You are on page 1of 20

Resistensi Pribumi Terhadap Kolonial Belanda Dalam Novel Salah Asuhan

Bagus Ajy Waskyto Sugiyanto


Universitas Widya Mataram
Bagusajy89@gmail.com

ABSTRACT

The standardization of the rules imposed strictly by Balai Pustaka in the Dutch
colonial era made it difficult for novel authors to convey messages that smelled of
Resistance to the Dutch government. Novel Salah Asuhan written by Abdoel Moeis is one
of the novels published by the Balai Pustaka era, although it is often said that Balai
Pustaka writers reinforce romance, but this research aims to see the forms of indigenous
resistance to the colonial parties contained in the Salah Asuhan novel. The study uses
concepts in postcolonial theory namely mimicry and resistance which are used as
spectacles of analysis, while the method used is a qualitative research method. The
procedure in this method is to collect descriptive data in the form of words or events that
can be observed. The data source in this study is a document. The document in question
is the novel Salah Asuhan by Abdoel Moeis published by Balai Pustaka in 1995. Research
findings show that there are two forms of resistance used against the Dutch colonial.
First, soft resistance or mimicry towards Dutch-style culture and knowledge systems,
such as education, use of language, furniture, clothing, work, and marrying Westerners.
The second resistance is absolute / firm resistance, shown in the rejection of Dutch
colonial practices which appear in the analogy of the Bird of the Garudadikotomi
between urban space (Batavia) and village (Padang) which represents modern / Western
and traditional / indigenous views.

Keywords: Salah Asuhan Novel, Balai Pustaka, Resistance, Mimicry

ABSTRAK

Standarisasi aturan yang diberlakukan dengan ketat oleh Balai Pustaka di era
kolonial Belanda menyulitkan pengarang novel untuk menyampaikan pesan-pesan yang
berbau Resistensi terhadap pemerintah Belanda. Novel Salah Asuhan karangan Abdoel
Moeis adalah salah satu novel keluaran era Balai Pustaka tersebut, walaupun sering
dikatakan sastrawan era Balai Pustaka lebih menguatkan cerita percintaan tetapi
peneletian ini bertujuan melihat bentuk-bentuk resistensi pribumi terhadap pihak
kolonial yang terdapat dalam novel Salah Asuhan. Penelitian menggunakan konsep-
konsep dalam teori postkolonial yaitu mimikri dan resistensi yang digunakan sebagai
kacamata analisis, sedangkan metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif. Prosedur dalam metode ini adalah mengumpulkan data deskriptif berupa
kata-kata ataupun peristiwa yang dapat diamati. Sumber data pada penelitian ini
adalah dokumen. Dokumen yang dimaksud yaitu novel Salah Asuhan karya Abdoel
Moeis yang diterbitkan Balai Pustaka pada tahun 1995. Temuan penelitian menunjukkan
tedapat dua bentuk resistensi yang digunakan terhadap kolonial Belanda. Pertama,
47
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB

resistensi lunak atau mimikiri terhadap budaya dan sistem pengetahuan ala Belanda,
seperti pendidikan, penggunaan bahasa, perabotan rumah, gaya berpakaian, pekerjaan,
dan menikahi orang Barat. Resistensi yang kedua adalah resitensi mutlak/tegas,
ditunjukan pada terhadap penolakan praktik kolonial Belanda yang muncul pada
analogi Burung Garudadikotomi antara ruang kota (batavia) dan desa (padang) yang
mewakili pandangan modern/Barat dan tradisional/pribumi.

Kata Kunci: Novel Salah Asuhan, Balai Pustaka, Resistensi, Mimikri

PENDAHULUAN (Belanda) (M.C.Rickleff, 2016 : 228-


Masa kolonial Belanda di 246).
Indonesia merupakan waktu yang Pada periode inilah masyarakat
penuh dengan ketegangan sosial Hindia Belanda (Indonesia) mengalami
budaya. Kebijakan pemerintah Belanda masa-masa kritis. Pertemuan dengan
ini berimbas pada tatanan masyarakat kehidupan modern ala Barat dapat
yang bertangga. Sebagai strategi berpotensi untuk mengimbangi (bahkan
kolonialisasi tentu hal ini menyaingi) Belanda, tetapi disisi lain
menguntungkan pihak Belanda, Belanda tidak serta merta pasrah akan
sedangkan pribumi yang menduduki keadaan tersebut, Belanda juga
posisi kelas terbawah mengalami menyiapkan benteng-bentengnya agar
marginalisasi. Keadaan ini mengalami masyarakat pribumi tetap jinak. Rickleff
(seakan-akan) perubahan ketika (2006 : 236) menjelaskan tokoh utama
pemerintah kolonial mengganti pada waktu itu adalah direktur
haluannya pada politik etis. Politik etik pendidikan ethis pertama J.H.
hadir di tahun 1901 disebakan adanya Abendanon, yang mendukung
perubahan dalam parlemen Belanda pendekatan yang sifatnya elite, yaitu
yang didominasi oleh koalisi Partai yang pendidikan bergaya Eropa dan
menginginkan pendekatan moralis pada berbahasa Belanda sebagaibahasa
kehidupan di Hindia Belanda. Perbaikan pengantar dalam pembelajaran. Lulusan
pada ranah pendidikan, irigasi, dan pendidikan ini akan ditempatkan pada
transmigrasi adalah tujuan pokoknya. pemerintahan Belanda. Dengan kata
Walau begitu tujuan mulia ini masih lain menciptakan suatu elite yang tahu
punya syarat yang berlaku, yaitu berterima kasih dan bersedia
mengusung kepentingan negara induk bekerjasama.
48
Bagus Ajy Waskyto S.: Resistensi Pribumi...

Cerminan keadaan ini juga kolonial.1 Penerbitan Tionghoa juga


menyentuh pada ranah kasusastraan pada awalanya masih mencetak pada
Indonesia, khususnya novel. Novel rumah penerbitan Belanda (Van Dorp).
sebagai salah satu produk sastra Produknya pada waktu itu masih
mengalami kontestasi budaya pada penerjemahan ulang karya sastra asli
masa kolonial Belanda. Sebagai salah Tionghoa, seperti Boeko Tjerita Tjion
satu hasil budaya masyarakat, novel Koan Tek Anak Tjioe Noen Giok atau
memiliki nilai-nilai yang tekandung di Terkarang Oleh Soeatoe Orang Tjina,
dalamnya. Nilai-nilai tersebut baru pada paruh abad ke 19 mereka
merupakan hasil refleksi dari pengarang menerbitkan surat kabar dengan bahasa
yang didapat dalam pergulatan Melayu dengan tulisan latin sepeti
hidupnya. Oleh karena itu novel Soerat chabar Betawie yang terbit pada
dikatakan cerminan realitas dunia. tahun 1858 dan Selompret Melajoe
Disinilah penetrasi pemerintah kolonial yang terbit pada tahun 1860 (Claude
tidak hanya berlaku pada aspek yang Salmon, 1985: 15). Selain itu, dapat
materiil tetrapi juga pada hal yang dimasukan juga beberapa novel dan
abstraksi seperti budaya. Budaya tentu surat kabar yang beraliran pergerakan,
memiliki nilai-nilai yang merupakan nama-nama seperti Mas Marco
jelmaan dari pelaku budaya. Kartodikromo, Tjipto Mangunkusumo,
Sejarah kemunculan novel di R.M Tirtoadhisoerjo. Tirto sendiri
Indonesia tidak bisa lepas dari dianggap sebagai golongan pribumi
pembahasan mulai menjamurnya perintis pada dunia fiksi modern (Taufik
industri penerbitan di Indonesia pada Rahzen, 2007: 2).
abad 19. Pada saat itu rumah Munculnya berbagai jenis
percetakan dipegang langsung oleh tulisan dari pihak-pihak lain
negara (Belanda) yang diberi nama menimbulkan kecemasan di pihak
Landdrukkerij. Badan ini menerbirkan pemerintah kolonial. Akhirnya pada
surat kabar mingguan bernama tahun 1908 membuat sebuah badan
Bataviaach Koloniale Courant yang lebih
1
banyak dikonsumsi oleh pejabat Untuk sejarah industri penerbitan di
Indonesia, lihat A, Teeuw, Pokok dan Tokoh
Kasusastraan Indonesia Baru. Volume I dan
II. Jakarta, Fifth Printing., Pembangunan,
1959
49
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB

bernama Balai Pustaka. Tujuan badan sehingga merusakkan tertib dan


ini adalah meningkatkan minat baca keamanan negeri dan lain-lain… Hasil
oleh kaum pribumi terdidik dengan pengajaran itu boleh juga
menyediakan berbagai bahan bacaan mendatangkan bahaya, kalau orang-
dan cara mensirkulasikan bahan bacaan orang yang telah tahu membaca itu
tersebut.2 Jika dilihat dengan sekilas, mendapatkan kitab-kitab bacaan yang
tujuan tersebut tampak biasa saja berbahaya dari saudagar kitab yang
bahkan terkesan produktif untuk kurang suci hatinya dan dari orang-
masyarakat Pribumi, pada kenyataanya orang yang bermaksud hendak
tujuan tersebut merupakan strategi mengharu.”
hegemoni pemerintah kolonial Dari pernyataan Rinkes tersebut
menyikapi bacaan-bacaan yang hadir di telihat jelas bahwa terdapat
masyarakat Hindia Belanda. Bacaan- standarisasi bacaan yang “baik” dan
bacaan dengan tema seks, kriminal, “buruk”, “boleh” dan “tidak boleh”,
asmara, dan kritis terhadap pemerintah “memperbaiki” dan “merusak”, prinsip
kolonial dicap sebagai “bacaan liar” bagi dengan logika biner tersebut
pemerintah Belanda. Seperti yang merupakan alat ideologis pemerintah
terungkap dari pandangan D.N Rinkes kolonial untuk menciptakan suasana
(Faruk, 2007: 40) dalam pengantar buku hegemonik Balai Pustaka. Selain
Balai Pustaka tahun 1948 sebagai melakukan penyensoran atas bacaan-
berikut: “….Tambahan lagi harus pula bacaan yang dianggap liar, Balai Pustaka
dicegah, janganlah hendaknya juga menerbitkan novel karya pribumi
kepandaian membaca fan kepandaian seperti Siti Nurbaja karya Marah Rusli,
berpikir yang dibangkitkan itu menjadi Muda Teruna karya Moehammad
hal yang kurang baik dan kurang patut, Kasim, dan Salah Asuhan karya Abdoel
Moeis. Pelibatan pribumi dalam
2
Sejarah Balai Pustaka, memiliki berbagai menciptakan novel ini tentu tidak bebas
ragam perspektif. Jika hanya mengandalkan
dokumen resmi keluaran Balai Pustaka hambatan, tetapi terdapat syarat-syarat
tentu akan penuh dengan bias. Sebagai
perbandingan lihat J.S. Furnivall, , yang tentu saja menguntungkan pihak
Nederlands Indie: A Study of Prular pemerintah kolonial, atau dengan
Economy, Cambridge, The University Press,
1939 atau karya Hilmar Farid Setiadi, , bahasa lain pelibatan pribumi dalam
Kolonialisme dan Budaya: Balai Pustaka di
Hindia Belanda, Prisma, no. 10, 1991 proyek Balai Pustaka merupakan cara
50
meningkatkan hegemonik pemerintah disebabkan model peniruan bangsa-
kolonial. bangsa yang terjajah terhadap model
Pertanyaan yang muncul Barat tidaklah hanya bermotif
kemudian adalah hegemonik Belanda kepatuhan, tetapi tindakan masyarakat
yang seperti apa? lalu batas-batas apa untuk meniru (to mimic) itu dapat
saja yang tidak boleh dilanggar penulis berati ejekan (mockery) terhadap
agar lulus sensor Balai Pustaka? Untuk bangsa Barat (penjajah). Ini yang
menjawab pertanyaan-pertanyaan disebut Bhaba (1994 : 86) dengan
tersebut, kita beralih sejenak pada konsep mimikri, yakni bentuk
pembahasan Edward Said dalam rerpresentasi dari subjek yang lain yang
bukunya Orientalisme. hampir sama, tetapi tidak seutuhnya
Said (2010 :13-22) menjelaskan sama (as subject of a difference, that is
bahwa terdapat imperialisme almost the sama, but not quite).
pengetahuan yang dilakukan oleh Peniruan dari ‘yang terjajah’ (colonized)
bangsa barat (penjajah) terhadap terhadap budaya ‘penajah’ (colonizer)
bangsa timur (terjajah), ini yang disebut ini merupakan hasrat masyarakat
dengan orientalisme. Eksesnya terjajah untuk menyesuaikan diri
pemahaman tentang timur selalu dengan tuntunan keadaan untuk
menggunakan kacamata dari bangsa mencapai kemajuan, dan menempatkan
barat. Hal ini bertujuan untuk diri setara dengan penjajah (1994 : 43-
mencitapkan kondisi superior barat 44). Dengan kata lain, terdapat proses
terhadap timur. Tetapi, kelemahan negosiasi pemaknaan terhadap
argumen Said adalah tidak melihat identitas ini yang membedakan cara
bentuk-bentuk resistensi dalam proyek pandang Bhaba dengan Said. Proses
orientalisme, atau dengan kata lain Said peniruan budaya tidak saja dilihat
terjebak dalam melihat budaya sebagai dalam kacamata ketundukkan tetapi
suatu bentuk yang final. pada sifat resistensinya.
Berbeda dengan Orientalisme Menurut Sharpe (1995 : 145)
Edward Said, Homi K. Bhaba (1994 : 86) terdapat dua poin penting untuk dapat
melihat pemaknaan wacana kolonial memahami resistensi. Pertama,
sebagai hal yang multi tafsir, polisemik. menemukan lokasi atau bentuk-bentuk
Pemaknaan yang beragam ini resistensi terhadap kolonial, karena
51
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB

resistensi dalam beberapa dilakukan Balai Pustaka tentu mengarah


perwujudannya merupakan efek dari pada strategi penciptaan pengetahuan
representasi otoritas kolonial yang akan Barat yang kuat dan Timur yang
kontraktif dan tidak selalu merupakan lemah. Mekanismenya melalui
“pembalikan” kekusasaan. Kedua, pengetahuan timur yang dilihat melalui
resistensi tidak pernah menjadi kacamata Barat. Melalui novel-novel
penolakan yang utuh atau tidak hanya yang lulus sensor Balai Pustaka,
dalam wujud teks atau masyarakat lembaran-lembaran teks ini menjadi
penafisir, tetapi selalu perlu terlibat kepanjangan tangan dari aparatus
pada aparatur yang hendak kolonial dalam melegitimasi
dibongkarnya. Gagasan oleh Sharpe kedudukannya. Oleh karena itu, objek
tersebut dapat kita rumuskan sebagai yang dipilih penulis adalah novel
berikut. Resistensi adalah sikap atau berjudul Salah Asuhan karya Abdoel
tindakan yang diproduksi sebagai Moeis.
pembebasan rakya dari penindasnya Seperti yang sudah disebutkan
(dalam tulisan ini andalah pihak sebelumnya, novel ini termasuk novel
kolonial). Resistensi merupakan nilai yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
estetik dalam pengalaman hidup Pujangga/sastrawan era Balai Pustaka
masyarakat yang terjajah, tetapi harus sering dikaitkan dengan cerita
diingat resistensi tidak berati penolakan percintaan seperti SIti Nurbaya karya
secara utuh atau perubahan secara Marah Rusli.3 Pemilihan tema
mutlak, karena terdapat efek
representasi penajajah (kolonial) dalam 3
Angkatan Balai Pustaka sering disebut
juga sebagai Angkatan 20-an atau Angkatan
diri yang terjajah (pribumi).
Siti Nurbaya. Sastrawan angkatan ini seirng
Dengan memahami konsep disebut sebagai titik tolak kesusastraan
Indonesia, karena angkatan ini muncul
kajian post-kolonialisme diatas kita dalam periodisasi terbentuknya negara
tentu akan dapat menjawab Indonesia. Karakteristik angkatan Balai
Pustaka adalah, penggunaan Bahasa
pertanyakan yang sebelumnya sempat Indonesia yang masih terpengaruh bahasa
Melayu, tema cerita yang diangkat
dilontarkan, bagaimana bentuk mengenai adat istiadat daerah ataupun
resistensi pribumi terhadap kolonial percintaan (seperti kawin paksa dalam Siti
Nurbaya). Penjelasan terkait periodisasi
Belanda dalam novel Salah Asuhan? sastra di Indonesia, khusunya sebelum
kemerdakaan dapat dilihat pada, Sapardi
Proses penertiban bahan baca yang Djoko Damono, Novel Sastra Indonesia
52
Bagus Ajy Waskyto S.: Resistensi Pribumi...

percintaan sebagai tema sentral penelitian ini adalah dokumen.


dianggap sebagai alasan yang kuat Dokumen yang dimaksud yaitu novel
kenapa novel-novel ini diterbitkan oleh Salah Asuhan karya Abdoel Moeis yang
Balai Pustaka, tetapi argumen tersebut diterbitkan Balai Pustaka pada tahun
terdengar simplisistik. Walaupun tema 1995.
sentral hanya berkutat pada masalah Analisis dan Pembahasan
percintaan, tetapi cinta itu merupakan Sinopsis Novel Salah Asuhan
realitas budaya, ada konteks budaya di Sebelum memasuki
dalamnya yang tentu saja terdapat pembahasan perlu kiranya kita melihat
dominasi kolonial. Yang patut diingat sinopsis dari novel Salah Asuhan untuk
dimana ada dominasi tentu juga mengetahui gambaran besar novel
terdapat resistensi, dan melihat tersebut. Tokoh dalam novel ini adalah
resistensi dalam teks tentu tidak Hanafi, seorang anak pribumi yang
semudah melihat dominasi yang terlihat berasal dari Solok. Ibu Hanafi adalah
jelas, apalagi jika bentuknya adalah seorang janda, yang suaminya sudah
mimikri. meninggal semenjak Hanafi masih kecil.
Ibu Hanafi memiliki keinginan untuk
METODE PENELITIAN memberikan pendidikan Belanda
Penulis menggunakan metode kepada anaknya. Hanafi akhirnya
penelitian kualitatif yang disebut juga dikirim ke Betawi untuk bersekolah di
pula sebagai penelitian deskriptif HBS. Selama bersekolah di Betawi,
(Bodgan dan Biklen, 1982 : 3 dalam Hanafi dititipkan kepada keluarga
Moleong, 1991 : 2). Prosedur dalam Belanda, sehingga pergaulan Hanafi
metode ini adalah mengumpulkan data tidak lepas dengan orang-orang
deskriptif berupa kata-kata ataupun Belanda.
peristiwa yang dapat diamati. Metode Selama bersekolah di HBS,
kualitatif digunakan untuk Hanafi dekat dengan gadis Eropa yang
mendeskripsikan bagaimana bentuk bernama Corrie. Dalam kesehariannya
resistensi pada novel Salah Asuhan Hanafi dan Corrie memanglah sangat
karya Abdoel Moeis. Sumber data pada dekat, hubungan keduanya seperti
kakak dengan adiknya. Mereka sering
Sebelum Perang, Jakarta, Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa, 1979 jalan-jalan berdua, main tenis bahkan
53
duduk-duduk sambil menikmati segelas kebutuhan Hanafi. Mendengar bujukan
teh pun juga berdua. Hanafi sayang Ibunya, Hanafi sangat amat marah,
kepada Corrie, namun perasaan itu karena Hanafi sungguh tidak
bukan sekedar hanya rasa sayang mengetahui siapakah Rapiah itu dan
seorang kakak kepada adiknya, Hanafi hanya suka kepada Corrie, yang
melainkan rasa ingin memiliki. Hanafi telah menolak cintanya. Perjodohan itu
memberanikan diri untuk dikarenakan Ibu Hanafi berhutang budi
mengungkapkan isi hatinya kepada kepada Sultan Batuah. Setelah
Corrie. Namun ketika Hanafi mendapat bujukan dari Ibunya,
mengungkapkan isi hatinya, Corrie tidak akhirnya Hanafi menerima perjodohan
langsung memberi jawaban kepada itu, meskipun dengan sangat terpaksa.
Hanafi, melainkan segera berpamitan Dua tahun sudah usia pernikahan
pulang. Hanafi dan Rupiah, dan mereka
Keesokan harinya, Corrie pergi dikaruniai seorang anak laki-laki yang
meninggalkan Solok menuju Betawi. bernama Syafei. Pernikahan yang tidak
Maka dikirimkan surat kepada Hanafi, didasari dengan rasa cinta itu membuat
yang isinya penolakan secara halus rumah tangga mereka tidak pernah
mengenai pernyataan Hanafi pada tentram.
tempo hari. Corrie merasa sangat tidak Setiap hari Hanafi selalu
mungkin menerima Hanafi, karena memaki-maki istrinya karena hal yang
perbedaan budaya antara bangsa sepele. Namun Rapiah hanya diam dan
Melayu dengan bangsa Eropa. Selain itu tidak pernah melawan semua perlakuan
Corrie juga ditentang oleh ayahnya jika suaminya. Hal itulah yang membuat Ibu
menikah dengan orang Melayu, karena Hanafi kagum kepada Rapiah, hingga
penolakan tersebut, Hanafi jatuh sakit suatu hari Hanafi murka kepada Ibunya.
selama beberapa hari. Dengan tidak sengaja Ibunya
Selama dia sakit, Hanafi hanya menyumpahi Hanafi. Tiba-tiba anjing
dirawat oleh ibunya sembari menasihati gila mengigit pergelangan Hanafi hingga
dan membujuk Hanafi agar menikah Hanafi harus berobat ke Betawi. Sampai
dengan Rapiah, yaitu anak mamaknya, di Betawi Hanafi bertabrakan dengan
karena pada saat Hanafi bersekolah di seorang gadis Eropa, yang tidak lain
HBS, mamaknyalah yang mencukupi adalah Corrie. Dengan amat senang
54
Bagus Ajy Waskyto S.: Resistensi Pribumi...

mereka berdua menghabiskan waktu Hanafi semkain tidak jelas, Bangsa


untuk berjalan-jalan berdua Eropa maupun Bangsa Melayu sudah
menggunakan sepeda angin. Sudah satu tidak mau mengakui Hanafi, karena
minggu Hanafi meninggalkan Solok, keangkuhan dan kesombongannya.
setelah itu Hanafi mencari kerja di Pada akhirnya Corrie pergi ke
Kantor Binnenlandsch Bestuur (BB) Semarang untuk menghindari Hanafi.
sebagai commies (pegawai pemerintah Namun pada suatu hari, Hanafi
kolonial). menerima surat yang memberi tahukan
Untuk mendapatkan Corrie, bahwa Corrie berada di Semarang.
Hanafi rela berubah kewarganegaraan Setelah beberapa hari, Hanafi nekat
menjadi Eropa. Setelah itu, Hanafi pergi ke Semarang untuk mencari Corrie
memohon kepada Corrie untuk di rumah seorang pengusaha anak-anak
menerima ajakan pertunangannya, yatim. Namun sampai disana justru
karena rasa ibanya kepada Hanafi, berita buruk yang diterima oleh Hanafi.
Corrie terpaksa menerimanya. Bahwa Corrie masuk rumah sakit karena
Meskipun Corrie harus menerima sakit keras, yaitu kolera. Hingga
resiko, yaitu dijauhi oleh teman-teman akhirnya nyawa Corrie tidak dapat
Eropanya. Meskipun Rapiah dan Ibunya ditolong lagi. Setelah kepergian Corrie,
tahu jika Hanafi akan menikah Corrie, Hanafi pulang ke Solok untuk menemui
namun Rapiah tetap menunggu Ibunya. Setelah beberapa hari Hanafi
kedatangan Hanafi. Ibu Hanafi sangat sampai di Solok, ia jatuh sakit karena
sayang kepada Rapiah, bahkan menelan 6 butir sublimat, yang
sayangnya melebihi rasa sayangnya menyebabkan Hanafi terus muntah
kepada Hanafi. darah dan akhrinya merenggut
Hanafi dan Corrie sudah nyawanya.
menjadi suami istri, maka tinggalah Struktur Naratif
mereka dalam satu rumah. Namun Untuk melihat bentuk-bentuk
seiring berjalannya waktu, rumah resistensi dalam teks, penting
tangga Hanafi dan Corrie sudah tidak sebelumnya untuk mendalami aspek-
tentram lagi. Hanafi memiliki Sifat yang aspek dalam novel Salah Asuhan
pemarah, sampai menuduh Corrie dengan menggunakan analisis
berzina dengan orang lain. Kehidupan struktural. Teeuw (dalam Wiyatmi 2008
55
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB

: 89), menjelaskan analisis ini dengan jelas seperti yang terlihat pada
memandang karya sastra dalam segi kutipan berikut.
struktur dan memahami karya sastra itu “Seorang pun belum ada di tempat
permainan tenis, karena kedua
sendiri. Dengan kata lain, karya sastra anak muda, yang duduk berlindung
dipandang sebagai bentuk yang di bawah pohon yang rimbun
menghadap meja teh dekat
otonom, berdiri sendiri, lepas dari permainan itu, belum boleh
dikatakan hendak bermain, sebab
pengarang, realitas ataupun pembaca meskipun mereka masing-masing
novel. Pendekatan ini menekankan memakai, pakaian tennis, sedang
dua buah raket tersandar dikaki
aspek intrinsik, yakni suatu unsur-unsur kursi, tapi kedua nak muda itu
duduk di dalam kebun di sisi
yang membangun suatu karya sastra sebuah rumah di sebelah tempat
dari dalam. Nurgiyantoro (1995 : 23) bermain tennis itu.” (Abdoel Moeis,
1995 : 9)
menjelaskan terdapat beberapa unsur
“Sejurus lamanya Hanafi
intrinsik dalam karya sastra yaitu, alur, memandang dengan hati berahi
penokohan, latar, sudut pandang, dan kepada nona yang cantik itu, yang
dengan senyumnya seolah-olah
tema. Unsur-unsur tersebut yang akan hendak menunjukkan dan
melemahkan hati manusia yang
penulis jadikan batu pijakan untuk
sekeras-kerasnya.” (Abdoel Moeis,
melihat bentuk-bentuk Resistensi 1995 : 12)

kolonial dalam novel Salah Asuhan. Pada kutipan yang pertama


Sudut pandang dalam Novel Salah menunjukkan bagaimana narator dapat
Asuhan menjelaskan keadaan dunia di sekeliling
Novel ini menggunakan teknik tokoh dengan jelas dan detil. Seakan-
penceritaan (sudut pandang) orang akan narator melihat dari kejauhan dan
ketiga. Narator berada dalam luar cerita tidak masuk dalam cerita. Berbeda
tetapi memiliki kemampuan untuk dengan kutipan kedua yang disini
masuk ke dalam tokoh-tokoh sehingga narator masuk kedalam tokoh Hanafi
mengetahui ide dan perasaan. Selain dan dapat menjelaskan perasaan
itu, teknik penceritaan orang ketiga juga terdalam Hanafi. Tidak hanya mental
memiliki sudut pandang yang luas saja yang dapat dilihat tetapi sudut
karena narator menempatkan pada pandang Hanafi sendiri saat melihat
posisi yang jauh sehingga keadaan Corrie yang dianggap sebagai nona yang
dunia sekitar tokoh dapat diceritakan cantik.

56
Latar dalam Novel Salah Asuhan Betawi merupakan kota yang besar
Ruang atau latar pada novel karena merupakan sentral peradaban
Salah Asuhan adalah kota-kota pusat orang-orang Belanda berbeda dengan
pemerintah kolonial seperti Betawi dan kampung Solok yang dianggap sebagai
Semarang dan daerah terpencil seperti tempat yang tertinggal karena berisikan
Solok, lalu beberapa lokasi rumah orang-orang pribumi saja. Tempat di
Hanafi, rumah Tuan Du Busse, Rumah sini tidak hanya dipahami dalam
Gadang, Persawana, kuburan. Ruang konteks geografis tetapi sosiologis
pada novel ini memiliki alur yang karena mengenal hubungan relasional
berpindah-pindah antara Solok dan dalam masyarakat. Siapa yang condong
Betawi mengikuti tokoh-tokoh utama dalam salah satu kutub (Belanda atau
(Hanafi dan Corrie) yang diceritakan pribumi) akan mendapatkan posisi
secara bergantian. Persepsi biner dalam masyarakat. Dengan posisi Vis a
digunakan pada posisi kota yang Vis seperti ini menunjukkan bahwa
modern dan kampung dengan nilai penulis tidak ingin menunjukkan
tradisional, seperti yang terlihat dengan inferioritas kampung pribumi justru
kutipan ini, menunjukkan resistensi pada kota
“Apakah perlunya orang tua butuk Batavia. Walaupun Hanafi sudah
kampung totok ini datang ke
Betawi. Hendak merendah- memiliki pendidikan Belanda, bergaul
rendahkan martabat dan dengan orang-orang Belanda,
derajatnya saja! Sedangkan di
Solok ini ibu sudah terpandang berpenampilan Belanda, hal itu tidak
orang kampung totok. Di sini engku
Hanafi baharu orang kecil, tapi di ada gunanya di kampung Solok.
Betawi, di kota besar itu, di dalam Resistensi terhadap kolonial
pergaulan orang-orang Belanda
yang dikatakannya masuk bagian juga terdapat pada cara pandang Ibu
‘lapisan atas’ , tuan Hanafi yang
akan menjadi orang Belanda akan Hanafi ketika berada di rumah sewaan
malu mempunyai ibu serupa orang Hanafi di Solok. Sebagai orang
tua buruk ini...Baiklah ibu tinggal di
kampung saja, agar jangan perempuan pribumi yang berasal dari
menjadi rintangan bagi kehidupan
dan kemajuan anak.” (Abdoel
kampung, Ibu Hanafi melawan budaya
Moeis, 1995 : 125) Belanda dengan tidak mau duduk di
Percakapan yang terjadi antara kursi, tetapi lebih memilih duduk di
ibu Hanafi dengan Hanafi ini lantai. Kejadian tersebut dapat Kita lihat
mengandung pemahaman bahwa kota pada kutipan ini,
57
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB

“Maka tidaklah ia segan-segan pula dalam bentuk mimikri atau lebih


mengeluarkan uang buat mengisi halus. Kita dapat melihat tokoh Hanafi
rumah sewaan di Solok itu secara sebagai pusat cerita adalah figur
yang dikehendaki oleh anaknya.
mimikri (atau mimic man dalam konsep
Hanafi berkata, bahwa ia dari
Sharpe). Hanafi adalah karakter yang
kecilnya hidup di dalam rumah
meniru budaya Belanda (kolonial) atau
orang Belanda saja; jadi tidak
tunduk dalam pengetahuan Belanda,
senanglah hatinya, jika aturan
mengisi rumahnya tidak seperti lulusan sekolah Belanda,

mengarah-arah itu pula. Tapi berbahasa Belanda, berpakaian


sepanjang hari orang tua itu Belanda, tetapi dalam peniruannya dia
termangu-mangu saja, karena dari tetap melakukan tindakan pengacauan
beranda muka sampai ke dapur terhadap Budaya tersebut. Contoh
dan kamar mandi diperbuat secara pengacauan tersebut dapat dilihat dari
aturan rumah orang Belanda.
kisah percintaan antara Hanafi dan
Perempuan Bumiputra dari
Corrie yang merupakan tema sentral
kempung memang lebih senang
dalam novel ini, walaupun pada
duduk bersimpuh daripada duduk
akhirnya Hanafi menikah dan memiliki
di atas kursi.” (Abdoel Moeis, 1995
: 28) anak (Syafie) dengan Rapiah tetapi
cintanya terhadap sosok Corrie tidaklah
Rumah dalam kutupan di atas
memudar.
tidak hanya dipandang sebagai bentuk
Hambatan utama percintaan
fungsionalnya yaitu ruang untuk tempat
antara tokoh Hanafi dan Corrie terletak
tinggal atau istirahat, tetapi dalam
pada masalah etnisitas. Hanafi adalah
ruang dipenuhi dengan medan simbolik
seorang pribumi sedangkan Corrie
yang saling berlawanan yaitu pribumi
campuran Prancis dari ayahnya dan
versus Barat.
pribumi dari darah ibunya. Pada
Penokohan dalam Novel Salah Asuhan
konteks masa kolonial hubungan
Kaitan antara tokoh dan bentuk
percintaan antar etnis penuh dengan
resisten dalam novel ini sangat
dinamika. Masa kolonial adalah masa
beragam. Terdapat tokoh-tokoh yang
dimana masyarakat mengalami
tidak menghendaki (resisten) budaya
stratifikasi berdasarkan etnisitas.
Barat secara mutlak, tetapi terdapat
Belanda pada posisi puncak, tingkat
58
Bagus Ajy Waskyto S.: Resistensi Pribumi...

kedua adalah Tionghoa, sedangkan lapis ‘nyai’ dari sini. Jika ‘nyai’ itu nanti
beranak, pada pemandangan
terbawah adalah Pribumi. Posisi ini orang barat itu sudahlah ia berjasa
tentu berkaitan dengan besaran besar tentang memperbaiki bangsa
dan darah di sini. Tapi lain kali
previlege yang diterima tiap lapisan sekali keadaannya pada
pertimbangan orang barat itu,
masyarakat. Semakin tinggi, semakin kalau seseorang nyonya barat
besar posisi previlegenya. sampai bersuami, bahkan beranak
dengan orang sini. Terlebih dahulu
Posisi puncak Belanda yang nyonya itu dipandang seolah-olah
sudah menghinakan dirinya
mengakibat memiliki keuntungan dalam sebagai bangsa barat; dan
berbagai aspek ternyata tidak dikatakan sudah ‘membuang diri’
kepada orang sini. Di dalam
seberuntung dalam arena percintaan. undang-undang negeri ia pun
segera dikeluarkan dari hak orang
Seperti yang dialami tokoh Tuan Du Eropah”. (Abdoel Moeis, 1995 : 21)
Busse ayah dari Corrie yang menikahi “Jadi, jika demikian, papa tidak
akan menaruh keberatan kelak bila
wanita pribumi memiliki dalam ada pertemuan Corrie dengan
orang sini.Tuan du Bussee menelan
bangsawan Prancis (berada di puncak
beberapa kali, lalu berkata pula,”
stratifikasi sosial). Tuan Du Busse Itu pun belum tentu, Corrie, artinya
belum dapatlah papa memberikan
memiliki cara pandang yang berbeda keputusan sekarang. Terlebih
dahulu papa harus mengetahui,
dengan bangsa Eropa pada umumnya.
siapa orang Bumiputra itu, sebab
Menurut tokoh ini, sikap superior tidak semua pula harus
dimuliakan” (Abdoel Moeis, 1995 :
bangsa Eropa disebabkan oleh penyakit 23)
“kesombongan bangsa”. Orang Barat
Pada kutipan pertama
datang ke Hindia Belanda dengan
menunjukkan posisi vertikal antara
membawa pengetahuan dan perasaan
bangsa Eropa dan Pribumi berimbas
menjadi tuan atas masyarakat pribumi.
juga pada pandangan pada hubungan
Seperti yang dijelaskan pada kutipan ini,
pernikahan. Posisi laki-laki Eropa akan
“Perbedaan itu sungguh ada,
lebih dihormati ketika menikahi wanita
Corrie dan sungguh besar sekali.
Sebabnya tiada lain, karena pribumi. Berbeda dengan posisi
penyakit “kesombongan bangsa”
itu juga. Orang Barat datang ke perempuan Eropa yang akan menikahi
mari, dengan pengetahuan dan
laki-laki pribumi, hinaan akan
perasan, bahwa ialah yang
dipertuan bagi orang di sini. Jika ia dialaminya karena dianggap “menghina
datang ke negeri ini dengan tidak
membawa nyonya sebangsa dirinya” dan juga posisi warga negara
dengan dia, tidak dipandang
Eropanya akan dicabut. Terdapat
terlalu hina, bila ia mengambil

59
paradoks pada cara pandang tokoh Du digunakan oleh Hanafi untuk menikahi
Busse ini, disatu sisi ia menolak cara Corrie. Peningkatan status warga
pandang Eropa yang dikatakannya negara yang baru ini, menimbulkan efek
sebagai “kesombongan bangsa” tetapi atas hilangnya ikatan warga pribumi
ketika berkaitan dengan hubungan pada sosok Hanafi. Kisah itu dapat kita
pernikahan wanita Eropa dan laki-laki lihat sebagai berikut,
pribumi dia lebih condong mendukung “Maka bersipuhlah ia di muka kursi

cara pandang “kesombongan bangsa” Corrie, lalu meraba tangannya dan

yang melegitimasi superioritas kulit berkata, “Corrie!” Kuketahui benar,


bahwa yang menjadi rintangan
putih.
antara kita berdua ialah perbedaan
Sedangkan pada kutipan kedua
bangsa! Lupakanlah aku bangsa
terlihat du Busse ragu-ragu menjawab
Melayu, Corrie. Dengan kekuatan
pertanyaan anaknya Corrie, hingga
Wet aku sudah sebangsa dengan
harus “menelan beberapa kali” jawaban engkau. Mulai dari waktu ini
yang diberikan juga tidak konkrit dan kubelakangi bangsaku sama sekali,
berlapis. Pada aspek percintaan Hanafi sudah hilang, segala jejakku
resistensi terletak pada akhir-akhir yang tinggal di belakang kita

cerita dimana Hanafi dan Corrie hapuslah – sudilah engkau menjadi

akhirnya menikah, walau sementara istriku Corrie!” (Abdoel Moeis,


1995 : 130)
karena Corrie akhirnya meninggal
Pada bentuk resisten yang
karena penyakit Kolera. Pernikahan
mutlak kita dapat melihat pada tokoh
sesaat ini menunjukkan sanksi sosial
Ibu Hanafi yang mewakili ideologi
dan politik akibat pernikahan campuran
pribumi merasa mengikuti budaya Barat
ini bukanlah halangan bagi Hanafi dan
adalah kesalahan, seperti saat Ibu
Corrie. Pandangan superioritas
Hanafi lebih memilih untuk duduk di
Eropa/Belanda runtuh ketika
lantai ketimbang duduk di kursi yang
berhadapan dengan cinta.
dianggapnya bukanlah budaya pribumi
Ketika Hanafi mendapatkan
melainkan budaya Barat. Selain itu,
surat dari departemen B.B yang
sikap Ibu Hanafi terhadap perabotan
berisikan penyamaan status dengan
rumah Hanafi yang bergaya Belanda
warga Belanda juga merupakan bentuk
juga tidak lepas dari sifat resisten,
mimikri. Penyamaan warga tersebut
60
Bagus Ajy Waskyto S.: Resistensi Pribumi...

baginya perabotan Belanda bukan pada pandangan umum yang berlaku


merupakan budaya pribumi atau dalam saat itu, yang menggunakan pendidikan
dalam kutipan selanjutnya dikatakan Eropa menjadi modal untuk
sebagai “dunianya”. Pernyataan mendapatkan previlege yang lebih
tersebut dapat dilihat sebagai berikut, daripada hanya menjadi pribumi.
“Tempat sirih, tempat ludahnya Disinilah resistensi kegelimangan
dan dapur, itulah barang-barang
yang sangat digemarinya melihat kedudukan yang diberikan oleh kolonial
setiap hari itulah: itulah dunianya.” tidak dapat mematahkan semangat
(Abdoel Moeis, 1995 : 28)
“Hanafi,” katanya,” sudah lama membangun bangsanya sendiri.
benar ibu hendak berhandai-
handai dengan Sosok Corrie dalam novel ini
engkau,..”sebenarnya dari dahulu berbeda dengan pemikiran hanafi,
maksud mereka hendak
mengangkat engkau menjadi corrie memiliki pemikiran yang egaliter
penghulu.” (Abdoel Moeis, 1995 :
25) terhadap status Eropa dan pribumi dan
memiliki kekaguman pada bangsa
Sedangkan pada kutipan kedua
pribumi, seperti sosok ibunya. Jika
menceritakan tujuan ibu Hanafi
hanafi ingin menaikan status sosialnya
memberikan pendidikan Belanda
agar memiliki akses terhadap sistem
kepada anaknya, agar menjadi
Belanda, Corrie lebih menyanyangkan
penghulu. Penghulu adalah pemangku
kenapa tedapat hukum Belanda yang
agama dalam tradisi Minangkabau. Di
menurutnya tidak adil. Abdoel Moeis
sini menunjukkan bahwa Ibu Hanafi
sepertinya dengan sengaja
tidak menginginkan posisi strategis
menempatkan sosok Corrie ini sebagai
pada kantor-kantor Belanda atau
penengah antara modernitas
peningkatan status sosial karena
Belanda/Eropa dan tradisi pribumi.
anaknya telah berhasil masuk ke dalam
Inilah yang menyebabkan sosok Corrie
jaringan pemerintah Kolonial, tetapi
menjadi unik dibanding dengan tokoh-
yang diinginkannya adalah kembali
tokoh lainnya. Bahkan sosok Corrie
pada kampungnya menjadi penghulu.
inilah yang sepanjang novel Salah
Jabatan, status sosial, dan
Asuhan secara implisit sempat
pergaulan dalam lingkar Kolonial
membahas tentang Indonesia, hal itu
Belanda tidaklah penting jika tidak
dapat kita lihat pada percakapan di
berguna bagi daerah asalnya. Berbeda
bawah ini,
61
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB

“Nyonya Brom bertanya sambil Moeis dengan cerdik menyisipkan


bersenda.”He Corrie! Burung
Gereja atau burung bahwa, bangsa Hindia Belanda itu tidak
Cendrawasihkah engkau?” diam dalam keadaan kolonialisasi
“Burung Garuda, Nyonya!” Belanda, tetapi mereka berusaha yang
“niscaya akan berhasil usahanya”. Hal
“Burung Garuda belum tentu di
dunia ini, Corrie!” kata Tuan Brom inilah yang menjadi bentuk paling
pula. “Dan Jikalau sekiranya ia ada,
sudah tentu sebagai kami manusia lantang dalam bentuk resistensi
biasa saja, yaitu Tuan Hanafi dan
terhadap kolonialisasi Belanda
saya, dan kawan-kawan kita yang
banyak tak akan dapat walaupun muncul dalam pernyataan
mencapainya.”
yang implisit, menariknya dikatakan
“Belum tentu, Tuan,” sahut Corrie,
sedang tingkah lakunya makin oleh Corrie yang merupakan darah
dipermanisnya.” Barang siapa yang indon.
teguh pada keyakinannya dan
tidak kurang pula ikhtiarnya, Jika dibuat dalam bentuk bagan
niscaya akan berhasil usahanya.”
(Abdoel Moeis, 1995 : 13)
kita akan melihat lebih jelas bagaimana
resistensi secara lunak (mimikri) dan
Burung Garuda di sini yang
mutlak yang terdapat pada novel Salah
dimaksud adalah ide tentang
Asuhan. Bagan dapat dilihat sebagai
kemerdekaan bangsa Indonesia. Abdoel
berikut:

62
Bagus Ajy Waskyto S.: Resistensi Pribumi...

Bagan Resistensi Pribumi dalam Novel Salah Asuhan

Pakaian Belanda

Pendidikan
Belanda
Lunak/Mimikri

Resistensi Menikahi
bangsa Eropa

Perabotan dan
pakaian
bergaya
Belanda

Berbahasa
Belanda

Bergaul dengan
orang Belanda

Mutlak

Penentangan Perilaku Padang sebagai ruang Cita-cita


hukum Belanda keseharian Ibu yang penuh muatan Kemerdekaan
mengenai status Hanafi lokal tidak berlaku Indonesia dalam
masyarakat hukum Belanda analogi burung
yang bertingkat Garuda
Eropa/Belanda

63
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB

SIMPULAN DAN SARAN dalam keadaan kolonialisasi Belanda,


Berdasakan temuan penelitian tetapi mereka berusaha yang “niscaya
pada Novel Salah Asuhan tedapat dua akan berhasil usahanya”. Selain itu
bentuk resistensi yang digunakan dikotomi antara ruang kota (batavia)
terhadap pemerintah Belanda. dan desa (padang) yang mewakili
Pertama, resistensi lunak atau mimikiri pandangan modern/Barat dan
dapat dilihat bagaimana tokoh Hanafi tradisional/pribumi dihadirkan untuk
melakukan peniruan (mimic) terhadap menunjukkan penolakan cara pandang
budaya dan sistem pengetahuan ala modern yang membuat orang menjadi
Belanda, seperti pendidikan, lupa akan pemahaman tradisi lokalnya
penggunaan bahasa, perabotan rumah, seperti yang dialami tokoh Hanafi.
gaya berpakaian, pekerjaan, dan Berbeda dengan tokoh Hanafi yang
menikahi orang Barat ( tema yang menginginkan status sosial yang tinggi,
menjadi tema sentral dalam novel ini). Tokoh Corrie justru menolak hukum dan
Resistensi ini semakin lunak karena sistem yang diberlakukan oleh Belanda.
dibungkus dengan cerita percintaan Baginya hukum tersebut menciptakan
antara Hanafi dan Corrie. Hal ini yang kondisi yang tidak adil dan setara,
menyebabkan novel ini dinyatakan lulus pemahaman ini didapat atas refleksi
sensor dari Balai Pustaka, tentu akan dirinya mengenai sosok ibunya yang
berbeda cerita jika resistensi tersebut merupakan pribumi.
memiliki narasi yang gamblang, seperti Resistensi mutlak/tegas
penolakan kolonialisasi Belanda. memang terlihat sangat menekan Pihak
Resistensi yang kedua adalah Belanda (dibanding resistensi lunak),
ressitensi mutlak/tegas, ditunjukan tetapi sebagai pengarang, Abdoel Moeis
pada terhadap penolakan praktik membumbui penolakan hukum warga
kolonial Belanda yang muncul pada yang bertingkat dengan narasi atas
analogi Burung Garuda. Tentu saja yang nama cinta bukan atas hak asasi
dimaksud adalah ide tentang manusia, sedangkan semangat pribumi
kemerdakaan bangsa Indonesia, dikaitkan pada nilai tradisi bukan
walaupun dengan bentuk yang implisit, semangat kemerdekaan. Inilah yang
pesan yang disisipkan terlihat jelas yaitu membuat Novel Salah Asuhan
bangsa Hindia Belanda itu tidak diam walaupun sarat akan resistensi
64
Bagus Ajy Waskyto S.: Resistensi Pribumi...

terhadap Belanda tetap dapat lulus Post – Colonial Studies Reader.


(Aschroft, Bill., et. Al. (ed).
sensor dan diterbitkan oleh Balai
Routdlege :London and
Pustaka. Newyork
Sydenham, John Furnivall. 1939.
Nederlands Indie: A Study of
DAFTAR PUSTAKA Prular Economy. The University
Bhaba, Homi K. 1994. The Location of Press : Cambridge
Culture. Routledge : London Teeuw, Andries. 1959. Pokok dan Tokoh
Djoko, Sapardi Damono. 1979. Novel Kasusastraan Indonesia Baru.
Sastra Indonesia Sebelum Volume I dan II Fifth Printing.
Perang. Pusat Pembinaan dan Pembangunan : Jakarta.
Pengembangan Bahasa : Jakarta
Faruk. 2007. Belenggu Pasca Kolonial
Hegemoni & Resistensi dalam
Sastra Indonesia. Pustaka
Pelajar : Yogyakarta.
Merle, Ricklefs Calvin. 2016. Sejarah
Indonesia Modern. Gadjah
Mada University Press :
Yogyakarta.
Moeis, Abdoel. 1995. Salah Asuhan.
Balai Pustaka : Jakarta
Moleong, Lexy. J. 1991. Metodologi
Penelitian Kualitatif. PT. Remaja
Rosdakarya : Bandung
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori
Pengkajian Fiksi. Gadjah Mada
University : Yogyakarta Press
Rahzen, Teufik, et. Al. 2007. Tanah Air
Bahasa : Seratus jejak Pers
Indonesia. I : BOEKOE : jakarta
Salmon, Claude. 1985. Sastra Cina
Peranakan dalam Bahasa
Melayu. Balai Poestaka :
Jakarta.
Said, Edward. 2010. Orientalisme:
Menggugat Hegemoni dan
mendudukkan Timur Sebagai
Subjek. Pustaka Pelajar :
Yogyakarta.
Setiadi. Hilmar Farid. 1991. Kolonialisme
dan Budaya : Balai Pustaka di
Hindia Belanda. Prisma, nomor
10.
Sharpe, Jenny. 1995. “Figures of
Colonial Resistence” dalam The

65
Jurnal Ilmu Komunikasi Volume 4, Nomor 1, April 2019:47-66
AKRAB

66

You might also like