You are on page 1of 22

LBM 3 – Fever after Whitewater Rafting

STEP 1

- Jarisch-herxherimer :
o show that leptospiral dead that realise endotoxin and it will induced sitokin in
our body and then will show some clinical manifes, for example fever. Normal
reaction. Especially can induced by penisilin G.
o Detoxification reaction, they can happend in weeks after endotoxin release
- Zoonosis :
o The disease that can be transmitted from animal to humans
- Conjungtival suffusion :
o The rednish of eye, like conjugtivitis but without inflamatory exudat

STEP 2

1. Why the patient complain headache and muscle aches ?


2. Why the patient complain fever, jaundice eyes, and conjungtival suffusion ?
3. Why does decreased kidney function occured ?
4. What are the realation between patient doing rafting and clinical manifestation ?
5. Was the urgency of asking wether the patient had not been travelled to malaria
endemic areas in anamnesis and why the serology hepatitis virus marker should be
done ?
6. What is the diagnosis and dd ?
7. What is the etiology of the scenario?
8. What is the risk factor of the scenario ?
9. How is the pathogenesis and pathophysiology os the scenario ?
10. Explain the interpreation of laboratorium examination!
11. What are the therapy of the scenario ?
12. How is the prognosis of the scenario ?
13. What are the complication of the case in the scenario ?

STEP 3

1. Why the patient complain headache and muscle aches ?


Headache : inflamasi  meningkatkan permeabilitas dari vaskuler  peningkatan
tekanan intrakranial  headache
Sitokin yang dapat menyebabkan nyeri? Prostaglandin? Penyebab macam-macam
headache?

Muscle aches : leptospira butuh TAG, heme untuk respirasi dari myoglobin karena
lebih ringan  injury pada muscle  muscle aches

2. Why the patient complain fever, jaundice eyes, and conjungtival suffusion ?
Fever
Pirogen endogen : sitokin
Pirogen eksogen : toksin yang dikeluarkan bac  menempel di endotel 
peningkatan PGE2  menempel reseptor ke 3  pelepasan camp  peningkatan
set poin di hipothalamus  tubuh kompensasi (panasnya ditahan menyesuaikan set
poin)
Macam macam Demam
 Demam kontinyu atau sustained fever ditandai oleh peningkatan suhu tubuh yang menetap
dengan fluktuasi maksimal 0,4oC selama periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya
tidak terjadi atau tidak signifikan.

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

 Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai normal dengan
fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe demam yang paling sering
ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi
diurnal biasanya terjadi, khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

 Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi hari, dan
puncaknya pada siang hari (Gambar 3.).
Gambar 3. Demam intermiten

 Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten menunjukkan
perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat besar.

 Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme demam yang terjadi
setiap hari.
 Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam (siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian

 Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan menetap tinggi selama
beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi normal.

 Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama demam melebihi
yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari untuk infeksi saluran nafas atas.

 Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular pada satu
penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus urinarius) atau sistem organ
multipel.
 Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang berbeda (camelback
fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis merupakan contoh klasik dari pola demam ini.
Gambaran bifasik juga khas untuk leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick
fever, spirillary rat-bite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola,
dan demam Lassa).

 Relapsing fever dan demam periodik:


o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval regular atau
irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari, beberapa minggu atau
beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat dilihat adalah malaria (istilah tertiana
digunakan bila demam terjadi setiap hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari
ke-4) (Gambar 5.)dan brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria

Pola demam Penyakit

Kontinyu Demam tifoid, malaria falciparum malignan

Remitten Sebagian besar penyakit virus dan bakteri

Intermiten Malaria, limfoma, endokarditis

Hektik atau septik Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Quotidian Malaria karena P.vivax

Double quotidian Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile rheumathoid arthritis,


beberapa drug fever (contoh karbamazepin)

Relapsing atau periodik Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis

Demam rekuren Familial Mediterranean fever


Powel KR. Fever. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2007.
Woodward TE. The fever patterns as a diagnosis aid. Fever: Basic mechanisms and management. Edisi ke-
2. Philadelphia: Lippincott-Raven

Bagaimana proses sintesa prostaglandin di hipotalamus?

Jaundice eyes : bilirubin meningkat, karena ada proses hemolisis . bac masuk
sirkulasi  hemolisin, zat yang diserap eritrosit  eritrosit lisis, hb keluar 
pemecahan hb meningkat  jaundice

Vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler,


sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Ikterik disebabkan oleh
kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin darah dari jaringan yang mengalami
hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin.

Conjungtival suffusion

Figure 3: Conjunctival suffusion with subconjunctival hemorrhage (ou), which was suggestive
of leptospirosis, developed on the second hospitalization day.

Conjungtival suffusion  khususnya perikorneal; terjadi karena dilatasi pembuluh darah,


kelainan ini sering dijumpai pada patognomonik pada stadium dini. Keberadaan kuman
leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik berulang.
Komplikasi lain : uveitis, iritis dan iridosiklitis yang sering disertai kekeruhan vitreus dan
lentikular.

3. Why does decreased kidney function occured ?


Karena ada gangguan darah ke ginjal
Leptospira mengeluarkan toksin, menempel di endotel kapiler  rusak  kelainan
pendarahan  hipovolemik  gangguan aliran darah ke ginjal turun  ginjal kurang
darah  nefropati  nekrosis  pembengkakan  gagal ginjal

Outer membran dari leptospira : lpl 32 meningkatkan ekspresi gen dan proliferasi
inflamatory, biasanya ada di proximal tubular ginjal.
Endotoksin dapat menginduced inos, kccl 2(mempengaruhi fungsi ginjal), TNF alfa
mediator endotoksemia (rangsang nekrosis sel)  injury  disfunction and
inflamation

Nefrotoksitas dari leptospira  memicu nefritis dan infeksi tubular akut


Dapat dijumpai perubahan status dinamik sepsis  vasodilatasi sistemik 
Kadar aldosteron dan antidiuretik dapat meningkat  vasokontriksi ginjal 
penurunan diuresis

4. What are the realation between patient doing rafting and clinical manifestation ?
Zoonosis by their urine  contaminned water., soil ,etc.
o Farmer
o Mine worker
o Water related activity  rafiting, swimming
- Weils disease
- Mild forms : flu like syndrome (chills, fever, muscle aches)
- Severe : respiratory distress, renal failure, liver failure

Bisa langsung kena urine, bisa melalui port de entry ( luka ).

Lebih beresiko pada rafting dan renang krn langsung kontak dengan air

If berhubugan dengan soil biasanya karna ada port de entry  pencegahan pakai alas
kaki

Bac ini motil dan berbentuk spiral , dapat menginfeksi tanpa luka pada mukosa

5. Was the urgency of asking wether the patient had not been travelled to malaria
endemic areas in anamnesis and why the serology hepatitis virus marker should be
done ?
Malaria
Karena gejala nya mirip-mirip : demam lebih dari 3 hari, muscle ache, headache
Dapat melanjut ke anemia hemilitik  jaundice
Hepatitis virus  jaundice

6. What is the diagnosis and dd ?


Diagnosis : Leptospirosis
Diagnosis Leptospirosis dapat ditegakkan atas dasar pemeriksaan klinis dan laboratorium.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu:
1) Clinical case
demam akut dengan riwayat terpapar air &/ lingkungan yang terkontaminasi
dengan urin hewan dan diikuti dengan salah satu dari gejala dibawah :
sakit kepala, Mialgia (nyeri otot betis, lumbal), atralgia, conjungtiva suffusion,
iritasi meningeal, proteinuria, ikterik, perdarahan, gagal jantung, ruam kulit, gejala
GIT (Mual, muntah, diare, sakit perut)

2) Probable Case
Menuhi clinical case & case ELISA (Rapid Test positif lainnya)

3) Confrimed Case
 hasil uji MAT serial yang menunjukkan adnya serokonversi atau
peningkatan titer 4 kali atau lebih
 PCR (+) dengan sampe diamnil dalam waktu 10 hari dari onset penyakit
 Ditemukan kuman leptospira atau antigen kuman leptospira dengan
pemeriksaan kultur (sampe darah yang diambil pada waktu 7 hari dari
onset penyakit dan urin pada hari ke 10)
 demonstrasi leptospira dengan pewarnaan imunohistokimia (pada kasus
post mortem)
 Apabila kapasitas lab tidak memadai, dapat dipertimbangkan sebagai
confirmed test , jika hasil rapid test (+) sebanyak 2x
DIAGNOSIS BANDING :
o Malaria
o Hepatitis vius
o DHF
o Arena Virus
o Hanta Virus
o Richetsia Fever

- Leptospirosis anikterik:
influensa, demam dengue dan demam berdarah dengue, infeksi virus hanta, demam
kuning, riketsiosis, boreliosis, bruselosis, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik,
keracunan bahan kimia, keracunan makanan, demam tifoid dan penyakit demam
enterik lain, Fever of known origin (FUO), serokonversi HIV primer, penyakit
legioner, dan infeksi virus/bakteri lain.

- Leptospirosis ikterik:
malaria falciparum berat, hepatitis virus, demam tifus dengan komplokasi ganda,
haemorrhagic fever with renal failure, demam berdarah virus lain dengan komplikasi.

7. What is the etiology of the scenario?


Leptospira :
- famili : treponema taceae
- bisa hidup di suhu 28-30 derajat celcius
- mati pada suhu 60derajat C dalam waktu 1 menit
- punya pathogenic substance :
o endotoksin like component (ELS)  fever inflamasi and necrosis
o Hemolisin  lisiskan sel darah merah  anemia
o Sitotoksisiti factor  muscle spasm and dispnea
- Mekanisme invasi ke tubuh : nempel, adhesi, merusak, endositosis  apoptosis lalu
nekrosis
- Aerob obligat
- Sangat motl
- Ukuran 0,25 x 6,25 mm
- Bersarang di tubulus ginjal  dikeluarkan lewat urin
- Banyak spesies : introgans  species patogen .
- Hidup optimal di temperatur 28-30 , tempat lembap, hidup di tanah

- Non patogen  L. Difleksa.


- Punya Hooked ends  punya kait shg dpt menembus jaringan secara langsung

8. What is the risk factor of the scenario ?

9. How is the pathogenesis and pathophysiology os the scenario ?


Leptospira dapat di cairan tubuh hewan kecuali air liur  masuk ke tubuh  masuk
ke aliran darah 
o target organ utama : ginjal  diterima tlr 4  binding dengan LPS  aktivasi
faktor transkripsi, contohnya nuclear NFKB  induksi il (1 beta, 6, 8) dan tnf
o ke hati  ikterik
o respiratory  ards
o ginjal  trombositopeni
Respon tubuh  lisis endotoksin

Vaksin : LIG A

Kalau di anjing terutama di air liur


Target utama pembulh darah  baru ke organ-organ lain

10. Explain the interpreation of laboratorium examination!


Protrombin time meningkat

Anikterik
o Leukosit jumlah normal tapi neutrofilia
o LED meningkat
Ikterik
o Bilirubin meningkat
o Peningkatan ALP, AST kreatin fosfolipase , kreatinin
o Trombositopenia

Pemeriksaan urin  proteinuria ; Di mikroskopis  ditemukan leukosit, eritrosis

Serology  antibodi anti leptospira

a. Pemeriksaan laboratorium umum


Termasuk pemeriksaan laboratorium umum yaitu:
1) Pemeriksaan darah
Pada pemeriksaan darah rutin dijumpai leukositosis, normal atau menurun, hitung
jenis leukosit, terdapat peningkatan jumlah netrofil. Leukositosis dapat mencapai
26.000 per mm3 pada keadaan anikterik.
Morfologi darah tepi terlihat mielosit yang menandakan gambaran pergeseran ke
kiri.
Faktor pembekuan darah normal. Masa perdarahan dan masa pembekuan
umumnya normal, begitu juga fragilitas osmotik eritrosit keadaannya normal.
Masa protrombin memanjang pada sebagian pasien namun dapat dikoreksi dengan
vitamin K. Trombositopenia ringan 80.000 per mm3 sampai 150.000 per mm3
terjadi pada 50 % pasien dan berhubung dengan gagal ginjal, dan pertanda
penyakit berat jika hitung trombosit sangat rendah yaitu 5000 per mm 3. Laju
endapan darah meningi, dan pada kasus berat ditemui anemia hipokromia
mikrositik akibat perdarahan yang biasa terjadi pada stidium lanjut perjalanan
penyakit.

2) Pemeriksaan fungsi ginjal


Pada pemeriksaan urin terdapat albuminuria dan peningkatan silinder ( hialin,
granuler ataupun selular) pada fase dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada
keadaan berat terdapat pula bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan
disertai piuria dan hematuria. Gagal ginjal kemungkinan besar akan dialami
semua pasien ikterik. Ureum darah dapat dipakai sebagai salah satu faktor
prognostik, makin tinggi kadarnya makin jelek prognosa. Peningkatan ureum
sampai di atas 400 mg/dL. Proses perjalanan gagal ginjal berlangsung progresif
dan selang 3 hari kemudian akan terjadi anuri total. Ganguan ginjal pada pasien
penyakit Weil ditemukan proteinuria serta azotemia, dan dapat terjadi juga
nekrosis tubulus akut. Oliguria: produksi urin kurang dari 600 mL/hari; terjadi
akibat dehidrasi, hipotensi.

3) Pemeriksaan fungsi hati


Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik. Ikterik
disebabkan karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi hati ditunjukkan
dengan meningkatnya serum transaminase (serum glutamic oxalloacetic
transaminase = SGOT dan serum glutamic pyruvate transaminase = SGPT).
Peningkatannya t idak pasti, dapat tetap normal ataupun meningkat 2 – 3 kali nilai
normal. Berbeda dengan hepatitis virus yang selalu menunjukkan peningkatan
bermakna SGPT dan SGOT. Kerusakan jaringan otot menyebabkan kreatinin
fosfokinase juga meningkat. Peningkatan terjadi pada fase-fase awal perjalanan
penyakit, rata-rata mencapai 5 kali nilai normal. Pada infeksi hepatitis virus tidak
dijumpai peningkatan kadar enzim kreatinin fosfokinase.

b. Pemeriksaan laboratorium khusus


Pemeriksaan laboratorium khusus untuk mendeteksi keberadaan kuman leptospira
dapat secara langsung dengan mencari kuman leptospira atau antigennya dan
secara tidak melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira dengan uji
serologis
1) Pemeriksaan langsung:
a) Pemeriksaan mikroskopik dan immunostaining
Pemeriksaan langsung dapat mendeteksi kuman leptospira dalam darah,
cairan prtoneal dan eksudat pleura dalam minggu pertama sakit, khususnya
antara hari ke 3 – 7, dan di dalam urin pada minggu ke dua, untuk
diagnosis definitif leptospirosis.
Spesimen urin diambil dengan kateter, punksi supra pubik dan urin aliran
tengah, diberi pengawet formalin 10 % dengan perbandingan 1:4. Bila
jumlah spesimen banyak dilakukan dua kali pemusingan untuk
memperbesar peluang menemukan kuman leptospira. Pemusingan pertama
dilakukan pada kecepatan rendah, misalnya 1000 g selama 10 menit untuk
membuang sel, dilanjutkan dengan pemusingan pada kecepatan tinggi
antara 3000 – 4000 g selama 20 – 30 menit agar kuman leptospira
terkonsentrasi, kemudian satu tetes sedimen (10 -20 mL) diletakkan di atas
kaca obyek bersih dan diberi kaca [penutup agar tersebar rata.
Selain itu dapat dipakai pewarnaan Romanowsky jenis Giemsa, dan
pewarnaan perak yang hasilnya lebih baik dibanding Gram dan Giemsa
(kuman leptospira lebih jelas terlihat).
Pewarnaan imunofluoresein lebih disukai dari pada pewarnaan perak
karena kuman leptospira lebih muda terlihat dan dapat ditentukan jenis
serovar. Kelebihan pewarnaan imunofluoresein dapat dicapai tanpa
mikroskop fluoresein dengan memakai antibodi yang telah dilabel enzim,
seperti fosfotase dan peroksidase atau logam seperti emas.
b) Pemeriksaan molekuler
Pemeriksaan molekuler dengan reaksi polimerase berantai untuk deteksi
DNA kuman leptospira spesifik dapat dilakukan dengan memakai primer
khusus untuk memperkuat semua strain patogen. Spesimen dari 2 ml
serum, 5 mL darah tanpa antikoagulan dan 10 mL urin.
C, drySpesimen tersebut dikirim pada suhu – 70 C dalam waktu singkat.
Urin dikirimice, atau suhu 4 C.pada suhu 4
c) Biakan
Spesimen diambil sebelum pemberian antibiotik. Hasil optimal bila darah,
cairan serebrospinal, urin dan jaringan postmortem segera ditanam ke
media, kemudian dikirim ke laboratorium pada suhu kamar.
d) Inokulasi hewan percobaan
Kuman leptospira virulen dapat menginfeksi hewan percobaan, oleh
karena itu hewan dapat dipakai untuk isolasi primer kuman leptospira.
Umumnya dipakai golden hamsters (umur 4 – 6 minggu) dan marmut
muda ( 150 – 175 g), yang bukan karier kuman leptospira.
2) Pemeriksaa tidak langsung / serologi
Berbagai jenis uji serologi dapat dilihat seperti pada tabel 4.
Jenis uji serologi:
Microscopic agglutination test (MAT) Microscopic slide agglutination test
(MSAT)
Uji carik celup:
LEPTO Dipstick
LeptoTek Lateral Flow Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA)
Aglutinasi lateks Kering
(LeptoTek Dri – Dot) Microcapsule agglutination test
Indirect fluorescent antibody test (IFAT) Patoc – slide agglutination test
(PSAT)
Indirect haemagglutination test (IHA) Sensitized erythrocyte lysis test (SEL)
Uji Aglutinasi lateks Counterimmunelectrophoresis (CIE)
Complement fixation Test (CFT)

11. What are the therapy of the scenario ?


- ringan :
o lini pertama : doksisiklin 100mg/2x sehari p.o selama 7 hari
o alternatif : amoksisilin, ampicilin, asitromicin dihidrat
- sedang berat (iv)
o lini pertama : penisilin G 1,5jt unit setiap 6-8jam
o alternatif : ampicilinm asitromisin dihidrat, ceftriakson, cefotaxime
- terapi simtomatis
o demam : paracetamol

Terapi leptospirosis ringan


1. Pemberian antipiretik, terutama apabila demmamnya melebihi 38 C.
2. Pemberian antibiotik-antikuman leptospira. Pada leptospirosis ringan diberikan terapi:
Doksisiklin 100 mg yang diberikan 2 kalisehari, selama 7 hari, pada anak di atas 8
tahun: 2 mg/Kg/hari (maksimal 100 mg)
Ampisilin 500 – 750 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral
Amoksisilin 500 mg yang diberikan 4 kali sehari per oral.
Terapi leptospirosis berat
1. Pemberian antipiretik.
2. Pemberian Nutrisi dan cairan
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan, karena nafsu makan pasien menurun, sehingga
asupan nutrisi berkurang. Kalori diberikan dengan mempertimbangkan keseimbangan
nitrogen, dengan perhitungan:
Berat badan 0 – 10 kg : 100 kalori/kgBB/hari
Berat badan 20 – 30 kg : ditambahkan 50 kalori/kgBB/hari
Berat badan 30 – 40 kg : ditambahkan 25 kalori/kgBB/hari
Berat badan 40 – 50 kg : ditambahkan 10 kalori/kgBB/hari
Berat badan 50 – 60 kg : ditambahkan 5 kalori/kgBB/hari

Karbohidrat diberikan dalam jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis.


Protein yang cukup mengandung asam amino esensial, diberikan sebanyak 0,2 – 0,5
gram/kgBB/ hari.. Pada pasien dengan muntah hebat atau tidak mau makan, diberikan
makanan secara parenteral ( tersedia kemasan cairan infus yang praktis, cukup
kandungan nutrisinya)

Pemberian antibiotik :
Prokain penisilin 6 – 8 juta unit sehari yang diberikan 4 kali sehari intramuskular
Ampisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena
Amoksisilin 1 gram yang diberikan 4 kali sehari intravena

Antibiotik pada anak:


Prokain penesilin 50.000 IU/kg BB; maksimal 2 juta IU sehari yang diberikan 4 kali
sehari intramuskular
Doksisiklin pada anak >8 tahun: 2 mg/kgBB; maksimal 100 mg sehari yang diberikan 2
kali sehari per oral.

Pananganan khusus:
a. Hiperkalemia : Merupakan keadaan yang harus segera ditangani, karena
menyebabkan cardiac arrest;
b. Asidosis metabolik;
c. Hipertensi: perlu diberikan anti hipertensi.;
d. Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan diuretik;
e. Perdarahan diatasi dengan transfusi.
Pemberian antibiotik harus dimulai secepat mungkin, biasanya pemberian dalam 4 hari
setelah onset cukup efektif. Berbagai jenis antibiotik pilihan dapat dilihat pada tabel 4.
Untuk kasus leptospirosis berat, pemberian intra vena penisilin G, amoksisliin, ampisilin
atau eritromisin dapat diberikan. Sedangkan untuk kasus-kasus ringan dapat diberikan
antibiotika oral tetrasiklin, doksisiklin, ampisilin atau amoksisilin maupun sefalosforin.

Sampai saat ini penisilin masih merupakan antibiotika pilihan utama, namun perlu
diingat bahwa antibiotika bermanfaat jika leptospira masih di darah (fase
leptospiraemia). Pada pemberian penisilin, dapat muncul reaksi Jarisch-Herxherimer 4
sampai 6 jam setelah pemberian intra vena, yang menunjukkan adanya aktivitas anti
leptospira. Tindakan suportif diberikan sesuai dengan keparahan penyakit dan
komplikasi yang timbul. Keseimbangan cairan, elektrolit dan asam basa diatur
sebagaimana pada penanggulangan gagal ginjal secara umum. Kalau terjadi
azotemia/uremia berat sebaiknya dilakukan dialisis.

12. How is the prognosis of the scenario ?


Prognosis umumnya baik, tergantung dari virulensi kuman dan daya tahan tubuh
pasien. usia juga berpengaruh pada mortalitas.
Leptospirosis an ikterik, mortilitasnya jauh lebih rendah, apabila ikterus dapat
mencapai 15 – 40%.
Prognosis pada jangka panjang pada kasus leptospirosis dengan lesi ginjal akut adlah
baik. daya infiltrasi glomerulus dapat kembali normal, namun pada beberapa kasus
masih menunjukan disfungsi tubular, seperti gangguan konsentrasi ginjal.

Jika tidak ada ikterus, penyakit jarang fatal. Pada kasus dengan ikterus, angka
kematian 5% pada umur di bawah 30 tahun, dan pada usia lanjut mencapai 30-40%.

13. What are the complication of the case in the scenario ?


 Ginjal
Interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuklear merupakan bentuk lesi
pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi ginjal. Gagal
ginjal terjadi akibat tubular nekrosis akut. Adanya peranan nefrotoksin, reaksi
imunologis, iskemia ginjal, hemolisis dan invasi langsung mikroorganisme
juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
 Hati.
Hati menunjukkan nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel limfosit
fokal dan proliferasi sel Kupfer dengan kolestatis. Pada kasus-kasus yang
diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya organisme ini
terdapat diantara sel-sel parenkim.

 Jantung.
Epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa intersitital edema dengan infiltrasi
sel mononuklear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi
neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endokardium
 Otot rangka.
Pada otot rangka, terjadi perubahanperubahan berupa lokal nekrotis,
vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira
disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan antigen
leptospira pada otot.

 Mata.
Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase leptospiremia
dan bertahan beberapa bulan walaupun antibodi yang terbentuk cukup
tinggi. Hal ini akan menyebabkan uveitis.

 Pembuluh darah.
Terjadi perobahan pada pembuluh darah akibat terjadinya vaskulitis yang
akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan perdarahan/peteki pada
mukosa, permukaan serosa dan alat-alat viscera dan perdarahan bawah kulit.

 Susunan saraf pusat


Leptospira mudah masuk ke dalam cairan serebrospinal (CSS) dan dikaitkan
dengan terjadinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya
respon antibodi, tidak pada saat memasuki CSS. Diduga bahwa terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme imunologis. Terjadi penebalan
meninges dengan sedikit peningkatan sel mononuklear araknoid. Meningitis
yang terjadi adalah meningitis aseptik, biasanya paling sering disebabkan
oleh L. canlcola.

 Weil Disease
Well disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan ikterus,
biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran dan
demam tipe kontinua. Penyakit Weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus
dengan leptospirosis. Penyebab Weil disease adalah serotipe
icterohaemorragica pernah juga dilaporkan oleh serotipe copenhageni dan
bataviae. Gambaran klinis bervariasi berupa gangguan renal, hepatik atau
disfungsi vaskular.

14. Explain the types of Fever !

15. What are the prevention ?


Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur intervensi
yang meliputi:
1) Intervensi sumber infeksi;
2) Intervensi pada jalur penularan ;
3) Intervensi pada pejamu manusia

16. What are the sign and symptom of these disease?

Manifestasi klinik dengan masa inkubasi berkisar antara 7 -12 hari dengan rerata 10 hari.
Menurut tingkat keparahan penyakit, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi
untuk pendekatan diagnosis klinik dan penangannya, para ahli membagi penyakit
leptospirosis menjadi: leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik.

Leptospirosis anikterik :

Manifestasi klinik sebagian besar leptospirosis adalah anikterik, diperkirakan


mencapai 90 % dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Bila ditemukan satu
kasus leptospirosis berat, diperkirakan 10 kasus leptospirosis anikterik atau ringan.
Perjalanan penyakit leptospirosis antikterik maupun ikterik umumny leptospiraa
bifasik karena mempunyai 2 fase / stadium yaitu fase leptospiremia/fase septikemia
dan fase imun, yang dipisahkan oleh periode asimtomatik. (tabel 1)
Leptospirosis timbul mendadak dengan gejala:
Demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten; Nyeri kepala;
Menggigil; Mialgia; Mual; muntah dan anoreksia; Nyeri kepala dapat berat, mirip
yang terjadi pada infeksi dengue, disertai nyeri retro-orbital dan fotopobia; Nyeri otot
terutama di daerah betis sehingga pasien sukar berjalan, punggung dan paha. Nyeri ini
diduga akibat kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase akan meningkat, dan
pemeriksaan kreatinin fosfokinase dapat membantu diagnosis klinik leptospirosis.
Adanya canjungtival suffision dan nyeri tekan di daerah betis. Lemfodenopati,
splenomegali, hepatomegali dan ruam makulopapular dapat ditemukan meskipun
jarang.Kelainan mata berupa uveitis dan iridosiklitis dapat dijumpai pada pasien
leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Manifestasi klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis
leptospiraaseptik yang tidak spesifik sehingga sering tidak terdiagnosis. Pleiositosis
pada cairan serebrospinal ditemukan pada 80 % pasien, meskipun hanya 50 % yang
menunjukkan tanda dan gejala klinik meningitis aseptik.
Pasien leptospirosis anikterik jarang diberi obat, karena keluhannya ringan, gejala
klinik akan hilang dalam kurun waktu 2 sampai 3 minggu. Manifestasi klinik
menyerupai penyakit demam akut lain, oleh karena itu pada setiap kasus dengan
keluhan demam, harus selalu dipikirkan leptospirosis anikterik sebagai salah satu
diagnosis bandingnya, terutama di daerah endemik dan pasca banjir.
Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama fever of unknown origin di
beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Mortalitas pada leptospirosis
anikterik hampir nol, meskipun pernah dilaporkan kasus leptospirosis yang meninggal
akibat perdarahan masif paru dalam suatu wabah di cina.
Pada tes pembendungan dapat positif, sehingga pasien leptospirosis anikterik pada
awalnya di diagnosis sebagai pasien dengan infeksi dengue.

Leptospirosis ikterik:

Pada leptospirosis ikterik, demam dapat persisten dan fase imun menjadi tidak jelas
atau nampak tumpang tindih dengan fase septikemia. Keberadaan fase imun
dipengaruhi oleh jenis serovar dan jumlah kuman leptospira yang menginfeksi, status
imunologi, status gizi pasien dan kecepatan memperoleh terapi yang tepat.
Pasien tidak mengalami kerusakan hepatoselular, bilirubin meningkat, kadar enzim
transaminase serum hanya sedikit meningkat, fungsi hati kembali normal setelah
pasien sembuh. Komplikasi yang terjadi pada leptospirosis merefleksikan
leptospirosis sebagai suatu penyakit multisistem. Leptospirosis sering menyebabkan
gagal ginjal akut, ikterik dan manifestasi perdarahan, yang merupakan gambaran
klinik khas penyakit Weil.
Pada leptospirosis berat, abnormalitas pencitraan paru sering dijumpai meskipun pada
pemeriksaan fisik belum dityemukan kelainan. Kelainan timbul pada hari ke 3 sampai
9 perjalanan penyakit. Pencitraan yang paling sering ditemukan adalah patchy
alveolar pattern yang berhubungan dengan perdarahan alveoli yang menyebar sampai
efusi pleura. Kelainan pencitraan paru umumnya ditemukan pada lobus perifer paru
bagian bawah.
Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, kegagalan fungsi beberapa organ,
perdarahan masih dan Adult Respiratory Distress Syndromes (ARDS) merupakan
penyebab utama kematian yang hampir semuanya terjadi pada pasien-pasien dengan
leptospirosis ikterik. Penyebab kematian leptospirosis berat adalah koma uremia, syok
septikemia, gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik. Faktor-faktor prognostik yang
berhubungan dengan kematian pada pasien leptospirosis adalah oliguria terutama
oliguria rrnal, hiperkalemia, hipotensi, ronki basah paru, sesak nafas, leukositosis >
12.900 per mm3 , kelainan Elektrokardiografi (EKG) menunjukkan repolarisasi, dan
adanya infiltrasi pada foto pencitraan paru.
Pasien leptospirosis berat (ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan, gangguan
kesadaran akibat uremia) dapat menunjukkan gambaran klinik yang mirip dengan
malaria falciparum berat ( demam, ikterik, gagal ginjal, manifestasi perdarahan,
kesadaran menurunakibat malaria serebral), haemorrhagic fever with renal syndrome
(HFRS) yang disebabkan oleh infeksi hantavirus tipe Dobrava (demam, gagal ginjal,
manifestasi perdarahan, injeksi subkonjungtiva, kadang-kadang ikterik, dan demam
tifoid berat dengan komplikasi ganda (sindrom septikemia, ikterik, azotemia, tendensi
perdarahan, soporokoma).
Kelainan gambaran EKG ditemukan > 50 % pasien leptospirosis dalam 24 jam
pertaama dalam perawatan di rumah sakit, dan yang tersering adalah blok
artrioventrikular derajat I, dan fibrilasi atrium.
Hipotensi sering dijumpai pada pasien leptospirosis leptospirosissaat masuk rumah
sakit, dan mayoritas pasien dengan hipotensi, dan mengalami gangguan fungsi ginjal.
Kasus leptospirosis jarang dilaporkan pada anak. Hal ini mungkin diasebabkan karena
tidak terdiagnosis atau karena manifestasi klinis yang berbeda dengan orang dewasa.
Pada kasus berat dijumpai miokarditis, ruam deskuamasi yang menyerupai penyakit
Kawasaki, dengan perdarahan paru. Manifestasi klinis pada kasus ringan adalah
demam dan gastroenteritis.
Depkes R.I. 2003. Pedoman tatalaksanan kasus dan pemeriksaan laboratorium leptospirosis di rumah sakit. Ditjen PPM-PL Jakarta, RSPI
DR SS

Faine, S. Guidelines for the control of leptospirosis. Geneva: WHO Offset Publication No. 67l

Gasem, MH. Gambaran klinik dan diagnosis leptospirosis pada manusia. Dalam: Riyanto B, Gasem MH, Sofro M AU Editor: Kumpulan
makalah symposium leptospirosis. Cetakan pertama.Badan penerbit Universitas Diponegoro Semarang.

You might also like