You are on page 1of 14

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.

2 Oktober 2014, 149-162

KESETARAAN DAN KEADILAN GENDER DALAM PANDANGAN


PEREMPUAN BALI: STUDI FENOMENOLOGIS
TERHADAP PENULIS PEREMPUAN BALI
Ni Made Diska Widayani1, Sri Hartati2
1
Fakultas Psikologi Universitas Semarang
Jl. Soekarno-Hatta, Tlogosari, Semarang 50196
2
Fakultas Psikologi Universitas Diponegoro
Jl. Prof Sudharto SH, Tembalang, Semarang 50275

mediska_widayani@yahoo.com

Abstract

This study aims to describe the perception of Balinese women towards gender equality and justice (GEJ)
concepts within the scope of Balinese culture. This is a qualitative-phenomenological study. Subjects were
defined based on literature review that resulted three women participated in this study. Depth interview and
semi-participant observation was used to collect data. The results showed that GEJ was interpreted differently by
each subject. Subject 1 perceived patriarchal culture of Bali is a gender-equitable culture, while Subject 2 and 3
perceived patriarchal culture of Bali is not a gender-equitable culture. To what extent subjects resolved their
problems related to the patriarchal culture of Bali in the past impacted their perception on gender equality and
justice. Their perception on GEJ were influenced by external factors (such as Balinese culture, educational level,
parenting) as well as internal factors (such as needs, attitudes, self-concept, conformity, beliefs, future
expectation, value of Balinese women, families and children; resistance as a manifestation of problems
encountered by each subject; and social support as a supporting factor that help subjects to resolve their
problems).

Keywords: gender equality and justice, Balinese women, patriarchal culture

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi perempuan Bali terhadap konsep kesetaraan dan
keadilan gender (KKG) dalam ruang lingkup budaya Bali. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif-
fenomenologis. Subjek penelitian sebanyak tiga orang yang diperoleh melalui hasil penelusuran literatur.
Pengumpulan data dilakukan dengan metode observasi dan wawancara mendalam. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa KKG dimaknai berbeda oleh tiap subjek. Subjek 1 menganggap budaya patriarki Bali adalah setara dan
adil secara gender, sedangkan Subjek 2 dan 3 menyatakan budaya patriarki Bali tidaklah setara dan adil secara
gender. Perbedaan persepsi ini dipengaruhi oleh terselesaikan atau tidaknya permasalahan yang dihadapi oleh
masing-masing subjek akibat budaya patriarki Bali. Proses pembentukan persepsi terhadap KKG dipengaruhi
oleh faktor eksternal (seperti: kebudayaan Bali, pendidikan, pola asuh) dan faktor internal (seperti kebutuhan,
sikap, konsep diri, penyesuaian diri, keyakinan,harapan di masa depan, penilaian perempuan Bali, keluarga dan
anak, resistensi sebagai manifestasi dari permasalahan yang dihadapi tiap subjek; serta dukungan sosial sebagai
faktor pendukung subjek dalam menyelesaikan permasalahan yang dihadapi).

Kata kunci: kesetaraan dan keadilan gender, perempuan Bali, budaya patriarki

PENDAHULUAN perempuan dan laki-laki perlu tindakan-


tindakan untuk menghentikan hal-hal yang
Keadilan gender adalah proses yang adil secara sosial dan menurut sejarah
bagi perempuan dan laki-laki, untuk menghambat perempuan dan laki-laki untuk
menjamin agar proses itu adil bagi berperan dan menikmati hasil dan peran

149
Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali 150

yang dimainkannya. Keadilan gender dicirikan sebagai berikut: (1) Hubungan


mengantarkan perempuan dan laki-laki kekerabatan diperhitungkan melalui garis
menuju kesetaraan gender (KMNPP RI, keturunan ayah, anak-anak menjadi hak
2001). Kesetaraan gender adalah keadaan ayah; (2) Harta keluarga atau kekayaan
bagi perempuan dan laki-laki menikmati orangtua diwariskan melalui garis pria; (3)
status dan kondisi yang sama untuk Pengantin baru hidup menetap pada pusat
merealisasikan hak azasinya secara penuh kediaman kerabat suami (adat patrilokal);
dan sama-sama berpotensi dalam (4) Pria mempunyai kedudukan yang tinggi
menyumbangkannya dalam pembangunan, dalam kehidupan masyarakat; dengan
dengan demikian kesetaraan gender adalah perkataan lain, wanita yang telah kawin
penilaian yang sama oleh masyarakat (menikah) dianggap memutuskan hubungan
terhadap persamaan dan perbedaan dengan keluarganya sendiri, tanpa hak
perempuan dan laki-laki dalam berbagai berpindah ke dalam keluarga suaminya dan
peran yang mereka lakukan (KMNPP RI, tidak akan memiliki hak-hak dan harta
2001). benda.

Keunikan dan kekhasan kebudayaan Bali Ciri-ciri tersebut menggambarkan bahwa


tidak terlepas dari kebudayaan patriarki dalam sistem kekerabatan patrilineal, pria
yang bersumber dari sistem kekerabatan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi
Bali yang berbentuk patrilineal. Menurut daripada wanita baik dalam kehidupan
Sancaya (dalam Wiasti, 2006), budaya rumah tangga maupun dalam kehidupan
patriarki dalam kebudayaan Bali dinyatakan masyarakat. Hal ini mengakibatkan
bersumber dari adanya konsep purusha dan ketimpangan atau kesenjangan terhadap hak
predana, yang melambangkan jiwatman dan kewajiban terhadap kaum perempuan.
(roh) yang bersifat abadi (purusha), dan Puspa (2008) menyatakan bahwa akibat
fisik manusia yang mempunyai sifat dari budaya patriarki yang sebagian besar
berubah-ubah (prakirti). Di dalam berlaku di tanah air, termasuk di Bali,
masyarakat, konsep ini lebih dikenal menyebabkan perempuan terkadang
dengan hal-hal yang berkaitan dengan laki- menjadi subordinasi laki-laki. Pernyataan
laki atau purusha, dan hal-hal yang ini menjelaskan bahwa dampak dari budaya
berkaitan dengan perempuan atau predana. patriarki adalah kedudukan kaum
Konsep ini dijadikan sebagai landasan perempuan berada di bawah kaum laki-laki.
untuk membedakan status dan peran antara Arjani (2006) menyatakan budaya patriarki
perempuan dengan laki-laki, yang dalam cenderung menjadi salah satu faktor
hal tertentu tidak bisa saling menggantikan penyebab terjadinya perlakuan yang kurang
(Wiasti, 2006). Filsafat agama Hindu ini menguntungkan bagi kaum perempuan,
kemudian menjiwai ideologi budaya Bali, seperti perlakuan diskriminatif. Perlakuan
yang berkembang menjadi sistem nilai, diskriminatif ini dapat dilihat dari data
norma-norma dan aturan-aturan, yang statistik yang mengungkapkan bahwa masih
disebut hukum adat dan awig-awig yang terjadinya kesenjangan gender antara laki-
bercorak patrilineal, yang berfungsi sebagai laki dan perempuan mengenai kesempatan
kontrol sosial (Astiti dalam Wiasti, 2006). pendidikan yang diperoleh di Bali.
Perempuan memiliki kesempatan
Kebudayaan Bali identik dengan sistem pendidikan yang lebih terbatas
kekerabatan patrilinealnya. Menurut dibandingkan dengan laki-laki (Arjani,
Holleman dan Koentjaraningrat (dalam 2006). Kesenjangan gender yang terjadi ini
Sudarta, 2006), sistem kekerabatan pada dasarnya menggambarkan status,
patrilineal merupakan pola tradisional yang kedudukan, dan kualitas penduduk

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


151 Widayani & Hartati

perempuan masih lebih rendah daripada ketidaksesuaian antara pelaksanaan adat


laki-laki. Anggapan tentang perbedaan dengan agama dalam kebudayaan Bali.
status serta peran laki-laki dan perempuan Berdasarkan pada uraian sebelumnya, adat
pada masyarakat Bali sudah diperlihatkan Bali berpijak pada ajaran agama Hindu,
sejak masih kecil atau anak-anak. tetapi dalam pelaksanaannya ternyata tidak
Masyarakat memberi nilai yang lebih tinggi demikian. Wibhawa (2006) menyatakan
terhadap anak laki-laki dibandingkan banyak fakta yang terjadi merupakan
dengan anak perempuan. tradisi-tradisi yang salah dan dianggap
merupakan bagian dari sebuah agama, atau
Adanya ideologi gender, menurut pemikiran tradisilah yang diagamakan bukan agama
Rogers (dalam Wiasti, 2006) menjelaskan yang ditradisikan. Agama dan tradisi (adat)
bahwa adanya hubungan konseptual antara adalah dua konsep yang berbeda, keduanya
laki-laki dan perempuan. Hubungan bersifat melengkapi. Idealnya tradisi (adat)
konseptual ini dapat dipelajari dengan menyesuaikan dengan agama, bukan agama
menganalisis ada atau tidaknya perbedaan yang menyesuaikan dengan tradisi, terlebih
dalam ideologi dan perilaku laki-laki dan jika tradisi tersebut tidak sesuai dengan
perempuan. Perbedaan dalam ideologi ini ajaran agamanya.
menggambarkan bahwa laki-laki dan
perempuan menganggap dirinya masing- Fakih (2005) menyatakan bahwa
masing secara mendasar berbeda satu marginalisasi terhadap perempuan sudah
dengan yang lain, laki-laki dan perempuan terjadi sejak di rumah tangga dalam bentuk
diharapkan mempunyai persepsi tersendiri diskriminasi atas anggota keluarga yang
mengenai nilai, norma, dan kebiasaan- laki-laki dan perempuan. Marginalisasi atau
kebiasaan. pembatasan dalam pengambilan keputusan
terjadi karena diperkuat juga oleh adat
Tiap individu dalam memandang kesetaraan istiadat maupun tafsir keagamaan. Menurut
dan keadilan gender dapat memiliki Yuarsi (dalam Tirtayani, 2007), perempuan
pemahaman yang berbeda meskipun memiliki lebih banyak aturan yang harus
mempunyai latar belakang budaya yang ditaati dan berarti juga perempuan lebih
sama. Pemahaman yang berbeda ini banyak melaksanakan tugas. Kondisi
disebabkan karena selain manusia itu demikian yang membuat kedudukan laki-
merupakan individu yang unik dan laki menjadi semakin lebih dominan.
individual differences, individu-individu
tersebut memiliki faktor-faktor berbeda Dari beberapa pandangan di atas, dapat
yang mempengaruhi konsep berpikir dan dinyatakan bahwa kebudayaan Bali dengan
mempersepsikan suatu pengalaman, sistem kekerabatan patrilineal yang kuat
termasuk pula pengalaman mengenai merupakan salah satu indikator penyebab
budaya Bali dihubungkan dengan terjadinya kesenjangan gender yang dialami
pemaknaan terhadap kesetaraan dan oleh kaum perempuan Bali. Perempuan Bali
keadilan gender. menjadi kajian utama dalam permasalahan
gender ini karena adat dan tradisi Bali
Fakta yang telah dikemukakan berkaitan sangat membelenggu kaum perempuan,
dengan kesenjangan gender yang dialami bahkan anak perempuan Bali boleh
oleh perempuan Bali, bertolak belakang disebutkan sebagai “kelas dua” setelah
dengan ajaran agama Hindu yang lelaki (Manikgeni, 2007). Menurut Geriya
menyatakan bahwa perempuan diakui (2006), tantangan atau hambatan wanita
sejajar dengan laki-laki (Wiana, 2000). (khususnya wanita Hindu Bali) masih
Berpijak pada dasar tersebut, maka terdapat terhimpit dalam sistem sosial, sering juga

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali 152

kena “penyakit” budaya, yaitu terikat der yang dialami oleh kaum perempuan
dengan sistem kekerabatan orang Bali yang terutama sebagai perempuan Bali, baik
masih menganut sistem patrilineal. itu berupa karya sastra, pandangannya
sendiri, atau merupakan hasil penelitian.
Berdasarkan uraian dan asumsi di atas, Metode pengumpulan data yang digunakan
diajukan pertanyaan penelitian sebagai dalam penelitian ini adalah wawancara
berikut: Bagaimana persepsi perempuan mendalam (depth interview) dan observasi
Bali terhadap konsep kesetaraan dan semi-partisipan.
keadilan gender dalam budaya Bali?
Penelitian ini bertujuan untuk memahami
dan mendeskripsikan persepsi perempuan HASIL DAN PEMBAHASAN
Bali dalam memaknai konsep kesetaraan
dan keadilan gender dalam ruang lingkup Kaum perempuan Bali memiliki definisi
budaya Bali, realitas-realitas yang terjadi konsep KKG yang berbeda dengan yang
pada perempuan Bali, dan mengetahui dikemukakan di atas. Subjek 1 menyatakan
faktor-faktor yang memengaruhi persepsi konsep Kesetaraan dan Keadilan Gender
perempuan Bali tersebut. (KKG) yang dikemukakan merupakan
proyek pemerintah yang lahir dari konsep
kesetaraan gender dari budaya Barat, yaitu
METODE KKG akan terwujud apabila kaum laki-laki
dan perempuan memiliki fungsi yang sama,
Subjek penelitian ini berjumlah tiga orang. sedangkan konsep kesetaraan gender
Pemilihan subjek dilakukan dengan menurut budaya Timur adalah KKG akan
menggunakan teknik purposive sampling, terwujud apabila kaum laki-laki dan
dengan kriteria subjek sebagai berikut: perempuan saling bekerja sama secara
1) Perempuan, bersuku Bali, dan beragama harmonis dan seimbang dalam mengerjakan
Hindu. Perempuan Bali merupakan perannya masing-masing.
kaum yang tersubordinasikan
kedudukannya secara adat istiadat Konsep KKG dari pemerintah yang berasal
dalam budaya Bali yang berbentuk dari konsep budaya Barat dibenarkan oleh
patriarki. Megawangi (1999) yang menyatakan
2) Bertempat tinggal dan dibesarkan di konsep kesetaraan gender menurut UNDP
Bali, sehingga dapat mengetahui, (United Nations Development Program)
memahami dan menjalankan bagaimana sebagai konsep kesetaraan kuantitatif
seluk beluk adat istiadat Bali. (50/50), yaitu kesetaraan sama rata antara
3) Telah menikah dan memiliki anak, atau pria dan wanita dalam usia harapan hidup,
berkeluarga. Perempuan Bali yang telah pendidikan, jumlah pendapatan, dan
menikah dan memiliki anak, atau partisipasi politik. Megawangi (1999)
berkeluarga umumnya telah matang memandang relasi gender sebagai relasi
secara psikologis, atau telah memiliki yang komplementer, meskipun berbeda
kesiapan kognitif, afektif dan perilaku, dalam peran tetapi tetap bersatu dalam
sehingga diharapkan dapat memainkan mencapai tujuan yang sama. Subjek 3
perannya bersama individu lain dalam memahami konsep KKG sebagai
masyarakat. pemerolehan kesempatan yang sama pada
4) Memiliki karya tulis yang telah laki-laki dan perempuan yang disesuaikan
dipublikasikan sebagai bentuk apresiasi dengan kebutuhan dan kepentingannya
terhadap keseriusannya dalam menang- masing-masing. Pendapat tersebut sesuai
gapi permasalahan-permasalahan gen- dengan yang dikemukakan Tawney (dalam

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


153 Widayani & Hartati

Megawangi, 1999) yaitu kesetaraan yang keagamaan sehingga setiap umat Hindu
adil adalah konsep yang mengakui faktor diwajibkan untuk bekerja sesuai dengan
spesifik seseorang dan memberikan haknya swadharma-nya, fungsi, status dan
sesuai dengan kondisi perorangan. profesinya dalam masyarakat. Subjek 3 juga
menyatakan suatu keadaan dikatakan
Ketidakadilan dan diskriminasi gender sebagai ketidakadilan gender apabila kaum
merupakan sistem dan struktur di mana baik perempuan tidak menikmati suatu kondisi
laki-laki maupun perempuan menjadi tertentu yang dibebankan kepadanya.
korban dari sistem tersebut (KMNPP,
2000). Berbagai pembedaan peran dan Handayani dan Sugiarti (2008) menyatakan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan bahwa faktor penyebab ketidakseimbangan
baik secara langsung berupa perlakuan atau atau ketidakadilan gender adalah akibat
sikap, maupun tidak langsung berupa adanya gender yang dikonstruksikan secara
dampak suatu peraturan perundang- sosial dan budaya di Indonesia berdasarkan
undangan maupun kebijakan telah hukum hegemoni patriarki. Subjek 2 dan 3
menimbulkan berbagai ketidakadilan yang memaknai bahwa ketidakadilan secara jelas
telah berakar dalam sejarah, adat, norma terjadi dalam adat Bali yang bersifat
ataupun struktur masyarakat (KMNPP RI, patriarki dan memposisikan kedudukan
2001). Subjek 1 menyatakan pada budaya kaum laki-laki di atas kaum perempuan,
Bali secara khusus dan di Indonesia secara karena ketika ada kaum laki-laki yang
umum tidak terjadi permasalahan dalam berinisiatif membantu melakukan peran
bidang gender, apabila ada perbedaan reproduktif yang semestinya hanya
terhadap sistem yang dikenakan pada kaum dikerjakan oleh kaum perempuan dianggap
laki-laki dan perempuan disebabkan karena adat yang berfungsi sebagai kontrol sosial
sumber daya yang dimiliki pada laki-laki merupakan suatu kesalahan.
dan perempuan memang berbeda, sehingga
jika memperoleh perlakuan yang dibedakan Fakih (2005) menyatakan bias gender
pun adalah merupakan sesuatu yang wajar. terjadi karena adanya keyakinan di
Pendapat Subjek 1 dibenarkan oleh masyarakat bahwa pekerjaan yang dianggap
Megawangi (1999) yang menyebutkan masyarakat sebagai jenis pekerjaan
kemampuan yang berbeda antara pria dan perempuan, seperti semua pekerjaan
wanita disebabkan oleh adanya keragaman domestik, dianggap dan dinilai lebih rendah
biologis atau disebut dengan kemampuan dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang
spesifik. Adanya keragaman biologis dianggap sebagai pekerjaan lelaki. Setiadi
tersebut menunjukkan bahwa dalam dkk (2006) mengemukakan fungsi kontrol
kehidupan publik kesetaraan 50/50 hampir sosial sebagai kendali terhadap proses
tidak mungkin dapat terwujud (Megawangi, perkembangan kebudayaan baru apabila
1999). dinilai bertentangan dengan keyakinan
kelompok sosial tertentu yang menganut
Subjek 3 menyatakan kaum perempuan Bali kebudayaan tradisional selama turun
tidak merasa mengalami ketidakadilan temurun. Griadhi (dalam Surpha, 2006)
gender karena memaknai setiap perannya menjelaskan adanya pikiran tradisional
sebagai sebuah kewajiban, meskipun pada masyarakat Bali menjadi dasar
sebenarnya kaum perempuan Bali terbentuknya hukum pelanggaran adat
merasakan beban kerja akibat ketimpangan sebagai bentuk pemulihan keseimbangan di
peran yang diterimanya. Menurut Surpha desa, yang berupa sanksi sosial seperti
(2006), umat Hindu memandang “bekerja” beban mental dan psikologis. Pernyataan
sebagai yajna atau upacara korban suci Griadhi tersebut sesuai dengan pendapat

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali 154

Subjek 3 yang menyatakan beban kerja yang pesat tersebut tidak mengubah
yang dirasakan kaum perempuan Bali peranannya yang lama, yaitu peranan dalam
menjadi beban psikis yang tidak mampu lingkup rumah tangga atau peran
diungkapkan secara frontal karena pengaruh reproduktif. Hal ini mengakibatkan
budaya dan kontrol sosial yang sangat kuat perkembangan peranan perempuan sifatnya
sehingga hanya bisa diterima walaupun bertambah dan umumnya perempuan
dengan rasa berat hati. mengerjakan berbagai peran sekaligus, baik
peran domestik maupun peran produktif,
Menurut Handayani dan Sugiarti (2008), untuk memenuhi tuntutan pembangunan
perempuan memiliki tiga peran dalam sehingga beban kerja perempuan menjadi
kehidupannya, yaitu peran reproduktif, lebih berat.
peran produktif dan peran sosial. Subjek 3
memaknai ketiga peran atau multiperan Surpha (2006) menyatakan bahwa hak
yang dibebankan kepada kaum perempuan waris di Bali berdasarkan penghayatan dan
merupakan suatu bentuk ketimpangan kemanusiaan atas azas patrilineal atau
peran, karena ketiga peran tersebut tidak purusha. Subjek 3 memaknai sistem
dibebankan juga kepada kaum laki-laki. pewarisan di Bali sebagai kondisi yang
Menurut Fakih (2005), adanya anggapan tidak adil bagi kaum perempuan karena
gender bahwa kaum perempuan memiliki kaum perempuan sama sekali tidak
sifat memelihara, rajin, dan tidak cocok memperoleh bekal atau modal sebagai
untuk menjadi kepala rumah tangga, sumber daya pribadinya untuk memperoleh
mengakibatkan semua pekerjaan domestik status dan kedudukan yang sesuai, serta
menjadi tanggung jawab kaum perempuan, untuk dapat mengembangkan kemampuan
di mana peran gender tersebut dan potensi diri.
disosialisasikan kepada kaum perempuan
sejak dini, sedangkan kaum lelaki tidak Subjek 2 memaknai ketidakadilan gender
diwajibkan secara kultural untuk menekuni terjadi pada kaum perempuan di bidang
pekerjaan domestik tersebut sehingga pendidikan akibat budaya patriarki Bali,
menyebabkan terjadinya beban kerja yang karena lebih mengutamakan pendidikan
berlebih pada kaum perempuan. anak laki-laki yang merupakan penerus
keturunan keluarga, dan menganggap tidak
Subjek 2 dan 3 sama-sama memaknai beban ada gunanya menyekolahkan anak
kerja sangat dirasakan oleh kaum perempuan ke jenjang pendidikan yang
perempuan Bali karena harus menjalankan lebih tinggi karena nantinya pasti akan
tiga peran dalam kehidupannya, yaitu peran keluar dari keluarga asal atau diambil oleh
reproduktif, peran produktif, dan peran pihak keluarga suami. Behrman
sosial. Kedua subjek menyatakan dalam (Megawangi, 1999) menyatakan adanya
melakukan peran sosial dan peran alokasi sumber daya keluarga dengan
produktif, kaum perempuan tidak bisa model investasi murni, yang berlaku pada
berkonsentrasi dan bertotalitas secara penuh keluarga dalam kondisi miskin sehingga
karena harus membagi perhatiannya juga sumber daya yang ada akan dialokasikan
kepada peran reproduktif. Menurut pada sektor yang paling menguntungkan,
Handayani dan Sugiarti (2008), dengan biasanya prioritas utama akan diberikan
berkembangnya wawasan kemitrasejajaran kepada anak laki-laki karena nantinya
berdasarkan pendekatan gender dalam diharapkan dapat membantu penghasilan
berbagai aspek kehidupan, maka peran keluarga ketika sudah bekerja. Akibat
perempuan mengalami perkembangan yang keterbatasan materi, maka pendidikan anak
cepat; tetapi perkembangan perempuan perempuan akan menjadi prioritas kedua

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


155 Widayani & Hartati

karena diharapkan nantinya akan seimbang antara hak dan kewajibannya


bergantung kepada pihak suami. KMNPP antara kaum laki-laki dengan kaum
RI (2001) menyatakan bahwa subordinasi perempuan, tetapi pada pelaksanaannya,
adalah keyakinan bahwa salah satu jenis masyarakat dari budaya yang berbeda akan
kelamin dianggap lebih penting atau lebih melihat adanya ketimpangan peran pada
utama dibanding jenis kelamin lainnya. peran yang dijalankan oleh perempuan Bali
karena terlihat menjalankan peran yang
Subjek 3 memaknai pada dasarnya laki-laki lebih berat daripada kaum laki-laki. Surpha
dan perempuan memiliki kebutuhan dan (2006) menjelaskan adanya gambaran sosial
kepentingan untuk memperoleh pendidikan di Bali yang menunjukkan bahwa kaum
sehingga seharusnya mereka mendapatkan perempuan mengerjakan pekerjaan-
kesempatan yang sama untuk itu, tetapi pekerjaan berat yang biasanya di daerah
pada kenyataannya di Bali menunjukkan lain pekerjaan tersebut dikerjakan oleh
kaum perempuan Bali diperlakukan berbeda kaum laki-laki, hal tersebut merupakan
dalam pemerolehan kesempatan men- sebuah bentuk penghargaan masyarakat
dapatkan pendidikan karena nilai anak laki- Bali terhadap emansipasi kaum perempuan
laki yang lebih tinggi daripada kaum yang sesungguhnya memang dapat
perempuan. mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang
pada umumnya lazim dikerjakan oleh kaum
Peran gender (gender role) adalah suatu set laki-laki.
harapan yang menetapkan bagaimana
perempuan atau laki-laki harus berpikir, Subjek 2 memaknai kaum perempuan
bertindak, dan berperasaan (Santrock, memiliki nilai yang suci dan terhormat dan
2003). Subjek 1 menginterpretasikan kedudukannya yang setara dengan kaum
konsep peran gender sebagai pelaksanaan laki-laki karena diciptakan oleh Tuhan
suatu peran yang harus dikerjakan secara dengan cara yang sama. Bhagawadghita
seimbang, harmonis, dan terkoordinasi 1.40 (Puspa, 2008), menyatakan
dengan baik, serta tidak adanya pembedaan “Adharmabhibavat krsna pradusyanti kula
peran yang dikhususkan untuk jenis strisu dustasu varsneya, jayate varna-
kelamin tertentu. Bern (dalam Santrock, sankarah”, yaitu apabila hal-hal yang
2003) mengemukakan adanya klasifikasi bertentangan dengan dharma merajalela
peran gender dengan menggunakan konsep dalam keluarga, seperti kaum wanita dalam
androgini. Konsep androgini merupakan keluarga ternoda, dan dengan merosotnya
konsep pendidikan bebas gender yang kaum wanita, maka akan lahirlah keturunan
mengasumsikan bahwa anak laki-laki dan yang tidak diinginkan. Pada kitab Manawa
perempuan mempunyai potensi yang sama Dharma Sastra III.55 (Puspa, 2008) juga
untuk menjadi maskulin dan feminin menguraikan standar peraturan keluarga
sehingga perlu diperlakukan secara sama yang mengharuskan menghormati kaum
(Megawangi, 1999). Pernyataan tersebut perempuan disertai konsekuensi yang akan
mendukung pandangan Subjek 1 yang terjadi kalau peraturan itu tidak dipatuhi,
memaknai konsep gender bersifat dengan menyatakan “Pittrbhir bhratrbhis,
androgini, yang terbentuk dari dominasi caitah patibhir devaraistatha; Pujya
salah satu perilaku maskulin atau feminin bhusayita vyasca, bahu kalyanmipsubhih”,
yang secara bersama-sama berada dalam yaitu wanita harus dihormati dan disayangi
diri satu individu. oleh ayah-ayahnya, kakak-kakaknya, suami
dan ipar-iparnya yang menghendaki
Subjek 2 menginterpretasikan konsep peran kesejahteraan sendiri. Selanjutnya, kitab
gender yang terkonstruksi di Bali sudah Manawa Dharma Sastra III.56 juga

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali 156

menyatakan “Yatra naryastu pujyante, fungsi dan peranan masing-masing dalam


ramante tatra devatah Yatraitastu na berbagai bidang kehidupan dan
pujyante, sarvaslalah kriyah”, yaitu dimana pembangunan (2008). Pernyataan di atas
wanita dihormati, di sanalah dewa-dewa didefinisikan dengan baik oleh Subjek 3
merasa senang, tetapi dimana mereka tidak yang menjelaskan konsep gender
dihormati, tidak ada upacara suci apapun merupakan hasil karya manusia yang
yang akan berpahala (Puspa, 2008). sifatnya dapat berkembang dan mengalami
Menurut ajaran agama Hindu, wanita dan perubahan, serta menyatakan konsep gender
pria sama-sama diciptakan oleh Sang sebagai sebuah konsep yang tidak bisa
Hyang Widi Wasa, bukan dilahirkan dari digeneralisasikan pada tempat yang
tulang rusuk kaum adam. Hal tersebut berbeda, bersifat relatif karena dapat
sesuai dengan yang termuat di dalam dipertukarkan dan dapat berubah dari waktu
Manawa Dharmasastra 1.32 dinyatakan, ke waktu sesuai dengan perkembangan
bahwa wanita dan laki-laki sama-sama jaman.
merupakan ciptaan Tuhan (Puspa, 2008).
Proses persepsi dan aspek yang mendukung
Surpha (2006) menyatakan masyarakat Bali
memiliki pandangan hidup yang sangat Persepsi merupakan proses pencarian
dipengaruhi dan dijiwai oleh kebudayaan informasi untuk dipahami. Alat untuk
Bali dan agama Hindu, dimana pandangan memperoleh informasi tersebut adalah
hidup tersebut mengandung konsep dasar pengindraan, dan alat untuk memahaminya
mengenai kehidupan yang dicita-citakan adalah kesadaran atau kognisi (Sarwono,
dan pikiran-pikiran mendalam mengenai 1999). Pelaksanaan proses persepsi
wujud kehidupan yang lebih baik dalam berkaitan erat dengan proses penilaian diri
masyarakat. Subjek 2 menegaskan bahwa dan orang lain. Hurlock (dalam Gufron dan
terjadi ketidaksesuaian mengenai Risnawita, 2010) mengatakan bahwa
kedudukan kaum perempuan dengan kaum konsep diri merupakan gambaran seseorang
laki-laki antara ajaran agama Hindu dengan mengenai diri sendiri yang merupakan
budaya patriarki Bali yang menganut sistem gabungan dari keyakinan fisik, psikologis,
kekerabatan secara patrilineal. Menurut sosial, emosional aspiratif dan prestasi yang
PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia), mereka capai.
menyatakan bahwa tidak semua adat
istiadat Bali yang pada mulanya dikira Pujijogjanti (dalam Gufron & Risnawita,
pengamalan dari ajaran agama Hindu yang 2010) mengatakan ada tiga peran penting
bersumber dari ajaran agama Hindu, dapat konsep diri sebagai penentu perilaku, yaitu:
dipertanggungjawabkan sebagai Adat 1. Konsep diri berperan dalam
Agama Hindu (Surpha, 2006). mempertahankan keselarasan batin. Pada
dasarnya individu selalu
Gender mengacu pada dimensi sosial- mempertahankan keseimbangan dalam
budaya seseorang sebagai laki-laki atau kehidupan batinnya.
perempuan (Santrock, 2003). Handayani 2. Keseluruhan sikap dan pandangan
dan Sugiarti menjelaskan gender sebagai individu terhadap diri berpengaruh besar
konsep sosial yang membedakan (dalam terhadap pengalamannya. Setiap
arti memilih atau memisahkan) peran antara individu akan memberikan penafsiran
laki-laki dan perempuan, bersifat dapat yang berbeda terhadap sesuatu yang
dipertukarkan, tidak ditentukan oleh dihadapi.
perbedaan biologis atau kodrat melainkan 3. Konsep diri adalah penentu pengharapan
dibedakan atau dipilah menurut kedudukan, individu. Pengharapan adalah inti dari

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


157 Widayani & Hartati

konsep diri. Konsep diri merupakan terhadap kaum perempuan. Adanya


seperangkat harapan dan penilaian ketidaksesuaian antara kedudukan kaum
perilaku yang menunjuk pada harapan perempuan dan kaum laki-laki pada
tersebut. ajaran agama Hindu dan budaya patriarki
Bali menjadi dasar terjadinya konflik
Calhoun dan Acocella (dalam Gufron dan pada diri Subjek 2, tetapi adanya konsep
Risnawita, 2010) mengatakan konsep diri ajaran agama Hindu seperti Panca
terdiri dari tiga dimensi atau aspek, yaitu: Sradha (lima dasar kepercayaan dalam
1. Pengetahuan agama Hindu), Tri Hita Karana (tiga
Pengetahuan tentang diri berasal dari diri penyebab kesejahteraan dalam agama
pribadi dan kelompok sosial yang Hindu, yaitu dengan menjaga
diidentifikasikan oleh individu tersebut. keseimbangan dan keharmonisan dengan
Pada dasarnya kaum perempuan Bali dirinya sendiri, alam semesta, dan Sang
mengetahui gambaran dirinya sendiri Hyang Widi Wasa atau Tuhan) dan Tri
secara keseluruhan. Ketiga subjek Kaya Parisudha (tiga jenis perbuatan
memahami kebutuhan dan sikap mereka dalam agama Hindu yaitu berpikir,
dalam menghadapi beragam persoalan. berkata dan berbuat yang benar); yang
Ketiga subjek juga mengerti tugas-tugas berguna sebagai penyelaras ketenangan
yang harus diemban sebagai seorang batin mendukung terbentuknya konsep
perempuan Bali. Mereka menerima diri yang positif pada Subjek 2.
secara sadar tugas, peran dan tanggung 2. Harapan
jawab dalam multiperan yang harus Individu mempunyai harapan bagi
dikerjakannya sebagai suatu kewajiban. dirinya sendiri untuk menjadi diri yang
Menurut Jensen dan Suryani (Suryani, ideal. Diri yang ideal sangat berbeda
2003), orang Bali selalu berusaha pada masing-masing individu. Setiap
mencapai keadaan tenang dan rahayu individu memiliki harapan dan gambaran
dengan mengekspresikan emosinya ideal dalam kehidupannya. Adanya
secara non-verbal, berusaha mengontrol konsep diri ideal yang dimaknai secara
emosi, dan menerima sesuatu secara berbeda oleh masing-masing individu,
pasif (passive acceptance) tanpa suatu maka harapan dan gambaran ideal pada
protes walaupun hal tersebut tidak ketiga subjek juga tidak sama. Pada
berkenan di hati. Ketiga subjek tersebut dasarnya gambaran ideal dan harapan
menyadari pengaruh kebudayaan yang dimiliki ketiga subjek merupakan
patriarki Bali menjadi landasan pedoman sebuah standarisasi kesempurnaan
dalam bertingkah laku di Bali, termasuk terhadap sebuah objek dan keinginan
peraturan dalam adat, sistem perkawinan yang didistribusikan melalui objek atau
dan sistem pewarisan. Subjek 2 secara orang lain yang berkaitan dengan
khusus memiliki perbedaan dengan mereka. Konsep diri mereka dapat
kedua subjek lainnya. Subjek 2 memiliki terbentuk secara positif apabila mereka
pengetahuan agama Hindu yang cukup mampu mewujudkan atau mendekati
baik, pengetahuan tersebut mendasari gambaran ideal dan harapan yang
pemahaman mengenai pengetahuan mereka inginkan.
terhadap diri sendiri, harapan, gambaran 3. Penilaian
ideal, dan penilaian dirinya. Pada subjek Di dalam penilaian ini individu
2 sebenarnya juga terjadi konflik yang berkedudukan sebagai penilai tentang
mendasar dimana pada umumnya kaum dirinya sendiri. Ketiga subjek yang
perempuan Bali merasakan budaya memahami hak dan kewajiban sebagai
patriarki sebagai budaya yang tidak adil kaum perempuan Bali, pada dasarnya

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali 158

memiliki penilaian yang hampir sama instrumental dan emosional dari pihak
terhadap konsep diri mereka. Penilaian suami, anak-anak, menantu dan keluarga
yang hampir sama ini disebabkan karena besar subjek terhadap berbagai peran yang
karakteristik subjek penelitian yang harus dijalankannya sehingga terbentuk
memiliki latar belakang yang hampir penyesuaian diri yang baik pada diri subjek
sama pula, yaitu dalam hal jenis 1. Menurut Rodin & Salovey (dalam Smet,
kelamin, domisili, status pernikahan, 1994), perkawinan dan keluarga merupakan
jenjang pendidikan dan hasil karya yang sumber dukungan sosial yang paling
dipublikasikan kepada masyarakat, yang penting. Kondisi ini menjelaskan bahwa
membedakan adalah pemaknaannya Subjek 1 mampu menyelesaikan konfliknya
terhadap pengalaman yang mereka alami sehingga berdampak positif terhadap
selama rentang waktu kehidupan konsep diri dan pandangannya terhadap
mereka. budaya patriarki Bali.

Ketiga subjek yang sama-sama dituntut Subjek 2 dan 3 sama-sama menyatakan


untuk mengerjakan berbagai peran sebagai bahwa budaya Bali tidak setara dan adil
seorang kaum perempuan Bali memiliki secara gender. Kesamaan persepsi ini
kemampuan regulasi diri yang cukup baik. dipengaruhi oleh latar belakang yang
Adanya keseragaman latar belakang jenjang berbeda pada kedua subjek. Pada Subjek 2,
pendidikan yang cukup tinggi pada ketiga pemaknaan tersebut disebabkan karena
subjek mendukung pencitraan diri dan adanya ketidaksesuaian antara kedudukan
keyakinan diri yang positif terhadap kaum perempuan dan kaum laki-laki pada
kemampuannya yang termanifestasikan ajaran agama Hindu dan budaya patriarki
dalam peran produktif masing-masing Bali. Pada Subjek 3, pemaknaan tersebut
subjek. dilatarbelakangi oleh ketidakpuasannya
terhadap kondisi yang diterima oleh kaum
Pemaknaan pengalaman yang dipahami perempuan Bali, seperti permasalahan hak
secara berbeda oleh masing-masing subjek waris dan multiperan yang harus
akan turut mempengaruhi bagaimana sikap dikerjakan. Kedua subjek ini sama-sama
dan pandangan mereka terhadap mengalami konflik yang tidak terselesaikan,
kebudayaan patriarki Bali. Adapun tetapi seperti yang telah dijelaskan
perbedaan sikap dan pandangan tersebut sebelumnya pada Subjek 2, konflik yang
disebabkan oleh konflik yang timbul, dan terjadi tersebut ditanggulangi oleh tingkat
penyelesaian terhadap konflik tersebut. belief yang tinggi sehingga tercipta konsep
diri yang positif pada Subjek 2. Pada
Subjek 1 memiliki pemaknaan terhadap Subjek 3, konflik tersebut semakin tidak
kebudayaan patriarki yang berbeda dengan terselesaikan karena Subjek 3 merasa
kedua subjek lainnya. Subjek 1 menyatakan dirinya tidak didukung oleh pihak terdekat
budaya patriarki sudah setara dan adil seperti saudara, suami, dan anak-anaknya.
secara gender. Subjek 1 sebenarnya Coyne & Downey (1991) menyatakan
memiliki pengalaman yang sama dengan hubungan yang bermutu kurang baik, jauh
kedua subjek lainnya sebagai kaum lebih banyak mempengaruhi kekurangan
perempuan Bali yang besar dan tinggal di dukungan yang dirasakan daripada tidak
Bali, sehingga Subjek 1 juga memiliki ada hubungan sama sekali (Smet, 1994).
konflik atas budaya tersebut. Aspek yang
mendukung terjadinya perbedaan Proses menilai orang lain atau persepsi
pemaknaan pada Subjek 1 adalah adanya sosial didefinisikan sebagai persepsi
dukungan sosial, baik dalam bentuk mengenai orang itu atau orang-orang lain

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


159 Widayani & Hartati

dan digunakan untuk memahami orang dan perempuan Bali yang menerima hak dan
orang-orang lain (Sarwono, 1999). Dalam kewajiban yang sama. Pengurangan
persepsi sosial ada dua hal yang ingin perbedaan persepsi ini juga dimunculkan
diketahui yaitu keadaan dan perasaan orang dengan salah satu karakteristik berikutnya,
lain saat ini, di tempat ini melalui yaitu kesamaan domisili, sama-sama besar
komunikasi non lisan (kontak mata, busana, dan tinggal di Bali sehingga memahami
dan gerak tubuh) atau lisan dan kondisi benar bagaimana kebudayaan Bali menjadi
yang lebih permanen yang ada di balik dasar pedoman masyarakat Bali dalam
segala yang tampak saat ini (niat, sifat, dan bertingkah laku. Kesamaan status
motivasi) yang diperkirakan menjadi pernikahan dan hasil karya yang
penyebab dari kondisi saat ini. dipublikasikan kepada masyarakat juga
turut menjadi karakteristik subjek penelitian
Ketiga subjek memiliki persepsi yang yang diharapkan dapat memperkecil
berbeda terhadap konsep Kesetaraan dan perbedaan persepsi dan diperoleh data dan
Keadilan Gender pada budaya patriarki hasil penelitian yang objektif, tetapi
Bali. Perbedaan persepsi ini disebabkan ternyata tetap saja perbedaan persepsi
oleh adanya faktor eksternal dan internal muncul pada ketiga subjek tersebut.
yang berpengaruh. Faktor eksternal berupa
kebudayaan Bali, pendidikan, dan pola Hasil penelitian yang diperoleh adalah
asuh. Faktor internal berupa kebutuhan, persepsi terhadap konsep KKG terpecah
sikap, penilaian, dukungan sosial, resistensi, menjadi dua kubu, yaitu budaya patriarki
penyesuaian diri, future expectation dan Bali sudah setara dan adil menurut Subjek 1
kepercayaan. Kedua faktor tersebut muncul dan budaya patriarki Bali belum setara dan
dari pengalaman-pengalaman yang adil menurut Subjek 2 dan 3. Berdasarkan
dimaknai secara berbeda oleh masing- uraian yang dikemukakan di atas,
masing subjek. perbedaan persepsi tersebut dapat muncul
karena antara Subjek 1 dengan Subjek 2
Sarwono (1999) menyatakan persepsi dan 3 berbeda generasi. Subjek 1 berada
bersifat subjektif, karena tergantung pada pada tahapan perkembangan dewasa lanjut,
subjek yang melaksanakan persepsi. sedangkan Subjek 2 dan 3 berada pada
Perbedaan persepsi tersebut disebabkan tahapan perkembangan dewasa madya.
oleh jenis kelamin, perbedaan generasi dan Subjek 1 masih memiliki pemikiran
perbedaan lingkungan sosial budaya akan tradisional yang kuat terhadap pemahaman
menghasilkan persepsi sosial yang berbeda adat Bali. Perbedaan persepsi juga muncul
dan reaksi yang berbeda pula (Markovsky akibat perbedaan budaya pada Subjek 1
dalam Sarwono, 1999). Adanya perbedaan dengan Subjek 2 dan 3. Meskipun ketiga
persepsi tersebut tidak berarti bahwa tidak subjek sama-sama besar dan tinggal di Bali,
ada sama sekali kecenderungan persamaan tetapi adanya perbedaan budaya juga tetap
dalam persepsi. muncul karena perbedaan kebiasaan
kegiatan adat dan keagamaan pada masing-
Ketiga subjek memiliki karakteristik dasar masing desa adatnya. Subjek 1 juga secara
yang sama untuk diteliti supaya status golongan kasta berada lebih tinggi
memperoleh hasil penelitian yang akurat, daripada kedua subjek lainnya sehingga
salah satunya dengan kesamaan jenis mempengaruhi cara pandangnya dalam
kelamin. Adanya kesamaan jenis kelamin memaknai peraturan di lingkungan adatnya.
pada masing-masing subjek, meng- Persepsi sosial juga terbentuk melalui cara
gambarkan kondisi yang diterima pada penilaian masing-masing subjek terhadap
umumnya hampir sama, yaitu sebagai kaum orang lain di luar dirinya. Adanya penilaian

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali 160

terhadap orang lain merupakan tahapan Kaum perempuan Bali dalam mempersepsi
lanjut setelah penilaian diri, untuk konsep KKG terhadap budaya patriarki Bali
memperoleh persepsi terhadap konsep KKG dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor
berdasarkan budaya patriarki Bali. eksternal dan faktor internal. Faktor
Penilaian tersebut meliputi penilaian eksternal adalah faktor yang berasal dari
terhadap perempuan Bali, penilaian luar individu atau disebut juga dengan
terhadap keluarga, dan penilaian terhadap faktor situasional, faktor ini terdiri dari
anak. Ketiga subjek memiliki penilaian kebudayaan Bali, pendidikan dan pola asuh.
yang sama tentang pemaknaan multiperan Faktor internal merupakan faktor dari
oleh perempuan Bali karena mereka dalam individu atau disebut juga faktor
memahami benar tugas, dan kewajibannya personal, yang meliputi persepsi, sikap,
sebagai perempuan Bali. Penilaian terhadap penilaian, kebutuhan, resistensi, dukungan
keluarga didominasi oleh Subjek 1 karena sosial, penyesuaian diri, beliefs dan future
Subjek 1 sangat menghargai peranan expectation. Kedua faktor tersebut
keluarga yang membantunya menyele- mempengaruhi hasil pemaknaan
saikan multiperannya sebagai perempuan perempuan Bali terhadap konsep KKG
Bali sehingga Subjek 1 mendasarkan segala berdasarkan perspektif budaya patriarki
tingkah lakunya atas ijin keluarga terutama Bali.
dari pihak suami dan anak-anaknya.
Penilaian terhadap diri atau konsep diri
Penilaian terhadap anak dimaknai secara pada masing-masing subjek cenderung
beragam oleh masing-masing subjek. positif karena memiliki kemampuan
Subjek 1 memberikan penghargaan penerimaan diri, regulasi diri, dinamisme
tertinggi kepada anak-anaknya yang diri, komitmen terhadap peran reproduktif,
terwujud dalam bentuk eksternalisasi peran penyajian diri, dan penyesuaian diri yang
reproduktif pada anak, penilaian positif cukup baik. Dalam pembentukan konsep
terhadap anak, dan penolakan konsep diri pada tiap subjek dipengaruhi oleh
Keluarga Berencana (KB). Subjek 2 lebih berbagai faktor, yaitu faktor dukungan
memfokuskan kepada proses internalisasi sosial dan resistensi. Kedua faktor tersebut
konsep KKG pada anak-anaknya, yang membedakan konsep diri pada tiap-
sedangkan Subjek 3 terkesan sedikit lebih tiap subjek.
acuh terhadap nilai anak karena bersikap
permisif dalam pola asuh anak-anaknya Penilaian terhadap lingkungan, yang
meskipun tetap memperhatikan kesejah- meliputi penilaian kepada perempuan Bali,
teraan anak-anaknya dengan melakukan penilaian kepada keluarga, dan penilaian
eksternalisasi konsep sistem pewarisan kepada anak dimaknai secara positif
modern kepada anak-anaknya tersebut. berdasarkan pemaknaan pengalaman
masing-masing subjek yang tercermin
melalui faktor eksternal sebagai unsur
KESIMPULAN pembentuknya. Penilaian terhadap
perempuan Bali, meliputi multiperan, peran
Kesetaraan dan keadilan gender (KKG) sentral perempuan dalam keluarga, dan
merupakan bentukan kata yang terdiri dari penilaian terhadap figur perempuan Bali itu
kesetaraan gender dan keadilan gender. sendiri. Penilaian terhadap keluarga,
Konsep KKG tersebut yang dipersepsikan meliputi kepedulian dan kepatuhan terhadap
oleh kaum perempuan Bali dengan keluarga. Penilaian kepada anak meliputi
berdasarkan budaya Bali yang berbentuk eksternalisasi peran reproduktif pada anak,
patriarki. eksternalisasi konsep sistem pewarisan

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


161 Widayani & Hartati

modern, internalisasi konsep KKG pada selama ini telah dijalani. Adanya persepsi
anak, penilaian positif terhadap anak, sikap yang menyatakan budaya patriarki Bali
permisif dalam pengasuhan anak dan adalah setara dan adil secara gender
penolakan konsep KB. disebabkan karena adanya pembentukan
konsep diri yang baik, dimana ketika
Penilaian terhadap diri dan orang lain muncul konflik atau permasalahan yang
membentuk pemaknaan subjek terhadap dirasa bertentangan antara sikap dengan
konsep KKG. Ketiga subjek memiliki lingkungan sosial, maka akan terjadi
pengetahuan dan pemahaman yang berbeda penyesuaian diri untuk memperoleh
terhadap konsep KKG yang dilihat hubungan yang harmonis dengan
berdasarkan sudut pandang budaya patriarki lingkungan sosialnya tersebut.
Bali. Adanya konsep ketidakadilan gender
muncul sebagai pembanding terhadap Penyesuaian diri yang baik pun tidak
konsep KKG yang dipersepsi. Berdasarkan terlepas dari dukungan sosial, yang
kedua konsep tersebut, masing-masing dilakukan oleh orang atau pihak lain dengan
subjek dapat menentukan bagaimana tujuan untuk memenuhi kebutuhan subjek
pandangan mereka terhadap konsep KKG dalam melakukan proses penyesuaian diri.
dalam budaya patriarki Bali. Pada persepsi yang menyatakan bahwa
budaya patriarki adalah tidak setara dan adil
Berdasarkan hasil penelitian, subjek secara gender, ditemukan adanya suatu
memiliki persepsi berbeda-beda terhadap permasalahan yang tidak terselesaikan
konsep KKG dalam budaya patriarki Bali antara sikap subjek dengan lingkungan
karena adanya perbedaan pengalaman yang sosial. Permasalahan yang tidak selesai
dimaknai secara berbeda pula. Perbedaan tersebut akan berpengaruh terhadap sikap
dalam persepsi perempuan Bali terhadap subjek dalam berinteraksi dengan
KKG dalam budaya patriarki Bali lingkungan sosial dan mempengaruhi
ditentukan oleh ada atau tidaknya proses kognisinya tersebut.
penyesuaian diri dan dukungan sosial yang
mendukung pembentukan konsep diri
individu. Pada dasarnya, perempuan Bali DAFTAR PUSTAKA
memiliki faktor eksternal yang hampir
serupa karena secara umum memiliki Arjani, N. L. (2006). Peran gender dalam
keseragaman kriteria yang telah ditentukan kehidupan masyarakat adat di Bali.
oleh peneliti, tetapi pada tahapan proses Kembang Rampai Perempuan Bali, 1-
selanjutnya masing-masing subjek 22.
mengalami proses pembentukan konsep
diri, penilaian terhadap lingkungan seperti Fakih, M. (2005). Analisis gender dan
pandangan terhadap sosok perempuan Bali transformasi sosial. Yogyakarta:
itu sendiri, keluarga dan anak; penyesuaian Pustaka Pelajar.
diri, beliefs, dan future expectation yang
berbeda berdasarkan pengalaman- Geriya. S. S. (2006). Profil pendidikan dari
pengalaman yang dialaminya. masa ke masa. Srikandi: Jurnal Studi
Gender, 6(1), 42-49.
Proses pembentukan konsep diri dan
penilaian terhadap lingkungan mem- Ghufron, M. N. & Rini, R. S. (2010). Teori-
pengaruhi proses kognisi masing-masing teori psikologi. Yogyakarta: Ar-ruzz
subjek dalam memandang kesetaraan dan Media.
keadilan gender pada budaya patriarki yang

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162


Kesetaraan dan keadilan gender dalam pandangan perempuan Bali 162

Handayani, T. & Sugiarti. (2008). Konsep Suryani, L. K. (2003). Perempuan Bali kini.
dan teknik penelitian gender. Malang: Denpasar: Penerbit BP.
UMM Press.
Tirtayani, L. A. (2007). Wanita Bali dalam
Manikgeni, J. M. G. S. (2007, Desember). pemaknaan peran: Studi
Renungan akhir: Wanita. Raditya. fenomenologis terhadap triple-roles
125, 72. wanita Bali, di desa adat Kuta.
Skripsi.(Tidak diterbitkan). Fakultas
Megawangi, R. (1999). Membiarkan Psikologi Universitas Diponegoro.
berbeda?: Sudut pandang baru
tentang relasi gender. Bandung: Tim Penyusun. (2000). Materi pokok
Mizan. penyadaran gender. Jakarta: Kantor
Menteri Negara Pemberdayaan
Puspa, I. A. T. (2008, April). Kedudukan Perempuan.
wanita dalam agama Hindu: Normatif
dan realitas. Raditya. 129, 40. Tim Penyusun. (2001). Bahan informasi
gender modul 2: Bagaimana
Putra, I. N. D. (2007). Wanita Bali tempo mengatasi kesenjangan gender.
doeloe: Perspektif masa kini. Jakarta: Kantor Menteri Negara
Denpasar: Pustaka Larasan. Pemberdayaan Perempuan Republik
Indonesia.
Sarwono, S. W. (1999). Psikologi sosial:
Individu dan teori-teori psikologi Wiasti, N. M. (2006). Hubungan industrial
sosial. Jakarta: Balai Pustaka. yang berwawasan gender: Studi kasus
pada industri kerajinan bambu di desa
Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Belega, kabupaten Gianyar, Bali.
Jakarta: Grasindo Kembang Rampai Perempuan Bali,
134-153.
Sudarta, W. (2006). Pola pengambilan
keputusan suami-istri rumah tangga Wiana, I. K. (2000). Makna agama dalam
petani pada berbagai bidang kehidupan: Semestinya kita malu
kehidupan. Kembang Rampai kepada Tuhan. Denpasar: PT. BP.
Perempuan Bali, 65-83.

Surpha, I. W. (2006). Seputar desa


pakraman dan adat Bali. Denpasar:
Pustaka Bali Post.

Jurnal Psikologi Undip Vol.13 No.2 Oktober 2014, 149-162

You might also like