You are on page 1of 19

TUGAS ARTIKEL

PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN TERHADAP PELAYANAN


JASA KEDOKTERAN YANG TIDAK BERMUTU

Oleh

NIM:

PROGRAM STUDI MAGISTER HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HANGTUAH
SURABAYA
2019
PERLINDUNGAN HUKUM PASIEN TERHADAP PELAYANAN JASA
KEDOKTERAN YANG TIDAK BERMUTU
Abstract
This type of research used is a normative juridical (legal research), using the
approach of the problem approach law (statute approach), the conceptual approach
(conceptual approach), and the approach of the case (case approach). Problems in
this thesis is: What health services are not qualified potential harm to patients,
whether related legislation that can be applied in health care that is not qualified.Health
care measures that could harm the patient include, Doing something that should not be
done by a health worker, Does not do what it should do or malpractice, Violates a
provision in legislation The difference between pure malpractice by omission will be
more apparent when viewed from the motive of his actions as follows, In malpractice (in
the narrow sense), conscious actions, and the purpose of the action is already focused on
the effect to be brought about or do not care about the result, although he knew or
should have known that his actions are contrary to the applicable law. there are
omissions, conduct no motive or purpose to caused due to negligence is actually
happening in spite of himself Thus in medical malpractice errors contained
elements that do not differ with the notion of error in criminal law, namely the
existence of intent or negligence, including omissi offense also causing damage both
material and immaterial to the patient.
Keywords : Legal Protection, Not Health Care Quality

Abstrak
Tipe penelitian yang digunakan dalam adalah yuridis normatif (legal
research), dengan menggunakan pendekatan masalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan
kasus (case approach). Permasalahan dalamnya yaitu: Bagaimana pelayanan kesehatan
tidak bermutu yang dapat merugikan pasien, Apakah peraturan perundang-undangan
terkait yang bisa diterapkan dalam pelayanan kesehatan yang tidak bermutu. Tindakan-
tindakan pelayan kesehatan yang dapat merugikan pasien diantaranya:Melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, Tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban, Melanggar suatu
ketentuan menurut perundang-undangan Perbedaan antara malapraktik murni dengan
kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai berikut, Pada
malapraktik (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari
tindakan memang sudah terarah pada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli
terhadap akibatnya,walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa
tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku. ada kelalaian,
tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk menimbulkan akibat.Timbulnya
akibat disebabkan kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya Dengan
demikian di dalam malapraktik medik terkandung unsur -unsur kesalahan yang tidak
berbeda dengan pengertian kesalahan didalam hukum pidana, yaitu adanya
kesengajaan atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang menimbulkan kerugian
baik materiil maupun immateriil terhadap pasien.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pelayanan Kesehatan Tidak Bermutu

1. PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945).
Oleh karena itu sudah sepatutnya hukum menjadi yang pertama dalam negeri
ini, sehingga semua orang harus patuh dan tunduk pada hukum tanpa terkecuali.
Segala sektor dalam kehidupan bermasyarakat perlu terdapat perangkat hukum yang
mengatur. Salah satu sektor tersebut adalah pengaturan hukum di bidang
kesehatan. Karena kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UUDNRI 1945.
Kesehatan bagi warga negara dapat terjamin jika pemerintah membuat kebijakan
dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya, serta dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,
perlindungan, dan berkelanjutan, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Prinsip perlindungan adalah hal terpenting dalam rangka pelayanan kesehatan
karena upaya penyembuhan penyakit atau pemulihan kesehatan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan merupakan upaya yang berpotensi dapat menimbulkan
bahaya bagi pasien, apalagi jika dilakukan oleh tenaga kesehatan khususnya
dokter yang tidak kompeten di bidangnya. Dokter merupakan salah satu pemberi
pelayan kesehatan kepada masyarakat yang memiliki peranan penting karena
terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang
diberikan.

Perlindungan bagi masyarakat terhadap praktik kedokteran yang tidak


bermutu, terkesan praktik coba-coba atau yang dapat membahayakan telah diatur
dalam Pasal 77 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(UU Praktik Kedokteran) yang berbunyi :
“Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan identitas berupa gelar atau
bentuk lain yang menimbulkan kesan bagi masyarakat seolah olah yang
bersangkutan adalah dokter atau dokter gigi yang telah memiliki surat
tanda registrasi dokter atau surat tanda registrasi dokter gigi dan/atau surat izin
praktik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)”.
Pada hakikatnya dokter memiliki kewajiban memberikan pelayan
kesehatan yang terbaik bagi pasien yang membutuhkan pelayanan untuk
kesembuhan penyakitnya. Dokter yang memiliki kemampuan atau
keterampilan di bidang pelayanan medik dan pasien yang kurang paham atas
penyakit yang dideritanya mempercayakan dirinya untuk diobati atau dilakukan
tindakan medik oleh dokter.

Dewasa ini sering terjadi kealpaan atau kelalaian yang dilakukan oleh
dokter yang merupakan bentuk kesalahan dan bukan merupakan kesengajaan dan juga
bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam hal kealpaan tidak
ada niat jahat dari pelaku. Kealpaan atau kelalaian dan kesalahan dalam
melaksanakan tindakan medik berakibat menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi
pasien dan keluarga pasien terhadap dokter yang menangani upaya tindakan medik
sesuai profesinya. Bagi pasien dan keluarga pasien hal tersebut merupakan suatu
kerugian.

Pengaturan mengenai sanksi pidana bagi dokter yang telah alpa atau lalai
dalam melakukan tindakan medik sesuai profesinya yaitu diatur dalam
UndangUndang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga
Kesehatan) Pasal 84 yang berbunyi:

(1) Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang


mengakibatkan Penerima Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
kematian, setiap Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun.
Yang dimaksud tenaga kesehatan dalam undang-undang tersebut adalah
setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki
pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan.
Tenaga kesehatan salah satunya terdiri dari tenaga medik yang meliputi dokter dan
dokter gigi. Dokter adalah orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan dan
memiliki pengetahuan/ keterampilan tertentu. Sehingga dokter atas profesinya
memiliki tanggung jawab dalam menyembuhkan pasien secara professional. Di
samping itu juga diatur mengenai pelaporan dokter ke organisasi profesinya
apabila terdapat indikasi tindakan dokter yang membawa kerugian dan bukan
sebagai dasar untuk menuntut ganti rugi atas tindakan dokter yaitu Pasal 66 ayat (1)
UU Praktik Kedokteran yang berisi norma dari sudut hukum administrasi
praktik kedokteran, selengkapnya berbunyi :

“Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan


dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat
mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia”
Hukum kedokteran di Indonesia sampai saat ini belum dapat dirumuskan
secara mandiri sehingga batasan-batasan mengenai malpraktik belum bisadirumuskan,
sehingga isi pengertian dan batasan-batasan malpraktik kedokteran belum
seragam bergantung pada sisi mana orang memandangnya (Crisdiono M.
Achadiat, 2004). Dewasa ini terdapat beberapa peraturan perundang-undangan di
bidang kesehatan yaitu UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Tenaga
Kesehatan dan beberapa Peraturan Pemerintah.

2. PEMBAHASAN
2.1 Pengaturan Tentang Pelayanan Kesehatan Dalam Peraturan Perundang-
Undangan Di Indonesia.
2.1.1 Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelayanan Kesehatan
Pelayanan di bidang kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan
yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu sarana pelayanan
kesehatan yang mempunyai peran sangat penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat adalah rumah sakit. Rumah sakit merupakan
lembaga dalam mata rantai Sistem Kesehatan Nasional dan mengemban tugas
untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat, karena
pembangunan dan penyelenggaraan kesehatan di rumah sakit perlu diarahkan
pada tujuan nasional dibidang kesehatan. Akan tetapi,tidak jarang terjadi
pelayanan kesehatan yang tidak bermutu yang dapat merugikan pasien . Sehingga
perlu diatur mengenai sanksi terhadap pelayan kesehatan yang telah memberikan
pelayanan kesehatan tidak bermutu tersebut. Beberapa peraturan
perundangundangan yang mengatur mengenai bentuk pelayanan kesehatan serta
sanksi apabila melanggar aturan tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pada Pasal 75 terdapat tiga bentuk tindak pidana dibidang kesehatan yang
terkait dengan pelayanan kesehatan. Masing-masing dirumuskan pada ayat (1) ,
ayat (2) dan ayat (3) yang membahas mengenai larangan berpraktik bagi dokter dan
dokter gigi yang tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).

Subjek hukum tindak pidana yang diatur pada Pasal 75 dapat disebut
tindak pidana khusus, artinya subjek hukumnya khusus yaitu dokter dan dokter
gigi. Dokter dan dokter gigi menurut Pasal 1 angka 2 adalah dokter, dokter
spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
pengertian otentik tentang dokter dan dokter gigi tersebut, sebagai dokter atau
bukan dokter atau dokter gigi atau bukan dokter gigi ditentukan oleh
pendidikannya, yakni lulusan pendidikan kedokteran atau pendidikan kedokteran
gigi. Pendidikan yang dimaksud ada dua kualifikasi, yakni pendidikan dalam negeri
atau pendidikan luar negeri. Pendidikan dalam negeri harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan Indonesia. Pendidikan luarnegeri harus diakui oleh
Pemerintah Indonesia sesuai peraturan perundangundangan Indonesia.

Surat Tanda Registrasi (STR) merupakan dokumen hukum/tanda bukti


tertulis bagi dokter dan dokter spesialis atau dokter gigi dan dokter gigi spesialis
bahwa yang bersangkutan telah mendaftarkan diri dan telah memenuhi
persyaratan yang ditetapkan serta telah diregistrasi pada Konsil Kedokteran
Indonesia (KKI). Masa berlaku STR dokter dan dokter spesialis dokter gigi dan
dokter gigi spesialis di Indonesia adalah 5 (lima) tahun. STR Sementara yang
dimaksud pada ayat (2) yaitu STR yang diberikan kepada dokter dan dokter
spesialis dokter gigi dan dokter gigi spesialis warga negara asing yang melakukan
kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan kesehatan di
bidang kedoktran yang bersifat di bidang kedokteran yang bersifat sementara di
Indonesia berlaku selama 1 (satu) tahun. STR Bersyarat yang dimaksud pada ayat (3)
yaitu STR yang diberikan oleh KKI kepada peserta program pendidikan dokter
spesialis warga negara asing yang mengikuti pendidikan dan pelatihan di
Indonesia.

Pada hakikatnya tindak pidana pada Pasal 75 bersumber dari pelanggaran


kewajiban hukum administrasi kedokteran sebagai berikut (Adami Chazawi, 2007):

1. Bagi dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia ialah kewajiban
menurut Pasal 29 dimana sebelum melakukan praktik kedokteran dan
kedokteran gigi wajib memiliki STR yang dikeluarkan oleh KKI [ayat
(1) dan (2)];
2. Bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing yang melakukan
kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan
kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat
sementara di Indonesia, kewajiban menurut Pasal 31 ayat (1) ialah
sebelum melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran gigi di
Indonesia wajib memiliki STR sementara terlebih dahulu;
3. Bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing peserta pendidikan
dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang mengikuti pendidikan
dan pelatihan di Indonesia, sebelum melakukan praktik kedokteran
wajib memiliki STR bersyarat [Pasal 32 ayat (1)].
Adanya Surat Tanda Registrasi secara hukum administrasi memberikan
hak dan kewenangan pada dokter dan doter gigi untuk melakukan praktik
kedokteran di Indonesia. Apabila dokter atau dokter gigi tersebut tidak memiliki STR,
dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki STR tidak bisa mendapatkan SIP
(Surat Ijin Praktek) sehingga dokter atau dokter gigi tidak bisa untuk berpraktik.
Maksud dari pembentuk undang-undang menjadikan penyimpangan kewajiban
dalam hukum administrasi menjadi tindak pidana, yaitu sebagai upaya preventif untuk
menghindarkan dokter atau dokter gigi dari malpraktik, sekaligus sebagai usaha agar
tidak terdapat korban akibat pelayanan tidak bermutu dari pelayan kesehatan
seperti dokter dan dokter gigi. Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai
perbuatan “melakukan praktik kedokteran”. Sehingga diserahkan pada praktik
pertimbangan ilmu kedokteran sendiri. Dengan kata lain diserahkan dalam
berpraktik hukum dan praktik kedokteran untuk saling mengisi. Akan tetapi
dapat dik atan segala perbuatan yang dilakukan oleh dokter sehubungan dengan
pelaksanaan profesinya dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Secara
konvensional bentuknya dapat dilihat dalam melakukan diagnosis, dan terapi
serta perbuatan-perbuatan lanjutannya.

Terkait dengan unsur subjektif dalam pasal ini yaitu “dengan sengaja”,
perlu diketahui bahwa kesengajaan secara alternatif, dapat dibagi menjadi tiga
elemen atau wujud yaitu kesengajaan terhadap perbuatan (formil), kesengajaan
terhadap akibat, dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan
pidana.

Dalam praktik kesengajaan yang formil tersebut tidak menimbulkan


persoalan, akan tetapi persoalan timbul pada wujud kesengajaan terhadap akibat dan
terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan pidana atau yang dikenal
kesengajaan yang materiil. Terdapat dua teori yang mempersoalkan hal tesebut
yaitu teori kehendak (de willstheorie) dan teori pengetahuan (de
voorstellingtheorie) (Bambang Poernomo, 1994).
Teori kehendak yang diajarkan oleh Von Hippel menerangkan bahwa
sengaja adalah kehendak untuk menimbulkan akibat dari perbuatan itu, dengan
kata lain apabila seseorang melakukan yang tertentu, tentu saja melakukan itu
hendak menimbulkan akibat tertentu pula. Karena ia melakukan perbuatan itu
justru dapat dikatakan bahwa ia menghendaki akibatnya, ataupun hal ikhwal
yang menyertainya (Bambang Poernomo, 1994).

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa teori kehendak


lebih menitikberatkan pada seseorang yang melakukan tindak pidana, sudah pasti juga
menghendaki akibat dari apa yang diperbua tnya. Meskipun akibat dari apa yang
diperbuatnya tidak sesuai dengan kehendaknya, akan tetapi seseorang tetaplah
harus bertanggung jawab atas akibat perbuatan yang dilakukannya.

Teori pengetahuan yang diajarkan oleh Frank menerangkan bahwa tidaklah


mungkin sesuatu akibat atau hal ikhwal yang menyertainya itu dapat
dikehendaki. Dengan kata lain perbuatannya memang dikehendaki akan tetapi
terhadap akibat dan hal ikhwal yang menyertainya itu tidak dapat dikatakan oleh
pembuatnya tentu dapat dikehendakinya pula, karena manusia hanya dapat
membayangkan atau menyangka terhadap akibat atau hal ikhwal yang menyertainya
(Bambang Poernomo, 1994)..

Sedangkan, teori pengetahuan lebih menitikberatkan pada seseorang yang


tidak dapat secara serta merta dapat menghendaki juga akibat atau hal ikhwal
yang menyertai dari perbuatannya tersebut. Karena apa yang diketahui seseorang
belum tentu juga dihendaki olehnya.

Dalam hal teori saya sependapat dengan teori kehendak karena ketiga
wujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat, dan
kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan sudah pasti juga
dikehendaki oleh pelaku. Pada awal sebelum perbuatan tersebut dilakukan,
pelaku terlebih dahulu membayangkan atau mengetahui akan akibat yang timbul,
akan tetapi akibat dan hal lain yang menyertai perbuatan itu pada saat
dilakukannya tindak pidana, sudah pasti dikehendaki secara sadar oleh pelaku,
meskipun ada kemungkinan akibat dan hal ikhwal lain yang menyertai perbuatan
tersebut tidak sesuai dengan apa yang sudah dikehendakinya. Nam un dalam hal
praktik, teori pengetahuan lebih mudah untuk diterapkan, karena sering kali
pelaku tindak pidana tidak menyadari atau membantah telah berkehendak
melakukan tindak pidana tersebut, akan tetapi pada dasarnya pelakuengetahui bahwa
perbuatannya adalah melawan hukum dan dapat berakibat merugikan pihak lain.
Maka pelaku dapat dianggap telah sengaja melakukan tindak pidana tersebut.

Dengan persoalan seperti tersebut diatas, menimbulkan beberapa


pandangan antara para ahli hukum pidana yang pada dasarnya dikenal tiga bentuk
kesengajaan, yaitu:

a. Kesengajaan sebagai maksud = tujuan = Dolus Als OogmerkMakna


kesengajaan sebagai maksud atau sebagai tujuan atau Dolus Als
Oogmerk, yaitu bahwa pelaku tindak pidana memang berkehendak
atau bertujuan atau bermaksud dan berkeinginan untuk melakukan
tindak pidana. Berdasarkan adanya kehendak, tujuan atau maksud atau
keinginan tersebut, pelaku melaksanakan kehendaknya tersebut (Didik
Endro, 2007).
b. Kesengajaan sebagai kepastian = keharusan = Zekerheids Bewustzijn
Yaitu sengaja sadar atau insaf akan keharusan atau sadar akan kepastian,
yang oleh Utrecht diuraikan dan diterjemahkan sebagai sengaja
dilakukan dengan keinsyafan bahwa, agar tujuan dapat tercapai,
sebelumnya harus dilakukan suatu perbuatan lain yang berupa
pelanggaran pula (Zainal Abidin, 2007).
c. Kesengajaan sebagai kemungkinan = dolus eventualis = in kauf nehmen =
Teori Apa boleh buat. Pada teori yang menurut Moeljatno dalam Didik
Endro Purwoleksono disebut dengan teori apa boleh buat ini, dapat
disimpulkan bahwa pelaku tindak pidana mengetahui dan berkehendak
untuk melakukan tindak pidana, serta dia tidak peduli siapa yang
menjadi korbannya (Didik Endro, 2007).
Selain ketiga bentuk kesengajaan di atas, dapat disusun beberapa jenis dan
pengertian yang lain dari pembagian Dolus atau kesengajaan, yaitu (Didik Endro,
2007):

a. Dolus determinatus dan Dolus indeterminatus : Dolus determinatus, terjadi


apabila yang hendak dijadikan korban perbuatan yang disengaja itu sudah
ditentukan orangorangnya. Dolus indeterminatus, terjadi apabila orang
yang sengaja berbuat itu tidak memperhatikan siapa yang menjadi
korbannya.
b. Dolus alternatif dan Dolus generaliS : Dolus alternatif merupakan suatu
kesengajaan yang ditujukan dengan korban alternatif, misalnya yang menjadi
korbannya A atau B. Dolus generalis, merupakan kesengajaan yang
ditujukan dengan korban yang banyak.
c. Weberse Dolus Generalis: A menembak B, dengan maksud membunuh B.
A mengira B sudah mati dan memasukkan B ke dalam sungai, sehingga
B mati karena tenggelam. Dengan demikian, A dapat dijerat dengan pasal
338 jo 53 KUHP yaitu percobaan pembunuhan, oleh karena korban mati
bukan karena penembakan yang dia lakukan, tetapi mati karena
tenggelam. Di sisi lain A dipersalahkan melanggar pasal 359 KUHP,
oleh karena kealpaanya, yaitu menenggelamkan korban ke sungai, sehingga
korban meninggal dunia.
Suatu kesengajaan dapat terjadi karena kesalahpahaman atau kekeliruan
yang disebut dengan dwaling yang terdiri dari beberapa bentuk, yaitu (Didik Endro,
2007):

a. Error in objekto artinya kekeliruan mengenai objeknya, kekeliruan


mengenai objek ini dapat membuat seseorang pelaku menjadi tidak dapat
dipidana.
b. Error in persona artinya kekeliruan mengenai orangnya.
c. Aberatio ictus artinya seseorang karena macam-macam sebab
perbuatannya menimbulkan akibat yang berlainan daripada yang dikehendaki.

Berdasarkan beberapa pengertian dan bentuk tentang kesengajaan jika


dikaitkan dengan kesengajaan yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran maupun kedokteran gigi yang melanggar Pasal
75 Jo. 29 ayat (1) atau 31 ayat (1) atau 32 ayat (1) ini mengandung arti bahwa :

a. Dokter menghendaki untuk melakukan wujud-wujud konkret perbuatan


dalam pelayanan kesehatan yang dilakukannya
b. Dokter mengetahui atau menyadari tentang nilai perbuatan yang
dilakukannya beserta akibatnya;
c. Dokter sadar dan mengetahui bahwa prektik kedokteran yang
dilakukannya tanpa memiliki STR.

Dalam mengajukan permohonan pembuatan STR kepada KKI diperlukan persyaratan


yang diatur dalam Pasal 29 ayat (3) yang salah satunya harus telah disumpah
dan memiliki sertifikat kompetensi dari kolegium kedokteran, selengkapnya
berbunyi :

“Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda


registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan :

a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi
spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter
atau dokter gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; memiliki sertifikat
kompetensi; dan
d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.

Penggunaan STR di bidang kedokteran juga terdapat jangka waktu


berlakunya sebagaimana diatur dalam Pasal 33 yang selengkapnya berbunyi :

“Surat tanda registrasi tidak berlaku karena :

a. dicabut atas dasar ketentuan peraturan perundang-undangan;


b. habis masa berlakunya dan yang bersangkutan tidak mendaftar ulang;
c. atas permintaan yang bersangkutan
d. yang bersangkutan meninggal dunia; atau
e. dicabut Konsil Kedokteran Indonesia.

Selain adanya Surat Tanda Registrasi, dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan profesinya juga diperlukan adanya Surat Izin Praktik (SIP) yang
dirumuskan dalam Pasal 76. Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi
untuk terlebih dahulu memiliki surat izin praktik. Kewajiban dokter ini semula
adalah kewajiban hukm administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana
karena pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam pidana. Selanjutnya pelayanan
tidak bermutu yaitu menggunakan identitas seperti gelar yang menimbulkan kesan
dokter yang memiliki STR dan SIP yang diatur dalam Pasal 77. Perbuatan yang
dilarang ialah menggunakan gelar atau bentuk lain dengan memberi petunjuk
perumusannya dengan secara formil. Akan tetapi, dengan dicantumkan unsur
akibat “menimbulkan kesan” (seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi) menunjukkan tindak pidana materiil. Selanjutnya bentuk pelayanan
tidak bermutu yaitu menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang
menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP.

Perbuatan yang dilarang adalah menggunakan alat, metode, atau cara


lain dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. Khususnya frasa dalam
memberikan pelayanan pada masyarakat, dalam pengertian luas bukan hanya
pelayanan kesehatan. Akan tetapi tetap harus ditafsirkan dalam hal pelayanan
ksehatan kepada msyarakat. Selanjutnya pelayanan tidak bermutu yaitu dokter
atau dokter gigi yang tidak memasang papan nama, tidak membuat rekam medis,
dan tidak berdasarkan standar profesi seperti diatur dalam Pasal 79. Selanjutnya
bentuk pelayanan tidak bermutu yaitu mempekerjakan dokter tanpa SIP, diatur
dalam Pasal 80.

2.2 Bentuk-bentuk Pelayanan Kesehatan Tidak Bermutu Yang Dapat


Merugikan Pasien
Hendrojono Soewono (2007) menyebutkan bahwa yang dimaksud
pelayanan kesehatan adalah setiap upaya baik yang diselenggarakan sendiri atau
bersama sama dalam suatu organisasi untuk meningkatkan dan memelihara
kesehatan, mencegah penyakit, mengobati penyakit dan memulihkan kesehatan
yang ditujukan terhadap perorangan, kelompok/masyarakat. Mutu pelayanan
kesehatan adalah menunjuk pada tingkat kesempurnaan pelayanan kesehatan
dalam menimbulkan rasa puas pada diri setiap pasien. Makin sempurna kepuasan
tersebut, makin baik pula mutu pelayanan kesehatan.

Sekalipun pengertian mutu yang terkait dengan kepusan ini telah diterima
secara luas, namun penerapannya tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah
pokok yang ditemukan ialah karena kepuasan tersebut bersifat subyektif. Tiap
orang, tergantung dari latar belakang yang dimiliki, dapat saja memiliki tingkat
kepuasan yang berbeda untuk satu mutu pelayanan kesehatan yang sama. Di samping
itu, sering pula ditemukan pelayanan kesehatan yang sekalipun dinilai telah
memuaskan pasien, namun ketika ditinjau dari kode etik serta standar pelayanan
profesi, kinerjanya tetap tidak terpenuhi. Salah satu contoh pelayanan kesehatan
yang tidak bermutu adalah kelalaian. Dalam kedokteran kelalaian adalah suatu
tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medik yang tidak sesuai dengan standar
tindakan sehingga merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau
kesengajaan dalam hukum pidana (Bambang Tri Bawono, 2011).

Kelalaian medik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah praktik


kedokteran yang dilakukan salah atau tidak tepat menyalahi undang-undang atau
kode etik (Depdikbud, 1990). Menurut J. Guwandi (2004) malapraktik medik
meliputi tindakantindakan sebagai berikut:

a. Melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang


tenaga kesehatan.
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban.
c. Melanggar suatu ketentuan menurut perundang-undangan

Selanjutnya dikatakan perbedaan antara malapraktik murni dengan


kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai berikut :

a. Pada malapraktik (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara sadar,


dan tujuan dari tindakan memang sudah terarah pada akibat yang
hendak ditimbulkan atau tidak peduli terhadap akibatnya,walaupun i
mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya adalah
bertentangan dengan hukum yang berlaku.
b. Pada kelalaian, tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk
menimbulkan akibat.Timbulnya akibat disebabkan kelalaian yang
sebenarnya terjadi di luar kehendaknya Dengan demikian di dalam
malapraktik medik terkandung unsur-unsur kesalahan yang tidak
berbeda dengan pengertian kesalahan didalam hukum pidana, yaitu
adanya kesengajaan atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang
menimbulkan kerugian baik materiil maupun immateriil terhadap
pasien.

Kelalaian merupakan salah satu bentuk kesalahan yang timbul karena


pelakunya tidak memenuhi standar prilaku yang telah ditentukan menurut
undangundang,kelalaian itu terjadi dikarenakan prilaku orang itu sendiri. Dalam
pelayanan kesehatan misalnya yang menimbulkan kelalaian adalah karena
kurangnya pengetahuan,kurangnya pengalaman,atau kurangnya kehati-hatian
padahal diketahui bahwa jika dilihat dari segi profesionalisme,seorang dokter
dituntut untuk terus mengembangkan ilmunya. Beberapa contoh kelalaian yang
sering terjadi :

a. Kelalaian tidak merujuk


b. Lalai tidak konsultasi dengan dokter terdahulu
c. Lalai tidak merujuk pasien ke rumah sakit dengan peralatan/tenaga
yang terlatih
d. Tidak mendeteksi adanya infeksi
e. Instruksi per telepon
f. Tidak bisa dihubungi per telepon
g. Lalai karena kurang pengalaman

Menurut Soekanto ( terdapat banyak definisi tentang kelalaian medik,


namun beliau memberikan 4 elemen yang dapat digunakan untuk menbuktikan
adanya kelalaian dalam pelayanan kesehatan dalam hukum pidana yang mendasari
terjadinya malapraktik medik:

a. Ada kewajiban yang timbul karena adanya perjanjian


b. Ada pelanggaran kewajiban
c. Adanya penyebab
d. Timbul kerugian
2.3 Perlindungan Terhadap Pasien
Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur
hak-hak dan kewajiban-kewajiban subjek hukum agar masing-masing subjek
hukum dapat menjalankan kewajibannya dengan baik dan mendapatkan haknya
secara wajar. Menurut Sudikno Mertokusumo, sebagaimana dikutip dari bukunya
Marwan Mas (2004), menyebutkan bahwa hukum berfungsi sebagai perlindungan
kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi
dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Pelanggaran hukum terjadi karena
subjek hukum tertentu tidak menjalankan kewajiban yang seharusnya dijalankan atau
karena melanggar hak-hak subjek hukum lain.

Fungsi hukum sebagai instrument pengatur dan instrument perlindungan


ini diarahkan pada satu tujuan, yaitu untuk menciptakan suasana hubungan hukum
antar subjek hukum secara harmonis, seimbang, damai, dan adil. Ada juga yang
mengatakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur masyarakat secara damai.
Tujuan-tujuan hukum itu akan tercapai jika masing-masing subjek hukum
mendapatkan hak-haknya secara wajar dan menjalankan kewajiban-kewajibannya
sesuai dengan aturan hukum yang berlaku (Satijipto Raharjo, 2000).

Adanya kewajiban pemerintah memberikan perlindungan hukum kepada


warga negaranya merupakan faktor yang mempengaruhi adanya perlindungan
hukum itu sendiri, dengan adanya kewajiban pemerintah ini maka pemerintah
diharuskan untuk menjaga agar hak hak warga negaranya dapat dijamin oleh
Negara atau pemerintah agar hak -hak yang melekat pada warga negaranya
dapat terlindungi maka disini ada yang dinamakan perbuatan pemerintah yaitu
perbuatan pemerintah membuat peraturan perundang-undangan. Perbuatan
pemerintah membuat peraturan perundangundangan misalnya dibuatnya Undang-
undang Perlindungan Konsumen untuk melindungi hak-hak konsumen dari
perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang atau badan hukum (Ridwan,
2007).
Berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap pasien sebagai konsumen
jasa dalam pelayanan kesehatan maka disi ni erat kaitannya dengan adanya
kepatuhan dari seorang tenaga kesehatan terhadap profesinya dan adanya peranan
pasien yang mana sebagai orang yang mendapatkan pelayanan kesehatan
daripihak tenaga kesehatan dan faktor inilah yang sangat mempengaruhi adanya
perlindungan hukum terhadap pasien. Dalam pemberian layanan kesehatan
menyangkut hubungan antara tenaga kesehatan dan konsumen (pasien) telah lama
mengemukan pentingnya perlindungan hukum bagi kedua belah pihak tersebut.
Menurut peraturan pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan,
tenaga kesehatan.

4. KESIMPULAN DAN SARAN


4.1 Kesimpulan
Banyaknya pelayanan kesehatan tidak bermutu yang banyak merugikan
pasien menimbulkan banyak permasalahan. Oleh sebab itu perlu diatur mengenai
sanksi terhadap pelayan kesehatan yang telah memberikan pelayanan kesehatan
tidak bermutu tersebut. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai bentuk pelayanan kesehatan serta sanksi terhadap tenaga medis yang
memberikan pelayanan kesehatan tidak bermutu, seperti Pada Pasal 75 Undang-
undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Didalam pasal tersebut
terdapat tiga bentuk tindak pidana dibidang kesehatan yang terkait dengan
pelayanan kesehatan. Masing-masing dirumuskan pada ayat (1) , ayat (2) dan ayat
(3) yang membahas mengenai larangan berpraktik bagi dokter dan dokter gigi
yang tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (STR). Adanya Surat Tanda
Registrasi secara hukum administrasi memberikan hak dan kewenangan pada
dokter dan doter gigi untuk melakukan praktikkedokteran di Indonesia. Apabila
dokter atau dokter gigi tersebut tidak memiliki STR, dokter atau dokter gigi yang
tidak memiliki STR tidak bisamendapatkan SIP (Surat Ijin Praktek) sehingga
dokter atau dokter gigi tidak bisa untuk berpraktik.
4.2 Saran
Pengaturan pelayanan kesehatan dalam peraturan perundang-undangan
harusnya lebih dipertegas lagi. Pemberian Surat Ijin Praktek (SIP) harusnya
lebih diperketat lagi, sehingga tidak sembarangan dokter bisa mendapatkan Surat
Ijin Praktek (SIP) dengan mudah. Adanya putusan Mahkamah Konstitusi yang
meloloskan dokter yang tidak mempunyai SIP dan STR bisa melakukan praktek dari
pidana penjara dapat mengakibatkan semakin mudahnya dokter melakukan praktek
tanpa memiliki SIP dan STR. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa hal tersebut
hanya pelanggaran administratif saja.

DAFTAR PUSTAKA
Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan;
Buku
Achadiat,Crisdiono M., Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan
Zaman, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta,2004.
Chazawi, Adami, Malpraktik Kedokteran. Bayumedia, Malang, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cetakan ke 3 Depdikbud, Jakarta, 1990.
Effendi, Erdianto, Hukum Pidana Indonesia (suatu pengantar), Refika Aditama,
Bandung, 2011.
Guwandi, J. Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia 2004.
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum
Progresif, Cetakan Certama, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
Indriyanti Dewi, Alexandra, Etika Hukum Kesehatan, Pustaka Book
Publisher,Yogyakarta, 2008.
Irianto, Agus, Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter Dalam
Malpraktik. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006.
Johan Nasution, Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta.
Lestari, Ngesti, Masalah Malpraktek Etik Dalam Praktek Dokter, Kumpulan
Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan
oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta,
2011.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997.
Purwoleksono, Didik Endro, Hukum Pidana, Airlangga University Press,
Surabaya, 2014.
Tri Bawono, Bambang, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanganan
Malpraktik Profesi Medis.Jurnal Hukum Vol XXV.No.1,April
2011.Universitas Islam Sultan Agung(Unissula). Semarang.
Veronica Komalawati, D. (II).Peranan Informed Consent dalam Transaksi
Terapeutik (Persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien)Suatu
Tinjauan Yuridis,Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Wiradharmairadharma, Danny, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum
Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999.

You might also like