Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
The standardization of the rules imposed strictly by Balai Pustaka in the Dutch
colonial era made it difficult for novel authors to convey messages that smelled of
Resistance to the Dutch government. Novel Salah Asuhan written by Abdoel Moeis is one
of the novels published by the Balai Pustaka era, although it is often said that Balai
Pustaka writers reinforce romance, but this research aims to see the forms of indigenous
resistance to the colonial parties contained in the Salah Asuhan novel. The study uses
concepts in postcolonial theory namely mimicry and resistance which are used as
spectacles of analysis, while the method used is a qualitative research method. The
procedure in this method is to collect descriptive data in the form of words or events that
can be observed. The data source in this study is a document. The document in question
is the novel Salah Asuhan by Abdoel Moeis published by Balai Pustaka in 1995. Research
findings show that there are two forms of resistance used against the Dutch colonial.
First, soft resistance or mimicry towards Dutch-style culture and knowledge systems,
such as education, use of language, furniture, clothing, work, and marrying Westerners.
The second resistance is absolute / firm resistance, shown in the rejection of Dutch
colonial practices which appear in the analogy of the Bird of the Garudadikotomi
between urban space (Batavia) and village (Padang) which represents modern / Western
and traditional / indigenous views.
ABSTRAK
Standarisasi aturan yang diberlakukan dengan ketat oleh Balai Pustaka di era
kolonial Belanda menyulitkan pengarang novel untuk menyampaikan pesan-pesan yang
berbau Resistensi terhadap pemerintah Belanda. Novel Salah Asuhan karangan Abdoel
Moeis adalah salah satu novel keluaran era Balai Pustaka tersebut, walaupun sering
dikatakan sastrawan era Balai Pustaka lebih menguatkan cerita percintaan tetapi
peneletian ini bertujuan melihat bentuk-bentuk resistensi pribumi terhadap pihak
kolonial yang terdapat dalam novel Salah Asuhan. Penelitian menggunakan konsep-
konsep dalam teori postkolonial yaitu mimikri dan resistensi yang digunakan sebagai
kacamata analisis, sedangkan metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif. Prosedur dalam metode ini adalah mengumpulkan data deskriptif berupa
kata-kata ataupun peristiwa yang dapat diamati. Sumber data pada penelitian ini
adalah dokumen. Dokumen yang dimaksud yaitu novel Salah Asuhan karya Abdoel
Moeis yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1995. Temuan penelitian menunjukkan
tedapat dua bentuk resistensi yang digunakan terhadap kolonial Belanda. Pertama,
47
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB
resistensi lunak atau mimikiri terhadap budaya dan sistem pengetahuan ala Belanda,
seperti pendidikan, penggunaan bahasa, perabotan rumah, gaya berpakaian, pekerjaan,
dan menikahi orang Barat. Resistensi yang kedua adalah resitensi mutlak/tegas,
ditunjukan pada terhadap penolakan praktik kolonial Belanda yang muncul pada
analogi Burung Garudadikotomi antara ruang kota (batavia) dan desa (padang) yang
mewakili pandangan modern/Barat dan tradisional/pribumi.
: 89), menjelaskan analisis ini dengan jelas seperti yang terlihat pada
memandang karya sastra dalam segi kutipan berikut.
struktur dan memahami karya sastra itu “Seorang pun belum ada di tempat
permainan tenis, karena kedua
sendiri. Dengan kata lain, karya sastra anak muda, yang duduk berlindung
dipandang sebagai bentuk yang di bawah pohon yang rimbun
menghadap meja teh dekat
otonom, berdiri sendiri, lepas dari permainan itu, belum boleh
dikatakan hendak bermain, sebab
pengarang, realitas ataupun pembaca meskipun mereka masing-masing
novel. Pendekatan ini menekankan memakai, pakaian tennis, sedang
dua buah raket tersandar dikaki
aspek intrinsik, yakni suatu unsur-unsur kursi, tapi kedua nak muda itu
duduk di dalam kebun di sisi
yang membangun suatu karya sastra sebuah rumah di sebelah tempat
dari dalam. Nurgiyantoro (1995 : 23) bermain tennis itu.” (Abdoel Moeis,
1995 : 9)
menjelaskan terdapat beberapa unsur
“Sejurus lamanya Hanafi
intrinsik dalam karya sastra yaitu, alur, memandang dengan hati berahi
penokohan, latar, sudut pandang, dan kepada nona yang cantik itu, yang
dengan senyumnya seolah-olah
tema. Unsur-unsur tersebut yang akan hendak menunjukkan dan
melemahkan hati manusia yang
penulis jadikan batu pijakan untuk
sekeras-kerasnya.” (Abdoel Moeis,
melihat bentuk-bentuk Resistensi 1995 : 12)
56
Latar dalam Novel Salah Asuhan Betawi merupakan kota yang besar
Ruang atau latar pada novel karena merupakan sentral peradaban
Salah Asuhan adalah kota-kota pusat orang-orang Belanda berbeda dengan
pemerintah kolonial seperti Betawi dan kampung Solok yang dianggap sebagai
Semarang dan daerah terpencil seperti tempat yang tertinggal karena berisikan
Solok, lalu beberapa lokasi rumah orang-orang pribumi saja. Tempat di
Hanafi, rumah Tuan Du Busse, Rumah sini tidak hanya dipahami dalam
Gadang, Persawana, kuburan. Ruang konteks geografis tetapi sosiologis
pada novel ini memiliki alur yang karena mengenal hubungan relasional
berpindah-pindah antara Solok dan dalam masyarakat. Siapa yang condong
Betawi mengikuti tokoh-tokoh utama dalam salah satu kutub (Belanda atau
(Hanafi dan Corrie) yang diceritakan pribumi) akan mendapatkan posisi
secara bergantian. Persepsi biner dalam masyarakat. Dengan posisi Vis a
digunakan pada posisi kota yang Vis seperti ini menunjukkan bahwa
modern dan kampung dengan nilai penulis tidak ingin menunjukkan
tradisional, seperti yang terlihat dengan inferioritas kampung pribumi justru
kutipan ini, menunjukkan resistensi pada kota
“Apakah perlunya orang tua butuk Batavia. Walaupun Hanafi sudah
kampung totok ini datang ke
Betawi. Hendak merendah- memiliki pendidikan Belanda, bergaul
rendahkan martabat dan dengan orang-orang Belanda,
derajatnya saja! Sedangkan di
Solok ini ibu sudah terpandang berpenampilan Belanda, hal itu tidak
orang kampung totok. Di sini engku
Hanafi baharu orang kecil, tapi di ada gunanya di kampung Solok.
Betawi, di kota besar itu, di dalam Resistensi terhadap kolonial
pergaulan orang-orang Belanda
yang dikatakannya masuk bagian juga terdapat pada cara pandang Ibu
‘lapisan atas’ , tuan Hanafi yang
akan menjadi orang Belanda akan Hanafi ketika berada di rumah sewaan
malu mempunyai ibu serupa orang Hanafi di Solok. Sebagai orang
tua buruk ini...Baiklah ibu tinggal di
kampung saja, agar jangan perempuan pribumi yang berasal dari
menjadi rintangan bagi kehidupan
dan kemajuan anak.” (Abdoel
kampung, Ibu Hanafi melawan budaya
Moeis, 1995 : 125) Belanda dengan tidak mau duduk di
Percakapan yang terjadi antara kursi, tetapi lebih memilih duduk di
ibu Hanafi dengan Hanafi ini lantai. Kejadian tersebut dapat Kita lihat
mengandung pemahaman bahwa kota pada kutipan ini,
57
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB
kedua adalah Tionghoa, sedangkan lapis ‘nyai’ dari sini. Jika ‘nyai’ itu nanti
beranak, pada pemandangan
terbawah adalah Pribumi. Posisi ini orang barat itu sudahlah ia berjasa
tentu berkaitan dengan besaran besar tentang memperbaiki bangsa
dan darah di sini. Tapi lain kali
previlege yang diterima tiap lapisan sekali keadaannya pada
pertimbangan orang barat itu,
masyarakat. Semakin tinggi, semakin kalau seseorang nyonya barat
besar posisi previlegenya. sampai bersuami, bahkan beranak
dengan orang sini. Terlebih dahulu
Posisi puncak Belanda yang nyonya itu dipandang seolah-olah
sudah menghinakan dirinya
mengakibat memiliki keuntungan dalam sebagai bangsa barat; dan
berbagai aspek ternyata tidak dikatakan sudah ‘membuang diri’
kepada orang sini. Di dalam
seberuntung dalam arena percintaan. undang-undang negeri ia pun
segera dikeluarkan dari hak orang
Seperti yang dialami tokoh Tuan Du Eropah”. (Abdoel Moeis, 1995 : 21)
Busse ayah dari Corrie yang menikahi “Jadi, jika demikian, papa tidak
akan menaruh keberatan kelak bila
wanita pribumi memiliki dalam ada pertemuan Corrie dengan
orang sini.Tuan du Bussee menelan
bangsawan Prancis (berada di puncak
beberapa kali, lalu berkata pula,”
stratifikasi sosial). Tuan Du Busse Itu pun belum tentu, Corrie, artinya
belum dapatlah papa memberikan
memiliki cara pandang yang berbeda keputusan sekarang. Terlebih
dahulu papa harus mengetahui,
dengan bangsa Eropa pada umumnya.
siapa orang Bumiputra itu, sebab
Menurut tokoh ini, sikap superior tidak semua pula harus
dimuliakan” (Abdoel Moeis, 1995 :
bangsa Eropa disebabkan oleh penyakit 23)
“kesombongan bangsa”. Orang Barat
Pada kutipan pertama
datang ke Hindia Belanda dengan
menunjukkan posisi vertikal antara
membawa pengetahuan dan perasaan
bangsa Eropa dan Pribumi berimbas
menjadi tuan atas masyarakat pribumi.
juga pada pandangan pada hubungan
Seperti yang dijelaskan pada kutipan ini,
pernikahan. Posisi laki-laki Eropa akan
“Perbedaan itu sungguh ada,
lebih dihormati ketika menikahi wanita
Corrie dan sungguh besar sekali.
Sebabnya tiada lain, karena pribumi. Berbeda dengan posisi
penyakit “kesombongan bangsa”
itu juga. Orang Barat datang ke perempuan Eropa yang akan menikahi
mari, dengan pengetahuan dan
laki-laki pribumi, hinaan akan
perasan, bahwa ialah yang
dipertuan bagi orang di sini. Jika ia dialaminya karena dianggap “menghina
datang ke negeri ini dengan tidak
membawa nyonya sebangsa dirinya” dan juga posisi warga negara
dengan dia, tidak dipandang
Eropanya akan dicabut. Terdapat
terlalu hina, bila ia mengambil
59
paradoks pada cara pandang tokoh Du digunakan oleh Hanafi untuk menikahi
Busse ini, disatu sisi ia menolak cara Corrie. Peningkatan status warga
pandang Eropa yang dikatakannya negara yang baru ini, menimbulkan efek
sebagai “kesombongan bangsa” tetapi atas hilangnya ikatan warga pribumi
ketika berkaitan dengan hubungan pada sosok Hanafi. Kisah itu dapat kita
pernikahan wanita Eropa dan laki-laki lihat sebagai berikut,
pribumi dia lebih condong mendukung “Maka bersipuhlah ia di muka kursi
62
Bagus Ajy Waskyto S.: Resistensi Pribumi...
Pakaian Belanda
Pendidikan
Belanda
Lunak/Mimikri
Resistensi Menikahi
bangsa Eropa
Perabotan dan
pakaian
bergaya
Belanda
Berbahasa
Belanda
Bergaul dengan
orang Belanda
Mutlak
63
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB
65
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB
66