You are on page 1of 14

FIQH TAFSĪR DAN TA’WĪL ABDULLAH SAEED DALAM

PENAFSIRAN AL-QUR’AN SEBAGAI PENDEKATAN


KONTEMPORER
Muhammad Burhanuddin Ubaidillah1

Abstract: The interpretation of al-Qur'an textual-literal and ignoring revelation and


interpretation context, the results of previous scholars' studies, especially in the fields of
interpretation and fiqh which have been considered final, cause every new problem does
not refer to al-Qur’an as a source of teachings Islam to explore meaning in accordance
with the current social context. This condition is supported by the fact of social context
in the XXIth century is different from the socio-historical context of muslim society
when the al-Qur'an was revealed, it was necessary to reinterpret the Qur'an text
according to the present context with methodologies and approaches could be
scientifically accounted for. This article is intended to review fiqh tafsīr and ta’wīl
offered by Abdulah Saeed using his a new approach that is contextualist approach,
which noticed to the socio-historical context that they can be separated from the
reluctance of legalistic-literalistic approaches has been dominated interpretation of tafsīr
and fiqh. Fiqh tafsīr and ta’wīl offered by Abdullah Saeed, in fact, applied in four rigid
steps, they are; encounter with the world of the text, critical analysis, meaning for the
first recipients and meaning for the present. The Abdullah Saeed's aim is to look for
justification of the al-Qur'an interpretation based on the socio-historical context in
reinterpreting the Qur'anic tests according to the present social reality.

Keywords: fiqh tafsīr, ta’wīl, contextualist approach, socio-historical context

Pendahuluan
Farid Essack menyatakan bahwa praktik hermeneutika (tafsīr ta’wīl) sebenarnya
sudah dilakukan umat Islam sejak lama, terutama dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an,
seperti kajian asbāb al-nuzūl dan nāsikh wa al-mansūkh.2 Tafsīr didefinisikan Amir
Abdul Aziz sebagai ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’an dalam segi asbāb al-
nuzūl, muhkam dan mutasyābih, nāsikh dan mansūkh, dan lain sebagainya. Sedangkan
ta’wīl didefinisikan dengan mengalihkan ayat kepada makna yang lain agar bisa lebih
dimengerti. Jika tafsīr berkaitan dengan penjelasan lafadz al-Qur’an dari satu segi saja,
maka ta’wīl berkaitan dengan pemilihan satu makna dari berbagai makna yang
berbeda.3
Menurut Hasan Hanafi, tafsīr ta’wīl tidak sekedar ilmu interpretasi atau teori
pemahaman, tetapi juga ilmu tentang penerimaan wahyu, sejak dari tingkat perkataan

1
Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Krempyang Nganjuk.
2
Farid Essack, Qur’an: Pluralism and Liberation (Oxford: One World, 1977), 161.
3
Amir Abdul Aziz, Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar al-Ma‘arif, 1983), 142-144.
sampai ke tingkat dunia, dari huruf sampai kenyataan, dari logos sampai praksis dan
dari pikiran Tuhan sampai manusia.4 Sebagai contoh Fakhruddin al-Rāzi, seorang
mufassir klasik, memasukkan temuan-temuan ilmiah pada masanya ke dalam kitab
tafsirnya Mafātih al-Ghayb untuk menunjukkan kemukjizatan al-Qur’an dalam bidang
sains.5
Ide perpaduan beberapa disiplin ilmu terus berlanjut di kalangan sarjana muslim
pada abad XX-XXI. Amin al-Khuli, seorang pemikir Islam dalam bidang tafsir dari
Mesir, mengemukakan ide perlunya menggunakan teori-teori sastra modern di samping
teori-teori ilmu tafsir klasik dalam menafsirkan al-Qur’an.6 Ide ini kemudian dilanjutkan
oleh ‘Aisya ‘Abdurrahman bint al-Syati’ yang mengelaborasi keindahan bahasa al-
Qur’an dalam menyampaikan pesan-pesan ilahi.7 Muhammad Ahmad Khalaf Allah
meneliti seni Qur’ani dalam memaparkan kisah-kisah tentang umat terdahulu.8 Hasan
Hanafi menggunakan pendekatan tafsīr ta’wīl dalam merekontsruksi ilmu ushul dalam
menafsirkan fenomena keagamaan dan keberagamaan, sekaligus melakukan kajian
kritis terhadap hermeneutika eksistensial dalam Perjanjian Baru. Muhammad Arkoun
juga menggunakan semiotik dalam menginterpretasikan al-Qur’an.
Fazlur Rahman merupakan tokoh garda depan dalam penafsiran al-Qur’an
modern. Orang pertama yang mengkampanyekan gagasan konteks historis al-Qur’an
dalam konteks kekinian pada penafsiran al-Qur’an melalui teori double movement
setelah berinteraksi dengan konsep hermeneutik yang diutarakan Hans George Gadamer
dan Emilio Betti.9 Nasr Hamid Abu Zayd juga salah satu scholar yang menggeluti
secara intensif kajian hermeneutika dalam tafsir klasik, termasuk dalam bukunya
berjudul Ishkaliyat al-Qira’at wa ‘Aliyat al-Ta’wil.10 Pada titik ini, Abdullah Saeed
hadir sebagai pendukung dan penterjemah serta penyempurna gagasan Fazlur Rahman

4
Fahrudin Faiz, Hermeneutika Qur’ani (Yogyakarta: Qalam, 2002), 13.
5
Rotraud Wielandt, “Tafsir Al-Qur’an: Masa Modern dan Kontemporer,” terj. Sahiron Syamsuddin,
Jurnal Tashwirul Afkar, Vol. 18 (2004), 69-70.
6
Amin al-Khuli, Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab (Kairo: Dar al-
Ma‘rifah, 1961).
7
‘A’isya Abdurrahman, al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim (Kairo: Dar al-Ma‘arif, 1990).
8
Muhammad Ahmad Khalaf Allah, al-Fann al-Qasas fi al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabat al-Anglo
al-Misriyah, 1953).
9
Abdullah Saeed, “Fazlur Rahman: a Framework for Interpreting the Ethico-legal Content of the Qur’an”
dalam Soha Taji-Farouki (ed), Modern Muslim Intellectuals and the Qur’an (London: Oxford University
Press, 2004), 37-65.
10
Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia berjudul Hermeneutika Inklusif: Mengatasi Problematika
Bacaan dan Cara-Cara Pentakwilan atas Diskursus Keagamaan (Jakarta: ICIP, 2004).
ke dalam langkah-langkah rigid penafsiran dan mengulas lebih dalam nilai-nilai dalam
al-Qur’an sebagaimana termaktub dalam bukunya berjudul Interpreting the Qur’an:
Towards a Contemporary Approach.
Artikel ini mengkaji Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl yang ditawarkan Abdulah Saeed
dengan pendekatan kontekstual yang memperhatikan socio-historical context agar
terlepas dari keterbelengguan legalistic-literalistic approach yang mendominasi
interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan hukum Islam sampai saat ini.

Pembahasan
A. Kegelisahan Akademik Abdullah Saeed
Abdullah Saeed, berangkat dari kegelisahan maraknya tafsir tekstual-literal,
menyatakan perlunya pendekatan baru model contextualist approach.11 Pendekataan ini
diharapkan mampu melepaskan keterbelengguan umat Islam dari legalistic-literalistic
approach yang mendominasi interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan
hukum Islam sampai era modern saat ini.12 Menurut Abdullah Saeed, penafsiran literer
telah mengabaikan konteks pewahyuan maupun penafsiran. Berangkat dari kaca mata
ini, Abdullah Saeed membangun model tafsir peka konteks dalam membangun landasan
teoritis sampai masuk kepada prinsip-prinsip epistimologinya.
Pendekatan ini ditawarkan karena adanya gap antara kebutuhan kompleks
muslim yang berkembang pesat pada abad XXI dengan pemahaman ayat al-Qur’an
yang masih diinterpretasikan secara literal dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-
hari, sebagaimana kehidupan sosio-religious pada masa awal Islam. Padahal realitas
konteks sosial abad XXI sangat berbeda dengan konteks sosio-historis masyarakat
muslim pada saat al-Qur’an diturunkan. Abdullah Saeed selanjutnya menyebutkan
tokoh-tokoh kategori ini seperti Ahmad Peryez, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun,
Farid Esack dan Khaled Abou el-Fadl.13 Para reformis Islam ini menangkap adanya
jarak antara al-Qur’an dengan realitas dan menolak pendekatan tradisional dalam

11
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach (Oxon: Routledge,
2006), 3.
12
Ibid, 1.
13
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction (New York: Routledge, 2008), 220-222.
menafsirkannya dalam kehidupan sehari-hari yang mereduksi al-Qur’an dibatasi
menjadi kitab hukum.14
Kegelisahan Abdullah Saeed, di samping persoalan di atas, juga dilatarbelakangi
oleh kondisi mayoritas umat Islam yang merasa bahwa hasil kajian ulama terdahulu,
terutama dalam bidang fiqh, sudah final. Hal ini menyebabkan setiap muncul persoalan
baru, para ulama Islam tidak merujuk kepada al-Qur’an sebagai sumber ajaran Islam
untuk digali makna yang sesuai dengan konteks sosial kekinian, tetapi hanya merujuk
kepada kitab-kitab fiqh klasik yang secara sosio-historis, kultur dan nilai, berbeda
dengan kondisi masa sekarang.15 Hal ini menyebabkan ilmu-ilmu keislaman mengalami
stagnasi, karena nilai-nilai dan makna yang ada dalam al-Qur’an tidak lagi digali dan
dijadikan rujukan utama.
B. Pijakan Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl Abdullah Saeed
Abdullah Saeed merekontruksi konsep wahyu dalam membangun fiqh tafsīr dan
ta’wīl yang digagasnya. Dia mengakui al-Qur’an adalah wahyu Tuhan yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw dan juga mengakui bahwa al-Qur’an yang ada sekarang
itu otentik.16 Namun dia mengkritik ilmuwan muslim klasik yang menganggap wahyu
hanya kalam Tuhan tanpa memberikan perhatian bahwa Nabi Saw dan masyarakat saat
itu tidak memiliki peran di dalamnya. Abdullah Saeed sepakat dengan pemikir
belakangan, seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd, Farid Esack dan Ebrahim
Moosa, yang memasukkan religious personality Nabi Saw dan komunitasnya dalam
peristiwa pewahyuannya.17
Konsep ini tidak berarti wahyu merupakan karya Nabi Saw, tetapi menunjukkan
ada keterkaitan erat antara wahyu, Nabi Saw dan misi dakwahnya dengan konteks
sosio-historis, tempat al-Qur’an diwahyukan. Al-Qur’an diturunkan Allah Swt bukan
dalam ruang hampa budaya. Al-Qur’an, dalam pewahyuannya, benar-benar terlibat aktif
dalam sejarah.18 Abdullah Saeed juga sepakat bahwa al-Qur’an adalah ciptaan Allah
Swt. Namun dalam kapasitas al-Qur’an bisa dipahami manusia, wahyu harus
bersentuhan dengan manusia dan masyarakat yang menjadi subjek penerimanya.

14
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 17. Baca juga Fazlur Rahman, Islam and Modernity (Chicago:
University of Chicago, 1982), 2-5.
15
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 147.
16
Ibid, 7.
17
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, 31.
18
Fazlur Rahman, Islam and Modernity, 7.
Melalui pemahaman wahyu yang demikian, konteks sosio-historis menjadi elemen
wahyu yang penting, sekaligus menjadi dasar argumennya bahwa interpretasi harus
berangkat dari realitas kondisi tempat wahyu itu diturunkan.19
Gambaran konsep wahyu yang ditawarkan (broader understanding of the
concept of Qur’anic Revelation) disebut sebagai pemahanam yang lebih luas, karena
Abdullah Saeed telah meluaskan konsep wahyu Tuhan. Menurutnya, wahyu tidak
terhenti dengan berhentinya pewahyuan al-Qur’an. Wahyu, meskipun bentuknya tidak
tertulis dan tidak melalui perantara Nabi Saw, akan terus menerus turun kepada manusia
sepanjang masa. Melalui konsep ini Abdullah Saeed ingin menunjukkan bahwa
pewahyuan memiliki keterkaitan dengan peran Nabi Saw dan konteks sosio-historis
pada masa itu.20
Level Pewahyuan al-Qur’an
Tuhan

al-Lauh al-Mahfūdẓ

Langit Dunia

Malaikat Jibril

Nabi Muhammad Saw

al-Qur’an diterima oleh komunitas muslim pertama dan menjadi bagian dari
kehidupan sehari-hari mereka

al-Qur’an ditafsirkan dan diamalkan secara terus menerus; Tuhan tetap memberikan petunjuk-
Nya kepada mereka yang bertakwa kepada-Nya

Bagan tersebut dijelaskan dalam empat level. Pertama adalah dari Tuhan-al-
Lauh al-Mahfudz-Langit Dunia-Malaikat Jibril. Pada level ini pewahyuan berada pada
level ghaib. Metode transmisinya tidak dapat diketahui dan berada di luar jangkauan
manusia. Kedua adalah Malaikat Jibril-Nabi Muhammad Saw-eksternalisasi-konteks
sosio-historis. Pada level ini pewahyuan memasuki dunia fisik. Pewahyuan pada level
ini berlangsung dalam bentuk yang bisa dipahami manusia. Wahyu diturunkan ke dalam
bahasa manusia, yaitu bahasa Arab. Wahyu difirmankan dalam konteks manusia waktu

19
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 41.
20
Abdullah Saeed, The Qur’an: an Introduction, 32.
itu dan berhubungan secara mendalam dengan kebutuhan dan persoalan Nabi Saw
beserta umatnya, sebagaimana terbukti rujukan-rujukan al-Qur’an tentangnya.
Ketiga adalah teks-konteks-teks yang lebih luas (enlarged texts). Setelah wahyu
dieksternalisasikan dan dikomunikasikan oleh Nabi Saw kepada komunitas, wahyu
menjadi teks yang berhubungan erat dengan konteks pada masanya. Teks diceritakan,
dibaca, dikomunikasikan, dipelajari, dijelaskan dan diamalkan sebagai sebuah
aktualisasi teks. Teks menjadi bagian vital dari masyarakat dan dipahami dengan cara
yang berbeda-beda. Teks tidak hanya sebatas teks. Teks berkembang, teks dan konteks
aktualisasi pada masanya, dengan aktualisasi teks yang semakin luas dan beragam. Teks
menjadi berkembang dari masa ke masa.
Keempat adalah teks tertutup-komunitas interpretif-konteks-ilham. Setelah Nabi
Saw wafat, teks menjadi final dan tertutup. Namun aspek-aspek tertentu dari
pewahyuan, seperti non-prophetic, non-linguistic dan non-textual, tetap ada. Dua aspek
pewahyuan akan terus berlangsung sepanjang waktu. Pertama adalah praktek bimbingan
wahyu yang dimulai oleh Nabi Saw, generasi muslim pertama dan secara terus menerus
ditrasmisikan kepada generasi-generasi berikutnya. Kedua adalah petunjuk ilahiyah
(inspiration) akan terus menerus diberikan Tuhan kepada mereka yang bertakwa
kepada-Nya dan berusaha untuk tetap dijalan-Nya sepanjang waktu akan terus terjadi
dialektika antara wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Saw (al-Qur’an) dengan
wahyu yang tersebut terakhir. Melalui pemahaman wahyu demikian, konteks sosio-
historis menjadi elemen wahyu yang penting. Wahyu tidak terlepas dari manusia, Nabi
Saw dan komunitas muslim pada masa itu. Pemahaman wahyu yang demikian ini
menjadi dasar argumen-argumennya yang dituangkan dalam tafsirnya, bahwa
interpretasi harus berangkat dari realitas tempat wahyu diturunkan.21
Selain konsep wahyu, Abdullah Saeed menjadikan beberapa tradisi klasik
sebagai batu loncatan yang menunjukkan bahwa penafsiran al-Qur’an berbasis konteks,
bukan hanya diperlukan, namun dianjurkan oleh pengalaman masa lalu. Pertama adalah
fenomena naskh yang menunjukkan bahwa perubahan situasi dan kondisi
memungkinkan perubahan basis etika hukum (ethico-legal texts).22 Setelah diamati,
yang berubah dari ayat-ayat tersebut bukan pesan dasarnya, tetapi bunyi teksnya. Pesan

21
Ibid, 41. Baca juga Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 41.
22
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 85.
dasarnya selalu sama. Menurutnya, pesan-pesan dasar yang selalu tetap tersebut yang
menjadi inti dasar ajaran al-Qur’an.
Konsep naskh didasarkan kepada QS. al-Baqarah: 106.23 Sebenarnya konsep ini
masih sangat polemetis. Secara etimologi, naskh berarti merekam, mengganti,
menghilangkan, menghapuskan dan membatalkan. Secara teknis, naskh sering diartikan
membatalkan sebuah hukum tertentu dengan hukum yang datang belakangan. Meski
demikian, mayoritas ulama mengakui konsep ini sebagai salah satu bahasan penting
dalam uṣhūl fiqh dan ulūm al-Qur’ān. Menurut Abdullah Saeed, salah satu perdebatan
penting dalam naskh adalah gagasan tentang perkembangan hukum al-Qur’an. Kaum
tekstualis dan semi-tekstualis percaya bahwa sekali hukum ditetapkan dalam al-Qur’an
dan hadits, maka akan menjadi berlaku abadi. Dia harus ditaati dan dilaksanakan tanpa
batas waktu, tempat dan kondisi.24 Pemahaman ini menggiring implikasi bahwa hukum
al-Qur’an tidak dapat dijangkau oleh perubahan. Hukum al-Qur’an diyakini abadi, tidak
bisa diubah, permanen dan terkunci. Mereka mengakui adanya perubahan, tetapi yang
berhak mengubah hukum dalam al-Qur’an. Akibatnya, konsepsi metodologis
menyempitkan makna naskh. Naskh dipelajari hanya sebagai fakta sejarah, bukan
pelajaran untuk merumuskan sebuah metode hukum.
Berbeda dengan anggapan kaum kontekstualis. Ada sisi-sisi yang terabaikan dari
fakta naskh. Naskh menurut kaum kontekstualis memiliki implikasi logis terhadap
kemungkinan perubahan hukum dalam al-Qur’an. Naskh merupakan gagasan yang
paling relevan untuk menunjukkan Tuhan dalam menurunkan hukum. Tuhan
menyesuaikan dengan audien saat itu. Ketika masyarakat berubah, maka berubah juga
perintah moralnya. Fakta pelajaran fleksibelitas dalam pemberlakuan hukum ini bisa
dilihat pada masa Nabi Saw, sahabat maupun setelah sahabat. Pergeseran ini telah
diakomodir al-Qur’an dengan mengubah beberapa hukum yang telah ditetapkan
menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pada saat itu.
Kaum kontekstualis berupaya mengambil pelajaran dari fakta sejarah, bahkan
membangun metode tafsir dari prinsipnya. Salah satu problem kunci
mengimplementasikan ayat ethico-legal adalah membedakan antara bentuk luar teks
dengan pesan yang terdapat di baliknya.25 Konsep naskh memberikan petunjuk perlunya

23
Manna’ al-Qathan, Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an (Riyad: Mansurat al-Risalah, tt), 232.
24
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 82.
25
Ibid, 86.
membedakan antara redaksi literal teks (form) dan tujuan moral (moral objectives) dari
teks.
Fakta sejarah menunjukkan bahwa ayat-ayat yang di-naskh menampakkan
bahwa al-Qur’an tidak menghapus tujuan (the objectives), namun justru memperkuat
tujuan melalui tujuan hukum itu sendiri. Sebagai contoh perkembangan hukum minum
minuman keras (khamar). Ketika diamati, tidak ada satu ayat pun tentang khamar yang
menunjukkan pemberlakuan hukum tersebut, yang ada mencegah nilai perusak dari
khamar yang dirubah. Dalam kasus ini, yang diubah hanya sisi operasional dari tujuan
hukum tersebut. Naskh yang demikian, bisa dijadikan salah satu basis reinterpretasi al-
Qur’an. Salah satu kunci naskh yang bisa diambil adalah menjaga al-Qur’an tetap hidup
dan relevan ketika bersentuhan dengan kondisi yang berbeda-beda. Semangat ini harus
tetap dipertahankan dan diperjuangkan, meskipun pewahyuan telah berhenti dan teks
yang ada di hadapan umat Islam telah fixed.
Kedua adalah fleksibilitas yang lahir dari sab’ah ahrūf. Pada masa Nabi Saw
terdapat beberapa kasus yang bisa dijadikan sebagai indikasi adanya fleksibilitas dalam
mendekati al-Qur’an. Al-Qur’an telah berperan aktif, berdialektika dengan cara yang
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi saat itu. Terbukti al-Qur’an tidak angkuh
mempertahankan dirinya dan memaksa penggemarnya untuk mengikutinya tanpa tawar
menawar apapun. Makna paling umum terhadap istilah sab’ah ahrūf adalah tujuh dialek
utama bangsa Arab yang ada saat al-Qur’an diwahyukan.26 Menurut Qadhi ‘Iyadh, tujuh
dalam hadits di atas tidak bermakna angka tujuh, akan tetapi konsep dalam bahasa Arab
untuk mengatakan banyak.
Persoalan sab’ah ahrūf, dalam dunia tafsir, menjadi problematik hingga saat ini.
Kaum muslim modern pada umumnya menghindari perdebatan ini. Bagi kaum
kontekstualis, fakta fleksibilitas ini menjadi menarik sebagai upaya Nabi Saw dalam
mengakomodir kebutuhan zaman untuk ditarik ke dalam pengalaman sekarang. Nabi
Saw telah memungkinkan fleksibilitas demi menyesuaikan al-Qur’an dengan kebutuhan
umat pada masa itu, maka fleksibilitas itu bisa juga exits demi mengakomodir
kebutuhan umat pada masa sekarang.27
C. Tawaran Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl Abdullah Saeed

26
Abdullah Saeed mengutip Manna’ al-Qathan bahwa tujuh dialek itu adalah Quraisy, Huzail, Saqif,
Hawazin, Kinanah, Tamim dan al-Yaman, Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 70.
27
Ibid, 76.
Orientasi Fiqh Tafsīr dan Ta’wīl Abdullah Saeed adalah konteks masa
pewahyuan dan konteks ketika al-Qur’an ditafsirkan.28 Penafsiran ini bergerak untuk
menemukan makna universal dan makna particular, berdasarkan dari tiga prinsip
epistimologis, yaitu (1) pengakuan atas kompleksitas makna, (2) perhatian terhadap
konteks sosio-historis, (3) perumusan hierarki nilai dalam ayat-ayat etika hukum, yang
tetap dan yang berubah merupakan sumbangan Abdullah Saeed di tengah belantara
kaum kontekstualis.
Pada prinsip pertama, pengakuan atas kompleksitas makna, Abdullah Saeed
menolak gagasan kaum tekstualis bahwa makna sebuah kata terhampar dalam objek
yang dituju. Model perujukan makna demikian hanya relevan pada kata-kata tertentu
dan sangat terbatas.29 Makna berubah mengikuti perkembangan linguistik dan budaya
komunitas. Abdullah Saeed memberikan contoh kata buku. Makna inti yang melekat
pada buku berkembang dan berbeda-beda seiring waktu. Buku dahulu dimaknai sebagai
tulisan yang ada pada daun, tulang, kayu dan lain sebagainya. Pada masa berikutnya,
buku adalah tulisan di atas kertas. Selanjutnya setelah ada mesin cetak, buku dikenal
sebagai tulisan yang dicetak, dan terbaru, setelah perkembangan teknologi, buku bisa
berbentuk compact disk (CD), bahkan dalam bentuk pdf.30
Menurut Abdullah Saeed, kaum tekstualis memperlakukan al-Qur’an hanya
sebagai bahasa, tidak sebagai diskursus, bahasa yang lahir dalam konteks tertentu. Farid
Esack juga menyayangkan kondisi ini yang lebih memandang al-Qur’an sebagai kitab
suci semata dibanding sebagai resitasi ataupun diskursus. Oleh karena itu, sebagaimana
disampaikan Abdullah Saeed, perlu adanya pembacaan yang seimbang antara al-Qur’an
sebagai bahasa (text) dan al-Qur’an sebagai diskursus. Ini tidak berarti penafsiran
menjadi arena bebas mendekati teks sesuka dan sekehendaknya, akan tetapi penafsiran
memiliki aturan yang melahirkan batasan batasan dalam menentukan makna. Batasan
tersebut adalah nabi, konteks di mana teks lahir, peran penafsir, hakikat teks itu sendiri
dan konteks budaya.
Makna sebuah teks adalah ketegangan dari aspek-aspek ini. Pemikiran Abdullah
Saeed ini senada dengan pemikiran Gracia dalam limit of meaning. Menurut Gracia, ada

28
Ibid, 105.
29
Ibid, 102.
30
Tzvetan Todorov, Symbolism and Interpretation (Ithaca: Cornell University Press, 1982). Baca juga
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 105.
beberapa faktor yang membatasi makna sebuah teks, yaitu pengarang, audiens, konteks,
masyarakat, bahasa, teks itu sendiri dan fungsi fungsi kultural.31 Oleh karena itu,
Abdullah Saeed sama sekali tidak meninggalkan penelusuran makna literal teks.32
Pada prinsip kedua, yaitu perhatian terhadap konteks sosio-historis, secara
internal, konteks menjadi basis untuk memahami hubungan antara instruksi ayat-ayat
ethico-legal dan alasan-alasan memperkenalkan perintah-perintah tersebut pada
masyarakat Hijaz abad VII. Menurut Abdullah Saeed, perhatian terhadap konteks
dipinggirkan, baik dalam tradisi tafsir maupun hukum. Hal ini berakibat kepada konteks
sosio-historis kurang memiliki peran signifikan dalam menafsirkan al-Qur’an, terutama
setelah pemapanan hukum Islam abad III Hijriyah. Pada tradisi tafsir, asbâb nuzūl
hanya digunakan untuk mencari rujukan peristiwa ketika sebuah ayat diturunkan,
mencakup waktu, tempat dan orang yang dirujuk oleh ayat. Pada tradisi fiqh, asbâb
nuzūl juga digunakan untuk menentukan kronologis ayat-ayat yang terkait dalam satu
tema. Prinsipnya, pemahaman terhadap asbâb nuzūl belum sampai pada wilayah
konteks yang lebih luas. Sebagai contoh gambaran al-Qur’an tentang surga. Surga
digambarkan dengan sungai yang mengalir, buah-buahan, pohon dan taman yang tidak
lain adalah imajinasi populer masyarakat Hijaz atas kondisi alam mereka yang
gersang.33
Pada prinsip ketiga, perumusan hirarki nilai dalam ayat-ayat etika hukum: yang
tetap dan yang berubah, telah dikenal dalam sejarah penafsiran al-Qur’an. Hal ini bisa
dilihat melalui penafsiran para proto-contekstualist pada awal periode Islam. Generasi
Islam pertama telah menikmati kebebasan yang signifikan dalam menafsirkan al-
Qur’an. Abdullah Saeed mencontohkan hukuman potong tangan bagi pencuri.34
Berdasarkan penyelidikan sejarah, tindakan potong tangan merupakan pilihan yang
paling tepat untuk kondisi saat itu berdasarkan kondisi objektivitas al-Qur’an.35 Banyak
redaksi al-Qur’an yang menunjukkan pengecualian pemberlakuan hukuman potong

31
Ibid, 108-109. Baca juga Jorge J. E. Gracia, A Theory of Textuality (Albany: State University of New
York Press, 1995), 114-127.
32
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 114-116.
33
Ibid, 122.
34
QS. al-Maidah: 41.
35
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 134-135.
tangan,36 hukuman mati,37 hukuman cambuk38 dan hukuman rajam.39 Dengan demikian,
tujuan utama ayat al-Qur’an adalah pencegahan tindakan yang dilarang.
Fakta sejarah menunjukkan sikap sahabat Nabi Saw mengamalkan ayat di atas.
Ketika menghadapi kasus seseorang yang mencuri tiga kali, sahabat Umar bin Khattab
yang saat itu menjadi khâlifah mengajukan hukuman potong tangan untuknya. Sahabat
Ali yang saat itu menjadi penasehat Umar memberikan usulan yang berbeda.
Menurutnya, hukuman cambuk dan kurungan adalah hukuman yang tepat. Sahabat Ali
menyatakan, “saya malu melihat Tuhan jika meninggalkannya tanpa tangan yang
darinya dia bisa makan dan bersuci untuk shalat.” Sahabat Ali, yang dikenal memahami
al-Qur’an, melakukan pilihan demikian yang menunjukkan bahwa potong tangan bukan
nilai mutlak harus yang diterapkan,40 seperti dikutip Abdullah Saeed dari Asymawi.
Berdasarkan epistimologi di atas, Abdullah Saeed mencoba menawarkan fiqh
tafsīr dan ta’wīl dalam menginterpretasikan al-Qur’an. Melalui metode ini, dia berharap
para penafsir dapat memaknai al-Qur’an secara interaktif, berpartisipasi aktif dalam
memberikan makna terhadap teks, bukan sekedar pasif menerima makna teks. Penafsir
harus melakukan proses interpretasi secara berkesinambungan (a continuous process)
terhadap teks sesuai dengan socio-historical context-nya, menuju panduan praktis yang
menyajikan langkah demi langkah dalam menafsirkan ayat ayat ethico-legal. Berikut
adalah peta model interpretasi yang ditawarkan oleh Abdullah Saeed.41
Teks

Stage I: Encounter with the world of the text

Stage II: Critical Analysis


Linguistic
Literary Context
Literary form
Parallel texts
Precedents

Stage III: Meaning for the first Recipients


Socio-Historical context
Worldview
Nature of the message: legal, theological, ethical

36
QS. al-Maidah: 42.
37
QS. al-Baqarah: 178.
38
QS. al-Nur: 5.
39
QS. al-Nisa’: 16.
40
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 136.
41
Ibid, 150.
Message: contextual versus universal
Relationship of the message to the overall message of the Qur’an

Stage IV: Meaning for the Present


Analysis of present context
Present context versus sosio-historical context
Meaning from first recipients to the present
Message: contextual versus universal
Application today

Menurut Abdullah Saeed, tafsir klasik telah mengakomodir tahap I, tahap II dan
sebagian kecil dari elemen tahap III secara baik. Mayoritas elemen tahap III dan IV
belum dipandang sebagai pertimbangan penting dalam menginterpretasikan kandungan
al-Qur’an yang bermuatan ethico-legal. Para mufassir periode formatif yang
diklasifikasikan sebagai tekstualis mufasir sudah menggunakan kriteria linguistik dalam
menginterpretasikan al-Qur’an, namun apriori terhadap konteks sosio-historisnya.
Mereka mengakui generasi Islam awal yang memiliki otoritas dalam mnginterpretasikan
ayat-ayat ethico-legal dari al-Qur’an yang memperoleh dukungan kelompok modern-
textualist sampai sekarang ini.42
Tawaran fiqh tafsīr dan ta’wīl Abdullah Saeed menunjukkan penggunaan
linguistik menjadi langkah pertama dari empat langkah yang ditawarkannya.
Penggunaan lingustik digunakan dalam pemahaman terhadap arti dari ayat. Menurut
Abdullah Saeed, meaning is often indeterminate. The meaning of those texts are also
inherently unstable, in the sense that certain aspect of meaning we attribute to them
have in fact changed over time. Ini berarti orang Islam tidak boleh menyempitkan
makna ayat pada satu atau dua pemahaman saja, namun harus dibuka kemungkinan
penemuan makna atau pemahaman baru sesuai dengan realitas kontemporer.43
Tawaran fiqh tafsīr dan ta’wīl Abdullah Saeed dalam karyanya Interpreting the
Qur’an: Towards a Contemporary Approach, terlepas dari perdebatan yang terjadi,
adalah upaya mencari justifikasi bahwa menginterpretasikan al-Qur’an berdasar konteks
sosio-historis memiliki argumen yang kuat dalam mereinterpretasi tes-teks al-Qur’an
sesuai dengan realitas sosial kekinian. Pemikiran Abdullah Saeed perlu diapresiasi
sebagai sebuah tawaran yang perlu dipertajam mekanismenya dengan melakukan

42
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 150. Baca juga Sahiron, Agama dan Filsafat Bahasa
(Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008), 8.
43
Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an, 152.
interkoneksi dan integrasi antar pakar dalam menjawab persoalan-persoalan kompleks
yang dihadapi umat manusia, khususnya umat Islam.

Penutup
Abdullah Saeed menawarkan fiqh tafsīr dan ta’wīl dengan pendekatan baru
model contextualist approach, berangkat dari maraknya tafsir tekstual-literal, yang
dapat melepaskan keterbelengguan umat dari legalistic-literalistic approach yang
mendominasi interpretasi tafsir dan fiqh sejak periode pembentukan hukum Islam
hingga saat ini. Penafsiran literer telah mengabaikan konteks pewahyuan maupun
penafsiran. Masyarakat abad XXI menunjukkan perkembangan yang sangat luar biasa.
Penemuan baru dalam astronomi, persoalan human rights, gender equality, rekayasa
genetika dan berabagai persoalan lainnya, baik terkait dengan religious maupun non-
religious, sacred dan non-sacred dalam teks, al-Qur’an perlu direinterpretasi sesuai
dengan konteks kekinian berbasis pada metodologi dan pendekatan yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Secara garis besar, fiqh tafsīr dan ta’wīl yang ditawarkan Abdullah Saeed
teraplikasi dalam empat langkah rigid, yaitu encounter with the world of the text,
critical analysis, meaning for the first recipients dan meaning for the present. Menurut
Abdullah Saeed, tafsir klasik telah mengakomodir tahap I, tahap II dan sebagian kecil
tahap III secara baik. Kebanyakan elemen tahap III dan IV belum dipandang sebagai
pertimbangan penting dalam menginterpretasikan kandungan al-Qur’an.
Fiqh tafsīr dan ta’wīl Abdullah Saeed adalah upaya mencari justifikasi
interpretasi al-Qur’an berdasar konteks sosio-historis dalam mereinterpretasi tes-teks al-
Qur’an sesuai dengan realitas sosial kekinian. Pemikiran Abdullah Saeed perlu
diapresiasi sebagai sebuah tawaran yang perlu dipertajam mekanismenya dengan
melakukan interkoneksi dan integrasi antar pakar dalam menjawab persoalan-persoalan
kompleks yang dihadapi umat manusia, khususnya umat Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, ‘A’isya. al-Tafsir al-Bayan li al-Qur’an al-Karim. Kairo: Dar al-Ma‘arif,


1990.
Allah, Muhammad Ahmad Khalaf. al-Fann al-Qasas fi al-Qur’an al-Karim. Kairo:
Maktabat al-Anglo al-Misriyah, 1953.

Essack, Farid. Qur’an: Pluralism and Liberation. Oxford: One World, 1977.

Faiz, Fahrudin. Hermeneutika Qur’ani. Yogyakarta: Qalam, 2002.

Gracia, Jorge J. E. A Theory of Textuality. Albany: State University of New York Press,
1995.

al-Khuli, Amin. Manahij Tajdid fi al-Nahw wa al-Balaghah wa al-Tafsir wa al-Adab.


Kairo: Dar al-Ma‘rifah, 1961.

al-Qathan, Manna. Mabahits fi ‘Ulum al-Qur’an. Riyad: Mansurat al-Risalah, tt.

Rahman, Fazlur. Islam and Modernity. Chicago: University of Chicago, 1982.

Saeed, Abdullah. Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach. Oxon:


Routledge, 2006.

_______. The Qur’an: an Introduction. New York: Routledge, 2008.

_______. “Fazlur Rahman: a Framework for Interpreting the Ethico-legal Content of the
Qur’an” dalam Soha Taji-Farouki (ed). Modern Muslim Intellectuals and the
Qur’an. London: Oxford University Press, 2004.

Sahiron. Agama dan Filsafat Bahasa. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga, 2008.

Todorov, Tzvetan. Symbolism and Interpretation. Ithaca: Cornell University Press,


1982.

Wielandt, Rotraud. “Tafsir Al-Qur’an: Masa Modern dan Kontemporer,” terj. Sahiron
Syamsuddin, Jurnal Tashwirul Afkar, Vol. 18 (2004).

You might also like