Professional Documents
Culture Documents
Oleh
NIM:
Abstrak
Tipe penelitian yang digunakan dalam adalah yuridis normatif (legal
research), dengan menggunakan pendekatan masalah pendekatan perundang-undangan
(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan
kasus (case approach). Permasalahan dalamnya yaitu: Bagaimana pelayanan kesehatan
tidak bermutu yang dapat merugikan pasien, Apakah peraturan perundang-undangan
terkait yang bisa diterapkan dalam pelayanan kesehatan yang tidak bermutu. Tindakan-
tindakan pelayan kesehatan yang dapat merugikan pasien diantaranya:Melakukan
sesuatu yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan, Tidak
melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajiban, Melanggar suatu
ketentuan menurut perundang-undangan Perbedaan antara malapraktik murni dengan
kelalaian akan lebih jelas jika dilihat dari motif perbuatannya sebagai berikut, Pada
malapraktik (dalam arti sempit), tindakannya dilakukan secara sadar, dan tujuan dari
tindakan memang sudah terarah pada akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak peduli
terhadap akibatnya,walaupun ia mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa
tindakannya adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku. ada kelalaian,
tindakannya tidak ada motif atau tujuan untuk menimbulkan akibat.Timbulnya
akibat disebabkan kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya Dengan
demikian di dalam malapraktik medik terkandung unsur -unsur kesalahan yang tidak
berbeda dengan pengertian kesalahan didalam hukum pidana, yaitu adanya
kesengajaan atau kelalaian termasuk juga delik omissi yang menimbulkan kerugian
baik materiil maupun immateriil terhadap pasien.
Kata Kunci: Perlindungan Hukum, Pelayanan Kesehatan Tidak Bermutu
1. PENDAHULUAN
Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUDNRI 1945).
Oleh karena itu sudah sepatutnya hukum menjadi yang pertama dalam negeri
ini, sehingga semua orang harus patuh dan tunduk pada hukum tanpa terkecuali.
Segala sektor dalam kehidupan bermasyarakat perlu terdapat perangkat hukum yang
mengatur. Salah satu sektor tersebut adalah pengaturan hukum di bidang
kesehatan. Karena kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur
kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Pembukaan UUDNRI 1945.
Kesehatan bagi warga negara dapat terjamin jika pemerintah membuat kebijakan
dan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya, serta dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif,
perlindungan, dan berkelanjutan, sebagaimana tertuang dalam pertimbangan
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).
Prinsip perlindungan adalah hal terpenting dalam rangka pelayanan kesehatan
karena upaya penyembuhan penyakit atau pemulihan kesehatan yang dilakukan
oleh tenaga kesehatan merupakan upaya yang berpotensi dapat menimbulkan
bahaya bagi pasien, apalagi jika dilakukan oleh tenaga kesehatan khususnya
dokter yang tidak kompeten di bidangnya. Dokter merupakan salah satu pemberi
pelayan kesehatan kepada masyarakat yang memiliki peranan penting karena
terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang
diberikan.
Dewasa ini sering terjadi kealpaan atau kelalaian yang dilakukan oleh
dokter yang merupakan bentuk kesalahan dan bukan merupakan kesengajaan dan juga
bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam hal kealpaan tidak
ada niat jahat dari pelaku. Kealpaan atau kelalaian dan kesalahan dalam
melaksanakan tindakan medik berakibat menimbulkan rasa ketidakpuasan bagi
pasien dan keluarga pasien terhadap dokter yang menangani upaya tindakan medik
sesuai profesinya. Bagi pasien dan keluarga pasien hal tersebut merupakan suatu
kerugian.
Pengaturan mengenai sanksi pidana bagi dokter yang telah alpa atau lalai
dalam melakukan tindakan medik sesuai profesinya yaitu diatur dalam
UndangUndang Nomor 34 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (UU Tenaga
Kesehatan) Pasal 84 yang berbunyi:
2. PEMBAHASAN
2.1 Pengaturan Tentang Pelayanan Kesehatan Dalam Peraturan Perundang-
Undangan Di Indonesia.
2.1.1 Peraturan Perundang-Undangan Terkait Pelayanan Kesehatan
Pelayanan di bidang kesehatan merupakan salah satu bentuk pelayanan
yang paling banyak dibutuhkan oleh masyarakat. Salah satu sarana pelayanan
kesehatan yang mempunyai peran sangat penting dalam memberikan pelayanan
kesehatan kepada masyarakat adalah rumah sakit. Rumah sakit merupakan
lembaga dalam mata rantai Sistem Kesehatan Nasional dan mengemban tugas
untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada seluruh masyarakat, karena
pembangunan dan penyelenggaraan kesehatan di rumah sakit perlu diarahkan
pada tujuan nasional dibidang kesehatan. Akan tetapi,tidak jarang terjadi
pelayanan kesehatan yang tidak bermutu yang dapat merugikan pasien . Sehingga
perlu diatur mengenai sanksi terhadap pelayan kesehatan yang telah memberikan
pelayanan kesehatan tidak bermutu tersebut. Beberapa peraturan
perundangundangan yang mengatur mengenai bentuk pelayanan kesehatan serta
sanksi apabila melanggar aturan tersebut yaitu sebagai berikut :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 75
(1) Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik
kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
(2) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3) Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja
melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pada Pasal 75 terdapat tiga bentuk tindak pidana dibidang kesehatan yang
terkait dengan pelayanan kesehatan. Masing-masing dirumuskan pada ayat (1) ,
ayat (2) dan ayat (3) yang membahas mengenai larangan berpraktik bagi dokter dan
dokter gigi yang tidak memiliki Surat Tanda Registrasi (STR).
Subjek hukum tindak pidana yang diatur pada Pasal 75 dapat disebut
tindak pidana khusus, artinya subjek hukumnya khusus yaitu dokter dan dokter
gigi. Dokter dan dokter gigi menurut Pasal 1 angka 2 adalah dokter, dokter
spesialis, dokter gigi, dokter gigi spesialis lulusan pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi, baik di dalam maupun di luar negeri yang diakui oleh Pemerintah
Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan
pengertian otentik tentang dokter dan dokter gigi tersebut, sebagai dokter atau
bukan dokter atau dokter gigi atau bukan dokter gigi ditentukan oleh
pendidikannya, yakni lulusan pendidikan kedokteran atau pendidikan kedokteran
gigi. Pendidikan yang dimaksud ada dua kualifikasi, yakni pendidikan dalam negeri
atau pendidikan luar negeri. Pendidikan dalam negeri harus sesuai dengan
peraturan perundang-undangan Indonesia. Pendidikan luarnegeri harus diakui oleh
Pemerintah Indonesia sesuai peraturan perundangundangan Indonesia.
1. Bagi dokter atau dokter gigi warga negara Indonesia ialah kewajiban
menurut Pasal 29 dimana sebelum melakukan praktik kedokteran dan
kedokteran gigi wajib memiliki STR yang dikeluarkan oleh KKI [ayat
(1) dan (2)];
2. Bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing yang melakukan
kegiatan dalam rangka pendidikan, pelatihan, penelitian, pelayanan
kesehatan di bidang kedokteran atau kedokteran gigi yang bersifat
sementara di Indonesia, kewajiban menurut Pasal 31 ayat (1) ialah
sebelum melakukan praktik kedokteran atau praktik kedokteran gigi di
Indonesia wajib memiliki STR sementara terlebih dahulu;
3. Bagi dokter atau dokter gigi warga negara asing peserta pendidikan
dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang mengikuti pendidikan
dan pelatihan di Indonesia, sebelum melakukan praktik kedokteran
wajib memiliki STR bersyarat [Pasal 32 ayat (1)].
Adanya Surat Tanda Registrasi secara hukum administrasi memberikan
hak dan kewenangan pada dokter dan doter gigi untuk melakukan praktik
kedokteran di Indonesia. Apabila dokter atau dokter gigi tersebut tidak memiliki STR,
dokter atau dokter gigi yang tidak memiliki STR tidak bisa mendapatkan SIP
(Surat Ijin Praktek) sehingga dokter atau dokter gigi tidak bisa untuk berpraktik.
Maksud dari pembentuk undang-undang menjadikan penyimpangan kewajiban
dalam hukum administrasi menjadi tindak pidana, yaitu sebagai upaya preventif untuk
menghindarkan dokter atau dokter gigi dari malpraktik, sekaligus sebagai usaha agar
tidak terdapat korban akibat pelayanan tidak bermutu dari pelayan kesehatan
seperti dokter dan dokter gigi. Tidak terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai
perbuatan “melakukan praktik kedokteran”. Sehingga diserahkan pada praktik
pertimbangan ilmu kedokteran sendiri. Dengan kata lain diserahkan dalam
berpraktik hukum dan praktik kedokteran untuk saling mengisi. Akan tetapi
dapat dik atan segala perbuatan yang dilakukan oleh dokter sehubungan dengan
pelaksanaan profesinya dalam pelayanan kesehatan terhadap masyarakat. Secara
konvensional bentuknya dapat dilihat dalam melakukan diagnosis, dan terapi
serta perbuatan-perbuatan lanjutannya.
Terkait dengan unsur subjektif dalam pasal ini yaitu “dengan sengaja”,
perlu diketahui bahwa kesengajaan secara alternatif, dapat dibagi menjadi tiga
elemen atau wujud yaitu kesengajaan terhadap perbuatan (formil), kesengajaan
terhadap akibat, dan kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan
pidana.
Dalam hal teori saya sependapat dengan teori kehendak karena ketiga
wujud kesengajaan terhadap perbuatan, kesengajaan terhadap akibat, dan
kesengajaan terhadap hal ikhwal yang menyertai perbuatan sudah pasti juga
dikehendaki oleh pelaku. Pada awal sebelum perbuatan tersebut dilakukan,
pelaku terlebih dahulu membayangkan atau mengetahui akan akibat yang timbul,
akan tetapi akibat dan hal lain yang menyertai perbuatan itu pada saat
dilakukannya tindak pidana, sudah pasti dikehendaki secara sadar oleh pelaku,
meskipun ada kemungkinan akibat dan hal ikhwal lain yang menyertai perbuatan
tersebut tidak sesuai dengan apa yang sudah dikehendakinya. Nam un dalam hal
praktik, teori pengetahuan lebih mudah untuk diterapkan, karena sering kali
pelaku tindak pidana tidak menyadari atau membantah telah berkehendak
melakukan tindak pidana tersebut, akan tetapi pada dasarnya pelakuengetahui bahwa
perbuatannya adalah melawan hukum dan dapat berakibat merugikan pihak lain.
Maka pelaku dapat dianggap telah sengaja melakukan tindak pidana tersebut.
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi
spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter
atau dokter gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental; memiliki sertifikat
kompetensi; dan
d. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika
profesi.
Selain adanya Surat Tanda Registrasi, dokter atau dokter gigi dalam
melaksanakan profesinya juga diperlukan adanya Surat Izin Praktik (SIP) yang
dirumuskan dalam Pasal 76. Pasal 36 mewajibkan setiap dokter atau dokter gigi
untuk terlebih dahulu memiliki surat izin praktik. Kewajiban dokter ini semula
adalah kewajiban hukm administrasi yang diangkat menjadi kewajiban hukum pidana
karena pelanggaran terhadap kewajiban itu diancam pidana. Selanjutnya pelayanan
tidak bermutu yaitu menggunakan identitas seperti gelar yang menimbulkan kesan
dokter yang memiliki STR dan SIP yang diatur dalam Pasal 77. Perbuatan yang
dilarang ialah menggunakan gelar atau bentuk lain dengan memberi petunjuk
perumusannya dengan secara formil. Akan tetapi, dengan dicantumkan unsur
akibat “menimbulkan kesan” (seolah-olah yang bersangkutan adalah dokter atau
dokter gigi) menunjukkan tindak pidana materiil. Selanjutnya bentuk pelayanan
tidak bermutu yaitu menggunakan alat, metode pelayanan kesehatan yang
menimbulkan kesan dokter yang memiliki STR dan SIP.
Sekalipun pengertian mutu yang terkait dengan kepusan ini telah diterima
secara luas, namun penerapannya tidaklah semudah yang diperkirakan. Masalah
pokok yang ditemukan ialah karena kepuasan tersebut bersifat subyektif. Tiap
orang, tergantung dari latar belakang yang dimiliki, dapat saja memiliki tingkat
kepuasan yang berbeda untuk satu mutu pelayanan kesehatan yang sama. Di samping
itu, sering pula ditemukan pelayanan kesehatan yang sekalipun dinilai telah
memuaskan pasien, namun ketika ditinjau dari kode etik serta standar pelayanan
profesi, kinerjanya tetap tidak terpenuhi. Salah satu contoh pelayanan kesehatan
yang tidak bermutu adalah kelalaian. Dalam kedokteran kelalaian adalah suatu
tindakan medik yang dilakukan oleh tenaga medik yang tidak sesuai dengan standar
tindakan sehingga merugikan pasien, hal ini di kategorikan sebagai kealpaan atau
kesengajaan dalam hukum pidana (Bambang Tri Bawono, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-undangan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara
Pidana;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2014 tentang Tenaga
Kesehatan;
Buku
Achadiat,Crisdiono M., Dinamika Etika dan Hukum Kedokteran dalam tantangan
Zaman, Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta,2004.
Chazawi, Adami, Malpraktik Kedokteran. Bayumedia, Malang, 2007.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Cetakan ke 3 Depdikbud, Jakarta, 1990.
Effendi, Erdianto, Hukum Pidana Indonesia (suatu pengantar), Refika Aditama,
Bandung, 2011.
Guwandi, J. Hukum Medik (Medical Law), Jakarta, Fakultas Hukum Universitas
Indonesia 2004.
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana Melalui Pendekatan Hukum
Progresif, Cetakan Certama, Jakarta, Sinar Grafika, 2010.
Indriyanti Dewi, Alexandra, Etika Hukum Kesehatan, Pustaka Book
Publisher,Yogyakarta, 2008.
Irianto, Agus, Analisis Yuridis Kebijakan Pertanggungjawaban Dokter Dalam
Malpraktik. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta, 2006.
Johan Nasution, Bahder, Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta.
Lestari, Ngesti, Masalah Malpraktek Etik Dalam Praktek Dokter, Kumpulan
Makalah Seminar tentang Etika dan Hukum Kedokteran diselenggarakan
oleh RSUD Dr. Saiful Anwar , Malang, 2001.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media, Jakarta,
2011.
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Bina Aksara, Jakarta, 1985.
P.A.F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1997.
Purwoleksono, Didik Endro, Hukum Pidana, Airlangga University Press,
Surabaya, 2014.
Tri Bawono, Bambang, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Upaya Penanganan
Malpraktik Profesi Medis.Jurnal Hukum Vol XXV.No.1,April
2011.Universitas Islam Sultan Agung(Unissula). Semarang.
Veronica Komalawati, D. (II).Peranan Informed Consent dalam Transaksi
Terapeutik (Persetujuan dalam hubungan Dokter dan Pasien)Suatu
Tinjauan Yuridis,Penerbit Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002.
Wiradharmairadharma, Danny, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum
Kesehatan, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1999.