Professional Documents
Culture Documents
Ahmad Firmansyah
Ahmad Firmansyah
BPK Perwakilan Provinsi Sumatera Selatan
JL. Demang Lebar Daun No. 2, Palembang, Sumatera Selatan 30137
E-mail: ahmad.firmansyah@bpk.go.id, firman03@gmail.com
Naskah diterima tanggal 31 Agustus 2017, direvisi tanggal 27 November 2017, disetujui tanggal 15 Desember 2017
Abstract
This article aims to conduct literature review on the implementation of e-commerce in Indonesia, especially about the
problems that will be faced. The review was conducted with qualitative methods with data retrieval technique of
literature where the data obtained from the journal, news, books, and other research reports. The results showed that
the obstacles to implementation e-commerce in Indonesia is related to two aspects, they are technical constraints and
non-technology constraints. Technical issues such as the absence of standard of e-commerce quality, safety and
reliability, bandwidth issues, and web server specification, especially in dealing with network problems. The non-
technological issues such as the absence of government regulations in governing commercial transactions through e-
commerce, the perception that e-commerce is unsafe and expensive, and the attitude of businesses people who are
waiting for e-commerce condition becomes stable before participating. To anticipate those constraints, Indonesian
government could take the experience of the United States in implementing e-commerce which considers e-commerce
activities as universal, involves business actors of e-commerce in development planning, and creates rules and
incentives for small companies to grow into larger companies.
Abstrak
Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji implementasi e-commerce di Indonesia khususnya pada kendala-kendala yang
dihadapi. Kajian menggunakan pendekatan kualitatif, dengan teknik pengambilan data berupa studi literatur dari jurnal,
berita, buku, serta laporan penelitian lain yang terkait. Hasil kajian menunjukkan bahwa kendala implementasi e-
commerce di Indonesia utamanya mencakup dua hal yaitu kendala yang bersifat teknis dan kendala non teknologi.
Kendala teknis seperti belum adanya standar baku yang mengatur mengenai mutu e-commerce, keamanan dan
kehandalan sistem yang dibangun, masalah bandwidth, dan spesifikasi web server, khususnya dalam menangani
masalah jaringan. Kendala dari segi non teknologi di antaranya belum adanya peraturan pemerintah yang mengatur
mengenai transaksi perdagangan melalui e-commerce, adanya persepsi bahwa e-commerce tidak aman dan mahal, dan
sikap pelaku usaha yang menunggu kondisi e-commerce menjadi stabil sebelum ikut berpartisipasi. Untuk
mengantisipasi kendala-kendala tersebut, pemerintah Indonesia dapat mengambil pengalaman penyelenggaraan e-
commerce di negara Amerika Serikat yang melihat kegiatan e-commerce sebagai kegiatan yang bersifat universal, yang
dalam perencanaan pembangunannya mengikutsertakan pelaku-pelaku bisnis e-commerce dan membuat peraturan dan
insentif bagi perusahaan UKM sehingga dapat tumbuh menjadi perusahaan yang besar.
*
Naskah ini telah diedit kembali oleh Emyana Ruth Eritha Sirait
127
Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi
Volume: 8 No. 2 (Oktober - Desember 2017) Hal.: 127-136
128
KAJIAN KENDALA IMPLEMENTASI E-COMMERCE DI INDONESIA
Ahmad Firmansyah
129
Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi
Volume: 8 No. 2 (Oktober - Desember 2017) Hal.: 127-136
130
KAJIAN KENDALA IMPLEMENTASI E-COMMERCE DI INDONESIA
Ahmad Firmansyah
Ekonomi digital, kadang-kadang juga disebut server, khususnya untuk menangani masalah
"bisnis digital" telah menjadi filosofi bagi jaringan. Keterbatasan lain yaitu dari segi non-
banyak tim eksekutif puncak karena mereka teknologi di antaranya belum adanya peraturan
mencari keunggulan kompetitif dalam dunia pemerintah mengenai transaksi perdagangan
yang bergerak cepat dengan adanya perubahan melalui e-commerce, adanya persepsi bahwa e-
teknologi. Ketika kita berbicara tentang commerce tidak aman dan mahal, dan banyak
teknologi digital, kita tidak hanya berbicara para pembeli dan penjual yang menunggu
tentang internet, atau hanya ICT (teknologi ekosistem e-commerce menjadi stabil untuk
informasi dan komunikasi), tetapi konsep- mereka dapat berpartisipasi.
konsep lain seperti telepon selular, Peranan dan kepedulian pemerintah
telekomunikasi atau konten (Mochón, F. & menjadi hal yang mutlak untuk menunjang
Gonzalvez, J.C., 2015). Revolusi yang sangat keberhasilan kegiatan e-commerce tersebut.
besar dalam bidang bisnis adalah bagaimana Gayung bersambut, dibawah pemerintahan
terjadinya perubahan yang cukup signifikan Joko Widodo, sangat peduli akan
atas konsep pasar. perkembangan ekonomi kreatif dan melihat
Perubahan besar dan mendasar yang bidang ini sangat berpotensi besar memberikan
ditawarkan oleh e-commerce menjadikannya pertumbuhan perekonomian Indonesia
kegiatan ekonomi yang sangat potensial bagi kedepannya. Kepedulian pemerintahan saat ini
negara-negara di seluruh dunia. Dengan telah ditunjukkan dengan mulai mengejar
jangkauannya yang bersifat mengglobal, dalam ketertinggalan terkait masalah bandwidth
arti pedagang ataupun pembeli dapat berasal dengan menggelar infrastruktur pitalebar
dari seluruh dunia maka aspek-aspek (broadband), baik fixed broadband maupun
universalitas akan menjadi fondasi dasar mobile broadband, termasuk implementasi
terbentuknya kegiatan e-commerce ini. Semua teknologi generasi empat (4G). Targetnya
negara di seluruh dunia masih mempunyai cukup ambisius, sesuai dengan RPI (Rencana
peluang yang sama untuk dapat menjadi Pitalebar Indonesia), sebanyak 135 kota dan
pemain utama didalam bisnis e-commerce ini, kabupaten sudah terkoneksi pada 2019.
tinggal bagaimana negara-negara tersebut (Hidranto, 2015)
memberikan fasilitas dengan perangkat Untuk saat ini, implementasi kegiatan
infrastruktur serta aturan-aturan yang e-commerce di Indonesia mengacu kepada
menunjang terciptanya kondisi yang kondusif Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang
bagi berkembangnya kegiatan serta pelaku- Informasi dan Elektronik (UU ITE). Salah satu
pelaku e-commerce untuk terlibat didalamnya. tujuan diterbitkannya UU ITE memang untuk
Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana memberikan kepastian hukum dan
dengan kondisi kegiatan e-commerce di perlindungan bagi para pelaku sektor e-
Indonesia. commerce. Namun, Undang-Undang ini
tampaknya belum mampu mewujudkan
Kendala Impementasi E-Commerce di tujuannya tersebut.
Indonesia Ketidakmampuan dimaksud dapat
Julisar dan Eka Miranda (2013) terlihat dari tidak adanya definisi khusus untuk
menjelaskan bahwa kegiatan e-commerce di e-commerce dalam UU ITE, sebab kegiatan
Indonesia masih terdapat keterbatasan- perdagangan secara elektronik yang disebutkan
keterbatasan. Keterbatasan tersebut mencakup dalam UU ITE yaitu “transaksi elektronik”.
keterbatasan dari segi teknologi di antaranya Padahal, definisi “transaksi elektronik” yang
belum adanya suatu standar yang baku disebutkan pada Pasal 1 ayat (2) UU ITE
mengenai mutu, keamanan dan kehandalan begitu luas, yaitu perbuatan hukum yang
sistem yang dipakai dalam e-commerce, dilakukan dengan menggunakan komputer,
masalah bandwidth, dan memerlukan web jaringan komputer, dan/atau media elektronik
131
Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi
Volume: 8 No. 2 (Oktober - Desember 2017) Hal.: 127-136
132
KAJIAN KENDALA IMPLEMENTASI E-COMMERCE DI INDONESIA
Ahmad Firmansyah
kegiatan dan model bisnis yang terkait dengan Isu yang ketiga yang muncul dalam
transaksi elektronik, seperti iklan baris/forum, konteks PP Nomor 82 Tahun 2012 dan
marketplace, online retail, daily deals, dan relasinya dengan e-commerce adalah terkait
price comparison/aggregator. Sehingga para dengan penggunaan data center di Indonesia.
pelaku meminta kejelasan tahapan mana saja Para pelaku bisnis online mengatakan bahwa
dalam e-commerce yang dianggap sebagai memakai data center di Indonesia biayanya
transaksi elektronik. Untuk menanggapi isu ini bisa dua kali lebih mahal dibandingkan data
telah disusun rumusan oleh Direktorat Jenderal center di luar negeri.
Pajak (DJP) melalui Surat Edaran Dirjen Pajak Isu terakhir yang disorot yaitu terkait
No 62/PJ/2013 yang memetakan empat model kewajiban menggunakan domain kode negara
transaksi e-commerce, yaitu: online Indonesia atau .id (dot id). Hal ini dilakukan
marketplace, classified ads, daily deals, dan untuk meminimalkan aksi kejahatan siber dan
online retail. menekan angka penipuan oleh e-commerce
Model online marketplace merupakan yang bersifat abal-abal. Namun, nyatanya tidak
kegiatan menyediakan tempat kegiatan usaha semua pengusaha e-commerce sepakat dengan
berupa toko internet bagi merchant untuk rencana ini. Pendiri sekaligus CEO Tokopedia,
menjual barang/jasa. Dalam model transaksi William Tanuwijaya berpendapat, pemakaian
ini, ada imbalan dalam bentuk rent fee atau domain lokal akan menyulitkan situs e-
biaya registrasi, atas jasa penyediaan tempat commerce untuk bersaing di level global.
dan/atau waktu untuk memajang iklan
barang/jasa, serta melakukan penjualan di toko Perbandingan Pelaksanaan e-commerce di
internet melalui mal internet. Selain itu, ada Beberapa Negara
sejumlah uang yang dibayarkan oleh merchant Menyangkut kendala belum adanya
ke penyelenggara marketplace sebagai komisi peraturan pemerintah mengenai transaksi
atas jasa perantara pembayaran atas penjualan perdagangan melalui e-commerce, pemerintah
barang/jasa. Model transaksi classified ads dapat mempelajari hal ini dari negara Amerika
merupakan kegiatan menyediakan tempat Serikat ataupun Tiongkok yang telah memiliki
dan/atau waktu untuk memajang iklan aturan-aturan e-commerce.
barang/jasa yang dilakukan oleh pengiklan Bercermin dari negara Amerika Serikat,
melalui situs yang disediakan oleh pemerintah mengambil suatu kebijakan
penyelenggaran classified ads. Pengiklan akan fundamental yang menjadi acuan dalam
membayar sejumlah uang sebagai biaya merancang bangun kegiatan e-commerce di
transaksi kepada penyelenggara yang negara tersebut. Pada tanggal 1 Juli 1997,
merupakan objek PPh dan PPN. Model Pemerintahan Clinton mengajukan sebuah
transaksi yang ketiga yaitu daily deals, mirip proposal dengan judul “A Framework for
dengan marketplace namun alat pembayaran Global Electronic Commerce” yang secara
yang digunakan berupa voucher. Sementara garis besar menawarkan 5 (lima) prinsip dasar
model transaksi yang keempat yaitu online yang diharapkan menjadi pegangan utama
retail, merupakan kegiatan menjual barang/jasa (core principles) bagi penetapan kebijakan e-
yang dilakukan secara langsung oleh commerce di Amerika. Secara umum, kelima
penyelenggara online retail kepada pembeli di prinsip kebijakan tersebut adalah sebagai
situs penyelenggara. Dalam keempat model berikut (Thierer, 2012).
transaksi e-commerce tersebut, ada pembayaran Prinsip yang pertama adalah “the
imbalan atau penghasilan karena jual-beli private sector should lead” (Thierer, 2012).
barang/jasa yang merupakan objek Pajak Prinsip ini dibangun atas dasar asumsi bahwa
Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan yang harus berdiri di depan dan memimpin
Nilai (PPN) yang akan dikenakan pajak berbagai hal yang berkaitan dengan e-
menurut aturan perpajakan yang berlaku. commerce adalah sektor swasta (komunitas
133
Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi
Volume: 8 No. 2 (Oktober - Desember 2017) Hal.: 127-136
134
KAJIAN KENDALA IMPLEMENTASI E-COMMERCE DI INDONESIA
Ahmad Firmansyah
135
Jurnal Masyarakat Telematika dan Informasi
Volume: 8 No. 2 (Oktober - Desember 2017) Hal.: 127-136
136