You are on page 1of 20

Kajian Islam Filosofis: Al-Hikmah Al-Muta’aliyah

Karya Mulla Shadra

Oleh : Aina Salsabila, M. Pd.I


Email: alsa_duary@yahoo.co.id

Abstract

Mulla Sadra appeared with originality awesome when philosophy Muslims often accused of simply
followed by philosophy of Plato and Aristotle. His philosophy gave birth to its own flow: al-
Hikmah Al-Muta'aliyah. The flow is the object of the intellect of the philosophers skrutinisasi both
Western and Eastern. A Magnum Opus inestimable contribution to the Islamic intellectual treasures.
Characteristics of al-Hikmah al-Muta'aliyah which is the synthesis is the result of the combination
and harmonization of the teachings of revelation, the sayings of the Imams, truths obtained through
appreciation of spiritual illumination and intellectual, and the demands of logic and evidence
rationally. Synthesis and harmonization is aimed at integrating the knowledge acquired through the
means of Sufism or 'irfan, illuminationism or isyraqiyyah, rational philosophy or identical with the
Peripatetic or masysya'iyyah and religious sciences in the narrow sense, including kalam. Thus, the
appearance can not be separated from, and should be viewed in the context of Islamic schools of
thought that preceded it. This paper aims to describe the focus of the discussion about the biography
of Mulla Shadra, the works and the sources of his thinking, understanding and concept of al-
Hikmah al-Muta'aliyah, the philosophy of being Mulla Shadra, analysis of building philosophy and
the influence of his mind to the philosophers afterwards.

Key Words : Studies, Philosophical, Mulla Shadra, al- Hikmah Al-Muta’aliyah

Abstrak

Mulla Shadra beliau muncul dengan orisinalitas mengagumkan saat filsafat muslim banyak
dituduh sekedar mengekor filsafat Plato dan Aristoteles. Filsafatnya melahirkan aliran tersendiri: al-
Hikmah Al-Muta’aliyah. Aliran yang menjadi objek skrutinisasi intelek para filosof baik Barat
maupun Timur. Sebuah Opus Magnum yang tak terkira sumbangsihnya bagi khazanah intelektual
Islam. Karakteristik al-Hikmah al-Muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi
dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang
diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan
pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang
diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional
atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti
sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus
dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya. Tulisan ini bertujuan
untuk memaparkan fokus pembahasan tentang biografi Mulla Shadra, karya-karya dan sumber
pemikirannya, pengertian dan konsep al—Hikmah al-Muta’aliyah, filsafat wujud Mulla Shadra,
analisa bangunan filsafatnya dan pengaruh pikirannya terhadap filosof sesudahnya.
Kata Kunci : Kajian, Filosofis, Mulla Shadra, al- Hikmah Al-Muta’aliyah

Pendahuluan
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistematika
pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti filsafat
Peripatetik, Iluminasi, Irfan dan Teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah
satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal
abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga
melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta'aliyah.
Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah
filsafat terdahulu juga berhasil mengkonstruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru
yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tidak
mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut, disamping itu aliran baru ini
juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama,
karena itu tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis
filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara agama
dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas
dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang
sistimatis dan logis atas doktrin-doktrin agama tersebut.
Trancendent theoshopy (al-Hikmah al-Muta'aliyah) adalah sejenis hikmah atau falsafah
yang dilandasi oleh fondasi metafisika yang murni, yang diperoleh melalui intuisi intelektual, dan
diformulasikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang rasional dan
direalisasikan dengan mengikuti aturan syari’at.
Kemunculan seorang figur dengan kapasitas intelektual dan spiritual seperti Mulla Shadra
di Persia pada periode Safawi, jelas menunjukkan adanya kehidupan suatu tradisi intelektual yang
kuat, yang memungkinkan baginya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.

Biografi Mulla Shadra


Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy, yang
bergelar ‘Sadr al-Din’ dan lebih popular dengan sebutan Mullâ Shadrâ atau Sadr al-Muta’alihin,
dan dikalangan murid-murid serta pengikutnya disebut ‘Âkhûnd’. Dia dilahirkan di Syiraz sekitar
tahun 979-80 H/ 1571-72 M dalam sebuah keluarga yang cukup berpengaruh dan terkenal, yaitu
keluarga Qawam. Ayahnya adalah Ibrahim bin Yahya al-Qawami al-Syirazy salah seorang yang
berilmu dan saleh, dan dikatakan pernah menjabat sebagai Gubernur Propinsi Fars. Secara sosial-
politik, ia memiliki kekuasaan yang istimewa di kota asalnya, Syiraz.
Pada sumber-sumber tradisional, tahun kelahirannya tidak ditetapkan, dan baru diketahui
kemudian ketika `Allamah Sayyid Muhammad Hussein Tabataba`i melakukan koreksi terhadap
edisi baru al-Hikmah al-Muta`aliyah dan mempersiapkan penerbitannya. Pada catatan pinggir yang
ditulis oleh pengarangnya sendiri, ketika ia membicarakan tentang kesatuan antara subyek yang
berpikir dan obyek pemikirannya (dalam istilah filosofisnya dikenal sebagai ittihad al-`aqil bi al-
ma`qul), ditemukan kalimat sebagai berikut: “Aku memperoleh inspirasi ini pada saat matahari
terbit di hari Jum`at, tanggal 7 Jumadi al-Ula tahun 1037 (bertepatan dengan 14 januari 1628),
ketika usiaku telah mencapai 58 tahun”.
Pendidikan formal Shadra tampaknya telah mempersiapkan dirinya untuk mengemban
tugas yang maha besar ini. Mengikuti penjelasannya sendiri dalam Al-Asfhar Al-Arba’ah, para
sejarawan membagi biografinya ke dalam tiga periode: Periode pertama, pendidikan formalnya
berlangsung di bawah guru-guru terbaik pada zamannya. Tidak sama seperti filosof lainnya, dia
menerima pendidikan dari tradisi Syiah: fiqih Ja’fari, ilmu hadis, tafsir dan syarah Al-Qur’an di
bawah bimbingan Baha‘uddin al-‘amali (1031 H/1622 M), yang meletakkan dasar fiqih-baru
Syi’ah. Selanjutnya ia belajar pada filosof peripatetik Mir Finderski (w. 1050 H/1641 M) namun
gurunya yang utama adalah teolog-filosof, Muhammad yang dikenal sebagai Mir Damad (1041
H/1631 M). Damad nampaknya merupakan pemikir papan atas yang mempunyai orisinilitas dan
juga dijuluki Sang Guru Ketiga (setelah Aristoteles dan Al-Farabi).
Setelah menyelesaikan pendidikan formalnya, Shadra terpaksa meninggalkan Isfahan,
karena kritik sengit terhadap pandangan-pandangannya dari Syi’ah dogmatis. Dalam periode kedua,
dia menarik diri dari khalayak dan melakukan uzlah di sebuah desa kecil dekat Qum. Selama
periode ini, pengetahuan yang diperolehnya mengalami kristalisasi yang semakin utuh, serta
menemukan tempat dalam mengasah kreativitasnya. Beberapa bagian dari Al-Asfar al-
Arba’ah disusunnya pada periode ini. Dalam periode ketiga, dia kembali mengajar di Syiraz, dan
menolak tawaran untuk mengajar dan menduduki jabatan di Isfahan. Semua karya pentingnya dia
hasilkan dalam periode ini.
Mulla Shadra telah melahirkan banyak penerus yang memberikan kontribusi dalam
perkembangan filsafat di Persia pada periode berikutnya. Paling tidak ada dua orang penerusnya
yang sangat terkenal, yaitu Mulla Abd Al Razzak Lahiji dan Mulla Muhsin Faidh Khasyani. Razzak
Lahiji, membuat ringkasan kecenderungan aliran Paripatetik sang guru dalam Bahasa Persia, tidak
heran jika ia lebih dikenal di negerinya itu. Sedangkan murid lainnya, Kasyani lebih menekankan
aspek gnostik yang diajarkan oleh Mulla Shadra. Keintiman hubungan murid guru ini, juga
ditunjukkan dengan pernikahan keduanya dengan putri-putri Mulla Shadra.
Kegiatan intelektual Mulla Shadra yang dipraktikkan dalam aktivitas mengajar dan menulis
ia barengi dengan laku spiritual yang mengagumkan. Salah satu contohnya, ia menunaikan ibadah
haji dengan berjalan kaki selama tujuh kali. Laku spritual yang semakin intens telah memberinya
pencerahan-pencerahan bagi dirinya dalam menekuni dunianya.
Sekembalinya dari tanah suci yang ketujuh kalinya, ia menderita sakit di Basrah. Mulla
Shadra menghembuskan napas terakhirnya di Basrah pada 1640. Meski demikian, namanya tetap
hidup hingga kini melalui karya tulisnya yang menarik perhatian para cerdik cendekia. Sebut saja
karya monumentalnya, al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-Aqliyyah al-Arbaah. Karya lainnya,
al-Syawahid al-Rububiyyah fi al- Manahij al-Sulukiyyah, dianggap sebagai ringkasan dari al-
Hikmah al-Mutaaliyah, ada juga al-Mabda wa al-Maad salah satu karya Mulla Shadra yang
berhubungan dengan metafisika, kosmogoni, dan eskatologi.

Karya-karya Mulla Shadra


Seluruh tulisan Shadra mempunyai nilai yang tinggi, baik secara intelektual maupun
kesusteraan. Seluruhnya ditulis dalam Bahasa Arab dengan jelas dan lancar, kecuali Resale Se Asl,
yang ditulis dalam Bahasa Persia. Disepanjang sejarah tradisi filsafat Islam, tulisan-tulisannya bisa
dipandang termasuk diantara contoh-contoh terbaik literatur filsafat yang ditulis dalam bahasa Arab.
Sebagian orang membagi karya-karyanya ke dalam dua kelompok, yaitu yang berkaitan dengan
ilmu-ilmu keagamaan (naqli) dan ilmu-ilmu intelektual (‘aqli). Namun, karena Shadra memandang
bahwa kedua tipe ilmu tersebut berkaitan erat satu sama lain dan berasal dari sumber pengetahuan
yang sama, yaitu intelek ketuhanan, maka dia selalu mengkaitkan persoalan keagamaan ke dalam
karya filosofisnya dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, sebenarnya pembagian di atas tidak
bisa dipertahankan, meskipun bukan tanpa makna sama sekali.
Berdasarkan sumber-sumber yang ada, karya-karya Mulla Shadra antara lain:
1. Al-Hikmah al-Muta’âliyah fi al-Asfar al-Arba’ah: kitab ini adalah magnum opusnya dan induk
dari semua karya-karyanya serta paling lengkapnya pembahasan filsafat dari seorang filosof.
2. Asy-Syawâhid ar-Rububiyyah fi al-Manâhij as-Sulukiyyah: Kitab ini mengulas seluruh pikiran-
pikiran Mulla Shadra secara luas atau hanya memuat doktrin-doktrin aliran filsafat muta’aliyah.
3. Al-mabda’ wa al-ma’ad: Kitab ini membahas mulai dari tauhid sampai ilmu tentang alam
akhirat.
4. Al-Masyâ’ir: Kitab ini berisi tentang pengertian wujud, hakikat wujud dan hal-hal partikular
tentang wujud. Paling lengkapnya pembahasan tentang wujud dalam kitab ini.
5. At-tafsir al-Quran: berisi tafsiran dan penjelasan beberapa surah dari al-Quran, antara lain: al-
Hadid, Ayatul Kursi, an-Nur, as-Sajdah, al-Fatihah, al-Baqarah, Yasin, Jum’ah, al-Waqi’ah,
at-Thariq, al-‘Ala dan az-Zalzalah.
Dan beberapa karya lainnya yang berisi berbagai disiplin keilmuwan, seperti:
Ittihâd al-Âqil wa al-Ma’qul, Ittishâf al-Mahiyat bi al-Wujud, Ajwibatu al-Masail, Ajwibatul
al-Masâil an-Nashiriyat, Asrar al-Ayat wa Anwâr al-Bayyinat, Aksirul ‘Arifin, At-
Tasyakhkhush, At-Tasawwur wa at-Tashdiq, Ta’liqât ‘ala al-Hikmat al-Isyrâq, Ta’liqât ‘ala al-
Ilahiyyat as-Syifa, Huduts al-‘Âlam, Al-Hasyr, Al-Hikmat al-Arsyiyyah, Khalq al-‘Amâl,
Diwâne Sy’er, Zad al-Masafir wa Zad as-Sâlik, Sarayân Nur Wujud al-Haq fi al-Maujudat,
Seh Asl, Syar Ushul al-Kâfi, Syar Hidayat al-Asiriyyah, Al-Qadha wa al-Qadr, Kasr Ashnam
al-Jahiliyyah, Al-Lamâ’at al-Masyriqiyyah fi al-Mubahats al-Manthiqiyyah, Lammiyat
ikhtishash al-manthaqat bi mawdi’a mu’ayyan min al-falak, Mutasyabih al-Quran, Al-Mizâj,
Al-Masail al-Qudsiyyah, Al-Masyâ’ir, Al-Mazahir al-Ilahiyyah fi Asrâr al-‘Ulum al-
Kamâliyah, Mafatih al-Ghaib, Al-Waridat al-Qalbiyyah, Nomeh hoye Sadr al-mutaallihin, dan
Ashalat j’al al-Wujud.
Menurut Tabataba’I sebagaimana dikutip Nasr, Karya Mulla Shadra tidak kurang dari 46
judul ditambah enam risalah yang dianggap karya Mulla Shadra. Tetapi Fazlur Rahman
menyebutnya berjumlah 32 atau 33 risalah. Sebagian besar karya-karyanya tersebut telah
dipublikasikan semenjak seperempat terakhir abad XIX. Hanya risalah-risalah kecil tertentu saja
yang belum dipublikasikan.

Pengertian Al-Hikmah Al-Muta’aliyah


Berikut ini akan dikemukakan bagaimana pemahaman para filosof Muslim terhadap istilah
Hikmah atau Falsafah yang menurut mereka berasal dari Tuhan. Dari sinilah muncul Al- Hikmah
Al- Ilahiyyah. Abu Ya’cob Al- Kindi mendefinisikan falsafah sebagai pengetahuan yang realitas
atau hakekat segala sesuatu sebatas yang memungkinkan bagi manusia, karena sesungguhnya tujuan
filosof secara teoritis adalah untuk mencapai kebenaran dan secara praktis adalah bertingkah laku
sesuai kebenaran.
Al- Farabi mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan-pengetahuan tentang segala yang
ada sebagai mana adanya. Adapun menurut Ibnu Sina dalam Uyun Al–Hikmah, beliau
mendefinisikan sebagai kesempurnaan jiwa manusia melalui konseptualisasi terhadap pelbagai
persoalan dan pembenaran terhadap realitas-realitas teoritis maupun praktis, sesuai dengan
kemampuan manusia.
Keterpaduan antara aspek teoritis dan dimensi praktis dari filsafat juga dikumandangkan
oleh kelompok Ikhwan Ash- Shafa’ kelompok pemikir muslim Syiah Islamiyah yang memiliki
tendesi kearah tasawuf atau sufisme. Mereka menyatakan bahwa awal filsafat adalah kecintaan
terhadap pelbagai ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan realitas tentang segala yang ada sesuai
dengan kemampuan manusia, dan akhirnya adalah kata- kata dan tindakan yang sesuai dengan
pengetahuan tersebut.
Kehadiran Suhrawardi tidak saja menjadikan filsafat Islam memasuki periode baru, tetapi
juga dunia baru dengan dibangunnya suatu perspektif intelektual yang baru, yang disebut sebagai
Hikmah Isyraqiyah. Di dalam perspektif ini ditekankan adanya keterkaaitan yang erat antara agama
dan filsafat sebagi dimensi esoterik wahyu dan praktik asketetisme agama, yang di dalam Islam
dikaitkan dengan tasawuf. Suhrawardi memandang bahwa seorang filosof atau hakim (ahli hikmah)
yang sesungguhnya adalah seorang yang memiliki pengetahuan teoritis dan sekaligus visi spritual.
Mulla Shadra Dalam pendahuluan al-Hikmah al-Muta’aliyah dia membahas secara panjang
lebar mengenai hikmah, menurutnya hikmah tidak saja menekan segi pengetahuan teoritis, tetapi
juga pelepasan diri dari hawa nafsu dan penyucian jiwa dari kotoran- kotoran yang bersifat material.
Pelbagai pandangan mengenai pemaknaan terhadap istilah falsafah atau hikmah, penemuan
konsep puncaknya melalui sintesis yang dilakukan oleh Mulla Shadra yang dinamakan dengan Al-
Hikamah Al- Mut’aliyah.
Ungkapan Al- Hikmah Al-Muta’aliyah terdiri dari dua istilah yaitu hikmah yang dalam
perspektif ini merupakan kombinasi dari filsafat, iluminasionisme, dan sifisme. Dan al-muta’aliyah
yang berarti tinggi, agung, transenden.
Penyebutan Al-Hikmah Al-Muata’aliyah sebagai aliran filsafat Mulla Shadra diperkenalkan
untuk pertama kali oleh muridnya yang bernama ‘Abdul ar- Razaq Lahiji. Mulla Shadra memang
tidak mengatakan secara ekplesit bahwa Al-Hikmah Al-Muta’aliyah adalah nama dari aliran
filsafatnya, penyebutan istilah tersebut dalam tulisan-tulisannya. Adapun mengapa istilah ini
diidentifikan sebagai ajaran Shadra oleh murid-muridnya dan oleh masyarakat umumnya
kemungkinan sekali karena dua faktor.
Sebagaimana dikemukakan oleh Sayyed Hossein Nasr, kedua faktor tersebut yaitu: (1) judul
buku Al-Hikmah Al-Muta’aliyah menyatakan secara tidak langsung tentang keberadaan suatu aliran
dan pandangan dunia, yang didalamnya tergambar doktrin-doktrin metafisika Mulla Shadra; dan (2)
adanya ajaran oral dari Mulla Shadra sendiri yang menunjukkan bahwa pengertian al-hikmah al-
muta’aliyah tidak saja menunjuk kepada judul tulisannya. Meskipun yang terakhir ini tidak
didukung oleh dokumen-dokumen tertulis, namun konfirmasi dari guru-guru tradisional di Persia,
yang menerima tradisi tersebut melalui serangkaian guru yang sampai kepada Mulla Shadra sendiri,
merupakan argumen yang kuat untuk menerima alasan tersebut.
Pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra tentang Al- Hikmah Al-Muta’aliyah tidak lain adalah
filsafat itu sendiri. Menurutnya istilah hikmah dan filsafat adalah dua hal identik.
Untuk mengetahui pemaknaan dan konsepsi Mulla Shadra tentang Al-Hikmah Al-
Muta’aliyah harus dilihat bagaimana dia mendefinisikan istilah hikmah atau filsafat. Dalam
perspektif ini setelah melakukan sintesis terhadap berbagai pandangan terdahulu, Mulla Shadra
mendefinisikan falsafah sebagai;

“ Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang
ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadadan mereka, yang dibangun
berdasarkan bukti- bukti yang jelas, bukan atas dasar persangkaan dan sekedar mengikuti
pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa
berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta
sebagai tata tertib yang bisa di mengerti, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dalam
rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”.

Berdasarkan definisi falsafah atau hikmah di atas, bisa dilihat bagaimana Mulla Shadra
berusaha mengkombinasikan dan mengharmoniskan pelbagai pandangan-pandangan terdahulu
dengan pandangan sendiri, melalui kreatifitas dan kejeniusan berfikirnya.
Perspektif Mulla Shadra terhadap hikmah adalah sesuatu yang bisa dijadikan sarana yang
membebaskan manusia dari keterkaitannya terhadap hal- hal yang bersifat materil dan duniawi, dan
menghantarkannya kembali kepada asal usul penciptaannya, yaitu alam Ketuhanan.
Al-Hikmah Al-Muta'aliyah epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi intelektual
(dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal), dan syari’at. Sehingga hikmah adalah
kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan
disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Hikmah ini
bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima
pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dicapai
dengan mengikuti syari’at. Sementara itu, dari sisi ontologis, Al-Hikmah Al-Muta'aliyah didasarkan
atas tiga hal: prinsip wujud, gradasi wujud, dan gerak subtansial.
Dalam mazhab Isfahan, Mulla Shadra tercatat sebagai tokoh filosof yang sangat tersohor,
kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam menguasai ringkasan pemikiran filsafat Islam
yang berkembang dalam rentang waktu 900 tahun dengan pendekatan sintesis akhir berbagai
mazhab filsafat dan teologi Islam (kalam). Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapan-
ucapan para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif, kalam sunni dan syi’i
serta mazhab gnosis, Mulla Shadra membuat sistesis secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal
dengan teosofi transenden (Al-hikmah Al-muta’aliyah). Mulla Shadra merasa yakin bahwa ada tiga
jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual (‘Aql) dan
visi batin atau pencerahan (kasyf). Dia berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’ sehingga
manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut.
Konsep Al-Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra

Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Shadra memiliki pengertian khusus yaitu
mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya. Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang
hikmah muta’aliyyah berkata: hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang
belum mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).
Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen
rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), Al-Quran dan hadis Ahlulbait, karenanya dikatakan
paling tingginya hikmah. Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan
wahyu sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi
dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filosof ilahi.
Syariat yang benar tidak mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya
memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.
Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai dengan syariat, karena
hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar maka
merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum
dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah
mencapai ilmu hudhuri.
Menurut filosof ini fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia, jika prilaku manusia
terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan makrifatnya dari
Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.
Dalam filsafat Mulla Shadra empat aliran berpikir – aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan
tasawuf – tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-
Muta’aliyah, aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi
pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai
aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.
Aliran filsafat Shadra mampu menggabungkan antara doktrin Islam dengan pemikiran
filsafat. Al-Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap
persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki
oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya
filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir Al-Quran dan hadis bisa
dinamakan sebuah kitab filsafat.

Sumber Pemikiran Mulla Shadra


Dari tulisan-tulisannya, kita mengetahui betapa kayanya bahan yang digunakan oleh Mulla
Shadra. Dia mengutip sejak filsafat pra-Socrates hingga berbagai pemikiran yang hidup pada
zamannya. S.H.Nashr bahkan menunjukkan Mulla Shadra sebagai sumber sejarah filsafat Islam.
Hanya untuk menyingkat pembicaraan, disini kita menyebutkan empat sumber utama dari ajaran
Mulla Shadra. Pertama, filsafat peripatetik Islami, khususnya dari Ibn Sina dan melalui dialah
filsafat Aristoteles dan Neo Platonis sebagian besar ajarannya telah menjadi bagian dari filsafat
peripatetik Islam. Kedua, teosofi Isyraqi dari Suhrawardi dan para pensyarahnya seperti Quthb Al-
Din Syirazi dan Jalal Al-Din Dawani. Ketiga, ajaran tasawuf dari Ibn ‘Arabi dan pembahas
ajarannya, seperti Shadr Al-Din Qun-yawi serta karya-karya tokoh sufi lainnya, seperti ‘Ayn Al-
Qudhat Hamadani dan Mahmud Syabistari. Keempat, Syariat islam, termasuk sabda Rasulullah dan
Imam-Imam Syi’ah, terutama sekali Nahj Al-Balghah yang semuanya merupakan dasar hikmah
Islamiyah.
Dengan demikian, sistem pemikiran Mulla Shadra dibangun di atas pondasi Ibn Sina,
dibentuk dengan sistem Suhrawardi dan dikaji berdasarkan isu-isu penting yang disampaikan oleh
Ibnu Arabi. Filsafat Mulla Shadra bukan sekedar penyatuan dari aliran-aliran utama, bukan
kompromi atau rekonsiliasi permukaan, tapi merupakan sintesa sejati yang didasarkan atas sebuah
prinsip filsafat penting yang baru pertama kali diuraikan dalam sejarah filsafat Islam.
Shadra tidak hanya terpengaruh oleh kalam Syiah saja, melainkan Mu’tazilah, Asy’ariyah
juga mewarnai pemikirannya. Para pengarang Asy’ariyah klasik, seperti al-Ghozali dan al-Razi
memiliki peran yang sangat penting dalam membangun sistem al-hikmah al-muta'aliyah. Mu’tazilah
juga memiliki peran, namun peran Asy’ariyah lebih dominan dibanding dengan Mu’tazilah.

Filsafat Wujud Mulla Shadra


1. Kehakikian Eksistensi (al-ashâlah al-wujud)
Maksud (al-ashâlah al-wujud) dalam filsafat Mulla Shadra adalah bahwa setiap wujud
kontingen (mumkin al-wujud) terjadi atas dua modus (pola perwujudan): eksistensi dan kuiditas
(esensi). Dari kedua modus itu, yang benar-benar hakiki (real) secara mendasar adalah eksistensi,
sedangkan kuaditas (esensi) tidak lebih dari “penampakan” (apperiance) belaka.
Para filosof Muslim sebelum Shadra telah membahas persoalan ini. Menurut Ibnu Sina,
eksistensi mendahului esensi. Eksistensi bersifat primer dan merupakan satu-satunya hakikat atau
realitas yang dimiliki Tuhan, sedangkan esensi dan sifat-sifatnya bersifat sekunder. Namun bagi
Ibnu Sina, eksistensi dan esensi ini, keduanya merupakan sama-sama realitas yang nyata. Sejalan
dengan itu, menurut Ibnu Arabi, eksistensi mendahului esensi. Eksistensi adalah realitas yang
sesungguhnya dan realitas itu hanya satu yaitu Tuhan. Sedangkan esensi tidak lain adalah bentuk-
bentuk dalam pengetahuannya.
Sebaliknya, menurut Suhrawardi esensi lebih fundamental dari eksistensi, sebab eksistensi
hanya ada dalam pikiran manusia. Yang merupakan realitas yang sesungguhnya adalah esensi yang
bagi Suhrawardi tidak lain dari pada bentuk-bentuk cahaya dari maha cahaya, Tuhan. Cahaya itu
hanya satu sedangkan benda-benda yang beranekaragam adalah gradasi intensitasnya atau
kebenderangannya.
Mulla Shadra pada mulanya, mengikuti pendapat Suhrawardi diatas, tetapi kemudian
membalik ajaran tersebut dengan mengambil pandangan Ibnu ‘Arabi tentang prioritas eksistensi
terhadap esensi, namun menolak Ibnu ‘Arabi tetang wahdat al-wujud, ketunggalan wujud. Bagi
Shadra benda-benda disekitar kita, semesta ini, bukan hanya ilusi tetapi benar-benar mempunyai
eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun, eksistensi yang merupakan realitas tersebut tidak
pernah bisa ditangkap oleh rasio, karena rasio hanya mampu menangkap esensi atau gagasan
umum. Karena itu, ada perbedaan mendasar antara esensi dengan eksistensi. Bagi Shadra,
eksistensi adalah realitas objektif di luar pikiran, sedang esensi adalah gambaran umum tentang
realitas atau benda yang ada dalam pikiran. Namun demikian, gambaran umum tersebut juga tidak
bisa dianggap sebagai cerminan hakikat wujud, karena transformasinya ke dalam konsep mental
yang abstrak pasti mengandung kesalahan.
Dalam kaitan ini perlu dikemukakan bahwa di dalam pengalamannya terhadap wujud,
Shadra telah mempersatukan secara sempurna kedua aspek kehidupan spiritual yaitu pemikiran
analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung. Bagi mereka yang sudah terpadu dalam
dirinya antara pemikiran analitis-rasional dan pengalaman intuitif secara langsung, seperti halnya
Shadra, bisa merasakan bahwa sesungguhnya kenikmatan dan kebahagiaan yang bersifat spiritual
pada dasarnya adalah juga kenikmatan dan kebahagiaan intelektual. Dengan kata lain, bisa
dinyatakan bahwa sesungguhnya kebenaran yang diperoleh melalui pengalaman mistis adalah
kebenaran yang bersifat intelektual, dan pengalaman mistis sebenarnya adalah pengalaman yang
bersifat kognitif. Pengalaman yang bersifat intuitif sama sekali tidak bertentangan dengan
penalaran, bahkan ia dipandang sebagai bentuk penalaran yang lebih tinggi, lebih positif dan
konstruktif, dibandingkan dengan penalaran formal.
Ringkasnya, kebahagiaan spiritual dan intelektual akan bisa dirasakan atau dialami secara
sekaligus jika seseorang mampu memberikan pembuktian-pembuktian yang bersifat rasional
terhadap pengalaman-pengalaman spiritual dan mistisnya. Semakin luas argumen-argumen rasional
yang diberikan, maka kualitas spiritualpun akan semakin tinggi. Sebab apa yang diakui sebagai
pengalaman spiritual, sesungguhnya akan menjadi semakin tinggi kualitasnya jika intelek
mengetahui secara persis mengenai seluk-beluk semacam itu. Semua itu hanya bisa dialami melalui
keseluruhan diri manusia secara utuh, dan hanya manusia seutuhnya yang bisa mengalaminya, yaitu
ketika pikiran telah terintegrasi ke dalam keseluruhan diri manusia, yang terpusat pada kalbu.
Pandangan Shadra diatas, bahwa eksistensi sendiri yang menciptakan esensi, membedakan
Shadra denga peripatetik muslim yang menyatakan bahwa benda-benda konkrit tersusun atas
esensi dan eksistensi yang masing-masing mempunyai realitas yang terpisah. Pandangan tersebut
juga membedakan Shadra dengan Suhrawardi yang meyakini esensi sebagai realitas dan eksistensi
sebagai abstraksi. Mulla Shadra mengadopsi prinsip ini dari irfan teoritis dan menjabarkannya
secara filosofis kemudian meletakkannya sebagai pondasi filsafatnya.
Beberapa argumen filosofis Mulla Shadra adalah;
a) Entitas sebagai entitas bukanlah sesuatu selain dirinya- berada dalam keseteraan antara
eksist dan non eksist. Ketika entitas keluar pada tingkat eksist bukan dengan perantaraan
eksistensi pastilah terjadi perubahan subtansial pada hakikat entitas dan hal tersebut tidak
mungkin, karenanya satu- satunya hakikat yang mengeluarkan entitas pada tingkat eksist
adalah eksistensi.
b) Esensi sumber perbedaan, setiap esensi berbeda dari esensi yang lain. Dalam hal ini masing-
masing tidak memiliki kesatuan yang sama. Jika tidak ada realitas yang menyatukan yang
berbeda tersebut dan menggabungkannya, maka tidak ada proposisi yang dipredikatkan
suatu esensi kepada esensi yang lain. Karena itu diperlukan satu realitas dasar untuk
menggabungkan berbagi esensi tersebut. Realitas tersebut adalah eksistensi.
c) Entitas eksist dengan eksistensi eksternal sehingga memiliki implikasi efek (api membakar,
air membasahi) dan pada yang saat yang sama eksist juga pada eksistensi mental (zihni) dan
tidak memiliki inplikasi efek sebagaimana entitas eksternal. Jika yang riil dan hakiki adalah
entitas, pastilah efek yang ditimbulkan sama pada dua keadaan tersebut dan tidak terjadi
perbedaan. Fakta menunjukkan sebaliknya sehingga hal tersebut jelas keliru dan karenanya
eksistensilah yang rill dan hakiki.
d) Entitas netral dalam keadaannya baik antara ententitas maupun kelemahan, prioritas dan
posterioritas. Tetapi pada realitas eksternal kita melihat ada intens (seperti sebab) dan ada
yang lemah (seperti akibat). Jika bukan eksistensi yang real dan hakiki maka perbedaan
atribut tersebut kembali kepada entitas padahal entitas bersifat netral. Jelas ekstensilah yang
bersifat real dan hakiki.
e) Sebagai jawaban dari Suhrawardi, Mulla Shadra mengemukakan argumen sbb; betul bahwa
eksistensi eksist akan tetapi eksistnya eksistensi dengan zatnya sendiri sehingga tidak
menyebabkan tasalsul (rangkaian tiada akhir).
Dengan argumentasi-argumentasi ini Mulla Shadra menampilkan pandangan dasarnya
tentang aslat al-wujud wa i’tibariyat al- mahiyat dan itu berarti juga sebagi argumen rasional bagi
kaum sufi yang meyakini bahwa yang real eksist adalah eksistensi namun selama ini keyakinan
tersebut hanyalah berdasarkan syuhud dan mukasyafat.
2. Gradasi Wujud (tasykik al-wujud)
Mulla Shadra berpendapat bahwa semesta ini bukan hanya ilusi tetapi benar-benar
mempunyai eksistensi sama seperti eksistensi Tuhan. Namun demikian Shadra tidak menyimpulkan
sebagai wahdat al-wujud, tetapi mengajukan tasykik al-wujud sebagai solusinya, yakni eksistensi itu
mempunyai gradasi yang kontinu. Jelasnya, menurut Shadra, dari ada Mutlak hingga Tiada Mutlak
terdapat gradasi “ada-ada nisbi” yang tidak terhingga. Dengan kata lain, realitas ini terbentang dari
kutub Tiada Mutlak sampai kutub Ada Mutlak dengan perbedaan tingkat kualitas dan intensitasya.
Inilah pandangan kesatuan realitas versi Mulla Shadra yang disebut “Hikmah al-Muta’aliyah”.
Menurut Arhamedi Mazhar, pandangan ini merupakan sintesa besar antara teologi, filsafat dan
mistik.
Dalam perspektif Al-Hikmah Al-Muta'aliyah, wujud merupakan suatu realitas tunggal yang
dalam ketunggalannya memiliki tingkatan dan bergradasi. Gagasan ini berlawanan dengan filsafat
peripatetik yang beranggapan bahwa wujud-wujud di alam secara esensial berbeda satu dengan
lainnya dan tidak memiliki unsur kesamaan. Yang ada di alam adalah kejamakan maujud bukan
kesatuan wujud. Perspektif ini berbeda dengan konsep para sufi dan arif tentang kesatuan wujud
yang individual (wahdah al-syakhsh al-wujud). Mereka menolak secara mutlak ide kejamakan
wujud.
Pandangan gradasi wujud di atas diambil dari pendapat Suhrawardi tentang gradasi cahaya,
tetapi Shadra mengubah prinsip tersebut secara mendasar. Pertama, prinsip gradasi tidak diterapkan
pada esensi seperti pada Suhrawardi tetapi pada eksistensi, sebab bagi Shadra, eksistensilah realitas
asli satu-satunya. Kedua, bahwa eksistensi tidak hanya sekedar bersifat gradasi belaka tetapi gradasi
yang sistematis, sebab kenyataanya wujud tidak statis melainkan bergerak terus-menerus. Gerakan
ini berawal dari bentuk-bentuk eksistensi yang umum, lebih tidak menentu dan tingkatan-tingkatan
yang lebih menyebar kepada bentuk-bentuk eksistensi yang lebih khusus, lebih menentu dan lebih
menyatu. Setiap model eksistensi yang terdahulu bertindak sebagai genus atau materi kemudian
tertelan kedalam kekonkritan bentuk sesudahnya yang bertindak sebagai diferensia atau bentuk.
Daya dorong, gerak universal ini adalah ‘isyq (cinta kosmis) yang mendorong segala sesuatu
bergerak ke arah yang lebih konkrit. Karena itu, gerak dari yang kurang sempurna ke arah yang
lebih sempurna ini tidak bisa dibalik, karena eksistensi memang tidak pernah bergerak ke belakang.
Dalam ungkapan lain, gradasi wujud dalam filsafat Mulla Shadra ditopang oleh dua unsur,
yakni kesatuan wujud dan kejamakan wujud. Sementara gradasi cahaya dalam filsafat Suhrawardi
hanya ditopang oleh satu unsur, yakni kejamakan cahaya. Cahaya tidaklah tunggal, melainkan
jamak dan bergradasi. Gradasi cahaya bersifat vertikal sebagaimana dalam gradasi wujud.
Bagi Mulla Shadra eksistensi adalah realitas tunggal, tetapi memiliki gradasi yang berbeda,
dengan mengutip entitas- cahaya-cahaya dari Suhrawardi, Mulla Shadra menggambarkan bahawa
eksistensi seperti cahaya yang satu tetapi berbeda dalam kualitas; ada cahaya matahari, ada cahaya
lampu dan ada cahaya lilin, perbedaan ketiganyalah pada kualitas cahaya sedangkan cahayanya
satu. Begitu pula pada eksitensi Tuhan, malaikat, semesta, manusia binatang dan sebagainya.
Semuanya satu eksistensi dengan perbedaan kualitas. Gradasi ini hanya terjadi pada pada eksistensi
dan tidak pada entitas. Berikut gambaran Mulla Shadra tentang eksistensi:
“ seharusnya diketahui bahwa diantara eksistensi tidaklah terjadi perbedaan pada subtansinya
kecuali sebagaimana yang telah kami jelaskan sebelumnya (perbedaan tersebut terjadi pada) prior
dan tidak posterior, dahulu dan kemudian, tampak dan tersembunyi, karena sudah seharusnya pada
setiap level memiliki atribut yang khusus yang disebut para filosof dengan entitas dan a’yan
atsabitah (entitas-entitas tetap) bagi ahli mukasyafah, kauf sufi atau gnostik. Lihatlah pada level
cahaya matahari yang merupakan gambaran Tuhan bagi alam materi, bagaimana dia memancarkan
dan menampilkan warna-warna pada cermin dan pada saat yang sama cahaya-cahaya tersebut adalah
cahaya dirinya. Tidaklah terjadi perbedaan diantaranya kecuali pada prior dan tidak posterior. Bagi
siapa yang terpaku hanya pada cermin dan warna-warna yang ditampailkannya dan terhijab
dengannya dari cahaya hakiki dari level-level hakiki yang terpancar turun maka tersembunyilah
baginya cahayaNYa. Sebagaimana pandangan yang menyatakan bahwa entitas adalah persoalan
hakiki yang merealisasi eksistensi, sedangkan eksistensi hanya merupakan persoalan abtraksi mental;
dan bagi siapa yang menyaksikan beragam warna cahaya dan menyadari bahwa hal tersebut
dimunculkan oleh cermin semata dan warna-warna tersebut pada subtansinya adalah cahaya, maka
tampaklah baginya cahaya yang sesungguhnya dan jelaslah baginya bahwa level-levelnyalah yang
menampakkan dalam bentuk entitas- entitas atas dasar kualitas yang dimilikinya, sebagaimana
mereka yang memiliki pandangan bahwa tingkatan eksistensi yang merupkan pancaran dari cahaya
hakiki yang muthlak dan penampakannya berasal dari eksistensi Tuhan dan memancar pada bentuk
entitas-entitas dan terwarnai dengan warna entitas-entitas serta terliputi dalam bentuk makhluk dari
diri Tuhan”.
Tasykik al- wujud yang dikemukakan oleh Mulla Shadra, meskipun berbeda namun telah
memberikan penopang bagi konsep wahdah al- wujud yang di kemukakan oleh Ibn Arabi, karena
pada prinsipnya bahwa eksistensi adalah satu.

3. Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah)


Teori Gerak Subtansial (al-harakah al-jauhariyah), adalah sumbangan orsinil Mulla
Shadra terhadap filsafat Islam. Ajaran ini merupakan uraian lebih lanjut dari pandangan Shadra
bahwa gradasi wujud tidak bersifat statis tetapi dinamis, bergerak dari eksistensi tingkat rendah
menuju eksistensi tingkat tinggi. Shadra memperlihatkan bahwa berdasarkan prinsip-prinsip
Aristotalion tentang materi dan bentuk, harus diterima bahwa substansi alam semesta senantiasa
bergerak, tidak pernah terdapat kekonstanan sesaat dan keseragaman bentuk dalam substansi alam.
Aksiden-aksiden (yaitu sembilan kategori yang lain), sebagai fungsi dan substansi, juga berada
dalam gerak. Menurut Shadra, alam sama dengan gerak, dan gerak sama dengan penciptaan dan
pemusnahan yang tidak henti-henti dan berjalan terus menerus.
Kontribusi Shadra dalam gerakan substansial (al-Harakah al- Jawhariyah) melengkapi
para filosof sebelumnya, dimana mereka berpendapat bahwa gerakan hanya terjadi pada empat
kategori aksiden; kuantitas (kammiyat), kualitas (kaifiyyat), posisi (wadh’) dan tempat (‘ayn).
Dengan kata lain, substansi tidak berubah tetapi hanya empat kategori aksiden yang berubah.
Karena kalau substansi berubah kita tidak dapat menetapkan judgment tentangnya. Begitu kita
mengeluarkan judgment, ia sudah berubah menjadi yang lain.
Jawhar (substansi) dalam pandangan ini bersifat tetap karena hanya terjadi perubahan dan
gerakan pada empat kategori tersebut, keberadaan utama jika terjadi perubahan pada subtansi
adalah ketidakmungkinan melakukan penempatan terhadap sesuatu. Menurut Shadra tidak mungkin
gerakan hanya terjadi pada aksidensi (‘ardh) karena aksidensi selalu bergantung pada substansi,
sehingga jika terjadi gerakan pada aksiden hal tersebut jelas menunjukkan gerakan yang terjadi
pada subtansi.
Shadra berpendapat bahwa disamping perubahan pada empat kategori aksiden, gerak juga
terjadi pada substansi. Kita melihat bahwa dalam dunia eksternal perubahan benda material dan
keadaan yang satu kepada keadaan yang lain. Buah apel kembali dari hijau tua ke hijau muda,
kemudian kuning, lalu merah. Ukuran rasa, berat juga selalu mengalami perubahan. Karena
eksistensi aksiden bergantung pada eksistensi substansi, maka perubahan aksiden akan
menyebabkan perubahan pada substansi juga. Semua benda material bergerak. Gerakan ini berasal
dari penggerak pertama yang immaterial, menuju penyempurnaan yang non-material dan
berkembang menjadi sesuatu non-material. Dalam hubungna inilah Shadra mempertahankan sifat
huduts dari dunia fisik, sifat tidak permanen dari esensi materi, dan waktu sebagai dimensi materi
keempat; sebagai suatu ukuran kuantitas gerak. Sebab mendasar yang menjadikan aksiden dalam
bergerak adalah nilai hudutsnya wujud dan waktu yang menjadikannya sebagai tempat
kebaruannya.
Manusia menurut Mulla Shadra awalnya berasal dari materi pertama (madat al-‘ula) yang
bergabung dengan bentuk (surat), melalui gerakan subtansial unsur-unsur tersebut mengalami
perkembangan dan perubahan, materinya berkembang menjadi gumpulan darah, kemudian janin,
bayi, anak- anak, remaja, dewasa, tua, dan hancur. Sedangkan bentuknya berkembang menjadi nafs
al- mutaharik, kemudian nafs al- hyawanat, dan nafs al- insaniyat. Gerakan subtansial yang terjadi
pada jiwa menuju kesempurnaan.
Dengan teori Al-Harakat Al- Jawhariah ini, Shadra menunjukkan bahwa alam semesta
seluruhnya berada dalam atribut aslinya yaitu baharu, dan sesuatu yang baharu akan berubah,
karena dalam argumentasi tentang gerakan maka Mulla Shadra membuktikan bahwa gerakan
berasal dari zat yang konstan dan itulah wajib al wujud.
Analisa Bangunan Filsafat Mulla Shadra

Kerangka umum bangunan pemikiran filsafat Shadra dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan aksiomatis konsep wujud (badahah mafhum al-wujud), konsep wujud
atau ada itu jelas dan sederhana. Hanya saja, apakah konsep itu juga jelas dan sederhana pada
semua maujud. Kedua, ekuivalensi konsep wujud pada semua maujud. Konsep wujud itu ekuivalen
(al-ta’adul wa al-tasawa) pada semua maujud. Misalnya, wujud pohon dan wujud manusia itu
sama. Hanya saja, keduanya secara eksternal berbeda secara distingtif. Maka yang menjadi titik
pembeda adalah bukan wujudnya, melainkan esensi (mahiyah) nya. Ketiga, wujud bukanlah
kuiditas (mahiyyah). Sekiranya wujud itu memang sederhana, lantas mengapa kita jumpai adanya
multiplisitas eksistensial (al-wujud al-ta’addudy) di alam ini, jawabannya adalah bahwa
multiplisitas dan pluralitas itu berasal dari gradasi eksistensial. Keempat, gradasi wujud (al-
thabaqat al-wujudiyah al-ashalat al-wujud), kelima, spektrum wujud (al-wujud al-musyahad). Ini
merupakan eksplanasi tentang ihwal penetrasi unitas dalam pluralitas wujud. keenam, penetrasi
unitas dalam pluralitas, karena kesatuan itu sangat mungkin menjadi banyak, maka wujud yang satu
pun bisa menjadi banyak juga (kesemua realitas wujud identik dengan penampakan wajah wujud
dari realitas mutlak).
Dengan demikian dapat ditangkap bahwa konsep wujud itu jelas, sederhana, dan tunggal
pada semua maujud. Dan segala sesuatu yang secara abstraksi mental satu, pasti secara ekstensi
eksternal pun satu, dan tidak sebaliknya. Sebab abstraksi mental adalah pecahan ontologi dari
individual eksternal. Misalnya dapat kita gambarkan dalam analogi berikut ; satu telur pasti berasal
dari satu ayam, akan tetapi kebalikannya tidaklah demikian. Boleh jadi satu ayam punya banyak
telur, dan banyak telur berasal dari satu atau banyak ayam. Karenanya wujud itupun satu dan tidak
banyak serta kemaujudan, itu satu juga adanya.
Demikian gambaran sekilas tentang pemikiran filsafat Mulla Shadra dan terutama dalam al-
Asfar al-Arba‘ah al-hikmah al-muta’aliyah. Mulla Shadra, yang menyebut sistem filsafatnya
sebagai kearifan puncak, menyebut filsafat konvensional, baik illuminasi maupun peripatetik,
sebagai filsafat umum atau filsafat konvensional.

Pengaruh Pemikiran Mulla Shadra terhadap Filosof Sesudahnya


Dalam sejarahnya, Iran dikenal sebagai wilayah tempat lahirnya filosof, sufi, saintis dan
penyair terkenal. Iran dapat dipandang sebagai tempat yang merepresentasikan kontinuitas
perkembangan pemikiran keagamaan, khususnya filsafat selama fase akhir sejarah Islam.
Seperti yang ditulis Nasr, filsafat Islam memiliki kehidupan yang lebih panjang di bagian
Timur ketimbang di bagian Barat dunia Islam. Iran tidak hanya memiliki tanah yang filsafatnya
tetap bertahan hidup sampai sekarang, tetapi ia juga secara definitif menjadi arena utama aktivitas
dalam filsafat Islam. Sekurang-kurangnya, ada dua faktor pendukung berkembangnya pemikiran
filsafat di Iran: Pertama, faktor geografis-historis. Kedua, tradisi keagamaan Syiah.
Pada tahun 1499 M, berdirilah kerajaan Safawi yang bertahan sampai sekitar dua ratus
tahun. Pada periode Safawi inilah berkembang berbagai aliran pemikiran dalam matrik Syi'isme.
Salah satu pemikiran yang berkembang pesat adalah bidang filsafat. Filsafat tetap diajarkan dan
merupakan tradisi yang hidup sepanjang zaman di sekolah-sekolah Syiah yang didirikan dinasti
Safawi.
Menurut Roy Mottehedeh, melalui sekolah Syiah itulah, para tokoh filsafat Iran terkenal
bermunculan. Bahkan, Iran menjadi pusat utama ilmu-ilmu intelektual, khususnya filsafat bagi
dunia Islam yang didatangi oleh orang Islam dari seluruh penjuru dunia. Perkembangan pemikiran
pada zaman dinasti Safawi mempunyai karakteristik khas sebagai madzhab Isfahan. Madzhab ini
menampung perkembangan pemikiran madzhab Masya'i, Isyraqi, Irfani dan Kalam.
Madzhab Masya'i (peripatetik) yang didirikan oleh Ibnu Sina sangat berpengaruh di Iran.
Karya-karya Ibn Sina mendapat kritikan dan serangan tajam dari kaum sufi dan teolog. Aliran ini
akhirnya mati di dunia Islam. Baru pada abad ke enam, Nashir al-Din al-Thusi menghidupkan
kembali mazhab peripatetik Ibn Sina. Sementara itu, dari abad delapan dan seterusnya, Syiraz dan
sekitarnya menjadi markas filsafat.
Mazhab Isyraqi didirikan oleh Syihab al-Din Suhrawardi. Walaupun hanya hidup selama 38
tahun, dia telah menegakkan perspektif intelektual baru dan berpengaruh pada dunia Islam Iran.
Suhrawardi menciptakan teosofi berdasarkan iluminasi dan intuisi mistik. Mazhab yang
didirikannya segera memperoleh pengikut dan penafsir yang pintar.
Mazhab Irfan dan Kalam pada abad ke tujuh juga mencapai masa keemasan. Mazhab ini
telah berkembang dalam dunia Syiah sebelum Thabathabai. Demikian pula pemikiran kalam. Pada
zaman inilah keempat pemikiran tersebut di atas merasuki pemikiran Syiah, satu fenomena penting
yang meratakan jalan bagi kebangkitan Safawi dengan warna khas Syiah.
Mulla Shadra tetap merupakan tokoh yang berpengaruh dalam kelanjutan tradisi filsafat
Islam sampai sekarang ini. Meski diakui pemikirannya bukanlah satu-satunya yang memiliki
pengikut, ternyata ajaran Mulla Shadra mampu berdampingan dengan filsafat peripatetik-Ibnu Sina
dan iluminasi-Suhrawardi. Mulla Shadra mempunyai banyak murid dan pengikut, di antaranya
Mulla Ali al-Nuri, al-Sabzarawi dan al-Qumsyeh'i, Abd. al-Razaq Lahiji dan Muhsin Faid Kasyani.
Dengan demikian, filsafat aliran hikmah al-muta'aliyah Mulla Shadra tidak hanya berpengaruh pada
dunia pemikiran filsafat Islam di Iran, tetapi juga berkembang terus karena peran murid dan
penerusnya sampai dinasti berikutnya.
Setelah Perang Dunia II, Iran tetap merupakan tempat subur bagi berkembangnya pemikiran
filsafat Islam. Salah satu pusat kegiatan intelektualnya ada di kota Qum. Di kota inilah Thabathabai
kembali memasukkan filsafat hikmah al-muta'aliyah menjadi salah satu mata kuliah wajib di
Universitas Qum. Melalui bimbingan Thabathabai, banyak filosof dan sarjana Iran kontemporer
yang terlahir, seperti Murtadha Mutahhari --Profesor di Fakultas teologi Universitas Teheran,
Ahmad Asytiyani --Profesor di Fakultas Sastra Universitas Teheran,dan Hai'ri Mazandarani.
Melalui tokoh intelektual inilah, filsafat Islam sampai ke Barat.
Dari perjalanan sejarah inteletektual di Iran di atas, dapat dipahami bahwa berawal pada
tahun 1950-an (pasca Perang Dunia II), terjadi suatu ketertarikan kembali dalam filsafat Islam di
Iran. Ini merupakan suatu kebangkitan kembali tradisi filsafat Islam yang belakangan mampu
menjawab tantangan pemikiran Barat. Tokoh utama yang menjadi rujukan adalah Mulla Shadra.
Melalui sebuah dialog dengan filsafat Islam di dunia Islam lain menjadikan Barat mengenal sebuah
tradisi intelektual Islam yang hidup.
Dari deksripsi aliran pemikiran filsafat Islam di atas, tergambar bahwa banyak filosof ingin
memadukan filsafat Plato dan tradisi Neo-Platonisme, dengan Aristoteles di satu sisi dan ajaran
Islam sendiri di sisi lain. Perpaduan antara filsafat Barat dengan ajaran Islam telah dilakukan oleh
filosof Iran, mulai Suhrawardi sampai dengan Mulla Shadra. Usaha tersebut telah memberi tempat
aman bagi perkembangan filsafat di dalam Islam. Misalnya, dalam filsafat Mulla Shadra, al-hikmah
al-muta'aliyah yang secara epistemologis didasarkan pada prinsip isyraq (intuisi intelektual), akal
dan ajaran Islam, pengetahuan itu dapat diperoleh melalui pengalaman isyraq, yang diungkapkan
melalui pembuktian rasional. Tetapi, hanya melalui ajaran Islamlah terbentang jalan realisasi diri
untuk mendapatkan pengalaman isyraq itu. Demikianlah, dalam aliran baru yang disebut al-hikmah
al-muta'aliyah (teosofi transenden), dasar filsafat modern dalam Islam disiapkan.
Oleh karena itu, filsafat Mulla Shadra mampu berkembang dan mempengaruhi filosof
setelahnya. Sebagaimana terlihat dalam pembahasan sebelumnya, berbagai usaha dilakukan oleh
murid dan penerus Mulla Shadra untuk mengembangkan filsafat al-hikmah al-muta'aliyah. Namun
demikian, perkembangan pemikiran filsafat Islam Iran selanjutnya sangat dipengaruhi arah filsafat
Barat. Jika permasalahan filsafat kontemporer ditandai dengan berkembangan masalah-masalah
yang muncul dalam filsafat Barat, maka filsafat Islam pun mempunyai tendensi ke arah itu. Filsafat
Islam, melalui para tokohnya, mencoba menafsirkan Islam dari berbagai sudut sistem filsafat
tersebut.
Pengaruh pemikiran Shadra terhadap filosof muslim sesudahnya sangat terlihat, seperti
dalam pemikiran Thabattaba’i dan Murtadla Mutahhari. Tentunya, Shadra lebih memiliki peran di
kalangan Syiah sendiri. Sementara, di kalangan Sunni Shadra tidak banyak dikenal. Sebab, satu
kebanggaan yang diagung-agungkan oleh Syiah bahwa ia lebih banyak memiliki akses dibanding
aliran yang lain (Sunni). Di antara tokoh-tokoh yang terpengaruh oleh Shadra antara lain:
1. Thabathaba’i
Thabathaba’i (nama lengkapnya Muhammad Husain bin al-Sayyid Muhammad bin al-
Sayyid Muhammad bin Mirza 'Ali Asyghar al-Islam al-Thabathaba’i al-Tabrizi al-Qadhi) adalah
seorang Iran asli (waktu itu masih bernama Persia). Dia dilahirkan tanggal 29 Dzulhijah 1321
H/1892 M, dalam suatu keluarga keturunan nabi Muhammad SAW yang selama empat belas
generasi menghasilkan ulama-ulama terkemuka di Tabriz.
Karya-karya Thabathaba’i terdiri dari beberapa buku: (1) Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. (2)
Ushul Falsafah wa Rawish Rialism. (3)Hasyiyah bi Asfar, adalah kritik terhadap karya Mulla
Shadra yang berjudul Asfar. (4) Mushahabat ba Ustadz Kurban. (5) Ali wa Falsafah al-Ilahiyat. (6)
Syiah dar Islam. (7)Qur'an dar Islam. (8) Islamic Teachings: an Overview, serta (9) Shi'ite
Anthology.
Tampak jelas bahwa keahlian Thabathaba’i dalam pemikiran filsafat merupakan warisan
dari intelektual Iran. Warisan tersebut meliputi berbagai pemikiran filsafat dan tasawuf yang telah
dikembangkan oleh tokoh sebelumnya. Tradisi pemikiran filsafat dan tasawuf inilah yang
memberikan inspirasi pada pola pemikiran Thabathaba’i. Dengan memperhatikan kondisi pemikiran
Islam sebelum Thabathaba’i dan memperhatikan beberapa karyanya, kita dapat mengetahui sumber
utama pemikiran keagamaan Thabathaba’i.
Pengaruh Shadra terlihat dalam beberapa karyanya, kita juga dapat mengetahui sumber
utama pemikiran keagamaan Thabathaba’i. Tentunya, dengan memperhatikan kondisi pemikiran
Islam sebelumnya. Tradisi pemikiran filsafat dan tasawuf inilah yang memberikan inspirasi pada
pola pemikiran Thabathaba’i. Thabathaba’i juga mengakuinya, jika al-hikmah al-muta'aliyah
sebagai sumber utama pemikiran filsafat Thabathaba’i. Thabathaba’i mengakui sendiri bahwa
metode berpikir Mulla Shadra banyak memberikan inspirasi dan pengaruh bagi dirinya.

2. Murtadha Muthahhari
Murtadha Muthahhari dilahirkan di Khurasan, pada tanggal 2 Februari 1919, dari keluarga
yang saleh. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad hussein Muthahhari, terkenal sebagai alim yang
dihormati. Ia dibesaarkan dalam asuhan ayah yang bijak sampai masa 12 tahun. Kemudian ia
pindah ke Qum dan belajar di bawah bimbingan dua Ayatullah kenamaan, Boroujerdi dan
Khomeini. Ketika mahasiswa, Muthahhari belajar filsafat melalui Thabatthaba’i.
Muthahhari mulai menaruh minat terhadap filsafat adalah filsafat Materialisme, terutama
Marxisme. Masuknya Muthahhari terhadap Marxian sangat menguntungkan jamaah Thabattaba’i.
Namun tidak lama sesudah itu, Muthahhari menyadari bahwa filsafat jauh lebih dari pada sekadar
polemik atau disiplin intelektual saja. Akhirnya, Muthahhari mengikuti madzhab al-hikmah al-
muta'aliyah milik Shadra.
Muthahhari memiliki proyek besar untuk mendamaikan antara kefanaan dan kebaqaan,
karena “Tunduk sama sekali pada perubahan dan pembaruan akan menghilangkan kebaqaan, dan,
karenanya, tidak patut lagi dinamakan agama; sedang bersikeras pada kebaqaan, dan menolak keras
perubahan, membuat agama tidak mungkin hidup di dunia yang temporer ini”.
Untuk itu dibutuhkan faqih yang berani untuk mengeluarkan fatwa-fatwa yang berani yang
sama sekali terputus dengan epistemologi yang sudah lampau. Di sinilah letak pengaruh Shadra
terhadap Muthahhari.
Selain itu, Muthahhari banyak berbicara mengenai Shadra, dalam beberapa karyanya, yang
dikumpulkan dan disunting oleh penerbit Mizan, Muthahhari terlihat memiliki keinginan untuk
mengenalkan lebih terhadap pemikiran Shadra. Mulai dari arti hikmah sampai konsep al-hikmah al-
muta'aliyah yang dibahasnya dalam buku tersebut. Beberapa sumbangan kaum muslim terhadap
filsafat juga mewarnainya, yang tentunya di dalamnya berisi tentang peran Shadra terhadap
perkembangan filsafat, terutama filsafat islam. Selain itu, konsep masyarakat dan sejarah yang
dilontarkan oleh Muthahhari juga sangat terlihat pengaruh Shadra terhadapnya.

Kesimpulan
Mulla Shadra membawa warna baru dalam sejarah filsafat Islam, warna baru pada filsafat
Islam tersebut bernama Hikmah Muta’alliyah atau eksistensialisme (wujudiyah). Ungkapan Al-
Hikmah Al-Muta’aliyah terdiri dari dua istilah yaitu hikmah yang dalam perspektif ini merupakan
kombinasi dari filsafat, iluminasionisme, dan sifisme. Dan al-muta’aliyah yang berarti tinggi,
agung, transenden.
al-Hikmah al-Muta'aliyah secara epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi
intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal), dan syari’at. Sehingga
hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi
intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.
Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah
wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud
hanya dicapai dengan mengikuti syari’at. Sementara itu, dari sisi ontologis, al-Hikmah al-
Muta'aliyah didasarkan atas tiga hal: Prinsip Wujud, gradasi wujud, dan gerak subtansial. Hikmah
Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal),
penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling
tingginya hikmah.
Pengaruh pemikiran Shadra terhadap filosof muslim sesudahnya sangat terlihat, seperti
dalam pemikiran Thabattaba’i dan Murtadla Mutahhari. Tentunya, Shadra lebih memiliki peran di
kalangan Syiah sendiri. Sementara, di kalangan Sunni Shadra tidak banyak dikenal. Sebab, satu
kebanggaan yang diagung-agungkan oleh Syiah bahwa ia lebih banyak memiliki akses dibanding
aliran yang lain (Sunni).

Daftar Pustaka

Algar, Hamid. Murtadla Muthahhari: Sang Mujahid, Sang Mujtahid, Bandung: Yayasan
Muthahhari, 1988.
al- Walid, Khalid. Tasawuf Mulla shadra, Bandung: Muthahari Press, 2005.
Hasdi, Muhammad Taqi Misbah, Buku Dasar Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Muntahari, Murtadha. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, Bandung: Mizan, 2002.
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. M. Khozim dan Suhadi, (Yogyakarta:
LKiS, 2002).
Nashr, Husain. Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah, 1986.
Nasr, Sayyed Hossein, Pengetahuan dan Kesucian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Nur, Syaifan . Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Nur, Syaifan Mulla Shadra Pendiri Mazhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, Jakarta selatan: Teraju,
2003.
Rahman, Fazlur. Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka, 2000.
Rahmat, Jaluddin. Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, pengantar
dalam Kearifan Puncak, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Shadra, Mulla. Al- Hikmah Al- Muta’aliyah, Bairut: Daral-Ihya At- Turast Al- arabi, 1410.
Sorous, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali, Bandung:
Mizan, 2002.
Adlany, Muhammad Kearifan Puncak Mulla Shadra, dalam
http://www.buletinmitsal.wordpress.com/sosok/kearifan-puncak-mulla-shadra/ diakses pada
tanggal 4 Mei 2016.
Anonim, dalam http://www. Eramuslem.net/?buka=show_artikel&id=249.www. iqna.ir diakses
pada tgl 10 Juni 2016.
Anonim, Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra, dalam http://www.zizy-
tajdid.blogspot.com/2011/01/hikmah-mutaaliyah-mulla-sadra.html?zx=d6e965d0a88a39ec,
diakses pada tgl 8 April 2016.
Anonim, Kearifan Puncak Mulla Shadra, dalam
http://www.buletinmitsal.wordpress.com/sosok/kearifan-puncak-mulla-shadra/ diakses pada
tgl 4 Mei 2016.
Anonim, Aliran Hikmah Muta’aliyah, dalam http://www.khatib-el-
umamy.blogspot.com/2011/08/aliran-hikmah-mutaaliyah.html diakses pada tgl 4 Mei 2016.
Riadi, Haris. Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla
Shadra., dalam http://www.uinsuska.com. Diakses pada tgl 18 Mei 2016.

You might also like