You are on page 1of 5

The Legend of Rawa Pening

In ancient times, it was a beautiful village in the land of the kingdom of Mataram, namely
Ngasem Village. The village is led by a wise village head and named Ki Sela Gondang. Ngasem
Village is located at the foot of Mount Telomoyo. The people in this village live in harmony and
peace. Most work as farmers.
At one time in the village of Ngasem there will be an event of merti desa and alms of the
earth as a form of gratitude for the inhabitants of the Ngasem Village for the abundance of
produce and safe conditions.

One night, Ki Sela Gondang collected all village officials in his house. As is customary in
the framework of merti village, it takes a means of repelling reinforcements in the form of
offerings and sacred heirlooms of a famous receipt at that time. For this purpose, the Village
Head sent his daughter to borrow a sacred heirloom owned by his friend, a receipt named Ki
Hajar Salokantara. These heirlooms were originally used as a reinforcement or one of the
conditions for holding people's parties so that the event ran smoothly without obstacles.

Endang Sawitri carried out his father's decree to borrow the inheritance from the sage, his
father's best friend. He went to the slopes of Mount Telomoyo where the receipt resides. Endang
Sawitri rides a horse that is trained through steep rocky roads and beautiful canyons.

After a tiring journey, Endang Sawitri arrived at the Ki Hajar Salokantara hermitage.
After recounting the purpose of his arrival, the receipt entered the padepokan, while Endang
Sawitri waited in the pendapa while enjoying a meal served by the padepokan cook. A few
moments later, the Sage came out again with an object wrapped in a brown scabbard that looked
worn. The Sage pondered the object carefully. A moment later, Lia unmasked the worn cloth.
Apparently, the object he was carrying was a keris that was still skeletal. And gave it to Endang
Sawitri.

On the way back to Ngasem Village, Endang Sawitri felt very tired and sleepy. Arriving
at the foot of the mountain, he decided to stop and look for a cool place to unwind and
drowsiness. He fell asleep and dreamed, it is unfortunate when he woke up the heirloom was
gone.

Endang Sawitri began to tell all the events he experienced. My father told this to his best
friend, it turns out the heirloom entered into the womb of his daughter. The only solution is to
marry his daughter to his father's best friend. But after marriage they must get divorced.

Day by day passedang palm oil finally gave birth, but all residents were surprised when
he gave birth to a baby dragon. Although many residents hate him, he still treats the dragon like
caring for his son. Until the dragon grew up he sought his father to the hermitage of Ki Hajar
Salokantara, a cave on the slopes of Mount Telomoyo. in order to prove that what he said was
true, Baro Klinting rushed to the foot of Mount Telomoyo. He tried as hard as possible to be able
to wrap the foot of the mountain with his body. However, almost the tail and head can not be
fused. Baro Klinting began to panic, but he did not lose his mind. He stuck out his tongue to
touch his tail. With the permission of the Gods, Baro Klinting can circle Mount Telomoyo
according to Ki Hajar Salokantara's request. Finally, Ki Hajar acknowledged Baro Klinting as his
biological son who had been left imprisoned.

On the other side of the slopes of Mount Telomoyo there is a village called Desa Pathok.
One day the people of Pathok Village, the village at the foot of Mount Telomoyo, will hold a
charity party after the harvest is over. In the middle of the party, suddenly a boy arrived who was
none other than the incarnation of Baro Klinting. He looks dirty and has wounds all over his
body with a very sharp and fishy odor. The boy asked the villagers for food. However, nobody
gave him food or drinking water.

Finally, the boy was told to get out of the party arena. With extreme crying and
heartache, the child left the party. He walked aimlessly while continuing to cry. Finally he
arrived at a hut which turned out to be the home of an old widow named Nyai Latung. The old
woman gave him food and he told her the unfriendly attitude of the citizens.

A moment later, Baro Klinting ran from Nyai Latung's house and returned to the party
crowd. He tried again to request a meal at a party held by the residents of Pathok Village.
However, residents still reject the presence of the child. Angry Baro Klinting ran to the middle of
the party arena. He stood on his waist and held a contest. He plugged a stick to the ground. He
challenged whoever could pull the stick, he was a great person. No one citizen is capable.

  Then, he gently holds the stick that is firmly planted on the ground. What a wonder the
villagers. Only by using one hand, Baro Klinting can slowly pull the stick, then a miracle will
occur. The former stick of the stick sticks out very heavy water. A torrent of water is getting
heavier and becomes a big flood. People panic. Hearing this, he hung up the mortar ordered by
the Baro Klinting.

Finally, Nyai Latung decided to live on the edge of the swamp. He named the drowned
village the name Rawa Pening, which came from a pool of clear water that formed marshes. The
place was getting more and more crowded because of the many migrants who settled in the area.

On the other hand, Ki Hajar Salokantara had believed that Baro Klinting was his son as
the incarnation of his sacred heirlooms. Baro Klinting who transformed into a human child has
been freed from the curse. He met his father on the slopes of Mount Telomoyo. They both went
home to meet Endang Sawitri.

TRANSLATE :

Legenda Rawa Pening


Pada zaman dahulu terdapat sebuah desa yang asri di tanah kekuasaan Kerajaan
Mataram, yakni Desa Ngasem. Desa tersebut dipimpin oleh seorang kepala desa yang arif dan
bijaksana yang bernama Ki Sela Gondang. Desa Ngasem terletak di kaki Gunung Telomoyo.
Rakyat di desa tersebut hidup rukun dan damai. Sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani.

Pada suatu ketika di Desa Ngasem akan diselenggarakan acara merti desa dan sedekah
bumi sebagai wujud rasa syukur penduduk Desa Ngasem atas limpahan hasil bumi dan keadaan
yang aman sentosa.

Suatu malam, Ki Sela Gondang mengumpulkan semua perangkat desa di pendapa


rumahnya. Sebagaimana kebiasaan dalam rangka merti desa, dibutuhkan sarana tolak bala
berupa sesaji dan pusaka sakti milik seorang resi terkenal saat itu. Untuk keperluan tersebut,
Kepala Desa mengutus sang putri untuk meminjam pusaka sakti milik sahabatnya, seorang resi
bernama Ki Hajar Salokantara. Pusaka tersebut sedianya digunakan sebagai tolak bala atau salah
satu syarat penyelenggaraan pesta rakyat agar acara berjalan lancar tanpa halangan.

Endang Sawitri menjalankan titah sang ayah untuk meminjam pusaka kepada sang Resi,
sahabat ayahnya. Ia pergi menuju lereng Gunung Telomoyo tempat resi tersebut tinggal. Endang
Sawitri menunggang seekor kuda yang terlatih melintasi jalan terjal berbatu dan ngarai yang
elok.

Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, tibalah Endang Sawitri di


padepokan Ki Hajar Salokantara. Setelah menceritakan maksud kedatangannya, sang resi masuk
ke padepokan, sementara Endang Sawitri menunggu di pendapa sambil menikmati hidangan
yang disajikan juru masak padepokan. Beberapa saat kemudian, sang Resi keluar lagi dengan
membawa sebuah benda yang dibungkus dengan sarung berwarna cokelat yang sudah terlihat
usang. Sang Resi menimang-nimang benda tersebut dengan saksama. Sejurus kemudian, ia
membuka selubung kain usang tersebut. Ternyata, benda yang dibawanya adalah sebilah keris
yang masih berwarangka. Dan memberikannya kepada Endang Sawitri.

Dalam perjalanan pulang ke Desa Ngasem, Endang Sawitri merasa sangat lelah dan
mengantuk. Setibanya di kaki gunung, ia memutuskan berhenti dan mencari tempat yang sejuk
untuk melepas lelah dan kantuknya. Dia tertidur pulas dan bermimpi, sangat disayangkan ketika
ia terbangun pusaka tersebut sudah tiada.

Endang Sawitri mulai menceritakan semua peristiwa yang dialaminya. Ayahanda


memberitahu hal ini pada sahabatnya, ternyata pusaka tersebut masuk kedalam rahim sang
putrinya. Solusi satu satunya ialah dengan menikahkan putrinya dengan sahabat ayahnya itu.
Tetapi setelah menikah mereka harus bercerai.

Hari demi hari berlalu endang sawitri akhirnya melahirkan, namun semua warga heran
ketika ia melahirkan seekor anak naga. Walau banyak warga membencinya, ia tetap merawat
naga itu seperti merawat anaknya. Hingga saat naga itu bertumbuh besar ia pun mencari ayahnya
ke pertapaan Ki Hajar Salokantara, yaitu sebuah gua di lereng Gunung Telomoyo. Demi
membuktikan bahwa apa yang dikatakannya benar, Baro Klinting bergegas menuju kaki Gunung
Telomoyo. Ia berusaha sekeras mungkin untuk dapat melilit kaki gunung dengan tubuhnya.
Namun, hampir saja ekor dan kepalanya tidak dapat menyatu. Baro Klinting mulai panik, tetapi
ia tidak kehilangan akal. Ia menjulurkan lidahnya hingga menyentuh ekornya. Dengan izin sang
Dewata, Baro Klinting dapat melingkari Gunung Telomoyo sesuai permintaan Ki Hajar
Salokantara. Akhirnya, Ki Hajar mengakui Baro Klinting sebagai anak kandungnya yang selama
ini ditinggalkannya bertapa.

Di belahan lain lereng Gunung Telomoyo terdapat sebuah desa yang bernama Desa
Pathok. Suatu hari penduduk Desa Pathok, desa di kaki Gunung Telomoyo, akan mengadakan
pesta sedekah bumi setelah panen usai. Di tengah-tengah acara pesta itu, tiba-tiba datanglah
seorang anak laki-laki yang tidak lain merupakan jelmaan Baro Klinting. Ia tampak kumal dan
memiliki luka di sekujur tubuh dengan bau yang sangat tajam dan amis. Anak itu meminta
makanan kepada penduduk desa. Namun, tak seorang pun memberinya makanan atau air minum.

Akhirnya, anak itu disuruh keluar dari arena pesta itu. Dengan menangis dan sakit hati
yang teramat sangat, anak itu pergi meninggalkan pesta. Ia berjalan tanpa tujuan sambil terus
menangis. Akhirnya ia tiba di sebuah gubuk yang ternyata rumah seorang janda tua bernama
Nyai Latung. Nenek itu memberinya makan dan ia menceritakan sikap warga yg tidak ramah
padanya.

Sesaat kemudian, Baro Klinting berlari dari rumah Nyai Latung dan kembali ke
keramaian pesta. Ia mencoba lagi untuk meminta hidangan dalam pesta yang diadakan oleh
penduduk Desa Pathok. Namun, penduduk tetap menolak kehadiran anak itu. Baro Klinting yang
marah berlari ke tengah-tengah arena pesta. Ia berdiri berkacak pinggang dan mengadakan
sayembara. Ia menancapkan sebatang lidi ke tanah. Ia menantang barang siapa dapat mencabut
lidi itu, ia adalah orang hebat. Tidak seorang pun warga itu yang mampu.

Kemudian, ia memegang perlahan lidi yang tertancap kuat di tanah tersebut. Alangkah
herannya penduduk desa. Hanya dengan menggunakan satu tangan, Baro Klinting perlahan dapat
mencabut lidi, lalu keajaiban pun terjadi. Lubang bekas tancapan lidi tersebut menyemburkan air
yang sangat deras. Semburan air makin lama makin deras dan menjadi air bah yang besar.
Rakyat panik. Mendengar hal itu Nyai Lantung menaiki lesung yang diperintahkan Baro klinting.

Akhirnya, Nyai Latung memutuskan tinggal di pinggir rawa tersebut. Ia menamakan desa
yang tenggelam itu dengan nama Rawa Pening yang berasal dari genangan air bening yang
membentuk rawa-rawa. Makin lama tempat itu makin ramai karena banyak pendatang yang
menetap di daerah itu.

Di sisi lain, Ki Hajar Salokantara telah percaya bahwa Baro Klinting adalah anaknya
sebagai jelmaan dari pusaka sakti yang dimilikinya. Baro Klinting yang berubah wujud menjadi
anak manusia itu telah terbebas dari kutukan. Ia menemui ayahnya di lereng Gunung Telomoyo.
Mereka berdua pun pulang menemui Endang Sawitri.

RINGKASAN :

Dahulu, di Gunung Telomoyo terdapat sebuah desa bernama Ngasem. Di


desa itu tinggal sepasang suami isti bernama Ki Sela Gondang bersama istri dan
anaknya Endang Sawitri . Suatu ketika Ki Sela memerintah anaknya untuk
meminjam keris sakti yang ada dirumah sahabatnya yaitu Ki Hajar.
Anaknya pun segera pergi ke rumah Sang Resi sahabat ayahnya itu dengan
menunggangi kuda. Sesampainya di pedepokan Ki Hajar, Endang Sawitri
menyampaikan pesan ayahnya kepada Ki Hajar. Ia disuruh untuk menunggu,
ketika Ki Hajar kembali dengan membawa sebuah benda yang dibungkus dengan
sarung berwarna cokelat yang sudah terlihat usang. Itu merupakan keris sakti yang
di maksud oleH Ayahnya.
Setelah itu, dia pun pulang dan menjaga dengan hati-hati keris sakti itu. Di
setengah perjalanan, ia merasa lelah dan beristirahat dibawah pohon hingga
akhirnya tertidur. Beberapa saat kemudian, dia terbangun. Akan tetapi pusaka sakti
itu tidak ada lagi di genggamannya. Dia pun cepat-cepat pulang kerumahnya.
Sesampai dirumah, dia menceritakan apa yang terjadi. Setelah mendengar semua
hal itu Ayahnya langsung mengabari Ki Hajar. Ki Hajar pun mengatakan bahawa
keris itu masuk kedalam perutnya sehingga menyebabkan dia hamil dan harus
menikahi anak sahabatnya itu. Akan tetapi setelah menikah mereka bercerai.
Anak tersebut pun lahir dan wujudnya jelmaan seekor naga yang bisa bicara,
ia diberi nama Baro Klinthing. Setelah Baro Klinthing besar, dia bertemu dengan
ayahnya. Di perjalanan ia merasa haus dan lapar. Pada saat itu penduduk desa
sedang mengadakan pesta sedekah bumi, ia menhampiri penduduk setempat akan
tetapi ia diusir begitu saja. Untung saja ada seorang janda tua yang menolongnya.
Dia pun kesal ,sebagai bentuk balasan, Baro Klinthing menancapkan lidi ke tanah
dan menantang warga desa untuk mencabutnya. Tidak ada satu pun warga desa
yang dapat mencabut lidi tersebut. Dengan kesaktiannya, Baru Klinthing mancabut
lidi tsb dan dari bekas cabutan lidi itu, keluar lah air yang kemudian
menenggelamkan seluruh desa sehingga terbentuklah danau bernama Rawa
Pening.

You might also like