You are on page 1of 7

Prosiding Perencanaan Wilayah dan Kota

Unsur geologi terkait pengembangan, regenerasi dan


konversasi kota Padang pasca gempa bumi

Muhammad Shadam Syafsafa Adsya


Prodi Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Islam
Bandung, Indonesia.
*
muhammadshadam93@gmail.com

Abstract. Padang-Pariaman earthquake that occurred on September 30 th, 2009


measuring the magnitude of 7.6 in Richter Scale had resulted in loss of life and
property in the city of Padang and the surrounding areas. Post-earthquake
events, Padang entered the stage of rehabilitation and reconstruction that began
with the rearrangement of spatial planning of the area. Rearrangement of the
spatial planning of the city of Padang after the earthquake is a crucial stage
because the layout will determine whether the vulnerability of the region is
becoming less or even more resistant against the same disaster in the future. The
increase of resistance of this region can be achieved if the elements of
environmental geology in the form of geological constraints and geological
resources are integrated in regional planning. Analysis of the environmental
geology is intended to provide information of geological environment in
accordance with the land use to minimize the negative impacts caused by
regional development. Based on analysis results there are three zones of
discretion for the development of Padang city namely spacious, fairly spacious,
and rather spacious. This analysis result can be used as the basis to evaluate the
existing spatial planning. Based on the evaluation of the spatial planning shows
that the current area is a cultivation zone that lies in rather spacious to spacious
zone, whereas the protected zone lies in rather spacious to fairly spacious zone.
There by, the development of trade, services and industry in the area of
cultivation should consider the problem of soft ground, while the development
of trade, services, industry and residential agricultural region should not be
considered the factor of safety, in this case, they must adapt to aspects of the
geological hazards in the region.
Keywords: earthquake, planning of the area, environmental geolog.

Abstrak. Gempa bumi Padang-Pariaman yang terjadi pada tanggal 30


September 2009 berkekuatan 7,6 SR telah mengakibatkan korban jiwa dan harta
benda di Kota Padang dan sekitarnya. Pasca kejadian gempa bumi, Kota Padang
memasuki tahap rehabilitasi dan rekonstruksi yang diawali dengan penyusunan
kembali rencana tata ruang wilayah tersebut. Penyusunan kembali rencana tata
ruang wilayah kota Padang pasca gempa bumi merupakan tahap yang sangat
menentukan karena tata ruang akan menentukan apakah wilayah ini menjadi
semakin rentan atau semakin kuat ketahanannya di masa datang dalam
menghadapi bencana yang sama. Meningkatnya ketahanan wilayah ini dapat
tercapai bila unsur-unsur geologi lingkungan berupa kendala geologi dan
sumber daya geologi diintegrasikan dalam rencana tata ruang wilayah. Analisis
geologi lingkungan ditujukan untuk dapat memberikan informasi lingkungan

1
2

geologi yang sesuai dengan penggunaan lahan untuk memperkecil dampak


negatif yang diakibatkan oleh suatu pengembangan wilayah. Metoda yang
digunakan untuk menunjang pemetaan geologi lingkungan yaitu berdasarkan
pada analisis aspek geologi lingkungan seperti faktor kondisi fisik topografi,
geologi, keairan, kebencanaan/ proses geodinamika dan unsur lainnya yang
terkait, seperti penggunaan lahan dan rencana tata ruang wilayah. Berdasarkan
hasil analisis menunjukkan tiga zona keleluasaan untuk pembangunan Kota
Padang, yakni leluasa, cukup leluasa, dan agak leluasa. Hasil analisis ini dapat
digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi terhadap tata ruang yang ada.
Evaluasi terhadap tata ruang menunjukkan kawasan yang saat ini merupakan
kawasan budi daya berada pada zona agak leluasa - leluasa, adapun kawasan
lindung berada pada zona agak leluasa - cukup leluasa. Dengan demikian
pengembangan kegiatan perdagangan, jasa dan industri di dalam kawasan budi
daya harus mempertimbangkan masalah tanah lunak, sedangkan pengembangan
kegiatan perdagangan, jasa, industri dan pemukiman di dalam kawasan lindung
harus mempertimbangkan faktor keselamatan, dalam hal ini harus disesuaikan
dengan aspek bencana geologi yang ada pada kawasan tersebut.Kata Kunci:
perencanaan ruang, mikrotremor, bentuk lahan, geologi .

Kata kunci: gempa bumi, tata ruang, geologi lingkunga

Pendahuluan
Keberadaan interaksi antar lempeng akibat pertemuan 3 (tiga) lempeng besar dunia
yakni Eurasia, Indo‐Australia, dan Pasifik serta 9 (sembilan) lempeng kecil lainnya
di wilayah Indonesia membentuk jalur‐jalur pertemuan lempeng yang kompleks (Bird, 2003
dalam Irsyam, Masyhur et EL.2010). Hal ini menempatkan wilayah Indonesia sebagai
wilayah yang sangat rawan terhadap gempa bumi (Milson et al., 1992 dalam Irsyam,
Masyhur et al. 2010). Gempa bumi yang disebabkan karena interaksi lempeng tektonik
dapat menimbulkan gelombang pasang apabila terjadi di samudera (tsunami). Adanya
keberadaan wilayah tersebut menyebabkan gempa bumi menjadi salah satu bencana
alam yang relatif sering terjadi di Indonesia. Sebagai contohnya adalah peristiwa gempa bumi
berkekuatan 7,6 Skala Richter di Sumatera Barat dengan pusat gempa di barat Kota
padang pada tanggal 30 september 2009 yang lalu. Gempa ini tidak saja tergolong gempa
yang jarang terjadi di Sumatera barat, namun juga secara kultural masyarakat setempat
belum memiliki daya adaptasi yang memadai dalam menghadapi bencana tersebut.

Adanya potensi terhadap ancaman bencana ini menimbulkan terbentuknya beberapa limitasi
dalam perkembangan fisik lingkungan perkotaan di kawasan yang terkena dampak bencana
gempa bumi ini. Di saat yang bersamaan, tuntutan terhadap perkembangan perkotaan yang
ada sedemikan tumbuh dengan pesatnya seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Hal ini
akhirnya akan menimbulkan fenomena peralihan fungsi lahan maupun ruang yang tidak
terbangun ke arah terbangun, baik terencana sesuai dengan landasan penataan ruang ataupun
tidak (Susanti, 2009). Berdasarkan pada kondisi tersebut, diperlukan berbagai upaya ke
arah penciptaan penataan ruang berbasis mitigasi bencana gempa yang komprehensif dan
efektif dari seluruh stakeholder dengan mengikutsertakan tindakan partisipatif masyarakat
setempat dalam mendukung implementasinya. Berdasarkan pada hasil penentuan zonasi
tingkat kerentanan tanah melalui pengamatan dan analisis mikrotremor gempa bumi dapat
menjadi basis data dan mendukung upaya pemanfaatan dan pengendalian ruang di kawasan
Unsur geologi terkait pengembangan, regenerasi dan konversasi kota Padang pasca gempa bumi| 3

rawan bencana. Hal ini tentu dimaksudkan agar kesenjangan pemahaman terhadap
fenomena earthquake disaster yang ada dapat segera diminimalkan agar masyarakat di
kawasan rawan bencana gempa bumi ini menjadi semakin responsif, memiliki pola pikir
terhadap bahaya di lingkungannya dan dapat melakukan evakuasi secara mandiri di bawah
koordinasi pihak Pemerintah Kabupaten kota setempat.

Pasca terjadinya gempa bumi tahun 2009 yang lalu menyadarkan segenap pihak terkait
terhadap pentingnya mitigasi (pengurangan resiko) bencana dalam penyusunan rencana tata
ruang. Akibatnya Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah kota Padang, dan segenap pihak terkait
lainnya dituntut dapat menyelaraskan rencana tata ruang wilayah dengan berbagai ancaman
kebencanaan terbaru baik yang telah terjadi maupun yang belum pernah namun tetap
menjadi ancaman di masa depan dalam berbagai produk rencana tata ruangnya. Untuk itu, maka
mitigasi bencana yang memprioritaskan pada kajian ilmu geologi dan kebumian dapat
menjadi landasan dasar bagi penyusunan rencana tata ruang. Dan itu semua bermuara pada
ketiadaan informasi yang cukup memadai dari sisi perencanaan tata ruang yang berbasis mitigasi
bencana. Adapun perumusan masalah sebagai berikut:

a. Masih belum efektifnya kesiapan operasional skenario perencanaan tata ruang berbasis
mitigasi bencana yang tepat dan benar.

b. Keterpaduan berbagai informasi terkait dengan perencanaan dan evaluasi guna lahan
serta potensi kerentanan dan resiko bencana gempa bumi sebagai salah satu jenis
ancaman bencana di masa yang akan datang hingga saat ini dirasakan masih belum
optimal.

Fig. 1. Tectonic setting of the Sumatra subduction zone. Background map: The Sumatra Island is shown by the blue rectangle and it
is located at the southwestern edge of Southeast Asian margin as well as one of the biggest island of Indonesian archipelago.
Foreground map: The figure has been rotated to trench parallel. SFZ: Sumatra Fault Zone; WAF: West Andaman Fault; MF:
Mentawai Fault; WFR: Wharton Fossil Ridge; and IFZ: Investigator Fracture Zone. Convergence rate of the subducting Australian
oceanic plate beneath the Sunda continental plate from Sieh and Natawidjaja (2000). White line with tooth represents the megathrust
fault boundary extracted from the top of the Slab 1.0 by Hayes et al. (2012). The forearc Islands that discussed in this study are shown
by text. Dashed lines of the MF and WAF are the portions of active faults with uncertainty. The beach balls were retrieved from the
Global CMT catalogue (http://www.globalcmt.org/) with magnitude greater than 7. The focal mechanism in red color indicated event
occurred within the analyzed time period of this study, black color indicated some selected events outside the analyzed time range of
this study, blue color indicated events located at the oceanic plate

Perencanaan Wilayah dan Kota


4

KAJIAN ILMU KEBUMIAN DALAM ERENCANAAN RUANG DI KAWASAN


RAWAN GEMPA BUMI
Gempa bumi didefinisikan sebagai getaran pada bumi yang bersifat alami yang terjadi pada
lokasi tertentu dan sifatnya tidak berkelanjutan. Getaran pada bumi dapat terjadi akibat adanya
proses pergeseran secara tiba‐tiba pada kerak bumi. Pergeseran secara tiba‐tiba terjadi karena
adanya sumber gaya sebagai penyebabnya, baik bersumber dari alam maupun dari bantuan
manusia (artificial earthquakes). Selain disebabkan oleh pergeseran secara tiba‐tiba, getaran
pada bumi juga bisa disebabkan oleh penyebab lain yang sifatnya lebih halus atau berupa getaran
kecil yang sulit dirasakan manusia. Gempa bumi merupakan bencana alam yang memiliki
dampak yang sangat kompleks diantaranya adalah menimbulkan sejumlah kerusakan terhadap
prasarana dan sarana umum termasuk dalam hal ini sistem pendukung kehidupan sehari‐hari
masyarakat seperti air, gas, listrik, jalan, serta jaringan pelayanan umum lainnya. Dampak yang
sangat dirasakan adalah kerusakan infrastruktur publik seperti perumahan/permukiman, jalan,
hingga berbagai fasilitas sanitasi dan air minum. Dalam penjalarannya gelombang seismik dari
gempa bumi ini akan mengakibatkan goncangan yang dahsyat pada kulit bumi (ground shaking)
dan terjadinya pergeseran pada kulit bumi (ground faulting/failure). Di samping itu, adanya
gempa ini juga menimbulkan potensi bencana lainnya yang dipicu oleh gempa bumi ini
diantaranya yakni longsor (landslide), liquefaction, kebakaran dan tsunami.
Terminologi dan Hirarki Mitigasi Bencana
Mitigasi dalam terminologi bencana didefinisikan sebagai berbagai upaya manusia
dengan tujuan utama mengurangi resiko atau dampak akibat peristiwa bencana baik yang
disebabkan oleh alam maupun aktivitas manusia (Sudibyakto, 2011). Apabila suatu peristiwa
yang memiliki potensi bahaya terjadi di suatu daerah dengan kondisi yang rentan, maka
daerah tersebut dapat dikategorikan beresiko terkena bencana (Sadisun, 2007). Jika
dicermati secara mendalam, aspek resiko bencana dipengaruhi oleh faktor‐faktor
penyusunnya, yakni bahaya (hazards) dan kerentanan (vulnerability). Dalam hal keberadaan
faktor kapasitas (capacity factor) dan dapat dianggap sebagai bagian dari faktor kerentanan
yang dapat mengurangi kerentanan bila kapasitas pada daerah tersebut termasuk kategori tinggi.
Sebaliknya, apabila kapasitas daerah masih termasuk dalam kategori rendah maka akan
mempengaruhi terjadinya peningkatan tingkat kerentanannya. Contoh yang termasuk
diantaranya adalah kemampuan adaptasi dan daya siap siaga dari seluruh stakeholder
daerah rawan bencana terhadap kemungkinan terjadinya bencana. Kondisi resiko bencana
ini merupakan fungsi dari bahaya atau ancaman (hazards), kerentanan (vulnerability) dan
kapasitas masyarakat (community capacity). Jika analisis resiko dilakukan secara kuantitatif
maka diperlukan adanya perhitungan parameter nilai atau harga dari elemen‐elemen
resikonya (elements at risks). Formulasi yang berlaku dapat diungkapkan sebagai:.

ARAHAN PENGEMBANGAN WILAYAH BERDASARKAN PETA


KERENTANAN BAHAYA GEMPA (MAP OF VULNERABLE) DAN PETA
RESIKO GEMPA (MAP OF HAZARD RISK)

Berdasarkan pada peta kerentanan dan peta resiko wilayah gempa, maka dapat
dilakukan analisis terhadap arahan pengembangan wilayah pasca bencana tahun
2009 lalu. Pengembangan wilayah di 4 (empat) kecamatan penelitian ditujukan bagi peningkatan
kualitas taraf hidup masyarakat setempat dalam kehidupannya. Untuk Kota padang yang
berfungsi sebagai Ibu kota provinsi, dibutuhkan penataan ruang ulang terhadap berbagai
kawasan dengan peruntukan yang beragam dalam mengantisipasi perkembangan penduduk
dan kebutuhan permukiman hingga zonasi industri.

Namun di sisi lainnya tetap harus memprioritaskan pengelolaan kelestarian lingkungan


hidup. Kebijakan pembangunan kawasan permukiman, perdagangan jasa, perkantoran (pelayanan
publik), dan sejenisnya dapat disesuaikan RTRW Kota dan RDTRK terbaru. Keberadaan
Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Nanggalo, Kecamatan Padang barat, Kecamatan Padang
Unsur geologi terkait pengembangan, regenerasi dan konversasi kota Padang pasca gempa bumi| 5

Selatan harus dikembangkan dalam kerangka pengembangan wilayah perkotaan yang berbasis
mitigasi bencana gempa. Pada Kecamatan Bungus Teluk kabung, Kecamatan Koto tangah, yang
menjadi pusat pengembangan sektor pertanian dan perikanan serta potensi pendukungnya yakni
industri kerajinan dan perdagangan, maka penataan ruang saat ini di koto tangah, sudah
sewajarnya dikembangkan melalui pola ruang yang mengedepankan peningkatan produksi
pertanian, peternakan, industri, dan perdagangan sebagaimana telah ditetapkan dalam RTRW
Kota Padang dengan mempertimbangkan faktor mitigasi bencana gempa buminya.

Untuk Padang Barat, Padang Timur, Padang Selatan, Padang Utara dan Nanggalodengan
kondisi morfologi yang lebih bervariasi dibandingkan wilayah Kecamatan lainnya, diarahkan
pada pengembangan pusat pelayanan perdagangan dan jasa, pusat pengembangan ekonomi
kreatif serta salah satu obyek wisata dan tujuan wisata (pantai). Perlu pula
mempertimbangkan rencana distribusi kepadatan penduduk yang terbagi dalam 3 (tiga)
klasifikasi berbeda yakni “tinggi” dengan kepadatan rencana lebih dari 170.000 jiwa/ha di
Kecamatan Koto Tangah, dan sebagian Kuranji, “sedang” dengan rencana kepadatan penduduk
antara 25.000‐170.000 jiwa/ha untuk semua bagian Kecamatan Lubuk kilangan, Kecamatan
padang selatan, padang timur, padang barat, padang utara, Kecamatan Lubuk Begalung,
KecamatanNanggalo , kecamatan Pauh dan “rendah” dengan rencana kepadatan kurang dari
50 jiwa/ha di sebagian besar wilayah Kecamatan Bungus Teluk Kabung.

Kecamatan Koto Tangah, Kecamatan Bungus, Kecamatan Padang Barat dengan


morfologi secara umum berada di wilayah pesisir Pulau Sumatera juga memiliki karakteristik
dalam penanganan rencana tata ruangnya, serta yang berbatasan secara langsung dengan
Samudera Hindia membutuhkan pembatasan pembangunan kawasan permukiman dan alih fungsi
selain fungsi awalnya seperti keberadaan gumuk pasir sebagai pusat penelitian alam terpadu.
Padang Barat juga sebaiknya direncanakan sebagai wilayah pendukung aktivitas pariwisata
pantai. Hal ini setidaknya membutuhkan pula pembatasan perluasan alih fungsi menjadi
permukiman maupun industri berskala besar. Khusus kaitannya dengan informasi peta resiko
gempa dimana pada wilayah Padang Barat, Padang Utara, Padang Selatan, Kototangah,
Bungus.yang paling beresiko terkena ancaman bahaya gempa, maka perlu mendapat perhatian
ekstra dalam antisipasi regulasi pengembangan wilayahnya termasuk diantaranya adalah
pengetatan ijin mendirikan bangunan maupun peruntukan infrastruktur lainnya.

Dalam hal ini, berdasarkan hasil kajian mikrotremor ini setidaknya harus dikaji kembali
rencana tata ruang di 4 (empat) wilayah kecamatan ini dan juga difungsikan sebagai
pemutakhiran informasi sebagaimana diatur dalam Permen PU Nomor
21/PRT/M/2007 dengan mempertimbangkan beberapa aspek berikut:
1. Pengendalian Koefisien Lantai Bangunan (KLB) yang mengatur intensitas pemakaian
ruang secara vertikal dalam bentuk ketinggian bangunan maksimum dari muka tanah
untuk setiap unit lingkungannya. KLB ini disesuaikan dengan peta kerentanan bahaya
gempa bumi dan peta resiko bencana gempa sehingga setidaknya untuk kondisi minimal
keamanannya adalah dengan jumlah lantai yang tidak bertingkat dengan tinggi puncak
bangunan 12 meter dari lantai dasar (Kepmen Kimpraswil Nomor 327/PRT/2002). Jika
akan dilakukan pembangunan yang melebihi lantai dasar, maka harus mengacu pada
standar konstruksi bangunan tahan gempa yang lebih ketat. Artinya semakin banyak
lantai bangunan yang direncanakan akan mengakibatkan semakin parahnya peluang
bangunan tersebut untuk terkena goncangan dan pergeseran akibat gempa. Hal ini
harus diatur kembali secara jelas melalui Perda mengenai Ijin Mendirikan Bangunan
(IMB) terbaru sebagai langkah antisipasi pasca bencana tahun 2006 lalu.
2. Kesesuaian perencanaan (design) dan pelaksanaan konstruksi bangunan tahan gempa
harus diberlakukan di seluruh wilayah kecamatan penelitian. Prinsip utama bangunan
tahan gempa adalah adanya kesatuan struktur bangunan dengan memadukan berbagai
unsur struktur sehingga saat terjadi gempa masing‐masing unsur tersebut dapat bekerja
bersama sebagai satu kesatuan. Pemilihan material bahan bangunan juga menentukan

Perencanaan Wilayah dan Kota


6

tingkat potensi kerusakan akibat gempa (ground shaking and graound failure). Material
dari kayu atau bambu lebih bersifat resistan terhadap ancaman tersebut dibandingkan
dengan batubata (Murakami and Pramitasari, 2008).
3. Perencanaan detil konstruksi bangunan dan pelaksanaan pembangunannya harus
mempertimbangkan pula bahaya resonansi gelombang gempa yang akan terjadi (fo
bangunan = fo gempa bumi). Pemilihan design dan material konstruksi bangunan
sebaiknya memenuhi kaidah tahan gempa agar dapat meminimalisasi peluang resonansi.
4. Penentuan jalur evakuasi penduduk terhadap bencana gempa bumi. Jalur ini sejauh ini
telah direncanakan secara komprehensif oleh stakeholder terkait dalam mengantisipasi
ancaman gempa dan melibatkan aspirasi penduduk setempat. Koordinasi di tingkat
kelurahan dan kecamatan sangat menentukan.
5. Kondisi tanah dan batuan setempat sangat mempengaruhi kerusakan bangunan dan
pengembangan wilayah (fenomena local site effects). Karena mayoritas wilayah
penelitian ini berada pada bentuk lahan fluvio volcanic dan Endapan Merapi Muda yang
berkarakteristik unconsolidated sediments dan termasuk kategori daerah rentan gempa,
maka aspek perencanaan wilayahnya harus ramah terhadap ancaman bahaya gempa bumi,
tidak terkecuali kawasan budidayanya (permukiman, perdagangan, perkantoran dan
sebagainya). Hal ini berarti bahwa harus selalu dipadupadankan sinergisitas produk
regulasi hingga rencana tata ruang termasuk RTRW Provinsi hingga Kabupaten/Kota
maupun rencana detilnya (Permen PU Nomor 21/PRT/M/2007).

Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan beberapa hasil penelitian
sebagai berikut:
1. Daerah penelitian merupakan wilayah dengan potensi kerentanan dan resiko terhadap ancaman bencana gempa bumi yang
bervariasi. Derajat potensi kerentanan suatu wilayah dipengaruhi oleh komposisi material endapan yang terdapat dalam
satuan bentuk lahannya. Tingkat resiko bencana menjadi menguat jika indeks kerentanannya juga semakin meningkat
karena berkorelasi langsung dengan rasio kerusakan bangunannya (collapse ratio).
2. Adanya perubahan karakteristik bentuk lahan dan konstelasi geologi bawah permukaan di daerah rawan bencana gempa
bumi diikuti oleh perubahan nilai parameter mikrotremornya secara signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa fenomena
local site effects dapat menjelaskan mekanisme gempa bumi yang pernah terjadi dan berpotensi akan terjadi kembali di
masa mendatang.
3. Dibutuhkan mekanisme khusus perencanaan ruangnya dengan membatasi pengembangan kawasan budidaya yang rawan
terhadap ground shaking maupun ground failure seperti permukiman, industri, serta perdagangan‐jasa yang membutuhkan
konstruksi material bangunan ramah dan sekaligus tahan gempa. Hal ini dapat diantisipasi dan diatur lebih lanjut dalam
rencana detil sebagai implementasi dari Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bantul yang baru saja disahkan
di tahun 2011.
4. Peta kerentanan gempa bumi (map of vulnerable) dan peta resiko gempa bumi (map of risk) merupakan representasi
adanya perubahan bentuk lahan dan kondisi geologi (endapan) setempat serta berkorelasi secara langsung terhadap rasio
kerusakan konstruksi bangunan yang ada.

Daftar Pustaka
[1] Irsyam, Masyhur et.al. 2010. “Ringkasan Hasil Studi Tim Revisi Peta Gempa Indonesia
2010”. Kerjasama Kementerian Pekerjaan Umum‐Kementerian ESDM‐BMKG‐
LIPI‐BNPB‐ITB, Bandung, Juli 2010. [Homepage from www.unisdr.org].
[2] Susanti, Retno. 2009. “Peran Identifikasi Kawasan Rawan Bencana yang Menyeluruh
dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang”. Jurnal disampaikan pada Seminar Nasional
Implikasi Undang‐Undang Penataan Ruang No.26 tahun 2007 terhadap Konsep
Pengembangan Kota dan Wilayah Berwawasan Lingkungan, Jurusan Perencanaan
Wilayah dan Kota, Universitas Brawijaya, Malang..
[3] Peta Ancaman Tsunami ..http://geospasial.bnpb.go.id/wp- content?uploads/2011/02/2011-
02_Peta_Ancaman_Tsunami.pdf
[4 Sadisun, Imam A. 2007. “Peta Rawan Bencana: Suatu Informasi Fundamental dalam Program
Pengurangan Resiko Bencana”. Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB,
Bandung [Homepage from Department of Earth Sciences and Technology‐Bandung
Institute of Technology]. [5] Cangara, H. Hafied. 2002. Pengantar Ilmu Komunikasi.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Unsur geologi terkait pengembangan, regenerasi dan konversasi kota Padang pasca gempa bumi| 7

[6] Undang – Undang No. 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana


[7] Rencana Peraturan Daerah Kota Padang No.3 Tahun 2008 tentang Penanggulangan Bencana
[8] Peraturan Daerah Kota Padang Nomor 17 tahun 2010 tentang Pembentukan Organisasi dan
Tata Kerja Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan Pemadaman Kebakaran
(BPBDPK Kota Padang

Perencanaan Wilayah dan Kota

You might also like