You are on page 1of 19

CHARACTERISTICS OF CIRRHOTIC PATIENTS

IN Dr. SOEDARSO GENERAL HOSPITAL PONTIANAK


PERIODS OF JANUARY 2008 – DECEMBER 2010

Aprinando Tambunan1, Yustar Mulyadi2, Muhammad Ibnu Kahtan3

ABSTRACT

Background: Liver cirrhosis was a pathological condition when liver got


damaged and its function was disturbed. In Indonesia, the decompensated
cirrhosis and its complication became a heatlh problem which was hard to
overcome. This was signed with the high rate of morbidity and mortality.

Objective: To obtained decompensated cirrhotic patients characteristics


according to age, sex, etiology, complications, and Child-Turcotte
classification.

Method: This descriptive study has conducted by using data from medical
records on patients that fulfilled inclusion criteria in dr. Soedarso general
hospital Pontianak during the periods of January 2008 – December 2010.
At least 184 patients fulfilled these criteria.

Result: The study has found that the proportion of decompensated


cirrhotic patients was 21,37% from all patients with liver and biliary track
disorder, the proportion of patients who died was 18,48%, most patients
were men (69,6%), aged between 50 to 59 years old (31,0%), the most
frequent etiology was hepatitis B (43,48%), there were 63,04% patiens
whose had complications with the most frequent complication was upper
gastrointestinal haemorrhage, and most of the patients classified as Child
C (53,3%).

Keywords: decompensated liver cirrhosis, age, sex, etiology,


complications, Child-Turcotte.

1.
Medical School, Faculty of Medicine, Tanjungpura University, A. Yani
Street, Pontianak, West Kalimantan
(aprinando_tambunan@yahoo.com)
2.
Gastroenterolohepatology division, Department of Internal Medicine, dr.
Soedarso General Hospital Pontianak, West Kalimantan
3.
Parasitology Department, Medical School, Faculty of Medicine,
Tanjungpura University, A. Yani Street, Pontianak, West Kalimantan

1
KARAKTERISTIK PASIEN SIROSIS HATI
DI RSUD Dr. SOEDARSO PONTIANAK
PERIODE JANUARI 2008 – DESEMBER 2010

Aprinando Tambunan1, Yustar Mulyadi2, Muhammad Ibnu Kahtan3

ABSTRAK

Latar Belakang: Sirosis hati merupakan keadaan patologis dimana hati


mengalami kerusakan dan fungsinya sangat terganggu. Di Indonesia,
sirosis hati dekompensata dengan komplikasinya merupakan masalah
kesehatan yang masih sulit diatasi. Hal ini ditandai dengan angka
kesakitan dan kematian yang tinggi.

Tujuan: Untuk mengetahui karakteristik pasien sirosis hati dekompensata


berdasarkan usia, jenis kelamin, etiologi, komplikasi, dan kriteria Child-
Turcotte.

Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif dengan menggunakan


data sekunder berupa rekam medik pasien yang memenuhi kriteria inklusi
di bagian rawat inap RSUD dr. Soedarso Pontianak pada periode Januari
2008 – Desember 2010. Sebanyak 184 pasien memenuhi kriteria
penelitian.

Hasil: Proporsi pasien sirosis hati dekompensata sebesar 21,37% dari


seluruh pasien dengan penyakit hati dan saluran empedu, proporsi pasien
yang meninggal dunia sebesar 18,48%, sebagian besar pasien adalah
laki-laki (69,6%), berusia antara 50-59 tahun (31,0%), etiologi tersering
adalah hepatitis B (43,48%), sebesar 63,04% pasien telah memiliki
komplikasi dengan komplikasi tersering adalah perdarahan saluran
makanan bagian atas, dan sebagian besar pasien tergolong dalam kriteria
Child C (53,3%).

Kata kunci: sirosis hati dekompensata, usia, jenis kelamin, etiologi,


komplikasi, Child-Turcotte.

1.
Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas
Tanjungpura, Jl. Jenderal A. Yani Pontianak, Kalimantan Barat
(aprinando_tambunan@yahoo.com)
2.
Divisi Gastroenterohepatologi, SMF Penyakit Dalam, RSUD dr.
Soedarso Pontianak, Kalimantan Barat
3.
Departemen Parasitologi, Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas
Kedokteran Universitas Tanjungpura, Jl. Jenderal A. Yani Pontianak,
Kalimantan Barat

2
PENDAHULUAN
Sirosis hati adalah suatu keadaan patologis yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatik yang berlangsung progresif, ditandai dengan
rusaknya struktur hati dan pembentukan nodulus regeneratif.1 Penyakit ini
sangat meningkat sejak Perang Dunia II, sehingga sirosis hati menjadi
salah satu penyebab kematian yang paling menonjol dan termasuk
sepuluh besar penyebab kematian di Amerika Serikat dan Korea.2-5

Data prevalensi sirosis hati di Indonesia belum banyak. Di Rumah Sakit dr.
Sardjito Yogyakarta, pada tahun 2004 jumlah pasien sirosis hati berkisar
4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam.1 Sedangkan
penelitian di Pontianak oleh Saefulmuluk tahun 1978 dalam buku
Sulaiman dkk, prevalensi sirosis hati sebesar 0,8%.6

Penderita sirosis hati di Amerika Serikat sebagian besar adalah laki-laki.4,7


Penelitian Khan dan Zarif8 di Pakistan dan penelitian Karina9 di Rumah
Sakit dr. Kariadi Semarang juga menunjukkan bahwa pasien laki-laki lebih
banyak menderita penyakit ini daripada perempuan.

Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan


sirosis sebesar 40-50% dan virus hepatitis C sebesar 30-40%, sedangkan
10-20% penyebabnya tidak diketahui dan termasuk kelompok virus bukan
B dan C.1 Sebuah penelitian di Pakistan menunjukkan bahwa 85,5%
pasien sirosis hati memiliki bukti riwayat pernah terinfeksi virus hepatitis B
dan virus hepatitis C.10 Alkohol sebagai penyebab sirosis di Indonesia
mungkin frekuensinya kecil sekali karena belum ada datanya.1

Angka kesakitan dan perawatan di rumah sakit yang tinggi dengan angka
kematian yang masih tinggi pula pada pasien sirosis hati dekompensata
sangat erat kaitannya dengan komplikasi yang terjadi, seperti perdarahan
varises esofagus, ensefalopati hepatik, peritonitis bakterial spontan,
sindrom hepatorenal dan transformasi keganasan.9

3
Dalam terapi sirosis hati dibutuhkan penentuan prognosis dengan
sejumlah perangkat prognostik untuk menentukan berat ringannya
penyakit dan juga dapat menentukan prioritas pasien yang akan menjalani
terapi intervensi. Salah satu perangkat prognostik yang sering dipakai
adalah Child-Turcotte-Pugh.11

Pentingnya mengetahui etiologi yang mendasari terjadinya penyakit


sirosis hati ini menjadi alasan penulis untuk melakukan penelitian. Hal lain
yang mendasari penelitian ini yaitu bahwa di Indonesia sirosis hati dengan
komplikasinya masih merupakan masalah kesehatan yang sulit diatasi.
Dari hasil penelitian ini diharapkan gambaran penderita sirosis hati di
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Soedarso Pontianak yang
merupakan rumah sakit rujukan Kalimantan Barat dapat diketahui,
sehingga selanjutnya dapat menjadi parameter untuk melakukan
pengelolaan yang optimal agar meningkatkan survival dan menurunkan
angka kematian penderita sirosis hati.

METODE PENELITIAN
Desain penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
penelitian deskriptif. Penelitian dilaksanakan pada bulan September
sampai dengan Desember 2011 di bagian rawat inap RSUD dr. Soedarso
Pontianak.

Subjek penelitian ini adalah semua pasien yang didiagnosis sirosis hati
dekompensata yaitu stadium III dan IV dari sirosis hati menurut
International Consensus Workshop of Baveno IV. Stadium III ditandai
asites dengan atau tanpa varises dan stadium IV yaitu perdarahan saluran
cerna bagian atas dengan atau tanpa asites.6,12 Subjek dipilih dengan
teknik non probability sampling dengan cara consecutive sampling yaitu
semua subjek yang memenuhi kriteria pemilihan dimasukkan dalam
penelitian.13 Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan cross

4
sectional berupa data sekunder dari unit rekam medis. Analisa data
dilakukan dengan pendekatan kuantitatif yaitu untuk mengetahui
karakteristik pasien selama periode penelitian. Teknik analisa data yang
digunakan adalah analisis univariat untuk menampilkan gambaran
karakteristik variabel-variabel yang diteliti dengan menghitung frekuensi
masing-masing subjek penelitian dengan tabel distribusi frekuensi. Data
kemudian akan disajikan dalam bentuk tabular dan grafikal.

HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Karakteristik Subjek Penelitian
Jumlah pasien sirosis hati yang dirawat di RSUD dr. Soedarso Pontianak
selama periode penelitian sebanyak 219 pasien. Diagnosis sirosis hati ini
ditegakkan oleh dokter spesialis penyakit dalam dengan adanya
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang mengarah ke sirosis hati ditunjang
dengan pemeriksaan penunjang, yaitu foto ultrasonografi (USG).
Sebanyak 28 pasien diantaranya dieksklusikan dari penelitian ini karena
tidak ditemukan rekam mediknya. Dari 191 pasien sisanya, 7 pasien
diantaranya adalah penderita sirosis hati kompensata sehingga tidak
dapat diambil sebagai subjek penelitian. Jadi jumlah pasien sirosis hati
yang bisa dijadikan subjek penelitian adalah sebanyak 184 pasien.

B. Proporsi Pasien Sirosis Hati Di RSUD dr. Soedarso Pontianak


Selama periode penelitian didapatkan jumlah seluruh pasien dengan
penyakit hati dan saluran empedu yang dirawat di RSUD dr. Soedarso
Pontianak sebanyak 861 pasien. Dari jumlah tersebut, sebanyak 184
pasien diidentifikasi sebagai sirosis hati dekompensata. Proporsi pasien
sirosis hati dekompensata sebesar 21,37% dari seluruh pasien dengan
penyakit hati dan saluran empedu yang dirawat di RSUD dr. Soedarso
Pontianak.

Belum ada data resmi nasional tentang sirosis hati di Indonesia, namun
dari beberapa laporan rumah sakit umum pemerintah di Indonesia,

5
berdasarkan diagnosis klinis saja, prevalensi sirosis hati yang dirawat di
bangsal penyakit dalam umumnya berkisar antara 3,6-8,4% di Jawa dan
Sumatera, sedang di Kalimantan dan Sulawesi dibawah 1%. Secara
keseluruhan rata-rata jumlah pasien sirosis hati sebesar 3,5% dari seluruh
pasien yang dirawat di bangsal penyakit dalam atau rata-rata 47,4% dari
seluruh pasien penyakit hati dan saluran empedu yang dirawat.6
Kekerapan penyakit sirosis hati di seluruh rumah sakit di Indonesia
membuat sirosis hati merupakan perawatan utama, kedua sampai kelima
di rumah sakit.1

C. Proporsi Pasien Sirosis Hati yang Meninggal Dunia Di RSUD dr.


Soedarso Pontianak
Selama periode penelitian, penderita yang diketahui meninggal dunia
selama masa perawatan di rumah sakit sebanyak 34 pasien, sedangkan
150 penderita lainnya keluar dari rumah sakit dalam keadaan hidup.
Persentase penderita sirosis hati dekompensata yang meninggal dunia
dalam jangka waktu 3 tahun tersebut adalah 18,48 %.

Sirosis hati merupakan penyakit kronik dengan angka kematian yang


cukup tinggi. Tingginya angka kematian pada sirosis hati ini karena pada
umumnya penderita datang dengan fase lanjut sehingga penanganannya
menjadi sulit. Sirosis fase lanjut seringkali disertai komplikasi akibat
hipertensi porta dan faktor-faktor lain yang diduga dapat memperberat
perjalanan penyakit ini sehingga menyebabkan kematian penderitanya.9

D. Distribusi Pasien Sirosis Hati Berdasarkan Jenis Kelamin


Berdasarkan pengelompokkan pasien sirosis hati dekompensata sesuai
dengan jenis kelamin, didapatkan sebanyak 128 pasien (69,6%) adalah
laki-laki dan 56 pasien (30,4%) adalah perempuan. Proporsi sirosis hati
lebih banyak terjadi pada laki-laki dengan ratio antara laki-laki dan
perempuan 2,3 : 1.

6
Hal ini tidak jauh berbeda dengan penelitian Juliana dan Wibawa14 dan
juga penelitian-penelitian di luar negeri umumnya mendapatkan prevalensi
sirosis hati lebih banyak terjadi pada laki-laki.10,15
Kecenderungan ini belum diketahui secara pasti penyebabnya. Laki-laki
lebih banyak menderita sirosis hati kemungkinan karena mereka lebih
sering terpapar dengan sejumlah agen penyebab sirosis hati, seperti virus
hepatitis dan alkohol.9,15 Selain itu juga dapat dikarenakan minimnya
penggunaan sumber-sumber layanan kesehatan oleh kaum wanita
sehingga mereka yang menderita sirosis hati kurang terdeteksi dan tidak
terlaporkan.15

E. Distribusi Pasien Sirosis Hati Berdasarkan Usia


Jika dilihat pada diagram batang (gambar 1) di bawah diketahui bahwa
kasus terbanyak terjadi pada kelompok usia 50-59 tahun, yaitu sebanyak
57 pasien (31,0%) diikuti kelompok usia 40-49 tahun, yaitu sebanyak 52
pasien (28,3%), dan kelompok usia > 59 tahun sebanyak 48 pasien
(26,1%).

60 57
52
50 48

40

30

19
20

10 8

0
< 30 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun 50-59 tahun > 59 tahun

Gambar 1 Diagram batang distribusi frekuensi usia pasien


sirosis hati dekompensata

7
Penderita sirosis hati semakin banyak dijumpai seiring dengan
bertambahnya usia. Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa sebagian
besar pasien didiagnosis menderita sirosis hati pada dekade keempat dan
kelima (59,3%) dengan rerata usia 51,5 tahun dan median 51 tahun. Hal
ini sesuai dengan beberapa studi yang telah dilakukan sebelumnya,
seperti di RSUP dr. Kariadi Semarang,9 RSUP Sanglah Denpasar,14 dan
di Saidu Teaching Hospital, Pakistan.10

Sirosis hati adalah penyakit hati kronis atau menahun. Progresi dari
kerusakan sel hati menuju sirosis dapat muncul dalam beberapa minggu
sampai dengan bertahun-tahun. Peneliti-peneliti memperkirakan 15-20%
pasien dengan hepatitis B kronik akan mengalami sirosis setelah 20-30
tahun.1 Pasien dengan hepatitis C dapat mengalami hepatitis kronik
selama 40 tahun sebelum akhirnya menjadi sirosis.6,16 Oleh karena itu,
infeksi virus yang terjadi di masa muda dapat menunjukkan manifestasi
sebagai sirosis hati pada dekade yang lebih lanjut.

F. Distribusi Etiologi Sirosis Hati


Sirosis hati dekompensata cukup banyak ditemukan pada penderita
dengan riwayat penyakit hepatitis. Sebanyak 80 kasus hepatitis B
ditemukan pada penderita sirosis hati, 5 kasus hepatitis C, 1 kasus
koinfeksi hepatitis B dan C. Penyebab yang lain yaitu alkohol, diabetes
mellitus, kardiak sirosis, dan sirosis hati non B-non C. Sedangkan 46
kasus tidak diketahui penyebabnya.

Data yang diperoleh menunjukkan bahwa penderita sirosis hati yang


dirawat di RSUD dr. Soedarso lebih banyak yang menderita hepatitis B
dibandingkan C. Hal yg sama juga disampaikan oleh Karina9 sedangkan
dari tiga penelitian di Pakistan hepatitis C adalah penyebab utama sirosis
hati.8,10,15 Lebih rendahnya prevalensi sirosis hati terkait hepatitis B di
Pakistan karena angka vaksinasi hepatitis B di negara tersebut cukup
tinggi sehingga kontribusi hepatitis B untuk mengakibatkan sirosis hati

8
menjadi berkurang. Selain itu juga, meningkatnya program skrining
terhadap donor darah menunjukkan angka pravalensi hepatitis C yang
cukup tinggi berkisar 0,5-14%.15 Hal ini berbeda dengan kondisi di
Indonesia dimana vaksinasi terhadap hepatitis B masih belum optimal.
Berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, angka imunisasi hepatitis B pada anak usia 12 – 23 bulan adalah
yang paling rendah dari semua jenis imunisasi dasar yaitu sebesar
62,8%.17

Distribusi etiologi sirosis hati dekompensata dapat dilihat pada gambar 2


berikut ini.

80
80

70

60

50 46

40 33

30

20 15
10
10 5 5
1
0
Hep B Hep C Hep B + Alkohol DM Kardiak Non B- Tidak
C Sirosis Non C diketahui

Gambar 2 Diagram batang distribusi etiologi


pasien sirosis hati dekompensata

Sebanyak 33 kasus sirosis hati dengan HBsAg dan anti HCV negatif, tidak
menyingkirkan bahwa mereka tidak menderita sirosis hati terkait hepatitis.
Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dengan seromarker yang
lain, misalnya DNA HBV atau RNA HCV. Sebesar 30% - 50% penderita
sirosis hati dengan HBsAg negatif ditemukan DNA HBV pada serum dan

9
hati.18 Hal ini dapat menurunkan prevalensi sirosis hati yang berasosiasi
dengan virus hepatitis di daerah endemis, seperti di Kalimantan Barat.17
Akan tetapi pemeriksaan ini sangat mahal sehingga memang cukup sulit
untuk dilakukan.

Metode yang digunakan untuk pemeriksaan seromarker hepatitis ini


adalah dengan immunochromatographic technique (ICT), yang mana
sensitifitas dan spesifisitasnya rendah bila dibandingkan dengan teknik
lain seperti Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) sehingga juga
menjadi peluang untuk memperoleh hasil negatif palsu pada pemeriksaan.

Pemeriksaan hepatitis belum menjadi pemeriksaan yang rutin dilakukan


pada penderita sirosis di RSUD dr. Soedarso Pontianak sehingga etiologi
dari sirosis tersebut tidak semuanya dapat diketahui. Padahal Kalimantan
Barat adalah salah satu provinsi dengan tingkat endemisitas hepatitis
yang cukup tinggi, sudah selayaknya pemeriksaan hepatitis menjadi
pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk pasien-pasien yang didiagnosis
menderita sirosis hati.17

Sirosis alkoholik yang diketahui dalam penelitian ini sebanyak 5 kasus


(2,7%). Kurangnya data yang lengkap tentang kebiasaan minum alkohol
memungkinkan prevalensi sirosis Laennec pada penelitian ini lebih
rendah. Hal ini tentunya menjadi perhatian penting bagi peneliti mengingat
kebiasaan minum alkohol dan minuman keras lainnya di Provinsi
Kalimantan Barat masih cukup tinggi terkait keadaan sosiodemografik
masyarakat.

G. Komplikasi Pasien Sirosis Hati


Dari hasil penelitian, sebanyak 116 pasien (63,04%) telah memiliki
komplikasi sedangkan sebanyak 68 pasien sisanya (36,96%) tidak
terdapat komplikasi yang dimaksud.

10
Jenis komplikasi tersering pasien sirosis hati dekompensata pada
penelitian ini adalah perdarahan saluran makanan bagian atas sebanyak
92 kasus. Diikuti dengan ensefalopati hepatik sebanyak 33 kasus.
Komplikasi lain seperti karsinoma hepatoselular, peritonitis bakterial
spontan, dan sindrom hepatorenal jarang dijumpai. Komplikasi penderita
sirosis hati dekompensata dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1 Distribusi komplikasi pasien sirosis hati dekompensata di RSUD


dr. Soedarso Pontianak periode Januari 2008 – Desember 2010

No Komplikasi Jumlah* Persentase (%)**

1 Perdarahan saluran makanan 92 50,00


bagian atas
2 Ensefalopati hepatik 33 17,93
3 Karsinoma hepatoselular 15 8,15
4 Peritonitis bakterial spontan 9 4,89
5 Sindrom hepatorenal 8 4,35
Sumber: Data Rekam Medik RSU dr. Soedarso Pontianak, 2008 – 2010.
* satu pasien dapat mengalami lebih dari satu komplikasi
** persentase dihitung dari jumlah pasien sirosis hati

Sebagian besar penderita sirosis hati dekompensata memiliki komplikasi.


Penelitian oleh Khan dan Zarif8 juga menunjukkan keadaan yang sama
dimana pasien yang sudah mengalami komplikasi mencapai 52,46%
sedangkan 47,54% tidak memiliki komplikasi.

Perjalanan penyakit sirosis hati dekompensata biasanya dipersulit oleh


sejumlah komplikasi. Komplikasi yang utama adalah disfungsi
hepatoselular, karsinoma hepatoselular dan hipertensi portal dengan
segala konsekuensinya. Tingginya jumlah pasien yang sudah mengalami
komplikasi dapat dimungkinkan karena stadium awal sirosis hati yang
mungkin tidak menyebabkan gejala klinis selama periode yang lama
hingga pada tahap yang lebih lanjut (dekompensata) dimana terdapat

11
manifestasi klinik yang lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
gagal hati dan hipertensi porta yang menyebabkan pasien dibawa ke
rumah sakit.19

Tiga puluh sampai tujuh puluh persen penderita sirosis hati dekompensata
dengan hipertensi portal mengalami perdarahan varises esofagus dan 10-
15% akan terbentuk varises tiap tahun.19 Komplikasi ini merupakan
keadaan kedaruratan medik karena penderita bisa mengalami kematian
akibat syok hemoragik.20 Oleh karena itu diperlukan pemeriksaan yang
lebih dini untuk melihat apakah sudah terbentuk varises esofagus pada
penderita sirosis hati. Pemeriksaan standar baku yang digunakan untuk
menegakkan diagnosis varises esofagus adalah endoskopi.21

Data kepustakaan atau penelitian tentang ensefalopati hepatik di


Indonesia masih sedikit. Di RSCM Jakarta selama setahun didapatkan
penderita sirosis hati sebanyak 109 pasien, diantaranya 35 pasien dengan
ensefalopati hepatik (32,11%).22 Dari penelitian yang telah dilakukan ini,
hampir semua ensefalopati hepatik yang terjadi sudah dalam stadium
berat sehingga penanganan yang dilakukan terlambat dan meningkatkan
resiko kematian pasien. Oleh karena itu, sekiranya perlu dilakukan
pemeriksaan yang lebih dini untuk mencegah hal ini. Dengan evaluasi
yang baik dan dini, tanda-tanda ensefalopati yang masih samar dapat
diketahui sehingga pengobatan dan penanganan tidak terlambat.
Sebenarnya hal ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan neurologik, uji
personalitas dan intelegensia, serta pemeriksaan elektroensefalografi
(EEG). Pemeriksaan laboratoris yang perlu dilakukan adalah pengukuran
kadar amonia darah.1,22,23

Tidak banyak penelitian mengenai komplikasi KHS pada penderita sirosis


hati. Penelitian Nurhasni tahun 2007 di Rumah Sakit Haji Medan dengan
desain case series pada 164 penderita sirosis hati, 35 orang (21,3%)
sudah mengalami komplikasi transformasi keganasan.24 Sedangkan

12
penelitian oleh Mahsud dkk15 di Pakistan, komplikasi KHS pada pasien
sirosis hati sebesar 11,8%.

Hepatoma seringkali tak terdiagnosis karena gejala hepatoma tertutup


oleh penyakit yang mendasari yaitu sirosis hati atau hepatitis kronik.
Diperlukan usaha untuk mendeteksi timbulnya KHS fase dini pada pasien
sirosis hati dengan melakukan pemeriksaan penunjang, seperti
ultrasonografi (USG), Computed Tomographic Scanning (CT Scan), dan
pemeriksaan laboratorium Alfa Feto Protein (AFP) secara berkala.
Pemeriksaan ini biasanya dilakukan tiap 6 bulan untuk diagnosis dini
hepatoma agar dapat dilakukan pengobatan segera untuk
memperpanjang usia. Dengan tindakan yang cepat dan tepat, bedah
maupun non bedah dapat menurunkan mortalitas karena karsinoma
hepatoselular.25,26

Prevalensi terjadinya peritonitis bakterial spontan (PBS) pada penelitian ini


jauh berbeda dengan penelitian-penelitian lain di berbagai tempat.
Penelitian di Rumah Sakit Sanglah Denpasar menemukan prevalensi PBS
pada sirosis hati sebesar 30,6%27 sementara di Korea oleh Jang,5 PBS
ditemukan 39-41% pada pasien sirosis hati. Rendahnya prevalensi PBS
pada penelitian ini karena tidak adanya kultur atau isolasi mikroorganisme
sebagai diagnosis baku PBS. Selain itu tidak semua pasien sirosis dengan
asites dilakukan parasentesis sehingga tidak dapat dilakukan hitung sel
PMN terhadap cairan asites. Beberapa pakar berpendapat bahwa
parasentesis sebaiknya dilakukan pada semua pasien sirosis hati dengan
asites pada saat menjalani hospitalisasi, karena PBS asimtomatik sangat
mungkin terjadi.28 Kunci keberhasilan penanganan PBS adalah
penggunaan regimen antibiotik yang tepat dan antisipasi terhadap faktor
resiko infeksi, seperti asites dan perdarahan saluran cerna.

Sindrom hepatorenal (SHR) pada penelitian Khan dan Zarif8 dilaporkan


insidennya sebesar 3,28% pada kasus sirosis hati. Sementara itu Mahsud

13
dkk15 melaporkan insiden SHR mencapai 11,30%. Penatalaksanaan SHR
masih belum memuaskan walaupun ada sebagian kecil pasien yang
berhasil selamat. Masih banyak kegagalan dalam penanganan sehingga
menimbulkan kematian. Prognosis pasien dengan penyakit ini buruk.28
Dilaporkan angka mortalitasnya adalah lebih besar dari 95% dengan
survival rata-rata kurang dari 2 minggu.29

Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati. Pengobatan


pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali normal atau
sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.30 Oleh
karena itu, perlulah sekiranya mengetahui faktor pencetus timbulnya SHR
supaya dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita.
Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah besar,
terutama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian
antibiotik untuk mencegah PBS pada penderita sirosis hati dengan resiko
tinggi untuk timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR.30
Untuk memantau fungsi ginjal, secara sederhana dapat dinilai kadar
kreatinin, ureum, elektrolit, dan volume urin.29 Kewaspadaan yang tinggi
dapat mengurangi resiko terjadinya komplikasi ini.

H. Kriteria Child-Turcotte Pasien Sirosis Hati


Dari tabel 2 dapat diketahui bahwa sebanyak 6 pasien (3.3%) tergolong
kriteria Child-Turcotte A, 69 pasien (37.5%) tergolong kriteria Child-
Turcotte B dan 98 pasien (53,3%) tergolong kriteria Child-Turcotte C.
Sementara 11 pasien (5,9%) tidak dapat dinilai skor Child-Turcotte-nya.

Penelitian oleh Juliana dan Wibawa14 di Denpasar juga menunjukkan hal


yang sama dimana sebagian besar pasien sirosis hati sudah masuk dalam
golongan kriteria Child-Turcotte B dan C. Dari 39 orang penderita sirosis
hati yang diteliti, 3 orang (7,7%) penderita tergolong kelas Child-Turcotte
A, 18 orang (46,2%) kelas Child-Turcotte B dan 18 orang (46,2 %) kelas
Child-Turcotte C.

14
Tabel 2 Kriteria Child-Turcotte pada pasien sirosis hati dekompensata di
RSUD dr. Soedarso Pontianak periode Januari 2008 –
Desember 2010

No Child-Turcotte Jumlah Persentase (%)

1 A 6 3,3
2 B 69 37,5
3 C 98 53,3
4 Tidak dapat dinilai 11 5,9

Jumlah 184 100


Sumber: Data Rekam Medik RSU dr. Soedarso Pontianak, 2008 – 2010.

Ini berarti bahwa penderita sirosis hati yang datang berobat sebagian
besar dengan derajat penyakit sedang dan berat dimana tanda-tanda
dekompensasi umumnya terjadi. Sebagaimana dijelaskan dalam
kepustakaan bahwa sirosis hati sering merupakan silent disease dimana
sebagian besar penderita tetap asimtomatis hingga munculnya tanda-
tanda dekompensasi.14 Tanda-tanda dekompensasi ini lebih banyak
muncul pada penderita sirosis hati dengan derajat penyakit sedang dan
berat.31 Penderita sering datang ke dokter karena keluhan muntah darah,
asites, atau ikterus.

Setiap tahun, sepuluh persen pasien sirosis hati kompensata dapat


menjadi dekompensata.32 Oleh karena itu, perlu diketahui dan dipahami
faktor prognosis yang mempengaruhi perubahan tersebut. Pada penyakit
hati kronik, seperti sirosis hati, evaluasi prognostik menjadi penting dalam
pengelolaan kondisi pasien.

Dengan berbagai pertimbangan, disebutkan bahwa untuk memeriksa


pasien secara bedside, skor Child-Turcotte dinilai lebih baik digunakan,
tentunya dengan kombinasi dari temuan klinik lainnya yang didapatkan
pada pasien sirosis hati tersebut.33

15
KESIMPULAN
1. Proporsi pasien sirosis hati dekompensata sebesar 21,37% dari
seluruh pasien dengan penyakit hati dan saluran empedu yang dirawat
di RSUD dr. Soedarso Pontianak.
2. Proporsi pasien sirosis hati dekompensata yang meninggal dunia di
RSUD dr. Soedarso Pontianak sebesar 18,48%.
3. Pasien sirosis hati dekompensata lebih banyak diderita pada jenis
kelamin laki-laki daripada perempuan.
4. Pasien sirosis hati dekompensata lebih banyak terjadi pada kelompok
usia 50-59 tahun.
5. Hepatitis B adalah penyebab tersering kasus sirosis hati
dekompensata pada pasien yang menderita sirosis hati di RSUD dr.
Soedarso Pontianak.
6. Sebagian besar pasien sirosis hati dekompensata yang dirawat di
RSUD dr. Soedarso Pontianak memiliki komplikasi dengan komplikasi
tersering adalah perdarahan saluran makanan bagian atas.
7. Sebagian besar pasien sirosis hati dekompensata yang dirawat di
RSUD dr. Soedarso Pontianak tergolong dalam kriteria Child-Turcotte
C.

SARAN
1. Pemeriksaan serologi virus hepatitis sebaiknya menjadi pemeriksaan
rutin di RSUD dr. Soedarso Pontianak untuk mencari riwayat hepatitis
B dan C sebagai penyebab dari sirosis hati.
2. Upaya pencegahan terhadap penyakit primer terutama hepatitis B
perlu dilakukan dan ditingkatkan, seperti melakukan skrining dan
vaksinasi terhadap kelompok resiko tinggi sehingga dapat mengurangi
resiko mengalami sirosis hati.
3. Pengelolaan dan penanganan yang baik pasien hepatitis sejak awal
infeksi sangat penting untuk mencegah berlanjutnya penyakit menjadi
sirosis hati.

16
4. Upaya pencegahan terhadap terjadinya komplikasi hendaknya
ditingkatkan.
5. Komplikasi yang timbul perlu mendapat perhatian yang serius dan
penanganan yang lebih baik lagi, mengingat angka kematian penderita
sirosis hati akibat komplikasi cukup tinggi.
6. Pemeriksaan laboratorium seperti bilirubin, albumin, prothrombine time
dan kreatinin juga sebaiknya rutin dilakukan pada kasus sirosis hati
agar prognosis penderita dapat ditegakkan.
7. Penelitian selanjutnya diharapkan menggunakan rancangan penelitian
yang berbeda, dengan jumlah sampel dan variabel tertentu yang
bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antar variabel, yang
diutamakan menggunakan data primer sehingga kejadian sirosis hati,
komplikasi dan angka kematiannya dapat ditekan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar
ilmu penyakit dalam. Jilid I. Edisi ke-4. Jakarta: Balai Penerbitan IPD
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006. p 427-453.
2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit. Volume I. Edisi ke-6. Jakarta: EGC; 2005. p 485-501.
3. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi. Volume II. Edisi
ke-7. Jakarta: EGC; 2007. p 666-678;684-689.
4. Bosetti C, Levi F, Lucchini F, Zatonski WA, Negri E, Vecchia CL.
Worldwide mortality from cirrhosis: An update to 2002. J of Hep
2007;46:827–839.
5. Jang JW. Current status of liver diseases in Korea: liver cirrhosis.
Korean J Hepatol 2009;15:40-49.
6. Sulaiman A, Akbar N, Lesmana LA, Noer MS. Buku ajar ilmu penyakit
hati. Edisi ke-1. Jakarta: JB; 2007. p 335-339.
7. Heidelbaugh JJ, Bruderly M. Cirrhosis and chronic liver failure: part I.
diagnosis and evaluation. Am Fam Physician 2006;74:756-762.
8. Khan H, Zarif M. Risk factors, complications and prognosis of cirrhosis
in a tertiary care hospital of Peshawar. Hep Mon 2006;6(1):7-10.
9. Karina, Faktor risiko kematian penderita sirosis hati di RSUP dr.
Kariadi Semarang tahun 2002 – 2006. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2007.
10. Khan P, Ahmad A, Muhammad N, Khan TM, Ahmad B. Screening of
110 cirrhotic patients for hepatitis B And C at saidu teaching hospital
Saidu Sharif Swat. J Ayub Med Coll Abbottabad 2009;21(1):119-121.

17
11. Doubatty AC. Perbandingan validitas skor mayo end stage liver
disease dan skor child-pugh dalam memprediksi ketahanan hidup 12
minggu pada pasien sirosis hepatis. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2009.
12. Gunnarsdóttir SA. Liver cirrhosis – epidemiological and clinical
aspects. 1st ed. Sweden: Department of internal medicine the
Sahlgrenska Academy at Göteborg University; 2008. p 11-12;34.
13. Saryono. Metodologi penelitian kesehatan. Yogyakarta: Mitra Cendikia
Press; 2009.
14. Juliana IM, Wibawa IDN. Korelasi antara derajat penyakit sirosis hati
berdasarkan klasifikasi child-turcotte-pugh dengan konsentrasi
trombopoietin serum. J Peny Dalam 2008;9(1):23-35.
15. Mahsud I, Din RU, Khan H, Shah H. Hepatitis C: a leading cause of
cirrhosis in patients presenting at Dhq Teaching Hospital D.I. Khan.
Biomedica 2007;23:1-7.
16. Beckingham IJ. ABC of liver, pancreas, and gall bladder. 1st ed.
London: BMJ Publishing Group; 2001. p 12-22;44.
17. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Laporan hasil riset kesahatan dasar
(Riskesdas) nasional tahun 2007. Jakarta; 2008. p 66;107-108.
18. Hasan I. Epidemiology of hepatitis B. Acta Med Indones-Indones J
Intern Med 2005;37(4):231-234.
19. Mariadi IK, Wibawa IDN. Hubungan antara interleukin-6 dan c-reactive
protein pada sirosis hati dengan perdarahan saluran makanan bagian
atas. J Peny Dalam 2008;9(3):194-202.
20. Shibli AB, Tachauer A, Mohanty SR. Outpatient management of
cirrhosis. Med Journal 2006;99(6):559-560.
21. Prihartini J, Lesmana LA, Manan C, Gani RA. Detection of esophageal
varices in liver cirrhosis using non-invasive parameters. Acta Med
Indones-Indones J Intern Med 2005;37:126-131.
22. Djannah D. Hubungan antara derajat sirosis hati dengan derajat
abnormalitas elektroensefalografi. Semarang: Universitas Diponegoro /
RSUP dr. Kariadi; 2003.
23. Tansif YO, Hebert MF. Komplikasi penyakit hati stadium akhir (end
stage liver disease); 2011. p 1-28.
24. Anonim. Kanker hati, Medan: Fakultas kedokteran bagian ilmu penyakit
dalam Universitas Sumatera Utara digital library; 2006.
25. Singgih B, Datau EA. Hepatoma dan sindrom hepatorenal. CDK
2006;150:18-21.
26. Hidayat H. Perbedaan profil klinik karsinoma hepatoseluler yang
terinfeksi kronik virus hepatitis B dengan virus hepatitis C. Semarang:
Universitas Diponegoro; 2007.
27. Gayatri AAY, Suryadharma IGA, Purwadi N, Wibawa IDN. The
relationship between a model of end stage liver disease score (meld
score) and the occurrence of spontaneous bacterial peritonitis in liver

18
cirrhotic patients. Acta Med Indones-Indones J Intern Med 2006;39:75-
78.
28. Wolf DC. Cirrhosis. Department of medicine, New York Medical
College; 2010. Available from: http://www.emedicine.com. Dikunjungi
tanggal 20 Desember 2011.
29. Gani A. Sindrom hepatorenal. CDK 2006;150:15-17.
30. Sutadi SM. Sindroma hepatorenal. Medan: Fakultas kedokteran bagian
ilmu penyakit dalam Universitas Sumatera Utara digital library; 2003.
31. Heidelbaugh JJ, Sherbondy M. Cirrhosis and chronic liver failure: part
II. complications and treatment. Am Fam Physician 2006;74:765-774.
32. Setiawati M. Perbandingan validitas maddrey’s discriminant function
dan skor child-pugh dalam memprediksi ketahanan hidup 12 minggu
pada pasien dengan sirosis hepatis. Semarang: Universitas
Diponegoro; 2009.
33. Durand F, Valla D. Assessment of the prognosis of cirrhosis: child-
pugh versus meld. J of Hep 2005;42:100-107.

19

You might also like