You are on page 1of 52

AKTIVITAS SENYAWA ANTI β-LAKTAMASE DARI

Streptomyces lavendulae IVNF1-1 TERHADAP VIABILITAS


Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) K1-1 RESISTEN
AMPISILIN

CHOTIMAHWATI

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang berjudul,
Aktivitas Senyawa Anti β-laktamase dari Streptomyces lavendulae IVNF1-1
terhadap Viabilitas Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) K1-1 Resisten
Ampisilin adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari
penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di
bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2009

Chotimahwati
G 351070171
ABSTRACT

CHOTIMAHWATI. Activity of Inhibitor β-lactamase Compounds from


Streptomyces lavendulae IVNF1-1 for Viability of Enteropathogenic Escherichia
coli (EPEC) K1-1 Ampicillin-Resistant. Under Direction of YULIN LESTARI and
SRI BUDIARTI

ABSTRACT

β-lactam antibiotics are most widely used and β-lactamase is the main cause of
bacterial resistance to this antibiotics. The β-lactamase is structurally related to PBPs
and is capable of hydrolyzing the amide bond of the β-lactam ring and inactivate β-
lactam antibiotics. Streptomyces lavendulae IVNF1-1 is known to produce β-
lactamase inhibitory compounds like clavulanic acid and β-lactamase inhibitory
protein (BLIP). Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC), a leading cause of
human infantile diarrhea, is the prototype for a family of intestinal bacterial
pathogens that induce attaching and effacing (A/E) lesions on host cells. To produce
β-lactamase inhibitory compounds, S. lavendulae IVNF1-1 was grown in ISP-4
medium and incubated in a shaker agitated at 100 rpm for 10 days at room
temperature. BLIP was precipitated with acetone, while clavulanic acid was
extracted by using United States Patent 4140764. Protein content in BLIP was 1.05
mg/ml and clavulanic acid content in the aqueous phase was 1.5 mg/ml. The
inhibition capability indicated by the MIC and MBC values of BLIP was stronger
than that of clavulanic acid. The MIC value of BLIP and clavulanic acid was at 350
ppm and 750 ppm, respectively. The MBC value of BLIP was at 400 ppm. while for
clavulanic acid was at 1000 ppm. The combination between BLIP and clavulanic
acid gave FICI value 0.843 which is between 0.76 and 1, so it is categorized as an
additive effect. Time killed kinetics assay of BLIP was at 1 hour, while for
clavulanic acid required much longer time (12 hours). The results indicate that
inhibitor β-lactamase compounds produced by S lavendulae IVNF1-1 has the
potency to control EPEC resistance to β-lactam antibiotic. Further research is
required to examine the effect of MIC and MBC value of BLIP and clavulanic acid
against EPEC K1-1 in an in vivo experiment.

Keywords: Streptomyces lavendulae IVNF1-1, EPEC, β-lactamase inhibitor, BLIP,


clavulanic acid, MIC, FICI.
RINGKASAN

CHOTIMAHWATI. Aktivitas Senyawa Anti β-laktamase dari Streptomyces


lavendulae IVNF1-1 terhadap Viabilitas Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)
K1-1 Resisten Ampisilin. Dibimbing oleh YULIN LESTARI dan SRI BUDIARTI.

Antibiotik yang banyak digunakan adalah antibiotik β-laktam, diantaranya


adalah penisilin, sefalosporin, dan sefamisin. Penghambatan yang spesifik pada
pembentukan lapisan peptidoglikan menjadikan antibiotik β-laktam bersifat selektif,
yaitu hanya menghambat pertumbuhan bakteri target tanpa membahayakan sel inang
sehingga pemakaian antibiotik ini aman bila dibandingkan antibiotik jenis lain.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik β-laktam merupakan masalah yang serius
di bidang kesehatan. Bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik ini karena dapat
menghasilkan enzim β-laktamase yang bekerja memecah dan menghidrolisis ikatan
amida pada cincin β-laktam sehingga antibiotik ini tidak efektif lagi untuk
pengobatan.
Enzim β-laktamase dapat diinaktifkan oleh senyawa anti β-laktamase. Aktivitas
senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan oleh Streptomyces isolat lokal seperti
isolat IVNF1-1 diketahui melalui dihasilkannya asam klavulanat dan β-laktamase
Inhibitory Protein (BLIP). Aktivitas asam klavulanat dan BLIP dari Streptomyces
lavendulae IVNF1-1 dalam menghambat pertumbuhan bakteri patogen belum
diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian ini. Penelitian ini bertujuan mengkaji
aktivitas senyawa anti β-laktamase dari Streptomyces lavendulae IVNF1-1 yaitu
asam klavulanat dan BLIP terhadap viabilitas EPEC K1-1 resisten ampisilin.
Metode untuk mengetahui aktivitas asam klavulanat dan BLIP adalah
memproduksi kedua senyawa tersebut pada medium ISP-4. Setelah inkubasi selama
10 hari filtrat kultur disentrifugasi dan dari supernatannya diisolasi asam klavulanat
dan BLIP. Asam klavulanat diisolasi dalam bentuk garam karboksilat dengan metode
United States Patent 4140764, sedangkan BLIP diisolasi dengan pengendapan
protein menggunakan aseton. Asam klavulanat dan BLIP yang dihasilkan digunakan
untuk uji antagonis dengan EPEC K1-1 untuk mengetahui Kadar Hambat Minimal
(KHM), Kadar Bakterisida Minimal (KBM), Indeks Kadar Hambat Fraksi (IKHF),
kinetika waktu kematian sel EPEC K1-1 dan aktivitas penghambatannya terhadap
enzim β-laktamase.
Isolat EPEC K1-1 memiliki pertumbuhan yang sangat cepat. Pada jam ke-3
isolat ini sudah mencapai jumlah sekitar 108 sel/ml (OD 0.32, λ 620 nm) pada media
NB yang mengandung ampisilin 100 μg/ml. Peremajaan S. lavendulae IVNF1-1 pada
media YMA membutuhkan waktu 7 hari untuk berspora penuh membentuk koloni
berwarna merah muda
Jika dibandingkan besarnya zona bening yang dihasilkan, ekstrak kasar
menghasilkan zona bening terbesar (8 mm), diikuti dengan BLIP (5 mm) dan asam
klavulanat (4.75 mm). Zona bening terbesar yang dihasilkan melalui uji antagonis
filtrat kultur S. lavendulae IVNF1-1 pada umur produksi yang berbeda adalah pada
umur produksi 10 hari yaitu 8 mm. Pada umur 5 hari zona beningnya 6 mm dan pada
umur 15 hari zona beningnya 5.2 mm. Berat kering sel terbanyak tercapai pada hari
ke-5, sedangkan berat kering sel terendah tercapai pada hari ke-10. Pada hari ke 15
berat kering sel S. lavendulae IVNF1-1 lebih tinggi dari hari ke-10 mungkin
disebabkan jumlah sel S. lavendulae IVNF1-1 yang dimasukkan sebagai inokulan
tidak sama. Produksi senyawa metabolit sekunder pada S. lavendulae IVNF1-1
terjadi pada fase stasioner karena pada fase itu sel mulai kekurangan nutrisi dan
udara sehingga sel menghasilkan metabolit sekunder untuk mempertahankan
hidupnya.
Nilai KHM dari BLIP adalah 350 ppm karena pada konsentrasi itu koloni
yang tumbuh rata-rata sebanyak 56 koloni atau sekitar 5.6 x 102 sel/ml dan
merupakan jumlah koloni terendah setelah dicawankan, sedangkan KHM asam
klavulanat adalah 750 ppm karena pada konsentrasi tersebut koloni yang tumbuh
rata-rata sebanyak 11 koloni atau sekitar 1.1 x 102 sel/ml . Sedangkan nilai KBM dari
BLIP adalah 400 ppm sedangkan KBM dari asam klavulanat adalah 1000 ppm
karena pada konsentrasi itu tidak ada koloni sel EPEC K1-1 yang tumbuh setelah
dicawankan. BLIP dan asam klavulanat bersifat bakterisida. Konsentrasi BLIP
mematikan sel EPEC K1-1 lebih rendah daripada asam klavulanat, maka dapat
dikatakan BLIP lebih kuat daya bakterisidanya daripada asam klavulanat.
Asam klavulanat dan BLIP bekerja menghambat enzim β-laktamase dan
menyebabkan enzim tersebut tidak menginaktifkan ampisilin sehingga ampisilin
dapat mengganggu pembentukan lapisan peptidoglikan dinding sel EPEC K1-1.
Akibatnya pada saat membelah sel EPEC akan lisis dan mati. Hasil foto mikroskop
elektron payaran pada sel EPEC K1-1 yang diuji dengan BLIP dan asam klavulanat
menunjukkan kerusakan dinding sel tersebut (Prakoso 2009)
Rata-rata Indeks KHF dari asam klavulanat dan BLIP adalah 0.843, berkisar
antara 0.76 dan 1 sehingga BLIP dan asam klavulanat bersifat efek aditif. Artinya
pemakaian kombinasi BLIP dan asam klavulanat saling menguatkan meskipun hanya
sedikit, namun dalam penelitian ini belum menunjukkan efek sinergistik. Jadi
pemakaian kombinasi BLIP dan asam klavulanat dapat dilakukan karena tidak
bersifat antagonistik.
Hasil kinetika waktu kematian sel EPEC K1-1, menunjukkan bahwa BLIP
dapat mematikan sel setelah waktu inkubasi 1 jam, sedangkan asam klavulanat
mematikan sel tersebut setelah inkubasi 12 jam. Jika dilihat dari konsentrasi KBM
dan waktu untuk mematikan sel EPEC K1-1, BLIP memiliki kemampuan
penghambatan lebih kuat daripada asam klavulanat. Hal ini disebabkan asam
klavulanat bekerja dengan menginaktifkan enzim β-laktamase sedangkan BLIP dapat
menghambat enzim β-laktamase dan PBPs sehingga aktivitasnya menjadi lebih kuat.
Kombinasi BLIP dan asam klavulanat 350:400 dapat mematikan sel EPEC K1-1
setelah inkubasi 2 jam sedangkan pada kombinasi 100 ppm BLIP:400 ppm asam
klavulanat baru dapat mematikan bakteri tersebut setelah inkubasi 4 jam. Meskipun
demikian pengaruh BLIP dan asam klavulanat perlu diuji kefektifannya secara klinis
sehingga dapat diketahui kestabilan dari kedua senyawa anti β-laktamase tersebut.
Jika dilihat dari motilitasnya, ternyata sampai konsentrasi KHM BLIP
maupun KHM asam klavulanat sel EPEC K1-1 masih bersifat motil. BLIP dan asam
klavulanat bekerja menghambat sintesis peptidoglikan dari dinding sel bakteri,
sedangkan flagela E.coli disintesis dan terletak pada membran sitoplasma, sehingga
penambahan BLIP dan asam klavulanat tidak mempengaruhi motilitas dari bakteri
ini.
Aktivitas β-laktamase EPEC K1-1 sebesar 3.31 x 10-4 U/ml. Hasil ini
menunjukkan bahwa EPEC K1-1 memiliki mekanisme resistensi terhadap antibiotik
β-laktam melalui pembentukan β-laktamase. Hasil uji anti β-laktamase menunjukkan
bahwa aktivitas hambatan asam klavulanat lebih besar daripada BLIP maupun
kombinasi. BLIP adalah suatu protein sedangkan asam klavulanat adalah antibiotik
β-laktam dalam bentuk garam karboksilat yang lebih stabil. Aktivitas spesifik dari
asam klavulanat juga lebih besar bila dibandingkan dengan BLIP. Pada penelitian ini
aktivitas spesifik dari BLIP sebesar 53.33 %/ mg dengan kandungan protein sebesar
1.05 mg/ml. Aktivitas hambatan enzim β-laktamase pada kombinasi BLIP dan asam
klavulanat lebih kecil daripada BLIP maupun asam klavulanat.
BLIP dapat mematikan EPEC K1-1 pada konsentrasi yang lebih rendah dan
dalam waktu yang lebih cepat daripada asam klavulanat maupun kombinasi BLIP
dan asam klavulanat. Secara in vitro pemakaian BLIP saja lebih menguntungkan
daripada asam klavulanat maupun kombinasi. Hasil uji anti β-laktamase
menunjukkan bahwa aktivitas penghambatan BLIP lebih rendah daripada asam
klavulanat namun BLIP memiliki aktivitas bakterisida lebih kuat. Hal ini
mengindikasikan bahwa BLIP bekerja tidak hanya menghambat enzim β-laktamase,
tetapi juga menghambat enzim PBPs untuk mematikan EPEC K1-1. Dari hasil ini
diperlukan penelitian lanjutan tentang pengaruh BLIP dan asam klavulanat terhadap
EPEC K1-1 secara in vivo untuk mengetahui keamanan pemakaian kedua senyawa
tersebut.

Kata kunci: Streptomyces lavendulae IVNF1-1, EPEC, senyawa anti β-laktamase,


BLIP, asam klavulanat, KHM, KBM, IKHF.
©Hak Cipta milik IPB tahun 2009
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang
wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
AKTIVITAS SENYAWA ANTI β-LAKTAMASE DARI
Streptomyces lavendulae IVNF1-1 TERHADAP VIABILITAS
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) K1-1 RESISTEN
AMPISILIN

CHOTIMAHWATI

Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Mayor Mikrobiologi

SEKOLAH PASCA SARJANA


INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009
Judul Tesis : Aktivitas Senyawa Anti β-Laktamase dari Streptomyces lavendulae
IVNF1-1 Terhadap Viabilitas Enteropathogenic Escherichia coli
(EPEC) K1-1 Resisten Ampisilin
Nama : Chotimahwati
NRP : G351070171

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Yulin Lestari Dr. dr. Sri Budiarti


Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Mayor Mikrobiologi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Gayuh Rahayu Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodipuro, M.S

Tanggal Ujian: 25 Mei 2009 Tanggal lulus:


Penguji Luar Komisi Ujian Tesis: drh. Min Rahminiwati. M.S. PhD.
PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2008 sampai Februari 2009 adalah Senyawa Anti
β-laktamase, dengan judul Aktivitas Senyawa Anti β-laktamase dari Streptomyces
lavendulae IVNF1-1 terhadap Viabilitas Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)
K1-1 Resisten Ampisilin.
Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya terutama kepada Pembimbing, yaitu Dr. Ir. Yulin Lestari dan Dr. dr. Sri
Budiarti yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis
menempuh studi S2. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada drh. Min
Rahminiwati, M.S. PhD. selaku Penguji Luar Komisi yang telah banyak memberikan
koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis.
Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen
Agama Republik Indonesia yang telah mengadakan program beasiswa pascasarjana
dengan IPB. Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Kepala MAN
Tuban, Bapak H. Drs. S. Sumari, MPdI yang telah memberi ijin penulis untuk tugas
belajar di IPB, serta teman-teman guru MAN Tuban atas dukungannya. Ungkapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada suami, anak-anak, Bapak, Ibu, Ibu
Mertua, kakak, adik dan seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan keikhlasannya.
Tidak lupa kepada rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis
mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini
bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Juni 2009

Chotimahwati
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tuban pada tanggal 3 Maret 1969 dari bapak Katim dan
ibu Suramlah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara.
Pendidikan Dasar sampai Menengah Atas diselesaikan di Tuban. Pada tahun
1988 penulis menempuh kuliah pada program D-3 di jurusan Pendidikan Biologi
IKIP Malang dan lulus tahun 1991. Pada tahun tersebut penulis meneruskan program
sarjana pada perguruan tinggi yang sama dan lulus tahun 1993. Pada tahun 2007,
penulis mendapatkan beasiswa dari Departemen Agama Republik Indonesia untuk
melanjutkan studi pada mayor Mikrobiologi, Sekolah Pascasarjana IPB.
Penulis menikah dengan Rudi Hartoyo pada tahun 1997 dan dikaruniai 4 orang
anak, Faris Alfathoni, Izza Elmila, Rafli Zainur Rohim dan Asyrul Yasjuda Rifqi.
Penulis bekerja sebagai guru honorer di SMAN 3 Tuban pada tahun 1994
sampai 1996. Pada tahun 1996 penulis diterima sebagai PNS di Departemen Agama
dan ditugaskan sebagai guru biologi MAN Tuban sampai sekarang.
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................................. vi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... vii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... viii
PENDAHULUAN .............................................................................................. 1
Latar Belakang ........................................................................................ 1
Tujuan .................................................................................................... 3
Manfaat ................................................................................................... 3

TINJAUAN PUSTAKA
Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) ............................................ 4
Streptomyces dan Antibiotik β-laktam .................................................... 5
Enzim β-laktamase ................................................................................... 6
Senyawa Anti β-laktamase ....................................................................... 7
Streptomyces............................................................................................. 9

BAHAN DAN METODE


Waktu dan Tempat .................................................................................. 11
Bahan ...................................................................................................... 11
Peremajaan Bakteri ................................................................................. 11
Produksi Senyawa Anti β-laktamase ...................................................... 11
Produksi BLIP (pengendapan dengan aseton) ........................................ 12
Ekstraksi Asam Klavulanat ..................................................................... 12
Uji Antagonis Ekstrak Kasar, BLIP dan Asam Klavulanat terhadap......
Pertumbuhan EPEC K1-1 dengan Metode Kirby-Bauer ....................... 12
Pengujian Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bakterisida .......
Minimal (KBM) ..................................................................................... 13
Pengujian Kinetika Waktu Kematian Sel EPEC K1-1 ............................ 14
Pengukuran Aktivitas Enzim β-laktamase .............................................. 14
Pengukuran Aktivitas Senyawa Anti β-laktamase .................................. 15

HASIL DAN PEMBAHASAN


Peremajaan Bakteri Target ....................................................................... 16
Aktivitas Penghambatan Streptomyces lavendulae IVNF1-1 terhadap ....
Pertumbuhan EPEC K1-1 ......................................................................... 16
Kandungan Protein dan Asam Klavulanat dalam Filtrat Kultur…………
S. lavendulae IVNF1-1…………………………………………………. 18
Uji Antagonis Ekstrak Kasar, BLIP, dan Asam Klavulanat Terhadap …
EPEC K1-1 .............................................................................................. 19
Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bakterisida Minimal (KBM) 20
Kinetika Waktu Kematian Sel EPEC K1-1 ............................................... 25
Aktivitas Enzim β-laktamase .................................................................... 26
Aktivitas Asam Klavulanat dan BLIP dalam Menghambat β-laktamase.. 27

SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................. 30


DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 31
LAMPIRAN ........................................................................................................ 36
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Antibiotik β-laktam termasuk ke dalam antibiotik peptida dengan asam amino
yang memiliki cincin β-laktam. Antibiotik ini banyak digunakan karena mempunyai
spektrum yang luas dan bersifat selektif, yaitu hanya menghambat pertumbuhan
bakteri target tanpa membahayakan sel inang sehingga pemakaiannya aman bila
dibandingkan antibiotik jenis lain. Penghambatan antibiotik β-laktam terjadi pada sel
yang sedang tumbuh, dengan cara menghambat sintesis peptidoglikan dinding sel
bakteri target (Crueger & Crueger 1984).
Penggunaan antibiotik β-laktam berspektrum luas menjadi tidak efektif karena
banyak bakteri patogen yang resisten terhadap antibiotik ini. Neu & Gootz (1993)
melaporkan pada tahun 1977 ditemukan strain Streptococcus pneumoniae resisten
penisilin G di Afrika Selatan. Resistensi pada semua jenis penisilin dan sefalosporin
terjadi pada kelompok stafilokokus, sedangkan kelompok enterokokus dan N.
gonorrhoeae resisten terhadap semua jenis penisilin. Triatmojo (1996) menemukan
di Jawa Barat Enterotoxigenic Escherichia coli (ETEC) resisten terhadap ampisilin
dan tetrasiklin. Budiarti (1998) menemukan Enteropatogenic Escherichia coli
(EPEC) K1-1 yang diisolasi dari feses anak-anak penderita diare memiliki resistensi
terhadap ampisilin. Bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik β-laktam karena
dapat menghasilkan enzim β-laktamase yang bekerja memecah cincin β-laktam
(Doran et al. 1990) dan menghidrolisis ikatan amida pada cincin tersebut (Kang et al.
2000) sehingga antibiotik dari kelas β-laktam tidak efektif untuk mengobati penyakit
yang disebabkan oleh bakteri patogen (Nataro & Kaper 1998).
Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan data resmi yang menyatakan
bahwa diare merupakan penyebab utama kematian balita di seluruh dunia, sementara
di Indonesia diare adalah pembunuh balita nomor dua. Unicef memperkirakan setiap
30 detik, terdapat anak yang meninggal dunia. Di Indonesia, setiap tahunnya sekitar
300 ribu-500 ribu balita meninggal karena penyakit kekurangan cairan tubuh tersebut
(Serambi Indonesia 2007). EPEC dan Shigella merupakan penyebab diare pada balita
hanya sebesar 20% tetapi kedua bakteri tersebut menyebabkan 60% kematian dari
kasus diare yang dilaporkan. Pada bayi, pelekatan EPEC dengan lapisan mukosa usus
2

halus dapat menginduksi terjadinya diare dengan gejala diare tanpa darah atau lendir,
demam dan muntah yang berlanjut dengan dehidrasi yang akhirnya menyebabkan
kematian (Afset et al. 2004). Diare yang disebabkan oleh kedua bakteri tersebut jika
tidak menyebabkan kematian dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat pulih
dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan balita (Medical News Today
2006).
Streptomyces clavuligerus selain dapat menghasilkan β-laktamase, diketahui
menghasilkan senyawa anti β-laktamase yang berupa senyawaan non protein seperti
asam klavulanat ataupun senyawaan protein seperti β-laktamase Inhibitory Protein
(BLIP). Beberapa BLIP telah ditemukan diantaranya berbobot molekul 17 kDa dari
Streptomyces clavuligerus (Doran et al. 1990), BLIP I dan BLIP II dengan bobot
molekul 48 kDa dan 33 kDa yang diisolasi dari S. Exfoliatus SMF 19 (Kim & Lee
1994). Desriani (2004) menemukan BLIP dari Streptomyces isolat lokal berbobot 14-
45 kDa. Senyawa anti β-laktamase berfungsi menghambat kerja β-laktamase dalam
memecah cincin β-laktam pada antibiotik β-laktam.
Beberapa penelitian tentang aktivitas senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan
Streptomyces lokal telah dikaji. Elsie (2006) melakukan pengujian terhadap aktivitas
senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan oleh Streptomyces isolat indigenos dan
diketahui isolat IVNF1-1 memiliki aktivitas penghambatan β-laktamase 1.946 x 10-4
U/ml sebesar 84.12%. Fadhilah (2007) melakukan optimasi produksi senyawa anti β-
laktamase dari Streptomyces sp IVNF1-1. Optimasi produksi terhadap senyawa anti
β-laktamase dapat meningkatkan aktivitasnya hingga 3 kali lipat. Zona
penghambatan sebelum optimasi yang hanya sebesar 4 mm dapat menjadi 12.6 mm
setelah optimasi.
Hasil identifikasi senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan isolat IVNF1-1,
menunjukkan bahwa isolat tersebut dapat menghasilkan asam klavulanat dan protein
penghambat β-laktamase (BLIP) dengan kandungan asam amino yang dominan
adalah aspartat dan fenilalanin (Wahyuni 2006). Aktivitas asam klavulanat dan BLIP
dari Streptomyces lavendulae IVNF1-1 dalam menghambat pertumbuhan bakteri
patogen belum diketahui sehingga perlu dilakukan penelitian ini.
3

Tujuan
Penelitian ini bertujuan mengkaji aktivitas senyawa anti β-laktamase dari
Streptomyces lavendulae IVNF1-1 yaitu asam klavulanat dan BLIP (β-Lactamase
Inhibitory Protein) terhadap viabilitas EPEC K1-1 resisten ampisilin.

Manfaat
Hasil kajian aktivitas senyawa anti β-laktamase dari Streptomyces lavendulae
IVNF1-1 yaitu asam klavulanat dan BLIP terhadap viabilitas EPEC K1-1 diharapkan
nantinya dapat menjadi masukan dalam pengembangan produk berbasis
Streptomyces lavendulae untuk pencegahan dan pengendalian bakteri EPEC resisten
antibiotik β-laktam.
4

TINJAUAN PUSTAKA

Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)


EPEC merupakan salah satu penyebab diare terbanyak pada anak-anak di
bawah usia 5 tahun yang menyebabkan kesakitan dan kematian di negara-negara
berkembang (Clarke et al. 2002). Karakter sel EPEC sama dengan E. coli pada
umumnya. Bakteri gram negatif ini berbentuk batang pendek, motil dengan flagela
peritrikus. EPEC dapat memfermentasi laktosa dengan menghasilkan asam dan gas
(Madigan et al. 2006).
Knutton et al. (1987) menyatakan pelekatan EPEC akan menyebabkan luka dan
kerusakan mikrovili membran mukosa usus. Kenny et al. (1997) melaporkan bahwa
interaksi EPEC dengan sel inang menginduksi terjadinya fosforilasi tirosin pada
protein Tir, yang diikuti translokasinya ke membran sel inang. Protein Tir merupakan
reseptor intimin yang berperan untuk membentuk ikatan yang erat antara sel EPEC
dengan inangnya. Patogenesis utama pada EPEC adalah kerusakan yang disebut
attaching and effacing (A/E) yang ditandai dengan sinyal pelekatan dari bakteri pada
epitel usus (Nougayrede et al. 2003 dalam Afset et al. 2004).
Cravioto et al. (1979) melaporkan bahwa 80% strain EPEC melekat pada sel
HEp2-monolayer dan pelekatan sel HEp2 lebih umum terjadi dengan EPEC daripada
dengan E. coli enterotoksik atau dengan E. coli yang merupakan flora normal usus
manusia. EPEC dapat melekat pada sel HEp-2 atau sel HeLa dengan pola terlokalisir
atau merata. Pola terlokalisir pada sel HEp-2 pada EPEC E2348 (Serotipe O127:H6)
dikodekan oleh plasmid 60-megadalton (pMAR2). Keberadaan plasmid ini dan
ekspresinya berkorelasi dengan kemampuan E2348 menyebabkan diare pada
sukarelawan orang dewasa (Echeverria et al. 1987). EPEC menempel erat pada sel
usus yang menyebabkan hilangnya mikrovili usus dan selaput membran usus di
sekitar bakteri. Interaksi EPEC dengan sel usus terjadi melalui 3 fase. Fase pertama
adalah pelekatan tidak kuat (non-intimate binding) yang diperantarai oleh Bundle
forming pilus (Bfp). Fase kedua adalah pelekatan EPEC yang meningkatkan aktivitas
enzim tirosin kinase dan menaikkan ion Ca di dalam sel. Fase ketiga adalah
pelekatan yang kuat antara sel bakteri dan sel inang. Fase kedua dan fase ketiga dapat
menyebabkan perubahan ultrastruktur pada sel usus dan rusaknya mikrovili.
Kerusakan mikrovili merusak fungsinya sebagai penyerap makanan dan kenaikan ion
5

Ca di dalam sel akan menyebabkan pelepasan ion Na dan K sehingga penderita


kehilangan banyak cairan dan garam-garamnya (Goosney et al. 1999).
Gen eae yang terletak pada daerah patogenisitas locus of enterocyte effacement
(LEE) dan gen bfpA yang terletak pada plasmid disebut dengan faktor pelekatan
EPEC (EAF) digunakan untuk mengklasifikasi kelompok bakteri ini menjadi strain
khas (typical) dan tidak khas (atypical). Strain E. coli dari genotip A/E (eae+)
mempunyai plasmid EAF (bfp A+) diklasifikasikan sebagai EPEC khas. Pada
umumnya strain EPEC termasuk pada serotipe O. Strain yang tidak mempunyai
plasmid EAF (bfp-) diklasifikasikan sebagai EPEC tidak khas. Pada umumnya hasil
penelitian menunjukkan adanya kecenderungan bahwa penderita diare mempunyai
EPEC tidak khas lebih banyak bila dibandingkan dengan orang yang sehat dan sudah
dilaporkan bahwa EPEC tidak khas berhubungan dengan diare endemik (Afset et al.
2004).

Antibiotik β-laktam
Pada tahun 1929 Alexander Fleming menemukan antibiotik dari kapang
Penicillium notatum yang dinamakan penisilin. Dari segi struktur kimia penisilin
termasuk antibiotik β-laktam. Cincin penisilin merupakan cincin β-laktam segi empat
dan satu cincin tiazolidin segi lima (Schunack et al. 1990). Cincin β-laktam
merupakan kunci aktivitas antibiotik β-laktam karena sangat reaktif. Antibiotik β-
laktam mempunyai selektivitas yang sangat tinggi dan tidak toksik untuk sel inang.
Tetapi, karena strukturnya yang sangat kompleks, beberapa orang alergi terhadap
senyawa β-laktam ini. (Madigan et al. 2006). Antibiotik ini berfungsi sebagai
penghambat transpeptidase (terbentuknya ikatan silang antar peptida) pada
pembentukan lapisan peptidoglikan dinding sel bakteri melalui pembukaan cincin
laktam (Nogrady 1992).
Dinding sel bakteri tidak hanya berfungsi untuk menentukan bentuk bakteri,
tetapi juga untuk melindungi sel. Lapisan peptidoglikan pada bakteri dibentuk dari
rantai liner dari N-asetil Glukosamin (NAG) dan A-asetil Muramat (NAM). Subunit
NAG dan NAM saling berikatan silang dihubungkan oleh asam amino rantai pendek
yang mengandung D-alanin, D-glutamin dan asam mesodiaminopimelat (lipid II).
Pada tahap transpeptidasi akhir dibantu oleh enzim DD-transpeptidase membran
6

yang disebut juga dengan protein pengikat penisilin (PBPs). Antibiotik β-laktam
merupakan analog D-alanin D-alanin dan menjadi pseudosubstrat pada PBPs.
Antibiotik β-laktam yang berikatan dengan PBPs menyebabkan cincin β-laktam
terhidrolisis dan menyebabkan lapisan peptidoglikan tidak terbentuk (Mattagne et al.
1998).

Enzim β-laktamase
Ancaman yang paling berbahaya dalam hal terapi dengan antibiotik, terutama
pemakaian antibiotik β-laktam adalah munculnya galur bakteri yang resisten. Sebab
utama munculnya resistensi ini adalah pembentukan enzim β-laktamase
(penisilinase). Pada bakteri Gram positif enzim ini diekskresikan ke dalam media
pertumbuhan, tetapi pada bakteri Gram negatif enzim ini tetap berada dalam sel
(Nogrady 1992). Enzim β-laktamase menginaktifkan antibiotik β-laktam dengan cara
menghidrolisis cincin β-laktam sehingga dihasilkan produk yang tidak aktif, yaitu
asam penisiloat. Struktur enzim β-laktamase mirip dengan PBPs dan mempunyai
kemampuan menghidrolisis cincin β-laktam. Enzim ini disekresi di periplasma dan
dapat merusak antibiotik β-laktam sebelum mencapai target (Gambar 1) (Massova &
Mobashery, 1998 dalam Mackenzie 2007).

Gambar 1 Mekanisme enzim β-laktamase dalam menginaktifkan antibiotik β-laktam


(Massova & Mobashery 1998 dalam Mackenzie 2007).

Berdasarkan sekuen nukleotidanya β-laktamase dikelompokkan ke dalam 4


kelas, yaitu kelas A, B, C dan D. Enzim kelas A, C dan D memiliki serin pada sisi
aktifnya, sedangkan kelas B memiliki 4 atom zinc pada sisi aktifnya (Livermore
1995). Pembentukan enzim β- laktamase dikendalikan oleh plasmid R, bakteri yang
resisten akan mengalihkan daya resistennya melalui konjugasi sehingga species
bakteri yang dulu mudah dikendalikan dengan penisilin menjadi resisten dan
menimbulkan masalah pengobatan yang serius (Nogrady 1992).
7

Enzim β-laktamase telah mengalami perkembangan dan mutasi yang


menyebabkan resistensinya terhadap antibiotik β-laktam semakin kuat. TEM-1 dan
SME-1 merupakan salah satu contoh β-laktamase hasil mutasi. Dilaporkan bahwa
tiga generasi terbaru antibiotik β-laktam mampu dihidrolisis oleh TEM-1 β-
laktamase (Kang et al. 2000). TEM-1 dan SME-1 merupakan β-laktamase kelas A
yang ditemukan pada bakteri Gram negatif. Kedua enzim tersebut mampu
menghidrolisis penisilin dan cephalosporin, tetapi tidak bisa menghidrolisis
cephalosporin generasi ke-3. SME-1 mempunyai spektrum yang lebih luas daripada
TEM-1 dalam hal katalisasi hidrolisis antibiotik karbapenem (Zhang dan Palzkill
2003). β-laktamase selain ditemukan pada EPEC, juga tersebar luas pada bakteri
gram positif dan negatif, baik yang patogen maupun yang tidak patogen. Produksi
enzim β-laktamase pada bakteri tidak patogen disertai dengan produksi senyawa
penghambatnya, contohnya pada Streptomyces. Sebaliknya, bakteri patogen seperti
EPEC tidak mampu memproduksi senyawa penghambat β-laktamase tersebut.
(Georgepapadakou 1993).

Senyawa Anti β-laktamase


Masalah resistensi bakteri penghasil β-laktamase dapat diatasi dengan
ditemukannya beberapa senyawa anti β-laktamase yang dihasilkan oleh beberapa
spesies Streptomyces, diantaranya S. gadanensis, S. clavuligerus yang menghasilkan
senyawa anti β-laktamase dengan berat molekul 17-kDa. S. exfoliatus SMF 19 yang
menghasilkan protein anti β-laktamase βLIP-I dan βLIP-II masing-masing dengan
berat molekul 48 kDa dan 33 kDa (Kim dan Lee 1994). Disamping protein anti β-
laktamase, metabolit lain yang berfungsi sebagai senyawa anti β-laktamase adalah
asam klavulanat (Reading dan Cole 1977), sulbaktam, azobaktam (Vilaar et al. 2001),
asam olivanat dan tinamisin (Kim dan Lee 1994).
Senyawa protein dengan kemampuan menghambat aktivitas β-laktamase
pertama kali diisolasi dari S. gadanensis, kemudian dikenal dengan BLIP dan
diproduksi Streptomyces secara ekstraselular. Doran et al. (1990) menyatakan
bahwa BLIP menyebabkan degradasi proteolitik β-laktamase. BLIP yang dihasilkan
oleh S. clavuligerus merupakan protein dengan 165 asam amino dan merupakan
inhibitor protein yang potensial untuk β-laktamase kelas A, termasuk TEM-1 dan
8

SME-1 (Zhang dan Palzkill 2003). BLIP menghambat enzim β-laktamase baik pada
bakteri gram positif maupun gram negatif. BLIP menghambat pembentukan dinding
sel bakteri dengan bereaksi dengan PBPs dari Enterococcus faecalis (Sun et al. 2005).
Menurut Lim et al. (2001) BLIP merupakan komponen dari sinyal untuk jalur inisiasi
sporulasi. Afinitas BLIP yang tinggi terhadap TEM-1 menunjukkan bahwa secara in
vivo target BLIP secara struktural mirip dengan enzim β-laktamase.
Reading dan Cole (1977) berhasil mengisolasi suatu senyawaan nonprotein
penghambat β-laktamase dari Streptomyces clavuligerus yang dikenal dengan asam
klavulanat. Asam klavulanat sebagai salah satu jenis antibiotik β-laktam memiliki
aktivitas antibakteri yang rendah, tetapi mampu menghambat β-laktamase pada
konsentrasi yang rendah. Asam klavulanat sering dikombinasikan dengan antibiotik
β-laktam lain yang memiliki aktivitas penghambatan pertumbuhan tinggi, tetapi
mudah dihidrolisisoleh β-laktamase. Kombinasi yang telah digunakan di antaranya
amoksiklavam, yaitu gabungan asam klavulanat dengan amoksilin (Vree et al. 2002).
Streptomyces clavuligerus ATCC 27064 (NRRL 3585) diketahui dapat
menghasilkan senyawa yang menghambat β-laktamase yaitu senyawa yang
dinamakan asam klavulanat, asam Z-(2R, 5R)-3-( β-hidroksietilidene)-7-oxo-4-oxα-
1-azabicyclo-[3,2,0] heptane-2-carboksilat. Asam klavulanat berbeda dengan 4
klavam yang lain karena mempunyai stereokimia C-5R yang berlawanan dengan
stereokimia C-5S klavam lainnya. Selain itu gugus karboksil pada posisi C-3 tidak
didapatkan pada klavam yang lain (Thai et al. 2001).
Asam klavulanat merupakan antibiotik lemah, tetapi mempunyai kemampuan
menghambat kelas A dan beberapa kelas D dari serin-β-laktamase. Asam klavulanat
beraksi sebagai pseudosubstrat menempati sisi aktif serin dari β-laktamase untuk
waktu yang cukup lama untuk mencegah proses degragadasi antibiotik β-laktam.
Pada konsentrasi yang tinggi, asam klavulanat mengikat β-laktamase secara
ireversibel dan membentuk komplek asil-enzim yang stabil (Brown et al. 1996
dalam Mackenzie 2007).
Mekanisme penghambatan enzim β-laktamase oleh asam klavulanat dapat
diterangkan dengan model reaksi asam klavulanat dengan SHV-1 (salah satu kelas A
dari β-laktamase) (Gambar 2). Pengikatan asam klavulanat terjadi pada ikatan
hidrogen di gugus karboksil C7 dari asam klavulanat ke situs katalitik serin (Ser70)
9

dan rantai utama nitrogen, seperti Ala237 dari enzim β-laktamase. Setelah beberapa
jam enzim β-laktamase akan dihambat secara ireversibel melalui proses asilasi
kovalen pada Ser130 dari enzim β-laktamase (Padayatti et al. 2005 dalam Mackenzie
2007).

Gambar 2 Skema umum yang menggambarkan kompleksitas penghambatan β-


laktamase oleh asam klavulanat (Padayatti et al. 2005 dalam Mackenzie
2007).

Streptomyces
Streptomyces spp. berbentuk filamen dengan diameter 0.5 – 1 μm, panjang dan
umumnya pada fase vegetatif dindingnya tidak bersekat. Pertumbuhan Streptomyces
terjadi pada ujung filamen. Filamen aerial yang disebut sporophores dibentuk seiring
dengan perumbuhan koloni. Spora Streptomyces disebut konidia. Spora Streptomyces
dibuat dengan membentuk sekat dinding sel pada sporophora multinukleat diikuti
dengan pemisahan sel menjadi spora (Madigan et al. 2006).
Streptomyces merupakan kemoorganotrof, bersifat katalase positif dan dapat
mereduksi nitrat menjadi nitrit. Streptomyces merupakan bakteri tanah Gram positif
yang dimasukkan dalam kelompok aktinomisetes. Streptomyces bersifat aerob
obligat dimana pertumbuhan pada kultur cair biasanya distimulasi dengan adanya
aerasi. Sporulasi umumnya tidak terjadi pada kultur cair tetapi hanya jika organisme
tersebut tumbuh pada permukaan agar atau substrat padat lainnya. Umumnya
10

Streptomyces hidup di tanah, sedikit yang dapat hidup di lingkungan akuatik. Bau
tanah yang khas disebabkan oleh metabolit Streptomyces yang disebut geosmin
(Madigan et al. 2006).
Streptomyces spp. mempunyai kemampuan memproduksi antibiotik dan
senyawa bioaktif. Sekarang banyak antibiotik yang dikembangkan untuk kepentingan
komersial diisolasi dari Streptomyces (Lestari 2006). Contoh Streptomyces yang
dapat menghasilkan antibiotik β-laktam adalah S. griseus yang menghasilkan
sefemisin A dan B, S. lactamduran menghasilkan sefamisin C, S. alcalophilus sp nov
menghasilkan nokardisin, S. clavuligerus menghasilkan asam klavulanat, S. cattleya
menghasilkan tienamisin dan S. olivarus ATCC 21379 yang menghasilkan asam
olivanat (Elander dan Aoki dalam Morin dan Gorman 1982).
11

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat


Penelitian dilakukan di laboratorium Mikrobiologi FMIPA IPB Dramaga
Bogor, mulai bulan Juni 2008 sampai bulan Pebruari 2009.

Bahan
Bahan yang digunakan adalah isolat indigenous Streptomyces lavendulae
IVNF1-1 koleksi Dr. Ir. Yulin Lestari dan bakteri target Enteropathogenic
Escherichia coli (EPEC) K1-1 resisten ampisilin koleksi Dr. dr. Sri Budiarti.

Metode
Peremajaan Bakteri.
EPEC K1-1 diremajakan pada media Nutrient Agar (NA) yang mengandung
100 μg/ml ampisilin selama 24 jam pada suhu 37oC. Koloni tunggal EPEC K1-1 dari
media NA diinokulasikan ke dalam media Nutrient Broth (NB) yang mengandung
100 μg/ml ampisilin. Biakan ditumbuhkan pada suhu 37oC dengan kecepatan
pengocokan 100 rpm selama kurang lebih 2 jam untuk mendapatkan jumlah sel 108
sel/ml.
Isolat S. lavendulae IVNF1-1 diremajakan pada media Yeast Malt Broth
(YMB) pada suhu ruang dengan kecepatan pengocokan 100 rpm. Inkubasi dilakukan
7-10 hari atau hingga sel tumbuh dengan baik untuk kemudian ditumbuhkan ulang
(digores) pada media Yeast Malt Agar (YMA) dengan inkubasi selama 7-10 hari
pada suhu ruang.

Produksi Senyawa Anti β-laktamase.


Isolat S. lavendulae IVNF-1 ditumbuhkan pada media cair International
Streptomyces Project (ISP)-4, pH 7 pada suhu ruang, dikocok dengan kecepatan 100
rpm. Biakan diinkubasi selama 10 hari kemudian dilakukan panen filtrat kultur yang
mengandung senyawa anti β-laktamase. Biakan disentrifugasi pada 16.342 g
(Sorvall Super T21, USA), 4oC selama 10 menit, kemudian disaring dengan
menggunakan kertas saring Whatman untuk memisahkan pelet dan supernatannya.
12

Supernatan yang dihasilkan mengandung ekstrak kasar anti β-laktamase. Ekstrak


kasar yang mengandung anti β-laktamase ini digunakan dalam pengendapan protein
yang mengandung BLIP dan ekstraksi asam klavulanat.

Pengendapan Protein dengan Aseton


Pengendapan protein yang mengandung BLIP dilakukan dengan memasukkan
aseton 70% ke dalam filtrat kultur isolat IVNF1-1 sambil diaduk perlahan-lahan
dalam kondisi dingin selama 10-15 menit. Selanjutnya campuran tersebut
disentrifugasi pada kecepatan 16.342 g (Sorvall Super T21, USA) selama 15 menit
pada suhu 4oC. Supernatan yang dihasilkan dibuang dan pelet diresuspensikan
kembali ke dalam buffer fosfat (Bollag & Edelstein 1991).

Ekstraksi Asam Klavulanat.


Asam klavulanat diekstraksi dari filtrat kultur IVNF1-1 dalam bentuk garam
karboksilat dengan metode United States Patent 4140764 (Ruddick 2004). Sebanyak
1 liter filtrat kultur bakteri IVNF1-1 didinginkan hingga 5oC. Filtrat dingin tersebut
kemudian ditambah 0.33 liter n-butanol sambil diaduk selama 15 menit, kemudian
ditambah H2SO4 25% hingga pH 2 dan diaduk kembali selama 15 menit. Hasil yang
diperoleh berupa fase n-butanol dan fase air. Fase air dibuang dan fase n-butanol
ditambah 0.5% GSX karbon diaduk selama 15 menit kemudian disaring dengan
diatomaceous earth hingga dihasilkan fraksi n-butanol. Fraksi n-butanol tersebut
ditambah 0.25 bagian air deion dan NaOH 20% hingga pH 7 sambil terus diaduk.
Suspensi tersebut disentrifugasi pada kecepatan 16.342 g (Sorvall Super T21, USA)
hingga didapatkan dua fase, yaitu fase n-butanol yang kemudian dibuang dan fase air
yang dikeringbekukan sehingga menghasilkan sekitas 290 mg asam klavulanat.
Hasilnya disimpan pada suhu -20oC.

Uji Antagonis Ekstrak Kasar, BLIP, dan Asam Klavulanat terhadap


Pertumbuhan EPEC K1-1 dengan Metode Kirby-Bauer
Pengujian dilakukan untuk mengetahui aktivitas ekstrak kasar, BLIP dan asam
klavulanat terhadap EPEC K1-1. Media NB semisolid yang mengandung ampisilin
100 μg/ml ditambah 100 μl biakan bakteri target EPEC K1-1 dengan konsentrasi
13

minimal 106 sel/ml dituangkan ke dalam media NA padat (cawan overlay). Kertas
cakram berdiameter 8 mm (Advantec, Japan) diletakkan diatas media. Ektrak kasar,
BLIP dan asam klavulanat diteteskan masing-masing sebanyak 15 μl ke atas cakram
kertas tersebut. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37oC dan diukur zona
bening yang terbentuk.

Pengujian Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bakterisida Minimal


(KBM)
BLIP dan asam klavulanat pada beberapa konsentrasi (Tabel 1 dan 2) diuji
antagonis dengan EPEC K1-1. Koloni tunggal EPEC K1-1 diinokulasikan pada
media NB yang mengandung 100 μg/ml ampisilin. Inkubasi dilakukan selama 2-4
jam dengan pengocokan 100 rpm. Inokulum EPEC K1-1 sebanyak 0.1% dalam
media NB yang mengandung 106 sel/ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang
masing-masing berisi 5 ml NB yang mengandung 100 μg/ml ampisilin kemudian
ditambahkan BLIP dan asam klavulanat dengan konsentrasi yang terdapat pada
Tabel 1 dan 2. Kontrol dibuat dengan tidak mencampurkan BLIP atau asam
klavulanat. Biakan yang telah diberi perlakuan diinkubasi selama 12-14 jam pada
suhu 37oC dan diukur absorbansinya pada panjang gelombang 620 nm. Pencawanan
dilakukan dengan mengambil 0.1 ml kultur dan disebar pada media NA yang
mengandung 100 μg/ml ampisilin. Inkubasi dilakukan selama 24 jam pada suhu 37oC
dan dihitung koloni yang tumbuh. Konsentrasi terendah dengan jumlah koloni EPEC
K1-1 tumbuh paling sedikit disebut Kadar Hambat Minimal (KHM). Sedangkan
konsentrasi terendah yang menunjukkan tidak ada pertumbuhan koloni EPEC K1-1
disebut dengan Kadar Bakterisida Minimal (KBM). Indeks Kadar Hambat Fraksi
(IKHF) untuk perlakuan kombinasi BLIP dan asam klavulanat dihitung dengan
rumus menurut Sung dan Lee (2008) sebagai berikut:

IKHF = KHMklavulanat kombinasi + KHMBLIP kombinasi


KHMklavulanat KHMBLIP
Keterangan:
IKHF < 0,5 = sinergisme
0.5 ≤ IKHF ≤ 0.75 = sinergi sebagian
0.76 ≤ IKHF ≤ 1 = efek aditif
1 ≤ IKHF ≤ 4 = tidak saling pengaruh
IKHF > 4 = antagonisme
14

Tabel 1 Konsentrasi BLIP dan klavulanat yang diuji


BLIP
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500
(ppm)
Asam
Klavulanat 0 250 500 750 1000 1250 1500 1750 2000 - -
(ppm)

Tabel 2 Konsentrasi kombinasi BLIP dan asam klavulanat yang diuji

Asam Klavulanat (ppm) BLIP (ppm)


100 50 100 150 200 250 300 350 400
200 50 100 150 200 250 300 350 400
300 50 100 150 200 250 300 350 400
400 50 100 150 200 250 300 350 400
500 50 100 150 200 250 300 350 400

Pengujian Kinetika Waktu Kematian Sel EPEC K1-1


Konsentrasi KBM BLIP dan asam klavulanat yang didapat diuji untuk
mengetahui kinetika waktu kematian sel EPEC K1-1. Sel EPEC K1-1 ditumbuhkan
sampai mencapai jumlah sel 106/ml pada media NB yang mengandung ampisilin 100
μg/ml. Sebanyak 0.1% inokulum EPEC K1-1 dalam media NB, konsentrasi 106
sel/ml dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang berisi 5 ml NB yang mengandung
100 μg/ml ampisilin. Pada tabung tersebut ditambahkan konsentrasi KBM baik asam
klavulanat maupun BLIP dan diinkubasi pada suhu 37oC. Pencawanan pada media
NA yang mengandung 100 μg/ml ampisilin dilakukan pada jam ke-1, ke-2, ke-3 dan
jam ke-12 dan dilakukan pengenceran serial dengan garam fisiologis (NaCl 0.85%)
sampai pengenceran 10-5. Hasil pencawanan diinkubasi selama 24 jam pada suhu
37oC dan dihitung jumlah koloni yang tumbuh.

Pengukuran Aktivitas Enzim β-laktamase


Aktivitas β-laktamase diukur dengan menggunakan metode Sawai et al (1978).
Sebanyak 1.25 ml β-laktamase EPEC K1-1 di dalam 1.25 ml buffer Na2HPO4-
KH2PO4 0.1 M (pH 7) ditambahkan 0.5 ml benzilpenisilin (Sigma) 0.10 mg/ml dan
diinkubasi pada suhu 30oC selama 5 menit. Untuk menghentikan reaksi enzimatis,
ditambahkan reagen iodin dan diinkubasi pada suhu ruang selama 10 menit.
Kemudian dilakukan pengukuran absorbansi pada 540 nm. Pengukuran juga
15

dilakukan terhadap 2 blanko pada 540 nm, yaitu blankoA yang merupakan campuran
3 ml buffer fosfat dan 5 ml reagen iodin dan blanko B yang terdiri dari 0.5 ml
benzilpenisilin yang kemudian ditambahkan 2.5 ml enzim buffer fosfat setelah
penambahan reagen iodin. Aktivitas β-laktamase dihitung menggunakan rumus
berikut:
Aktivitas β-laktamase = B-S x 40 x 1 x 1
(U/ml) A F T V
Keterangan:
B = Blanko B
A = Blanko A
S = Sampel
F = Iodin yang dihidrolisis per mol substrat yang dihidrolisis
T = Waktu (menit) untuk reaksi enzimatis
V = Volume (ml) enzim yang ditambahkan

Satu unit aktivitas β-laktamase didefinisikan sebagai sejumlah enzim yang


mengkatalisis hidrolisis 1 μmol benzilpenisilin per menit pada suhu 30oC pada pH 7
(Sawai et al. 1978).

Pengukuran Aktivitas Anti β-laktamase


Pengukuran dilakukan dengan menggunakan metode iodometri yang telah
dimodifikasi pada perbandingan konsentrasi anti β-laktamase yang termasuk KHM
dan KBM. Aktivitas penghambatan β-laktamase diukur dengan menggunakan
rumus:
Prosentase penghambatan = A - B X 100%
A

A = Aktivitas β-laktamase tanpa penghambatan


B = Aktivitas β-laktamase dengan penghambatan
16

HASIL DAN PEMBAHASAN

Peremajaan Bakteri Target


Isolat EPEC K1-1 memiliki pertumbuhan yang sangat cepat. Pada jam ke-3
isolat ini sudah mencapai jumlah sekitar 108 sel/ml (OD 0.32, λ 620 nm). EPEC K1-1
resisten terhadap ampisilin karena mampu tumbuh pada media NB yang mengandung
ampisilin 100 μg/ml. Menurut Akmal (1993) KHM dari ampisilin terhadap E. coli
adalah 8 μg/ml.
Peremajaan S. lavendulae IVNF1-1 pada media YMA membutuhkan waktu 7
hari untuk berspora penuh membentuk koloni berwarna merah muda. Pada awal
pertumbuhannya isolat ini membentuk miselia berwarna putih kemudian akan berubah
menjadi merah muda setelah menghasilkan spora.

Aktivitas Penghambatan Sel Streptomyces lavendulae IVNF1-1 terhadap


Pertumbuhan EPEC K1-1
Kemampuan penghambatan sel S. lavendulae IVNF1-1 terhadap EPEC K1-1
dipengaruhi oleh umur biakan (Tabel 3). Uji antagonis sel S. lavendulae IVNF1-1
terhadap pertumbuhan EPEC K1-1 menunjukkan bahwa zona bening terbesar
dihasilkan oleh biakan S. lavendulae IVNF1-1 yang berumur 7 hari di media YMA.
Senyawa anti β-laktamase diproduksi menggunakan inokulan S. lavendulae IVNF1-1
yang berumur 7 hari sebanyak 1 bulatan koloni berdiameter 8 mm setiap 25 ml media..

Tabel 3 Aktivitas sel S. lavendulae IVNF1-1 terhadap pertumbuhan EPEC K1-1


Umur S. lavendulae IVNF1-1 (hari) Rata-rata diameter zona bening (mm)
7 8 mm
10 3.5 mm
14 0

S. lavendulae IVNF1-1 yang digunakan sebagai inokulan produksi senyawa anti


β-laktamase pada media ISP-4 yang paling baik adalah pada umur 7 hari karena pada
umur tersebut spora terbentuk penuh sehingga jika digunakan untuk inokulan pada
media produksi cepat berkembang biak. Pada umur 10 hari dan 14 hari, kemungkinan
17

sporanya sudah terlalu tua sehingga pada saat ditumbuhkan pada media baru tidak
dapat berkembang biak dengan cepat.
Aktivitas filtrat kultur terbesar diperoleh pada hari ke-10 yaitu menghambat sel
EPEC K1-1 sebesar 8 mm dengan berat kering sel S. lavendulae IVNF1-1 sebesar 4.3
mg/ml. Pada hari ke-5 aktivitas hambatan terhadap EPEC K1-1 terendah sebesar 4
mm dengan berat kering sel S. lavendulae IVNF1-1 sebesar 7.6 mg/ml. Aktivitas
hambatan terhadap EPEC K1-1 pada umur produksi hari ke 15 yaitu sebesar 5.2 mm
dengan berat kering S. lavendulae IVNF1-1 sebesar 6.2 mg/ml (Gambar 3) .
10 9
9 8
Diameter zona bening (mm)

S. lavendulae IVNF1-1
8 7
7

Berat kering sel


6
6

(mg/ml)
5
5
4
4
3
3
2 2
1 1
0 0
5 10 15
Waktu produksi (hari)

Gambar 3 Hubungan antara berat kering dan aktivitas S. lavendulae IVNF1-1 pada
umur produksi yang berbeda pada media ISP-4, berat kering sel,
diameter zona bening.

Isolat IVNF1-1 dapat menghasilkan senyawa anti β-laktamase dan dapat dilihat
melalui pengukuran diameter zona bening pada uji antagonis dengan EPEC K1-1. Uji
ini mengukur besarnya aktivitas senyawa anti β-laktamase secara kualitatif. Dari hasil
penelitian diketahui waktu optimum untuk produksi senyawa anti β-laktamase pada
media ISP 4 adalah 10 hari, lebih lama dari hasil optimasi yang dilakukan Fadhilah
(2007) yang menyebutkan waktu optimum untuk produksi senyawa anti β-laktamase
pada hari ke 5. Hal ini mungkin disebabkan oleh lamanya isolat tersebut tersimpan
dalam suhu 100C yang memungkinkan terjadinya perubahan fisiologis dari isolat
tersebut. Keadaan ini memerlukan kajian optimasi pada beberapa media yang lebih
baik lagi.
Aktivitas senyawa anti β-laktamase pada hari ke-15 menurun mungkin
disebabkan adanya proses penguraian senyawa anti β-laktamase yang terdapat dalam
filtrat kultur. Senyawa anti β-laktamase yang terdapat dalam filtrat kultur berupa
18

senyawa protein dan senyawa non protein. Senyawa anti β-laktamase yang berupa
protein ada kemungkinan terdegradasi oleh enzim protease yang dihasilkan oleh S.
lavendulae IVNF1-1 sehingga aktivitasnya lebih rendah bila dibandingkan filtrat
kultur yang berumur 10 hari.
Berat kering sel terbanyak tercapai pada hari ke-5, sedangkan berat kering sel
terendah tercapai pada hari ke-10. Hal ini menunjukkan produksi senyawa metabolit
sekunder pada S. lavendulae IVNF1-1 terjadi pada fase stasioner. Berat kering sel
pada hari ke-10 lebih rendah bila dibandingkan hari ke-5 dan hari ke-15 menunjukkan
sel di dalam kultur sudah tidak berkembang biak lagi. Berat kering sel pada fase
stasioner bakteri umumnya konstan, tetapi pada penelitian ini menurun dan pada hari
ke-15 naik lagi mungkin disebabkan jumlah sel S. lavendulae IVNF1-1 yang
dimasukkan sebagai inokulan tidak sama.
Produksi senyawa metabolit sekunder pada S. lavendulae IVNF1-1 terjadi pada
fase stasioner karena pada fase itu sel mulai kekurangan nutrisi dan udara sehingga sel
menghasilkan metabolit sekunder untuk mempertahankan hidupnya. Ogawara (1981)
menyatakan bahwa senyawa anti β-laktamase merupakan metabolit sekunder yang
dihasilkan pada akhir fase eksponensial yang berfungsi untuk menghambat organisme
lain dalam memperebutkan nutrisi yang sudah kritis.

Kandungan Protein dan Asam Klavulanat dalam Filtrat Kultur S. lavendulae


IVNF1-1
Setiap ml larutan protein yang mengandung BLIP dalam buffer fosfat
mengandung 1.05 mg protein. BLIP ini selanjutnya digunakan untuk uji antagonis
dengan EPEC K1-1. Setiap ml fase air asam klavulanat mengandung 1.5 mg asam
klavulanat. Fase air asam klavulanat selanjutnya digunakan uji antagonis dengan
EPEC K1-1.
Keberadaan asam klavulanat dan BLIP telah dikarakterisasi oleh Wahyuni
(2006). Adanya zona merah tua pada pelat KLT, zona bening ekstrak asam klavulanat,
dan puncak serapan spektrum FTIR menunjukkan bahwa filtrat kultur IVNF 1-1
mengandung asam klavulanat sebagai senyawa anti β-laktamase. Sedangkan analisis
komposisi asam amino dalam BLIP dengan HPLC menunjukkan kadar aspartat
sebesar 0.67% (b/b) dan fenilalanin sebesar 0.26% (b/b). Menurut Kang et al. (2000)
19

aktivitas hambatan protein anti β-laktamase disebabkan oleh keberadaan asam amino
aspartat-49 dan fenilalanin-142. Kedua asam amino tersebut berinteraksi dengan serin-
70 (gugus aktif β-laktamase) dan merusak gugus aktif enzim.

Uji Antagonis Ekstrak Kasar, BLIP, dan Asam Klavulanat terhadap EPEC K1-1
Zona bening yang dihasilkan oleh ekstrak kasar rata-rata 8 mm, BLIP (15 μl
mengandung 15.75 ppm) rata-rata 5.5 mm, sedangkan zona bening yang dihasilkan
oleh asam klavulanat (15 μl mengandung 22.5 ppm) rata-rata adalah 4.75 mm
(Gambar 4).

1 2 3

Gambar 4 Perbandingan zona bening dari ekstrak kasar (1), BLIP (2) dan asam
klavulanat) (3).

Ekstrak kasar menghasilkan zona bening terbesar, diikuti dengan BLIP dan asam
klavulanat. Hal ini disebabkan ekstrak kasar masih mengandung campuran senyawa
anti β-laktamase, nutrisi dan kemungkinan beragam senyawa metabolit lain yang
dapat menghambat pertumbuhan EPEC K1-1, sedangkan BLIP dan asam klavulanat
sudah dipisahkan dari senyawa-senyawa yang ada pada ekstrak kasar. S. clavuligerus
memiliki kemampuan menghasilkan senyawa β-laktam baik berupa antibiotik,
antifungal, β-laktamase dan anti β-laktamase (Ogawara 1981). Paradkar et al. (2001)
melaporkan bahwa S. clavuligerus merupakan aktinomiset yang dapat menghasilkan
berbagai macam antibiotik β-laktam seperti isopenisilin N, desasetoksisephalosporin
C, cephamisin C yang dihasilkan dari jalur cephamisin C dan asam klavulanat. Filtrat
kultur S. lavendulae IVNF1-1 yang digunakan pada penelitian ini mengandung asam
klavulanat, BLIP, dan kemungkinan senyawa antimikrob yang lain sehingga hasil uji
20

ekstrak kasar filtrat kulturnya menghasilkan hambatan lebih besar terhadap EPEC
K1-1 daripada BLIP atau asam klavulanat saja.

Kadar Hambat Minimal (KHM) dan Kadar Bakterisida Minimal (KBM)


Hasil uji antagonis BLIP pada konsentrasi uji (Tabel 1) dengan EPEC dalam
medium NB yang mengandung ampisilin 100 μg/ml diinkubasi selama 12 jam
kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
620 nm.

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Gambar 5 Hasil uji BLIP terhadap pertumbuhan EPEC K1-1 dalam medium NB yang
mengandung ampisilin 100 μg/ml selama 12 jam, EPEC K1-1 tanpa BLIP
(1), penambahan BLIP 50 ppm (2), 100 ppm (3), 150 ppm (4), 200 ppm
(5), 250 ppm (6), 300 ppm (7), 350 ppm (8), 400 ppm (9).

Secara visual semua tabung yang ditambah BLIP tampak bening kecuali pada
penambahan BLIP 50 ppm (Gambar 5). Hasil pengukuran absorbansi (620 nm)
dengan spektrofotometer menunjukkan angka 0 namun demikian setelah dilakukan
pencawanan ternyata masih banyak koloni EPEC K1-1 yang mampu tumbuh (Gambar
6).
Penambahan BLIP sebanyak 50 sampai 250 ppm pada kultur EPEC K1-1
setelah dicawankan menunjukkan jumlah koloni yang tumbuh lebih dari 300. Pada
penambahan BLIP 300 ppm jumlah koloni yang tumbuh rata-rata sebanyak 96 atau
960 sel/ml, sedangkan pada penambahan BLIP 350 ppm jumlah koloni yang tumbuh
sebanyak 56 koloni atau 560 sel/ml. Nilai KHM dari BLIP adalah 350 ppm karena
pada konsentrasi itu koloni yang tumbuh rata-rata sebanyak 56 koloni atau sekitar 5.6
x 102 sel/ml dan merupakan jumlah koloni terendah yang tumbuh (Gambar 7).
21

1 2 3 4

5 6 7 8
Gambar 6 Hasil pencawanan pada penambahan BLIP 50 ppm (1) 100 ppm (2), 150
ppm (3), 200 ppm (4), 250 ppm (5), 300 ppm (6), 350 ppm (7), 400 ppm
(8).

4 0.16
3.5 0.14
3 0.12 Log jumlah sel
OD (620 nm)

2.5 0.1
2 0.08
1.5 0.06
1 0.04
0.5 0.02
0 0
0

0
0

0
0
0

0
0
0
50
0

10

15
20

25
30
35

40
45
50

Konsentrasi BLIP (ppm)

Gambar 7 Perbandingan jumlah sel EPEC K1-1 (log sel/ml) dari hasil pencawanan
dan absorbansi (OD) setelah penambahan BLIP, Jumlah koloni,
absorbansi.

Penambahan asam klavulanat pada konsentrasi 250 ppm sampai 2000 ppm pada
EPEC K1-1 dalam medium NB yang mengandung ampisilin 100 μg/ml secara visual
juga tampak bening semua (Gambar 8). Hasil pengukuran absorbansi (620 nm)
dengan spektrofotometer menunjukkan angka 0 namun demikian setelah dilakukan
pencawanan ternyata masih banyak koloni EPEC K1-1 yang mampu tumbuh (Gambar
9).
22

1 2 3 4 5 6 7

Gambar 8 Hasil uji asam klavulanat terhadap pertumbuhan EPEC K1-1 dalam
medium NB yang mengandung ampisilin 100 μg/ml selama 12 jam, EPEC
K1-1 tanpa asam klavulanat (1), penambahan asam klavulanat 250 ppm (2),
500 ppm (3), 750 ppm (4), 1000 ppm (5), 1250 ppm (6), 1500 ppm (7).

KHM asam klavulanat adalah 750 ppm karena pada konsentrasi tersebut koloni
yang tumbuh rata-rata sebanyak 11 koloni atau sekitar 1.1 x 102 sel/ml, sedangkan
konsentrasi asam klavulanat terendah yang tidak ada pertumbuhan koloni EPEC K1-1
sama sekali (KBM) adalah pada penambahan asam klavulanat 1000 ppm.

1 2 3 4
Gambar 9 Hasil pencawanan pada penambahan asam klavulanat 250 ppm (1), 500
ppm (2), 750 ppm (3), 1000 ppm (4).

Nilai KBM dari BLIP adalah 400 ppm sedangkan KBM dari asam klavulanat
adalah 1000 ppm karena pada konsentrasi itu tidak ada koloni sel EPEC K1-1 yang
tumbuh setelah pencawanan (Gambar 10). Perbandingan nilai KHM dan KBM BLIP
adalah: 400/350= 1.143, berarti BLIP bersifat bakterisida. Perbandingan KHM dan
KBM asam klavulanat adalah : 1000/750 = 1.333, yang menunjukkan bahwa asam
klavulanat juga bersifat bersifat bakterisida. Konsentrasi BLIP mematikan sel EPEC
23

K1-1 lebih rendah daripada asam klavulanat, maka dapat dikatakan BLIP lebih kuat
daya membunuhnya daripada asam klavulanat.

4 0. 16
3.5 0. 14
3 0. 12

Log jumlah sel


OD (620 nm)

0.1
2.5
0.08
2
0.06
1.5
0.04
1 0.02
0.5 0
0 -0.02
00

50

00

50

00
0

0
0
25

50

75
10

12

15

17

20
Konsentrasi asam klavulanat (ppm)

Gambar 10 Perbandingan jumlah sel EPEC K1-1 (log sel/ml) antara hasil pencawanan
dan absorbansi (OD) setelah penambahan asam klavulanat, jumlah
koloni, absorbansi.

Asam klavulanat dan BLIP bekerja menghambat enzim β-laktamase dan


menyebabkan enzim tersebut tidak menginaktifkan ampisilin sehingga ampisilin dapat
mengganggu pembentukan lapisan peptidoglikan dinding sel EPEC K1-1. Akibatnya
pada saat membelah sel EPEC K1-1 akan lisis dan mati. Berdasarkan pengamatan
dengan mikroskop elektron payaran, sel EPEC K1-1 yang diuji dengan BLIP dan
asam klavulanat menunjukkan kerusakan dinding sel tersebut (Prakoso 2009).
Hasil uji KHM dari kombinasi BLIP dan asam klavulanat dapat dilihat dengan
peta papan catur (Tabel 4).

Tabel 4 Peta Papan Catur KHM dari Kombinasi BLIP dan Asam Klavulanat
500 62
400 184
Asam klavukanat

300 32
(ppm)

200
100
50 100 150 200 250 300 350 400
BLIP (ppm)
= sel yang hidup
= sel yang mati
24

Kombinasi BLIP dan asam klavulanat pada perbandingan 50 ppm BLIP:400


ppm asam klavulanat jumlah koloni EPEC K1-1 yang tumbuh adalah 184; 50 ppm
BLIP:500 ppm asam klavulanat jumlah koloni yang tumbuh 62 koloni dan pada
kombinasi 350 ppm BLIP:300 ppm asam klavulanat jumlah koloni EPEC K1-1 yang
tumbuh sebanyak 32 koloni. Kombinasi BLIP dan asam klavulanat yang termasuk
dalam KHM kombinasi adalah 50 ppm BLIP:500 ppm asam klavulanat dan 350 ppm
BLIP:300 ppm asam klavulanat (Tabel 5).

Tabel 5 Nilai IKHF dari BLIP dan Asam Klavulanat

Konsentrasi Konsentrasi asam IKHF Rata-rata


BLIP (ppm) klavulanat (ppm) IKHF
50 500 0.81 0.843
50 400 0.68
350 300 1.04

Rata-rata IKHF dari asam klavulanat dan BLIP adalah 0.843, berkisar antara
0.76 dan 1 maka BLIP dan asam klavulanat bersifat efek aditif (Sung dan Lee 2008).
Artinya pemakaian kombinasi BLIP dan asam klavulanat saling menguatkan
meskipun hanya sedikit namun dalam penelitian ini belum menunjukkan efek
sinergistik. Jadi pemakaian kombinasi BLIP dan asam klavulanat dapat dilakukan
karena tidak bersifat antagonistik.

Tabel 6 KBM kombinasi BLIP dan asam klavulanat

500
400
300
200
100
50 100 150 200 250 300 350 400

= sel yang hidup


= sel yang mati

Kombinasi BLIP dan asam klavulanat 100 sampai 350 ppm BLIP:400 sampai
500 ppm asam klavulanat, 400 ppm BLIP:100 sampai 500 ppm asam klavulanat
25

menunjukkan tidak ada pertumbuhan EPEC K1-1 sama sekali (Tabel 6). KBM dari
kombinasi BLIP:asam klavulanat adalah 100 ppm BLIP:400 ppm asam klavulanat dan
400 ppm BLIP:100 ppm asam klavulanat.
Jika dilihat dari motilitasnya, ternyata sampai konsentrasi KHM BLIP maupun
asam klavulanat sel EPEC K1-1 masih bersifat motil (Gambar 11). BLIP dan asam
klavulanat bekerja menghambat sintesis peptidoglikan dari dinding sel bakteri,
sedangkan flagela E.coli disintesis dan terletak pada membran sitoplasma (Madigan et
al. 2006), sehingga penambahan BLIP dan asam klavulanat tidak mempengaruhi
motilitas dari bakteri ini.

1 2 3 4 5

Gambar 11 Uji motilitas EPEC K1-1 pada media NA semisolid, EPEC tanpa BLIP
dan asam klavulanat (1), penambahan BLIP 350 ppm (2), asam
klavulanat 750 ppm (3), kombinasi 350 ppm BLIP + 400 ppm asam
klavulanat (4), bakteri non motil (5).

Kinetika Waktu Kematian Sel EPEC K1-1


6

5
Log Jumlah sel EPECK1-1

0
0 1 2 3 4 12
Wak tu (jam )

Gambar 12 Kinetika waktu kematian sel EPEC K1-1, 400 BLIP, 100
BLIP:400 asam klavulanat, 350 BLIP:400 asam klavulanat,
1000 asam klavulanat.
26

Setelah dicawankan pada jam ke-0 sampai jam ke-12 diketahui bahwa
penambahan BLIP (400 ppm) pada konsentrasi KBM dapat mematikan sel target
EPEC K1-1 setelah inkubasi 1 jam, sedangkan penambahan asam klavulanat pada
konsentrasi KBM (1000 ppm) mematikan target setelah inkubasi 12 jam. Kombinasi
BLIP:asam klavulanat 100 ppm:400 ppm mematikan sel target setelah inkubasi 2 jam
dan kombinasi 100 ppm:400 ppm dapat mematikan sel tersebut setelah inkubasi 12
jam (Gambar 12).
Hasil kinetika waktu kematian sel EPEC K1-1, menunjukkan bahwa BLIP dapat
mematikan sel EPEC K1-1 lebih cepat daripada asam klavulanat. Jika dilihat dari
konsentrasi KBM dan waktu untuk mematikan sel EPEC K1-1, BLIP memiliki
kemampuan penghambatan lebih kuat daripada asam klavulanat. Hal ini disebabkan
asam klavulanat bekerja dengan menginaktifkan enzim β-laktamase (MacKenzie
2007) sedangkan BLIP dapat menghambat enzim β-laktamase dan PBPs sehingga
aktivitasnya menjadi lebih kuat (Brown et al. 2009).
Kombinasi BLIP dan asam klavulanat 350:400 dapat mematikan sel EPEC K1-1
lebih cepat daripada kombinasi 100:400. Hal ini disebabkan karena pada kombinasi
350:400 lebih banyak kandungan BLIP-nya bila dibandingkan pada kombinasi
100:400 dan BLIP lebih kuat daya hambatnya bila dibandingkan asam klavulanat. Ini
berarti pemakaian kombinasi BLIP dan asam klavulanat membutuhkan waktu lebih
lama untuk mematikan sel EPEC K1-1 daripada pemakaian BLIP tanpa kombinasi.
Meskipun demikian pengaruh BLIP dan asam klavulanat perlu diuji kefektifannya
secara klinis sehingga dapat diketahui kestabilan dari kedua senyawa anti β-laktamase
tersebut.

Aktivitas Enzim β-laktamase


Keberadaan enzim β-laktamase pada EPEC K1-1 telah dibuktikan oleh Wahyuni
(2006) dan Elsie (2006). Pengujian secara kualitatif ini menggunakan metode
iodometric spot test menurut Lee & Komarmy (1981). Enzim ini menginaktifkan
antibiotik β-laktam dengan cara menghidrolisis cincin β-laktam sehingga dihasilkan
produk yang inaktif, yaitu asam penisiloat.
Rata-rata aktivitas β-laktamase EPEC K1-1 pada penelitian ini sebesar 3.31 x
10-4 U/ml. Menurut Elsie (2006) aktivitas β-laktamase EPEC K1-1 sebesar 1.95 x 10-4
27

U/ml, sedangkan menurut Fadhilah (2007) aktivitas β-laktamase EPEC K1-1 sebesar
8.06 x 10-5 U/ml. Perbedaan ini mungkin disebabkan aktivitas enzim β-laktamase
EPEC K1-1 lebih kuat bila dibandingkan dengan isolat yang lama atau daya hambat
filtrat kultur dari isolat S. lavendulae IVNF1-1 lebih rendah karena terjadi perubahan
fisiologis dari isolat tersebut. Hasil ini menunjukkan bahwa EPEC K1-1 memiliki
mekanisme resistensi terhadap antibiotik β-laktam melalui pembentukan β-laktamase.

Aktivitas Asam Klavulanat dan BLIP dalam Menghambat β-laktamase

60
Prosentase hambatan terhadap β-

50

40
laktamase

30

20

10

0
250 300 350 400 450 500 750 1000
Konsentrasi (ppm)

Gambar 13 Perbandingan prosentase penghambatan BLIP dan asam klavulanat


terhadap β-laktamase, BLIP, asam klavulanat.

BLIP menghambat β-laktamase lebih kuat bila dibandingkan asam klavulanat


(Gambar 13). Ini bersifat kontradiktif dengan data BLIP lebih kuat dalam
menghambat sel EPEC K1-1. Hasil uji anti β-laktamase yang menunjukkan bahwa
aktivitas penghambatan BLIP lebih rendah daripada asam klavulanat menunjukkan
bahwa BLIP bekerja tidak hanya menghambat enzim β-laktamase, tetapi mungkin
disebabkan juga menghambat enzim PBPs untuk mematikan EPEC K1-1 (Brown et al.
2009). Dari hasil ini diperlukan penelitian lanjutan tentang pengaruh BLIP dan asam
klavulanat terhadap EPEC K1-1 secara in vivo untuk mengetahui keamanan dan
kestabilan kedua senyawa anti β-laktamase tersebut.
Aktivitas spesifik dari asam klavulanat lebih besar bila dibandingkan dengan
BLIP. Bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyuni (2006)
aktivitas spesifik BLIP lebih besar yaitu sebesar 130.19 %/mg dengan kandungan
protein sebesar 0.65 mg ml. Pada penelitian ini aktivitas spesifik dari BLIP sebesar
53.33 %/ mg dengan kandungan protein sebesar 1.05 mg/ml.
28

Tabel 7 Aktivitas spesifik BLIP dan asam klavulanat ((% hambatan/ mg asam)
Aktivitas % Aktivitas
Kon- Total
% hambatan spesifik (% hambatan Total spesifik
sen- asam
aktivitas β- hambatan/ aktivitas BLIP (%
trasi klavula-
laktamase mg asam β- (mg) hambatan/
(ppm) nat (mg)
klavulanat) laktamase mg BLIP)
250 33.33 0.25 133.32 7.53 0.25 30.12
300 36.36 0.3 121.20 14.54 0.3 48.47
350 42.42 0.35 121.20 20.79 0.35 59.40
400 45.46 0.4 113.65 25.12 0.4 62.80
450 45.46 0.45 101.02 28.93 0.45 64.29
500 41.36 0.5 82.72 33.33 0.5 66.66
750 49.12 0.75 65.49 39.39 0.75 52.52
1000 49.2 1 49.20 42.42 1 42.42

Aktivitas hambatan enzim β-laktamase pada kombinasi BLIP dan asam


klavulanat lebih kecil daripada BLIP maupun asam klavulanat. Hal ini mungkin
disebabkan karena terjadi kompetisi reaksi antara BLIP dan asam klavulanat pada saat
berikatan dengan situs aktif dari enzim β-laktamase.
Penghambatan kombinasi BLIP dan asam klavulanat yang termasuk dalam
KHM lebih besar bila dibandingkan dengan KHM kombinasi (Tabel 8).

Tabel 8 Perbandingan KHM dan KBM kombinasi BLIP dan asam klavulanat tehadap
penghambatan enzim β-laktamase dari EPEC K1-1

Prosentase hambatan Prosentase hambatan


KHM KBM
enzim β-laktamase enzim β-laktamase
50:400 17.18 400:300 11.62
350:300 18.91 100:500 16.82
50:500 28.02 300:400 19.14
Rata-rata 32.055 23.79

Prosentase penghambatan enzim β-laktamase kombinasi BLIP:asam klavulanat


yang termasuk KHM lebih besar bila dibandingkan dengan KBM kombinasi.
Prosentase hambatan terbesar terdapat pada kombinasi 50 ppm BLIP:500 ppm asam
klavulanat yaitu sebesar 28.02%, sedangkan hambatan terendah pada kombinasi 400
ppm BLIP:300 ppm asam klavulanat yaitu 11.62%. Hal ini mungkin disebabkan
karena terjadi kompetisi reaksi antara BLIP dan asam klavulanat pada saat berikatan
29

dengan situs aktif dari enzim β-laktamase sehingga hambatan kombinasi BLIP dan
asam klavulanat terhadap β-laktamase tidak membentuk kecenderungan tertentu.
Kemampuan BLIP menghambat pertumbuhan sel EPEC K1-1 lebih kuat dan
lebih cepat daripada asam klavulanat maupun kombinasi dari kedua senyawa tersebut,
tetapi penghambatan BLIP terhadap enzim β-laktamase dari EPEC K1-1 lebih rendah
dari asam klavulanat. Hal ini mengindikasikan bahwa aktivitas penghambatan BLIP
terhadap EPEC K1-1 tidak hanya dengan mekanisme penghambatan terhadap β-
laktamase saja. Brown et al. (2009) menduga BLIP menghambat pertumbuhan sel
bakteri dengan mekanisme penghambatan terhadap β-laktamase dan PBPs.
Asam klavulanat merupakan antibiotik β-laktam lemah sehingga kurang
menguntungkan jika digunakan untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
Kemampuan asam klavulanat menghambat β-laktamase dimanfaatkan dengan
mengkombinasikan antibiotik β-laktam yang dapat diinaktifkan oleh β-laktamase
seperti ampisilin dan amoksisilin. KHM amoksisilin pada S. aureus 50, P. mirabilis
lebih dari 200 dan E. coli lebih dari 2000, ketika dikombinasi dengan asam klavulanat
KHM dari S. aureus menjadi 0.2, P. mirabilis 8, dan E. coli 4 (Utji et al. 2002).
Pada penelitian ini kemampuan bakterisida BLIP lebih besar daripada asam
klavulanat maupun kombinasi BLIP dan asam klavulanat, tetapi kemampuan
menghambat aktivitas β-laktamase lebih rendah daripada asam klavulanat. Penelitian
lanjutan diperlukan untuk megetahui kestabilan dan keamanan penggunaan kedua
senyawa tersebut sebagai senyawa antimikrob secara in vivo.
30

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan
EPEC K1-1 resisten ampisilin memiliki mekanisme resistensi dengan
menghasilkan enzim β-laktamase dengan aktivitas β-laktamase sebesar 3.31 x 10-4
U/ml. Streptomyces lavendulae IVNF1-1 menghasilkan senyawa anti β-laktamase
yaitu BLIP (β-lactamase Inhibitory Protein) dan asam klavulanat. Aktivitas BLIP
menghambat pertumbuhan EPEC K1-1 pada konsentrasi 350 ppm sedangkan asam
klavulanat menghambat pertumbuhan EPEC K1-1 pada konsentrasi 750 ppm.
Kombinasi BLIP dan asam klavulanat menunjukkan efek aditif. BLIP mematikan
EPEC K1-1 pada konsentrasi 400 ppm setelah inkubasi 1 jam sedangkan asam
klavulanat mematikan EPEC K1-1 pada konsentrasi 1000 ppm setelah inkubasi 12
jam. Kombinasi BLIP dan asam klavulanat mematikan EPEC K1-1 lebih lama bila
dibandingkan BLIP. Aktivitas hambatan asam klavulanat terhadap β-laktamase lebih
besar bila dibandingkan BLIP dan kombinasi BLIP dan asam klavulanat. BLIP
mematikan EPEC K1-1 lebih kuat daripada asam klavulanat mungkin disebabkan
BLIP menghambat enzim β-laktamase dan enzim PBPs, sedangkan asam klavulanat
mematikan EPEC K1-1 dengan menghambat enzim β-laktamase.

Saran
Dari hasil penelitian ini diperlukan penelitian lanjutan tentang pengaruh
konsentrasi KHM dn KBM dari BLIP maupun asam klavulanat terhadap sel EPEC
K1-1 secara in vivo (pre-klinik).
31

DAFTAR PUSTAKA

Afset JE, Bevanger L, Romundstad P, BerghK. 2004. Association of Atypical


Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC) with Prolonged Diarrhoea. J Med. Microb
53:1137–1144.
Akmal H. 1993. Pengujian Aktivitas Inhibitor β-laktamase dari Asam Klavulanat terhadap
Escherichia coli yang Telah Resisten Ampisilin. Cermin Dunia Kedokteran 84:55-59.

Bollag DM, Edelstein SJ. 1991. Protein Methods. Wiley Liss: New York.

Brown R.P, Aplin R.T, Schofield C.J. 1996. Inhibition of TEM-2 Betalactamase from
Escherichia coli by Clavulanic Acid: Observation of Intermediates by Electrospray
Ionization Mass Spectrometry. Di dalam: Mackenzie. 2007. Studies on Pathways
Biosinthesis Clavulanic Acid and Cephamycine C in Streptomyces clavuligerus.
[Doctoral thesis] Uppsala: Swedish University of Agricultural Science. hlm 23.

Brown N, Palzkill T, Jianpeng M. 2009. Residue Requirements for BLIP-II Mediated Beta-
Lactamase Inhibition. Penicillins and Cephalosporins are Among the Most
Commonly Used Antibiotics and are Classified as Beta-lactam Antibiotics.
http://cohesion.rice.edu /centersandinst/gcc /gccpi_about.cfm? doc_id=12588 [3-3-
2009].

Budiarti S, Triwahyudi A, Rachmania N. 1998. Telaah Faktor Adhesitas E. coli


Enteropatogenik Dalam penanggulangan Diare di Indonesia [laporan akhir hibah
bersaing III]. Bogor: FMIPA, IPB.

Clarke, S. C., Haigh, R. D., Freestone, P. P. & Williams, P. H. (2002). Enteropathogenic


Escherichia coli Infection: History and Clinical Aspects. Br J Biomed Sci 59:123–127.

Cravioto, A. R., J. Gross, S. M. Scotland, B. Rowe. 1979. An Adhesive Factor Found in


Strains of E. coli Belonging to the Traditional Infantile Enteropathogenic Serotypes. J
Curr. Microbiol 3:95-99.

Crueger W, Crueger A. 1984. Biotechnology A Textbook of Industrial Microbiology. USA :


Science Tech, Inc.

Desriani, 2004. Penapisan Isolat Streptomyces spp. Penghasil Protein Penghambat β-


laktamase. Hayati 11 (3):88-92.

Doran JL, Leskiw BK, Aippersbach S, Jensen SE, 1990. Isolation and Characterization of
β-laktamase-inhibitory Protein from Streptomyces clavuligerus€ and Cloning and
Analysis of The Corresponding gene. J Bacteriol 172(9):4909-4918.

Echeverria, P., D. N. Taylor, J. Seriwatana, C. Moe. 1987. Comparative Study of Synthetic


Oligonucleotide and Cloned Polynucleotide Gene Probes to Identify Enterotoxigenic
Escherichia coli. J Clin. Microbiol 25:106-109.
32

Fadhilah AM, 2007. Optimasi Produksi Senyawa Anti β-laktamase dari Streptomyces sp.
IVNF1-1 Penghambat Pertumbuhan Bakteri Penyebab Diare EPEC K1-1 [Skripsi],
Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Elander, Aoki. 1982. Klavulanat. Di dalam: Morin Robert B dan Marvin Gorman. 1982.
Kimia dan Biologi Antibiotik β-laktam. Vol 3 Biokim, Mulyani S, penerjemah;
Yogyakarta: UGM Press. Terjemahan dari Chemistry and Biology of Antibiotic β-
lactam.

Elsie. 2006. Aktivitas Protein Penghambat β-laktamase dari Streptomyces sp. IVNF1-1
terhadap Escherichia coli Enteropatogen K1-1 [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.

Georgepapadakau Penicillin Binding Protein and Bacterial Resistance to β-lactam. NH,


1993. J Antimicrob. Agent Chem 37:2045-2053.

Goosney DL, Knoechel DG, Finlay BB. 1999. Synopsis Enteropathogenic E. coli,
Salmonella, and Shigella: Masters of Host Cell Cytoskeletal Exploitation. Emerging
Infectius Diseases 5 (2): www.cdc.gov/ncidod/eid/vol5no2/goosneyG.htm.

Kang SG, Park HU, Lee HS, Kim HT, Lee KJ, 2000. New β-lactamase Inhibitory Protein
(BLIP 1) from Streptomyces exfoliatus SMF 19 and Its Roles on The Morphological
Differentiation. J Biol Chem 275(22):16851-16856.

Kenny B et al. 1997. Enteropathogenic E. coli (EPEC) Transfers its Receptor for Intimate
Adherence into Mammalian Cells. Cell 91: 511-520.

Kim MK, Lee KY, 1994. Characteristics of β-lactamase-inhibiting Protein from


Streptomyces exfoliatus SMF 19. J Appl Environ Micobiol. 60(3):1029-1032.

Knutton S et al. 1998. A novel EspA-associated Surface Organelle of Enteropathogenic


Escherichia coli Involved in Protein Translocation into Epithelial Cells. EMBO J 17:
2166-2176.

Lee WS, Komarmy L. 1981. Iodometric Spot Test for Detection of Beta-lactamase in
Haemophilusinfluenza. J. Clin Microbiol 13:224-225.

Lestari Y. 2006. Short Communication Identification of Indigenous Streptomyces spp.


Producing Antibacterial Compounds, J Mikrobiol Indones vol II (92):99-101.

Lim D, Park HU, Castro LD, Kang SG, Lee HS, Jensen S, Lee KJ, Strynadka. 2001.
Crystal Structure and kinetic analysis of β-lactamase inhibitor protein-II in complex
with TEM-1 β-lactamase. Natural Publishing Group. http://Structbio.nature.com.
33

Livermore, DM. 1995. β-laktamase in Laboratory and Clinical Resistence. Clinical


Microbial Review 8(4):557-584.

Mackenzie AK. 2007. Studies on Pathways Biosinthesis Clavulanic Acid and Cephamycine
C in Streptomyces clavuligerus. [Doctoral thesis] Uppsala: Swedish University of
Agricultural Science.

Madigan MT, Martinko JM, Parker J. 2006. Biology of Microorganisms, New Jersey:
Prentice-Hall.

Massova I, Mobashery S. 1998. Kinship and Diversification of Bacterial Penicillin-binding


Proteins and Beta-lactamases. Di dalam: Mackenzie. 2007. Studies on Pathways
Biosinthesis Clavulanic Acid and Cephamycine C in Streptomyces clavuligerus.
[Doctoral thesis] Uppsala: Swedish University of Agricultural Science. hlm 20.

Mattagne A, Lamotte J, Frere JM. 1998. Catalytic Properties of A β-lactamases: Efficiency


and Diversity. J Biochem 330:581-598.

Medical News Today. 2006. Two Killers, EPEC And Shigella, Being Targeted In Pilot
Study. http://www.medicalnewstoday.com/articles/51765.php [17 Desember 2008].

Nataro JP, Kaper JB, 1998. Diarheagenic Escherichia coli, Clinical Microbiology Review,
11(1):142-201.

Neu HC, Gootz HC. 1993. Antimicrobial Chemotherapy General Concepts, the Crisis in
Antibiotic Resistance. Science 257:1064.

Nogrady T. 1992. Kimia Medisinal : Pendekatan secara Biokimia, Rasyid R, Musadad A,


penerjemah; Bandung: ITB. Terjemahan dari Medicinal chemistry.

Nougayre de JP, Fernandes PJ, Donnenberg MS. 2003 Adhesion of Enteropathogenic


Escherichia coli to host cells. Di dalam Afset JE, Bevanger L, Romundstad P,
BerghK. 2004. Association of Atypical Enteropathogenic Escherichia coli (EPEC)
with Prolonged Diarrhoea. J Med. Microb 53:1137–1144. hlm 1137

Ogawara H, Mantoku A, Shimada S, 1981. β-laktamase from Streptomyces cacaoi:


Purification and Properties, J Biological Chemistry 256(6):2649-2655.

Padayatti, P.S et al. 2005. High Resolution Crystal Structures of the Trans-enamine
Intermediates Formed by Sulbactam and Clavulanic Acid and E166A SHV-1 (beta)-
lactamase. Di dalam: Mackenzie. 2007. Studies on Pathways Biosinthesis Clavulanic
Acid and Cephamycine C in Streptomyces clavuligerus. [Doctoral thesis] Uppsala:
Swedish University of Agricultural Science. hlm 24.
34

Paradkar AS et al. 2001. Application of Gene Replacement Technology to Streptomyces


clavuligerus Strain Development for Clavulanic Acid Production. J Applied and
Enviromental Microbiol. 67(5):2292-2297.

Petersen PJ, Labthavikul P, Jones CH, Bradford PA. 2006. In Vitro Antibacterial Activities
of Tigecycline in Combination with Other Antimicrobial Agents Determined by
Chequerboard and Time-Kill Kinetic Analysis. J. Antimicrob chemother. 57:573-576.

Prakoso HT. 2009. Kemampuan Senyawa Anti β-laktamase Streptomyces lavendulae


IVNF1-1 Sebagai Senyawa Pendukung β-laktam Penghambat Sintesis Dinding sel
EPEC K1-1. [Skripsi], Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.

Reading C, Cole M. 1977. Clavulanic acid : A Beta-lactamase-inhibiting Beta-lactam from


Streptomyces clavuligerus. J Antimicrob Agents and Chemoter 11(5):852-857.

Ruddick S. 2004. Clavulanic Acid Extraction Process. United States Patent 4140764

Sawai T, Takashi I, Yamagishi, 1978. Iodometric Assay Method for Beta-lactamase With
Various Beta-lactam Antibiotics Substrates. J Antimicrob Agents and Chemother
13(6):901-913.

Serambi Indonesia, 2007. Diare, Pembunuh Balita Setelah ISPA. http://www.serambi-


news.com/cetak.php?aksi=cetak&beritaid=33329 [10 Januari 2009].

Schunack W, Mayer K, Haake M. 1990. Senyawa Obat: Buku pelajaran Kimia Farmasi,
Wattimena JR, Soebito S, Penerjemah; Padmawinata K ed; Yogyakarta: Gadjah mada
Press. Terjemahan dari Chemistry of Pharmaceutical.

Sung WS dan Lee DG. 2008. Mechanism of Decreased Susceptibility for Gram negative
Bacteria and Synergistic Effect with Ampicillin of Indole-3-carbinol. Biol Pharm.
Bull 31(9):1798-1801.

Sun W, Hu Y, Gong J, Zhu C, Zhu B. 2005. Identification of β-lactamase Inhibitory


Peptide Using Yeast Two Hibrid System. Biochem (Moscow) 70(7):753-760.

Thai W, Ashish S, Paradkar, Jensen S. 2001. Construction and Analysis of β-lactamase-


inhibitory protein (BLIP) non Producer mutants of Streptomyces clavuligerus. J
Microbiology 147:325-335.

Triatmodjo P. 1996. Infeksi Bakteri Enteropatogen pada Balita Penderita Diare di Jawa
Barat dan Pola Resistensinya terhadap Beberapa Antibiotik. Cermin Dunia
Kedokteran 109:13-17.
35

Utji R. Amin Z, Agoes G. 2002. Perkembangan Mutakhir Strategi Penanggulangan


Resistensi Senyawa Anti Mikroba dan Imunosains di Bidang Penyakit Tropik dan
Infeksi. Simposium Ilmiah; Malang, 19-21 Juli 2002. Malang: Perhimpunan Peneliti
Penyakit Tropik Indonesia.

Vilar M et al. 2001. Kinetic Study of Two Novel enentiomeric tricyclic β-lactams which
Efficiently Inactivate Class C β-lactamases. J Antimicrob Agent Chem 45:2215-2223.

Vree TB, Dammers E, Exler P. 2003. Identical Pattern of Highly Variable Absorption of
Clavulanic Acid from Four Different Oral Formulations of Co-amoxiclav in Healthy
Subjects. J Antimicrob and Chemother 51:373-378.

Wahyuni WT, 2006. Isolasi, Pemurnian dan Identifikasi Senyawa Anti β-laktamase dari
Streptomyces sp IVNF1-1 (Penghambat Pertumbuhan Bakteri Penyebab Diare, EPEC
K1-1) [Skripsi], Bogor: FMIPA, IPB.

Zhang Zhen, Palzkill Timothy. 2003. Determinant of Binding Affinity and Specifity for the
Interaction of TEM-1 and SME-1 β-lactamase with β-lactamase Inhibitory Protein,
J Biol. Chem 278(46):45706-45712.
36

Lampiran 1 Komposisi media peremajaan dan produksi

1. Media Yeast Malt Broth (YMB)


Jenis Bahan Jumlah (g)/l media
Glukosa 4
Ekstrak ragi 4
Ekstrak malt 10

2. Media Yeast Malt Agar (YMA)


Jenis Bahan Jumlah (g)/l media
Glukosa 4
Ekstrak ragi 4
Ekstrak malt 10
Agar 15

3. Media Nutrient Agar (NA)


Digunakan media siap pakai merek Difco

4. Media Nutrient Broth (NB)


Digunakan media siap pakai merek Difco

5. Media International Streptomyces Project (ISP) 4


Jenis bahan Jumlah (g)/l media
Soluble Starch 10
CaCO3 2
(NH4)2SO4 2
K2HPO4 1
MgSO47H2O 1
NaCl 1
FeSO47H2O 0,001
MnCl27H2O 0,001
ZnSO47H2O 0,001
37

Lampiran 2 Reagen iodin yang digunakan dalam uji aktivitas β laktamase dan aktivitas
penghambatannya

1. Buffer asetat
Sebanyak 80 gram sodium asetat anhidrous pH 4 dicukupkan volumenya dengan akuades
hingga 2 liter

2. Reagen iodin
Sebanyak 20,3 gram reagen iodin dan 100 gram potasium iodida dilarutkan dalam 500 ml
akuades. Kemudian 5 ml suspensi tersebut ditambahkan ke dalam 95 ml buffer asetat
38

Lampiran 3 Kurva standard BSA (protein)

Kurva standard protein

0.7 y = 2.4518x + 0.3511


0.6 R2 = 0.9406
Absorbansi (595 nm )

0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12
Konsentrasi BSA

You might also like