You are on page 1of 19

TELAAH CORAK PENAFSIRAN DENGAN PENDEKATAN ADABI>

IJTIMA>’I> MODERN

MAKALAH
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Madzahib Tafsir

HALAMAN JUDUL

Dosen Pengampu:
Dr. Abd. Kholid, M. Ag.

Oleh:
NUR FIATIN HAFIDH
NIM. 02040521046

PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA

2022
1

TELAAH CORAK PENAFSIRAN DENGAN PENDEKATAN ADABI>


IJTIMA>’I MODERN
Nur Fiatin Hafidh
fiatinhafidz@gmail.com
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya
Abstrack:
Adabi> ijtima>’i is one of interpretation trends divided into two phases, the classic
and modern adabi> ijtima>’i>. The classic type had appeared since the nineteenth
century pioneered by M. Abduh, while the second one appeared in twentieth
century as the continuation of the classic one developed by the modernist-
reformers, such as Fazlūr Raḥmān, Moḥammad Arkoun, Ḥassan Ḥanafī, M.
Syaḥrūr, and Naṣr Ḥāmid Abū Zayd.. This article aims to examine interpretation
type with the modern adabi> ijtima>’i> approach, including the background of the
type appearance, the characeristic, the distinction of both type, and the
interpretation credibility. It infers that modern adabi> ijtima>’i> applies a
contextualization study without breaking away from the historical context of the
text. Here is the significant distinction between both. This study offereded new
theories in comprehending al-Qur‟an, such as double movement, anthropocentric
theological concept, al-qira>’ah al-siya>qiyyah, etc. To measure the modern
interpretation credibility could be demonstrated by how long the theory exists.
The more the theory is built with a well-established interpretation methodology;
which means it represents human needs in many aspects, the longer it will last. On
the contrary, if the theory is not based on good methodology, it will be banned by
the next new theory.

Keyword: modern adabi> ijtima>’i>, interpretation, contextualization, new theory.

PENDAHULUAN

Dalam al-Tafsi>r wa al-Mufassiru>n, imam Ḥusein al-Dhahabī (w. 1977)


menjelaskan adanya variasi kecenderungan mufasir dalam menginterpretasikan al-
Qur‟an, seperti corak i’tiqa>di>, falsafi>, s}u>fi>, fiqhi>, dan ‘ilmi>. Memasuki abad
delapan belas, muncul kecenderungan baru yang lebih memperhatikan pada
persoalan kemasyarakatan yang disebut dengan corak adabi> ijtima>’i>. Corak ini
2

diperkenalkan pertama kali oleh seorang penggerak pembaharuan; M. Abduh (w.


1905) melalui pemikirannya yang terangkum dala tafsir al-Mana>r.1

Corak ini terus berlanjut sampai abad dua puluh dengan munculnya para
pemikir reformis modernis meskipun dengan beberapa titik perbedaan. Pada corak
adabi> ijtima>’i> modern, selain melibatkan teori Barat, terdapat pula proses
penyeimbangan konteks dan kontekstualisasi atas teks yang diinterpretasikan.
Studi kontekstualisasi ini kemudian berhasil menelurkan teori pembacaan baru
terhadap al-Qur‟an.

Makalah ini bermaksud untuk menelaah corak penafsiran dengan


menggunakan pendekatan adabi> ijtima>’i> modern. Baik latar belakang munculnya
corak ini, letak perbedaannya dengan corak adabi> ijtima>’i> klasik, karakteristik,
nilai dan problematika penafsiran, serta dilengkapi dengan tokoh-tokoh dan
tawaran teorinya. Hal ini penting dipahami agar akademisi al-Qur‟an dapat
memahami alur sekaligus mengukur sejauh mana kecenderungan ini dapat
dijadikan pendekatan menafsirkan teks al-Qur‟an.

PEMBAHASAN
Latar Belakang Munculnya Corak Adabi> Ijtima>’i> Modern
Seruan pembaharuan yang dilakukan oleh M. Abduh pada abad dua puluh
rupanya memberikan kontribusi yang besar bagi dunia Islam. Bagaimana tidak,
generasi yang hidup belakangan mulai membuka diri untuk mereformasi
pemikiran Islam yang kaku menuju nilai ideal Islam yang dinamis. Para tokoh
reformis modern memahami bahwa al-Qur‟an merupakan kitab suci yang memuat
ide, gagasan dan nilai yang semestinya dapat diterapkan dalam setiap generasi.
Mereka berusaha menengahi adanya polarisasi antara kelompok konservatif dan
kelompok modern dengan pembacaan al-Qur‟an modern.

Kegiatan re-interpretasi bertujuan untuk mengentaskan problematika sosial


yang tengah dihadapi di masa modern, baik berupa kebijakan atau fatwa

1
Muḥammad Ḥusein al-Dhahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassiru>n, jilid. 1 (Kairo: Matabah Wahbah,
tt), 9-10.
3

pemerintah yang mendiskreditkan pihak-pihak tertentu ataupun atas dorongan


pribadi untuk memasukkan modernisasi yang ramah dalam tradisi. Adapun di
antara tokoh-tokohnya adalah Fazlūr Raḥmān (w. 1988), Moḥammad Arkoun (w.
2010), Ḥassan Ḥanafī (w. 2021), M. Syaḥrūr (w. 2019) dan Naṣr Ḥāmid Abū
Zayd (w. 2010). Walaupun mereka tidak menyebut pembacaan mereka dengan
istilah kontekstualisasi, akan tetapi metodologi penafsiran mereka mendekati
metode ini.2

Kontekstualisasi teks sebenarnya bukanlah metode baru dalam Islam. Hal


ini juga penah dipraktikkan oleh para sahabat nabi SAW. Sebagai misal adalah
Umar ibn al-Khaṭṭāb dalam persoalan harta rampasan perang (ghanīmah). Pada
masa nabi, harta rampasan biasanya diberikan kepada anggota yang terlibat dalam
peperangan. Akan tetapi, Umar memiliki pandangan yang lain. Beliau
memerintahkan agar harta rampasan tersebut dimasukkan ke Bait al-Māl.

Perintah ini didasarkan pada pertimbangan bahwa pada masa nabi, para
anggota perang membawa bekal, baju, dan persenjataan sendiri sehingga adalah
hal yang wajar jika mereka berhak atas harta rampasan tersebut. Berbeda halnya
dengan kondisi perang pada masa pemerintahan Umar ibn al- Khaṭṭāb. Pada saat
itu, administrasi kenegaraan telah terbentuk. Negara menyiapkan segala
perlengkapan perang untuk ummat Islam yang pembiayaannya diambil dari Bait
al-Māl. Inilah alasan sang ami>r al-mu’mini>n menyalurkan harta rampasan ke Bait
al-Māl.

Contoh ini merupakan gambaran kontekstualisasi dari seorang Umar ibn


al-Khaṭṭāb. Beliau keluar dari satu teks ayat yang tidak relevan dengan kondisi
objektif masyarakat menuju teks lain yang lebih relevan. Beliau berikhtiar
bersungguh-sungguh untuk menarik teks ayat ke tingkat yang lebih universal

2
Abdullah Saeed, Pengantar Studi al-Qur’an, cet. 1 (Yogyakarta: Baitul Hikmah Press, 2016),
312-313.
4

untuk menghindari pemaknaan yang parsial dan problematis dalam penerapannya


sehingga tidak bisa memenuhi keadilan untuk masyarakat.3

Di samping itu, studi kontekstualisasi semakin mengental mengingat pada


kedudukan al-Qur‟an yang open dengan seluruh dinamika kehidupan manusia.
Kegiatan re-interpretasi adalah sebuah respon intelektual atas prinsip
universalisme al-Qur‟an itu sendiri agar segala sesuatu tidak jatuh pada
kemutlakan (absolutisme).4

Pengaruh Teori Barat Terhadap Corak Adabi> Ijtima>’i> Modern

Studi kontekstualisasi yang dikembangkan oleh pemikir reformis modern


dipengaruhi oleh teori hermeneutika modern yaitu perangkat yang menjadi
eksplorasi filosofis terhadap karakter kondisi yang dibutuhkan dalam pemahaman
oleh seorang pembaca.5 Peneliti meyakini bahwa hermeneutika yang banyak
diambil sebagai pisau untuk membedah teks adalah hermeneutika Gadamer (w.
2002). Teori ini muncul pada kurun abad ke-20 yang banyak terinspirasi dari
pemikiran hermenutika filsafat gurunya, Martin Heidegger (w. 1976). Teori ini
menjadi dasar pembacaan al-Qur‟an kontemporer untuk melacak historisitas ayat,
menganalisis kemajemukan makna, serta mengamini relativitas penafsiran.6

3
Umar Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum dalam al-
Qur’an (Jakarta: Penamadani, 2005), xiii-xiv.
4
Ibid. 23.
5
Hermeneutika adalah teori filsafat yang dipakai untuk menginterpretasikan makna teks. Ilmu ini
berperan besar dalam ilmu sejarah dan kitab suci. Secara umum, perkembangan ilmu hermeneutika
terpecah ke dalam empat babak. Satu, hermeneutika klasik yang menempatkan kitab suci sebagai
pusat yang terikat. Artinya, seorang pembaca harus mencari makna teks sesuai dengan maksud
penulisnya serta menghilangkan hal-hal yang dapat mencegah pemahaman terhadap teks. Konsep
hermeneutika klasik tidak jauh berbeda dengan cara penafsiran mufasir salaf. Salah satu tokoh dari
teori ini adalah Dann Hauer yang menerbitkan buku hermeneutika pertama kali pada tahun 1654
M. Dua, hermeneutika al-ru>ma>nisiyyah. Salah satu pentolan dari ilmu ini adalah Scheliermacher
(w. 1834). Tiga, hermeneutika Dilthey (w. 1911) yang menjadi dasar kajian tentang manusia.
Empat, hermeneutika filsafat yang dimotori oleh Martin Heidegger (w.1976) dan dikembangkan
oleh muridnya, Gadamer. Lihat, Dalāl bint Kuwīrān ibn Huwaymal al-Baqīlī al-Salamī,”al-Tajdi>d
fi> al-Tafsi>r fi al-‘As}r al-H}adi>th: Mafhu>muhu> wa D}awa>bit}uhu> wa Ittija>ha>tuhu>”, (Disertasi—Prodi
Tafsir dan Ulūm al-Qur’ān Jāmi’ah Umm al-Qurā, Mekkah, 2014), 226-236.
6
Ibid. 238.
5

Adapun pokok-pokok dari teori hermeneutika modern Gadamer adalah


sebagai berikut.7

a. Merubah tujuan hermeneutika dari ilmu teori ke tujuan falsafi


b. Independensi teks dan interpretasi dari penulisnya
c. Melihat konteks historis dari sebuah teks
d. Meyakini bahwa tidak ada penafsiran yang final dan statis.

Farid Essack dalam al-Qur’an: Liberation and Pluralism menyebutkan


bahwa sebenarnya teori hermeneutika telah tercermin dalam metodologi
penafsiran ulama terdahulu. Penelusuran sebab-sebab turunnya ayat, analisis ayat
naskh-mansu>kh, dan perbedaan pendapat para imam dalam tafsir klasik adalah
penggalian makna dengan mengikuti dilālah yang menjadi bagian dari teori
hermeneutika. Oleh sebab itu, peminjaman teori Barat sebagai alat bantu
menginterpretasikan al-Qur‟an adalah perkara yang sah-sah saja. Bahkan
kolaborasi teori Barat dan kaidah-kaidah penafsiran diharapkan dapat
menghasilkan pembacaan yang objektif dan relevan dengan relitas sosial hari ini.8

Adapun langkah penerapan teori hermeneutika dalam teks adalah dengan


menganalisa bahasa terlebih dahulu, menganalisa konteksnya, kemudian menarik
makna dari teks tersebut. Jika diterapkan pada al-Qur‟an, maka aplikasi teori
hermeneutika adalah bagaimana al-Qur‟an hadir di tengah masyarakat,
ditafsirkan, serta didialogkan dengan dinamika realitas historisnya.9

Perbedaan corak Adabi> Ijtima>’i> Klasik dan Modern

Sebagaimana penamaannya, dua kecenderungan ini sama-sama


berorientasi pada aktifitas penafsiran sebagai respon terhadap persoalan-persoalan
kemasyarakatan. Kendati demikian, terdapat beberapa bagian yang membedakan
dua kecenderungan tersebut, di antaranya:

7
Ibid. 226-236.
8
Farid Essack, Al-Qur’an: Liberation and Pluralism dalam Fahruddin Faiz, Hermeneutika al-
Qur’an: Tema-Tema Kontroversial (Yogyakarta: Kalimedia, 2015), 14-15.
9
Faiz, Hermeneutika al-Qur’an…, 17.
6

a. Operasional hermeneutika modern bisa dikatakan mulai dirintis oleh M.


Abduh, Ahmad Khan, dan Amir Ali. Sayangnya, ketiga tokoh tersebut belum
memiliki rumusan metodologis yang mapan dan sistematis. Berbeda halnya
dengan tokoh-tokoh reformis modernis yang mampu mengaktualisasikan ilmu
hermenutika dengan lebih matang. Hal tersebut dibuktikan dengan
keberhasilan para tokoh dalam menelurkan teori pembacaan baru terhadap teks
al-Qur‟an.10
b. Untuk mendapatkan makna suatu teks, memperhatikan konteks dan
kontekstualisasi merupakan hal yang sangat krusial. Keduanya harus berjalan
seimbang dan berkesinambungan. Bersinggungan dengan hal tersebut,
stressing karya tafsir para tokoh reformis awal seperti M. Abduh dan Ṭanṭāwī
Jauharī rupanya masih berada di wilayah kontekstualisasi saja. Mereka
beranggapan bahwa teks adalah sesuatu yang otonom dan independen sehingga
ditafsirkan sesuai kapasitas mufasir tanpa menelusuri historisitasnya. 11 Lain
halnya dengan penafsiran yang dilakukan oleh para pemikir modern sekaliber
Fazlūr Raḥmān, Moḥammad Arkoun, dan Naṣr Ḥāmid Abū Zayd yang
menempatkan historisitas al-Qur‟an sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari
teks itu sendiri.

Karakteristik Tafsir Kontekstualis

Setiap corak tafsir pasti memiliki karakteristik penafsirannya masing-


masing. Identifikasi karakteristik sebuah tafsir penting dilakukan agar pembaca
dapat mengetahu peta pemikiran mufasir dalam proses interpretasinya. Begitu pun
tafsir kontekstualis memiliki beberapa karakteristik, di antaranya:

1. Menerima teori Barat sebagai alat bantu menginterpretasikan makna teks.


Al-Qur‟an merupakan kitab Allah yang sangat terbuka untuk ditafsirkan
(multi-interpretable). Kendati demikian, tentu saja dibutuhkan suatu
pembacaan kritis agar proses penggalian makna dapat sesuai dengan cita-cita
al-Qur‟an dan kebutuhan sosial masyarakat hari ini. Menginterpretasikan teks

10
Ibid.16.
11
Ibid. 22-23.
7

dengan meminjam teori ilmiah Barat adalah langkah yang bisa diterima selama
prinsip kemaslahatan menjadi tolak ukur, serta didukung dengan
penyeimbangan semangat teosentris dan antroposentris.12
2. Membuka pintu ijtihad dan menghentikan imitasi (taqli>d)13 buta
Di antara faktor keterbelakangan peradaban muslim adalah sikap stagnan
terhadap warisan ulama terdahulu, yang di dalamnya -harus diakui- memuat
unsur khurafa>t dan isra>i>liyya>t yang tidak layak djadikan acuan. Untuk
mengakhiri ketebelakangan ini, para tokoh reformis menyeru ummat Islam
untuk memanfaatkan daya akal dengan membuka pintu ijtihad agar wajah
Islam tidak rigid dan statis. Bahkan M. Quraish Shihab menyampaikan bahwa
seandainya para sahabat hidup pada masa kini, mereka juga akan melakukan
pemaknaan baru terhadap al-Qur‟an sesuai dengan tuntutan realitas yang
dihadapi.14
3. Ranah kajian lebih luas
Dalam tafsir tekstualis, pemaknaan teks dipusatkan pada kajian linguistik
saja. Sedangkan dalam tafsir kontekstualis, ranah kajiannya lebih luas, meliputi
hermeneutika, sastra, analisis sosial, analisis sejarah, dan yang sejenisnya.15
4. Memberdayakan teks dan pembaca sebagai pusat makna
Menurut Abdul Wahid, pembacaan klasik umumnya menempatkan Allah
sebagai pusat makna. Mereka menafsirkan al-Qur‟an seolah-olah sebagai juru
bicara Tuhan. Barang siapa yang menolak atau memiliki perspektif yang
berbeda dituduh sesat dan diklaim masuk neraka. Membedai hal tersebut,

12
M. Arfan Mu‟ammar dkk, Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/ Outsider (Yogyakarta:
IRCSiCoD, 2017), 216.
13
M. Abduh membagi kelompok taqlid ke dalam dua bagian. Pertama, kelompok fanatik ekstrimis
(al-muta’as}s}ibi>n al-mutat}arrifi>n), yaitu kelompok yang memandang pendapat ulama salaf seperti
nas al-Qur‟an kemudian mensakralkannya. Kelompok ini tidak lagi merasa perlu untuk cross-
check langsung terhadap sumber aslinya, yaitu al-Qur‟an dan hadis karena menganggap bahwa
pendapat ulama adalah pasti benar. Kedua, kelompok peniru moderat (al-muqallidi>n al-
mu’tadili>n), yaitu kelompok yang memfilter pandangan imam madzhab dengan jujur dan teliti.
Jika sesuai dengan sumber Islam, mereka mengikutinya. Begitupun, jika pendapat imam tersebut
tidak didasari dengan dalil yang kuat dari sumber Islam, mereka menolaknya. Lihat, „Abd al-Majīd
„Abd al-Salām al-Muḥtasib, Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi> ‘As}r al-Ra>hin, cet. 3 (Amman: al-Nahḍah al-
Islāmiyyah, 1982), 143.
14
M. Quraish Shihab, “Tafsir Kontekstual itu Mutlak Diperlukan” dalam Shihab, Kontekstualitas
al-Qur’an…, 24.
15
Saeed, Pengantar Studi al-Qur’an, 318-319.
8

pembacaan kontekstual berupaya untuk memberdayakan teks dan pembaca


sebagai pusat makna, karena tentu tidak ada seorang pun yang dapat
mengetahui maksud penulis yang sebenarnya. Di antara tokoh yang
memberdayakan teks adalah Moḥammad Arkoun dan Naṣr Ḥāmid Abū Zayd,
sedangkan pemberdayaan pembaca dipraktikkan oleh Fazlūr Raḥmān, Ḥassan
Ḥanafī, dan Amīnah Wadūd.16
5. Melacak historisitas teks
Di antara salah satu karakteristik tafsir kontekstualis adalah bergerak
mundur melihat kesejarahan saat teks tersebut diturunkan. Hal ini tentu saja
penting dilakukan mengingat teks bukan turun di ruang hampa. Dalam buku
Arah Baru Studi Ulumul Qur’an, Aksin Wijaya menyampaikan bahwa
sebagian ayat al-Qur‟an turun dilatarbelakangi oleh suatu peristiwa (sabab al-
nuzu>l), sedangkan suatu peristiwa terbentuk oleh realitas yang berlaku di
lingkungan tersebut.17 Maka menelusuri aspek kesejarahan ayat al-Quran akan
membuat al-Qur‟an fleksibel pada tiap masanya, karena dapat menyepadankan
antara pesan dalam konteks historis di satu sisi, dan pesan universal dalam sisi
yang lain. Metode ini merupakan metode yang paling adil dan dapat diterima
terhadap respon intelektual dan realitas sosial.18
Kecuali itu, Fazlūr Raḥmān dalam bukunya Metode dan Alternatif Neo-
Modernisme Islam mengemukakan bahwa aspek metafisis dan ajaran al-Qur‟an
tidak menyediakan dirinya dengan mudah untuk dikenakan terapi historis, akan
tetapi kondisi sosio-kulturalnya menyediakan hal tersebut. Oleh karenanya
menjadi penting untuk melihat latar sosiologis saat nabi hidup dan bergerak
agar dapat memahami nilai yang dimaksudkan oleh al-Qur‟an.19
6. Membedakan makna teks dan tujuannya
Menurut Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, aktifitas penafsiran merupakan gerak
yang simultan antara menentukan makna dan tujuan suatu ayat. Jika hanya
bergerak dalam salah satu keduanya, maka hasil penafsiran hanya akan bersifat

16
Mu‟ammar, Studi Islam Kontemporer…, 158.
17
Aksin Wijaya, Arah Baru Studi Ulumul Qur’an (Yogyakarta: IRCiSoD, 2020), 244.
18
Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an…, 9 dan 15.
19
Ibid. 23.
9

repetitif, tendensius, dan mudah dimasuki oleh ideologi penafsirnya. Dengan


ini, maka penting untuk dapat memetakan makna historis atas peristiwa yang
terjadi di masa lalu dan prinsip umum (significance) yang bisa ditarik pada
zaman sekarang.20 Pemetaan ini dimasukkan sebagai salah satu perangkat
dalam metode interpretasi pemikir kontekstualis, seperti Naṣr Ḥāmid Abū
Zayd, Khāled Abū el-Faḍl, dan Ṭāhir el-Ḥaddāad.
7. Pemaknaan teks tidak akan mencapai titik final
Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap penafsiran yang dihasilkan oleh
seseorang tidak akan pernah mencapai pemaknaan yang objektif. Di dalamnya
-terlepas sedikit atau banyak- pasti terkandung sisi subjektifitas. Oleh karena
itu adalah suatu hal yang niscaya dan wajar apabila pandangan baru terhadap
teks al-Qur‟an akan terus berkembang dari waktu ke waktu.21 Sebagai contoh
adalah pernyataan Naṣr Ḥāmid Abū Zayd, bahwa Allah tidak memiliki ujung,
begitupun dengan kalam-Nya. Itu artinya selama roda kehidupan terus
berputar, aktifitas interpretasi tidak akan kering.
8. Toleran terhadap keragaman
Memproduksi makna merupakan tindakan bersama antara teks dan
pembaca. Tindakan tersebut akan senantiasa berubah sesuai dengan keragaman
pembaca dan situasi pembacaan. Pemikir kontekstualis biasanya lebih toleran
dengan pandangan yang variatif terhadap teks al-Qur‟an. Kelompok ini tidak
tergesa-gesa untuk memberikan klaim benar (truth claim) atas pendapatnya
sendiri dan menolak pendapat orang lain.
9. Penafsirannya bercorak humanis
Dalam al-Qur‟an Allah berjanji akan menjaga al-Qur‟an sepanjang masa. Hal
ini berarti al-Qur‟an terus terjaga nilai-nilainya sehingga bisa berguna
kapanpun, termasuk masa modern. Oleh karena itu, para pemikir kontekstualis
berupaya untuk memperbaiki pembacaan terdahulu yang masih
mengindikasikan ketimpangan sosial dan bias gender, seperti tentang hak
waris, perbudakan dan keadilan, dan ruang gerak perempuan dengan

20
Mu‟ammar, Studi Islam Kontemporer..., 208.
21
Ibid. 318-319.
10

melakukan pembacaan yang produktif (al-qira>ah al-muntijah) agar


22
menghasilkan interpretasi yang humanis.

Tokoh-Tokoh Reformis-Modernis dan Tawaran Teorinya

Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa studi


kontekstualisasi yang dilakukan oleh para tokoh reformis modernis berhasil
menelurkan tawaran teori pembacaan baru terhadap teks al-Qur‟an. Diantara
tokoh-tokoh tersebut adalah sebagai berikut.

1. Fazlūr Raḥmān dan Teori Double Movement


Fazlūr Raḥmān adalah seorang pembaharu abad dua puluh yang cukup
berani meskipun gagasannya banyak ditentang oleh masyarakat di negaranya
sendiri. Adapun dasar pembentukan gagasannya berada dalam ujung ekor
kolonialisme Barat ketika proses pembangunan bangsa, modernisasi, reformasi
peradilan, dan hukum keluarga sudah stabil.
Adapun prinsip utama al-Qur‟an menurut Syaḥrūr adalah membangun
masyarakat berlandaskan keadilan. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh
nabi Muhammad sebagai reformis sosial yang memberdayakan orang miskin
dan yang lemah. Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Syaḥrūr manusia
memerlukan dua hal. Satu, penilaian ulang terhadap seluruh tradisi intelektual
Islam, baik teologi, etika, filsafat, dan hukum dalam al-Qur‟an. Dua,
pemahaman yang realistis terhadap konteks sosial modern. Dengan dua asas
ini, Fazlūr Raḥmān melahirkan sebuah teori yang disebut dengan gerakan
ganda (double movement), yaitu gerakan mundur pada saat teks turun untuk
melihat realitas yang terbentuk pada masa itu, menarik pesan historis dan pesan
umum dari ayat tersebut kemudian bergerak maju kembali lagi pada masa
sekarang untuk menerapkan prinsip umum tersebut. Menurut Syaḥrūr hanya
dengan cara ini ummat Islam dapat mengejar ketertinggalan dan menghadapi
tantangan modernitas.23

22
Mu‟ammar, Studi Islam Kontemporer…, 185.
23
Ziba Mir Hosseini, Justice, Equality, and Muslim Family Law; New Ideas, New Prospects (New
York: I.B. Tauris, tt), 1-34.
11

2. Moḥammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam


Secara umum, motif pembaharuan Arkoun dilandasi keinginannya untuk
membumikan teologi Islam dalam konteks kekinian. Tidak dapat dipungkiri
bahwa warisan pemikir Islam berkaitan erat dengan realitas sosial yang
melingkupinya. Berdasarkan hal tersebut tentu saja, realitas akan terus berubah
seiring dengan pergantian masa sehingga adalah tidak adil menjadikan warisan
pemikiran lama sebagai sesuatu yang baku dan suci. Kejumudan inilah -
menurut Arkoun- yang menjadi salah satu faktor ketertinggalan Islam dari
Barat.
Keprihatinan Arkoun terhadap nalar islam berangkat dari persoalan
semacam pertanyaan mengapa ilmu fikih, kalam, akhlak, dan tafsir yang
disusun pada abad 18 belum mengalami perubahan yang cukup signifikan
sampai hari ini. Tentu saja, fakta ini bertolak belakang dengan kebutuhan
masyarakat yang terus berubah. Oleh karena itu, Arkoun mencanangkan
sebuah proyek besar yang disebut dengan kritik nalar Islam dan pembukaan
pintu ijtihad dengan meminjam teori-teori barat kontemporer. Dari aktifitas
kritik nalar tersebut, Arkoun memberikan wajah baru seputar wahyu, al-
Qur‟an, dan tafsir.24
3. Ḥassan Ḥanafī dan Konsep Teologi Antroposentris
Teologi merupakan pondasi dari agama. Adanya pemikiran teologi ini
akan menjadi dasar berperilaku seorang muslim. Hanya saja, Ḥassan Ḥanafī
merasa bahwa konsep teologi Islam yang ada masih berkutat sebatas dogma
yang melangit dan ide-ide kosong, belum menjelma menjadi ilmu tentang
perjuangan sosial, serta keimanan sebagai landasan etik dalam bertindak di
kehidupan nyata.
Untuk mengatasi problematika teologi klasik ini, Ḥassan Ḥanafī
mengajukan dua teori. Satu, analisa bahasa yaitu istilah yang dipakai
dalamteologi Islam tida hanya mengarah pada hal yang transenden, melainkan
juga bermaksud mengungkap sifat-sifat dan metode keilmuan yang empirik-

24
Moḥammad Arkoun, “The Unthought in Contemporary Islamic Thought”, The American
Journal of Islamic Social Science, vol. 21, no. 1, 100-102.
12

rasional. Dua, analisa realitas sosial. Analisa ini digunakan untuk mengetahui
latar sosiologis saat teologi terbentuk serta pengaruhnya terhadap masyarakat
di lingkungan tersebut. Analisa ini dapat membantu mengarahkan orientasi
teologi modern.25
4. Naṣr Ḥāmid Abū Zayd dan al-qira>ah al-siya>qiyyah
Naṣr Ḥāmid Abū Zayd sangat gelisah ketika menghadapi kelompok yang
menjadikan al-Qur‟an dan hadis untuk kepuasan dan kepentingan pribadi
mereka sendiri. Meskipun pemikirannya mendapat hujan kritik dari banyak
orang, tapi hal tersebut sama sekali tidak menyurutkan semangat ijtihadnya
untuk turut andil menyikapi persoalan yang terjadi di tengah masyarakat.
Dalam perspektifnya, sudah saatnya melakukan pembacaan yang produktif
terhadap al-Qur‟an agar dapat melahirkan pemahaman yang humanis, bukan
yang dispotis dan sadis -sebagaimana pemahaman yang berkembang saat itu-.
Berangkat dari hal tersebut, ia kemudian mengenalkan sebuah metode
yang disebut dengan pembacaan kontekstual (al-qira>ah al-siya>qiyyah). Metode
ini merupakan pengembangan dari metode uṣūl fiqih dengan memperluas
kajian historis tidak terbatas pada asba>b al-nuzu>l ayat saja, melainkan juga
kepada konteks runut pewahyuan, konteks narasi, struktur linguistik, serta
melihat realitas sosial yang terjadi saat ayat tersebut turun. Kecuali itu, pada
proses penelusuran sebab turun ayat, Naṣr Ḥāmid Abū Zayd juga berupaya
untuk menemukan pesan khusus yang menjadi makna historis dari suatu ayat
sekaligus pesan umum yang menjadi nilai signifikansi untuk diterapkan pada
masa sekarang.26
5. M. Syaḥrūr dan Teori Limit
Landasan teori limit Syaḥrūr adalah QS. al-Nisā‟/04: 13-14.27
Menurutnya, dalam ayat ini Allah menggunakan kata ḥudūd yaitu bentuk plural

25
Riza Zahriyal Falah dan Irzum Farihah, “Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”, Fikrah, vol. 3, no.
1, Juni 2015, 201-220.
26
Mu‟ammar, Studi Islam Kontemporer…, 189-191.
27
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam syurga yang mengalir di dalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan
barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya,
13

dari ḥadd untuk menunjukkan bahwa manusia diberikan keleluasaan untuk


memilih batasan tergantung situasi yang melingkupinya, tanpa harus
bermakmum kepada nabi, sahabat, dan ulama salaf. Teori ini dibangun dengan
metode linguistik yang didasarkan pada dua istilah; ḥanīf (fleksibel) dan
istiqāmah (konstan).28
Sebagai sebuah saintis, Syaḥrūr menciptakan teori limit atas analisa
matematika Issac Newton tentang persamaan fungsi dengan rumus y=f(x) jika
terdiri dari satu variabel, dan y=f(x,2) jika terdiri dari dua variabel atau lebih.
Syariat yang mengandung batasan Allah ditempatkan pada sumbu y, sedangkan
arah perkembangan waktu, sosio-kultural masyarakat ditempatkan pada sumbu
x.29
Dalam teorinya, Syaḥrūr menetapkan enam variasi persamaan. Satu,
batas maksimum. Dua, batas minimum. Tiga, batas minimum-maksimum.
Empat, batas lurus tanpa alternatif. Lima, posisi batas maksimum cenderung
mendekati tanpa adanya persentuhan sama. Enam, posisi batas maksimum
positif, batas minimum negatif dan boleh dilewati.30 Teori limit merupakan
fresh ijtihad yang diyakini Syaḥrūr sesuai dengan tuntutan realitas modern.

Nilai Penafsiran

Melihat pada kedudukan al-Qur‟an sebagai rahmat bagi seluruh alam


(rahmatan li al-‘a>lami>n), maka menjadi sebuah keharusan baginya untuk
lentur dalam setiap zaman, baik klasik maupun modern. Hal ini disebabkan al-
Qur‟an turun untuk menyapa seluruh masyarakat dengan latar sosial yang
berbeda-beda. Oleh karenanya, dikarenakan situasi sosial yang dihadapi
masyarakat akan terus berubah dan berkembang, pembacaan terhadap al-Qur‟an

niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya
siksa yang menghinakan.
28
Siti Aisah, “Kritis Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur (Sebuah Refleksi), Mu’amalat:
Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syari’ah, 235-250.
29
Muḥammad Shaḥrūr, Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah (Damaskus: al-Ahālī, tt), 452.
30
Hendri Hermawan Adinugraha dkk., “Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia; (Analisis
Terhadap Teori Hudūd Muh. Syahrur)”, Islamadina: Jurnal Pemikiran Islam, vol. 19, no.1, Maret
2016, 1-26.
14

tidak boleh terpaku pada konteks masa lalu saja. Jika tidak, maka akan
menghasilkan pembacaan yang mis-placed.

Terdapat tiga perangkat utama yang menjadi syarat mutlak tafsir modern.
Satu, menguasai ilmu-ilmu yang harus dimiliki oleh mufasir31. Dua,
mengolaborasikan dengan penemuan/teori ilmiah. Tiga, diinterpretasikan sesuai
dengan kebutuhan kondisi sosial masyarakat.32 Sedangkan untuk mengukur power
dan kredibilitas sebuah tafsir modern dapat dilihat dari eksistensinya seiring
dengan pergantian masa. Hal ini dilandaskan pada setiap penafsiran yang akan
terus diuji oleh penafsiran yang datang belakangan. Jika bertahan, maka
penafsiran tersebut berhasil mempresentasikan kebutuhan manusia dalam banyak
aspek.33

Problematikan Penafsiran

Sebagai sebuah pendekatan tafsir baru, tentu saja penerapan teori sosial
modern masih menjadi hal yang kontroversial di beberapa pihak. Sebagian pihak
menolak, sebagian menerima, bahkan ada pula yang menerima bahkan
mengembangkannya. Berikut akan dipaparkan pandangan masing-masing pihak
terhadap corak adabi> ijtima>’i> modern sebagai pendekatan tafsir.

1.Pihak yang menolak

Adapun mayoritas kelompok yang menolak model penafsiran modern


berasal dari kalangan konservatif yang ingin melestarikan warisan lama.
Sebagai contoh adalah Hamid Fahmy Zarkasyi, alumnus al-Azhar sekaligus
penulis buku Hermeneutika sebagai Produk Pandangan Hidup. Ia
menyayangkan masifnya kecenderungan pemikir modernis untuk meminjam
teori Barat (Red. hermeneutika) sebagai alat untuk menafsirkan al-Qur‟an yang

31
Imam al- Suyūṭī menyebutkan lima belas keilmuan yang harus dimiliki seseorang yang hendak
menafsirkan al-Qur‟an, yaitu al-lughah, nah}wu, s}arraf, al-ishtiqa>q, al-ma’a>ni>, al-baya>n, al-badi>’,
al-qira>ah, us}u<l al-di>n, us}u>l fiqih, fiqih, asba>b al-nuzu>l, naskh dan mansu>kh, h}adi>th, dan al-
mauha>bah. Lihat, al- Suyūṭī, al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n (Damaskus: Muassasah al-Risālah
Nāshirūn, 2008), 763-781.
32
Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an…, 26-27.
33
Shihab, Kontekstualitas al-Qur’an…, 16.
15

menurutnya menyimpan kesenjangan. Bagaimana pun, al-Qur‟an dan teks-teks


keagamaan yang lain adalah dua hal yang memiliki kebudayaan dan keilmuan
berbeda. Justru intensitas mengawinkan dua kubu ini membuktikan inferioritas
generasi muslim atas prestasi Barat serta berdampak pada menurunnya
motivasi untuk menangkap konsep dan tradisi pemikiran Islam yang diajarkan
oleh para ulama salaf.34

2. Pihak yang menerima

Teori pembacaan baru terhadap al-Qur‟an memang cukup mendapat kritik


yang sengit dari banyak kalangan. Namun, ada pula yang menyetujui teori
tersebut. Sebagai contoh sederhana, teori-teori yang ditawarkan oleh pemikir
reformis modernis (berangkat dari perangkat hermeneutika) justru tetap eksis
menjadi topik diskusi dalam forum kajian keislaman hingga hari ini. Bahkan
teori-teori tersebut sering kali dimasukkan dalam literatur Islam dan dijadikan
pisau analisis dalam memahami teks al-Qur‟an.

3. Pihak yang menerima dan mengembangkan

Masa modern menuntut adanya integrasi ilmu pengetahuan dan agama,


karena keduanya adalah satu kesatuan yang tidak perlu dikotak-kotakkan.
Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, tidak sedikit orang yang
mulai beradaptasi dan membuka diri untuk menerima teori ilmiah Barat.
Sebagai contoh adalah Sahiron Syamsuddin. Beliau terinspirasi untuk
mengembangkan teori double movement Fazlūr Raḥmān dan metode al-qira>ah
al-siya>qiyyah Naṣr Ḥāmid Abū Zayd sehingga melahirkan rumusan pembacaan
baru yang lebih komprehensif yang disebut dengan pendekatan ma‟nā cum-
maghzā.35

34
Akhmad Faruki, “Respon Pemikir Muslim Konservatif Terhadap Penggunan Teori
Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur‟an”, TESIS Dirasah islamiyah Universitas Islam Negeri Sunan
Ampel Surabaya, 2019, 123-126.
35
Sahiron Syamsuddin, Metode Penafsiran dengan Pendekatan Ma’na Cum-Maghza dalam
Pendekatan Ma‟na Cum-Maghza atas Al-Qur‟an dan Hadis: Menjawab Problematika Sosial
Keagamaan di Era Kontemporer, Asosiasi Ilmu Alqur‟an & Tafsir se-Indonesia, 2020, 1-18.
16

SIMPULAN

Memasuki era bio-revolution, tantangan modernitas adalah hal yang tidak


dapat terbantahkan. Langkah paling solutif untuk menjaga eksistensi Islam pada
fase ini adalah dengan memegang teguh ajarannya sambil lalu diungkapkan sesuai
dengan nilai modern. Seperti yang dilakukan oleh para pemikir reformis modernis
yang melakukan re-interpretasi sumber teks yang disebut dengan penafsiran
kotekstualis.

Metode ini dilakukan dengan cara melihat konteks yang melingkupi saat
teks diturunkan, memetakan makna historis dan pesan universal yang terkandung
di dalamnya, kemudian dikontekstualisasikan sesuai dengan kebutuhan sosial saat
ini. Studi kontekstualisasi berangkat dari pengaruh hermeneutika modern yang
dipakai untuk menginterpretasikan teks al-Qur‟an. Dari proses ini, pemikir
reformis modernis berhasil melahirkan teori pembacaan al-Qur‟an baru, seperti
double movement Fazlūr Raḥmān, konsep teologi antroposentris Ḥassan Ḥanafī,
dan yang lainnya.

Untuk melihat tafsir modern yang sesuai dengan nilai Islam dan realitas
sosial, tentu saja ada patokan yang harus dipertimbangkan. Yaitu penguasaan
ilmu-ilmu yang berkaitan dengan tafsir, dikawinkan dengan penemuan/teori
ilmiah, serta diinterpretasikan sesuai dengan kebutuhan realitas masyarakat
modern. Dari tiga pijakan ini, maka dapat dipahami bahwa penerapan teori Barat
boleh saja dilakukan selama prinsip kemaslahatan tetap menjadi tolak ukurnya.

Sedangkan untuk mengukur kredibilitas penafsiran modern adalah dengan


melihat seberapa lama pembacaan tersebut eksis di tengah masyarakat Islam.
Karena tentunya, sebuah penafsiran pasti akan diuji oleh penafsiran yang datang
belakangan. Jika teori tersebut dirancang dengan metodologi yang jelas dan
mencakup kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek, teori tersebut akan terus
bertahan. Sebaliknya, teori dengan metodologi penafsiran yang kurang memadai
akan tertindih oleh penafsiran baru berikutnya.
17

DAFTAR PUSTAKA

Adinugraha, Hendri Hermawan dkk., “Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia;


(Analisis Terhadap Teori Hudūd Muh. Syahrur)”, Islamadina: Jurnal
Pemikiran Islam, vol. 19, no.1, Maret 2016.
Aisah, Siti. “Kritis Terhadap Pemikiran Muhammad Syahrur (Sebuah Refleksi),
Mu’amalat: Jurnal Kajian Hukum Ekonomi Syari’ah.
Arkoun, Moḥammad. “The Unthought in Contemporary Islamic Thought”, The
American Journal of Islamic Social Science, vol. 21, no. 1.
Dhahabī, Muḥammad Ḥusein al. al-Tafsīr wa al-Mufassiru>n. jilid. 1. Kairo:
Matabah Wahbah, tt.
Faiz, Fahruddin. Hermeneutika al-Qur’an: Tema-Tema Kontroversial.
Yogyakarta: Kalimedia, 2015.
Falah, Riza Zahriyal dan Irzum Farihah. “Pemikiran Teologi Hassan Hanafi”,
Fikrah, vol. 3, no. 1, Juni 2015.
Hosseini, Ziba Mir. Justice, Equality, and Muslim Family Law; New Ideas, New
Prospects. New York: I.B. Tauris, tt.
Mu‟ammar, M. Arfan dkk. Studi Islam Kontemporer Perspektif Insider/ Outsider.
Yogyakarta: IRCSiCoD, 2017.
Muḥtasib, „Abd al-Majīd „Abd al-Salām al. Ittija>ha>t al-Tafsi>r fi> ‘As}r al-Ra>hin.
cet. 3. Amman: al-Nahḍah al-Islāmiyyah, 1982.
Saeed, Abdullah. Pengantar Studi al-Qur’an. cet. 1. Yogyakarta: Baitul Hikmah
Press, 2016.
Shaḥrūr, Muḥammad. Al-Kitāb wa al-Qur’ān: Qirā’ah Mu’āṣirah. Damaskus: al-
Ahālī, tt.
Shihab, Umar. Kontekstualitas al-Qur’an: Kajian Tematik atas Ayat-Ayat Hukum
dalam al-Qur’an. Jakarta: Penamadani, 2005.
Suyūṭī, al. al-Itqa>n fi> ‘Ulu>m al-Qur’a>n. Damaskus: Muassasah al-Risālah
Nāshirūn, 2008.
18

Syamsuddin, Sahiron dkk. Pendekatan Ma’na Cum-Maghza atas Al-Qur’an dan


Hadis: Menjawab Problematika Sosial Keagamaan di Era Kontemporer,
Asosiasi Ilmu Alqur‟an & Tafsir se-Indonesia, 2020.
Wijaya, Aksin. Arah Baru Studi Ulumul Qur’an. Yogyakarta: IRCiSoD, 2020.
Faruki, Akhmad. “Respon Pemikir Muslim Konservatif Terhadap Penggunan
Teori Hermeneutika dalam Tafsir al-Qur‟an”, (Tesis--Dirasah islamiyah
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, 2019.
Salamī, Dalāl bint Kuwīrān ibn Huwaymal al-Baqīlī al. ”al-Tajdi>d fi> al-Tafsi>r fi
al-‘As}r al-H}adi>th: Mafhu>muhu> wa D}awa>bit}uhu> wa Ittija>ha>tuhu>”.
Disertasi—Prodi Tafsir dan Ulūm al-Qur’ān Jāmi’ah Umm al-Qurā,
Mekkah, 2014.

You might also like