You are on page 1of 2

What makes us truly human

In defense of radical religious pluralism, Harvey Cox finds support even in the failed predictions by bygone
atheists. Thus, if some of the eighteenth century French philosophes predicted that religion, like all
superstitions, was fated for prompt extinction (Cox quotes Voltaire’s well-known line: “Not until the last priest
is hanged with the entrails of the last king will mankind be finally free”), and have obviously erred in their
prognostications, nevertheless they are correct, Cox avers, “to foresee the disappearance of religion as an
extension of that way of knowing the external world we now call magic or superstition.” In other words,
religion cannot supply any answers to questions that can be answered in an empirical way, but can provide
answers to questions of human meaning and purpose. If Lenin predicted that his own brand of naturalistic
Marxist thought would ultimately replace religion as a metaphysical worldview, his predictions seem less
threatening today. But Cox insists, insofar as Lenin was saying that religion must be understood not in
insolation, but as tied to all life, he was right – a clever reinterpretation that makes it unclear whether or not Cox
espouses philosophical naturalism. Cox attempts a similar justification of Freud and Jung. All of this leans in
support in support of a universal, secular meaning of religion. Even Bonhoeffer’s famous aphorism - that to be
a Christian is, in the final analysis, to be fully human - is appealed to, almost as if what Bonhoeffer meant was
that to be human is to be Christian, or at least religious, whereas of course what he was really saying was the
reverse: to be Christian is what makes us truly human.

Reference: The Gagging of God: Christianity confronts pluralism


Writer: D. A. Carson

Apa yang membuat kita manusia yang sesungguhnya

Didalam mempertahankan pluralism relijius yang radikal (radical religious pluralism), Harvey Cox
menemukan dukungan bahkan pada prediksi-prediksi yang gagal oleh para ateis. Oleh karena itu, jika beberapa
filsuf Perancis abad ke 18 memprediksi bahwa agama, seperti takhayul-takhayul yang ada ditakdirkan untuk
kepunahan yang cepat tanpa penundaan (prompt extinction), Cox mengutip dari kalimat terkenal yang
diucapkan oleh Voltaire: “Manusia tidak akan menjadi sepenuhnya bebas jika imam atau pendeta terkhir
digantung beserta organ-organ dalam dari raja tertumpah”. Cox menyatakan kebenaran dengan sangat berani,
“memprediksi (foresee) hilangnya agama sebagai suatu perpanjangan dari cara mengetahui dunia luar yang kita
sebut sebagai ilmu gaib atau takhayul.” Dengan kata lain, agama tidak dapat memberikan jawaban kepada
pertanyaan-pertanyaan dengan cara empiris, tapi dapat memberikan jawaban-jawaban untuk pertanyaan-
pertanyaan dari arti dan tujuan hidup manusia.

Jika Lenin memprediksikan bahwa aliran naturalistik pemikiran Marxis akan pada akhirnya menggantikan
agama sebagai suatu pandangan metafisika, prediksi-prediksinya terliaht kurang membahayakan hari ini. Tetapi
Cox bersikeras, (insists), seperti apa yang Lenin katakana bahwa agama harus dimengerti tidak didalam suatu
hal tertentu/hal yang dipisah-pisahkan (insolation), tetapi seperti terikat kesemua aspek kehidupan, dia berkata
benar disini – suaut interpretasi ulang yang pintar yang membuatnya tidak jelas di dalam posisinya apakah Cox
mendukung (espouses) filosofi naturalise (philosophical naturalism). Cox membuat suatu
justifikasi/pembenaran yang serupa dari Freud dan Jung. Semuanya ini bergantung pada dukungan dari suatu
hal yang bersifat universal, arti sekuler dari agama. Bahkan aforisme (aphorism) Bonhoeffer yang terkenal -
“menjadi seorang Kristen, pada analisis terakhirnya, berarti menjadi manusia seutuhnya” - adalah suatu hal
yang sangat menarik dan kontroversial, seperti dia hampir berkata bahwa yang Bonhoeffer maksud adalah
menjadi manusia adalah menjadi orang Kristen, atau setidaknya relijius, sedangkan tentunya apa yang dia
benar-benar ingin katakana adalah kebalikannya: “menjadi seorang Kristen adalah yang membuat kita menjadi
manusia yang sesungguhnya”.

Referensi: The Gagging of God: Christianity confronts pluralism


Penulis: D. A. Carson

You might also like