You are on page 1of 20

Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.

1, Mei 2018 : 67-86


p-ISSN 0216-0897
e-ISSN 2502-6267
Terakreditasi No. 755/AU3/P2MI-LIPI/08/2016

SINKRONISASI KEBIJAKAN DI BIDANG IZIN PERTAMBANGAN


DALAM KAWASAN HUTAN
(Policy Synchronization in Mining Licenses in Forest Areas)
Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi Kurniawan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim,
Badan Litbang dan Inovasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Jl. Gunung Batu No. 5, Bogor, 16118, Indonesia
Email: syahadatepi@yahoo.com; rudi.subarudi@yahoo.co.id; respect_andri@yahoo.com

Diterima 8 September 2017, direvisi 26 April 2018, disetujui 26 April 2018.

ABSTRACT

The management of licensing system, especially mining permits, is complex because of the inter-sectoral
legal linkages. Legislation has been regulated in such a way that certained procedures must be passed by permit
applicants to obtain izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) and izin usaha pertambangan (IUP). But there is
always a gap between regulations and their implementation which makes the licensing system more complex. The
aims of the research are (a) to identify mining licensing policies in forest area, (b) to synchronize mining licensing
system, and (c) to improve mining licensing system. This study used a content analysis method with a retrospective
process evaluation approach. The results showed that IPPKH policy involves 36 types of regulations consisting of 11
Acts, 13 Government Regulations, nine Presidential Regulations, and three Environment and Forestry Ministerial
Regulations. The IPPKH process is considered less effective because the applicants must get IUP from the Ministry
of ESDM and IPPKH from the Ministry of Environment and Forestry which is managed under One Stop Integrating
Permits system, which only handles the administrative issues as mandated by President Regulation No 97/2014.
The synchronization of IPPKH policy is necessary to accommodate legislation issued by other technical ministries.

Keywords: Policy synchronization; IUP; IPPKH; PTSP.

ABSTRAK
Pengelolaan sistem perizinan khususnya izin pertambangan sangatlah kompleks karena keterkaitan hukum lintas
sektor. Peraturan perundangan telah mengatur sedemikian rupa prosedur/mekanisme perizinan yang harus dilewati
oleh pemohon izin yang ingin mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan izin usaha pertambangan
(IUP), namun selalu terdapat gap antara peraturan dengan implementasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah: (a)
mengidentifikasi kebijakan perizinan pertambangan dalam kawasan hutan, (b) menyinkronkan sistem perizinan
pertambangan, dan (c) menyempurnakan sistem perizinan pertambangan. Kajian ini menggunakan metode analisis
isi dengan pendekatan evalusi proses retrospektif. Hasil penelitian menunjukan kebijakan IPPKH melibatkan 36
jenis peraturan yang terdiri dari 11 unit UU, 13 unit PP, sembilan unit Perpres, dan tiga unit PermenLHK. Proses
IPPKH dinilai kurang efektif karena melibatkan dua pintu kementerian, yaitu Kementerian ESDM untuk IUP dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk IPPKH. Kedua izin tersebut dikelola melalui Perizinan
Terpadu Satu Pintu, yang masih bersifat administratif belaka sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 97 Tahun
/2014. Sinkronisasi kebijakan IPPKH sangat diperlukan untuk mengakomodir peraturan perundangan yang
diterbitkan oleh kementerian teknis lainnya.

Kata kunci: Sinkronisasi kebijakan; IUP; IPPKH; PTSP.

©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2018.15.1.67-86 67
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

I. PENDAHULUAN Subarudi, & Setiadi, 2016). Persoalan


Tantangan kehutanan saat ini dan perizinan pertambangan tidak terlepas
kedepan adalah tekanan yang tinggi terhadap dari sistem birokrasi yang melingkupinya,
kawasan hutan untuk memenuhi kebutuhan karena perizinan pertambangan sangat
pengembangan investasi dan praktek dekat dengan praktek “gratifikasi” yang
pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. menjadi domain para birokrat sebelum
Semua ini belum sepenuhnya mengikuti usaha tersebut berjalan dalam koridor usaha
ketentuan teknis yang seharusnya (Syahadat yang seharusnya (Subarudi, 2014). Majalah
& Dwiprabowo, 2013). Sumberdaya hutan Tempo telah mengungkapan secara jelas dan
memiliki peran sebagai penghasil berbagai transparan praktik-praktik penyimpangan
barang dan jasa sehingga menarik untuk dalam pengurusan IPPKH untuk usaha
semua sektor di luar sektor kehutanan untuk pertambangan di kawasan hutan termasuk
menggunakan kawasan hutan. Oleh karena aktor-aktornya (Subarudi, 2014). Oleh karena
itu, hal ini perlu menjadi perhatian dan itu cita-cita mewujudkan good governance
penanganan yang serius dari pemerintah dan clean government merupakan tuntutan
(Syahadat & Sylviani, 2014). fundamental bagi tatanan masyarakat global,
Pengelolaan dan penanganan sistem maupun lokal (Thantowi, 2014).
perizinan khususnya izin pertambangan Untuk mengatasi hal tersebut, maka
sangatlah kompleks karena melibatkan dikeluarkan Peraturan Presiden (Perpres)
lintas sektor. Sebagai contoh proses IUP di Nomor 97/2014 tentang Pelayanan Terpadu
areal penggunaan lain (APL) diterbitkan Satu Pintu (PTSP), dimana dalam Pasal
oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya 4 dinyatakan bahwa ruang lingkup PTSP
Mineral (ESDM), akan tetapi apabila lahan meliputi seluruh pelayanan perizinan dan
pertambangan yang dimohon tersebut masuk non-perizinan. Dalam upaya mendukung
dalam kawasan hutan maka pemegang IUP perwujudan PTSP diperlukan dukungan dan
harus mengurus IPPKH di Kementerian penanganan yang transparan dan akuntabel
Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). oleh semua pihak khususnya terkait sistem
Keberadaan Undang-Undang (UU) di perizinan pertambangan dalam kawasan
Indonesia masih bersifat sektoral yang hutan sebagai upaya percepatan perizinan
lebih mementingkan sektornya karena dan meningkatkan jumlah investor yang
penyusunannya berasal dari kementerian tertarik di bidang usaha LHK. Prosedur
terkait sektor tersebut. Akibatnya proses perizinan dan peraturan yang jelas dan pasti
perizinan pada masing-masing sektor seperti akan menciptakan iklim usaha yang kondusif
kehutanan, pertambangan dan lingkungan (Subarudi, 2008).
hidup diatur oleh UU dan kementerian Berkaitan dengan hal tersebut di atas, maka
tersendiri (Rosadi, 2008). kajian Sinkronisasi Kebijakan Perizinan
Dalam pengurusan izin usaha pertambangan Pertambangan Dalam Kawasan Hutan menjadi
(IUP) masih saja menimbulkan persoalan penting untuk dilaksanakan karena akan
bagi para pemohon izin atau investor yang memberi masukan untuk reformasi kebijakan
akan menanamkan modalnya. Izin Pinjam perizinan di bidang LHK sebagai salah satu
Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) untuk sektor bagian dari agenda reformasi birokrasi di
pertambangan misalnya, masih juga menjadi Kementerian LHK. Pertanyaan penelitian
kendala dengan berbagai prosedur yang ini yang akan dijawab adalah: (i) Apakah
berbelit-belit dan terkadang “bernuansa” sinkronisasi sistem perizinan pertambangan
menimbulkan biaya transaksi yang tinggi dalam kawasan hutan diperlukan? (ii)
untuk setiap IUP di kasawan hutan, (Syahadat, Apakah proses pengurusan IPPKH sudah

68
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Sumber (Source): Data diolah (Data analyzed).


Gambar 1. Alur pikir kajian sinkronisasi kebijakan perizinan pertambangan dalam kawasan hutan.
(Figure 1. Logical framework of the reserach on synchronization of mining permit policy in forest area).

sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik B. Ruang Lingkup Kegiatan
(good governance)?; dan (iii) Sejauhmana Ruang lingkup penelitian Sinkronisasi
penyempurnaan kebijakan IPPKH diperlukan? Kebijakan Perizinan Pertambangan dalam
Maksud dari kajian ini adalah merumuskan Kawasan Hutan, adalah kebijakan yang berlaku
kebijakan perizinan pertambangan dalam saat ini terkait perizinan pertambangan yang
kawasan hutan yang efektif. Adapun tujuan diterbitkan oleh Kementerian Lingkungam
dari penelitian ini adalah: (a) mengidentifikasi Hidup dan Kehutanan (d/h Kementerian
kebijakan perizinan pertambangan dalam Kehutanan) dan Kementerian ESDM serta
kawasan hutan, (b) menyinkronkan sistem menitik beratkan pada sistem perizinan
perizinan pertambangan, dan (c) menyusun pertambangan yang berada dalam kawasan
upaya penyempurnan kebijakan IPPKH. hutan.
Penelitian sinkronisasi di bidang perizinan
pertambangan di kawasan hutan saat ini masih C. Metode Pengumpulan Data
terbatas dilakukan oleh peneliti lain sehingga Data yang dikumpulkan berupa data
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi primer dan data sekunder yang dilakukan
bahan untuk penyempurnakan kebijakan pada bulan Maret sampai dengan Oktober
perizinan tambang di kawasan hutan yang 2016 sebagaimana tercantum pada Tabel 1.
sesuai tata kelola kehutanan yang baik. Data primer meliputi persepsi pemangku
kepentingan terhadap ketentuan pengurusan
II. METODE PENELITIAN perizinan (mengenai persyaratan, lama
pengurusan dan biaya yang harus dikeluarkan
A. Pendekatan (Kerangka Pemikiran)
oleh para pemohon izin). Jumlah responden
Alur pikir yang digunakan dalam penelitian yang diwawancarai sebanyak 20 orang yang
ini berfokus pada gap (kesenjangan) antara berasal dari Kementerian LHK; Kementerian
peraturan yang ada dengan implementasinya ESDM; Kementerian Perindustrian,
di lapangan. (Gambar 1). Kementerian Perdagangan; pemerintah

69
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

provinsi dan kabupaten/kota serta pemohon pemerintah daerah serta stakeholder terkait
atau perusahaan yang terkait dalam perizinan untuk mengidentifikasi permasalahan terkait
LHK (Tabel 1). Data primer ini dikumpulkan IPPKH dan upaya solusinya, serta saran dan
melalui wawancara langsung dan focus rekomendasi untuk penyempurnaan kebijakan
group discussion (FGD) dengan para IPPKH di masa datang.
pihak terkait seperti pemerintah pusat dan
Tabel 1. Data dan informasi yang dikumpulkan
Table 1. Data and information collected

Jenis data Sumber data


Data yang dikumpulkan Cara pengumpulan
No. Type of (Data source)
(Data will be collected) (How to collect)
data)
1. Daftar dan Jenis IUP dan IPPKH Sekunder Ditjen PHPL, Ditjen PKTL, Studi laporan
yang sudah dikeluarkan. dan Kementerian ESDM tahunan dan
(List and type of mining and lease website
forest area licenses)
2. Target dan realisasi pelaksanaan Sekunder Dirjen PHPL, Dirjen PKTL, Studi laporan hasil
pemberian IPPKH. dan Kementerian ESDM pemberian pinjam
(Target and realization of pakai kawasan
implementation of lease forest area hutan
license)
3. Peraturan-peraturan yang terkait Sekunder Ditjen PHPL, Ditjen PKTL, Studi laporan
dengan sistem pemberian IPPKH. dan Kementerian ESDM, tahunan dan
(Regulations related to the Pusinfo dan pemerintah website
implementation of lease forest area daerah (pemda) terkait
license)
4. Instansi, lembaga-lembaga terkait Primer Ditjen PHPL, Ditjen PKTL, Wawancara
dengan pemberian IPPKH. dan Kementerian ESDM,
(Institutional related to the Pusinfo dan pemda Terkait
implementation of lease forest area
license)
5. Efektivitas pemberian izin Primer Pejabat kehutanan di Pusat, Wawancara
pertambangan. Provinsi dan Kabupaten
(Efectivity of the implementation of serta pemohon izin
mining licenses)
6. Dampak sosial budaya, ekonomi dan Primer Pejabat dan masyarakat Wawancara
lingkungan dengan terbitnya izin
pertambangan dalam kawasan hutan
(Impacts of socio culture, economy
and environment on the issued
mining license in forest area).
7. Pendapat pejabat dan pemohon Primer Pejabat dan pemohon izin Wawancara
izin tentang tolok ukur efektivitas
pengurusan IPPKH
(Perceptions of government officials
and applicants on indicators for
effective lease forest area license)
Keterangan (Remarks): Ditjen PHPL: Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (Directorate
General of Sustainable Production Forest Management), Ditjen PKTL: Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan
dan Tata Lingkungan (Directorate General of Forestry and Environmental Planning), Pusinfo: Pusat Informasi
(Information Center).
Sumber (Source): Data diolah (Data analyzed).

70
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Data sekunder terdiri dari jenis dan jumlah yang dialami oleh para pemohon izin. Sebagai
IPPKH yang sudah dikeluarkan, target dan contoh sistem perizinan pertambangan dalam
realisasinya, serta peraturan perundangan kawasan hutan ditetapkan targetnya maksimal
yang mendukungnya. Data sekunder ini 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana diatur dalam
dikumpulkan melalui kunjungan ke lembaga Perpres Nomor 97 Tahun 2014 tentang
penelitian terkait, instansi pemerintah serta Perizinan Terpadu Satu Pintu.
publikasi yang relevan.
D. Analisis Data III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan metode A. Kebijakan Bidang Lingkungan
kualitatif yang bertujuan menjelaskan sesuatu Hidup dan Kehutanan terkait Usaha
seperti apa adanya (as it is) dan secara Pertambangan
lebih mendalam (Irawan, 2007). Analisis Pelaksanaan kebijakan Perpres Nomor
isi dan substansi peraturan perundangan 97 Tahun 2014 harus dijabarkan ke dalam
menggunakan metode content of analysis peraturan dari masing-masing instansi baik
yang dikembangkan oleh Bungin (2001). di tingkat pusat maupun daerah karena
Analisis isi digunakan untuk melihat sejauh Perpres tersebut berlaku dan bersifat umum.
mana perbedaan isi dan substansi dari Sebagai contoh di tingkat pusat, persyaratan
produk kebijakan terkait sistem perizinan dan mekanisme perizinan pertambangan di
pertambangan berupa peraturan perundangan kawasan hutan dituangkan dalam Peraturan
yang diterbitkan oleh kementerian teknis Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
lainnya. Kebijakan tersebut kemudian di (PermenLHK) Nomor P.50/Menlhk/Setjen/
evaluasi dengan pendekatan evalusi proses Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai
retrospektif. Evaluasi proses retrospektif Kawasan Hutan (P3KH). Kemudian di tingkat
adalah evaluasi yang meliputi pemantauan/ provinsi dikeluarkan Peraturan Gubernur
evaluasi program setelah program tersebut (Pergub) Jawa Barat Nomor 92 Tahun 2014,
diterapkan untuk jangka waktu tertentu Pergub Provinsi Kalimantan Timur Nomor
(Cahyadi, Ichwandi, & Nurrochmat, 2015). 48 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Hal tersebut difokuskan pada masalah/kendala Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T). Maksud
yang terjadi selama implementasi berlangsung, dari ditetapkannya peraturan tersebut adalah
evaluasi ini lebih menggantungkan pada sebagai dasar tindak lanjut penyelenggaraan
deskripsi ex post (retrospektif) tentang perizinan dan non-perizinan melalui
aktivitas kebijakan yang selanjutnya penyelenggara PTSP yang telah mendapatkan
berhubungan dengan dampak yang diperoleh, pelimpahan atau pendelegasian kewenangan
dengan kriteria evaluatif yang digunakan dari pemerintah dan gubernur.
adalah efektifitas. Efektifitas berkenaan Pembentukan penyelengaraan P2T pada
dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan
atau tujuan yang diharapkan. Dalam penelitian birokasi pelayanan perizinan dalam berbagai
ini efektifitas sistem perizinan IPPKH diukur bentuk, antara lain mempercepat waktu
dari keberhasilan dalam memperoleh izin pelayanan dengan mengurangi tahapan-
pertambangan sesuai dengan ketentuan yang tahapan kegiatan dalam pelayanan yang
berlaku dalam peraturan, yaitu dengan cara kurang penting (Perpres Nomor 97 Tahun
membandingkan prosedur operasi standar 2014). Diharapkan dengan sistem P2T ini,
(SOP) antara biaya dan lamanya proses yang penyelenggaraan pelayanan perizinan di
terdapat dalam peraturan perundangan yang pusat dan daerah menjadi lebih transparan,
diterbitkan oleh instansi terkait dan/atau akuntabel, mudah, murah dan dapat diakses
Kementerian LHK dengan implementasinya oleh semua pihak yang membutuhkan sebagai

71
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

upaya mencapai good governance. B. Waktu dan Biaya dalam Proses


Dalam mendukung hal tersebut, Perpres Pengurusan IPPKH
Nomor 97 Tahun 2014 ditindaklanjuti oleh Jenis perizinan yang menjadi kewenangan
Kementerian LHK dengan mengeluarkan dari Kementerian LHK terkait perizinan
PermenLHK Nomor P.97/Menhut-II/2014. pertambangan diatur dalam PermenLHK
Jo P.1/Menhut-II/2015 tentang Pendelegasian Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016
Wewenang Pemberian Perizinan dan Non- tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Perizinan di Bidang Lingkungan Hidup (P3KH). Dalam Permen tersebut dijelaskan
dan Kehutanan kepada Badan Koordinasi bahwa pengurusan IPPKH membutuhkan
Penanaman Modal (BKPM). BKPM adalah waktu 31 hari (tidak termasuk perbaikan/
sebuah badan layanan penanaman modal penyempurnaan), dimana permohonan IPPKH
Pemerintah Indonesia yang dibentuk dengan wajib dilengkapi persyaratan administrasi dan
maksud untuk menerapkan secara efektif teknis. Selanjutnya persyaratan administrasi
penegakan hukum terhadap penanaman adalah rekomendasi gubernur dan persyaratan
modal asing maupun dalam negeri. Sebagai teknis harus ada izin lingkungan. Untuk
penghubung antara dunia usaha dan rekomendasi gubernur membutuhkan waktu
pemerintah, BKPM diberi mandat untuk 30 hari dan izin lingkungan 105 hari. Dengan
mendorong investasi langsung, baik dari kata lain dalam pengurusan IPPKH yang
dalam maupun luar negeri, melalui penciptaan sesungguhnya mungkin bisa lebih lama dari
iklim investasi yang kondusif (Destiana, jangka waktu yang tertera diperaturan tersebut.
2011). Hal ini didukung oleh hasil wawancara
Pendelegasian izin LHK ke BPKM dengan pemohon IPPKH yang menyatakan
memudahkan pelayanan perizinan, sehingga bahwa waktu pengurusan IPPKH cukup lama
para investor dapat menghemat biaya antara 6-18 bulan per izin.
pengurusan izin karena tidak perlu lagi Di samping itu, Permen tersebut juga tidak
mendatangi berbagai kementerian/lembaga secara jelas mencantumkan berapa biaya yang
(K/L). Dalam hal ini Kepala BKPM dapat dibutuhkan dalam pengurusan izin. Hanya
menerbitkan izin di bidang LHK, tetapi tinjauan disebutkan dalam pemenuhan persyaratan
atau kajian teknis LHK tetap dilakukan oleh administrasi harus membuat pernyataan
KemenLHK. Perizinan dan non-perizinan di dalam bentuk akta notariil yang menyatakan
Bidang LHK yang didelegasikan ke BKPM kesanggupan untuk memenuhi semua
salah satunya mengenai izin penggunaan kewajiban dan kesanggupan menanggung
kawasan hutan pada hutan produksi dan hutan seluruh biaya sehubungan dengan permohonan
lindung dengan skema IPPKH. Peraturan izinnya. Sebenarnya peraturan perundang-
perundangan yang mendasari penerbitan undangan telah mengatur sedemikian rupa
IPPKH sesuai PermenLHK Nomor P.50/ tentang jangka waktu perizinan yang harus
Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang dilewati oleh perusahaan ataupun masyarakat
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan terdiri yang ingin mendapatkan izin penggunaan
dari 11 unit UU, 13 unit Peraturan Pemerintah kawasan hutan. Namun demikian selalu
(PP), sembilan unit Peraturan Presiden terdapat gap antara apa yang tercantum dalam
(Perpres)/Keputusan Presiden (Kepres), dan peraturan dengan fakta atau kenyataan yang
tiga unit PermenLHK. Sebagian peraturan terjadi selama ini. Tata cara pengurusan
terkait telah dikaji substansinya sebagaimana perizinan IPPKH dapat dilihat pada Gambar
tercantum pada Tabel 2. 2.

72
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Tabel 2. Peraturan perundangan terkait penerbitan IPPKH


Table 2. Regulations related to Lease Forest Area Lincense

Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
1. Undang-Undang (UU) Nomor Penggunaan kawasan hutan untuk Izin pinjam pakai kawasan hutan
41 Tahun 1999 (Kehutanan) kepentingan pembangunan di luar kegiatan (IPPKH) untuk usaha tambang
kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam diterbitkan oleh Menteri dengan
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan mempertimbangkan luas,
lindung dan dilakukan tanpa mengubah jangka waktu dan kelestarian
fungsi pokok kawasan hutan. Khusus lingkungan.
untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai
oleh Menteri dengan mempertimbangkan
batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan (Pasal 38).
2. UU Nomor 32 Tahun 2009 Setiap usaha dan/atau kegiatan yang Kegiatan pertambangan
(Perlindungan dan Pengelolaan berdampak penting terhadap lingkungan termasuk kegiatan usaha yang
Lingkungan Hidup) hidup wajib memiliki amdal (Pasal 23). berdampak pada lingkungan
Kriterianya: (a) Pengubahan bentuk lahan karena telah memenuhi empat
dan bentang alam; (b) Eksploitasi sumber kriteria usaha berdampak
daya alam (SDA), baik yang terbarukan penting sehingga wajib
maupun yang tidak terbarukan; (c) Proses memiliki amdal.
dan kegiatan yang secara potensial
dapat menimbulkan pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup serta
pemborosan dan kemerosotan sumber
daya alam dalam pemanfaatannya; dan (d)
Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat
memengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya
(Pasal 24).
3. UU Nomor 4 Tahun 2009 Mineral dan batubara (Minerba) sebagai Kegiatan usaha pertambangan
(Pertambangan Mineral dan SDA yang tak terbarukan merupakan minerba diselenggarakan oleh
Batubara) kekayaan nasional yang dikuasai oleh Pemerintah dan pemda untuk
negara untuk sebesar-besar kesejahteraan sebesar-besar kesejahteraan
rakyat. Penguasaan minerba oleh negara rakyat.
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah (Pasal 4).
4. UU Nomor 26 Tahun 2007 Rencana pola ruang meliputi peruntukan Patokan kawasan hutan 30%
tentang Penataan Ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya yang digunakan dalam proses
meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan permohonan IPPKH khususnya
pelestarian lingkungan, sosial, budaya, di kawasan budidaya, walaupun
ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Dalam keberadaan tambang secara
rangka pelestarian lingkungan, rencana tata alami tidak dapat ditentukan
ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan keberadaannya baik di kawasan
paling sedikit 30% dari luas daerah aliran lindung atau kawasan budidaya.
sungai (DAS). Penyusunan rencana tata
ruang harus memperhatikan keterkaitan
antar wilayah, antar fungsi kawasan, dan
antar kegiatan kawasan (Pasal 17).
5. Peraturan Pemerintah (PP) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib Izin lingkungan saling berkaitan
Nomor 27 Tahun 2012 (Izin memiliki amdal atau Upaya Pengelolaan dengan Amdal dan UKL-UPL
Lingkungan) Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya untuk suatu kegiatan usaha
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) wajib pertambangan.
memiliki izin lingkungan. Izin llngkungan
tersebut diperoleh melalui tahapan kegiatan
yang meliputi (a) penyusunan amdal
dan UKL- UPL; (b) penilaian amdal dan
pemeriksaan UKL-UPL; dan (c) permohonan
dan penerbitan izinnya.

73
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
6. PP Nomor 6 Tahun 2007 jo Tata hutan dan penyusunan rencana KPH sebaiknya dilibatkan
PP Nomor 3 Tahun 2008 pengelolaan hutan, serta pemanfaatan dalam proses pengurusan IPPKH
(Tata Hutan dan Penyusunan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan di hutan produksi (pengelola
Rencana Pengelolaan Hutan dan kewenangan pemerintah dan pemda. Kesatuan Pengelolaan Hutan
Pemanfaatan Hutan) Kawasan hutan (produksi, konservasi Produksi/ KPHP) dan di hutan
dan lindung) terbagi dalam kesatuan lindung (pengelola Kesatuan
pengelolaan hutan (KPH) yang menjadi Pengelolaan Hutan Lindung/
bagian dari penguatan sistem pengurusan KPHL).
hutan nasional, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota (Pasal 3).
7. PP Nomor 24 Tahun 2012 Keberadaan UU Nomor 4 Tahun 2009 untuk UU Nomor 4 Tahun 2009
(Kegiatan Usaha Pertambangan memberi (i) kesempatan lebih besar kepada menjadi dasar untuk negosiasi
Minerba) peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dan pengalihan saham untuk
dalam kegiatan usaha pertambangan pemegang KK dan PKP2B serta
minerba, perlu mewajibkan modal asing merubahnya menjadi IUP.
untuk mengalihkan sebagian sahamnya
kepada peserta Indonesia, dan (ii) kepastian
hukum bagi pemegang Kontrak Karya
(KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) yang
bermaksud untuk melakukan perpanjangan
dalam bentuk IUP, perlu diatur mengenai
tata cara permohonan IUP dimaksud.
8. PP Nomor 26 Tahun 2008 Penataan ruang wilayah nasional RTRWN menjadi pedoman
(Rencana Tata Ruang Nasional) (RTRWN) bertujuan untuk mewujudkan untuk (i) pewujudan
(a) ruang wilayah nasional yang aman, keterpaduan, keterkaitan, dan
nyaman, produktif, dan berkelanjutan; (b) keseimbangan perkembangan
keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah antar wilayah provinsi, serta
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (c) keserasian antar sektor, (ii)
keterpaduan pengendalian pemanfaatan penetapan lokasi dan fungsi
ruang wilayah nasional, provinsi, dan ruang untuk investasi, dam
kabupaten/kota dalam rangka pelindungan (iii) penataan ruang kawasan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif strategis nasional.
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang; dan (d) pemanfaatan sumber daya
alam secara berkelanjutan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat (Pasal 2).
9. Perpres Nomor 97 Tahun 2014 Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PTSP ini penting dan
(Pelayanan Terpadu Satu Pintu) adalah pelayanan secara terintegrasi merupakan terobosan untuk
dalam satu kesatuan proses dimulai dari menyediakan proses pelayanan
tahap permohonan sampai dengan tahap yang terintegrasi dalam satu
penyelesaian produk pelayanan melalui pintu yang cepat, mudah,
satu pintu (Pasal 1). PTSP bertujuan: murah, transparan, pasti, dan
(a) memberikan perlindungan dan terjangkau
kepastian hukum kepada masyarakat;
(b) memperpendek proses pelayanan;
(c) mewujudkan proses pelayanan yang
cepat, mudah, murah, transparan, pasti,
dan terjangkau; dan (d) mendekatkan dan
memberikan pelayanan yang lebih luas
kepada masyarakat (Pasal 2).

74
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
10. Peraturan Menteri Lingkungan Ada tujuh bidang LHK yang didelegasikan Proses perizinan yang telah
Hidup dan Kehutanan Nomor ke BKPM, yaitu (i) Pemanfaatan hasil hutan diterbitkan untuk ketujuh
P.97/MENHUT-II/2014 Jo kayu/bukan kayu hutan pada hutan produksi/ bidang LHK dengan jenis
Nomor P.1/Menhut-II/2015 hutan lindung (HP/HL) (enam jenis izin), (ii) izinnya masing-masing perlu
tentang Pendelegasian Pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) pada dibuka aksesnya untuk publik.
Wewenang Pemberian HP/HL (lima jenis izin), (iii) Pemanfaatan
Perizinan dan Non Perizinan kawasan pada HP/HL (dua jenis izin), (iv)
di Bidang Lingkungan Hidup Penggunaan kawasan hutan pada hutan
dan Kehutanan dalam Rangka produksi/lindung, pelepasan, tukar menukar
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu (tiga jenis izin), (v) Pengusahaan pariwisata
Satu Pintu Kepada Kepala alam/ bidang KSDA (16 jenis izin), (vi)
Badan Koordinasi Penanaman Perbenihan tanaman hutan (dua jenis izin),
Modal dan (viii) lingkungan (satu jenis izin).
11. Peraturan Menteri Lingkungan Rekomendasi Dirjen PHPL untuk IPPKH Perlu informasi yang jelas
Hidup dan Kehutanan di hutan produksi dihilangkan dan diganti terkait perubahan skema
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/ dengan Dirjen Minerba, Kementerian rekomendasi dari Dirjen PHPL
Kum.1/6/2016 ESDM, namun rekomendasi Perhutani masih (Peraturan Menteri Kehutanan
tentang Pedoman Pinjam Pakai dipertahankan untuk IPPKH di kawasan Nomor P.16/Menhut-II/2014) ke
Kawasan Hutan hutan di Pulau Jawa. Dirjen Minerba (PermenLHK
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/
Kum.1/6/2016 tahun 2016
tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan)
12. Peraturan Menteri Lingkungan Komisi penilai mempunyai tugas (i) menilai Proses pemilihan anggota
Hidup Nomor 5 tahun 2008 kerangka acuan (KA), analisis dampak komisi penilai andal harus
tentang Tata Kerja Komisi lingkungan (ANDAL), rencana kelola dilakukan dengan selektif,
Penilai Analisis Mengenai lingkungan (RKL), dan rencana pengelolaan cermat dan tepat karena sangat
Dampak Lingkungan Hidup lingkungan (RPL); dan (ii) memberikan mempengaruhi hasil keputusan
masukan dan dasar pertimbangan dalam yang dibuatnya.
pengambilan keputusan KA dan kelayakan
lingkungan hidup atas suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan kepada 1. Menteri untuk
komisi penilai pusat; 2. Gubernur untuk
komisi penilai provinsi; 3. Bupati/Walikota
untuk komisi penilai kabupaten/kota. Dalam
melaksanakan tugasnya, komisi penilai
wajib mengacu pada (a) kebijakan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan;
(b) rencana tata ruang wilayah; dan (c)
kepentingan pertahanan keamanan.
Sumber (Source): Dari berbagai sumber peraturan perundangan, diolah (From various sources of legislation,
analyzed).

C. Kebijakan Sistem Perizinan dilaksanakan. Namun dalam pelaksanaannya


Pertambangan Dalam Kawasan Hutan perizinan dalam bidang pertambangan belum
Dalam tataran nasional, pemerintah telah dapat dilaksanakan dalam konsep pelayanan
dan sedang mengembangkan suatu sistem satu atap, karena keterkaitannya dengan
perizinan satu atap yang dikenal dengan undang-undang kehutanan (Putra, 2010).
Program Nasional Single Window, sebagai Misalnya, walaupun IUP dari Kementerian
upaya pelayanan terpadu dari pemerintah ESDM, tetap tidak dapat dilaksanakan karena
bagi pelaku usaha dalam mengurus berbagai tidak keluarnya IPPKH dari Kemen LHK.
perizinan terkait kegiatan usaha yang hendak Dengan keterkaitan hukum antar sektor

75
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

Sumber (Source): Permen LHK Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016


Gambar 2. Tata cara permohonan izin pinjam pakai kawasan hutan.
Figure 2. Procedures for application of forest land use permit.

tersebut, pelaksanaan pengaturan kebijakan pusat dan daerah, sehingga pada akhirnya
pertambangan seharusnya juga menyentuh akan memberikan ketidakpastian berusaha
kebijakan secara lintas sektor yang mencakup bagi kegiatan usaha pertambangan (Silalahi
teknis pelaksanaan maupun pendukung & Kristianto, 2011).
sarana dan prasarananya. Contohnya Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
keterkaitan hukum undang-undang Minerba kebijakan sistem perizinan pertambangan
dalam sistem perizinan, dengan adanya dalam kawasan hutan perlu dikaji dari
ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 berbagai sudut, antara lain (i) Persyaratan
(PPLH) yang mewajibkan izin lingkungan perizinannya; (ii) Tata cara pemberian sistem
sebagai syarat izin kegiatan, termasuk perizinannya, (iii) Permasalahan IUP, (iv)
kegiatan usaha pertambangan. Keharusan Implikasi kelemahan UU Minerba, dan (v)
usaha pertambangan mendapatkan terlebih Aturan pelaksana dan aspek lingkungan dari
dahulu izin lingkungan sebagai pra-syarat UU Minerba.
memperoleh IUP menimbulkan masalah Namun sebelum dibahas lebih lanjut
terhadap gagasan sistem izin satu atap. akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai
Permasalahan lain terkait dengan pengaturan pengaturan penggunaan dan pengusahaan
tata ruang yang dalam pelaksanaan masih pertambangan, karena subtansi ini yang
sering menimbulkan tumpang-tindih antar menjadi parameter mendasar dalam
sektor bertalian dengan beragamnya jenis pengaturan hukum pertambangan yang
pemanfaat ruang kegiatan pertambangan dan berlaku saat ini. Pada masa berlakunya
perbedaan kepentingan antara pemerintah UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang

76
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Ketentuan Pokok-Pokok Pertambangan, yang melakukan usaha pertambangan


sistem pengelolaan pertambangan yang wajib memenuhi persyaratan administratif,
dikembangkan pemerintah sebelumnya teknis, lingkungan dan finansial yang sama
adalah sistem kontrak, sedangkan UU yang dengan persyaratan-persyaratan yang harus
berlaku saat ini adalah UU Nomor 4 Tahun dipenuhi untuk mendapatkan tipe-tipe IUP
2009 tentang Pertambangan Mineral dan yang lain (IPR hanya persyaratan teknis)
Batubara (Minerba) dengan sistem perizinan dan diatur dalam PP sebagai peraturan
sehingga pergantian Undang-Undang pelaksana kegiatan usaha pertambangan (IPR
mengenai pertambangan yang terjadi diikuti oleh Peraturan Daerah/Perda). Peraturan
pula dengan perubahan sistem pengelolaan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 sebagai PP
yang terdapat dalam substansinya (Silalahi & pelaksana UU Minerba tersebut menetapkan
Kristianto, 2011). bahwa persyaratan lingkungan diatur bagi
UU Nomor 4 Tahun 2009 tidak hanya pelaku kegiatan usaha pertambangan untuk
merumuskan IUP dalam satu jenis saja, menyatakan kesanggupannya mematuhi
melainkan mengklasifikasikan sistem peraturan perundang-undangan di bidang
perizinan dalam 3 jenis yang terdiri atas 1) perlindungan dan pengelolaan lingkungan
IUP adalah izin untuk melaksanakan usaha hidup.
pertambangan; 2) Izin Pertambangan Rakyat 2. Pemberian izin usaha pertambangan
(IPR) merupakan izin untuk melaksanakan
Membahas kembali mengenai subtansi IUP
usaha pertambangan dalam wilayah
pada dasarnya ketentuan yang terdapat pada
pertambangan rakyat dengan luas wilayah
masing-masing jenis izin usaha pertambangan
dan investasi terbatas; dan 3) Izin Usaha
secara umum memuat mengenai pemberian
Pertambangan Khusus (IUPK) merupakan
izinnya. Dalam subtansi IUP, pemberian izin
izin untuk melaksanakan usaha pertambangan
usaha oleh bupati/walikota, gubernur maupun
di wilayah izin usaha pertambangan khusus.
menteri didasarkan pada lokasi wilayah IUP
Masing-masing izin usaha pertambangan
bersangkutan dan peruntukan IUP kepada
tersebut selain IPR memiliki 2 tahapan
badan usaha (Penanaman Modal Asing
yaitu pertama, Eksplorasi meliputi kegiatan
(PMA)/Penanaman Modal Dalam Negeri
penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi
(PMDN)), koperasi dan perseorangan.
kelayakan; dan kedua, Operasi Produksi
Kemudian subtansi IPR diatur untuk
yang meliputi kegiatan konstruksi,
(i) wilayah yang hanya mencakup tingkat
penambangan, pengolahan dan pemurnian,
kabupaten/kota, dan berada dalam
serta pengangkutan dan penjualan.
kewenangan bupati/walikota bersangkutan
Memperhatikan dari ketentuan tersebut dan (ii) izinnya diperuntukkan atau diberikan
diketahui bahwa bentuk izin pertambangan bagi penduduk lokal/setempat dan koperasi,
tidak hanya 1 macam saja sehingga untuk serta (iii) pengusahaan pertambangan rakyat
membahas lebih mendalam mengenai izin ini diatur lebih lanjut lewat Perda.
pertambangan, maka penulis mengambil IUPK hanya diperuntukkan bagi badan
ketentuan yang subtansi ketentuannya usaha yang berbadan hukum Indonesia baik
dianggap mewakili jenis bentuk izin itu Badan Usaha Milik Negara (BUMN),
pertambangan lainnya karena hal subtansi Badan Usaha Milik Daerah (BUMD),
yang membedakan hanyalah dalam hal maupun Badan Usaha Milik Swasta (BUMS),
peruntukkan dan wilayah pertambangannya. tetapi lebih diprioritaskan kepada BUMN/
1. Persyaratan izin usaha pertambangan BUMD. Pemberian izin ini didasari oleh sifat
UU Nomor 4 Tahun 2009 mengatur bahwa pengusahaan pertambangannya yang khusus,
badan usaha, koperasi dan perseorangan mengenai wilayah pertambangan bahwa

77
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

wilayah pertambangan khusus (WUPK) 5.000 m². Pada kenyatannya persyaratan


itu merupakan wujud perubahan status dari tersebut sudah tidak relevan di berbagai
wilayah pencadangan negara (WPN) yang daerah. Bangka Belitung misalnya, luas
merupakan bagian dari wilayah pertambangan, wilayah 5.000 m² itu sudah tidak ada lagi. Jika
karena kepentingan strategis nasional maka mengacu pada aturan tadi, otomatis di daerah
dibutuhkan WPN tersebut. Satu WUPK tersebut tidak bisa dibuka IUP baru. Aturan
biasanya terdiri dari 1 (satu) atau beberapa mengenai luas wilayah IUP yang 5.000 m²
wilayah izin usaha pertambangan (WIUPK), itu adalah untuk membatasi izin. Berdasarkan
sehingga kegiatan usaha pertambangan di data Kementerian ESDM, mencatat sudah ada
WUPK harus dilakukan dalam bentuk IUPK. lebih dari 10.000 IUP. Kondisi yang demikian
IUP diberikan setelah adanya penetapan perlu diperhatikan secara serius karena
WUP, sedangkan WUP sendiri merupakan kalau tidak memperketat persyaratan izin,
bagian dari tata ruang nasional yang ditetapkan berdampak pada bertambahnya jumlah izin
oleh pemerintah setelah koordinasi dengan yang tidak terkontrol. (Syahadat et al., 2016).
Pemda dan DPR. Oleh karena itu, sebelum Permasalahan lainnya, Pertama, kurangnya
adanya penetapan oleh pemerintah tentang aspek pengawasan dalam pemberian izin.
tata ruang nasional wilayah pertambangan Bisa dibayangkan bahwa di Kabupaten Kutai
dengan ditunjang data geologis secara tepat, Kartanegara sudah menerbitkan ratusan izin
maka pengeluaran izin penambangan belum tapi ternyata tenaga pengawas (inspektur)
boleh dikeluarkan oleh pemerintah daerah. tambangnya hanya dalam hitungan jari.
Sehingga pengeluaran IUP dan semacamnya Misalnya saja luas tambang illegal dikawasan
itu tergantung dari sudah atau belum WUP hutan di Kaltim mencapai dua kali lipat dari
ditetapkan oleh pemerintah yang berupa luasan tambang yang resmi. Jumlah tambang
tata ruang nasional wilayah pertambangan. illegal di Taman Hutan Raya Bukit Soeharto
IUP yang menjadi substansi pokok dalam (THRBS) sebanyak 41 IUP batubara dengan
UU Nomor 4 Tahun 2009 walaupun telah luas 1.500 hektar yang terkesan adanya
dijabarkan cukup operasional dalam UU “pembiaran” karena keberadaannya sudah
tersebut tetapi klarifikasi untuk beberapa bertahun-tahun dan tidak ada pihak yang
klausul tetap perlu dilakukan guna mendukung menghentikannya, Yulian dalam Subarudi
penerapannya yang relevan dan efektif. et al. (2016). Kasus tambang illegal tersebut
menjadi bukti kuat bahwa kegiatan monitoring
3. Permasalahan izin usaha pertambangan
dan evaluasi tidak dilakukan dengan baik
Kehadiran UU Nomor 4 Tahun 2009 dan benar. Seyogyanya proses pemberian
dilandasi oleh niat untuk memperbaiki tata izin harus diawasi dan setiap daerah sudah
kelola pertambangan minerba di Indonesia. seharusnya memiliki tim pengawas izin
Salah satu esensi perbaikan yang dikandung pertambangan. Kedua, penyesuaian kontrak.
dalam UU Minerba adalah menata ulang izin- Jika berbicara secara hukum penyesuaian
izin yang tumpang tindih. Kendala dalam kontrak seharusnya dilakukan dalam jangka
pelaksanaannya adalah UU tersebut dianggap waktu satu tahun sesuai dengan UU Minerba.
masih terlalu general (bersifat umum). Secara hukum itu akan menimbulkan
Sementara, dalam kasus pertambangan kontradiksi juga, karena di satu sisi pemerintah
minerba terdapat beberapa kondisi yang menghormati asas pacta sun servanda: kontrak
spesifik, dan tidak bisa diakomodir dalam itu harus dihormati sebagai UU. Tapi di sisi lain
UU yang sifatnya general (umum). Misalnya, pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk
di dalam aturan dinyatakan bahwa jika akan mengamandemen kontrak karya (KK) supaya
menambang harus punya IUP eksplorasi dan lebih adil. Sebagai contoh aturan pembayaran
minimal harus mempunyai wilayah seluas royalty (UU Nomor 4 Tahun 2009) disebutkan

78
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

bahwa setiap pengusaha lokal membayar 4. Implikasi kelemahan Undang-Undang


royalti sebesar 3,75%, sedangkan PT. Freeport Minerba
Indonesia berdasarkan KK ditetapkan hanya Sebenarnya kelemahan suatu UU dapat
membayar 1%. Oleh karena itu pemerintah dilakukan yudicial review ke Mahkamah
sedang mengupayakan renegosiasi KK yang Konstitusi (MK) dengan posisi penggugat
sudah ada sebelum aturan baru berlaku. memang merupakan pihak yang paling
Renegoisiasi KK ini hendaknya dapat dirugikan atas keberadaan UU tersebut.
dipahami untuk kepentingan masyarakat Dalam hal ini keputusan MK bersifat final dan
dan tidak dipersepsikan pemerintah tidak mengikat sehingga harus dipatuhi oleh kedua
menghormati KK, namun konteks dan kondisi belah pihak (penggunggat dan tergugat). Hasil
pada saat ini juga sudah jauh berbeda saat KK kajian perbandingan antara UU yang baru (UU
ditandatangani sehingga perlu penyesuaian Nomor 4 Tahun 2009) dengan UU yang lama
dan penyempurnaan atas KK tersebut. (UU Nomor 11 Tahun 1967) menunjukkan
Dalam upaya penataan dan pengelolaan UU yang baru memiliki kekuatan untuk
IUP minerba, salah satu upaya yang harus mengoreksi secara substansial terkait hak
dilakukan pemerintah adalah memperketat kepemilikan, klasifikasi bahan tambang,
masalah perizinannya. Artinya pemerintah sistem perizianan, kewenangan pengelolaan
perlu lebih selektif lagi dalam memberikan dan pelaku usahanya dari UU yang lama
IUP. Walaupun sudah dibuat/ada ketentuan sebagaimana tercantum pada Tabel 3.
pidana, jika pemberi izin menerbitkan IUP Tabel 3 menjelaskan kekuatan UU Nomor
tidak sesuai dengan kewenangannya akan 4 Tahun 2009 atas UU yang digantikannya
dikenakan sanksi pidana, namun prioritas dengan lebih fokus terhadap jenis tambang
pemerintah adalah melakukan penataan yang diaturnya. Pada poin 2 (hak negara atas
dan pengetatan terhadap IUP yang ada agar penguasaan SDA) dinyatakan bahwa pada
aktivitas industri tambang minerba tetap intinya negara yang mempunyai hak untuk
berjalan dan investasi tidak terkendala di mengatur pengelolaan dan pemanfaatan SDA.
masa datang. Hal ini berangkat dari fakta Poin 5 (kewenangan pengelolaan) mengatur
bahwa banyak pemerintah daerah yang pembagian kewenangan atas hak pengelolaan
mengeluarkan IUP yang illegal yang tidak pertambangan antara pemerintah pusat dan
sesuai aturan. Dalam data kementerian ESDM daerah sehingga diharapkan tidak terjadi lagi
tercatat jumlah IUP yang telah teregistrasi di tumpang tindih izin pertambangan. Terkait
Ditjen Minerba per 27 Maret 2013 sejumlah dengan pengaturan WUP (poin 6), penataan
10.809 dengan hasil verifikasi 5.502 IUP ruang wilayah nasional telah diatur sehingga
Clear and Clean (C&C) dan 5.307 tidak C&C diharapkan tidak akan terjadi lagi tumpang
(IUP C&C adalah data IUP yang perizinannya tindih pengelolaan pertambangan. Hal
tidak bermasalah dan tidak termasuk dalam terpenting dalam kajian ini adalah pembinaan
kategori tumpang tindih sama komoditi, dan pengawasan (poin 9) yang mengatur
tidak tumpang tindih beda komoditi, tidak bahwa setiap badan usaha yang akan mengelola
tumpang tindih lintas kewenangan, dokumen pertambangan akan memperoleh IUP (dalam
pendukung sudah lengkap, koordinat sesuai hal ini izin berupa KK, KP, dan KKP2B sudah
dengan SK dan KP yang belum penyesuaian tidak muncul setelah negosiasi kontrak).
menjadi IUP). Seperti yang tertera di atas, Perubahan ini semata-mata dilakukan dalam
50% dari keseluruhan IUP yang dikeluarkan upaya pembenahan izin pertambangan yang
dan tercatat di Ditjen Minerba tidak clear dilakukan oleh Kementerian ESDM sehingga
and clean. Itu artinya, separuhnya adalah IUP apabila pemegang izin yang melanggar aturan
illegal (Nasarudin, 2013). akan diberikan sanksi sesuaikan dengan

79
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

Tabel 3. Perbandingan UU Nomor 11 Tahun 1967 dengan UU Nomor 4 Tahun 2009


Table 3. Comparison of Law Number 11/1967 with Law Number 4/2009

Materi pokok UU Nomor 11Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009


No
(Subject matter) (Law Number 11 of 1967) (Law Number 4 of 2009)

1. Perihal (regarding) Ketentuan pokok pertambangan


Pertambangan mineral dan batubara
2. Hak penguasaan Penguasaan bahan - Penguasaan minerba oleh Negara, yang
negara atas SDA (Rights tambang diselenggarakan penyelenggaraannya dilakukan oleh
of the state for natural Negara (Pasal 1) pemerintah dan/atau pemda (Pasal 4).
resources) - Pemerintah dan DPR menetapkan
kebijakan pengutamaan minerba bagi
kepentingan nasional (Pasal 5).
- Data dan informasi adalah milik
Pemerintah

3. Penggolongan/ Penggolongan bahan galian - Pengelompokan usaha pertambangan:


Pengelompokan strategis, vital, bukan strategis minerba dan batubara
(category/grouping) bukan vital (Pasal 3) - Penggolongan tambang mineral:
radioaktif, logam, bukan logam, batuan
(Pasal 34)

4. Dasar kegiatan Sistem/Rezim Kontrak Terdiri Sistem/Rezim Perizinan, terdiri atas:


usaha (Basic business atas: Kontrak Karya (KK), Kuasa Izin Usaha Pertambangan (IUP), Izin
activity) Pertambangan (KP), Surat Ijin Pertambangan Rakyat (IPR) dan Izin
Pertambangan Daerah (SIPD) Usaha Pertambangan Khusus (IUPK)
dan Surat Ijin Pertambangan (Pasal 35)
Rakyat (SIPR) (Pasal 10, 15)

5. Kewenangan - Bahan galian strategis (gol. - 21 kewenangan berada di Pusat


pengelolaan A) dan vital (gol. B) oleh - 14 kewenangan berada di provinsi
(Authority of management) Pemerintah - 12 kewenangan berada di Kabupaten/
- Bahan galian non strategis non Kota (Pasal 6-8)
vital (gol. C) oleh PemdaTkt.I/
Provinsi (Pasal 4)

6. Wilayah usaha Secara terinci tidak - Wilayah pertambangan adalah bagian


pertambangan diatur, kecuali bahwa usaha dari tata ruang nasional, yang ditetapkan
(Region of mining pertambangan tidak berlokasi di pemerintah setelah koordinasi dengan
business) tempat suci, kuburan, bangunan, Pemdadan DPR (Pasal 10)
dll (Pasal 16 ayat 3) - Wilayah pertambangan terdiri atas:
Pertambangan (WUP), Pertambangan
rakyat (WPR) dan wilayah penca
dangan nasional (WPN) Pasal 14 s/d 33

7. Pelaku usaha - Investor nasional domestik - IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN),
(Business actors) (PMDN), berupa: KP, SIPD, koperasi, perseorangan (Pasal 38)
PKP2B - IPR bagi penduduk lokal, koperasi
- Investor Asing (PMA), (Pasal 67), dengan luas terperinci (pasal
berupa: KK, PKP2B 68)
- Luas usaha pertambangan - IUPK, bagi badan usaha berbadan
tidak dirinci hukum Indonesia degan prioritas pada
BUMN / BUMD (Pasal 75)

80
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

Materi pokok UU Nomor 11Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009


No
(Subject matter) (Law Number 11 of 1967) (Law Number 4 of 2009)

8. Tahapan kegiatan Terdapat 6 tahapan yang Terdiri 2 tahapan, yaitu:


(Activity phase) membagi kuasa pertambangan • Eksplorasi: penyelidikan umum,
atas: Penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan
eksplorasi, eksploitasi, • Operasi Produksi: konstruksi,
pengolahan& pemurnian, penambangan, pengolahan&pemurnian,
pengangkutan, penjualan (Pasal pengangkutan dan penjualan (Pasal 36)
14)

9. Pembinaan & Terpusat di tangan pemerintah - Pusat, provinsi, kabupaten kota sesuai
pengawasan atas pemegang KK, KP, PKP2B kewenangan terhadap pemegang IUP
(Guidance and control) - Kabupaten/Kota terhadap IPR (Pasal
139-142)

10. Penggunaan lahan Penggunaan lahan dilakukan Pembatasan tanah yang dapat diusahakan
(Use of land) pembatasan tanah yang dapat dan sebelum memasuki tahap operasi
diusahakan. produksi pemegang IUP/IUPK wajib
menyelesaikan hak atas tanah dengan
pemegang hak.

11. Tata cara Melalui mekanisme Perizinan dilakukan dengan lelang untuk
perizinan Permohonan mineral logam dan batubara, sedangkan
(License procedure) untuk mineral bukan logam dan batuan
perizinan dilakukan dengan permohonan
wilayah

Sumber (Source): Silalahi & Kristianto, 2011.

jenis pelanggarannya dari mulai sanksi Terkait dengan isu lingkungan, saat
administrasi, pencabutan izin hingga sanksi ini sudah ada PP khusus, yakni Peraturan
pidana. Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang
Reklamasi dan Pasca Tambang untuk wilayah
5. Aturan Pelaksana dan Aspek tambang di APL (diinisiasi oleh Kementeria
Lingkungan dari UU Minerba ESDM) dan Peraturan Pemerintah Nomor
Peraturan pelaksana atas UU Minerba 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan
terus dilengkapi, akan tetapi yang menjadi Reklamasi Hutan untuk wilayah tambang di
masalah adalah ada wilayah pertambangan kawasan hutan (diinisiasi oleh Kementerian
(WP) yang belum keluar. Kalau WP belum Kehutanan). Kedua PP ini menjadi bukti
keluar, maka praktis penerbitan IUP juga bahwa UU Minerba sangat menekankan aspek
tidak bisa dilakukan. Untuk PP, hingga saat kelestarian lingkungan dalam pengelolaan
ini sudah ada empat PP yang menjadi turunan tambang. Untuk aspek pidana lingkungan,
dari UU Minerba dan bahkan ada satu PP (PP sudah ada UU Nomor 32 Tahun 2009 terkait
Nomor 23 Tahun 2010) yang sudah direvisi pelanggaran atas aspek lingkungan dan dalam
menjadi PP Nomor 24 Tahun 2012 tentang konteks apapun, dimana apabila ada pihak
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dengan kegiatan minerba yang melakukan
Minerba. Revisi PP ini diharapkan bisa lebih tindak pidana terkait lingkungan akan dijerat
operasional dan secara umum sudah terlihat dengan UU Lingkungan Hidup dan bukan
adanya kepatuhan dari pemerintah daerah dan dengan UU Minerba.Khusus untuk PP
masyarakat untuk mengikutinya. Nomor 78 Tahun 2010, hal yang diatur adalah
kewajiban perusahaan untuk melakukan

81
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

reklamasi setelah melakukan aktivitas kawasan hutan, dan (iii) langkah-langkah


produksi tambang. Jadi, sebelum sebuah konkrit penyempurnaan sistem perizinan
perusahaan mendapatkan IUP, khususnya pertambangan.
IUP eksplorasi, mereka harus mengurus izin 1. Diskusi perspektif dasar hukum (aturan
lingkungan terlebih dahulu dan dilanjutkan main).
mengurus amdal. Sehingga pada prinsipnya
setiap perusahaan pertambangan harus Pemerintahan telah mencanangkan
punya kelengkapan dokumen lingkungan agar semua perizinan dikelola dalam satu
untuk mendapatkan IUP operasi produksi. pintu atau satu atap yang dikenal dengan
Jika perusahaan tidak memiliki kelengkapan KPT. Harapannya adalah para investor
dokumen lingkungan, maka tentu saja bisa dapat memperoleh kepastian usaha dan
dikenakan sanksi pidana sebagaimana yang memudahkan pemohon dalam mengurus
diatur dalam UU Minerba. Dalam konteks izinnya terkait persyaratan izin yang harus
reklamasi, pada dasarnya perusahaan dituntut dilaluinya tanpa harus bolak-balik mengurus
bukan hanya sekedar bisa menambang, tapi berbagai perizinanannya. Pengurusan izin satu
juga bisa me-recovery, bisa mengembalikan pintu yang dikenal dengan istilah perizinan
lahan yang sudah rusak. Ada juga yang terpadu diatur dalam Peraturan Presiden
namanya jaminan reklamasi adalah jaminan Nomor 97 Nomor 2014 (PTSP). Tujuan
dalam bentuk deposito yang wajib dibayarkan dibentuk PTSP adalah untuk a) memberikan
pada saat perusahaan mendapatkan IUP. perlindungan dan kepastian hukum kepada
Jika perusahaan tersebut tidak melakukan masyarakat, b) memperpendek proses
reklamasi atau me-recovery kerusakan lahan pelayanan, c) mewujudkan proses pelayanan
dari aktivitas akan mendapatkan sanksi yang, cepat, mudah, murah, transparan,
sesuai dengan aturan yang berlaku. Lahan pasti, dan terjangkau,; d) mendekatkan dan
bekas tambang yang ditinggalkannya akan memberikan pelayanan yang lebih luas kepada
direklamasi oleh pihak ketiga dengan biaya masyarakat. Ruang lingkup PTSP meliputi
dari jaminan reklamasi. Persoalannya adalah seluruh pelayanan perizinan dan non-perizinan
penentuan jumlah nominal jaminan reklamasi yang menjadi kewenangan pemerintah dan
terlalu rendah (hanya 30%) dari jumlah pemerintah daerah. PTSP dilaksanakan oleh
nominal riil reklamasi di lapangan sehingga a) Pemerintah yang dilakukan oleh BKPM
hasil reklamasi tidak sesuai dengan kondisi untuk pelayanan perizinan dan non-perizinan
yang diinginkan. Selain itu, analisis mengenai di bidang penanaman modal yang merupakan
dampak lingkungan tidak diperhatikan secara urusan pemerintah; b) Pemerintah provinsi
serius. Akibatnya, banyak IUP dikeluarkan untuk pelayanan perizinan dan non-perizinan
di area dekat pemukiman warga yang dari urusan wajib dan urusan pilihan yang
mengakibatkan masyarakat menjadi korban menjadi urusan provinsi; dan c) Pemerintah
karena kegiatan pertambangan menggerus kabupaten/kota untuk pelayanan perizinan dan
lingkungan hidup mereka, menyerobot non-perizinan dari urusan wajib dan urusan
perkebunan, hutan, dan sumber daya yang pilihan yang menjadi urusan kabupaten/kota.
menghidupi mereka. Pada prinsipnya, pelaksanaannya PTSP
dilakukan oleh masing-masing daerah sesuai
D. Upaya Penyempurnan Sistem Perizinan dengan kebijakan yang berlaku, baik di
Pertambangan tingkat pusat maupun daerah. Sebagai contoh
Upaya penyempurnaan sistem pelaksanaan kebijakan PTSP di tingkat pusat,
pertambangan dapat dilakukan melalui (i) yaitu Pertama, Perpres Nomor 97 Tahun 2014
diskusi perspektif dasar hukum (aturan main), harus adanya pendelegasian kewenangan
(ii) sinkronisasi perizinan tambang di kawasan untuk menerbitkan izin ke BKPM dan

82
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

ditindaklanjuti oleh Kementerian LHK LHK dan/atau dinas kehutanan). Terkait


dengan menerbitkan PermenLHK Nomor dengan efektivitas kebijakan yang dibuat oleh
P.97/Menhut-II/2014. Jo Nomor P.1/Menhut- pemerintah (Perpres Nomor 97 Tahun 2014)
II/2015 tentang Pendelegasian Wewenang dan mekanisme IPPKH (PermenLHK Nomor.
Pemberian Perizinan Dan Non Perizinan Di P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang
Bidang Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan)
Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan dinyatakan bahwa untuk memperoleh IPPKH
Terpadu Satu Pintu Kepada Kepala Badan memerlukan waktu selama 31 hari kerja dan
Koordinasi Penanaman Modal, artinya setiap sebenarnya waktu penyelesain perizinannya
permohonan izin bidang LHK, surat izinnya akan lebih lama apabila dikaitkan dengan
harus diterbitkan oleh BKPM pusat sebagai keharusan untuk dilengkapi dengan dokumen
perwakilan dari Menteri LHK; Kedua, kelayakan mengenai izin lingkungan (PP
proses pelaksanaan perizinan, mekanisme, Nomor 27 Tahun 2012), Amdal membutuhkan
persyaratan, jenis izin, lama waktu waktu 105 hari kerja (Permen Lingkungan
penyelesaian izin, dan lain sebagainya harus Hidup Nomor 5 tahun 2008 tentang Tata
sesuai dengan kebijakan yang dikeluarkan Kerja Komisi Penilai Analisis Mengenai
oleh Kementerian LHK, misalnya IPPKH Dampak Lingkungan Hidup), dan UKL-UPL
dituangkan dalam PermenLHK Nomor (Permen Lingkungan Hidup Nomor 13 tahun
P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang 2010 tentang Upaya Pengelolaan Lingkungan
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan
Pelaksanaan PTSP di tingkat Provinsi Hidup dan Surat Peryataan Kesanggupan
Jawa Barat diatur dalam Peraturan Gubernur Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan
Provinsi Jawa Barat Nomor 92 Tahun 2014, Hidup) yang wajib dimiliki oleh setiap
tentang Petunjuk Pelaksanaan Perda Provinsi pemohon izin. Oleh karena itu, jangka waktu
Jawa Barat Nomor 7 Tahun 2010 tentang pelayanan PTSP paling lama 7 (tujuh) hari
Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu, yang kerja terhitung sejak diterimanya dokumen
memuat semua tata cara dalam proses perizinan dan/atau non-perizinan secara
perizinan (jenis izin, lama penyelesaian, biaya, lengkap dan benar, perlu ditambahkan catatan
mekanisme, persyaratan, dan lain sebagainya). atau asumsi bahwa semua persyaratan teknis
Kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan tambahan telah diselesaikan terlebih
dan sarana prasarana yang berbeda antar dahulu. Artinya kebijakan PTSP tidak efektif
daerah membawa konsekuensi pada adanya sepanjang kebijakan yang diterbitkan oleh
perbedaan pelaksanaan PTSP dari satu daerah kementerian teknis terkait izin pertambangan
dengan daerah yang lain, misalnya BKPMPT tidak dirubah atau di revisi.
di Provinsi Jawa Barat dapat menerbitkan
2. Sinkronisasi perizinan pertambangan
sebanyak 265 jenis perizinan, sementara
dalam kawasan hutan
Provinsi Kalimantan Timur hanya mengurus
tujuh jenis perizinan saja. Sinkronisasi dari produk kebijakan terkait
Dalam mekanisme perizinan walaupun sistem perizinan pertambangan dalam kawasan
yang menerbitkan izin merupakan kewenangan hutan sangat dipengaruhi oleh seberapa jauh
dari BKPM di tingkat pusat, atau BKPMPT ketentuan-ketentuan di dalamnya mampu
di tingkat daerah, akan tetapi sebelum izin mengakomodir peraturan perundangan
tersebut ditandatangani dan diterbitkan harus yang diterbitkan oleh kementerian teknis
ada penelitian yang dilakukan oleh instansi lainnya. Oleh karena itu, dalam mengkaji
teknis. Izin diterbitkan setelah ada rekomendasi persoalan efektivitas sinkronisasi perizinan
teknis dari instansi teknis setempat dalam pertambangan dalam kawasan hutan tidak
hal ini adalah instansi LHK (Kementerian cukup berbicara persoalan proses perizinan

83
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

yang ada di dalam kebijakan yang diterbitkan setelah penelitian Amdal, UKL-UPL
oleh Kementerian LHK atau Kementerian tersebut dilakukan, maka dokumen tersebut
ESDM saja, karena di bawahnya masih ada otomatis menjadi dokumen perizinan.
perizinan dan non-perizinan lain yang harus Keberadaan dokumen tersebut memberi
diurus dan diselesaikan, misalnya dengan kesan terlalu birokratis yang berakibat pada
adanya ketentuan dalam UU Nomor 39 Tahun lambatnya dalam pengurusan izin. Untuk
2009 yang mewajibkan izin lingkungan sebagai lebih mempermudah dalam proses IPPKH
syarat izin kegiatan, termasuk kegiatan usaha harus ada reformasi kebijakan dengan cara
pertambangan. Dalam PermenLHK Nomor mensinkronkan kebijakan penggunaan
P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang kawasan hutan yang diterbitkan oleh
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kementerian LHK dengan kebijakan yang
mengurus IPPKH mungkin lebih singkat dan diterbitkan oleh Kementerian LH terkait
mudah, akan tetapi izin tersebut tidak ada Amdal, UKL-UPL dan Izin Lingkungan
artinya apabila tidak dilengkapi dengan izin mengingat Kementerian Lingkungan
lingkungan. Jika memang dalam pengurusan Hidup dan Kementerian Kehutanan sudah
izin ingin sesuai dengan harapan pemerintah digabungkan.
(Presiden) jangka waktu pegurusan yang lebih (2) Tujuan dari adanya pengurusan perizinan
singkat lagi, maka dalam aturan atau kebijakan terpadu, agar dalam pengurusan izin
IPPKH harus dicantumkan/disebutkan dan/ lebih efisien, cepat, dan sederhana. Oleh
atau dengan catatan bahwa persyaratan izin karena itu, penataan kelembagaan dan
lain yang diterbitkan oleh pemerintah daerah koordinasi antar berbagai pihak yang
yang merupakan persyaratan tambahan yang terkait harus terintegrasi sehingga dapat
harus dipenuhi dalam perizinan tersebut terwujud dalam sistem perizinan satu atap
sudah selesai. Artinya seluruh perizinan lain sebagai gagasan yang dapat membantu
yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
di daerah sudah selesai. Penekanan tersebut di Indonesia. Di samping itu, harus
sangat diperlukan untuk memperlancar dipertimbangkan juga ketimpangan
terbitnya izin atau sesuai dengan ketentuan SDM bidang kehutanan karena tenaga
yang berlaku saat ini (tujuh hari kerja) ahli (expert) di bidang kehutanan sangat
sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor minim di BKPMPT daerah.
97 Tahun 2014. (3) Menata ulang IUP yang tumpang tindih
3. Langkah-langkah konkrit penyempurnaan dengan cara menata status atau mencabut
sistem perizinan pertambangan dalam IUP yang sampai saat ini belum clear and
kawasan hutan clean.
Dari hasil pembahasan sebelumnya, (4) Kurangnya pengawasan ketika IUP telah
setidaknya ada 7 (tujuh) langkah konkrit diterbitkan. Hal ini diperburuk ketika
yang harus dilakukan sebagai upaya nyata daerah yang sudah menerbitkan ratusan
penyempurnaan sistem IPPKH, yaitu: izin tapi ternyata mereka tidak mempunyai
(1) Amdal dan UKL-UPL bukan merupakan tenaga pengawas atau inspektur tambang.
dokumen perizinan tetapi dokumen Seyogyanya proses pemberian izin
penelitian ilmiah tentang sesuatu yang harus diawasi dan setiap daerah sudah
akan terjadi terhadap lingkungan ketika semestinya memiliki jumlah inspektur
kegiatan tersebut akan dilaksanakan. tambang yang cukup memadai kuantitas
Namun keterkaitan erat antar dokumen dan kualitasnya.
Amdal dan UKL-UPL dengan izin (5) Penyesuaian KK. Jika berbicara secara
lingkungan, dimana izin lingkungan terbit hukum penyesuaian KK itu harusnya

84
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)

dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sesuai kebijakan Pergub masing-masing
sesuai dengan UU Minerba, namun dalam daerah.
pelaksanaannya mulur waktunya sehingga Permasalahan yang dihadapi oleh Kantor
diperlukan ketegasan pemerintah bahwa BKPMPT daerah sebagai kuasa penerbit
mengamandemen kontrak supaya lebih perizinan daerah adalah kurangnya tenaga
adil dan menguntungkan negara. atau sumber daya manusia yang mengetahui
(6) Pemerintah harus lebih selektif dalam substansi atau teknis terkait dengan
memberikan IUP, mengingat sudah permohonan izin khususnya bidang LHK
banyak perusahaan pertambangan yang (misalnya tenaga Geographic Information
legal (punya IUP) tetapi tidak memenuhi System/GIS).
kewajibannya, misalnya menunggak
B. Saran
pembayaran jaminan reklamasi yang
harus dibayarkan di muka sebelum IUP Sinkronisasi dari produk kebijakan
diterbitkan. terkait sistem perizinan pertambangan dalam
(7) Dengan diterbitkan UU Nomor 4 Tahun kawasan hutan perlu dilakukan dengan
2009, izin lain seperti KK (Kontrak Karya), duduk bersama antara Kementerian ESDM
Kuasa Pertambangan (KP), Perjanjian dan Kementerian LHK. Misalnya kebijakan
Karya Pengusahaan Pertambangan mengenai amdal, UKL-UPL, dan izin
Batubara (PKP2B), dan lainnya sudah lingkungan yang diterbitkan berdasarkan
dihapus dan diganti menjadi IUP, namun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
kelengkapan dokumen lainnya seperti pada waktu itu, seharusnya lebih mudah
amdal, UKL, UPL dan izin lingkungan disinkronkan mengingat Kementerian
harus juga diselesaikan oleh pemegang Kehutanan dan Kementerian Lingkungan
IUP baru tersebut. Hidup sudah bergabung, sehingga birokrasi
dalam mengurus perizinan di bidang LHK
dapat dipangkas.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Penetapan jangka waktu proses perizinan
A. Kesimpulan dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2014 perlu
Kebijakan perizinan pertambangan direvisi karena belum mencantumkan
di kawasan hutan kurang efektif karena persyaratan izin lain yang diterbitkan oleh
melibatkan dua pintu kementerian, yaitu pemerintah daerah. Hal ini penting untuk
Kementerian ESDM untuk IUP dan memperlancar terbitnya izin atau sesuai
Kementerian LHK untuk IPPKH. dengan waktu yang sudah ditetapkannya.
Mekanisme IPPKH berdasarkan Peraturan Terkait perizinan terpadu, pemerintah
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan daerah perlu melakukan kordinasi
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 antar berbagai pihak yang terkait dan
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan mempertimbangkan juga SDM bidang
Hutan diperlukan waktu selama 31 hari kehutanan yang jumlahnya sangat minim di
kerja, namun dalam pelaksanaanya ternyata BKPMPT daerah.
membutuhkan waktu tiga kali lebih lama dari
waktu (31 hari) tersebut sehingga penetapan UCAPAN TERIMA KASIH
waktunya harus dikaji ulang sesuai dengan (ACKNOWLEDGEMENT)
fakta dan kondisi riil lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Pelaksanaan penyelenggaraan PTSP di Kepala Pusat Penelitian Pengembangan
tingkat daerah berbeda-beda karena adanya Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan
perbedaan kebijakan dari satu daerah dengan Iklim atas dukungannya dalam penulisan
daerah yang lain dalam penerbitan perizinan karya tulis ilmiah (KTI) ini. Terima kasih

85
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86

kepada pihak manajemen Pusat Penelitian Putra, W. M. (2010). Sinkronisasi peraturan


Pengembangan Sosial Ekonomi Kebijakan perundang-undangan mengenai izin usaha
pertambangan dalam rangka mewujudkan
dan Perubahan Iklim yang memfasilitasi pembangunan nasional yang berkelanjutan.
dana untuk penelitian. Juga diucapkan terima (Skripsi). Solo: Universitas Sebelas Maret.
kasih kepada para narasumber yang telah Rosadi, O. (2008). Pengelolaan sumber daya alam:
memberikan data dan informasi. Best regard, cita hukum, politik hukum dan
realita. UIR. Pekan Baru. Jurnal Makamah, 1.
Silalahi, D., & Kristianto P H. (2011). Perizinan dalam
DAFTAR PUSTAKA kegiatan pertambangan di Indonesia pasca
UU Minerba Nomor 4 tahun 2009. Jurnal
Bungin, B. (2001). Content analysis dan focus group Law Review, XI(1), 1-20.
discussion dalam penelitian sosial di dalam Subarudi. (2008). Tata kelola kehutanan yang baik:
metodologi penelitian kualitatif: Aktualisasi sebuah pembelajaran dari Kabupaten Sragen.
metodologis ke arah ragam varian Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan. 5(3),
kontemporer. Jakarta: PT. Raja Grafindo 179 – 192.
Perkasa. Subarudi. (2014, April). Tata kelola ijin pinjam-pakai
Cahyadi, S. A., Ichwandi, I., & Nurrochmat, D. R. kawasan hutan. Makalah disajikan dalam
(2015). Efektifitas pelaksanaan kebijakan Seminar Nasional Reforma Agraria untuk
penggunaan kawasan hutan dengan Mendukung Tata Kelola Hutan yang Baik.
kompensasi lahan di Provinsi Jawa Barat. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan
Risalah Kebijakan Pertanian dan Lingkungan, Perubahan Iklim dan Kebijakan.
2, 164. Subarudi, Kartodihardjo, H., Soedomo, S., & Sapardi,
Destiana, L. (2011). Analisis kualitas pelayanan H. (2016). Kebijakan resolusi konflik tambang
perizinan investasi di badan koordinasi batu bara di kawasan hutan di Kalimantan
penanaman modal (BKPM). (Skripsi). Depok: Timur. Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan,
Universitas Indonesia. 13(1), 53-71.
Irawan, P. (2007). Penelitian kulitatif dan kuantitatif Syahadat, E., & Dwiprabowo, H. (2013). Kajian
untuk ilmu-ilmu sosial. Depok: Departemen paduserasi tata ruang daerah (TRD) dengan
Ilmu Administrasi, Fakultas Ilmu Sosial dan tata guna hutan (TGH). Jurnal Analisis
Ilmu Politik. Universitas Indonesia. Kebijakan Kehutanan, 10(2), 89-117.
Nasarudin, M. (2013). Kegiatan prioritas dan strategis Syahadat, E., Subrudi, & Setiadi, A. (2016). Efisiensi
Ditjen Mineral & Batubara tahun 2013. Warta perizinan bidang LHK (Kehutanan, peti,
Minerba, XV(April), 4-11. pertambangan dalam kawasan hutan, dan
Peraturan Gubernur Provinsi Jawa Barat. Nomor 92 jasa lingkungan) (Laporan Hasil Penelitian).
Tahun 2014 tentang Petunjuk Pelaksanaan Bogor: Pusat Penelitian Sosial, Ekonomi,
Peraturan Daeran Nomor 7 Tahun 2010 Kebijakan dan Perubahan Iklim.
tentang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan Syahadat, E., & Sylviani. (2014). Analisis kebijakan
Terpadu (2014). peyediaan lahan hutan tanaman industri.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan, 11(3),
Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pasca 277-296.
Tambang. Thantowi, J. (2014). Norma hukum pelayanan Publik.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Jurnal Hukum, 4.
Tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Peraturan Presiden Republik Indonesia. Nomor
97 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan
Pelayanan Terpadu Satu Pintu.

86

You might also like