Professional Documents
Culture Documents
Kajian Islam Filosofis
Kajian Islam Filosofis
Abstract
Mulla Sadra appeared with originality awesome when philosophy Muslims often accused of simply
followed by philosophy of Plato and Aristotle. His philosophy gave birth to its own flow: al-
Hikmah Al-Muta'aliyah. The flow is the object of the intellect of the philosophers skrutinisasi both
Western and Eastern. A Magnum Opus inestimable contribution to the Islamic intellectual treasures.
Characteristics of al-Hikmah al-Muta'aliyah which is the synthesis is the result of the combination
and harmonization of the teachings of revelation, the sayings of the Imams, truths obtained through
appreciation of spiritual illumination and intellectual, and the demands of logic and evidence
rationally. Synthesis and harmonization is aimed at integrating the knowledge acquired through the
means of Sufism or 'irfan, illuminationism or isyraqiyyah, rational philosophy or identical with the
Peripatetic or masysya'iyyah and religious sciences in the narrow sense, including kalam. Thus, the
appearance can not be separated from, and should be viewed in the context of Islamic schools of
thought that preceded it. This paper aims to describe the focus of the discussion about the biography
of Mulla Shadra, the works and the sources of his thinking, understanding and concept of al-
Hikmah al-Muta'aliyah, the philosophy of being Mulla Shadra, analysis of building philosophy and
the influence of his mind to the philosophers afterwards.
Abstrak
Mulla Shadra beliau muncul dengan orisinalitas mengagumkan saat filsafat muslim banyak
dituduh sekedar mengekor filsafat Plato dan Aristoteles. Filsafatnya melahirkan aliran tersendiri: al-
Hikmah Al-Muta’aliyah. Aliran yang menjadi objek skrutinisasi intelek para filosof baik Barat
maupun Timur. Sebuah Opus Magnum yang tak terkira sumbangsihnya bagi khazanah intelektual
Islam. Karakteristik al-Hikmah al-Muta’aliyah yang bersifat sintesis merupakan hasil kombinasi
dan harmonisasi dari ajaran-ajaran wahyu, ucapan-ucapan para Imam, kebenaran-kebenaran yang
diperoleh melalui penghayatan spiritual dan iluminasi intelektual, serta tuntutan-tuntutan logika dan
pembuktian rasional. Sintesis dan harmonisasi ini bertujuan untuk memadukan pengetahuan yang
diperoleh melalui sarana Sufisme atau ’irfan, Iluminasionisme atau isyraqiyyah, filsafat rasional
atau yang identik dengan Peripatetik atau masysya’iyyah, dan ilmu-ilmu keagamaan dalam arti
sempit, termasuk kalam. Dengan demikian, kemunculannya tidak dapat dipisahkan dari, dan harus
dilihat dalam konteks aliran-aliran pemikiran Islam yang mendahuluinya. Tulisan ini bertujuan
untuk memaparkan fokus pembahasan tentang biografi Mulla Shadra, karya-karya dan sumber
pemikirannya, pengertian dan konsep al—Hikmah al-Muta’aliyah, filsafat wujud Mulla Shadra,
analisa bangunan filsafatnya dan pengaruh pikirannya terhadap filosof sesudahnya.
Kata Kunci : Kajian, Filosofis, Mulla Shadra, al- Hikmah Al-Muta’aliyah
Pendahuluan
Di awal abad ke 11 terjadi perubahan besar dalam substansi pengkajian dan sistematika
pembahasan konsep-konsep ketuhanan dalam filsafat Islam. Empat aliran filsafat seperti filsafat
Peripatetik, Iluminasi, Irfan dan Teologi Islam sebelum abad kesebelas bersifat mandiri, terpisah
satu sama lain dan masing-masing berpijak pada teori dan gagasannya sendiri-sendiri, tapi di awal
abad ke sebelas empat aliran tersebut berhasil dipadukan dan disatukan oleh Mulla Shadra sehingga
melahirkan satu aliran dan sistem filsafat baru yang dia sebut al-Hikmah al-Muta'aliyah.
Aliran filsafat baru ini, disamping memanfaatkan warisan pemikiran dan kaidah-kaidah
filsafat terdahulu juga berhasil mengkonstruksi dan melahirkan pemikiran dan kaidah filsafat baru
yang dengan jitu mampu menyelesaikan berbagai problem rumit filsafat yang sebelumnya tidak
mampu diselesaikan oleh keempat aliran filsafat dan teologi tersebut, disamping itu aliran baru ini
juga dapat menjembatani antara pemikiran-pemikiran filsafat dan doktrin-doktrin suci agama,
karena itu tak ada lagi jurang pemisah yang berarti antara agama pada satu sisi dan pemikiran logis
filsafat pada sisi lain. Bahkan sekarang ini, terjadi hubungan simbiosis mutualisme antara agama
dan rasionalitas filsafat, agama memberikan obyek pengkajian dan penelitian yang lebih dalam, luas
dan hakiki kepada filsafat sedangkan filsafat menghaturkan penjabaran dan penjelasan yang
sistimatis dan logis atas doktrin-doktrin agama tersebut.
Trancendent theoshopy (al-Hikmah al-Muta'aliyah) adalah sejenis hikmah atau falsafah
yang dilandasi oleh fondasi metafisika yang murni, yang diperoleh melalui intuisi intelektual, dan
diformulasikan secara rasional dengan menggunakan argumen-argumen yang rasional dan
direalisasikan dengan mengikuti aturan syari’at.
Kemunculan seorang figur dengan kapasitas intelektual dan spiritual seperti Mulla Shadra
di Persia pada periode Safawi, jelas menunjukkan adanya kehidupan suatu tradisi intelektual yang
kuat, yang memungkinkan baginya untuk tumbuh dan berkembang dengan baik.
“ Kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap realitas segala sesuatu yang
ada sebagaimana adanya, dan pembenaran terhadap keberadadan mereka, yang dibangun
berdasarkan bukti- bukti yang jelas, bukan atas dasar persangkaan dan sekedar mengikuti
pendapat orang lain, sebatas kemampuan yang ada pada manusia. Jika anda suka, anda bisa
berkata (kesempurnaan jiwa manusia melalui pengetahuan terhadap) tata tertib alam semesta
sebagai tata tertib yang bisa di mengerti, sesuai dengan kemampuan yang dimiliki, dalam
rangka mencapai keserupaan dengan Tuhan”.
Berdasarkan definisi falsafah atau hikmah di atas, bisa dilihat bagaimana Mulla Shadra
berusaha mengkombinasikan dan mengharmoniskan pelbagai pandangan-pandangan terdahulu
dengan pandangan sendiri, melalui kreatifitas dan kejeniusan berfikirnya.
Perspektif Mulla Shadra terhadap hikmah adalah sesuatu yang bisa dijadikan sarana yang
membebaskan manusia dari keterkaitannya terhadap hal- hal yang bersifat materil dan duniawi, dan
menghantarkannya kembali kepada asal usul penciptaannya, yaitu alam Ketuhanan.
Al-Hikmah Al-Muta'aliyah epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi intelektual
(dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal), dan syari’at. Sehingga hikmah adalah
kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi intelektual dan
disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional. Hikmah ini
bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah wujud penerima
pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud hanya dicapai
dengan mengikuti syari’at. Sementara itu, dari sisi ontologis, Al-Hikmah Al-Muta'aliyah didasarkan
atas tiga hal: prinsip wujud, gradasi wujud, dan gerak subtansial.
Dalam mazhab Isfahan, Mulla Shadra tercatat sebagai tokoh filosof yang sangat tersohor,
kepopulerannya ditandai oleh kepiawaiannya dalam menguasai ringkasan pemikiran filsafat Islam
yang berkembang dalam rentang waktu 900 tahun dengan pendekatan sintesis akhir berbagai
mazhab filsafat dan teologi Islam (kalam). Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapan-
ucapan para penguasa sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif, kalam sunni dan syi’i
serta mazhab gnosis, Mulla Shadra membuat sistesis secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal
dengan teosofi transenden (Al-hikmah Al-muta’aliyah). Mulla Shadra merasa yakin bahwa ada tiga
jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal dan intelektual (‘Aql) dan
visi batin atau pencerahan (kasyf). Dia berusaha merumuskan sebuah ‘kebijaksanaan’ sehingga
manusia mampu mengambil manfaat dari ketiga sumber tersebut.
Konsep Al-Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra
Pada dasarnya hikmah dalam filsafat Mulla Shadra memiliki pengertian khusus yaitu
mengenal Tuhan, sifat, perbuatan dan manifestasi-Nya. Dalam kitab Mafâtih al-Ghaib tentang
hikmah muta’aliyyah berkata: hakikat hikmah diperoleh dari ilmu laduni (hudhuri), jika seorang
belum mencapai maqam ini maka tidak disebut hakim (seorang yang memiliki hikmah).
Hikmah Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen
rasional (akal), penyingkapan (mukasyafah), Al-Quran dan hadis Ahlulbait, karenanya dikatakan
paling tingginya hikmah. Dalam kitab Asfar dia berkata bahwa argumen akal, penyingkapan dan
wahyu sejalan satu sama lain dan tidak saling bertentangan, orang yang tidak mengikuti para nabi
dan rasul pada dasarnya tidak memiliki hikmah dan tidak disebut sebagai hakim atau filosof ilahi.
Syariat yang benar tidak mungkin bertentangan dengan akal, karena pada prinsipnya keduanya
memiliki tujuan yang sama yaitu makrifat Tuhan, sifat dan perbuatan-Nya.
Untuk sampai ke derajat kasyf dan syuhud maka akal harus dicahayai dengan syariat, karena
hakikat-hakikat yang diperoleh lewat argumen akal jika belum menyatu dengan realitas luar maka
merupakan hijab untuk mencapai hakikat-hakikat syuhudi, dengan bahasa lain kalau akal belum
dicahayai oleh syariat maka segala yang dipahami akal dengan ilmu husuli tidak akan pernah
mencapai ilmu hudhuri.
Menurut filosof ini fiqih untuk mengarahkan amal perbuatan manusia, jika prilaku manusia
terarah maka kondisi jiwa manusia akan sempurna menerima pancaran ilmu dan makrifatnya dari
Tuhan. Jadi fiqih merupakan pendahuluan bagi kesempurnaan ilmu dan makrifat manusia.
Dalam filsafat Mulla Shadra empat aliran berpikir – aliran peripatetik, iluminasi, kalam dan
tasawuf – tergabung secara sempurna dan melahirkan aliran baru filsafat yang disebut Hikmah al-
Muta’aliyah, aliran filsafat ini walaupun secara metodologi sama dengan empat aliran di atas tapi
pemikiran yang dihasilkannya sangat jauh berbeda. Karenanya aliran filsafat ini dikatakan sebagai
aliran yang berdiri sendiri dan sebuah pandangan dunia yang baru.
Aliran filsafat Shadra mampu menggabungkan antara doktrin Islam dengan pemikiran
filsafat. Al-Quran dan hadis dijadikan tumpuan dan sumber ilham untuk menyelesaikan setiap
persoalan dan pembahasan yang rumit dalam filsafat. Inilah salah satu kelebihan yang tidak dimiliki
oleh aliran-aliran filsafat lainnya. Penggabungan dua unsur tersebut menjadikan karya-karya
filsafatnya sebuah kitab tafsir agama dan begitu juga sebaliknya kitab tafsir Al-Quran dan hadis bisa
dinamakan sebuah kitab filsafat.
Kerangka umum bangunan pemikiran filsafat Shadra dapat dirumuskan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan aksiomatis konsep wujud (badahah mafhum al-wujud), konsep wujud
atau ada itu jelas dan sederhana. Hanya saja, apakah konsep itu juga jelas dan sederhana pada
semua maujud. Kedua, ekuivalensi konsep wujud pada semua maujud. Konsep wujud itu ekuivalen
(al-ta’adul wa al-tasawa) pada semua maujud. Misalnya, wujud pohon dan wujud manusia itu
sama. Hanya saja, keduanya secara eksternal berbeda secara distingtif. Maka yang menjadi titik
pembeda adalah bukan wujudnya, melainkan esensi (mahiyah) nya. Ketiga, wujud bukanlah
kuiditas (mahiyyah). Sekiranya wujud itu memang sederhana, lantas mengapa kita jumpai adanya
multiplisitas eksistensial (al-wujud al-ta’addudy) di alam ini, jawabannya adalah bahwa
multiplisitas dan pluralitas itu berasal dari gradasi eksistensial. Keempat, gradasi wujud (al-
thabaqat al-wujudiyah al-ashalat al-wujud), kelima, spektrum wujud (al-wujud al-musyahad). Ini
merupakan eksplanasi tentang ihwal penetrasi unitas dalam pluralitas wujud. keenam, penetrasi
unitas dalam pluralitas, karena kesatuan itu sangat mungkin menjadi banyak, maka wujud yang satu
pun bisa menjadi banyak juga (kesemua realitas wujud identik dengan penampakan wajah wujud
dari realitas mutlak).
Dengan demikian dapat ditangkap bahwa konsep wujud itu jelas, sederhana, dan tunggal
pada semua maujud. Dan segala sesuatu yang secara abstraksi mental satu, pasti secara ekstensi
eksternal pun satu, dan tidak sebaliknya. Sebab abstraksi mental adalah pecahan ontologi dari
individual eksternal. Misalnya dapat kita gambarkan dalam analogi berikut ; satu telur pasti berasal
dari satu ayam, akan tetapi kebalikannya tidaklah demikian. Boleh jadi satu ayam punya banyak
telur, dan banyak telur berasal dari satu atau banyak ayam. Karenanya wujud itupun satu dan tidak
banyak serta kemaujudan, itu satu juga adanya.
Demikian gambaran sekilas tentang pemikiran filsafat Mulla Shadra dan terutama dalam al-
Asfar al-Arba‘ah al-hikmah al-muta’aliyah. Mulla Shadra, yang menyebut sistem filsafatnya
sebagai kearifan puncak, menyebut filsafat konvensional, baik illuminasi maupun peripatetik,
sebagai filsafat umum atau filsafat konvensional.
2. Murtadha Muthahhari
Murtadha Muthahhari dilahirkan di Khurasan, pada tanggal 2 Februari 1919, dari keluarga
yang saleh. Ayahnya, Hujjatul Islam Muhammad hussein Muthahhari, terkenal sebagai alim yang
dihormati. Ia dibesaarkan dalam asuhan ayah yang bijak sampai masa 12 tahun. Kemudian ia
pindah ke Qum dan belajar di bawah bimbingan dua Ayatullah kenamaan, Boroujerdi dan
Khomeini. Ketika mahasiswa, Muthahhari belajar filsafat melalui Thabatthaba’i.
Muthahhari mulai menaruh minat terhadap filsafat adalah filsafat Materialisme, terutama
Marxisme. Masuknya Muthahhari terhadap Marxian sangat menguntungkan jamaah Thabattaba’i.
Namun tidak lama sesudah itu, Muthahhari menyadari bahwa filsafat jauh lebih dari pada sekadar
polemik atau disiplin intelektual saja. Akhirnya, Muthahhari mengikuti madzhab al-hikmah al-
muta'aliyah milik Shadra.
Muthahhari memiliki proyek besar untuk mendamaikan antara kefanaan dan kebaqaan,
karena “Tunduk sama sekali pada perubahan dan pembaruan akan menghilangkan kebaqaan, dan,
karenanya, tidak patut lagi dinamakan agama; sedang bersikeras pada kebaqaan, dan menolak keras
perubahan, membuat agama tidak mungkin hidup di dunia yang temporer ini”.
Untuk itu dibutuhkan faqih yang berani untuk mengeluarkan fatwa-fatwa yang berani yang
sama sekali terputus dengan epistemologi yang sudah lampau. Di sinilah letak pengaruh Shadra
terhadap Muthahhari.
Selain itu, Muthahhari banyak berbicara mengenai Shadra, dalam beberapa karyanya, yang
dikumpulkan dan disunting oleh penerbit Mizan, Muthahhari terlihat memiliki keinginan untuk
mengenalkan lebih terhadap pemikiran Shadra. Mulai dari arti hikmah sampai konsep al-hikmah al-
muta'aliyah yang dibahasnya dalam buku tersebut. Beberapa sumbangan kaum muslim terhadap
filsafat juga mewarnainya, yang tentunya di dalamnya berisi tentang peran Shadra terhadap
perkembangan filsafat, terutama filsafat islam. Selain itu, konsep masyarakat dan sejarah yang
dilontarkan oleh Muthahhari juga sangat terlihat pengaruh Shadra terhadapnya.
Kesimpulan
Mulla Shadra membawa warna baru dalam sejarah filsafat Islam, warna baru pada filsafat
Islam tersebut bernama Hikmah Muta’alliyah atau eksistensialisme (wujudiyah). Ungkapan Al-
Hikmah Al-Muta’aliyah terdiri dari dua istilah yaitu hikmah yang dalam perspektif ini merupakan
kombinasi dari filsafat, iluminasionisme, dan sifisme. Dan al-muta’aliyah yang berarti tinggi,
agung, transenden.
al-Hikmah al-Muta'aliyah secara epistemologis di dasarkan pada tiga prinsip: intuisi
intelektual (dzawq atau isyraq), pembuktiaan rasional (aql atau istidlal), dan syari’at. Sehingga
hikmah adalah kebijaksanaan (wisdom) yang diperoleh lewat pencerahan ruhaniah atau intuisi
intelektual dan disajikan dalam bentuk rasional dengan menggunakan argumen-argumen rasional.
Hikmah ini bukan hanya memberikan pencerahan kognitif tetapi juga realisasi, yang mengubah
wujud penerima pencerahan itu merealisasikan pengetahuan sehingga terjadi transformasi wujud
hanya dicapai dengan mengikuti syari’at. Sementara itu, dari sisi ontologis, al-Hikmah al-
Muta'aliyah didasarkan atas tiga hal: Prinsip Wujud, gradasi wujud, dan gerak subtansial. Hikmah
Muta’aliyah dalam meraih makrifat menggunakan tiga sumber yaitu: argumen rasional (akal),
penyingkapan (mukasyafah), al-Quran dan hadis Ahlulbait As, karenanya dikatakan paling
tingginya hikmah.
Pengaruh pemikiran Shadra terhadap filosof muslim sesudahnya sangat terlihat, seperti
dalam pemikiran Thabattaba’i dan Murtadla Mutahhari. Tentunya, Shadra lebih memiliki peran di
kalangan Syiah sendiri. Sementara, di kalangan Sunni Shadra tidak banyak dikenal. Sebab, satu
kebanggaan yang diagung-agungkan oleh Syiah bahwa ia lebih banyak memiliki akses dibanding
aliran yang lain (Sunni).
Daftar Pustaka
Algar, Hamid. Murtadla Muthahhari: Sang Mujahid, Sang Mujtahid, Bandung: Yayasan
Muthahhari, 1988.
al- Walid, Khalid. Tasawuf Mulla shadra, Bandung: Muthahari Press, 2005.
Hasdi, Muhammad Taqi Misbah, Buku Dasar Filsafat Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Muntahari, Murtadha. Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra, Bandung: Mizan, 2002.
Henry Corbin, Imajinasi Kreatif Sufisme Ibn ‘Arabi, terj. M. Khozim dan Suhadi, (Yogyakarta:
LKiS, 2002).
Nashr, Husain. Tiga Pemikir Islam, Bandung: Risalah, 1986.
Nasr, Sayyed Hossein, Pengetahuan dan Kesucian, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.
Nur, Syaifan . Filsafat Wujud Mulla Shadra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.
Nur, Syaifan Mulla Shadra Pendiri Mazhab Al-Hikmah Al-Muta’aliyah, Jakarta selatan: Teraju,
2003.
Rahman, Fazlur. Filsafat Shadra, Bandung: Pustaka, 2000.
Rahmat, Jaluddin. Hikmah Muta’aliyah: Filsafat Islam Pasca Ibnu Rusyd, pengantar
dalam Kearifan Puncak, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Shadra, Mulla. Al- Hikmah Al- Muta’aliyah, Bairut: Daral-Ihya At- Turast Al- arabi, 1410.
Sorous, Abdul Karim. Menggugat Otoritas dan Tradisi Agama, terj. Abdullah Ali, Bandung:
Mizan, 2002.
Adlany, Muhammad Kearifan Puncak Mulla Shadra, dalam
http://www.buletinmitsal.wordpress.com/sosok/kearifan-puncak-mulla-shadra/ diakses pada
tanggal 4 Mei 2016.
Anonim, dalam http://www. Eramuslem.net/?buka=show_artikel&id=249.www. iqna.ir diakses
pada tgl 10 Juni 2016.
Anonim, Hikmah Muta’aliyah Mulla Shadra, dalam http://www.zizy-
tajdid.blogspot.com/2011/01/hikmah-mutaaliyah-mulla-sadra.html?zx=d6e965d0a88a39ec,
diakses pada tgl 8 April 2016.
Anonim, Kearifan Puncak Mulla Shadra, dalam
http://www.buletinmitsal.wordpress.com/sosok/kearifan-puncak-mulla-shadra/ diakses pada
tgl 4 Mei 2016.
Anonim, Aliran Hikmah Muta’aliyah, dalam http://www.khatib-el-
umamy.blogspot.com/2011/08/aliran-hikmah-mutaaliyah.html diakses pada tgl 4 Mei 2016.
Riadi, Haris. Hikmah al-Israqiyah: Mentelaah Sisi Eksistensialisme Teosofi Transenden Mulla
Shadra., dalam http://www.uinsuska.com. Diakses pada tgl 18 Mei 2016.