut jenis tanaman, biji kakao digolongkan dalam diperoleh dari berbagai sumber informasi antara
dua jenis, yaitu jenis mulia dan jenis lindak. Kemudian, lain: buku, jurnal, data statistik, dan kebijakan
berdasarkan mutunya digolongkan dalam 3 jenis, yaitu berupa peraturan pemerintah sesuai dengan
mutu I, mutu II, dan mutu III. Menurut ukuran berat substansi permasalahan dan pembahasan dalam
bijinya, dinyatakan jumlah biji per 100 gram. Selain itu, penelitian. Sedangkan data primer diperoleh melalui
biji kakao digolongkan menjadi 5 golongan, yaitu AA, wawancara dengan responden dan narasumber
A, B, C, dan S, yaitu, kelas AA maksimal 85 biji, kelas A terpilih. Pengambilan sampel penelitian dilakukan
86-100, kelas B 101-110, kelas C 111-120, dan klas S melalui teknik purposive sampling. Responden
>120. Disamping itu, kadar air yang terkandung dalam terpilih ditentukan dengan kriteria: kelompok tani,
biji kakao tidak lebih dari 7,5 persen (BSN, 2008). pedagang pengumpul, pedagang besar, dan industri.
Persyaratan umum mutu biji kakao tersebut Analisis data dilakukan dengan pendekatan
ditentukan atas dasar ukuran biji, tingkat kekeringan kualitatif eksploratif dengan kerangka penelitian
dan tingkat adanya kontaminasi benda asing yang pengelolaan biji kakao pascapanen dalam rantai
terdapat pada biji kakao. Standar mutu biji kakao pasokan perkebunan rakyat. Analisis data mencakup
tersebut telah diatur dalam Standar Nasional gambaran umum dari objek penelitian atau situasi
Indonesia (SNI), seperti ditunjukkan Tabel 2. sosial berdasarkan data empiris untuk membangun
Tabel 2. Standar Mutu Biji Kakao Indonesia peningkatan mutu biji kakao petani perkebunan
Jenis Satuan Persyaratan rakyat.
Serangga hidup - Tidak ada
HASIL DAN PEMBAHASAN
Serangga mati - Tidak ada Penelitian ini fokus dalam pembahasan
Kadar air % Maksimum 7,5 peningkatan mutu biji kakao melalui teknologi
fermentasi dalam pascapanen pada perkebunan
Berbau asap atau berbau asing - Tidak ada
kakao rakyat di daerah, khususnya di Provinsi Sulawesi
Kadar biji pecah atau pecah kulit % Maksimum 2 Selatan. Menurut Henny, Mayrowani (2013), kegiatan
Kadar benda-benda asing % Tidak ada penanganan pascapanen tanaman perkebunan
Sumber: Badan Standardisasi Nasional (BSN), 2008.
didefinisikan sebagai suatu kegiatan penanganan
produk hasil perkebunan, sejak pemanenan hingga

Radot Manalu, Pengolahan Biji Kakao Produksi Perkebunan Rakyat untuk Meningkatkan Pendapatan Petani | 103
Industri
Ekspor
Antara
Kelompok Proses
Tani Fermentasi
Petani

Pedagang
Pedagang UKM/Home Industri Hilir
Pengumpul
Industry Dalam Negeri

PEMERINTAH DAERAH

Sumber: Siahaan Saut, Radot Manalu & Agus Santoso, 2016.


Gambar 2. Pola Rantai Pasok Komoditas Kakao di Provinsi Sulawesi Selatan
siap menjadi bahan baku atau produk akhir yang komposisi kimiawi dari produk akhir melalui suatu
siap dikonsumsi, dimana di dalamnya juga termasuk proses pengolahan. Sementara itu perdagangan biji
distribusi dan pemasarannya. Teknologi pascapanen kakao dilakukan oleh petani melalui interaksi dalam
biji kakao dibedakan menjadi dua kelompok kegiatan rantai pasok produk hasil perkebunan kakao. Secara
besar, yaitu pertama: penanganan primer yang umum interaksi antar pelaku tata niaga kakao dapat
meliputi penanganan komoditas hingga menjadi ditunjukkan pada Gambar 2.
produk setengah jadi atau produk siap olah, dimana Gambar 2 tersebut di atas, menunjukkan
perubahan atau transformasi produk hanya terjadi bahwa dalam industri perkebunan kakao banyak
secara fisik, sedangkan perubahan kimiawi biasanya pelaku yang terlibat didalamnya mulai dari petani/
belum terjadi atau tidak terjadi pada tahap ini. Kedua: kelompok tani, pedagang pengumpul, pedagang
penanganan sekunder, yakni kegiatan lanjutan besar, industri antara, UKM/home industry, dan
dari penanganan primer, dimana pada tahap ini industri hilir dalam negeri. Gambar tersebut juga
biasanya terjadi perubahan bentuk fisik maupun menunjukkan bahwa pentingnya peran pemerintah

Tabel 3. Potret Peran Para Pelaku dan Pendukung Usaha Perkebunan Kakao pada Pascapanen Kakao di Provinsi
Sulawesi Selatan.
Pelaku/
Faktor Masalah
Pendukung
Kelompok • Petani sebagai pemasok kurang • Biji kakao tanpa melalui proses fermentasi tetap laku dijual
Tani/Petani memerhatikan mutu walaupun dengan harga rendah
• Petani tidak melakukan fermentasi biji • Perlakuan teknologi fermentasi butuh tenaga dan waktu
kakao (4 - 6 hari), sedangkan petani membutuhkan uang untuk
• Tidak melakukan penyortiran dengan baik keperluan kebutuhan sehari-hari
Pedagang Pada umumnya biji kakao yang dipasarkan • Membeli kakao dengan harga yang bervariasi (tergantung
Pengumpul tidak fermentasi mutu dengan tingkat kekeringan dan kebersihan)
Pedagang Biji kakao yang berasal dari pengumpul tidak • Membeli biji kakao walaupun dengan mutu rendah, namun
Besar fermentasi harus melakukan sortasi dan pengeringan sebelum kakao
diekspor
• Membeli biji kakao dengan harga yang bervariasi (tergantung
mutu dengan tingkat kekeringan dan kebersihan)
Instansi • Program Gernas 2009–2013 belum • Tanaman kakao termasuk tanaman “manja” artinya
Pendukung mampu meningkatkan mutu dan tanaman yang sulit dipelihara dibandingkan dengan
(Pemerintah) produktivitas kakao tanaman lainnya misalnya sawit, karet, kopi, dll.
• Pembimbingan belum maksimal karena • Harapan petani rakyat Program Gernas 2009 - 2013 dapat
tenaga pendamping (PPL) terbatas dilanjutkan karena baru dapat menjangkau 30% usaha
• Koordinasi antar instansi pemerintah perkebunan kakao di Indonesia
daerah sangat minim • Mempunyai program masing-masing yang tidak terintegrasi
Asosiasi • Dewan kakao Indonesia, Askindo belum • Petani menganggap bahwa selisih harga kakao non
berperan optimal dalam pengawasan fermentasi dengan kakao fermentasi antara Rp 3000,-/kg
mutu sampai Rp. 5.000,-/kg dianggap kurang signifikan
• Pengetahuan petani masih terbatas
Sumber: Data Primer 2015.

104 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, (E-ISSN: 2528-4673 P-ISSN: 2086-6313) Vol. 9, No. 2, Desember 2018 99 - 111
dengan koordinasi antara lain: Dinas Perindustrian Tabel 3 menunjukkan bahwa penanganan
dan Perdagangan, Dinas Perkebunan, Dinas Koperasi pascapanen biji kakao di Provinsi Sulawesi Selatan
untuk memberikan dukungan berupa bimbingan belum sesuai dengan kebutuhan pasar terutama
teknis dan bantuan sarana dan prasarana kepada pasar internasional sehingga mutu biji kakao yang
pelaku usaha perkebunan kakao terkait dengan dihasilkan oleh petani masih rendah sehingga akan
kebijakan-kebijakan, bantuan teknologi dan sarana mengurangi nilai ekonomi yang rendah karena harga
produksi (saprodi), rehabilitasi tanaman, perluasan yang ditentukan oleh pembeli lebih rendah dari
lahan, akses pembiayaan, sosialisasi, pembinaan/ harga biji kakao yang difermentasi.
pelatihan, pendampingan, dll. Analisis data kualitatif peran para pelaku
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor- dan pendukung usaha perkebunan kakao rakyat
faktor dan masalah-masalah pada pelaku dan ditunjukkan pada Tabel 4.
pendukung usaha perkebunan kakao rakyat Tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa para
di Provinsi Sulawesi Selatan tersebut, seperti petani kurang memerhatikan mutu kakao dan
ditunjukkan pada Tabel 3. belum ada upaya untuk peningkatan mutu. Padahal
Tabel 4. Kondisi Saat ini, Faktor dan Kondisi Ideal Peran Para Pelaku dan Pendukung Perkebunan Kakao Rakyat di
Provinsi Sulawesi Selatan.
Pelaku/ Aktor Kondisi Saat ini Faktor Kondisi Ideal
Kelompok • Petani menjual biji kakao ke • Petani kurang • Petani seharusnya memerhatikan
Tani/Petani pedagang pengumpul tanpa memerhatikan mutu mutu biji kakao dalam pengolahan
melakukan fermentasi dan sortasi • Belum ada rencana pascapanen melalui teknologi
terlebih dahulu dengan alasan peningkatan mutu fermentasi dan sortasi buah kakao
kebutuhan mendesak • Petani seharusnya melakukan fermentasi
• Petani menjual biji kakao tanpa karena harga lebih tinggi selisih non
fermentasi dengan alasan harga fermentasi dengan fermentasi Rp3.000,-/
tidak berbeda jauh kg sampai Rp5.000,-/kg
Pedagang • Menginginkan biji kakao yang • Petani kurang • Petani memerhatikan mutu,
Pengumpul bermutu tinggi sesuai permintaan memerhatikan mutu sehingga biji kakao yang dipasarkan
pedagang besar • Belum maksimal upaya sesuai dengan standar mutu pasar
• Membeli biji kakao non yang dilakukan untuk internasional
fermentasi dengan harga di peningkatan mutu di
bawah harga pasar kemudian tingkat petani
menjual kembali ke pedagang
besar
Pedagang • Membeli biji kakao dengan harga • Petani kurang • Petani memerhatikan mutu, sehingga
Besar di bawah harga pasar tergantung memerhatikan mutu biji kakao yang dipasarkan sesuai
mutu • Belum ada upaya dengan standar ekspor
• Menginginkan biji kakao yang yang dilakukan untuk
bermutu tinggi sesuai permintaan peningkatan mutu di
pedagang besar (standar ekspor) tingkat petani
Instansi • Pemerintah Daerah memberikan • Petani kurang • Pemerintah melakukan pengawasan
Pendukung bimbingan namun memiliki memerhatikan mutu terhadap penetapan harga agar
(Pemerintah) keterbatasan dana dan tenaga • Ada upaya peningkatan petani dapat menerima harga yang
pendamping mutu, namun masih yang pantas atau selisih harga yang
• Petani kurang memerhatikan terbatas pada budidaya signifikan antara biji kakao fermentasi
mutu tanaman, selain itu dengan non fermentasi
• Petani membutuhkan tenaga pendamping • Pemerintah Daerah memberikan
pengetahuan yang memadai masih terbatas bimbingan dan sosialisasi kepada para
dan memiliki ketekunan untuk • Program Gernas 2009- petani secara berkelanjutan
memelihara tanaman kakao 2013 belum mampu • Meningkatkan kemampuan dan
memperbaiki usaha jumlah tenaga pendamping/PPL
perkebunan kakao • Melanjutkan program Gernas yang
di Indonesia secara berorientasi kakao yang berdaya saing
signifikan
Asosiasi • Dewan Kakao Indonesia, Askindo • Koordinasi antara • Dewan Kakao, Askindo sebagai
sebagai fasilitator penghubung Asosiasi Kakao dengan fasilitator penghubung antara petani/
antara petani/kelompok tani Pemerintah masih kelompok tani dengan pemerintah
dengan pemerintah belum terbatas/ minim proaktif terkait dengan peningkatan
berperan maksimal mutu biji kakao perkebunan rakyat
Sumber: Data Primer Tahun 2015.

Radot Manalu, Pengolahan Biji Kakao Produksi Perkebunan Rakyat untuk Meningkatkan Pendapatan Petani | 105
seharusnya para petani tersebut harus melakukan 1) Buah hasil panen dibelah dan biji berselimut
peningkatan mutu biji kakao melalui teknologi pulp dikeluarkan.
fermentasi dan sortasi yang menjaga mutu biji kakao 2) Biji dikumpulkan pada suatu wadah. Jenis wadah
dan memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik. yang digunakan berupa keranjang yang dilapisi
Pada kenyataannya, para petani khususnya dengan daun atau container (box) kayu. Pada
di Provinsi Sulawesi Selatan pada umumnya umumnya, dasar kontainer memiliki lubang kecil
enggan melakukan fermentasi dengan alasan akan untuk drainase dan aerasi.
membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan 3) Biji yang dimasukkan dalam kontainer tidak diisi
fermentasi. Lebih ironis lagi, tidak sedikit petani yang secara penuh, tetapi sisakan 10 cm dari atas,
menjual “biji kakao basah” artinya menjual biji kakao permukaan bagian atas ditutupi dengan daun
tanpa melalui proses pengeringan terlebih dahulu pisang untuk menahan panas dan mencegah biji
bahkan ada yang telah dijual terlebih dahulu kepada mengalami kekeringan.
tengkulak sebelum panen yang dikenal dengan 4) Simpan di container (box) di atas tanah untuk
praktik ijon. menampung pulp juices yang dihasilkan selama
Langkah jalan pintas yang kurang menguntungkan fermentasi (hasil degradasi pulp).
bagi petani tersebut dilakukan karena petani ingin 5) Fermentasi dalam kotak dapat dilakukan selama
mendapatkan uang hasil penjualan yang lebih cepat 4 – 6 hari, kemudian isi kotak dibalik tiap hari
dengan alasan kebutuhan mendesak. Hal ini sudah dengan memindahkannya ke kotak lain.
menjadi masalah klasik bagi tata niaga kakao di
Pada umumnya alur proses pascapanen
Indonesia khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan
komoditas kakao yang dilakukan oleh petani
karena sampai saat ini mutu biji kakao di Indonesia
perkebunan rakyat di Provinsi Sulawesi Selatan,
masih tetap rendah. Padahal harga biji kakao di dalam
memiliki kecenderungan untuk mengolah biji coklat
negeri ditentukan berdasarkan harga biji kakao yang
tanpa fermentasi dengan cara merendam biji dalam
fermentasi melalui pasar internasional.
air untuk membuang pulp dan dilanjutkan dengan
Selain itu, seperti telah dijelaskan di atas
penjemuran, kemudian biji siap dijual tanpa disortasi
bahwa cita rasa khas kakao sangat ditentukan
untuk menjaga mutu atau kualitas. Selain itu, para
oleh difermentasi atau tidaknya biji kakao yang
petani enggan melakukan fermentasi karena biji
diperdagangkan. Biji kakao yang telah difermentasi
kakao tanpa melalui fermentasi tetap laku dijual,
akan membentuk cita rasa khas kakao dan mengurangi
sedangkan melalui fermentasi membutuhkan tenaga
rasa pahit sehingga menghasilkan biji kakao yang
dan waktu antara 4 – 6 hari.
bermutu tinggi dan memiliki nilai ekonomi yang lebih
Selain peningkatan mutu, nilai ekonomi dan
baik, sedangkan biji yang tidak fermentasi ditandai
harga jual biji kakao yang lebih tinggi, ternyata
dengan warna ungu tidak cerah, bertekstur pejal,
limbah biji kakao fermentasi juga memiliki nilai
rasanya pahit dan sepat. Oleh karena itu, menurut
ekonomi yang baik pula. Hal ini berdasarkan hasil
penulis kalau petani sudah terbiasa melakukan
penelitian Puastuti W. (2002) yang menunjukkan
fermentasi sangat besar kemungkinan harga biji
bahwa pemberian kulit buah kakao yang difermentasi
kakao ke depan akan semakin membaik karena biji
sebanyak 100-200 g/h pada anak kambing umur 0-6
kakao yang dihasilkan sesuai dengan kebutuhan
bulan dapat meningkatkan penambahan bobot hidup
pasar internasional. Sementara itu hasil penelitian
harian (PBHH). Demikian juga pemberian limbah biji
yang dilakukan Nagari Parit Malintang, Padang
kakao fermentasi sebagai pakan pada ayam buras
Pariaman menunjukkan bahwa mutu biji kakao yang
petelur juga diakui lebih baik karena dalam proses
difermentasi oleh petani telah sesuai dengan SNI
fermentasi akan meningkatkan kandungan protein
(Hasan N., dkk.2013).
dari limbah kakao dibandingkan dengan limbah biji
Untuk itu diperlukan suatu upaya perbaikan
kakao sebelum difermentasi (Guntoro S. dkk. 2005).
dalam pengolahan biji kakao pascapanen yang lebih
Pengolahan kakao melalui teknologi fermentasi
baik melalui teknologi fermentasi untuk memperoleh
semestinya dilakukan oleh petani kakao sebelum
nilai tambah dengan standar mutu pasar internasional
menjual biji kakao ke pedagang karena pengguna
serta memenuhi kebutuhan industri dalam negeri
teknologi adalah petani itu sendiri. Hal ini senada
dan kebutuhan ekspor. Untuk menjaga mutu dan
dengan pendapat Baehaki (2011) yang menyatakan
memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik seperti
bahwa penggerak utama teknologi adalah masyarakat
diuraikan di atas, idealnya petani perkebunan kakao
tani sebagai pengguna teknologi. Dengan inovasi
harus melakukan fermentasi terlebih dahulu sebelum
teknologi fermentasi akan menghasilkan kakao
menjualnya ke pedagang pengumpul atau pedagang
dengan cita rasa setara dengan kakao yang berasal
besar yang dapat dilakukan sebagai berikut:
dari negara lain seperti Ghana.

106 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, (E-ISSN: 2528-4673 P-ISSN: 2086-6313) Vol. 9, No. 2, Desember 2018 99 - 111
Kelompok Industri
Proses Ekspor
Tani Antara
Fermentasi

Petani
Kakao Pedagang UKM/Home Industri Hilir
Pengumpul Industry Dalam Negeri

PEMERINTAH DAERAH

Sumber: Radot Manalu, 2018.


Gambar 3. Alternatif Pola Rantai Pasokan Perkebunan Kakao untuk Peningkatan Mutu dan Pendapatan Petani
Selain itu, dengan inovasi teknologi fermentasi, Uraian di atas menunjukkan bahwa proses
biji kakao juga dapat dimanfaatkan mulai dari kulit, pengolahan kakao bertujuan melakukan perubahan
lemaknya, bungkil, dan pastanya, sedangkan kakao karakteristik untuk meningkatkan nilai ekonomi suatu
non fermentasi (non fermented) hanya dapat diambil produk yang lebih baik. Untuk meningkatkan mutu
lemaknya saja. Untuk menghasilkan biji kakao yang dan nilai ekonomi biji kakao yang lebih baik tersebut
baik harus melewati proses fermentasi dan proses dapat dilakukan dengan pola rantai pasokan.
fermentasi merupakan tahapan pengolahan biji kakao Peningkatan mutu biji kakao perkebunan
yang vital dan mutlak dilakukan untuk menjamin rakyat dapat diperoleh jika petani melakukan
dihasilkannya cita rasa maupun aroma cokelat yang fermentasi biji kakao sebelum dijual ke kelompok
baik (Septianti dan Arif, 2016). Uraian tersebut dapat tani atau pedagang. Sebenarnya industri yang ada
diartikan bahwa mutu biji kakao yang lebih baik di dalam negeri baik UKM maupun industri antara
ditentukan oleh cita rasa dan aroma cokelat yang baik. menginginkan atau mengharapkan mutu biji kakao
Sementara itu, untuk memperoleh cita rasa dan aroma yang baik dari petani supaya biji kakao yang diekspor
cokelat yang baik harus melalui proses fermentasi. memiliki daya saing yang tinggi di pasar internasional
Uraian tersebut juga dapat diartikan bahwa dengan karena harga biji kakao ditetapkan berdasarkan
mutu biji kakao yang baik akan memperoleh harga harga pasar internasional.
yang lebih tinggi dengan sendirinya akan meningkatkan Walaupun petani perkebunan kakao rakyat
daya saing kakao di pasar internasional tentu saja hal melakukan fermentasi biji kakao sebelum dijual,
ini memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik bagi biaya yang dikeluarkan dalam proses pengolahan
petani kakao rakyat maupun skala perekonomian dengan cara fermentasi tidak berpengaruh banyak
nasional di sekor perkebunan. karena alat yang dibutuhkan hanya box yang terbuat
Uraian tersebut menjelaskan bahwa banyak dari kayu sebagai wadah fermentasi dan dapat
keuntungan yang dapat diperoleh jika petani dibuat sendiri sehingga tidak membutuhkan biaya
perkebunan rakyat melakukan fermentasi disamping besar. Selain itu, pemerintah daerah seperti Dinas
meningkatkan mutu dengan sendirinya akan Perkebunan juga mempunyai program bantuan
memperoleh harga yang lebih tinggi. Selain itu, kepada para petani dalam proses pascapanen,
ternyata limbah biji kakao fermentasi yang dapat sehingga dapat diberikan dalam bentuk peralatan
digunakan sebagai pakan ternak juga dianggap lebih untuk fermentasi biji kakao. Hanya saja seperti
baik dari limbah kakao non fermentasi. Oleh karena yang disebutkan di atas jika melalui pengolahan
itu, untuk menjaga mutu, meningkatkan daya saing fermentasi membutuhkan waktu antara 4 - 6 hari.
biji kakao Indonesia serta memperoleh nilai ekonomi Hal inilah yang membuat petani enggan melakukan
yang lebih baik, seharusnya petani perkebunan fermentasi biji kakao terlebih dahulu sebelum dijual.
kakao melakukan fermentasi biji kakao terlebih Sehubungan dengan itu, pelayanan bimbingan
dahulu karena dengan fermentasi sudah menjadi teknis atau pendampingan petani kakao rakyat dalam
prasyarat untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan pascapanen perlu diperhatikan oleh pemerintah
pasar internasional. Pada akhirnya, semuanya akan khususnya pemerintah daerah. Kebijakan pemerintah
menciptakan nilai ekonomi yang lebih baik bagi daerah terkait dengan pengembangan kakao pada
petani kakao rakyat khususnya di Provinsi Sulawesi saat ini dan di masa depan perlu diarahkan kepada
Selatan. upaya mewujudkan produk kakao yang berdaya

Radot Manalu, Pengolahan Biji Kakao Produksi Perkebunan Rakyat untuk Meningkatkan Pendapatan Petani | 107
saing, sehingga dapat memberikan nilai tambah bagi Sementara itu, untuk memenuhi standar mutu
para pelaku usahanya, khususnya petani perkebunan yang dibutuhkan pasar internasional teknologi
kakao secara berkelanjutan. fermentasi kakao merupakan prasyarat dalam
Pemerintah daerah sebagai pendukung pelaku penanganan pascapanen kakao. Tahapan ini sangat
usaha perkebunan kakao, seperti: Dinas Perkebunan, penting dilalui untuk mempersiapkan biji kakao
Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Dinas basah dapat menjadi biji kakao kering yang bermutu
Koperasi dan UKM yang memiliki tupoksi terkait tinggi (Hayati R, dkk 2012). Sedangkan penelitian
dengan perkebunan kakao rakyat seharusnya dan kajian tentang faktor yang memengaruhi
proaktif dalam upaya peningkatan mutu biji kakao keterpurukan petani kakao di antaranya adalah
agar dapat memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik kesulitan pembiayaan usaha tani dan kebutuhan
bagi pelaku usahanya khususnya petani perkebunan dana tunai untuk keperluan hidup selama masa
rakyat. Menurut Ali Darwis, dkk., (2011) bahwa peran menunggu sebelum penjualan hasil panen,
pemerintah daerah dalam memobilisasi partisipasi menyebabkan banyak petani terjebak dengan sistem
pedagang untuk meningkatkan efisiensi pemasaran ijon atau hutang kepada para tengkulak (Sunarti
biji kakao sangat menentukan keberlanjutan dan Khomsan, 2006). Hal ini ditengarai menjadi
pembangunan kakao di sektor perkebunan. Lebih penyebab para petani menjual hasil perkebunan
jauh Ali Darwis (2014) mengatakan bahwa demikian tanpa fermentasi untuk memperoleh uang secara
halnya pemerintah di tingkat Provinsi Sulawesi cepat, karena jika biji kakao difermentasi terlebih
Selatan diharapkan dapat berperan dengan baik dahulu harus menunggu waktu lebih lama 4-6 hari
sebagai fasilitator ekspor kakao ke luar negeri. seperti telah dijelaskan di atas.
Namun demikian tidak dapat dipungkiri Disamping itu, kebijakan pengembangan
pemerintah daerah juga tidak dapat berbuat banyak kakao di masa depan perlu diarahkan kepada
karena keterbatasan kemampuan baik dari segi upaya perwujudan biji kakao yang bermutu tinggi
jumlah maupun kapasitas tenaga pendamping. dan berdaya saing, sehingga dapat memperoleh
Upaya yang telah dilakukan untuk peningkatan mutu nilai ekonomi yang lebih baik dan tentu saja akan
biji kakao masih terbatas pada budidayanya seperti meningkatkan kesejahteraan bagi pelaku usahanya
pemeliharaan dan pemupukan sedangkan untuk khususnya petani perkebunan kakao rakyat.
peningkatan mutu seperti teknologi fermentasi dalam Koordinasi antar kelembagaan di Pemerintah
pascapanen belum dilakukan dengan maksimal. Jika Daerah Provinsi Sulawesi Selatan termasuk dengan
petani kakao melakukan proses fermentasi sebelum asosiasi perlu dilakukan dengan intensif agar
menjual biji kakao ke kelompok tani ataupun pedagang permasalahan mutu biji kakao yang rendah di
pengumpul maka akan memperoleh harga biji kakao Indonesia dapat teratasi dan program pemerintah
yang lebih baik karena kelompok tani dapat langsung dalam hal peningkatan mutu biji kakao dapat
menjual kakao ke industri tanpa melalui pedagang terlaksana dengan baik. Selain bertujuan untuk
besar. Peran pemerintah baik pemerintah kabupaten meningkatkan nilai ekonomi yang lebih baik bagi
dan provinsi sangat diharapkan dapat mendukung para petani kakao rakyat fermentasi biji kakao juga
kemajuan sektor perkebunan melalui pembimbingan bertujuan untuk meningkatkan daya saing biji kakao
teknis atau pendampingan terhadap pelaku usaha Indonesia di pasar internasional.
perkebunan, dalam hal ini petani sebagai pemasok
bahan baku produk perkebunan. Oleh karena itu pola KESIMPULAN
rantai pasok biji kakao sampai ke pemasaran dapat Mutu kakao Indonesia masih rendah terutama
dilakukan seperti ditunjukkan pada Gambar 3. biji kakao produksi perkebunan rakyat. Pada
Uraian di atas menunjukkan bahwa teknologi umumnya biji kakao yang diperdagangkan dari
fermentasi menjadi penting untuk meningkatkan petani ke pedagang kabupaten di Provinsi Sulawesi
mutu biji kakao dan memperoleh nilai ekonomi Selatan belum difermentasi (non fermented). Selain
yang lebih baik bagi petani usaha perkebunan kakao itu para petani juga pada umumnya tidak melakukan
pada umumnya khususnya di Provinsi Sulawesi penyortiran baik sebelum pemecahan biji kakao
Selatan. Hal ini perlu disikapi secara serius agar maupun setelah pengeringan yang bertujuan untuk
penanganan pascapanen usaha perkebunan kakao memisahkan kotoran atau kontaminan, namun biji
rakyat ke depan dapat lebih baik. Dengan demikian, kakao yang dimiliki tersebut langsung dikemas dan
disamping ketersediaan teknologi yang memadai dijual ke pedagang pengumpul (pembeli) sehingga
juga diperlukan dukungan dari pemerintah untuk harga yang ditentukan oleh pembeli jauh di bawah
melakukan bimbingan atau pembinaan secara harga pasar, karena dalam kondisi yang demikian
berkesinambungan karena kemampuan petani dominasi pembeli sangat kuat dan sebaliknya posisi
perkebunan kakao rakyat masih terbatas. tawar petani sangat lemah.

108 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, (E-ISSN: 2528-4673 P-ISSN: 2086-6313) Vol. 9, No. 2, Desember 2018 99 - 111
Jika melalui proses inovasi teknologi fermentasi Perindustrian dan Perdagangan, dan Dinas Koperasi
dalam penanganan pascapanen, para petani akan yang memiliki tupoksi terkait dengan program
memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik dengan pengembangan kakao pada saat ini dan di masa
harga biji kakao yang lebih tinggi (selisih harga antara depan harus diarahkan kepada upaya mewujudkan
Rp 3.000,-/kg – Rp5.000,-/kg) karena melalui proses produk kakao yang berdaya saing, sehingga dapat
fermentasi akan diperoleh mutu biji kakao yang memberikan nilai ekonomi yang lebih baik bagi para
baik. Sementara itu, dari sisi pengeluaran dengan pelaku usahanya termasuk petani perkebunan secara
menggunakan teknologi fermentasi, walaupun petani berkelanjutan.
perkebunan kakao rakyat melakukan fermentasi biji Selain itu pemerintah daerah baik tingkat
kakao sebelum dijual biaya yang dikeluarkan tidak kabupaten maupun provinsi berperan aktif untuk
banyak karena alat yang dibutuhkan hanya box yang melakukan pengendalian dan pengawasan terhadap
terbuat dari kayu sebagai wadah fermentasi, mudah pelaksanaan kebijakan yang telah ditetapkan dan
dibuat dan dapat dibuat sendiri sehingga tidak bagaimana implementasinya di lapangan.
membutuhkan biaya besar. Selain itu, pemerintah
daerah juga mempunyai program untuk membantu SARAN
para petani dalam proses pascapanen. Untuk meningkatkan mutu biji kakao di
Disamping peningkatan mutu dan harga yang Indonesia agar memperoleh nilai ekonomi yang lebih
lebih tinggi, banyak keuntungan lain yang dapat baik, beberapa saran sebagai upaya penanganan
diperoleh jika petani perkebunan kakao rakyat pascapanen usaha perkebunan kakao rakyat, antara
melakukan fermentasi biji kakao, seperti limbah biji lain:
kakao dengan difermentasi yang dapat digunakan 1) Petani perkebunan kakao rakyat di Provinsi
sebagai pakan ternak juga dianggap lebih baik dari Sulawesi Selatan seharusnya memerhatikan
limbah kakao non fermentasi. mutu biji kakao sebelum diperdagangkan agar
Teknologi fermentasi menjadi mutlak dilakukan memperoleh nilai ekonomi yang lebih tinggi. Hal
untuk memperoleh mutu biji kakao dengan nilai ini dapat dilakukan dengan fermentasi biji kakao
ekonomi yang lebih baik bagi petani perkebunan terlebih dahulu sebelum diperdagangkan.
kakao rakyat khususnya di Provinsi Sulawesi Selatan. 2) Diperlukan peran pemerintah daerah agar
Hal ini menjadi sangat penting dilakukan agar dapat melakukan koordinasi yang lebih intens antar dinas
menghasilkan biji kakao dengan standar mutu dan pemerintah di daerah seperti Dinas Perkebunan,
syarat yang dibutuhkan oleh pasar internasional. Dinas Perindustrian dan Perdagangan, dan Dinas
Oleh karena itu, upaya peningkatan mutu biji kakao Koperasi untuk implementasi program yang
hasil perkebunan kakao rakyat di Provinsi Sulawesi terintegrasi khususnya terkait dengan program
Selatan tampaknya masih perlu dukungan semua pengembangan kakao perkebunan rakyat agar
pihak terutama para petani sebagai pelaku usaha program yang ada diarahkan kepada komoditi
perkebunan termasuk dukungan pemerintah yang yang berdaya saing dan memiliki nilai ekonomi
memiliki banyak program pengembangan usaha yang lebih baik.
perkebunan dan juga sebagai fasilitator ketersediaan 3) Diperlukan dukungan kebijakan dari pemerintah
sumber daya termasuk teknologi fermentasi yang khususnya pemerintah daerah antara lain:
memadai serta sosialisasi berupa bimbingan teknis Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian dan
pemanfaatan inovasi teknologi tersebut kepada Perdagangan, dan Dinas Koperasi sebagai
para petani perkebunan kakao rakyat. Demikian fasilitator terdepan, melakukan pengendalian
juga Asosiasi Kakao yang ada harus proaktif dan dan pengawasan terhadap kebijakan terkait
mampu menjembatani kepentingan petani dengan pengembangan mutu dengan dukungan
pemerintah. Untuk itu diperlukan koordinasi yang teknologi serta sosialisasi berupa bimbingan
lebih intens lagi dengan pemerintah. teknis dan pendampingan secara berkelanjutan
Upaya pengembangan perkebunan kakao rakyat kepada para petani perkebunan kakao rakyat
dapat berjalan dengan baik jika dilakukan melalui karena kemampuan teknologi dan kemampuan
pembinaan atau pendampingan terhadap petani manajerial petani kakao rakyat tersebut masih
sebagai pelaku usaha perkebunan rakyat, dalam terbatas.
hal ini petani sebagai pemasok bahan baku produk 4) Agar Asosiasi Kakao sebagai fasilitator yang
perkebunan. Sehubungan dengan itu, pelayanan menjembatani antara petani dengan pemerintah
atau bimbingan teknis proses pengelolaan biji kakao berperan aktif terutama terkait dengan
pascapanen sangat diperlukan dan mutlak dilakukan peningkatan mutu biji kakao perkebunan rakyat.
melalui pemerintah daerah sebagai pendukung
perkebunan kakao, seperti: Dinas Perkebunan, Dinas

Radot Manalu, Pengolahan Biji Kakao Produksi Perkebunan Rakyat untuk Meningkatkan Pendapatan Petani | 109
DAFTAR PUSTAKA Baehaki. (2011). Strategi fundamental pengendalian
hama Wereng Batang Coklat dalam pengamanan
produksi Padi nasional, Jurnal Pengembangan
Inovasi Pertanian, 4 (1), 2011: 63-75, Balai Besar
Buku Penelitian Tanaman Padi, Bogor.
Ditjenbun. (2012). Pedoman umum gerakan
Guntoro, Suprio dan Yasa, Made Rai. (2005).
nasional peningkatan produksi dan mutu kakao.
Penggunanan limbah Kakao fermentasi untuk
Kementan, Jakarta.
pakan Ayam Buras Petelur. Jurnal Pengkajian
Ditjenbun. (2013). Pedoman teknis penanganan dan Pengembangan Teknologi Pertanian Vol.
pasca panen tanaman kakao. Kementan, Jakarta. 8, No.2, Juli 2005. Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian Bali.
Ditjenbun. (2016). Statistik perkebunan Indonesia
komoditas kakao 2015-2017. Kementan, Jakarta. Hasan, Nusyirwan dan Roswita, Rifda. (2013).
Peningkatan produktivitas dan mutu Kakao
Fizzanty T., Radot Manalu, Nurlaili dan Agus Santoso.
melalui diseminasi Multi-Channel (DMC) di
(2010). Proses inovasi & mekanisme insentif di
Nagari Parit Malintang, Kabupaten Padang
industri kreatif, studi kasus beberapa perusahaan
Pariaman. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol. 8 No.
piranti lunak. LIPI, Press, Jakarta.
2, Universitas Mulawarman, Padang, Sumatera
Karmawati Elna, Zainal Mahmud, Syakir M., Joni Barat.
Munarso, I Ketut Ardhana dan Rubiyo. (2010).
Henny, Mayrowani. (2013). Kebijakan penyediaan
Budidaya dan pasca panen Kakao. Pusat
teknologi pascapanen Kopi dan masalah
Penelitian dan Pengembangan Perkebunan,
pengembangannya. Jurnal Forum Penelitian
Badan Penelitian dan Pengembangan,
Agro Ekonomi, Vol. 31 No. 1, Juli 2013: 31 – 49,
Kementan, Bogor.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian,
Marzuki, Ervan, dkk. (2012). Sistem Inovasi Daerah Kementan, Bogor.
(SIDa) Sumatera Selatan. Badan Litbang dan
Listiyati Dewi, Agus Wahyudi dan Abdul Muis
Inovasi Daerah Provinsi Sumatera Selatan, PT
Hasibuan (2014). Penguatan Kelembagaan untuk
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Peningkatan Posisi Tawar Petani dalam Sistem
Natawidjaya. (2012). Penanganan pasca panen Pemasaran Kakao. Jurnal Tanaman Industri dan
tananan Kakao, Petunjuk teknis peralatan Penyegar, Balai Penelitian Tanaman Industri dan
penanganan pasca panen tanaman perkebunan. Penyegar, Sukabumi.
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementan,
Sabahannur, Nirwana dan Subaedah. (2016). Kajian
Jakarta.
mutu biji Kakao petani di Kabupaten Luwu
Said, Gumbira, dkk. (2001). Manajemen teknologi Timur, Soppeng dan Bulukumba. Jurnal Industri
agribisnis kunci menuju daya saing global produk Hasil Perkebunan Vol. 11 No.2, Balai Besar
agribisnis. Ghalia Indonesia (GI), Jakarta. Industri Hasil Perkebunan, Badan Penelitian dan
Siahaan, Saut, Radot Manalu dan Agus Santoso. Pengembangan Industri, Makassar.
(2014). Peningkatan kesejahteraan petani Rita Hayati, Yusmanizar, Mustafril, dan Harir Fauzi.
dari perspektif rantai pasokan industri hulu (2012). Kajian fermentasi dan suhu pengeringan
perkebunan. Cet. Pertama, IPB Press, Bogor. pada mutu Kakao (Theobroma cacao L). Jurnal
Siahaan Saut, Radot Manalu dan Agus Santoso. Keteknikan Pertanian, Fakultas Pertanian, Vol.
(2016). Analisis pengembangan industri 26, No. 2, Oktober 2012, Universitas Syiah Kuala
perkebunan dalam rantai pasokan di Indonesia. Darussalam Banda Aceh.
IPB Press, Bogor. Septiani, Erina dan Abdullah Bin Arif. (2016).
Pengaruh suhu pemastaan terhadap rendemen
Jurnal dan kadar lemak bubuk Kakao hasil pengempaan
Ali, Darwis dan Rukka, Rusli M. (2011). Peran dan Biji Kakao fermentasi dan non fermentasi.
pedagang Kakao dalam peningkatan efisiensi Jurnal Penelitian Pasca Panen Pertanian, Vol.
pasar di Sulawesi Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi 13. No. 1 Juni 2016. Balai Besar Penelitian dan
Pertanian, Volume 8 No. 1, Februari 2011. Pengembangan Pasca Panen Partanian. Balai
Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian, Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.
Universitas Hasanuddin. Sulawesi Selatan.

110 | Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, (E-ISSN: 2528-4673 P-ISSN: 2086-6313) Vol. 9, No. 2, Desember 2018 99 - 111
Prosiding Halaman Web
Puastuti Wisri. (2002). Pengolahan kotoran ternak Daryanto, Arif. (2009). Posisi daya saing pertanian
dan kulit buah Kakao untuk mendukung Indonesia dan upaya meningkatkannya. Seminar
integrasi Kakao-Ternak. Lokakarya Nasional Nasional Pembangunan Pertanian. Pusat Analisis
Pengembangan Jejaring Litbang dan Pengkajian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian, Badan
Sistem Integrasi Tanaman – Ternak. Balai Litbang Pertanian, Bogor. Diperoleh tanggal 16
Penelitian Ternak, Bogor. Mei 2018, dari http://ariefdaryanto. blog. mb.
ipb.ac.id/ files/2010/07/MU_Arief.pdf
Sumber Digital
Purba, Frans Hero K. (2014). Kakao dalam peluang
Boland, Mike. (2009). What is value-added
tantangan pemasaran domestik dan pemasaran
agriculture?. Department of Agricultural
global (online). Diperoleh tanggal 15 Desember
Economics Kansas State University, Kansas
2014, dari http://heropurba.blogspot.com/
Satate University, USA. Diperoleh tanggal 28
2014/07/kakao-dalam-peluang-tantangan-
April 2018, dari http://www.agmanager.info/
pemasaran. html.
sites/default/files/ VALADD10%25202col.pdf.
Sunarti, E., dan Khomsan, A. (2006). Kesejahteraan
John, Davit M., Ria Puspa Yusuf dan Dewa Ayu Sri
keluarga petani, mengapa sulit diwujudkan.
Widari. (2013). Pengaruh cara pengolahan Kakao
Institut Pertanian Bogor (IPB). Bogor: Diperoleh
fermentasi dan non fermentasi terhadap kualitas,
tanggal 9 Oktober 2015, dari https://scholar.
harga jual produk pada unit usaha produktif
google.co.id/scholar?q=related: PkoUf BE3U1
(UUP) Tanjung Sari, Kabupaten Tabanan.
oJ.scholar. google. com/&hl=d&as_ sdt = 0,5.
E-Jurnal Agribisnis dan Agrowisata Vol.2,
No.4 Oktober 2014. Program Studi Agribisnis
Peraturan Pemerintah
Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bali.
Badan Standardisasi Nasional. Standar Nasional
Diperoleh tanggal 9 Oktober 2015, dari https://
Indonesia (SNI) Biji Kakao Nomor 2323:2008.
media.neliti.com/media/publications/44956-ID-
pengaruh-cara-pengolahan-kakao-fermentasi- Peraturan Menteri Pertanian Nomor 51/Permentan/
dan-non-fermentasi-terhadap-kualitas-h.pdf. OT.140/9/2012, tentang Pedoman Penanganan
Pasca Panen Kakao.
Tempo.Co, Bisnis. (2014). Produksi Kakao nasional
terus turun (Online). Diperoleh tanggal 15
Desember 2014, dari http://www.tempo.co/
read/ news/2014/04/ 15/090570881/ Produksi-
Kakao-Nasional-Terus-Turun.

Laporan Penelitian
Onditi, Ominde Gladys. (2014). Influence of value
addition in bee-farming products on the
livelihood of bee-farmers in Kakamega Central
Sub-Country, Kenya. A Research Project Report
Submitted In Partial Fulfillment as A Requirement
For The A Ward of A Master’s Degree In Project
Planning and Management of The University of
Nairobi.

Radot Manalu, Pengolahan Biji Kakao Produksi Perkebunan Rakyat untuk Meningkatkan Pendapatan Petani | 111

You might also like