You are on page 1of 22

Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi

pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi


pada Masyarakat Adat di Jawa Timur

Sri Endah Kinasih


kinasih_unair@yahoo.com
(Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Univesrsitas Airlangga)

Abstract
Indigenous people of Tengger residing in Ngadas and Ranu Pani Village altogether with forest officials (in
this case, forest rangers) have different views and interest in the utilization of conservation forest. These
differences affect different behaviour of the people as well. In terms of indigenous people, the forest
utilization is done to meet the necessities of life, such as cooking, heating rooms, building houses, and holding
ceremonies. On the other hand, the forest rangers utilize the forest according to the Regulation no 6 of 2007,
which was later refined into Regulation no 3 of 2008, which emphasizes more on the group interests. This
would result in conflict of interest and the utilization of forest resources among local residents as well as
between local residents and forest rangers.
The steps taken are (1) determining the location of the study purposively, which is in Ngadas and Ranu Pani
Village. Both areas have great respect and strong emotional bond with Bromo Mountain and Tengger Sea
Sand area. (2) Data Collection: (a) observation and (b) in-depth interview, (3) Informants: the individuals
who have the knowledge and experience of the problems examined, and lastly (4) Data Analysis.
The result of the study is expected to provide benefits that the behavioral patterns in the form of interaction,
information, and action in creating justice by way of cultural resolution are developed. This cultural
resolution emphasizes more on the formation aspect, rather than static and monolithic state.

Keywords : conflict resolution, cultural resolution, forest management.

Abstrak
Masyarakat adat Tengger yang berada di desa Ngadas dan desa Ranu Pani maupun petugas kehutanan
(dalam hal ini adalah polisi hutan), memiliki pandangan dan kepentingan yang berbeda dalam
pemanfaatan hutan konservasi. Pandangan dan kepentingan yang berbeda ini mempengaruhi tingkah
laku yang berbeda pula. Dari segi masyarakat adat, pemanfaatan hutan karena terdorong untuk
memenuhi kebutuhan hidup seperti memasak, penghangat ruangan, membangun rumah dan upacara
adat, sedangkan polisi hutan melakukan pemanfaatan hutan sesuai apa yang tercantum dalam PP no 6
tahun 2007 yang kemudian disempurnakan dalam PP no 3 tahun 2008 yang lebih menekankan pada
kepentingan kelompok. Hal ini akan berdampak adanya konflik kepentingan penguasaan dan
pemanfaatan sumber daya hutan antar warga penduduk setempat maupun dengan polisi hutan.
Ada beberapa tahapan yang digunakan adalah (1) penentuan lokasi penelitian : ditentukan secara
purposif yaitu di desa Ngadas dan desa Ranu Pani. Kedua wilayah ini sangat menghormati dan
mengeramatkan, serta memiliki ikatan emosional yang kuat dengan kawasan Gunung Bromo dan Laut
Pasir Tengger. (2) Pengumpulan Data yang meliputi : (a) pengamatan ; dan (b) wawancara mendalam. (3)
Informan : adalah individu-individu yang memiliki pengetahuan dan pengalaman tentang permasalahan
yang diteliti, teknik (4) Analisa Data :.Hasil penelitian memberikan manfaat Pembentukan Balai Mediasi
Desa merupakan suatu media dalam proses belajar untuk membiasakan dan memperoleh sesuatu yang
baru untuk melakukan suatu tindakan dalam menghasilkan suatu penyelesaian konflik. Dalam proses
pembentukan Balai Mediasi Desa ini dikembangkan pola-pola perilaku dalam bentuk interaksi, informasi
dan tindakan dalam menciptakan keadilan dengan cara penyelesaian budaya (cultural resolution).

Keywords : pemanfaatan hutan, penyelesaian konflik, penyelesaian budaya

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 75


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

K
Pendahuluan  Taman Nasional laut Sepanjang dan

asus rusaknya sebagian Saobi di Kepulauan Kangean,

besar hutan konservasi Kabupaten Sumenep.

di Jawa Timur telah Di antara lima kawasan taman

ditebangi oleh beberapa nasional, yang masih menjaga

pihak kepentingan. Semakin kelestarian untuk pemanfaatan

meningkatnya intensitas konflik masyarakat sekitar adalah Taman

penguasaan dan pemanfaatan sumber Nasional Bromo Tengger Semeru yang

daya hutan antar warga penduduk ada di desa Ngadas dan Desa Ranu

setempat maupun dengan polisi hutan. Pani. Dataran tinggi Bromo Tengger

Di Jawa Timur terdapat 15 hutan Semeru ditetapkan menjadi taman

konservasi yang telah ditetapkan oleh nasional melalui Surat Keputusan

World Conservation Monitoring Centre Menteri Kehutanan Nomor: 278/Kpts-

(1992). Berdasarkan pemanfaatannya, VI/1997 tanggal 23 Mei 1997. Taman

hutan konservasi meliputi kawasan Nasional Bromo Tengger Semeru

taman nasional. Kawasan taman (TNBTS) merupakan salah satu

nasional yang ada di Jawa Timur kawasan pelestarian alam yang

antara lain : memiliki kekhasan berupa fenomena

 Taman Nasional Bromo Tengger alam yang unik yaitu kaldera di dalam

Semeru di Kabupaten Malang, kaldera. Keberadaan TNBTS

Kabupaten Pasuruan, Kabupaten memberikan fungsi dan manfaat bagi

Lumajang dan Kabupaten masyarakat pada desa enclave maupun

Probolinggo. desa-desa lainnya di sekitar kawasan.

 Taman Nasional Baluran di Desa enclave di TNBTS, desa

Kabupaten Situbondo. Ngadas dan Ranu Pani, dihuni oleh

 Taman Nasional Meru Betiri di masyarakat suku asli yang homogen

Kabupaten Jember dan Kabupaten dalam kehidupan ekonomi, sosial

Banyuwangi. maupun budaya. Interaksi antara

 Taman Nasional Alas Purwo di masyarakat dengan kawasan TNBTS

Kabupaten Banyuwangi. tidak dapat dihindari dengan


tinggalnya masyarakat dalam desa

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 76


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

enclave di dalam kawasan TNBTS. masyarakat adat. Hal ini akan


Ketergantungan yang tinggi terhadap berdampak pada kerusakan hutan.
kawasan, tingkat pendapatan yang Meskipun dalam pemanfaatan hutan
rendah, dan kecenderungan memilih telah diatur didalam PP no 6 tahun
pekerjaan yang dapat menghasilkan 2007 yang kemudian disempurnakan
keuntungan dalam waktu singkat PP no 3 tahun 2008 tentang Tata Hutan
mendorong masyarakat melakukan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan
interaksi yang dapat mengancam Hutan serta Pemanfaatan Hutan yang
kelestarian kawasan. mengamanahkan bahwa pemanfaatan
Pengambilan kayu bakar maupun hasil hutan kayu adalah kegiatan untuk
non kayu merupakan bentuk interaksi memanfaatkan dan mengusahakan
yang sering dilakukan oleh hasil hutan berupa kayu dengan tidak
masyarakat. Kebiasaan masyarakat merusak lingkungan dan tidak
mencari kayu bakar sulit dihilangkan, mengurangi fungsi pokoknya.
karena selain digunakan untuk Pemanfaatan hasil hutan kayu, juga
memasak, juga digunakan sebagai harus mendapatkan Izin Usaha
penghangat ruangan. Namun disisi lain, Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada
ada masalah perambahan hasil hutan Hutan Tanaman (IUPHHK-HT).
oleh masyarakat setempat yang berada IUPHHK-HT adalah izin usaha untuk
di wilayah TNBTS. Menurut membangun hutan yang dibangun oleh
Purwaningrum (2006) menyatakan kelompok industri dengan tujuan
bahwa masyarakat yang tinggal di meningkatkan potensi dan kualitas
daerah enclave melakukan hutan dalam rangka memenuhi
perambahan hutan karena terdorong kebutuhan bahan baku industri.
untuk memenuhi kebutuhan hidup Ketentuan-ketentuan tersebut
seperti memasak, penghangat ruangan, dijadikan sebagai landasan hukum bagi
membangun rumah dan upacara adat. petugas kehutanan (dalam hal ini
Dalam memanfaatkan hutan, adalah polisi hutan/jagawana),
sering kali menimbulkan berbagai utamanya didalam melindungi dan
pandangan yang berbeda-beda baik mengamankan hutan.
dari pemerintah daerah dengan

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 77


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

Pandangan dan kepentingan Apabila keselamatan, kemakmuran,


yang berbeda ini mempengaruhi dan keselarasan antara dewa-dewa,
tingkah laku yang berbeda pula. Dari roh-roh halus, dan roh-roh leluhur
segi masyarakat adat, perambahan tidak terwujud, gangguan dipercaya
hutan karena terdorong untuk akan datang. Gangguan tersebut dapat
memenuhi kebutuhan hidup seperti berupa wabah penyakit, bencana alam,
memasak, penghangat ruangan dan kelaparan, gagal panen, dan lain
membangun rumah. Karena sebagainya. Oleh karena itu mereka
masyarakat adat tidak melakukan izin memiliki petunjuk atau ajaran atau
seperti dalam IUPHHK-HT, maka akan wewadi yang mengarah pada
mendapatkan pidana penjara paling keselamatan, kemakmuran dan
lama 10 tahun dan denda paling keselarasan (BTNBTS, 2006 :35).
banyak Rp 200.000.000,-, sesuai dalam Wewadi terumus dalam setiap
pasal 40 UU nomor 5 tahun 1990, bentuk kehidupan bersama dari
tentang Konservasi Sumber Daya Alam manusia dan tercakup secara lebih
dan Ekosistemnya. Sebaliknya ketika konkrit dalam norma-norma sosial
polisi hutan melakukan penebangan sebagai pedoman yang diajarkan
kayu dalam rangka memenuhi kepada para warganya supaya
kebutuhan bahan baku industri diperhatikan dalam berperilaku.
dengan melakukan izin seperti dalam Wewadi itu juga tumbuh, dianut dan
IUPHHK-HT, maka masyarakat adat dipertahankan diantara manusia yang
menerapkan sanksi sosial yang bergaul di dalam suatu masyarakat
dimiliki oleh masyarakat Tengger di supaya dengan demikian dapat
desa Ngadas dan Ranu Pani. dihindarkan segala bencana dan
Masyarakat disekitar hutan selalu bahaya yang mungkin atau telah
mengupayakan terwujudnya mengancam sehingga terwujudlah
keselamatan, kemakmuran dan keselarasan dengan lingkungan alam,
keselarasan antara kehendak dewa, khususnya pada hutan. Mereka
roh-roh halus, dan roh-roh leluhur berusaha tidak menebangi hutan,
mereka yang bersemayam di sekitar karena hutan tersebut juga merupakan
mereka dengan kehidupan mereka. tempat berlindung dan bermukimnya

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 78


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

binatang liar (binatang hutan). Oleh keanekaragaman hayati pada hutan


karena itu sebagai sesama mahkluk konservasi perlu dikembangkan.
Tuhan harus saling memberi hidup dan Penyelesaian konflik dalam
tidak boleh saling menganggu. Dengan pemanfaatan sumber alam dilandasi
demikian mereka tidak mau berbuat kesepakatan-kesepakatan yang
sesuatu kesalahan termasuk juga dikonstruksi dukun adat dalam
kesalahan terhadap alam mengatur pengelolaan sumber alam.
lingkungannya. Agar lingkungan tetap Ini menunjukkan bahwa hukum negara
memberi sumber kehidupan dan tidak dijadikan sebagai rujukan,
penghidupan kepada masyarakatnya, bahkan dihindari (avoidance), untuk
maka masyarakat pun harus memberi menyelesaikan persoalan konflik antar
kecintaan kepada lingkungan. warga yang mempunyai kepentingan
Menurut Dewan Riset Nasional yang berbeda dalam memanfaatan
dari Kantor Menristek, pemanfaatan hutan konservasi, namun diselesaikan
keanekaragaman hayati pada hutan lewat saluran kultural.
konservasi belum ada yang
mengadakan penelitian. Selama ini Masalah Penelitian
pemerintah daerah belum pernah Masalah Penelitian ini meliputi :
mempertimbangkan dan melaksana- (1). Kepentingan dan pandangan apa
kan pemanfaatan keanekaragaman saja bagi warga setempat yang ada di
hayati pada hutan konservasi. desa Ngadas dan desa Ranu Pani
Pemerintah daerah belum masyarakat adat Tengger dan polisi
berkoordinasi dengan kepentingan hutan dalam pemanfaatan hutan
masyarakat adat. Pada umumnya konservasi, yang pada akhirnya
aspek sosial budaya kurang berdampak pada konflik kepentingan.
memperoleh porsi dalam kegiatan (2). Bagaimana bentuk-bentuk
penelitian pemanfaatan keaneka- sengketa dan cara penyelesaiannya?
ragaman hayati pada hutan konservasi.
Padahal aspek ini amat berperan pada
pemilihan model yang terkait dengan
konflik dalam pemanfaatan

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 79


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

Metode Penelitian pemanfaatan lingkungan hutan

Dalam rangka mendapatkan data konservasi baik antar warga maupun

dan informasi yang empirik, maka antara warga dengan polisi hutan. (2)

penelitian ini menggunakan jenis Pengumpulan Data : (a). Pengamatan

penelitian deskripstif dengan atau Observation. Dalam pengamatan,

pendekatan kualitatif. Ada beberapa peneliti melakukan dengan cara

tahapan yang digunakan dalam bergaul secara intensif dengan

penelitian, sebagai berikut : (1) penduduk, mendengarkan pandangan-

Penentuan lokasi penelitian : pandangan mereka, merasakan

ditentukan secara purposive di desa keadaan kehidupan mereka bagi pihak

Ngadas dan Ranu Pani masyarakat adat yang telah melakukan konflik dan

Tengger dengan asumsi bahwa upaya penyelesaian konflik. Selain itu,

Masyarakat Suku Tengger yang tinggal peneliti juga melakukan kegiatan

di desa Ngadas dan desa Ranu Pani pengamatan di tempat-tempat umum

sangat menghormati dan seperti di kegiatan keagamaan, pasar,

mengeramatkan, serta memiliki ikatan warung-warung dan balai desa ; dan

emosional yang kuat dengan kawasan (b). Wawancara Mendalam atau

Gunung Bromo dan Laut Pasir Tengger, indepth interview. Wawancara ini

karena baik yang tinggal di desa meliputi dengan pihak-pihak yang

Ngadas maupun Ranu Pani memiliki berkonflik warga dengan polisi hutan,

kearifan lokal dalam menjaga serta bagaimana bentuk-bentuk

pemanfaatan hutan konservasi di penyelesaiannya. (3) Penentuan

sekitar mereka. Desa Ngadas dan Ranu Informan meliputi : dukun adat, polisi

Pani pada masyarakat Suku Tengger hutan mendapatkan informasi tentang

memiliki beberapa ketentuan sanksi aturan-aturan tertulis (hukum negara)

sosial terhadap pelanggaran dalam pengelolahan hutan konservasi

pemanfaatan lingkungan hutan dan bisnis militer, perangkat desa dan

konservasi. Selain itu, desa Ngadas dan tokoh masyarakat yang memahami

Ranu Pani pada masyarakat Suku nilai-nilai lokal yang berkaitan dengan

Tengger sangat rawan konflik dalam kearifan lokal dalam pemanfaatan


hutan konservasi. LSM lokal sebagai

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 80


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

pihak ketiga dalam menangani dan Pemanfaatan Hasil Kayu


mengadvokasi penyelesaian konflik Masyarakat adat Tengger yang
dalam pemanfaatan hutan konservasi. tinggal di dalam kawasan hutan
Demikian juga, masyarakat adat yang (enclave), yang merupakan bagian dari
mempunyai kegiatan pengelolahan Taman Nasional Bromo Tengger
hasil hutan, seperti mencari kayu Semeru, sangat menggantungkan
bakar, rumput dan menggembalakan hidupnya pada hutan. Hal ini berakibat
ternak. (4) Analisa data : data yang masyarakat melakukan suatu bentuk
terkumpul kemudian diklasifikasikan kegiatan yang ditujukan untuk
dan diidentifikasikan dengan memenuhi keperluannya terutama
memberikan makna pada tema dan sub kebutuhan kayu bakar yang terus
tema serta mencari hubungan antar meningkat dengan pesat. Kebutuhan
data kemudian dianalisa. akan kayu bakar ini, utamanya
dipengaruhi oleh suhu yang sangat
Hasil dan Pembahasan dingin. Seperti diketahui, masyarakat

Pandangan Masyarakat Adat adat Tengger berada pada ketinggian


Tengger dalam Pemanfaatan Hutan 2200 diatas permukaan air laut.
Konservasi
Sehingga masyarakat membutuhkan-
Pada umumnya masyarakat desa nya sebagai penghangat badan. Hal ini
adat Tengger di kawasan hutan secara seperti yang dikemukakan oleh
turun-temurun telah memanfaatkan seorang informan pak Nenggos.
lingkungan hutan sebagai sumber
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pernyataan Pak Nenggos :
“…ndek kene gak ngobong kayu, yak
Sumber itu berasal dari kayu maupun opo digawe maem. La wong uripe
teko kayu. Lek wis tangi ae wis kayu,
nonkayu, seperti tanaman obat-obatan turu ambek kayu. Nyatane yo wong
dan rumput. Dalam pemanfaatan ini Ranu iku, gak onok wong sugih, gak
onok pamonge. Kabeh yo padha
dibagi menjadi dua yaitu kayu dan non nang njero alas. Ngapek kayu
obong.”
kayu.
(“…di sini (Ranu Pani) tidak mencari
kayu bakar, apa yang dibuat untuk
makan. Hidupnya orang sini dari
kayu. Kalau sudah bangun aja pakai

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 81


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

kayu, tidur sama kayu. (leles=pepel=luru), dan bukan kayu


Kenyataannya ya (di) Ranu itu, tidak
ada orang kaya, tidak ada pamong. basah atau tegak berdiri. Peralatan
Semuanya ya ke dalam hutan. yang digunakan dalam pengambilan
Mencari kayu bakar”).
kayu seperti pecok, wadung rimbas,
Dari informan tersebut, jelaslah
calok, berang, cangkul, dan pisau. .
diketahui bahwa kebutuhan kayu
Terkadang juga digunakan peralatan
bakar merupakan kebutuhan yang
gergaji biasa. Untuk perempuan
sangat mendasar. Kayu bakar
biasanya juga digunakan selendang
utamanya bermanfaat sebagai
atau jarit untuk memikul kayu.
penghangat badan. Untuk itulah di
Umumnya masyarakat Tengger
setiap rumah orang Tengger selalu
menggambil kayu secara diam-diam
terdapat perapian yang letaknya di
karena takut ketahuan petugas
bagian dapur.
kehutanan/PPA.
Kayu juga dapat bermanfaat
Ada jenis-jenis kayu yang
untuk bahan bakar, yaitu untuk
biasanya diambil oleh masyarakat.
keperluan memasak. Umumnya
Diantaranya akasia, cemara, ceboran,
masyarakat Tengger menggunakan
tunjung, putihan, terpasan, mencokan,
kayu untuk memasak. Kompor gas
kemlandingan, dan sebagainya. Kayu-
bantuan dari pemerintah, ternyata
kayu tersebut biasanya digunakan
tidak dapat difungsikan oleh
sebagai bahan bakar, baik sebagai
masyarakat Tengger, karena tidak
penghangat tubuh maupun memasak.
dapat untuk perapian sebagai
Menurut masyarakat setempat, kayu
penghangat badan. Menurut
dari tumbuhan akasia sebenarnya yang
masyarakat, meskipun sudah
paling cocok untuk bahan bakar.
menggunakan kompor gas, tetap saja
Sedangkan untuk bangunan rumah
di rumahnya ada perapian. Kayu bakar
lebih cocok menggunakan cemara.
mempunyai fungsi ganda, selain untuk
Menurut pak Rendy, sebenarnya jenis
perapian juga bisa untuk memasak.
kayu yang paling baik untuk bangunan
Pada pengambilan kayu (bakar)
rumah yang bisa didapat di hutan
di hutan, kayu yang boleh diambil
sekitar adalah kayu barus karena
adalah kayu kering, kayu yang roboh
mempunyai sifat empuk, tahan lama,

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 82


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

anti rayap. Misalnya saja kayu ini tidak batang, dan daunnya sebagi obat-
akan hancur meskipun dipendam di obatan. Kegiatan mencari tumbuhan
tanah selama 5 tahun. obat-obatan di hutan ini disebut
Sebagaimana telah dijelaskan, busuran. Tumbuhan obat-obatan yang
manfaat kayu sebagai bahan bakar. dapat ditemui di hutan misalnya
Ternyata sebagian masyarakat juga seperti suri pandak, permenan, jenggot
mengusahakan kayu bakar untuk wesi, akar sempretan, jahe wana,
dijual. Tumbuhan yang sering dijual sumber etan, krangean, daun po’o,
sebagai kayu bakar adalah jenis akasia. kalitus, pronojiwo, dan sebagainya.
Harga kayu bakar, 1 bentel = 1 pikul = Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa
Rp 15.000. Bila membeli kayu bakar pada bagian-bagian tertentu, seperti
dalam jumlah banyak, misalnya 10 akar, batang dan daun mempunyai
pikul, dimana 1 pikulnya dihargai Rp khasiat sebagai obat-obatan. Misalnya
5000. Selain itu, kayu sebagai bahan daun po’o itu bisa dimanfaatkan untuk
bangunan juga dijual. Seperti kayu obat sakit kepala dan obat sakit perut.
barus, kayu sembung, dan sebagainya. Pada umumnya masyarakat
Masyarakat sering membeli jenis-jenis mempunyai pengetahuan tentang
kayu tersebut karena memiliki kualitas tumbuhan obat-obatan. Pengetahuan
yang sangat baik dan tahan lama. itu diperoleh secara turun-temurun.
Meskipun kegiatan seperti ini dilarang Dari beberapa informan yang
oleh negara, namun kenyataannya diwawancarai menunjukkan mereka
banyak masyarakat yang mengetahui tentang manfaat obat-
melakukannya. obatan meskipun tidak terlalu
mendetail. Tetapi hanya pada jenis-
Pemanfaatan Hasil Nonkayu
jenis tertentu dan kecenderungan
Selain kayu sebagai hasil utama
masyarakat untuk menggunakan obat-
hutan, juga terdapat hasil ikutan atau
obatan tradisional.
hasil nonkayu. Diantaranya:
Pengetahuan tentang hal tersebut
1) Obat-obatan
pada umumnya dikuasai oleh dukun.
Tumbuh-tumbuhan yang hidup di
Seperti dukun Bambang yang
hutan dapat dimanfaatkan akar,
seringkali mengenalkan tumbuhan

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 83


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

obat dan manfaatnya pada masyarakat ada yang digunakan untuk keperluan
Tengger. Pak dukun Bambang makanan ternak milik sendiri ataupun
memberikan contoh tentang tumbuhan untuk dijual. Bila dijual, harga 1 pikul
obat. Misalnya obat tradisional untuk rumput sebesar Rp 5. 000.
sakit perut dengan menggunakan kulit Berdasarkan penjelasan yang
manggis tua, kulit kerbau, gula batu, telah diuraikan, dapat diketahui bahwa
buah jambe, dan gula merah. masyarakat memanfaatkan hasil hutan
Kemudian semuanya itu digoreng yang terutama adalah kayu. Manfaat
tanpa minyak sampai gosong atau kayu untuk menghangatkan tubuh
hangus. Setelah itu dihancurkan (gegeni), bahan bakar seperti
sampai halus dengan cara dideplok, memasak, membangun rumah, dan
dan nantinya akan berupa bubuk yang membuat arang. Sedangkan untuk hasil
dicampur air lalu diminum. nonkayu, yaitu tanaman obat-obatan
dan rumput.
2) Rumput
Dalam hal ini, masyarakat
Masyarakat Tengger dalam
Tengger memandang hutan sebagai
kesehariannya juga memelihara hewan
sumber kehidupan. Karena hutan
ternak, seperti sapi, kambing, kerbau,
dilihat sebagai sumber penyedia kayu,
dan babi. Hewan tersebut tentu saja
tanaman obat-obatan, binatang, dan
setiap hari membutuhkan makanan.
lain-lain. Maka dari itu, kelangsungan
Makanan itu salah satunya berupa
hidup masyarakat Tengger sangat
rumput. Untuk itu masyarakat Tengger
bergantung pada alam yaitu hutan
mengambil rumput di hutan. Kegiatan
sehingga mereka memanfaatkan
mengambil rumput ini disebut
keberadaan hutan. Dalam kebudayaan
krepelan.
masyarakat Tengger bahwa manusia
Kegiatan mencari rumput itu
harus dapat berusaha mencari
biasanya dilakukan oleh anak-anak
keselarasan dengan lingkungan alam,
setelah pulang sekolah. Kalaupun pagi
yaitu hutan. Keselarasan dengan
harinya, yaitu sebelum pulang sekolah,
lingkungan alam (hutan) diwujudkan
anak-anak mencari rumput hanya di
dengan cara memanfaatkan alam
sekitar ladang. Hasil dari rumput itu
secara sebaik-baiknya. Seperti kegiatan

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 84


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

mengambil kayu, mengumpulkan Sebagian besar kawasan ditetapkan


tanaman obat-obatan, mengumpulkan sebagai taman secara sepihak, tanpa
rumput untuk makanan ternak, dan sepengetahuan dengan masyarakat
sebagainya. setempat. Bahkan terlalu sering,
Hubungan antara tumbuhan dan masyarakat setempat baru tahu bahwa
kebudayaan manusia tidak hanya tanah yang mereka yakini sebagai
terbatas pada kebutuhan manusia tanah warisan leluhur telah menjadi
untuk pangan, pakaian dan bangunan, taman nasional. Seperti pengertian
tapi juga termasuk ke dalam hutan dalam UU 41 tahun 1999 tentang
penggunaan tumbuhan untuk Kehutanan adalah :
keperluan agama dan obat. “suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya
Keanekaragaman jenis tumbuhan, alam hayati yang didominasi
termasuk bagaimana masyarakat pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan
Tengger mengklasifikasikannya dan yang lainnya tidak dapat
dipisahkan”..... yang ditunjuk atau
memakannya, bagaimana mereka ditetapkan pemerintah untuk
menggunakannya dan mengelola dan dipertahankan keberadaanya
sebagai hutan tetap...... yang berada
bagaimana mereka mengeksploitasnya. pada tanah yang tidak dibebani hak
milik”
Pandangan Polisi Hutan dalam
Pemanfaatan Hutan Konservasi Undang-undang Indonesia yang
mengatur sumberdaya tanah dan alam
Semua ‘hutan negara’ di
bersifat kompleks dan kontradiktif.
Indonesia secara resmi dikelompokkan
Hukum Indonesia melarang segala
menjadi tiga kategori fungsional:
kegiatan manusia seperti penebangan
Hutan Lindung (untuk perlindungan
kayu sembarangan di dalam wilayah
aliran sungai dan pencegahan erosi
inti Taman Nasional. Masyarakat
tanah); Kawasan Konservasi (meliputi
Tengger, tanah merupakan modal
Taman Nasional dan Cagar Alam) dan
utama; bagi bagian terbesar dari
Hutan Produksi. Sebagaimana halnya
wilayah-wilayah itu bahkan
di hampir seluruh kawasan hutan di
merupakan satu-satunya modal. Oleh
Indonesia, Taman Nasional juga berada
karena itu, persekutuan setempat atau
di atas tanah adat masyarakat asli.

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 85


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

persekutuan wilayah bukan hanya desa sendiri. Warga dari desa tetangga
merupakan persekutuan hukum belaka atau luar desa dilarang membeli tanah
saja, melainkan juga terutama di kawasan desa Ngadas dan Ranu
persekutuan usaha dengan tanah Pani. Karena itu tanah di desa tersebut
selaku modal; pada dasarnya semua tetap utuh dikelola masyarakat sendiri.
anggota persekutuan yang Itu juga menjadi salah satu faktor
bersangkutan mempunyai dan mengapa kebudayaan di Ngadas dan
memenuhi kewajiban dalam Ranu Pani tetap terjaga.
memelihara ekosistem lingkungannya. Hingga sekarang, tanah pertanian yang
Bagi persekutuan hukum Indonesia ada semuanya dikelola masyarakat.
yang kecil (bersifat territorial) dalam Tidak satu pun penduduk luar desa
hal ini masyarakat Tengger dan hampir yang mengelola. Walau diberi harga
seluruhnya bertitik tumpu pada yang sangat tinggi, aturan adat,
pertanian, suatu wilayah bukan hanya masyarakat tidak boleh menjualnya.
merupakan tempat mempertahankan Hanya boleh pada masyarakat yang
hidup semata, tetapi kepada wilayah ada di desa. Dalam hal hak purba
itulah orang juga terikat dalam persekutuan hukum di masyarakat
persekutuan hukum. Akan tetapi Tengger sangat kuat, maka hak
karena semua tanah dalam lingkungan menjual tanah itu dilarang.
persekutuan hukum itu bertujuan Hak-hak perorangan dalam
untuk dimanfaatkan demi kepentingan persekutuan hukum dapat juga
persekutuan hukum beserta para dipandang sebagai pelaksanaan dari
warganya masing-masing. hukum tanah itu oleh masing-masing
Di lingkungan hukum adat Tengger, anggota persekutuan. Hak-hak
campur tangan itu dilakukan oleh persekutuan dan hak-hah perorangan
kepala desa atau tokoh adat sebagai setiap anggotanya saling pengaruh-
tetua dari persekutuan hukum. Selain mempenaruhi. Hak persekutuan ini
bertugas menjalankan pemerintahan, disebut hak purba/hak pertuanan/hak
kades juga diminta menjaga adat ulayat
istiadat desa. Salah satunya menjaga Hak persekutuan hukum ialah hak
tanah desa tetap utuh dimiliki warga yang dipunyai oleh suatu suku

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 86


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

(clan/gens/stam), sebuah serikat desa- sertai pembayaran upeti, mesi


desa atau biasanya oleh sebuah desa (recognitie, retributie), kepada
saja untuk menguasai seluruh tanah persekutuan hukum.
seisinya dalam lingkungan wilayahnya 4) Persekutuan hukum bertanggung-
(Muhammad, 1981 : 103-106 ; Sudiyat, jawab atas segala hal yang terjadi
1981 : 1-8). dalam wilayahnya, terutama yang
Ciri-ciri pokok persekutuan hukum berupa tindakan melawan hukum,
ialah : yang merupakan delik.
1) Hanya persekutuan hukum itu 5) Hak purba tidak dapat dilepaskan,
sendiri beserta para warganya yang dipindah-tangankan, diasingkan
berhak dengan bebas untuk selamanya.
rnempergunakan tanah-tanah liar 6) Hak purba meliputi juga tanah yang
di wilayah kekuasaannya. sudah digarap, yang sudah diliputi
2) Orang luar hanya boleh oleh hak perorangan.
mempergunakan tanah itu dengan Hak purba persekutuan hukum
izin penguasa persekutuan diakui dengan tegas di dalam UUPA
tersebut; tanpa izin itu ia dianggap (UU No. 5/1960). Dalam pasal 3
melakukan pelanggaran. dinyatakan :
3) Warga sepersekutuan hukum boleh “Dengan mengingat ketentuan-
ketentuan dalam pasal 1 + 2,
mengambil manfaat dari wilayah pelaksanaan hak ulayat dan hak-
hak purba dengan restriksi : hanya hak yang serupa itu dari
masyarakatakat-masyarakat
untuk keperluan somah/ brayat/ hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus
keluarganya sendiri; jika sedemikian rupa, sehingga sesuai
dimanfaatkan untuk kepentingan dengan kepentingan nasional dan
negara yang berdasarkan atas
orang lain, ia dipandang sebagai persatuan bangsa, serta tidak
boleh bertentangan dengan
orang asing, sehingga harus
Undang-undang dan peraturanan-
mendapat izin lebih dahulu. peraturan (hukum) lain yang lebih
tinggi”.
Sedangkan orang asing hanya
diperkenankan mengambil manfaat Tentang pelaksanaan hak ulayat itu

dari wilayah hak purba dengan izin dijelaskan dalam pasal 5 UUPA sebagai

kepala persekutuan hukum di berikut :

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 87


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

“Hukum Agraria yang berlaku atas aturan pengambilan keputusan yang


bumi, air dan ruang angkasa ialah
Hukum Adat, sepanjang tidak secara kolektif dikenal sebagai adat.
bertentangan dengan kepentingan Adat tidak bersifat statis dan bukan tak
nasional dan negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, berubah. Sebagian besar pengetahuan
dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang mereka tersebut telah ada dari
tercantum dalam Undang-undang ini generasi ke generasi dan
dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan dipertahankan secara lisan.
mengindahkan unsur-unsur yang
Masyarakat setempat dirampas
berdasarkan hukum agama”.
hak dan keberdayaannya selama masa
Ini berarti : berdasarkan hak ulayat
Soeharto. Hutan-hutan adat diklaim
yang bersumberkan hukum adat ini,
sebagai tanah negara; tanah adat dan
masyarakat hukum yang bersangkutan
kepemilikan atas sumberdaya tak
tidak boleh menghalangi pemberian
diakui; sistem adat untuk pengelolaan
hak guna usaha yang hendak dilakukan
hutan diabaikan. Beberapa bagian
oleh Pemerintah.
pasal 3 UU agraria 1960 yang
Jika Pemerintah misalnya hendak
mengakui masyarakat adat beserta
melaksanakan pembukaan hutan
hak-hak mereka diabaikan oleh
secara besar-besaran dan teratur
pemerintah. Namun disisi lain
dalam rangka proyek besar untuk
pemerintah mengakui keberadaan
penambahan bahan makanan dan kayu
hukum adat, hukum negaralah yang
mengatasnamakan pembangunan,
dianggap lebih tinggi. Hal ini
maka hak ulayat dari suatu masyarakat
menimbulkan pertentangan
hukum adat tidak boleh dijadikan
pandangan yang mendasar antara
penghalang.
negara dan masyarakat adat dalam
Hukum adat sudah ada jauh
pemanfaatan hutan.
sebelum lahir negara Indonesia dan
sebelum masa penjajahan Belanda dan
Bentuk-Bentuk Sengketa dan
Jepang. Masyarakat Tengger di Taman Penyelesaiannya
Nasional ini memiliki sejarah sendiri
Menurut Kovach, conflict berasal
dan mengembangkan kepercayaan
dari bahasa latin con (together) dan
spiritual, norma budaya, stuktur dan
fligere (to strike). Jadi conflict adalah as

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 88


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

an encounter with arms, a fight, a battle, hukum atau kebijakan dimana dua
a prolonged struggle. Secara ringkas, pihak saling berhadapan antara yang
definisi ini menjelaskan bahwa konflik mengklaim dan yang menolak (Merrils,
adalah suatu perjuangan manusia yang 1994 : 1).
menyangkut perbedaan berbagai prinsip Kriekhof dengan mengutip
pernyataan, pernyataan dan argumentasi pendapat Laura Nader dan Harry Todd,
yang berlawanan (Hadi, 2006 : 2). mengemukakan perbedaan antara
Sedangkan Black menyatakan bahwa konflik dengan sengketa (Kriekhoff,
sengketa (dispute) adalah 1993 : 225)
a) Pra-konflik adalah keadaan yang
”a conflict or controversy ; a conflict
of claim or right ; claim or demand mendasari rasa tidak puas
one side, met by contrary claims or
allegations on the other. The subject
seseorang.
of litigation” b) Konflik adalah keadaan dimana

(konflik atau kontroversi, konflik para pihak menyadari atau


mengenai klaim/hak, pernyataan mengetahui tentang adanya
tentang suatu hak, klaim atau
tuntutan di satu pihak berhadapan perasaan tidak puas tersebut.
dengan pihak lain, hal ini yang
berkaitan dengan hukum) (Black, c) Sengketa adalah keadaan dimana
1990 : 471). konflik tersebut dinyatakan di muka
Sengketa atau konflik di umum atau dengan melibatkan
definisikan oleh Vilhelm Aubert pihak ketiga.
sebagai suatu keadaan dimana dua Dari beberapa definisi diatas,
orang atau lebih terlibat pertentangan konflik dilihat sebagai wahana yang
secara terang-terangan. Secara teoritis memunculkan kekuatan integratif.
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Para ahli sosiologi hukum lebih
konflik kepetingan (conflict of interest) memfokuskan pada penggunaan istilah
dan klaim atas hak (claim of rights) "konflik". Sedangkan para ahli
(Friedman,1975: 179). Sedangkan Antropologi hukum terdapat
Merrills condong menggunakan istilah kecederungan untuk memfokuskan
sengketa dengan makna ”suatu pada istilah "sengketa" atau "dispute".
perselisihan khusus yang terkait fakta, Sengketa hukum menjadi istilah baku
dalam ilmu hukum, khususnya yang

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 89


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

terkait dengan kasus-kasus perdata 5 tahun 1990, tentang Konservasi


untuk membedakan dengan perkara Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya.
pidana. Sesuai dengan pemba- Secara khusus mengacu pada pasal 19,
hasannya, maka dalam penelitian ini, pasal 21, pasal 33, dan pasal 40.
peneliti mengacu pada istilah konflik Bunyi pasal 19 sebagai berikut:
yang berkelanjutan dan melibatkan 1 Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan yang dapat
dua pihak atau lebih. mengakibatkan perubahan
Pemanfaatan hutan juga terdapat terhadap keutuhan Kawasan Suaka
Alam.
landasan hukum negara atau peraturan 2 Keutuhan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) tidak termasuk
perundang-undangan yang berlaku, kegiatan pembinaan habitat untuk
yaitu: kepentingan satwa di dalam Suaka
Marga Satwa.
1) Undang-Undang nomor 5 tahun 1967, 3 Perubahan terhadap keutuhan
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kawasan Suaka Alam sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) meliputi
Kehutanan mengurangi, menghilangkan fungsi
dan luas Kawasan Suaka Alam,
2) Undang-Undang nomor 4 tahun 1982, serta menambah jenis tumbuhan
tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok dan satwa lain yang tidak asli.

Pengelolaan Lingkungan Hidup Bunyi pasal 21 sebagai berikut:


3) Peraturan Pemerintah nomor 28 tahun 1) Setiap orang dilarang untuk:
a) Mengambil, menebang, memiliki,
1985, tentang Perlindungan Hutan. merusak, memusnahkan,
memelihara, mengangkut dan
4) Undang-Undang nomor 5 tahun memperniagakan tumbuhan
1990, tentang Konservasi Sumber yang dilindungi atau bagian-
bagiannya dalam keadaan hidup
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya atau mati.
Ketentuan-ketentuan tersebut b) Mengeluarkan tumbuhan yang
dilindungi atau bagian-
dijadikan sebagai landasan hukum bagi bagainnya dalam keadaan hidup
atau mati dari suatu tempat di
petugas kehutanan di Resort Ranu Pani Indonesia ke tempat lain di
(masyarakat sekitar biasa menyebutnya dalam atau di luar Indonesia.
2) Setiap orang dilarang untuk:
dengan petugas PPA/polisi hutan/ a) Menangkap, melukai,
jagawana), utamanya didalam membunuh, menyimpan,
memiliki, memelihara,
melindungi dan mengamankan hutan. mengangkut dan
memperniagakan satwa yang
Dalam kenyataannya, petugas PPA lebih dilindungi dalam keadaan hidup.
mengacu pada Undang-Undang nomor

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 90


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

b) Menyimpan, memiliki, dimaksud dalam pasal 19 ayat


memelihara, mengangkut dan (1) dan pasal 33 ayat (1)
memperniagakan satwa yang dipidanakan dengan pidana
dilindungi dalam keadaan mati. penjara paling lama 10 tahun
c) Mengeluarkan satwa yang
dan denda paling banyak Rp
dilindungi dari suatu tempat di
200.000.000,-.
Indonesia ke tempat lain di
2) Barang siapa dengan sengaja
dalam atau di luar Indonesia.
melakukan pelanggaran terha-
d) Memperniagakan, menyimpan
dap ketentuan sebagaimana
atau memiliki kulit, tubuh atau
dimaksud dengan pasal 21 ayat
bagian-bagian lain satwa yang
(1) dan (2) serta pasal 33 ayat
dilindungi atau barang-barang
(3) dipidanakan dengan pidana
yang dibuat dari bagian-bagian
penjara paling lama 5 tahun dan
satwa tersebut atau
denda paling banyak Rp
mengeluarkannya dari suatu
100.000.000,-
tempat di Indonesia ke tempat
3) Barang siapa karena kelalaian-
lain di dalam atau di luar
nya melakukan pelanggaran
Indonesia.
terhadap ketentuan sebagai-
e) Mengambil, merusak,
mana dimaksud dalam pasal 19
memusnahkan,
ayat (1) dan pasal 33 ayat (1)
memperniagakan, menyimpan
dipidanakan kurungan paling
atau memiliki telur dan atau
lama 1 tahun dan denda paling
sarang satwa yang dilindungi.
banyak Rp 100.000.000,-
4) Barang siapa karena kelalaian-
Bunyi pasal 33 sebagai berikut:
nya melakukan pelanggaran
1) Setiap orang dilarang
terhadap ketentuan sebagai-
melakukan kegiatan yang dapat
mana dimaksud dalam pasal 21
mengakibatkan perubahan
ayat (1) dan (2) serta pasal 33
terhadap zona inti Taman
ayat (3) dipidanakan dengan
Nasional.
kurungan paling lama 1 tahun
2) Perubahan terhadap keutuhan
dan denda paling banyak Rp
zona inti Taman Nasional
50.000.000,-
dimaksud dalam ayat (1)
5) Tindak pidana sebagaimana
meliputi mengurangi,
dimaksud pada ayat (1) adalah
menghilangkan fungsi dan luas
kejahatan dan tindak pidana
zona inti Taman Nasional, serta
sebagaimana dimaksud pada
menambah jenis tumbuhan dan
ayat (3) dan ayat (4) adalah
satwa lain yang tidak asli.
pelanggaran.
3) Setiap orang dilarang
melakukan kegiatan yang
dapat/tidak sesuai dengan Pada intinya, ketentuan hukum
fungsi zona pemanfaatan dan negara yang berlaku bagi pemanfaatan
zona lain dari Taman Nasional,
Taman Hutan Raya dan Taman hutan dan hasil hutan di dalam hutan
Wisata Alam.
lindung dan di dalam suaka alam
Bunyi pasal 40 sebagai berikut: adalah pelarangan untuk melakukan
1) Barang siapa dengan sengaja
melakukan pelanggaran terha- segala bentuk kegiatan yang
dap ketentuan sebagaimana

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 91


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

mengakibatkan perubahan keutuhan 1952, sedangkan penetapan Ranu Pani


kawasan hutan. Hal ini seperti yang sebagai bagian dari kawasan TNBTS
diungkapkan staf PPA Resort Ranu baru ditetapkan tahun 1982. Sejak
Pani, Pak Cahyo, yang sudah bertugas itulah, mulai dibuat aturan-aturan
selama 19 tahun: mengenai pal-pal batas antara
“Hutan yang tidak ada eksploitasi di kawasan hutan lindung dengan ladang-
dalamnya, hutan yang harus dijaga
kelestariannya. Hutan yang tidak ladang milik masyarakat. Sehingga
diproduksi, hutan yang betul-betul masyarakat tidak bisa lagi untuk
mempertahankan apa yang ada,
menjaga kelestarian di dalamnya. membuka ladang ditempat-tempat
Jadi tugas pokok kita hanya
pengamanan.” tersebut.
Dalam kenyataannya, di dalam
Berdasarkan uraian informan,
kegiatan pemanfaatan hutan, para
secara hukum negara, hasil-hasil hutan
petugas tidak hanya melandaskan pada
baik kayu dan nonkayu di desa Ngadas
Undang-Undang Konservasi tetapi juga
dan Ranu Pani tidak dapat
aturan-aturan yang berasal dari
dimanfaatkan oleh masyarakat.
petugas PPA sendiri. Para petugas PPA
Misalnya seperti masyarakat tidak bisa
itu lebih sering menyebutnya dengan
mengambil atau menebang kayu,
istilah “toleransi”. Pengertian
berburu binatang, memetik daun untuk
“toleransi” di sini lebih mengacu pada
obat-obatan, menggembalakan ternak,
kelonggaran-kelonggaran yang
mencari rumput, membuka lahan,
diberikan petugas PPA dalam
melakukan pengarangan dan
memanfaatkan hasil-hasil hutan.
sebagainya.
Toleransi yang diberikan petugas
Untuk pembukaan lahan, seperti
PPA yang berkaitan dengan
dijelaskan menurut hukum negara
pemanfaatan hutan, seperti berikut:
tidak diperbolehkan. Sedangkan saat
1) Masyarakat tidak boleh menebang
ini ladang-ladang yang berhamparan di
kayu, tapi harus mengambil kayu
TNBTS merupakan milik masyarakat
yang sudah roboh. Bila ternyata
sendiri dan berstatus hak milik.
kayu yang roboh itu masih basah,
Masyarakat Tengger mulai masuk ke
maka masyarakat tidak boleh
Ranu Pani dan Ngadas sejak tahun
mengambilnya. Bila ketahuan oleh

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 92


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

petugas PPA, maka harus


Toleransi yang diberikan oleh
menggantinya dengan menanam 10
petugas PPA itu karena dilatar
pohon di tempat yang ditetapkan
belakangi oleh kehidupan masyarakat
petugas PPA.
yang sangat bergantung pada hutan,
2) Selain kayu yang sudah roboh, kayu
utamanya kayu (bakar). Udara dan
yang diambil juga harus kayu yang
suhu yang dingin di Ranu Pani
sudah mati, kering (bagian dalam
membuat masyarakat memanfaatkan
dan luar kering), lapuk. Hal ini
kayu bakar untuk menghangatkan
dikarenakan akar-akar kayu kering
badan, disamping keperluan lainnya.
tidak mampu menyerap air. Kayu
Selain itu, toleransi ini
kering bila dibiarkan hidup
diberikan karena pada dasarnya
semakin lama semakin lapuk dan
petugas PPA tidak bisa “saklek” atau
akan terurai dengan tanah. Berbeda
kaku, tegas, menekan dengan aturan
dengan jenis kayu basah, jenis kayu
UU Konservasi. Karena bila terlalu
ini mampu menyerap dan
“saklek” bisa berakibat buruk pada
menampung air sehingga dapat
masyarakat, yaitu masyarakat akan
mencegah terjadinya banjir dan
mengambil kayu tanpa terpantau
tanah longsor
sehingga dikhawatirkan terjadi
3) Masyarakat bisa mengambil
penjarahan besar-besaran sebagai
rumput yang sudah kering
bentuk protes pada petugas. Untuk
4) Masyarakat bisa mengambil jamur.
itulah toleransi harus ada mengingat
Berikut ini pernyataan Staf PPA,
ketergantungan masyarakat terhadap
Cahyo, dengan logat bahasa campuran
hutan sangat besar. Berikut ini
Indonesia dan Jawa mengenai
pernyataan Staf PPA, Cahyo:
“toleransi” dalam pemanfaatan hutan:
“Pada masyarakat Tengger yang
“Kita ngasih toleransi. Oke, bisa tinggal di daerah enclave, ada
ngambil, tapi kayu-kayu yang sudah
toleransi, boleh memanfaatkan,
kering. Maksude kayak kayu-kayu
misalnya mengambil kayu bakar
rencek bukan kayu-kayu yang besar-
karena ketergantungan terhadap
besar. Kita kan ngasih toleransi. Sing
kayu bakar dalam keseharian tinggi,
penting tidak sampe merusak sehingga tidak boleh terlalu menekan
opo…yo…hutan secara luas. Kayak-
karena akan berbahaya. Yaitu
kayak sing garing-garing, suket lak
cepet tumbuhe.”

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 93


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

masyarakat akan mengambil kayu Dan yang terpenting dalam program


tanpa terpantau.”
ini adalah penanaman pohon (cemara,
Selain terdapat aturan-aturan akasia, kemlandingan) di pinggir-
berdasarkan UU Konservasi nomor 5 pinggir jalan dan kawasan hutan yang
tahun 1990 dan dari petugas PPA gundul. Penanaman pohon ini biasanya
sendiri. Ada juga aturan-aturan yang dilakukan saat musim penghujan,
sifatnya mengikat. Dalam arti, petugas utamanya bulan April. Hal ini
PPA memberikan saran atau usul dikarenakan untuk mencegah tanah
kepada masyarakat berkaitan dengan longsor dan dapat mempercepat
penanaman kayu-kayu (cemara, akasia, pertumbuhan pohon itu sendiri.
kemlandingan, dan sebagainya) di Sedangkan untuk kegiatan
ladang. Hal ini dimaksudkan untuk penanamannya sendiri dilakukan
mengurangi frekuensi pengambilan secara kerja bakti antara petugas PPA
kayu di hutan. Apabila ada masyarakat dan masyarakat setempat.
yang tidak mengikuti saran atau usul Masalah penyerobotan kawasan
tersebut maka petugas PPA tidak akan oleh masyarakat yang berbatasan
memberikan sanksi. Hanya bagi langsung dengan wilayah TNBTS
masyarakat Tengger sendiri merasa sering terjadi di kawasan TNBTS,
bahwa menanam kayu di ladang terutama di Desa Ngadas. Masyarakat
merupakan suatu “keharusan” Desa Ngadas memperluas lahan
sehingga menjadi suatu kebiasaan yang dengan mencangkul lahan dan
sifatnya mengikat. memindahkan atau menggeser pal
Selain itu, kebiasaan yang batas sehingga lahan yang semula
dianggap mengikat adalah keterlibatan termasuk kawasan TNBTS masuk ke
masyarakat dalam program konservasi lahan masyarakat. Purwaningrum
atau masyarakat setempat menye- (2006) menyatakan bahwa masyarakat
butnya program penghijauan. Program yang tinggal di daerah enclave
konservasi ini meliputi penyuluhan melakukan perambahan karena
mengenai pentingnya menjaga dan terdorong untuk mendapatkan lahan
melestarikan hutan. Penyuluhan ini yang relatif subur, dengan harapan
biasanya diberikan oleh Kepala TNBTS.

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 94


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

mendapatkan hasil pertanian yang besar, dan/atau rakyat versus


relatif tinggi. pemerintah termasuk BUMN.
Pengetahuan masyarakat ku- Umumnya konflik agraria berawal dari
rang mengetahui dan memahami proses “negaraisasi” tanah-tanah yang
dengan benar mengenai kawasan sudah lama dikuasai dan didiami
hutan atau TNBTS. Meskipun demikian, rakyat. Atas nama hak menguasai dari
masyarakat mulai menyadari bahwa negara, pemerintah kemudian
kerusakan hutan dapat mengakibatkan memberikan alas klaim atau hak
desa mereka kekurangan air. Sikap pemanfaatan baru bagi badan-badan
masyarakat memiliki preferensi sikap usaha swasta atau pemerintah. Jadi,
yang kurang peduli untuk melestarikan konflik agraria ini warisan dari
serta tidak menolak keberadaan hutan kebijakan masa lalu, yang belum
atau TNBTS, dan perilaku masyarakat kunjung ditangani serius oleh
masih melakukan pencurian kayu di pemerintah produk reformasi.
kawasan hutan atau TNBTS tetapi Proses hukum yang selama ini
tidak menimbulkan kerusakan digunakan untuk menyelesaikan
kawasan yang serius. konflik agraria (termasuk pemanfaatan
hutan konservasi) tidak pernah bisa
Simpulan mampu menyelesaikannya secara
Berdasarkan data-data yang tuntas. Proses yang ada menempatkan
terkumpul dan sudah dilakukan rasa kemanusiaan dan keadilan sosial
analisis maka dapat kita simpulkan rakyat korban konflik/sengketa masih
bahwa : jauh dari harapan.
Konflik di masyarakat Tengger
dengan Polisi Hutan berdampak pada Daftar Pustaka
konflik agraria ini merupakan konflik
Black, Herry Camphell. (1990), Black’s
struktural, yakni yang timbul karena Law Dictionary : Definitions of the
Term and Phrases of American
kebijakan pemerintah. Konflik ini
and English Jurisprudence Ancient
terjadi, bukan antar rakyat dengan and Modern, Sixth edition : Paul
Min West Publishing Co
rakyat, tetapi rakyat versus pemodal

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 95


Sri Endah Kinasih, “Penyelesaian Konflik dalam Pemanfaatan Hutan Konservasi
pada Masyarakat Adat di Jawa Timur” hal. 75-96.

BTNBTS, Balai Taman Nasional Bromo National Systems. Vol. I. World


Tengger Semeru. (2006) Rencana Conservation Union. Caracas.
Karya Lima Tahun III Balai
Taman Nasional Bromo Tengger Kebijakan
Semeru. Malang: BTNBTS.
Peraturan Pemerintah Republik
Friedman, Lawrence, (1975), The Legal Indonesia Nomor 28 Tahun 1985,
System: A Social Science tentang Perlindungan Hutan.
Perspective, New York : russel
Sage Foundation Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 6 Tahun 2007
Hadi, Sudharto P. (2006), Resolusi Tentang Tata Hutan Dan
Konflik Lingkungan, Semarang : Penyusunan Rencana
BP Undip Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan
Kriekhoff, Valerine J.L. (1993),
”Mediasi (Tinjauan Dari Segi Peraturan Pemerintah Republik
Antropologi Hukum)”, Dalam Indonesia Nomor 3 Tahun 2008
Antropologi Hukum Sebuah Bunga Tentang Perubahan Atas
Rampai, Jakarta : Yayasan Obor Peraturan Pemerintah Nomor 6
Indonesia. Tahun 2007 Tentang Tata Hutan
Dan Penyusunan Rencana
Merrils, J.G. (1994), International Pengelolaan Hutan, serta
Dispute Settlement, London : Pemanfaatan Hutan
Sweet & Maxwell
Undang-Undang nomor 5 tahun 1967,
Muhammad, Bushar, (1981) tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok-pokok Hukum Adat, Jakarta Pokok Kehutanan
: Pradya Paramita
Undang-Undang nomor 4 tahun 1982,
Purwaningrum YN. (2006). Kajian tentang Ketentuan-Ketentuan
Gangguan Perambahan Kawasan Pokok Pengelolaan Lingkungan
Hutan di Seksi Konservasi Wilayah Hidup
III Balai Taman Nasional Bromo
Tengger Semeru. Malang: Balai Undang-Undang nomor 5 tahun 1990,
Taman Nasional Bromo Tengger tentang Konservasi Sumber Daya
Semeru. Alam Hayati dan Ekosistemnya

Sudiyat, Iman, (1981). Hukum Undang-Undang Republik Indonesia


Adat: Sketsa Asas, Yogyakarta : Nomor 41 Tahun 1999 Tentang
Liberty Kehutanan

World Conservation Monitoring Undang-Undang Republik Indonesia


Centre. (1992). “Protected Areas No. 5 Tahun 1960 Tentang
of the World”. A Review of Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.

BioKultur, Vol.V/No.1/Januari-Juni 2016, hal. 96

You might also like