Professional Documents
Culture Documents
1
2
Pendahuluan
Keberadaan interaksi antar lempeng akibat pertemuan 3 (tiga) lempeng besar dunia
yakni Eurasia, Indo‐Australia, dan Pasifik serta 9 (sembilan) lempeng kecil lainnya
di wilayah Indonesia membentuk jalur‐jalur pertemuan lempeng yang kompleks (Bird, 2003
dalam Irsyam, Masyhur et EL.2010). Hal ini menempatkan wilayah Indonesia sebagai
wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi (Milson et al., 1992 dalam Irsyam,
Masyhur et al. 2010). Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik
dapat menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera (tsunami). Adanya
keberadaan wilayah tersebut menyebabkan gempa bumi menjadi salah satu bencana
alam yang relatif sering terjadi di Indonesia. Sebagai contohnya adalah peristiwa gempa bumi
berkekuatan 7,6 Skala Richter di Sumatera Barat dengan pusat gempa di barat Kota
padang pada tanggal 30 september 2009 yang lalu. Gempa ini tidak saja tergolong gempa
yang jarang terjadi di Sumatera barat, namun juga secara kultural masyarakat setempat
belum memiliki daya adaptasi yang memadai dalam menghadapi bencana tersebut.
Adanya potensi terhadap ancaman bencana ini menimbulkan terbentuknya beberapa limitasi
dalam perkembangan fisik lingkungan perkotaan di kawasan yang terkena dampak bencana
gempa bumi ini. Di saat yang bersamaan, tuntutan terhadap perkembangan perkotaan yang
ada sedemikan tumbuh dengan pesatnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini
akhirnya akan menimbulkan fenomena peralihan fungsi lahan maupun ruang yang tidak
terbangun ke arah terbangun, baik terencana sesuai dengan landasan penataan ruang ataupun
tidak (Susanti, 2009). Berdasarkan pada kondisi tersebut, diperlukan berbagai upaya ke
arah penciptaan penataan ruang berbasis mitigasi bencana gempa yang komprehensif dan
efektif dari seluruh stakeholder dengan mengikutsertakan tindakan partisipatif masyarakat
setempat dalam mendukung implementasinya. Berdasarkan pada hasil penentuan zonasi
tingkat kerentanan tanah melalui pengamatan dan analisis mikrotremor gempa bumi dapat
menjadi basis data dan mendukung upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang di kawasan
Unsur geologi terkait pengembangan, regenerasi dan konversasi kota Padang pasca gempa bumi| 3
rawan bencana. Hal ini tentu dimaksudkan agar kesenjangan pemahaman terhadap
fenomena earthquake disaster yang ada dapat segera diminimalkan agar masyarakat di
kawasan rawan bencana gempa bumi ini menjadi semakin responsif, memiliki pola pikir
terhadap bahaya di lingkungannya dan dapat melakukan evakuasi secara mandiri di bawah
koordinasi pihak Pemerintah Kabupaten kota setempat.
Pasca terjadinya gempa bumi tahun 2009 yang lalu menyadarkan segenap pihak terkait
terhadap pentingnya mitigasi (pengurangan resiko) bencana dalam penyusunan rencana tata
ruang. Akibatnya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah kota Padang, dan segenap pihak terkait
lainnya dituntut dapat menyelaraskan rencana tata ruang wilayah dengan berbagai ancaman
kebencanaan terbaru baik yang telah terjadi maupun yang belum pernah namun tetap
menjadi ancaman di masa depan dalam berbagai produk rencana tata ruangnya. Untuk itu, maka
mitigasi bencana yang memprioritaskan pada kajian ilmu geologi dan kebumian dapat
menjadi landasan dasar bagi penyusunan rencana tata ruang. Dan itu semua bermuara pada
ketiadaan informasi yang cukup memadai dari sisi perencanaan tata ruang yang berbasis mitigasi
bencana. Adapun perumusan masalah sebagai berikut:
a. Masih belum efektifnya kesiapan operasional skenario perencanaan tata ruang berbasis
mitigasi bencana yang tepat dan benar.
b. Keterpaduan berbagai informasi terkait dengan perencanaan dan evaluasi guna lahan
serta potensi kerentanan dan resiko bencana gempa bumi sebagai salah satu jenis
ancaman bencana di masa yang akan datang hingga saat ini dirasakan masih belum
optimal.
Fig. 1. Tectonic setting of the Sumatra subduction zone. Background map: The Sumatra Island is shown by the blue rectangle and it
is located at the southwestern edge of Southeast Asian margin as well as one of the biggest island of Indonesian archipelago.
Foreground map: The figure has been rotated to trench parallel. SFZ: Sumatra Fault Zone; WAF: West Andaman Fault; MF:
Mentawai Fault; WFR: Wharton Fossil Ridge; and IFZ: Investigator Fracture Zone. Convergence rate of the subducting Australian
oceanic plate beneath the Sunda continental plate from Sieh and Natawidjaja (2000). White line with tooth represents the megathrust
fault boundary extracted from the top of the Slab 1.0 by Hayes et al. (2012). The forearc Islands that discussed in this study are shown
by text. Dashed lines of the MF and WAF are the portions of active faults with uncertainty. The beach balls were retrieved from the
Global CMT catalogue (http://www.globalcmt.org/) with magnitude greater than 7. The focal mechanism in red color indicated event
occurred within the analyzed time period of this study, black color indicated some selected events outside the analyzed time range of
this study, blue color indicated events located at the oceanic plate
Berdasarkan pada peta kerentanan dan peta resiko wilayah gempa, maka dapat
dilakukan analisis terhadap arahan pengembangan wilayah pasca bencana tahun
2009 lalu. Pengembangan wilayah di 4 (empat) kecamatan penelitian ditujukan bagi peningkatan
kualitas taraf hidup masyarakat setempat dalam kehidupannya. Untuk Kota padang yang
berfungsi sebagai Ibu kota provinsi, dibutuhkan penataan ruang ulang terhadap berbagai
kawasan dengan peruntukan yang beragam dalam mengantisipasi perkembangan penduduk
dan kebutuhan permukiman hingga zonasi industri.
Selatan harus dikembangkan dalam kerangka pengembangan wilayah perkotaan yang berbasis
mitigasi bencana gempa. Pada Kecamatan Bungus Teluk kabung, Kecamatan Koto tangah, yang
menjadi pusat pengembangan sektor pertanian dan perikanan serta potensi pendukungnya yakni
industri kerajinan dan perdagangan, maka penataan ruang saat ini di koto tangah, sudah
sewajarnya dikembangkan melalui pola ruang yang mengedepankan peningkatan produksi
pertanian, peternakan, industri, dan perdagangan sebagaimana telah ditetapkan dalam RTRW
Kota Padang dengan mempertimbangkan faktor mitigasi bencana gempa buminya.
Untuk Padang Barat, Padang Timur, Padang Selatan, Padang Utara dan Nanggalodengan
kondisi morfologi yang lebih bervariasi dibandingkan wilayah Kecamatan lainnya, diarahkan
pada pengembangan pusat pelayanan perdagangan dan jasa, pusat pengembangan ekonomi
kreatif serta salah satu obyek wisata dan tujuan wisata (pantai). Perlu pula
mempertimbangkan rencana distribusi kepadatan penduduk yang terbagi dalam 3 (tiga)
klasifikasi berbeda yakni “tinggi” dengan kepadatan rencana lebih dari 170.000 jiwa/ha di
Kecamatan Koto Tangah, dan sebagian Kuranji, “sedang” dengan rencana kepadatan penduduk
antara 25.000‐170.000 jiwa/ha untuk semua bagian Kecamatan Lubuk kilangan, Kecamatan
padang selatan, padang timur, padang barat, padang utara, Kecamatan Lubuk Begalung,
KecamatanNanggalo , kecamatan Pauh dan “rendah” dengan rencana kepadatan kurang dari
50 jiwa/ha di sebagian besar wilayah Kecamatan Bungus Teluk Kabung.
Dalam hal ini, berdasarkan hasil kajian mikrotremor ini setidaknya harus dikaji kembali
rencana tata ruang di 4 (empat) wilayah kecamatan ini dan juga difungsikan sebagai
pemutakhiran informasi sebagaimana diatur dalam Permen PU Nomor
21/PRT/M/2007 dengan mempertimbangkan beberapa aspek berikut:
1. Pengendalian Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang mengatur intensitas pemakaian
ruang secara vertikal dalam bentuk ketinggian bangunan maksimum dari muka tanah
untuk setiap unit lingkungannya. KLB ini disesuaikan dengan peta kerentanan bahaya
gempa bumi dan peta resiko bencana gempa sehingga setidaknya untuk kondisi minimal
keamanannya adalah dengan jumlah lantai yang tidak bertingkat dengan tinggi puncak
bangunan 12 meter dari lantai dasar (Kepmen Kimpraswil Nomor 327/PRT/2002). Jika
akan dilakukan pembangunan yang melebihi lantai dasar, maka harus mengacu pada
standar konstruksi bangunan tahan gempa yang lebih ketat. Artinya semakin banyak
lantai bangunan yang direncanakan akan mengakibatkan semakin parahnya peluang
bangunan tersebut untuk terkena goncangan dan pergeseran akibat gempa. Hal ini
harus diatur kembali secara jelas melalui Perda mengenai Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB) terbaru sebagai langkah antisipasi pasca bencana tahun 2006 lalu.
2. Kesesuaian perencanaan (design) dan pelaksanaan konstruksi bangunan tahan gempa
harus diberlakukan di seluruh wilayah kecamatan penelitian. Prinsip utama bangunan
tahan gempa adalah adanya kesatuan struktur bangunan dengan memadukan berbagai
unsur struktur sehingga saat terjadi gempa masing‐masing unsur tersebut dapat bekerja
bersama sebagai satu kesatuan. Pemilihan material bahan bangunan juga menentukan
tingkat potensi kerusakan akibat gempa (ground shaking and graound failure). Material
dari kayu atau bambu lebih bersifat resistan terhadap ancaman tersebut dibandingkan
dengan batubata (Murakami and Pramitasari, 2008).
3. Perencanaan detil konstruksi bangunan dan pelaksanaan pembangunannya harus
mempertimbangkan pula bahaya resonansi gelombang gempa yang akan terjadi (fo
bangunan = fo gempa bumi). Pemilihan design dan material konstruksi bangunan
sebaiknya memenuhi kaidah tahan gempa agar dapat meminimalisasi peluang resonansi.
4. Penentuan jalur evakuasi penduduk terhadap bencana gempa bumi. Jalur ini sejauh ini
telah direncanakan secara komprehensif oleh stakeholder terkait dalam mengantisipasi
ancaman gempa dan melibatkan aspirasi penduduk setempat. Koordinasi di tingkat
kelurahan dan kecamatan sangat menentukan.
5. Kondisi tanah dan batuan setempat sangat mempengaruhi kerusakan bangunan dan
pengembangan wilayah (fenomena local site effects). Karena mayoritas wilayah
penelitian ini berada pada bentuk lahan fluvio volcanic dan Endapan Merapi Muda yang
berkarakteristik unconsolidated sediments dan termasuk kategori daerah rentan gempa,
maka aspek perencanaan wilayahnya harus ramah terhadap ancaman bahaya gempa bumi,
tidak terkecuali kawasan budidayanya (permukiman, perdagangan, perkantoran dan
sebagainya). Hal ini berarti bahwa harus selalu dipadupadankan sinergisitas produk
regulasi hingga rencana tata ruang termasuk RTRW Provinsi hingga Kabupaten/Kota
maupun rencana detilnya (Permen PU Nomor 21/PRT/M/2007).
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil penelitian
sebagai berikut:
1. Daerah penelitian merupakan wilayah dengan potensi kerentanan dan resiko terhadap ancaman bencana gempa bumi yang
bervariasi. Derajat potensi kerentanan suatu wilayah dipengaruhi oleh komposisi material endapan yang terdapat dalam
satuan bentuk lahannya. Tingkat resiko bencana menjadi menguat jika indeks kerentanannya juga semakin meningkat
karena berkorelasi langsung dengan rasio kerusakan bangunannya (collapse ratio).
2. Adanya perubahan karakteristik bentuk lahan dan konstelasi geologi bawah permukaan di daerah rawan bencana gempa
bumi diikuti oleh perubahan nilai parameter mikrotremornya secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena
local site effects dapat menjelaskan mekanisme gempa bumi yang pernah terjadi dan berpotensi akan terjadi kembali di
masa mendatang.
3. Dibutuhkan mekanisme khusus perencanaan ruangnya dengan membatasi pengembangan kawasan budidaya yang rawan
terhadap ground shaking maupun ground failure seperti permukiman, industri, serta perdagangan‐jasa yang membutuhkan
konstruksi material bangunan ramah dan sekaligus tahan gempa. Hal ini dapat diantisipasi dan diatur lebih lanjut dalam
rencana detil sebagai implementasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul yang baru saja disahkan
di tahun 2011.
4. Peta kerentanan gempa bumi (map of vulnerable) dan peta resiko gempa bumi (map of risk) merupakan representasi
adanya perubahan bentuk lahan dan kondisi geologi (endapan) setempat serta berkorelasi secara langsung terhadap rasio
kerusakan konstruksi bangunan yang ada.
Daftar Pustaka
[1] Irsyam, Masyhur et.al. 2010. “Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia
2010”. Kerjasama Kementerian Pekerjaan Umum‐Kementerian ESDM‐BMKG‐
LIPI‐BNPB‐ITB, Bandung, Juli 2010. [Homepage from www.unisdr.org].
[2] Susanti, Retno. 2009. “Peran Identifikasi Kawasan Rawan Bencana yang Menyeluruh
dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang”. Jurnal disampaikan pada Seminar Nasional
Implikasi Undang‐Undang Penataan Ruang No.26 tahun 2007 terhadap Konsep
Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan Lingkungan, Jurusan Perencanaan
Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya, Malang..
[3] Peta Ancaman Tsunami ..http://geospasial.bnpb.go.id/wp- content?uploads/2011/02/2011-
02_Peta_Ancaman_Tsunami.pdf
[4 Sadisun, Imam A. 2007. “Peta Rawan Bencana: Suatu Informasi Fundamental dalam Program
Pengurangan Resiko Bencana”. Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB,
Bandung [Homepage from Department of Earth Sciences and Technology‐Bandung
Institute of Technology]. [5] Cangara, H. Hafied. 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Unsur geologi terkait pengembangan, regenerasi dan konversasi kota Padang pasca gempa bumi| 7