You are on page 1of 18

BASAL MENINGOCELE

Oleh
Ferry Wijanarko, dr, Sp BS
DR M. Arifin Parenrengi, dr, Sp BS

BEDAH SARAF SOLO


Secretariat : Neurosurgery Subdivision Dr Moewardi Hospital Surakarta
phone 0271 9208606/ fax 0271 637654
e-address : bedahsarafsolo@yahoo.com
www.bedahsarafsolo.com  
BASAL MENINGOCELE

Ferry Wijanarko*, M. Arifin Parenrengi**

ABSTRACT

Basal meningocele is a rare midline bony defect of the base of the skull which may allow
protrusion of the meninges and their contents. Herniated meninges in such cases may be found in
the nasal cavity, nasopharynx, the sphenoid and ethmoid sinuses, the orbit, and the
pterygopalatine fossa, the site depending on the location and size of the bony defect.
The basal meningocele frequently escapes the diagnosis and may be detected at adult
age. MRI is the imaging diagnostic procedure of choice since it allows to precisely identifying
the presence of meninges, brain parenchyma and blood vessels inside the bone defect. Besides, it
provides broad encephalic anatomic evaluation which facilitates the identification of other
anomalies.
Basal meningocele are classified in accordance with their location as transsphenoidal,
sphenoorbital, sphenoethmoidal, transethmoidal, or sphenomaxillary. Although the
transethmoidal is the most frequent, these are all rare anomalies, accounting for about l 5% of
all encephaloceles. Basal meningocele are often associated with other midline anomalies such as
hypertelorism, broad nasal root, cleft lip, and cleft palate.
We report here case of a child, 55-day-old, with a transethmoidal meningocele with the
chief complaint of getting cyanotic when he was drinking milk. This meningocele may presents
as a mass in the nasopharynx, masquerading as nasal polyps or enlarged adenoids.

Key word : basal meningocele

* Staf Medis Fungsional Sub Bagian Bedah Saraf RSUD Dr Moewardi Surakarta
**Staf Medis Fungsional Departemen Bedah Saraf RSUD Dr Soetomo Surabaya
I. PENDAHULUAN
Abnormalitas bawaan susunan saraf pusat adalah salah satu kelompok dari
kasus cacat kongenital yang paling menonjol dengan frekuensi 3-4% dari seluruh
kasus abortus spontan dan kira-kira 1 dari 200 kelahiran hidup. Secara menyeluruh
kecacatan susunan saraf bawaan mempunyai varian kompleksitas gabungan beberapa
faktor etiologis seperti abnormalitas kromosom, kelainan genetik, dan faktor lainnya.
Berdasarkan patoembriologik dibagi atas tiga kelompok anomali yaitu : (1)
malformasi perkembangan, (2) defek tabung neural, dan (3) hidrosefalus
kongenital(2,9).
Wawasan permasalahan yang mencakup deteksi dini dan implikasinya, bila
dihadapkan dengan hak dan prognosa kualitas kehidupan kasus masa mendatang,
tampaknya merupakan tantangan yang membutuhkan pemikiran pertimbangan yang
unik dan kebijaksanaan filosofis yang luhur (2).
Ensefalokel merupakan malformasi kongenital yang ditunjukkan dengan
adanya protrusi dari meningens dan atau jaringan otak pada defek tulang kepala.
Ensefalokel merupakan salah satu dari kelainan defek tuba neural selain anensefali dan
spina bifida(8). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan
bermakna antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Juga disebutkan bahwa tidak
ditemukan dua kasus meningokel pada keluarga yang sama atau keluarga dekat
lainnya. Meningokel merupakan defek multifaktorial dimana peranan lingkungan
sangat berperan penting (10).

II. Laporan Kasus


Seorang anak laki – laki berusia 55 hari, masuk RSU Dr Soetomo Surabaya
pada tanggal 30 April 2008 dengan keluhan wajah kebiruan setelah minum susu satu
minggu setelah lahir. Pasien merupakan kiriman dari RS Husada Utama Surabaya.
Pasien lahir tanggal 18 Maret 2008, lahir spontan, cukup bulan, di RS AURI
Surabaya. Satu minggu setelah lahir ibu pasien mengeluh bahwa pasien sering
kebiruan setelah diberi minum susu. Keluarga membawa pasien ke dokter spesialis
anak di RS AURI. Kemudian pasien dirujuk ke RS Husada Utama Surabaya. Waktu
1  

 
masuk di RS tersebut pasien ditangani oleh dokter spesialis anak dan spesialis THT,
oleh karena adanya polip di lubang hidung kanan. Pada saat dilakukan pemeriksaan
penunjang MRI didapatkan hasil adanya meningokel mulai di lamina kribrosa sinus
etmoidalis kanan yang meluas ke bawah sampai orofaring (lubang paling atas)
disertai adanya meningokel. Parenkim otak dalam batas normal dan tidak ditemukan
tanda hidrosefalus. Saat itu pasien mulai ditangani oleh ahli Bedah Saraf. Kemudian
pasien dirujuk ke RSDS untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut pada tanggal 30
April 2008, lalu dirawat di NICU GBPT (gambar 1) RSU Dr. Soetomo Surabaya.
Riwayat kehamilan cukup umur/bulan dan lahir spontan di RS AURI
Surabaya dengan berat lahir 2300 kg. Riwayat ibu menderita penyakit TORCH
selama kehamilan tidak jelas. Buang air besar normal tidak mencret, kencing juga
dalam batas normal.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum lemah dengan tanda –
tanda vital nadi : 140 kali/menit, RR : 30 kali/menit, suhu aksila : 36,7o C. Pada
pemeriksaan kepala tidak terdapat anemia, ikterus, sianosis maupun dyspneu, serta
ubun-ubun besar belum menutup. Pada pemeriksaan leher tidak tampak adanya
pembesaran kelenjar getah bening.
Pada pemeriksaan dada (regio thoraks) didapatkan keadaan simetris antara
dada kanan dan kiri, tidak terdapat retraksi dada. Cor didapatkan S1 S2 tunggal, tidak
didapatkan suara gallop maupun murmur. Pada pemeriksaan paru tidak didapatkan
suara ronkhi maupun wheezing.
Pada pemeriksaan perut/abdomen dirasakan perut dalam kondisi supel (tidak
ada defans muskuler) dan tidak didapatkan meteriorismus, serta bising usus dalam
batas normal. Pada pemeriksaan ekstremitas tidak didapatkan udem dan akral dalam
kondisi hangat, kering, dan merah (HKM).
Pada pemeriksaan neurologis didapatkan GCS 456, reflek cahaya +/+, pupil
bulat isokor, diameter 3mm/3mm, tidak terdapat lateralisasi dan maupun hemiparese.
Dari pemeriksaan laboratorium darah lengkap didapatkan leukositosis
(leukosit 14.200/ul), trombositopenia (trombosit 60.000/ul), hemoglobin 11,9 g/dl,
eritrosit 4,27 juta/ul, albumin 3,7 g/dl. Sedangkan pada pemeriksaan darah yang
2  

 
lainnya seperti blood urea nitrogen, serum kreatinin, SGOT, SGPT, dan faal
hemostasis dalam batas normal.

Gambar 1. Perawatan di NICU GBPT RSU Dr. Soetomo Surabaya

Pada pemeriksaan MRI kepala (gambar 2) didapatkan adanya meningokel


mulai di lamina kribrosa sinus etmoidalis kanan yang meluas ke bawah sampai
orofaring disertai adanya meningokel. Luas lubang saat ini 6 mm. Parenkim otak
dalam batas normal dan tidak ada tanda hidrosefalus.

Gambar 2. MRI Kepala

3  

 
Pada pemeriksaan foto kepala lateral (gambar 3) didapatkan sela tursika
normal. Tak tampak tanda peningkatan TIK. Jaringan lunak mengisi nasofaring
hingga orofaring, ekstensi ke posterior dengan penekanan berat pada trakhea bagian
atas.

Gambar 3. Foto kepala lateral


Pada pemeriksaan ekhokardiografi didapatkan hasil atrial sinus solitus. AV
dan VA concordance. Drainase vena normal. Ruang dan katup jantung normal. Tidak
tampak ASD/VSD/PDA. Fungsi sistolik LV dalam batas normal. Arkus aorta di kiri
normal. Kesimpulan : ekhokardiogram normal.
Konsultasi dengan bagian bedah anak dilakukan untuk pemasangan axillary
line (gambar 4) guna kepentingan masuknya cairan selama dilaksanakannya operasi
(satu hari sebelumnya).

Gambar 4. Pemasangan axillary line

4  

 
Berdasarkan semua data keadaan pasien diatas, maka direncanakan operasi
trepanasi dan eksisi cele bekerja sama dengan teman sejawat THT. Sebelum operasi
trepanasi dimulai dilakukan pemasangan endotrakheal tube melalui celah trakhea
(trakheostomi) untuk memastikan bahwa jalan nafas dalam kondisi bebas selama
dilangsungkannya operasi (gambar 5).

Gambar 5. Pemasangan trakheostomi

Trepanasi dimulai setelah sebelumnya dilakukan desinfeksi dengan savlon


dan betadine. Kemudian dilakukan insisi bikoronal lapis demi lapis/tandas tulang
pada regio frontal (gambar 6) dan dilanjutkan dengan dilakukan burrhole 4 lubang
bifrontal kanan dan kiri (gambar 7).

5  

 
Gambar 6. Insisi bicoronal

Gambar 7. Burrhole 4 lubang

Setelah itu dilakukan eksplorasi frontonasal dan didapatkan defek intima


1x1.5 cm di daerah etmoid kanan dengan adanya defek tulang (gambar 8), lalu
dilanjutkan dengan subfrontal osteotomi. Setelah subfrontal osteotomi selesai
dilanjutkan dengan eksisi leher meningokel/tutup defek intima (gambar 9), lalu
diteruskan dengan jahit duramater.

6  

 
Gambar 8. Defek tulang

Gambar 9. Tutup defek intima dengan tulang parietal

Defek intima ditutup dengan memasang tulang tambahan (bone graft) kalvaria
(gambar 9) pada defek tulang yang diambil dari tulang kalvaria regio parietal sinistra.
Setelah itu dilakukan hitchstich sekeliling duramater (gambar 10). Tulang dipasang
dan difiksasi dengan kawat (wire). Setelah dipasang redon drain kemudian lapangan
operasi ditutup lapis demi lapis.

7  

 
Gambar 10. Jahit duramater

Setelah operasi trepanasi selesai dilanjutkan dengan operasi eksisi cele di


regio nasal dan nasofaring oleh teman sejawat THT (gambar 11) dan diakhiri dengan
pemasangan tampon pada lubang hidung.

Gambar 11. Eksisi cele nasal

8  

 
Gambar 12. Isi cele nasal

Selanjutnya pasien dirawat di NICU GBPT. Hari ketiga tampon lubang


hidung dilepas. Hari kelima paska operasi pasien alih rawat kembali ke RS Husada
Utama Surabaya.

Gambar 13. Perawatan hari ketiga pasca operasi di NICU GBPT

9  

 
III. DISKUSI

Ensefalomeningokel dan meningokel adalah herniasi selaput otak dengan atau


tanpa jaringan otak melalui defek tulang kranium. Pada umumnya meningokel
adalah lunak, berpulsasi dan isi kantungnya dapat ditekan ke dalam ruang intrakranial,
sedangkan ensefalomeningokel adalah sebaliknya. Herniasi ini bisa melalui tulang
wajah, kranium ataupun tulang dasar tengkorak (5,10).
Gejala meningokel pada pasien sangat bervariasi. Beberapa pasien dengan
meningokel mempunyai gejala seperti penyakit spina bifida, sedang pada beberapa
orang lain tidak mempunyai gejala apa-apa. Beberapa pasien juga dilaporkan
mengeluhkan paralisis inkomplit dengan disfungsi urin dan usus. Pada beberapa
kasus meningokel didiagnosis sebelum lahir. Tes – tes yang digunakan tersebut antara
lain pemeriksaan αFP serum ibu trimester kedua, USG foetus, pemeriksaan marker
lainnya, dan amniocentesis (8).
Meningokel basalis (MB) merupakan meningokel yang herniasinya melalui
defek tulang kepala pada tulang dasar tengkorak. CT scan dan MRI memegang
peranan penting pada diagnostik untuk anomali ini karena kemampuannya untuk
mengevaluasi seluruh kepala dan struktur isi herniasi. Kasus MB sangat jarang
ditemui, kadang hanya dapat didiagnosis pada usia dewasa muda. Pada ensefalokel
transfenoidal, defek tulang terjadi karena hasil kondrifikasi dari defek sinkondrosis
intersfenoidalis pada tulang sfenoid, menyebabkan persisten dari kanalis
kraniofaringealis, yang biasanya menutup sendiri pada usia kehamilan 50 hari.
Gejalanya berkembang saat periode neonatal dan merupakan proses ekspansi dari
epifaring dan pituitary dwarfism(7).
MB merupakan kasus defek tulang kepala sebelah basal yang terletak pada
garis tengah. Kasus ini jarang dijumpai. MB menyebabkan protrusi dari meningen
dan semua isinya. Herniasi dari meningen ini dapat terjadi pada kavum nasal,
nasofaring, sinus sfenoidalis dan etmoidalis, orbita, dan fosa pterigopalatina.
Ensefalokel ini sering berbentuk massa di nasofaring sehingga sering disalahartikan
10  

 
sebagai polip nasi atau adenoid yang membesar, dan sering dihubungkan dengan cleft
(7)
palate . Adanya defek atau celah pada tabung neural cenderung menyebabkan
kelainan penonjolan isi kranium melalui celah tersebut (sefalokel). Bila yang menonjol
adalah meningens dan cairan likuor maka dinamakan meningokel, sedangkan bila
jaringan otak ikut keluar maka dinamakan sebagai ensefalomeningokel (2,9,10).
Pada perkembangan embriologi normal, dasar fosa kranii anterior terbentuk
dari pars orbitalis os frontal, lamina kribrosa os etmoidal dan ala minor dan pars
anterior korpus osis sfenoidalis. Lamina kribrosa yang menyilang bidang tengah,
terletak antara dua pars orbitalis os frontal. la memisahkan fosa kranii anterior dari
atap kavum nasal yang dibentuknya. Di sebelah anteriornya terletak suatu peninggian
yang disebut krista galli. Foramen cecum terletak tepat di depan krista galli,
umumnya mengalami obliterasi dan kadang-kadang tetap paten dan dilewati vena
emissarii (5).
Kantong meningeal terdiri dari duramater normal yang melekat pada tepi
defek tulang. Pada kebanyakan kasus, kantong meningeal mengandung jaringan otak,
biasanya bagian medial dari kedua lobus frontalis dan jarang ditemukan isi kantong
meningeal yang hipervaskular. Pemeriksaan histologis isi kantong menunjukkan
jaringan otak, jaringan glia dan jaringan ikat (5).
Celah atau defek tabung neural sendiri menampilkan kelainan yang dinamakan
sebagai kranium bifidum. Patomekanisme adanya defek tabung neural sendiri masih
belum dapat dijabarkan dengan pasti, namun B.N. French mengemukakan empat teori
dugaan atas kejadian tersebut sebagai berikut (2) :
1. Terhentinya perkembangan embrio (developmental arrest). Dalam hal ini
neuroporus anterior gagal menutup sempurna (biasanya paling lambat hari ke-
24), sehingga menyebabkan ada bagian-bagian otak yang keluar dan terjepit di
sana.
2. Teori hidrodinamik. Diduga meningokel terjadi akibat distensi tabung neural
yang berlebihan sehingga akhirnya ia tetap meninggalkan celah atau defek.
3. Neuroskhisis. Menjabarkan bahwa celah terjadi akibat terbelahnya tabung
neural setelah ia menutup sempurna.
11  

 
4. Herniasi sekunder. Teori ini menerangkan bahwa meningokel terbentuk pada
stadium perkembangan bayi yang sudah lanjut.

Hampir seluruh kasus meningokel terjadi pada daerah dekat garis tengah mulai
dari bagian anterior sampai posterior bahkan juga basis kranii, namun ada pula yang
dijumpai menonjol keluar melalui sutura dan foramen-foramen yang ada pada tulang
tengkorak. Meningokel dapat dikelompokkan berdasarkan lokasinya menjadi yaitu :
(1) tempurung kepala (oksipital, interfrontal, parietal, fontanel anterior/posterior,
temporal), (2) frontaletmoidal (nasofrontal, nasoetmoidal, nasoorbital), (3) basis
kranii/basalis (transetmoidal, sfenoetmoidal, transfenoidal, frontosfenoidal/sfeno-
orbital)(2).
Beberapa penulis mengklasifikasikan MB dalam lima tipe secara anatomis,
yaitu (a) transfenoidalis - melalui tulang sfenoidalis ke sinus sfenoidalis atau
epifaring; (b) sfenoorbital - melalui fisura orbitalis superior ke orbita; (c)
sfenoetmoidalis - melalui tulang sfenoidalis dan etmoidalis ke kavum nasal posterior;
(d) transetmoidalis - melalui lamina kribrosa ke kavum nasal anterior; dan (e)
sfenomaksilaris - melalui fisura orbitalis inferior ke fosa pterigopalatina (8).
Walaupun MB tipe transetmoidal paling sering dijumpai (sekitar 15% dari
seluruh kasus ensefalokel), tetapi secara umum dikatakan MB merupakan kasus
meningokel yang jarang ditemui di masyarakat. MB sering dihubungkan dengan
anomali garis tengah yang lain, seperti hipertelorisme, cleft lip, dan cleft palate.
Kelainan nervus optikus seperti diskus optikus yang pucat, lubang pada nervus
optikus, displasia nervus optikus, dan megalopapilla dilaporkan pada beberapa pasien
yang menderita MB (7,8).
MB jarang menyebabkan rinorea dan meningitis rekuren. Defek
transetmoidalis terletak di sebelah anterior pada garis tengah atau di sepanjang tulang
kribiformis dan tidak melibatkan sela tursika. Kantung cele berlanjut ke inferior ke
sinus dan kavum nasal. Bayi dan balita dapat menunjukkan manifestasi klinis berupa
obstruksi nasal unilateral, chronic nasal discharge, atau nyeri kepala setelah bersin
dengan kuat. Para praktisi kesehatan seringkali melakukan mispresentasi antara MB
12  

 
dengan polip nasi dan hal ini sangat berbahaya bila dilakukan tindakan
polipektomi(12).

Gambar 14. Representasi potongan koronal pada ensefalokel sfenoidalis

Gambar 15. Representasi potongan sagital pada ensefalokel sfenoidalis

Gambar 16. Gambar anak usia 1 tahun 5 bulan dengan fistula palatum residual

13  

 
Pemeriksaan penunjang diagnostik yang sering dilakukan adalah pemeriksaan
foto polos kepala untuk mencari defek pada tengkorak, dimana kadang juga
diperlukan pemotretan sisi tertentu. Selain itu pemeriksaan ini juga ditujukan untuk
mendeteksi keadaan patologis penyerta lainnya seperti tekanan tinggi intrakranial,
disproporsi kraniofasial, dan sebagainya (2,4).
Pemeriksaan USG adalah salah satu alternatif untuk mendeteksi defek dan isi
meningokel, bahkan pada bayi yang ubun-ubunnya masih belum menutup maka
diharapkan dapat memberikan informasi lebih lengkap mengenai struktur intrakranial.
Dalam dekade terakhir, USG cenderung berperan lebih luas untuk mendeteksi
kelainan-kelainan semacam ini sewaktu bayi masih dalam kandungan (2,13). Sedangkan
pemeriksaan ventrikulografi dan angiografi saat ini sudah ditinggalkan sehubungan
dengan adanya terobosan-terobosan alat diagnostik yang non invasif seperti USG dan
(2)
CT scan . CT scan adalah pemeriksaan penunjang diagnostik terpilih untuk kasus-
kasus meningokel yang dalam hal ini hampir seluruh informasi dapat diperoleh secara
lengkap(2,3).
Akan tetapi meskipun scanning merupakan pemeriksaan penunjang yang
aman pada foetus, kadangkala resolusi dari otak dan atau susunan saraf pusat dibatasi
oleh bentuk tubuh ibu, cairan amnion/ketuban, dan posisi dari foetus. MRI dapat
memberikan gambaran lebih detail pada pemeriksaan foetus secara non invasif. MRI
sangat membantu pada pemeriksaan kelainan intrakranial seperti meningokel,
malformasi Chiari, holoprosensefali, malformasi Dandy Walker, stenosis akuaduktus,
agenesis korpus kalosum, dan kelainan yang lain (11).
Penanganan terapi merupakan tindakan operasi yang dilakukan sedini mungkin
di mana penderita telah laik untuk menjalaninya. Pada penderita meningokel dengan
tanda-tanda adanya infeksi (ada luka yang terbuka), maka perlu dilakukan perawatan
lokal dan pemberian antibiotika dosis tinggi. Kasus-kasus dengan gejala peningkatan
tekanan intrakranial kiranya membutuhkan tindakan drainase atau pemasangan pintas
ventrikulo-peritoneal terlebih dahulu sebelum dilakukan operasi reseksi
meningokelnya(1,2,3,4).

14  

 
Indikasi terapi definitif meliputi alasan kosmetik, pencegahan kerusakan otak
lebih lanjut, pencegahan ulserasi, ruptur dan kebocoran cairan serebrospinal serta
indikasi perawatan penderita(5,12). Beberapa anak-anak dengan meningokel diterapi
dengan pembedahan (beberapa hari setelah lahir) untuk menutup defek dan menjaga
infeksi atau trauma lebih lanjut. Kontraindikasi operasi adalah keadaan umum
penderita yang jelek dan kerusakan otak hebat dengan hanya sedikit harapan
perkembangan mental. Penyebab utama kerusakan otak adalah herniasi masif
jaringan otak yang disertai anomali otak dan hidrosefalus (5).
Teknik operasi disesuaikan perindividu berdasarkan hasil evaluasi pemeriksaan
diagnostik. Pada kasus yang mempunyai defek tulang relatif kecil dan tanpa disertai
adanya gejala peningkatan tekanan intrakranial maupun infeksi, biasanya dapat
dilakukan reseksi langsung (2,6,10).
Prognosis meningokel sangat bervariasi, secara umum berdasarkan literatur
yang ada, 53% meningokel tanpa disertai kelainan intrakranial mempunyai prognosis
perkembangan fisik dan mental yang cukup baik, 28% perkembangan mentalnya
normal walaupun ada gangguan fisik dan 19% sisanya mengalami retardasi mental.
Adanya hidrosefalus sangat berperan dalam menentukan prognosis keadaan mental
dari kasus di masa mendatang. Hampir separuh dari kasus meningokel juga didapati
hidrosefalus (terjadi pasca operasi reseksi penutupan defek). Mortalitas meningokel
berkisar antara 1-10%, dimana komplikasi tersering adalah infeksi dan komplikasi
‘shunt’. Ukuran dan isi meningokel ikut pula berperan dalam prognosis kasus.
Kelainan fisik yang seringkali muncul adalah epilepsi, gangguan visus sampai buta,
gangguan pendengaran, strabismus, gangguan penciuman, gangguan motorik, dan
gangguan bicara (2,4,10).

15  

 
DAFTAR PUSTAKA

1. Lindsay Kenneth, Bone Ian, Callander Robin, 1991. Neurology and


Neurosurgery Illustrated, 2nd Ed., Churchill Livingstone, UK
2. Listiono LD, Satyanegara, 1998. Cacat Otak Bawaan, Ilmu Bedah Saraf, Ed. 3,
PT Gramedia, Jakarta
3. Wilkin RH, Rengachary SS, 1996. Encephaloceles, Neurosurgery II, Mc Graw
Hill Co, New York,. pp 3573-3580
4. Greenberg MS. Developmental anomalies. In: Greenberg MS, editor. Handbook
of Neurosurgery 6th Editon. New York: Thieme; 2001.p. 94-125.
5. Arifin M, 1995. Pembedahan Ensefalokel Frontoethmoidal. Penelitian
Komparatif Tehnik Osteotomisubfrontal Dengan Eksisiekstrakranial, Karya
Tulis Akhir PPDS I Ilmu Bedah Saraf
6. Suwanwela C, Sukabote C, Suwanwela N: Frontoethmoidal
Encephalomeningocele. Surgery 1971, 69:617-625.
7. Caprioli,J. and Lesser, RL. Basal Encephalocele And Morning Glory Syndrome.
British Journal of Ophthalmology, 1983, 67, 349-351.
8. Etster AD, Branch CL. Transalar Sphenoidal Encephaloceles: Clinical and
Radiologic Findings. Radiology 1989; 170:245-247
9. Hayashi T, Utsonomiya H, Hashimoto T. Transethmoidal Encephalocele. Surg
Neurol. 1985;24:651–655.
10. Pollock JA, Newton TH, Hoyt WF. Transsphenoidal and Transethmoidal
Encephaloceles. Radiology I 968; 90:442-453.
11. Gudinchet F, Brunelle F, Duvoisin B, Ernest C, Couly G, Renier D. The value of
CT and MRI in the assessment of basal encephaloceles in children. Schweiz
Rundsch Med Prax 1992; 81: 1196-1201.
12. Garg P, Rathi V, Bhargava SK, Aggarwal A. CSF Rhinorrhea and Recurrent
Meningitis Caused by Transethmoidal Meningoencephaloceles. Indian Pediatrics
2005; 42:1033-1036

16  

You might also like