Professional Documents
Culture Documents
Sinkronisasi Kebijakan Iup DLM Kawasan Hutan
Sinkronisasi Kebijakan Iup DLM Kawasan Hutan
ABSTRACT
The management of licensing system, especially mining permits, is complex because of the inter-sectoral
legal linkages. Legislation has been regulated in such a way that certained procedures must be passed by permit
applicants to obtain izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) and izin usaha pertambangan (IUP). But there is
always a gap between regulations and their implementation which makes the licensing system more complex. The
aims of the research are (a) to identify mining licensing policies in forest area, (b) to synchronize mining licensing
system, and (c) to improve mining licensing system. This study used a content analysis method with a retrospective
process evaluation approach. The results showed that IPPKH policy involves 36 types of regulations consisting of 11
Acts, 13 Government Regulations, nine Presidential Regulations, and three Environment and Forestry Ministerial
Regulations. The IPPKH process is considered less effective because the applicants must get IUP from the Ministry
of ESDM and IPPKH from the Ministry of Environment and Forestry which is managed under One Stop Integrating
Permits system, which only handles the administrative issues as mandated by President Regulation No 97/2014.
The synchronization of IPPKH policy is necessary to accommodate legislation issued by other technical ministries.
ABSTRAK
Pengelolaan sistem perizinan khususnya izin pertambangan sangatlah kompleks karena keterkaitan hukum lintas
sektor. Peraturan perundangan telah mengatur sedemikian rupa prosedur/mekanisme perizinan yang harus dilewati
oleh pemohon izin yang ingin mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) dan izin usaha pertambangan
(IUP), namun selalu terdapat gap antara peraturan dengan implementasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah: (a)
mengidentifikasi kebijakan perizinan pertambangan dalam kawasan hutan, (b) menyinkronkan sistem perizinan
pertambangan, dan (c) menyempurnakan sistem perizinan pertambangan. Kajian ini menggunakan metode analisis
isi dengan pendekatan evalusi proses retrospektif. Hasil penelitian menunjukan kebijakan IPPKH melibatkan 36
jenis peraturan yang terdiri dari 11 unit UU, 13 unit PP, sembilan unit Perpres, dan tiga unit PermenLHK. Proses
IPPKH dinilai kurang efektif karena melibatkan dua pintu kementerian, yaitu Kementerian ESDM untuk IUP dan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk IPPKH. Kedua izin tersebut dikelola melalui Perizinan
Terpadu Satu Pintu, yang masih bersifat administratif belaka sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 97 Tahun
/2014. Sinkronisasi kebijakan IPPKH sangat diperlukan untuk mengakomodir peraturan perundangan yang
diterbitkan oleh kementerian teknis lainnya.
©2018 JAKK All rights reserved. Open access under CC BY-NC-SA license. doi: http://dx.doi.org/10.20886/jakk.2018.15.1.67-86 67
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
68
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
sesuai dengan prinsip tata kelola yang baik B. Ruang Lingkup Kegiatan
(good governance)?; dan (iii) Sejauhmana Ruang lingkup penelitian Sinkronisasi
penyempurnaan kebijakan IPPKH diperlukan? Kebijakan Perizinan Pertambangan dalam
Maksud dari kajian ini adalah merumuskan Kawasan Hutan, adalah kebijakan yang berlaku
kebijakan perizinan pertambangan dalam saat ini terkait perizinan pertambangan yang
kawasan hutan yang efektif. Adapun tujuan diterbitkan oleh Kementerian Lingkungam
dari penelitian ini adalah: (a) mengidentifikasi Hidup dan Kehutanan (d/h Kementerian
kebijakan perizinan pertambangan dalam Kehutanan) dan Kementerian ESDM serta
kawasan hutan, (b) menyinkronkan sistem menitik beratkan pada sistem perizinan
perizinan pertambangan, dan (c) menyusun pertambangan yang berada dalam kawasan
upaya penyempurnan kebijakan IPPKH. hutan.
Penelitian sinkronisasi di bidang perizinan
pertambangan di kawasan hutan saat ini masih C. Metode Pengumpulan Data
terbatas dilakukan oleh peneliti lain sehingga Data yang dikumpulkan berupa data
hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi primer dan data sekunder yang dilakukan
bahan untuk penyempurnakan kebijakan pada bulan Maret sampai dengan Oktober
perizinan tambang di kawasan hutan yang 2016 sebagaimana tercantum pada Tabel 1.
sesuai tata kelola kehutanan yang baik. Data primer meliputi persepsi pemangku
kepentingan terhadap ketentuan pengurusan
II. METODE PENELITIAN perizinan (mengenai persyaratan, lama
pengurusan dan biaya yang harus dikeluarkan
A. Pendekatan (Kerangka Pemikiran)
oleh para pemohon izin). Jumlah responden
Alur pikir yang digunakan dalam penelitian yang diwawancarai sebanyak 20 orang yang
ini berfokus pada gap (kesenjangan) antara berasal dari Kementerian LHK; Kementerian
peraturan yang ada dengan implementasinya ESDM; Kementerian Perindustrian,
di lapangan. (Gambar 1). Kementerian Perdagangan; pemerintah
69
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
provinsi dan kabupaten/kota serta pemohon pemerintah daerah serta stakeholder terkait
atau perusahaan yang terkait dalam perizinan untuk mengidentifikasi permasalahan terkait
LHK (Tabel 1). Data primer ini dikumpulkan IPPKH dan upaya solusinya, serta saran dan
melalui wawancara langsung dan focus rekomendasi untuk penyempurnaan kebijakan
group discussion (FGD) dengan para IPPKH di masa datang.
pihak terkait seperti pemerintah pusat dan
Tabel 1. Data dan informasi yang dikumpulkan
Table 1. Data and information collected
70
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
Data sekunder terdiri dari jenis dan jumlah yang dialami oleh para pemohon izin. Sebagai
IPPKH yang sudah dikeluarkan, target dan contoh sistem perizinan pertambangan dalam
realisasinya, serta peraturan perundangan kawasan hutan ditetapkan targetnya maksimal
yang mendukungnya. Data sekunder ini 7 (tujuh) hari kerja sebagaimana diatur dalam
dikumpulkan melalui kunjungan ke lembaga Perpres Nomor 97 Tahun 2014 tentang
penelitian terkait, instansi pemerintah serta Perizinan Terpadu Satu Pintu.
publikasi yang relevan.
D. Analisis Data III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini menggunakan metode A. Kebijakan Bidang Lingkungan
kualitatif yang bertujuan menjelaskan sesuatu Hidup dan Kehutanan terkait Usaha
seperti apa adanya (as it is) dan secara Pertambangan
lebih mendalam (Irawan, 2007). Analisis Pelaksanaan kebijakan Perpres Nomor
isi dan substansi peraturan perundangan 97 Tahun 2014 harus dijabarkan ke dalam
menggunakan metode content of analysis peraturan dari masing-masing instansi baik
yang dikembangkan oleh Bungin (2001). di tingkat pusat maupun daerah karena
Analisis isi digunakan untuk melihat sejauh Perpres tersebut berlaku dan bersifat umum.
mana perbedaan isi dan substansi dari Sebagai contoh di tingkat pusat, persyaratan
produk kebijakan terkait sistem perizinan dan mekanisme perizinan pertambangan di
pertambangan berupa peraturan perundangan kawasan hutan dituangkan dalam Peraturan
yang diterbitkan oleh kementerian teknis Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
lainnya. Kebijakan tersebut kemudian di (PermenLHK) Nomor P.50/Menlhk/Setjen/
evaluasi dengan pendekatan evalusi proses Kum.1/6/2016 tentang Pedoman Pinjam Pakai
retrospektif. Evaluasi proses retrospektif Kawasan Hutan (P3KH). Kemudian di tingkat
adalah evaluasi yang meliputi pemantauan/ provinsi dikeluarkan Peraturan Gubernur
evaluasi program setelah program tersebut (Pergub) Jawa Barat Nomor 92 Tahun 2014,
diterapkan untuk jangka waktu tertentu Pergub Provinsi Kalimantan Timur Nomor
(Cahyadi, Ichwandi, & Nurrochmat, 2015). 48 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan
Hal tersebut difokuskan pada masalah/kendala Pelayanan Perizinan Terpadu (P2T). Maksud
yang terjadi selama implementasi berlangsung, dari ditetapkannya peraturan tersebut adalah
evaluasi ini lebih menggantungkan pada sebagai dasar tindak lanjut penyelenggaraan
deskripsi ex post (retrospektif) tentang perizinan dan non-perizinan melalui
aktivitas kebijakan yang selanjutnya penyelenggara PTSP yang telah mendapatkan
berhubungan dengan dampak yang diperoleh, pelimpahan atau pendelegasian kewenangan
dengan kriteria evaluatif yang digunakan dari pemerintah dan gubernur.
adalah efektifitas. Efektifitas berkenaan Pembentukan penyelengaraan P2T pada
dengan apakah suatu alternatif mencapai hasil dasarnya ditujukan untuk menyederhanakan
atau tujuan yang diharapkan. Dalam penelitian birokasi pelayanan perizinan dalam berbagai
ini efektifitas sistem perizinan IPPKH diukur bentuk, antara lain mempercepat waktu
dari keberhasilan dalam memperoleh izin pelayanan dengan mengurangi tahapan-
pertambangan sesuai dengan ketentuan yang tahapan kegiatan dalam pelayanan yang
berlaku dalam peraturan, yaitu dengan cara kurang penting (Perpres Nomor 97 Tahun
membandingkan prosedur operasi standar 2014). Diharapkan dengan sistem P2T ini,
(SOP) antara biaya dan lamanya proses yang penyelenggaraan pelayanan perizinan di
terdapat dalam peraturan perundangan yang pusat dan daerah menjadi lebih transparan,
diterbitkan oleh instansi terkait dan/atau akuntabel, mudah, murah dan dapat diakses
Kementerian LHK dengan implementasinya oleh semua pihak yang membutuhkan sebagai
71
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
72
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
1. Undang-Undang (UU) Nomor Penggunaan kawasan hutan untuk Izin pinjam pakai kawasan hutan
41 Tahun 1999 (Kehutanan) kepentingan pembangunan di luar kegiatan (IPPKH) untuk usaha tambang
kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam diterbitkan oleh Menteri dengan
kawasan hutan produksi dan kawasan hutan mempertimbangkan luas,
lindung dan dilakukan tanpa mengubah jangka waktu dan kelestarian
fungsi pokok kawasan hutan. Khusus lingkungan.
untuk kepentingan pertambangan dilakukan
melalui pemberian izin pinjam pakai
oleh Menteri dengan mempertimbangkan
batasan luas dan jangka waktu tertentu serta
kelestarian lingkungan (Pasal 38).
2. UU Nomor 32 Tahun 2009 Setiap usaha dan/atau kegiatan yang Kegiatan pertambangan
(Perlindungan dan Pengelolaan berdampak penting terhadap lingkungan termasuk kegiatan usaha yang
Lingkungan Hidup) hidup wajib memiliki amdal (Pasal 23). berdampak pada lingkungan
Kriterianya: (a) Pengubahan bentuk lahan karena telah memenuhi empat
dan bentang alam; (b) Eksploitasi sumber kriteria usaha berdampak
daya alam (SDA), baik yang terbarukan penting sehingga wajib
maupun yang tidak terbarukan; (c) Proses memiliki amdal.
dan kegiatan yang secara potensial
dapat menimbulkan pencemaran dan/
atau kerusakan lingkungan hidup serta
pemborosan dan kemerosotan sumber
daya alam dalam pemanfaatannya; dan (d)
Proses dan kegiatan yang hasilnya dapat
memengaruhi lingkungan alam, lingkungan
buatan, serta lingkungan sosial dan budaya
(Pasal 24).
3. UU Nomor 4 Tahun 2009 Mineral dan batubara (Minerba) sebagai Kegiatan usaha pertambangan
(Pertambangan Mineral dan SDA yang tak terbarukan merupakan minerba diselenggarakan oleh
Batubara) kekayaan nasional yang dikuasai oleh Pemerintah dan pemda untuk
negara untuk sebesar-besar kesejahteraan sebesar-besar kesejahteraan
rakyat. Penguasaan minerba oleh negara rakyat.
diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau
pemerintah daerah (Pasal 4).
4. UU Nomor 26 Tahun 2007 Rencana pola ruang meliputi peruntukan Patokan kawasan hutan 30%
tentang Penataan Ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya yang digunakan dalam proses
meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan permohonan IPPKH khususnya
pelestarian lingkungan, sosial, budaya, di kawasan budidaya, walaupun
ekonomi, pertahanan, dan keamanan. Dalam keberadaan tambang secara
rangka pelestarian lingkungan, rencana tata alami tidak dapat ditentukan
ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan keberadaannya baik di kawasan
paling sedikit 30% dari luas daerah aliran lindung atau kawasan budidaya.
sungai (DAS). Penyusunan rencana tata
ruang harus memperhatikan keterkaitan
antar wilayah, antar fungsi kawasan, dan
antar kegiatan kawasan (Pasal 17).
5. Peraturan Pemerintah (PP) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib Izin lingkungan saling berkaitan
Nomor 27 Tahun 2012 (Izin memiliki amdal atau Upaya Pengelolaan dengan Amdal dan UKL-UPL
Lingkungan) Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya untuk suatu kegiatan usaha
Pemantauan Lingkungan Hidup (UPL) wajib pertambangan.
memiliki izin lingkungan. Izin llngkungan
tersebut diperoleh melalui tahapan kegiatan
yang meliputi (a) penyusunan amdal
dan UKL- UPL; (b) penilaian amdal dan
pemeriksaan UKL-UPL; dan (c) permohonan
dan penerbitan izinnya.
73
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
6. PP Nomor 6 Tahun 2007 jo Tata hutan dan penyusunan rencana KPH sebaiknya dilibatkan
PP Nomor 3 Tahun 2008 pengelolaan hutan, serta pemanfaatan dalam proses pengurusan IPPKH
(Tata Hutan dan Penyusunan hutan di seluruh kawasan hutan merupakan di hutan produksi (pengelola
Rencana Pengelolaan Hutan dan kewenangan pemerintah dan pemda. Kesatuan Pengelolaan Hutan
Pemanfaatan Hutan) Kawasan hutan (produksi, konservasi Produksi/ KPHP) dan di hutan
dan lindung) terbagi dalam kesatuan lindung (pengelola Kesatuan
pengelolaan hutan (KPH) yang menjadi Pengelolaan Hutan Lindung/
bagian dari penguatan sistem pengurusan KPHL).
hutan nasional, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota (Pasal 3).
7. PP Nomor 24 Tahun 2012 Keberadaan UU Nomor 4 Tahun 2009 untuk UU Nomor 4 Tahun 2009
(Kegiatan Usaha Pertambangan memberi (i) kesempatan lebih besar kepada menjadi dasar untuk negosiasi
Minerba) peserta Indonesia untuk lebih berpartisipasi dan pengalihan saham untuk
dalam kegiatan usaha pertambangan pemegang KK dan PKP2B serta
minerba, perlu mewajibkan modal asing merubahnya menjadi IUP.
untuk mengalihkan sebagian sahamnya
kepada peserta Indonesia, dan (ii) kepastian
hukum bagi pemegang Kontrak Karya
(KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B) yang
bermaksud untuk melakukan perpanjangan
dalam bentuk IUP, perlu diatur mengenai
tata cara permohonan IUP dimaksud.
8. PP Nomor 26 Tahun 2008 Penataan ruang wilayah nasional RTRWN menjadi pedoman
(Rencana Tata Ruang Nasional) (RTRWN) bertujuan untuk mewujudkan untuk (i) pewujudan
(a) ruang wilayah nasional yang aman, keterpaduan, keterkaitan, dan
nyaman, produktif, dan berkelanjutan; (b) keseimbangan perkembangan
keterpaduan perencanaan tata ruang wilayah antar wilayah provinsi, serta
nasional, provinsi, dan kabupaten/kota; (c) keserasian antar sektor, (ii)
keterpaduan pengendalian pemanfaatan penetapan lokasi dan fungsi
ruang wilayah nasional, provinsi, dan ruang untuk investasi, dam
kabupaten/kota dalam rangka pelindungan (iii) penataan ruang kawasan
fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif strategis nasional.
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan
ruang; dan (d) pemanfaatan sumber daya
alam secara berkelanjutan bagi peningkatan
kesejahteraan masyarakat (Pasal 2).
9. Perpres Nomor 97 Tahun 2014 Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) PTSP ini penting dan
(Pelayanan Terpadu Satu Pintu) adalah pelayanan secara terintegrasi merupakan terobosan untuk
dalam satu kesatuan proses dimulai dari menyediakan proses pelayanan
tahap permohonan sampai dengan tahap yang terintegrasi dalam satu
penyelesaian produk pelayanan melalui pintu yang cepat, mudah,
satu pintu (Pasal 1). PTSP bertujuan: murah, transparan, pasti, dan
(a) memberikan perlindungan dan terjangkau
kepastian hukum kepada masyarakat;
(b) memperpendek proses pelayanan;
(c) mewujudkan proses pelayanan yang
cepat, mudah, murah, transparan, pasti,
dan terjangkau; dan (d) mendekatkan dan
memberikan pelayanan yang lebih luas
kepada masyarakat (Pasal 2).
74
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
Peraturan perundangan
No. Substansi (Substance) Keterangan (Remarks)
(Regulations)
10. Peraturan Menteri Lingkungan Ada tujuh bidang LHK yang didelegasikan Proses perizinan yang telah
Hidup dan Kehutanan Nomor ke BKPM, yaitu (i) Pemanfaatan hasil hutan diterbitkan untuk ketujuh
P.97/MENHUT-II/2014 Jo kayu/bukan kayu hutan pada hutan produksi/ bidang LHK dengan jenis
Nomor P.1/Menhut-II/2015 hutan lindung (HP/HL) (enam jenis izin), (ii) izinnya masing-masing perlu
tentang Pendelegasian Pemanfaatan jasa lingkungan (IUPJL) pada dibuka aksesnya untuk publik.
Wewenang Pemberian HP/HL (lima jenis izin), (iii) Pemanfaatan
Perizinan dan Non Perizinan kawasan pada HP/HL (dua jenis izin), (iv)
di Bidang Lingkungan Hidup Penggunaan kawasan hutan pada hutan
dan Kehutanan dalam Rangka produksi/lindung, pelepasan, tukar menukar
Pelaksanaan Pelayanan Terpadu (tiga jenis izin), (v) Pengusahaan pariwisata
Satu Pintu Kepada Kepala alam/ bidang KSDA (16 jenis izin), (vi)
Badan Koordinasi Penanaman Perbenihan tanaman hutan (dua jenis izin),
Modal dan (viii) lingkungan (satu jenis izin).
11. Peraturan Menteri Lingkungan Rekomendasi Dirjen PHPL untuk IPPKH Perlu informasi yang jelas
Hidup dan Kehutanan di hutan produksi dihilangkan dan diganti terkait perubahan skema
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/ dengan Dirjen Minerba, Kementerian rekomendasi dari Dirjen PHPL
Kum.1/6/2016 ESDM, namun rekomendasi Perhutani masih (Peraturan Menteri Kehutanan
tentang Pedoman Pinjam Pakai dipertahankan untuk IPPKH di kawasan Nomor P.16/Menhut-II/2014) ke
Kawasan Hutan hutan di Pulau Jawa. Dirjen Minerba (PermenLHK
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/
Kum.1/6/2016 tahun 2016
tentang Pedoman Pinjam Pakai
Kawasan Hutan)
12. Peraturan Menteri Lingkungan Komisi penilai mempunyai tugas (i) menilai Proses pemilihan anggota
Hidup Nomor 5 tahun 2008 kerangka acuan (KA), analisis dampak komisi penilai andal harus
tentang Tata Kerja Komisi lingkungan (ANDAL), rencana kelola dilakukan dengan selektif,
Penilai Analisis Mengenai lingkungan (RKL), dan rencana pengelolaan cermat dan tepat karena sangat
Dampak Lingkungan Hidup lingkungan (RPL); dan (ii) memberikan mempengaruhi hasil keputusan
masukan dan dasar pertimbangan dalam yang dibuatnya.
pengambilan keputusan KA dan kelayakan
lingkungan hidup atas suatu rencana usaha
dan/atau kegiatan kepada 1. Menteri untuk
komisi penilai pusat; 2. Gubernur untuk
komisi penilai provinsi; 3. Bupati/Walikota
untuk komisi penilai kabupaten/kota. Dalam
melaksanakan tugasnya, komisi penilai
wajib mengacu pada (a) kebijakan di bidang
pengelolaan lingkungan hidup yang diatur
dalam peraturan perundang-undangan;
(b) rencana tata ruang wilayah; dan (c)
kepentingan pertahanan keamanan.
Sumber (Source): Dari berbagai sumber peraturan perundangan, diolah (From various sources of legislation,
analyzed).
75
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
tersebut, pelaksanaan pengaturan kebijakan pusat dan daerah, sehingga pada akhirnya
pertambangan seharusnya juga menyentuh akan memberikan ketidakpastian berusaha
kebijakan secara lintas sektor yang mencakup bagi kegiatan usaha pertambangan (Silalahi
teknis pelaksanaan maupun pendukung & Kristianto, 2011).
sarana dan prasarananya. Contohnya Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka
keterkaitan hukum undang-undang Minerba kebijakan sistem perizinan pertambangan
dalam sistem perizinan, dengan adanya dalam kawasan hutan perlu dikaji dari
ketentuan dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 berbagai sudut, antara lain (i) Persyaratan
(PPLH) yang mewajibkan izin lingkungan perizinannya; (ii) Tata cara pemberian sistem
sebagai syarat izin kegiatan, termasuk perizinannya, (iii) Permasalahan IUP, (iv)
kegiatan usaha pertambangan. Keharusan Implikasi kelemahan UU Minerba, dan (v)
usaha pertambangan mendapatkan terlebih Aturan pelaksana dan aspek lingkungan dari
dahulu izin lingkungan sebagai pra-syarat UU Minerba.
memperoleh IUP menimbulkan masalah Namun sebelum dibahas lebih lanjut
terhadap gagasan sistem izin satu atap. akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai
Permasalahan lain terkait dengan pengaturan pengaturan penggunaan dan pengusahaan
tata ruang yang dalam pelaksanaan masih pertambangan, karena subtansi ini yang
sering menimbulkan tumpang-tindih antar menjadi parameter mendasar dalam
sektor bertalian dengan beragamnya jenis pengaturan hukum pertambangan yang
pemanfaat ruang kegiatan pertambangan dan berlaku saat ini. Pada masa berlakunya
perbedaan kepentingan antara pemerintah UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang
76
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
77
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
78
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
79
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
7. Pelaku usaha - Investor nasional domestik - IUP bagi badan usaha (PMA/PMDN),
(Business actors) (PMDN), berupa: KP, SIPD, koperasi, perseorangan (Pasal 38)
PKP2B - IPR bagi penduduk lokal, koperasi
- Investor Asing (PMA), (Pasal 67), dengan luas terperinci (pasal
berupa: KK, PKP2B 68)
- Luas usaha pertambangan - IUPK, bagi badan usaha berbadan
tidak dirinci hukum Indonesia degan prioritas pada
BUMN / BUMD (Pasal 75)
80
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
9. Pembinaan & Terpusat di tangan pemerintah - Pusat, provinsi, kabupaten kota sesuai
pengawasan atas pemegang KK, KP, PKP2B kewenangan terhadap pemegang IUP
(Guidance and control) - Kabupaten/Kota terhadap IPR (Pasal
139-142)
10. Penggunaan lahan Penggunaan lahan dilakukan Pembatasan tanah yang dapat diusahakan
(Use of land) pembatasan tanah yang dapat dan sebelum memasuki tahap operasi
diusahakan. produksi pemegang IUP/IUPK wajib
menyelesaikan hak atas tanah dengan
pemegang hak.
11. Tata cara Melalui mekanisme Perizinan dilakukan dengan lelang untuk
perizinan Permohonan mineral logam dan batubara, sedangkan
(License procedure) untuk mineral bukan logam dan batuan
perizinan dilakukan dengan permohonan
wilayah
jenis pelanggarannya dari mulai sanksi Terkait dengan isu lingkungan, saat
administrasi, pencabutan izin hingga sanksi ini sudah ada PP khusus, yakni Peraturan
pidana. Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang
Reklamasi dan Pasca Tambang untuk wilayah
5. Aturan Pelaksana dan Aspek tambang di APL (diinisiasi oleh Kementeria
Lingkungan dari UU Minerba ESDM) dan Peraturan Pemerintah Nomor
Peraturan pelaksana atas UU Minerba 76 Tahun 2008 tentang Rehabilitasi dan
terus dilengkapi, akan tetapi yang menjadi Reklamasi Hutan untuk wilayah tambang di
masalah adalah ada wilayah pertambangan kawasan hutan (diinisiasi oleh Kementerian
(WP) yang belum keluar. Kalau WP belum Kehutanan). Kedua PP ini menjadi bukti
keluar, maka praktis penerbitan IUP juga bahwa UU Minerba sangat menekankan aspek
tidak bisa dilakukan. Untuk PP, hingga saat kelestarian lingkungan dalam pengelolaan
ini sudah ada empat PP yang menjadi turunan tambang. Untuk aspek pidana lingkungan,
dari UU Minerba dan bahkan ada satu PP (PP sudah ada UU Nomor 32 Tahun 2009 terkait
Nomor 23 Tahun 2010) yang sudah direvisi pelanggaran atas aspek lingkungan dan dalam
menjadi PP Nomor 24 Tahun 2012 tentang konteks apapun, dimana apabila ada pihak
Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan dengan kegiatan minerba yang melakukan
Minerba. Revisi PP ini diharapkan bisa lebih tindak pidana terkait lingkungan akan dijerat
operasional dan secara umum sudah terlihat dengan UU Lingkungan Hidup dan bukan
adanya kepatuhan dari pemerintah daerah dan dengan UU Minerba.Khusus untuk PP
masyarakat untuk mengikutinya. Nomor 78 Tahun 2010, hal yang diatur adalah
kewajiban perusahaan untuk melakukan
81
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
82
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
83
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
yang ada di dalam kebijakan yang diterbitkan setelah penelitian Amdal, UKL-UPL
oleh Kementerian LHK atau Kementerian tersebut dilakukan, maka dokumen tersebut
ESDM saja, karena di bawahnya masih ada otomatis menjadi dokumen perizinan.
perizinan dan non-perizinan lain yang harus Keberadaan dokumen tersebut memberi
diurus dan diselesaikan, misalnya dengan kesan terlalu birokratis yang berakibat pada
adanya ketentuan dalam UU Nomor 39 Tahun lambatnya dalam pengurusan izin. Untuk
2009 yang mewajibkan izin lingkungan sebagai lebih mempermudah dalam proses IPPKH
syarat izin kegiatan, termasuk kegiatan usaha harus ada reformasi kebijakan dengan cara
pertambangan. Dalam PermenLHK Nomor mensinkronkan kebijakan penggunaan
P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 tentang kawasan hutan yang diterbitkan oleh
Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk Kementerian LHK dengan kebijakan yang
mengurus IPPKH mungkin lebih singkat dan diterbitkan oleh Kementerian LH terkait
mudah, akan tetapi izin tersebut tidak ada Amdal, UKL-UPL dan Izin Lingkungan
artinya apabila tidak dilengkapi dengan izin mengingat Kementerian Lingkungan
lingkungan. Jika memang dalam pengurusan Hidup dan Kementerian Kehutanan sudah
izin ingin sesuai dengan harapan pemerintah digabungkan.
(Presiden) jangka waktu pegurusan yang lebih (2) Tujuan dari adanya pengurusan perizinan
singkat lagi, maka dalam aturan atau kebijakan terpadu, agar dalam pengurusan izin
IPPKH harus dicantumkan/disebutkan dan/ lebih efisien, cepat, dan sederhana. Oleh
atau dengan catatan bahwa persyaratan izin karena itu, penataan kelembagaan dan
lain yang diterbitkan oleh pemerintah daerah koordinasi antar berbagai pihak yang
yang merupakan persyaratan tambahan yang terkait harus terintegrasi sehingga dapat
harus dipenuhi dalam perizinan tersebut terwujud dalam sistem perizinan satu atap
sudah selesai. Artinya seluruh perizinan lain sebagai gagasan yang dapat membantu
yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan
di daerah sudah selesai. Penekanan tersebut di Indonesia. Di samping itu, harus
sangat diperlukan untuk memperlancar dipertimbangkan juga ketimpangan
terbitnya izin atau sesuai dengan ketentuan SDM bidang kehutanan karena tenaga
yang berlaku saat ini (tujuh hari kerja) ahli (expert) di bidang kehutanan sangat
sebagaimana tercantum dalam Perpres Nomor minim di BKPMPT daerah.
97 Tahun 2014. (3) Menata ulang IUP yang tumpang tindih
3. Langkah-langkah konkrit penyempurnaan dengan cara menata status atau mencabut
sistem perizinan pertambangan dalam IUP yang sampai saat ini belum clear and
kawasan hutan clean.
Dari hasil pembahasan sebelumnya, (4) Kurangnya pengawasan ketika IUP telah
setidaknya ada 7 (tujuh) langkah konkrit diterbitkan. Hal ini diperburuk ketika
yang harus dilakukan sebagai upaya nyata daerah yang sudah menerbitkan ratusan
penyempurnaan sistem IPPKH, yaitu: izin tapi ternyata mereka tidak mempunyai
(1) Amdal dan UKL-UPL bukan merupakan tenaga pengawas atau inspektur tambang.
dokumen perizinan tetapi dokumen Seyogyanya proses pemberian izin
penelitian ilmiah tentang sesuatu yang harus diawasi dan setiap daerah sudah
akan terjadi terhadap lingkungan ketika semestinya memiliki jumlah inspektur
kegiatan tersebut akan dilaksanakan. tambang yang cukup memadai kuantitas
Namun keterkaitan erat antar dokumen dan kualitasnya.
Amdal dan UKL-UPL dengan izin (5) Penyesuaian KK. Jika berbicara secara
lingkungan, dimana izin lingkungan terbit hukum penyesuaian KK itu harusnya
84
Sinkronisasi Kebijakan di Bidang Izin Pertambangan dalam Kawasan Hutan........(Epi Syahadat, Subarudi & Andri Setiadi
Kurniawani)
dilakukan dalam jangka waktu satu tahun sesuai kebijakan Pergub masing-masing
sesuai dengan UU Minerba, namun dalam daerah.
pelaksanaannya mulur waktunya sehingga Permasalahan yang dihadapi oleh Kantor
diperlukan ketegasan pemerintah bahwa BKPMPT daerah sebagai kuasa penerbit
mengamandemen kontrak supaya lebih perizinan daerah adalah kurangnya tenaga
adil dan menguntungkan negara. atau sumber daya manusia yang mengetahui
(6) Pemerintah harus lebih selektif dalam substansi atau teknis terkait dengan
memberikan IUP, mengingat sudah permohonan izin khususnya bidang LHK
banyak perusahaan pertambangan yang (misalnya tenaga Geographic Information
legal (punya IUP) tetapi tidak memenuhi System/GIS).
kewajibannya, misalnya menunggak
B. Saran
pembayaran jaminan reklamasi yang
harus dibayarkan di muka sebelum IUP Sinkronisasi dari produk kebijakan
diterbitkan. terkait sistem perizinan pertambangan dalam
(7) Dengan diterbitkan UU Nomor 4 Tahun kawasan hutan perlu dilakukan dengan
2009, izin lain seperti KK (Kontrak Karya), duduk bersama antara Kementerian ESDM
Kuasa Pertambangan (KP), Perjanjian dan Kementerian LHK. Misalnya kebijakan
Karya Pengusahaan Pertambangan mengenai amdal, UKL-UPL, dan izin
Batubara (PKP2B), dan lainnya sudah lingkungan yang diterbitkan berdasarkan
dihapus dan diganti menjadi IUP, namun Peraturan Menteri Lingkungan Hidup
kelengkapan dokumen lainnya seperti pada waktu itu, seharusnya lebih mudah
amdal, UKL, UPL dan izin lingkungan disinkronkan mengingat Kementerian
harus juga diselesaikan oleh pemegang Kehutanan dan Kementerian Lingkungan
IUP baru tersebut. Hidup sudah bergabung, sehingga birokrasi
dalam mengurus perizinan di bidang LHK
dapat dipangkas.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
Penetapan jangka waktu proses perizinan
A. Kesimpulan dalam Perpres Nomor 97 Tahun 2014 perlu
Kebijakan perizinan pertambangan direvisi karena belum mencantumkan
di kawasan hutan kurang efektif karena persyaratan izin lain yang diterbitkan oleh
melibatkan dua pintu kementerian, yaitu pemerintah daerah. Hal ini penting untuk
Kementerian ESDM untuk IUP dan memperlancar terbitnya izin atau sesuai
Kementerian LHK untuk IPPKH. dengan waktu yang sudah ditetapkannya.
Mekanisme IPPKH berdasarkan Peraturan Terkait perizinan terpadu, pemerintah
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan daerah perlu melakukan kordinasi
Nomor P.50/Menlhk/Setjen/Kum.1/6/2016 antar berbagai pihak yang terkait dan
tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan mempertimbangkan juga SDM bidang
Hutan diperlukan waktu selama 31 hari kehutanan yang jumlahnya sangat minim di
kerja, namun dalam pelaksanaanya ternyata BKPMPT daerah.
membutuhkan waktu tiga kali lebih lama dari
waktu (31 hari) tersebut sehingga penetapan UCAPAN TERIMA KASIH
waktunya harus dikaji ulang sesuai dengan (ACKNOWLEDGEMENT)
fakta dan kondisi riil lapangan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada
Pelaksanaan penyelenggaraan PTSP di Kepala Pusat Penelitian Pengembangan
tingkat daerah berbeda-beda karena adanya Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan
perbedaan kebijakan dari satu daerah dengan Iklim atas dukungannya dalam penulisan
daerah yang lain dalam penerbitan perizinan karya tulis ilmiah (KTI) ini. Terima kasih
85
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol. 15 No.1, Mei 2018 : 67-86
86