You are on page 1of 22

ABSTRACT

Uterine Manipulation for Increasing The Productivity of Bos Sondaicus


In Bungo and Tebo Regency, Jambi

(Supervised by Suardi, Rusjdi Saladin, zaituni Udin and Jaswandi)

The optimal reproductive performance of cows was reflected by the low


of Service per Conception, high pregnancy rate, and short postpartum estrus. So,
the production of calf that was born every year would increase, so that the
population and cows’ productivity were high. The high population of cows would
cause the animal protein was available sufficiently.
There were some alternatives to shorten postpartum interval to first
estrus that indirectly was the improvement of feed, both quality and quantity in
order to the reproductive organs got the function optimally, while which directly
was by reproductive hormone injections (PGF2α) and uterine manipulation to
accelerate the uterine involution. The hormone distribution to people’s cows
needed to be considered, because the price was quite expensive for the breeders
and the distribution had to be in veterinary’s supervision. The treatment which
was like injection PGF2α was uterine manipulation, it was simpler and more
economical.
The aim of this research was to know the reproductive status of
postpartum cows that did not have korpus luteum to be sample of this research, to
know the effect of uterine manipulation to the first postpartum estrus, the uterine
involution, the presence of PGF2α and the difference of variety toward appearance
of the first postpartum estrus, and to know the effect of uterine manipulation
toward livestock fertility rate. (b1)
This research had been done in Bungo and Tebo Regency, Jambi, since
September 1st, 2009 to September 5th, 2011. This research was conducted by using
Factorial Randomized RAL 3×2×4 on treatment of Factor A manipulation for 0
minute (a0), 1 minute (a1) and 2 minutes (a2), whilst treatment of Factor B
primiparous cows (b1) and multiparous cows (b2), which each was repeated as 4
times.
This research was done by 3 phases survey and laboratory method. The
first phase research was done by survey method that aimed to identify which
livestock to be sample of this research. The second one was in breeders’ barn by
manipulating the uterine and taking blood to be checked in laboratory to know the
effect of the treatment to the first postpartum estrus and to look the presence of
PGF2α after the treatment. Whereas the last phase was done in the barn to know
the effect of uterine manipulation toward the livestock fertility rate.
The parameters which were observed; the percentage of female
postpartum Bos Sondaicus that did not have korpus luteum, the first postpartum
estrus, level of hormone PGF2α of the blood, the length of reproductive tract from
bivurcasio to vulva, the mating rate (S/C = Service per Conception, the pregnancy
rate (CR = Conception Rate).
The result showed that the reproductive status of sample for 92, 41%, the
effect of factor A was very real (P<0,01) toward the first postpartum estrus and the
effect of pregnancy rate was real (P<0,05) toward the conception rate, but was not
real (P>0,05) toward the length of reproductive rate but the conception rate was
real (P<0,05) toward pregnancy rate. While interactive treatment among factor A
and B, the effect was not real (P>0,05) toward all parameters that were observed.
Conclusion: The effect of uterine manipulation showed that the best
treatment of factor A was W1 while factor B was multiparous on parameter of
pregnancy rate (78,25%). Interaction among factor A and B did not cause
difference toward all parameters that were observed.

Key words: Uterine manipulation, First postpartum etrus, and Bos Sondaicus.

PENDAHULUAN dilahirkan setiap tahun akan


Kabupaten Bungo dan meningkat, sehingga populasi dan
Kabupaten Tebo merupakan produktivitas sapi menjadi tinggi.
Kabupaten di Propinsi Jambi yang Tingginya populasi sapi tersebut
merupakan sentra pengembangan akan menyebabkan protein hewani
ternak sapi Bali. Menurut data Jambi asal sapi cukup tersedia.
dalam angka tahun 2011 populasi Beberapa alternatif untuk
sapi potong di Kabupaten Bungo memperpendek selang waktu pasca
sebanyak 42.239 ekor dan Kabupaten melahirkan ke estrus pertama setelah
Tebo sebanyak 23.191 yang melahirkan antara lain yang secara
merupakan populasi terbanyak tidak langsung adalah perbaikan
dengan tingkat kesuburan yang pakan, baik kualitas maupun
cukup optimal. kuantitas agar organ-organ
Kesuburan ternak sapi Bali reproduksi berfungsi secara optimal,
yang optimal tercermin oleh sedangkan yang secara langsung
rendahnya Service per Conception, adalah dengan penyuntikan PGF2α
angka kebuntingan yang tinggi, dan manipulasi uterus untuk
berahi postpartum yang pendek. mempercepat involusi uterus.
Maka, produksi anak sapi yang Pemberian PGF2α pada sapi milik
rakyat perlu dipertimbangkan, karena Wann dan Randel (1990) melaporkan
harganya yang cukup mahal untuk hasil penelitiannya terdapat pengaruh
ukuran peternak dan pemberiannya manipulasi uterus yang nyata
harus di bawah pengawasan dokter terhadap waktu estrus postpartum
hewan. Dijelaskan oleh Majestika pada hari ke 35 postpartum, untuk
(1992), bahwa perlakuan yang multipara 45,3 ± 1,5 hari dan
berdampak menyerupai injeksi primipara 90,4 ± 7,2 hari pada sapi
PGF2α adalah manipulasi uterus. Brahman. Sapi primipara adalah sapi
Manipulasi uterus pada sapi FH yang baru sekali beranak, sedangkan
mempunyai selang waktu postpartum sapi multipara adalah sapi yang
ke estrus pertama lebih pendek dari sudah sering beranak atau beranak
kontrolnya dibanding dengan injeksi lebih dari satu kali. Selanjutnya
PGF2α, manipulasi uterus lebih dijelaskan bahwa manipulasi uterus
praktis dan lebih ekonomis. dilakukan sebelum involusi
Menurut Partodihardjo (1982), sempurna dan tidak mempunyai
involusi uterus adalah peristiwa korpus luteum.
pengecilan uterus dari volume pada Manipulasi uterus dapat
waktu hewan mengandung menjadi dilakukan pada hari ke 30 – 35
ukuran normal tidak mengandung. sesudah melahirkan, dengan cara
Dalam pengecilan ini termasuk memasukkan tangan ke dalam
proses regenerasi epitel rektum lalu uterus diraba dan diurut
endometrium, pengecilan serat-serat secara perlahan selama 2 menit,
urat daging myometrium dan dengan harapan beberapa hari setelah
pembuluh-pembuluh darah uterus. mengalami manipulasi, sapi yang
Menurut Tolleson dan Randel habis beranak akan mengalami
(1987) manipulasi uterus akan berahi kurang lebih 50 – 60 hari
memberi pengaruh positif terhadap setelah beranak (Majestika dan
selang postpartum ke estrus pertama Sutrisno, 1997).
bila dilakukan pada saat uterus Berdasarkan hal tersebut di atas
belum mengalami involusi sempurna. maka dilakukan penelitian dengan
judul “Manipulasi Uterus untuk dan paritas terhadap munculnya
Meningkatkan Produktivitas Ternak estrus pertama postpartum, panjang
Sapi Bali Di Kabupaten Bungo saluran reproduksi dan kadar PGF2α
dan Kabupaten Tebo Propinsi dalam darah.
Jambi”. Desain Perlakuan
METODE PENELITIAN. Ada 6 kombinasi perlakuan,
Penelitian ini meliputi tiga dengan faktor A adalah waktu
tahap, pertama tahap seleksi sampel manipulasi (0 ; 1 dan 2 menit),
untuk melihat status reproduksi, ke sedangkan faktor B adalah status
dua tahap pelaksanaan perlakuan paritas (primipara dan multipara)
manipulasi uterus dan tahap ke tiga yang masing-masing perlakuan
adalah tahap uji kesuburan . diulang sebanyak 4 kali, jadi jumlah
Penelitian Tahap pertama keseluruhan ada 24 unit percobaan,
Sebelum perlakuan masing-masing unit terdiri dari 8 - 20
dilaksanakan, dilakukan studi awal ekor sapi Bali yang tergantung dari
untuk melihat status reproduksi jumlah populasi yang ada di
sampel berupa pengambilan data di lapangan.
lapangan, dengan cara melakukan Adapun kombinasi perlakuannya
pendataan populasi lalu diambil adalah :
sampel sehingga didapatkan sapi - a0b1 : Waktu Manipulasi 0 menit
Primipara (Kontrol Primipara)
yang bisa dijadikan sampel, sehingga
- a0b2: Waktu Manipulasi 0 menit
didapatkan hasil sapi Bali betina Multipara (Kontrol Multipara)
- a1b1 : Waktu Manipulasi 1 menit
postpartum 30 hari yang mempunyai
Primipara
korpus luteum dan tidak mempunyai - a1b2: Waktu Manipulasi 1 menit
Multipara
korpus luteum.
- a2b1 : Waktu Manipulasi 2 menit
Penelitian Tahap kedua Primipara
- a2b2 : Waktu Manipulasi 2 menit
Penelitian tahap kedua bertujuan
Multipara
untuk mengetahui pengaruh waktu Sampel penelitian
manipulasi estrus, paritas dan Penelitian ini menggunakan
interaksi antara waktu manipulasi sampel sapi Bali milik peternak
yang ada di Kabupaten Bungo dan ternak sejak sehari setelah perlakuan
Kabupaten Tebo. Sapi Bali yang manipulasi uterus sampai terlihat
diikutsertakan dalam penelitian adanya gejala estrus pertama
adalah sapi Bali betina yang telah postpartum. Seekor sapi paling lama
beranak dan tidak mempunyai korpus diamati 90 hari pasca lahir.
luteum baik primipara maupun Penelitian Tahap Ketiga
multipara. Pada tahap ini sapi sampel
Perlakuan manipulasi uterus yang mengalami estrus dilakukan uji
dilakukan pada hari ke 30 pasca lahir kesuburan dengan cara diinseminasi
tetapi pelaksaannya tidak dapat buatan (IB).
dilaksanakan serempak pada semua Analisis Data
sampel karena saat melahirkan sapi Untuk peubah panjang saluran
sampel tidak bersamaan. Cara untuk reproduksi dari bivurcasio sampai ke
memanipulasi uterus adalah dengan vulva, estrus pertama postpartum,
memegang percabangan uterus sapi Conception Rate dan Service per
melalui eksplorasi rectal, lalu Conception dianalisis dengan analisis
meremas perlahan-lahan sebanyak 10 ragam (Steel and Torrie, 1994).
kali untuk 1 menit perlakuan dan 20 Apabila analisis ragam berpengaruh
kali untuk 2 menit perlakuan pada nyata, untuk melihat perbedaan
bagian korpus dan kornua sesuai masing-masing perlakuan dilanjutkan
dengan perlakuan. Eksperimen ini dengan uji lanjut Duncan Multiple
dilakukan oleh dokter hewan dan Range Test (DMRT) atau Beda
petugas pemeriksa kebuntingan Nyata Terkecil (BNT). Profil kadar
(PKB) yang sudah terlatih yang ada PGF2α dalam darah ditampilkan
di Kabupaten Bungo dan Kabupaten dalam bentuk grafik.
Tebo yang mempunyai mempunyai HASIL DAN PEMBAHASAN
jam terbang berkisar antara 15 – 20 Hasil Penelitian Tahap Pertama
tahun. Pengamatan di lapangan untuk Status Ovarium
estrus postpartum dilaksanakan Hasil penelitian tahap pertama
setiap hari yang dibantu oleh pemilik yaitu seleksi sampel dengan melihat
status ovariumnya. Sebahagian besar penelitian seleksi sampel dapat
sapi Bali 30 hari postpartum belum dilihat pada Tabel 1.
memiliki korpus luteum. Hasil
Tabel 1. Status Ovarium Induk Sapi Bali

Tidak ada KL Ada KL Jumlah Persentase


Perlakuan
(ekor) ( ekor ) ( ekor) sampel

a0b1 49 3 53 94,23
a0b2 50 5 55 90,91
a1b1 41 4 45 91,11
a1b2 43 4 47 91,49
a2b1 41 1 42 97,62
a2b2 44 4 48 91,67
Jumlah 268 21 290 92,41

Dari Tabel 1 terlihat bahwa (8,89%) induk sesudah beranak


pada umumnya induk sapi Bali 30 terdapat korpus luteum, a1b2 terdapat
hari sesudah beranak tidak 43 ekor (91,49%) yang tidak
memiliki korpus luteum, induk memiliki korpus luteum, yang berarti
sapi Bali pada perlakuan a0b1 bahwa terdapat 4 ekor (8,51 %)
terdapat 49 ekor (94,23%) yang tidak induk sesudah beranak terdapat
memiliki korpus luteum, yang berarti korpus luteum, a2b1 terdapat 41 ekor
bahwa terdapat 3 ekor (5,77%) induk (97,62%) yang tidak memiliki korpus
sesudah beranak terdapat korpus luteum, yang berarti bahwa terdapat
luteum, a0b2 terdapat 50 ekor 1 ekor (2,38%) induk sesudah
(90,91%) yang tidak memiliki korpus beranak terdapat korpus luteum dan
luteum, yang berarti bahwa terdapat a2b2 terdapat 44 ekor (91,67%) yang
5 ekor (9,01%) induk sesudah tidak memiliki korpus luteum, yang
beranak terdapat korpus luteum, berarti bahwa terdapat 4 ekor
a1 b 1 terdapat 41 ekor (91,11%) yang (8,33%) induk sesudah beranak
tidak memiliki korpus luteum, yang terdapat korpus luteum, dengan
berarti bahwa terdapat 4 ekor total keseluruhan yang mempunyai
korpus luteum sebanyak 21 ekor dalam kondisi tidak bunting setelah
(7,59%) dari keseluruhan induk sapi partus. Hal ini tergantung pada
yang diamati. Ini berarti telah kontraksi miometrium, pemulihan
terjadi ovulasi sebanyak 7,59% infeksi dan regenerasi pada
pada sapi Bali 30 hari postpartum. endometrium. Terdapat rata-rata
Dari hasil seleksi sampel 92,41% induk sapi yang tidak
dengan melihat status ovarium mempunyai korpus luteum pada 30
sebahagian besar induk sapi Bali hari postpartum yang digunakan
tidak memiliki korpus luteum pada untuk penelitian tahap ke dua.
30 hari postpartum. Hal ini Hasil Penelitian Tahap Kedua
disebabkan karena induk sapi Bali Kadar PGF2α dalam Darah
belum mengalami involusi sempurna. Kadar PGF2α dalam darah
Toelihere (1981) menyatakan induk sapi kontrol baik primipara
bahwa involusi uteri sempurna maupun multipara terlihat lebih
kurang lebih 45 hari postpartum. rendah dibanding dengan induk sapi
Selanjutnya Hafez dan Hafez perlakuan, dimana perlakuan a0b1
(2000) menjelaskan bahwa kadar PGF2α lebih rendah dibanding
involusi uteri adalah masa a0b2 dan tertinggi terdapat pada a2b2,
pemulihan uterus hewan menuju seperti terlihat pada Gambar 1.
ukuran dan fungsi yang normal
a2b2
a2b1
a1b2
a1b1
a0b2
a0b1

Gambar 1. Kadar PGF2α dalam darah sesuai perlakuan

Pada Gambar 1 terlihat bahwa kadar terhadap sekresi PGF2α dalam darah
PGF2α induk kontrol baik primipara yang disekresi oleh uterus karena
maupun multipara terlihat sangat fungsi manipulasi uterus yang
rendah dibanding dengan induk- menyerupai fungsi estrogen dan
induk yang mendapat perlakuan 1 oxitocin yang menyebabkan
menit maupun 2 menit baik induk kontraksi uterus sehingga involusi
primipara maupun multipara. Sejak uteri dapat berjalan dengan cepat.
20 menit setelah perlakuan sampai Selama kontraksi uterus terjadi
300 menit setelah perlakuan a2b1 reduksi ukuran uterus disebabkan
menunjukkan adanya kadar PGF2α oleh kontraksi miometrium. Hal ini
yang tinggi berkisar antara 0,011- bertujuan untuk merangsang
0,178 ng/ml. Hal ini memberi pelepasan (release) PGF2α
gambaran bahwa perlakuan meningkatkan ritme uterus sehingga
manipulasi uterus berdampak positif mempercepat involusi uterus (Hafez
dan Hafez, 2000). Dijelaskan oleh Panjang Saluran Reproduksi
Madej et al., (2003) bahwa
Hasil analisis ragam (Lampiran
kandungan PGF2α dalam darah 3 hari
22) interaksi antara lama manipulasi
postpartum 1,702 ng/ml dan
dengan paritas tidak
menurun pada 21 hari postpartum
mempengaruhi panjang saluran
menjadi 0,190 ng/ml. Selanjutkanya
reproduksi (P>0,05), perlakuan
Heuwieser et al., (1992) mengatakan
faktor A (waktu manipulasi) tidak
bahwa kadar PGF2α tinggi pada 3 jam
berpengaruh nyata (P>0,05),
setelah partus yang placentanya
perlakuan faktor B (status paritas)
sudah keluar yaitu 0,46±0,26 ng/ml,
tidak berpengaruh nyata (P>0,05)
lebih tinggi dibanding dengan
terhadap panjang saluran reproduksi.
yang masih ada placentanya yaitu
Hal ini diduga karena waktu
0,26±0,11 ng/ml. Menurut
pengukuran dilakukan saat terjadinya
Fairclough et al., (1975) bahwa
berahi sehingga telah terjadi involusi
kadar PGF2α dalam darah dari 1
sempurna, di samping itu juga
ng/ml dan kadar maksimum 4-9
pengukuran yang kurang akurat
ng/ml. Bervariasinya kadar PGF2α ini
karena yang diukur adalah tangan
sesuai dengan kondisi dan status
setelah dimasukkan ke dalam saluran
reproduksi induk sapi. Pada saat
reproduksi. Hasil analisis ragam
estrus postpartum induk sapi sudah
seperti terlihat pada Tabel 2.
mengalami involusi sempurna.
Tabel 2. Hasil Analisis Panjang Saluran Reproduksi (cm)
Faktor B
Faktor A Jumlah Rata-rata
b1 b2
a0 30,76 31,95 62,70 31,35 a
a1 29,79 30,82 60,62 30,31 a
a2 30,84 30,69 61,53 30,76 a
Jumlah 91,39 93,45
a
Rata-rata 30,46 31,15 a
Keterangan : Huruf yang sama pada kolom atau baris yang sama menunjukkan
berbeda tidak nyata pada taraf 5% (P > 0,05)
Pada Tabel 2 terlihat bahwa menurun secara bertahap dengan
interaksi antara waktu manipulasi kecepatan 8 – 12 menit tiap kali.
dan paritas, pengaruh lama Kontraksi ini mengakibatkan
manipulasi dan perbedaan perpendekan sel urat daging uterus
paritas tidak menyebabkan yang telah menjadi panjang. Selama
perbedaan regenerasi panjang 2 hari pertama sesudah kelahiran
saluran reproduksi. Hal ini sejumlah besar cairan (1400-1600
menunjukkan bahwa pada saat ml) yang berisi sel, darah dan sedikit
berahi setelah perlakuan sapi jaringan berada di dalam uterus. Pada
sampel yang digunakan sudah hari ke-8 cairan ini biasanya
involusi uteri sempurna sehingga menurun jumlahnya menjadi 500 ml
perlakuan relatif sama dibanding dan pada hari ke-40 hanya tinggal
kontrol. Relatif samanya saluran beberapa milliliter saja. Dalam
reproduksi ini di samping bangsa keadaan normal peristiwa involusi
yang sama, umur juga relatif sama merupakan suatu proses aseptis;
dan juga dikarenakan pengukuran namun demikian radang karena
panjang saluran reproduksi bakteri sering terjadi pada kelahiran
dilaksanakan pada saat sapi normal. Selanjutnya Budiyanto
mengalami berahi setelah perlakuan. (2012) menyatakan involusi uterus
Menurut Frandson (1993), panjang melibatkan hilangnya cairan
saluran reproduksi sapi dari servik intraluminal, penyusutan ukuran,
sampai vulva adalah 30 – 40 cm. dan perbaikan endometrium.
Selanjutnya Djanuar (1985), Selama dua hari pertama setelah
menyatakan bahwa sesudah stadium melahirkan, cairan yang
ketiga kelahiran, pengeluaran dikeluarkan adalah serosanguineous,
plasenta, kontraksi uterus dan perubahan karakter setelah
berkesinambungan dengan kecepatan terputusnya karunkula
3 menit tiap kontraksi pada hari menggambarkan eliminasi sisa-sisa
pertama. Selama hari ke 3 – 4 jaringan desidua karunkula mulai
sesudah kelahiran, kontraksi ini akan 3 sampai 4 hari setelah
kelahiran dan meningkat sampai frekuensi menurun sebesar 46% dari
hari ke-9, dan secara bertahap nilai rata-rata awal.
bercampur dengan darah yang Dari keseluruhan sapi sampel
berasal dari perdarahan pada dapat digambarkan bahwa panjang
permukaan karunkel. Frekuensi rata- saluran reproduksi rata-rata sapi Bali
rata kontraksi uterus adalah 8,9 untuk perlakuan a0b1 30,76+0,99 cm
kontraksi per jam pada 12 jam pasca dengan kisaran 25 - 41 cm, a0b2
melahirkan dengan kisaran 6 31,95+1,33 cm dengan kisaran 25 -
sampai 11 kontraksi setiap jam. 42 cm, a1b1 29,79+1,17 cm dengan
Frekuensi kontraksi menurun kisaran 25 - 39 cm, a1b2 30,82+1,48
menjadi 1,8 kontraksi per jam pada cm dengan kisaran 25 - 40 cm, a2b1
48 jam postpartum. Penurunan 30,84+1,32 cm dengan kisaran 25 -
terbesar nilai rata-rata terjadi antara 42 cm , a2b2 30,69+1,72 cm dengan
12 dan 24 jam pasca melahirkan, dan kisaran 25 - 40 cm seperti terlihat
pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata Panjang Saluran Reproduksi (cm)

Panjang saluran Standar


Perlakuan n Kisaran
reproduksi (cm) Deviasi

a0b1 49 30,76 0,99 25 – 41


a0b2 50 31,95 1,33 25 – 42
a1b1 41 29,79 1,17 25 – 39
a1b2 43 30,82 1,48 25 – 40
a2b1 41 30,84 1,32 25 – 42
a2b2 44 30,69 1,72 25 – 40
Dari Tabel 3 dapat dilihat saluran reproduksi induk sapi Bali
bahwa panjang saluran reproduksi akan mempercepat involusi uteri
induk sapi relatif sama, namun induk yang ditandai dengan regenerasi
yang diberi perlakuan manipulasi saluran reproduksi induk-induk sapi
sedikit lebih pendek dari kontrol. Hal yang diberi perlakuan manipulasi.
ini menunjukkan bahwa pengaruh Djanuar (1985) berpendapat bahwa
manipulasi uterus terhadap panjang uterus telah diberinvolusi secara
sempurna, sebagaimana ditentukan Hasil analisis ragam (Lampiran
dengan palpasi lewat rectum, pada 23) interaksi antara lama manipulasi
hari ke 20 – 25 sesudah beranak. dengan paritas sapi tidak
Penelitian lain mengatakan 25 – 30 mempengaruhi estrus pertama
hari, tetapi penelitian lain ada yang postpartum (P>0,05). Perlakuan
berpendapat bahwa, dengan faktor A berpengaruh sangat
pengukuran yang teliti, diperlukan nyata (P<0,01), tetapi
waktu untuk mencapai involusi uteri perlakuan faktor B tidak
yang sempurna adalah lebih lama berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap
dari pada waktu-waktu yang estrus pertama postpartum. Hal ini
disebutkan. Penelitian ini memberi gambaran bahwa tidak
menyatakan bahwa sapi yang terjadi interaksi antara waktu dan
pertama kali beranak (primipara) paritas sehingga pengaruhnya tidak
uterusnya kembali normal pada hari terlihat. Pengaruh diperlihatkan
ke-42 dan pluripara pada hari ke-50. hanya pada perlakuan waktu
manipulasi, dengan uji lanjut DMRT
Estrus Pertama Postpartum seperti terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil Analisis Estrus Pertama Postpartum (hari)


Faktor B
Faktor A Jumlah Rata-rata
b1 b2
a0 51,00 54,46 105,45 52,73 a
a1 40,02 39,01 79,02 39,51 b
a2 39,83 40,23 80,06 40,03 b
Jumlah 130,84 133,69
a
Rata-rata 43,61 44,56 a
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (P < 0,05)

Dari Tabel 4 terlihat bahwa, nyata (P>0,05), tetapi berbeda nyata


perlakuan manipulasi waktu 1 menit dengan kontrol (a0) (P<0,05).
(a1) dan 2 menit (a2) berbeda tidak Manipulasi uterus mempunyai peran
yang hampir sama dengan peran (1992) pada sapi perah
estrogen dan oxitocin untuk peranakan FH multipara dan
kontraksi uterus setelah beranak yang primipara yang mendapat
menyebabkan PGF2α tinggi dalam perlakuan manipulasi uterus
darah, saluran reproduksi kembali mempunyai selang pascalahir ke
normal dan estrus pertama estrus pertama lebih pendek dari
postpartum menjadi lebih cepat. tanpa manipulasi.
Perlakuan manipulasi baik 1 menit Dari keseluruhan sapi sampel
maupun 2 menit memberi pengaruh dapat digambarkan bahwa estrus
yang positif terhadap estrus pertama, postpartum rata-rata, sapi
pertama postpartum dengan hasil Bali untuk perlakuan a0b1
yang relatif sama sehingga untuk 51,00±5,30 hari dengan kisaran. 37
mempercepat estrus pertama - 61 hari, a0b2 54,46±4,29 hari
postpartum cukup dilakukan dengan kisaran 37 - 72 hari, a1b1
manipulasi selama 1 menit. 40,02±2,73 hari dengan kisaran. 34 -
Penelitian tentang stimulasi 52 hari, a1b2 39,01±3,04 hari dengan
pengeluaran PGF2α pada sapi betina kisaran 34 - 51 hari, a2b1 39,83+2,25
untuk memperpendek selang hari dengan kisaran 35 - 49 hari, a2b2
pascalahir ke estrus pertama telah 40,23+2,88 hari dengan kisaran 34 -
dilakukan oleh Tolleson dan Randel 50 hari, Seperti terlihat pada Tabel 5.
(1987) Penelitian Majestika
Tabel 5. Rata-rata Estrus Pertama Postpartum (hari)

Estrus pertama Standar


Perlakuan N Kisaran
Postpartum Deviasi
a0b1 49 51,00 5,30 37 – 61
a0b2 50 54,46 4,29 37 – 72
a1b1 41 40,02 2,73 34 – 52
a1b2 43 39,01 3,04 34 – 51
a2b1 41 39,83 2,25 35 – 49
a2b2 44 40,23 2,88 34 – 50
Dari Tabel 5 terlihat bahwa normal dimulai 40 hari setelah
perlakuan a1b2 (waktu manipulasi beranak dengan angka penampilan
uterus selama 1 menit pada induk reproduksi yang baik dan manajemen
multipara) menunjukkan estrus praktis. Pendapat ini diperjelas juga
pertama postpartum lebih cepat oleh Siswadi (1987) bahwa
dibanding dengan perlakuan lainnya. pengurutan uterus juga akan
Hal ini memberi gambaran bahwa menyebabkan sekresi PGF2α dari
perlakuan manipulasi uterus selama 1 uterus sehingga analog dengan
menit pada induk multipara injeksi PGF2α dapat memperpendek
memberikan dampak positif selang pasca lahir ke estrus pertama
dibanding induk-induk lainnya postpartum yang merupakan usaha
dengan estrus pertama postpartum untuk memperpendek selang beranak
tercepat yaitu 39,01 hari postpartum. adalah dengan memperpendek waktu
Pada umumnya induk-induk kosong.
perlakuan estrus pertama postpartum Menurut Djanuar (1985) interval
lebih baik dibanding dengan kontrol. perkawinan sesudah beranak
Hafez dan Jainudeen (1987), menentukan panjang interval
menjelaskan bahwa dalam waktu 60 kelahiran dari seekor sapi. Dalam
hari setelah melahirkan induk sapi keinginan peternak yang
sudah harus dikawinkan atau mengusahakan interval kelahiran dari
diinseminasi kembali dan sampai ternak mereka lebih pendek, banyak
bunting. Menurut Partodihardjo peternak yang mengawinkan sapi-
(1992) estrus adalah saat hewan sapinya kembali secepatnya setelah
betina siap untuk dinaiki oleh melahirkan. Menurut penelitian
pejantan atau sapi lain untuk Tolleson dan Randel (1987),
kopulasi. Selanjutnya dijelaskan manipulasi uterus akan memberi
bahwa estrus setelah beranak pada pengaruh positif terhadap selang
sapi bisa terjadi pada hari ke 30 – 70. pascalahir ke estrus pertama sapi
Britt (1975) berpendapat Brangus multipara bila dilakukan
bahwa perkawinan dapat dengan
pada saat uterus belum mengalami perlakuan faktor A berpengaruh
involusi sempurna. sangat nyata (P<0,01) terhadap angka
kebuntingan, perlakuan faktor B
Induk sapi Bali yang sudah
berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap
diberi perlakuan manipulasi dan
angka kebuntingan (Lampiran 24).
sudah estrus, untuk menguji tingkat
Perlakuan manipulasi dan paritas
kesuburan dilanjutkan dengan
berpengaruh terhadap angka
penelitian tahap ketiga
kebuntingan, namun demikian tidak
Hasil Penelitian Tahap Ketiga
terjadi interaksi diantara dua faktor
Conception Rate (Angka
perlakuan tersebut. Hal ini
Kebuntingan)
menunjukkan bahwa masing-masing
Interaksi antara lamanya waktu
faktor berpengaruh sendiri-sendiri
manipulasi dan perbedaan paritas
terhadap angka kebuntingan. Hasil
tidak mempengaruhi angka
uji lanjut DMRT untuk pengaruh
kebuntingan (P>0,05). Hasil analisis
faktor A dan faktor B seperti terlihat
ragam menunnjukkan bahwa
pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil Analisis Angka Kebuntingan (%)
Faktor B
Faktor A Jumlah Rata-rata
b1 b2
a0 58,46 68,93 127,39 63,69 a
a1 73,38 81,73 155,11 77,56 b
a2 73,38 84,10 157,49 78,74 b
Jumlah 205,23 234,76
a
Rata-rata 68,41 78,25 b
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (P < 0,05)

Angka kebuntingan merupakan menunjukkan bahwa yang diberi


tolok ukur kesuburan ternak yang perlakuan manipulasi lebih baik
sangat penting untuk diperhatikan. dibanding kontrol. Perlakuan
Pada Tabel 6 di atas terlihat bahwa manipulasi 1 menit tidak berbeda
hasil analisis uji lanjut DMRT dengan 2 menit tetapi berbeda
dengan tanpa perlakuan manipulasi, kebuntingan per perkawinan sapi
sedangkan untuk paritasnya Bali 29,82% untuk kawin suntik (IB)
menunjukkan bahwa induk multipara dan 61,17% untuk kawin alami
lebih baik dibanding dengan Service per Conception (Angka
primipara (P<0,05). Hal ini memberi Perkawinan)
gambaran bahwa manipulasi sangat Hasil analisis ragam (Lampiran
berguna untuk meningkatkan angka 25), interaksi antara lama manipulasi
kesuburan terutama pada induk- dengan paritas tidak mempengaruhi
induk multipara. Sudarmaji dkk., Service per Conception (P>0,05).
(2004), melaporkan hasil Perlakuan faktor A berpengaruh
penelitiannya bahwa setelah nyata (P<0,05), sedangkan perlakuan
penyuntikan pertama dengan PGF2α faktor B tidak berpengaruh nyata
persentase angka kebuntingan sapi (P>0,05) terhadap Service per
Bali (83,33%) lebih tinggi secara Conception. Perlakuan manipulasi
sangat nyata dari pada sapi PO memberi pengaruh yang positif
(47,37%). Hasil penelitian Darmadja terhadap angka perkawinan
(1980), di Bali rata-rata angka meskipun paritas tidak berpengaruh
kebuntingan per perkawinan sapi dan tidak terjadi interaksi diantara ke
Bali adalah 85,85%. Hasil ini jauh dua faktor tersebut. Hasil uji lanjut
berbeda dengan hasil penelitian DMRT faktor A terlihat pada Tabel
Sutan (1988) di Batumarta, angka 7
Tabel 7. Hasil Analisis Angka Perkawinan (S/C)
Faktor B
Faktor A Jumlah Rata-rata
b1 b2
a0 1,51 1,38 2,88 1,44 a
a1 1,32 1,23 2,54 1,27 b
a2 1,31 1,20 2,51 1,25 b
Jumlah 4,13 3,80
a
Rata-rata 1,38 1,27 a
Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom atau baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata pada taraf 5% (P < 0,05)
Dari Tabel 7 di atas sapi Bali dianggap ternak tersebut
menunjukkan bahwa interaksi antara mempunyai kesuburan yang baik dan
waktu manipulasi dan paritas tidak apabila nilai S/C tinggi maka induk
berpengaruh nyata (P>0,05), sapi Bali tersebut dianggap kurang
perbedaan partus tidak berpengaruh subur. Apabila S/C adalah 1 artinya
nyata (P>0,05) terhadap Service per sekali kawin langsung bunting.
Conception akan tetapi perlakuan McDowell et al., (1972)
lamanya waktu manipulasi menyatakan bahwa dengan
menunjukkan pengaruh yang pengelolaan yang baik, nilai rata-rata
nyata (P<0,05) terhadap Service angka perkawinan berkisar 1,3-1,6
per Conception, untuk perlakuan kali perkawinan. Menurut Toelihere
lama manipulasi 1 menit (a1 ) dan (1985), untuk membandingkan
lama manipulasi 2 menit (a2) tidak efisiensi relatif dari proses
berbeda nyata (P>0,05), tetapi reproduksi di antara individu-
berbeda nyata dengan kontrol (a0) individu sapi betina yang subur
(P<0,05). Hal ini memberi gambaran dipakai penilaian atau perhitungan
bahwa pengaruh manipulasi uterus jumlah pelayanan (service) yang
baik 1 menit maupun 2 menit dibutuhkan oleh seekor betina
dapat memperbaiki angka sampai terjadi kebuntingan. Hasil
perkawinan (Service per penelitian Siwitri (2004) di Bengkulu
Conception). Hasil ini tidak jauh mendapatkan nilai S/C sapi Bali jauh
dengan hasil penelitian Devendra et lebih jelek yaitu 2,50. Sedangkan
al., (1973) di Malaysia mendapatkan Erna dan Supriyadi (2010)
nilai S/C sapi Bali adalah 1,22. Nilai melaporkan bahwa sapi potong di
terendah dari S/C adalah satu, Yogyakarta S/C nya adalah 2,68
semakin rendah S/C seekor induk
KESIMPULAN estrus pertama postpartum (39,51

1.Hasil seleksi status ovarium sapi hari), meningkatkan angka

Bali yang dijadikan sampel sebanyak kebuntingan (77,56%) dan

92,41%, menurunkan Service per Conception

2. Kadar hormon PGF2α dalam darah (1,27), tetapi tidak dapat

induk sapi Bali sesaat setelah mempercepat regenerasi saluran

perlakuan tertinggi terdapat reproduksi.

perlakuan 2 menit manipulasi pada 6. Perbedaan paritas partus tidak

induk primipara (0,178 ng/ml). menyebabkan perbedaan estrus

3. Manipulasi uterus dengan teknik pertama postpartum, panjang saluran

masase dapat meningkatkan reproduksi dan Service per

produktivitas ternak sapi Bali yang Conception tetapi dapat

terlihat dari timbulnya estrus pertama menyebabkan perbedaan angka

postpartum, angka kebuntingan dan kebuntingan dengan nilai tertinggi

Service per Conception pada multipara (78,25%)

4. Interaksi antara perlakuan lama DAFTAR PUSTAKA

waktu manipulasi dan paritas partus Acosta, T.J., N. Yoshizawa, M.


Ohtani, and A. Miyamoto.
tidak berpengaruh terhadap estrus 2002. Local changes in blood
flow within the early and
pertama postpartum, panjang saluran midcycle korpus luteum after
prostaglandin F2 injection in
reproduksi, Service per Conception the cow. Biol Reprod. 66;
651–658.
dan angka kebuntingan
Albaqerque, F.T. De. 1986. Effect of
5. Manipulasi uterus dengan massage Cloprostenol on the time
required for uterine
selama 1 menit dapat mempercepat involution in Holstein
Friesian X zebu crossbred Darmadja, S.G.N.D. 1980. Setengah
cows. Arqivo Brasilerio de Abad Peternakan Sapi
Medicina Veterinaria Tradisional Dalam Ekosistem
Zootechia, 8: 796-798. Pertanian Di Bali . Disertasi
Universitas Padjadjaran,
Briit, J.H. 1975. Early Postpartum Bandung.
Breeding in Dairy Cows. A
Review J. Dairy Sci. 58 : 266 Deca, K.G., K.C. Nath and K.C.
– 271. Rajkonwar. 1985. Postpartum
changes of uterus and ovaries
Budiyarto, A. 2012. Peningkatan in relation to uterine micro
Tingkat Kebuntingan dan flora in cows. Indian Journal
Kelahiran Sapi Di Indonesia of Anim. Reprod. 6: 122.
dan Masalah-Masalah yang
Terkait. Bagian Reproduksi Devendra, C.T., L.K. Choo and M.
dan Kebidanan FKH UGM, Pathmasingan. 1973. The
Yogyakarta Productivity of Bali cattle in
Malaysia. Agric. J. 49 : 183
Carter, M.L. , D.J. Dierschke, J.J.
Ruttledge and E.R. Houser. Djanuar, R. 1985. Fisiologi
1980. Effect of Go- Reproduksi dan Inseminasi
nadotropin-Releasing Buatan pada Sapi (terjemahan
hormone and calf removal on dari Physiology of
pituitary-Ovarium. Function reproduction and artificial
and reproductive performance insemination of cattle by
in postpartum beef cows. J. Salisbury and Vandemark.
Anim. Sci. 51 : 903-910. 1961). Gajah Mada
University Press, Yogyakarta
Casida, L.E and E.R. Caird. 1977.
Effect of injection of Erna W. dan Supriyadi 2010.
progesterone into one ovary Penampilan Reproduksi
Of PMSG-treated anestrous Ternak Sapi Potong Betina di
ewes on follicle growth And Daerah Istimewa Yogyakarta.
ovarian estradiol-17β1,2 J. Seminar Nasional Teknologi
Anim. Sci. 44 : 84-88.. Peternakan dan Veteriner.
Balai Pengkajian Teknologi
Clary, D. G., M. R. Putnam, J. C. Pertanian. Yogyakarta
Wright and J. L. Jr. Sartin.
1989. Efficacy of early
postpartum treatment with Frandson, R. D. 1993. Anatomi dan
PGF2α on subsequent fertility Fisiologi Ternak. Gadjah
in dairy cows. Mada University Press.
Theriogenology, 31: 565-570. Yogyakarta
Hafez, E.S.E., and Jainudeen, M.R. Lindell, T. O, and H. Kindahl. 1983.
1987. Cattle and Water Exogenous Prostaglandins
Buffalo. In Reproductive in F2 promotes uterine
Farm Animal. 5 th Ed. Lea involution in the cow. Acta.
and Febiger, Philadelphia. Vet. Scand, 24; 269-274.

Hafez,E.S.E. 1972. Reproductive Ma, X., W.X. Wu, and P.W.


Life Cycles. In Reproduction Nathaniclsz. 1999.
In Farm Animals by Differential regulation of
nd
Hafez,E.S.E. 2 . Ed. Lea and prostaglandin EP and FP
Febiger. Philadelphia. receptors in pregnant sheep
myometrium and
Hafez, B dan E.S.E. Hafez. 2000. endometrium during
Reproduction In Farm spontaneous term labor. Biol
Animals 7th Edition. Reprod, 61; 1281-1286.
Lippincott Williams &
Wilkins. Kiawah Island, Majestika, 1992. Manipulasi Uterus
South Carolina USA. pada Sapi FH untuk
Memperpendek Selang
Hassan, S.G., K.A. El-Fathah El- Pascalahir ke Estrus Pertama.
Battawy, A.A. El-Hamid El- Tesis. Universitas Gadjah
Menofy, M. Younis and R.M. Mada.
Khattab. 2007. Values of
Prostaglandin during pre and Majestika dan E. Sutrisno. 1997.
post-partum and at Parturition Inovasi Experimentasi Teknik
in Buffaloes. Ital.J.Anim.Sci. Manipulasi Uterus untuk
vol. 6, (2); 671-672. Meningkatkan Produktivitas
Hunter, J. T., R.J. Fairclough, A.J. Ternak Sapi Bali di
Peterson, and R.A.S. Welch. Kabupaten Bengkulu Utara.
1977. Foetal and maternal Dinas Peternakan Propinsi
hormonal changes preceding Bengkulu.
normal bovine parturition. McDonal, 1980. Veterinary
Actu Endocrin, 84; 653-662. Endocrinology and
rd
Reproduction. 3 Lea and
Janszen, B. P. M., M.M. Bevers, S.J. Febriger, Philadelphia.
Dieleman, G.C. van der
Weijden, and M.A.M. McDowell,R.E., R.G.Jonas,
Taverne. 1990. Synchronized A.C.Pont, A.Roy,
calvings after withdrawal of E.J.Siegensales and J.R.
norgcstomct implants from Stonffer. 1972. Improvement
cows treated near term with of Livestock Production in
prostaglandin. Vet Record Warm Climates, W.H.
127; 405-407. Freeman Co, San Fransisco.
Nalbandov, A.V. 1990. Fisiologi conception. J. Dairy Sci. 62:
Reproduksi Pada Mamalia 74-84.
dan Unggas. Edisi Ketiga.
Penerbit Universitas Sinha, V.K., Balraj Singh and A.K.
Indonesia Press, Jakarta. Sinha. 2002. Management of
postpartum reproduction in
Nenzhadanov, A.G. 1983. The crossbred cows with
postparturient involution of Dinoprost. The Indian of
genitalia in cows. Animal Anim. Reproduc. 23(1): 21-
Breeding, 51: 3591(Abstr) 24.

Partodihardjo, S. 1992. Ilmu Siwitri K. 2004. Performans Sapi


Repoduksi Hewan. Cetakan Bali Berdasarkan Ketinggian
ketiga. Penerbit Mutiara Tempat di Derah
Sumber Widya, Jakarta. Transmigrasi Bengkulu.
Jurnal Penelitian UNIB, Vol.
Peter, A.L., W.L.K. Bosu, and C.W. X No. 2 Juli 2004. Hal 119 –
Kuker. 1987. Plasma 126
endotoxin and concentration
of stable metabolites of Sudarmaji, A. Malik dan AAM
prostacyclin, thromboxane Gunawan. 2004. Pengaruh
A2 and PGF2α in postpartum Penyuntikan Prostaglandin
dairy cows. Prostaglandins, Terhadap Persentase Berahi
34: 15-28. dan Angka Kebuntingan Sapi
Bali dan PO di Kalimantan
Pinherin, I.E.I., J.D. Guimaacs and Selatan. Universitas Islam
M. Grathora. (1990). Effect Kalimantan Banjarmasin
of PGF2α treatment during the
early postpartum period. Sutan, S.M. 1988. Suatu
Brasibira deReproducao Perbandingan Performans
Animal, 14: 65-71. Reproduksi dan Produksi
Antara Sapi Brahman,
Reeves, J.J. 1987. Endocrinology of Peranakan Ongole (PO) dan
Reproduction. Fifth Edition. Bali Di Daerah Transmigrasi
Lea & Febriger, Philadelphia. Batumarta Sumatera Selatan.
Disertasi Fakultas
Reksohadiprodjo, S. 1984. Pengantar Pascasarjana Institut
Ilmu Peternakan Tropik. Pertanian, Bogor.
Edisi Pertama. Pe-nerbit
BPFE, Yogyakarta.
Tiwari, R.P., S. Jogi and S.K. Sahu.
Shank, R.D., A.E. Freeman and P.J. 2004. Effect of prostaglandin
Berger 1979. Relationship of administration after calving
reproductive factors with in buffaloes on postpartum
interval and rate of reproductive performance.
Buffalo Bulletin, (23), 3: 53-
57.

Toelihere, M.R. 1981. Fisiologi


Reproduksi Pada Ternak.
Penerbit Angkasa, Bandung.

Toelihere, M.R. 1985. Inseminasi


Buatan Pada Ternak. Penerbit
Angkasa, Bandung.

Tolleson, D.R. and R.D. Randel,


1987. Physical manipulation
of postpartum bovine uterus
and the sub-sequenct release
of prostaglandin F. J. Anim.
Sci. 65 (suppl. 1) : 414

Tolleson, D.R. and R.D. Randel,


1988. Effects of alfaprostol
and uterine palpation on
postpartum interval and
pregnancy rate to embryo
transfer in Brahman
influenced beef cows.
Theriogenology 29:555.

Tsai, S., and M. Wiltbank. 1998.


Prostaglandin F2 regulates
distinct physiological changes
in early and mid-cycle bovine
corpora lutea. Biol Reprod.
58:346–352

Udin, Z. 1993. Peningkatan Produksi


Peternakan Sapi Potong di
Daerah Padat Ternak Melalui
Perbaiakan Sarana dan
Prasarana Pelayanan
Reproduksi. Disertasi.
Pascasarjana, IPB. Bogor.

You might also like