Professional Documents
Culture Documents
9t18
Program Studi Bimbingan dan Konseling | Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan | INNOVATIVE
Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya (UMTAS) COUNSELING
ISSN (Print): 2548-3226
Abstract. Multicultural sensitivity both theoretical and empirical needs to be owned by counselors in
the counseling service. Multicultural sensitivity is important in the counseling process because of its
multicultural sensitivity counselor at counseling services can be predicted to be more effective.
Counselors are required to have a multicultural sensitivity as access to better know, understand and
appreciate the whole cultural experience that is owned by the counselee as well as exploring the
potential counselee with a fixed packing uniqueness. The counselor with a keen sensitivity better
understand and appreciate the cultural bias between the counselor and counselee which is predicted to
be able to direct the counselee to develop optimally
Rekomendasi Citasi: Nugraha, Agung & Sulistiana, Dewang. (2017). Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam
Layanan Konseling. Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research, 1 (1): pp. 9-18
Article History: Received on 12/15/2016; Revised on 12/24/2016; Accepted on 01/10/2017; Published Online:
12/16/2017. This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which
permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly
cited. © 2017 Journal of Innovative Counseling : Theory, Practice & Research
9
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D
Memiliki pengetahuan dan pemahaman bantuan yang diberikan lebih tepat guna dan
yang lebih jauh dan mendalam bagi seorang berjalan efektif.
konselor terhadap permasalahan multibudaya
Berdasarkan beberapa kajian para ahli
dalam layanan konseling dapat artikan sebagai
yang telah dipaparkan dapat dipahami betapa
kepekaan multibudaya (culturally sensitive)
pentingnya suatu kepekaan multibudaya bagi
konselor dalam menyikapi perkembangan
seorang konselor demi keberlangsungan
masalah multibudaya dalam layanan
layanan konseling yang. Pernyataan tersebut
konseling yang selalu dinamis. Kepekaan
mengarahkan pada suatu kondisi dimana
multibudaya sangat penting bagi seorang
kepekaan multibudaya bagi seorang konselor
konselor dan akan sangat berguna pada saat
sudah seharusnya terbangun sedini mungkin
konselor dihadapkan dalam proses konseling
sebagai kemampuan dasar bagi seorang
yang beratmosfer perbedaan budaya terutama
konselor. Proses pembentukan dalam
dalam kondisi konselor dengan konseli
mempersiapkan konselor yang peka terhadap
memiliki latar belakang budaya berbeda.
keberagaman dalam layanan konseling
Supriadi (Nugraha, 2012: 9) memaparkan
(sensitif) merupakan suatu kebutuhan yang
perlunya konselor yang memiliki kepekaan
segera.
multibudaya (culturally sensitive counselor)
untuk dapat memahami dan membantu
klien/konseli. Profil konselor tersebut
merupakan seorang konselor yang menyadari
Pembahasan
benar bahwa dilihat dari sisi budaya, inidvidu Hakikat sifat layanan konseling
memiliki karakteristik yang unik dan dibawa merupakan layanan kuratif yang menuntut
dalam proses konseling sehingga secara tidak konselor berperan sebagai memberi fasilitas,
langsung diperlukan pemahaman yang benar motivator, dan evaluator terhadap kesesuaian
dan mendalam tentang latar belakang budaya potensi yang dimiliki konseli terhadap langkah
konseli. Hal tersebut senada dengan penyelesaian masalah konseli.
pemaparan Ibrahim & Heuer (2016: 4) yang
Selain itu dalam layanan konseling
menyatakan ³XQGHUVWDQGLQJ WKH LPSRrtance of
konseling konselor mengimplementasikan
core values and cultural identity in all its
keterampilan-keterampilan sosial dalam setiap
complexity will help clinicians when
sesi konseling. Layanan konseling merupakan
counseling in a culturally sensitive and
proses dimana konselor dan konseli
UHOHYDQW PDQQHU LQ D GLYHUVH VRFLHW\ ´
mempertemuakan atribut-atribut psikofisik
Selanjutnya Hays & Erford (2010: 30) seperti kecerdasan, bakat, minat, sikap,
yang menyatakan motivasi dan sosio-budaya. Selanjutnya
layanan konseling merupakan suatu kondisi
³ Counselor sensitive to the needs of
atau bentuk lain dalam interaksi budaya.
understand and integrate numerous terms
Selama berlangsungnya proses konseling
within the WKH FOLHQW¶V SDUWLFXODU JURXS DQG
secara tidak langsung seluruh atribut budaya
culture....., If a counsellor can do this
diantara konselor dan konseli akan muncul
successfully, they may be able to further their
yang mewakili keunikan individu masing-
NQRZOHGJH DERXW WKH FOLHQW¶V IDPLO\ YDOXHV,
masing.
DWWLWXGHV EHOLHIV DQG EHKDYLRXUV´.
Layanan konseling menjadi lebih optimal
Pernyataan tersebut tersebut dapat
andai kompetensi multibudaya serta
diartikan bahwa seorang konselor yang sensitif
pemahaman atribut psikofisik diri sendiri dan
membutuhkan pengetahuan tentang dirinya
atribut psikofisik konseli yang dibawa dalam
sendiri serta tentang konseli yang berasal dari
layanan konseling dimiliki oleh konselor
kelompok dan budaya tertentu. Sehingga jika
sehingga pemahaman dan penghayatan
seorang konselor mampu melakukan semua
mendalam mengenai identitas budaya dapat
hal tersebut dengan baik maka konselor akan
dijadikan jembatan yang menghubungkan
mendapatkan pengetahuan lebih jauh tentang
kesenjangan antara atribut psikofisik konselor
latar belakang konseli, nilai-nilai, sikap,
dan atribut psikofisik konseli serta dapat
keyakinan dan perilaku konseli, sehingga
mewujudkan layanan konseling yang efektif.
Selanjutnya Sue, Arredondo, & McDavis
10
Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan Konseling Nugraha, A. & Sulistiana, D.
(Chung, 2005: 264) memaparkan kompetensi beberapa kelompok seperti Asia- Amerika,
multibudaya merupakan suatu respon terhadap perempuan, serta demografi individu
ras, etnik, dan populasi budaya yang beragam. tinggal. 3) Individual culture, mengacu
Pernyataan tersebut dapat dipahami bahawa pada keunikan prilaku, sikap dan kognitif
kompetensi multibudaya seorang konselor seorang individu yang termasuk dalam
adalah reaksi dari perbedaan dinamika budaya universal culture dan group culture.
antara budaya konselor itu sendiri dengan b. Cultural Encapsulation, merupakan cara
dinamika budaya konselor yang berasal dari pandang terhadap dunia dan budaya yang
suatu tingkatan sosial. lain dengan menggunakan hanya satu
budaya saja. Hal ini dapat dimaknai bahwa
Baruth & Manning (Nugraha, 2012:
dalam layanan konseling konselor
26) dimensi multibudaya dalam layanan
diharapkan mampu memandang suatu
konseling merupakan suatu layanan
masalah tidak hanya dari perspektif
konseling yang pertama kali dilakukan oleh
probadi konselor melain juga harus dari
sekelompok kecil konselor dan psikolog yang
perspektif konseli.
tertarik pada perbedaan budaya. Baruth &
c. Individualism and Collectivism,
Manning memaparkan dimensi multibudaya
mengarah pada prilaku dan sikap yang
dalam layanan konseling dimulai pada tahun
membimbing individu pada determinasi
1960 dimana perkembangan status ras, etnis
diri (self -determination) atau pada
dan berbagai bentuk diskriminasi (latar
kebebasan diri seperti kompetisi, self-
belakang budaya berbeda) di masyarakat
disclosure, agency, kebebasan dan
Amerika telah diakui (Nugraha, 2012: 26).
pengembangan diri. Sementara
Adanya pengakuan status dari semua bentuk
collectivism menekankan kemampuan
deskriminasi tersebut bagi layanan
individu untuk mampu bekerjasama pada
konseling pada saat itu merupakan suatu
kelompok baik itu berupa penyampaian
bidang layanan baru untuk menumbuhkan
suatu pendapat, ide atau suatu keputusan.
individu yang berasal dari kelompok latar
d. Race and Ethnicity, ras dan etnis
belakang budaya tertentu (special
merupakan dua klasifikasi kelompok
population) menjadi lebih optimal dan sehat
yang besar dalam isu konseling
secara mental.
multibudaya. Race atau kelompok rasial
Selanjutnya istilah multibudaya (the menekankan pada klasifikasi konstruk
term multiculturalism) dan budaya pada sosial berdasarkan pada aspek fisik
dasarnya merupakan bentuk integrasi dari seperti warna kulit, tekstur rambut,
identitas budaya (cultural identity) yang bentuk wajah, dan bentuk mata. Ethnicity
terbangun dari beberapa dimensi budaya mengacu pada pembagian karakteristik
Hays & Erford dalam Nugraha (2012: 26) budaya, keagamaan, dan bahasa seperti
diantaranya : Latin Amerika dan Arab-Amerika.
a. Culture, didefinisikan sebagai pengalaman e. Generational status, mengacu pada
total dari seorang individu dalam konteks pengelompokkan kelompok umur dalam
sosial. Pengalaman sosial individu tersebut suatu kelompok sosial dan konteks
ditunjukkan melalui media biologis, sejarah. Tipe pengelompokkan ini
psikologis, sejarah dan politik. Budaya berkisar pada 15 sampai 20 tahun.
mencakup prilaku, sikap, perasaan, dan f. Gender, merupakan ekspresi dari
pikiran yang berhubungan dengan kategori sosial. Kategori sosial ini
identitas kehidupan. Definisi budaya mengarah pada pengetahuan peraturan
dapat dibatasi menjadi tiga definisi sebagai gender dimana prilaku dan sikap
berikut. 1) Universal culture, mengacu merupakan bagian dari seorang pria dan
pada commonalitie yang dibagi oleh wanita. Tedapat tiga istilah yang dapat
semua budaya dan umat manusia seperti digunakan untuk mengartikan gender
penggunaan bahasa sebagai sebuah diantaranya: masculinity, femininity dan
metode komunikasi, pendirian norma androgyny. Masculinity dan femininity
sosial, fungsi tubuh atau respon fisiologis. merupakan ekspresi normative dari suatu
2) Group culture, mengacu pada sebuah pandangan dan penerimaan sosial
karakteristik tertentu yang dibagi kedalam terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh
seorang pria atau wanita, sedangkan
11
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D
12
Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan Konseling Nugraha, A. & Sulistiana, D.
walaupun ras dan warna kulit sama namun merasakan seorang terapis/konselor secara
nilai budaya tetap berbeda. akurat baik merasakan dan memahami apa
yang sedang dirasakan oleh konseli dan
Untuk memiliki kepekaan multibudaya
mengkomunikasikan pemahaman tersebut
konselor dituntut untuk mempunyai
kepada konseli.
pemahaman yang kaya tentang berbagai
budaya diluar budayanya sendiri, khusunya Hogan (1969, p. 308) memaparkan empati
berkenaan dengan latar belakang budaya ´HPSDWK\ DV WKH LQWHOOHFWXDO RU imaginative
klien/konseli Supriadi (Nugraha, 2012:10). DSSUHKHQVLRQ RI DQRWKHU¶V FRQGLWLRQ RU VWDWH
of mind without actually experiencing that
Pemaparan tersebut mengandung
SHUVRQ¶V IHHOLQJV ´ GDQ &ODUN S
pengertian bahwa konselor harus mampu
´defined empathy as the unique capacity of the
memahami diri sendiri serta konseli secara
human being to feel the experience, needs,
menyeluruh baik secara fisiologis dan
aspirations, frustations, sorrows, joys,
psikologis yang merupakan atribut dalam
anxieties, hurt, or hunger of others as if they
proses konseling. Adanya pemahaman
were his or her own ´ +RMDW . Empati
mendalam mengenai karakteristik diri sendiri
merupakan kemampuan intelektual dan
dan konseli mengarahkan konselor untuk
imajinasi untuk merasakan kondisi orang lain
mampu mengembangkan pendekatan-
dan kapaitas unik untuk merasakan
pendekatan konseling berdasarkan pemahaman
pengalaman, kebutuhan, aspirasi, frustasi,
budaya antara konseli dan konselor.
duka cita, kebahagiaan, kecemasan atau
Selanjutnya menurut Pedersen (Nugraha, kesakitan orang lain seperti layaknya pada diri
2012: 40) kepekaan multibudaya konselor sendiri.
dalam layanan konseling terbangun atas dasar
Empati dapat dibatasi pada suatu
konstruk empati. Dapat diartikan bahwa
dipaparkan suatu definisi empati sebagai
kepekaan multibudaya dalam layanan
kemampuan untuk memahami (kognitif) dan
konseling diartikan sebagai suatu pengetahuan
merasakan (emosional) secara akurat kondisi
diri konselor untuk sadar, merasakan, mengerti
yang sedang dialami oleh konseli. Berdasarkan
dan paham terhadap perbedaan atau jarak
batasan definisi tersebut empati terbangun dari
antara latar belakang/dunia konseli dan
dua komponen utama yaitu komponen kognitif
konselor. Dapat diartikan kepekaan juga
dan komponen afektif. Pada komponen
sebagai suatu upaya mempersepsikan konseli
kognitif menitikberatkan pemahaman
sebagai suatu individu total yang terbentuk
terhadap perasaan yang sedang dirasakan
dari pengalamannya.
orang lain dan kemampuan untuk memahami
Selanjutnya seorang ahli lain Carl Rogers perspektif orang lain. Komponen afektif
(Ivey & Auther, 1978: 128) memaparkan menitikberatkan pada komponen emosional
HPSDWL VHEDJDL ´WR VHQVH WKH FOLHQW¶V SULYDWH dimana observer (konselor) merespon keadaan
world as if it were your own,but without losing emosional orang lain (konseli). Selanjutnya
WKH ¶DV LI¶ TXDOLW\ ´ pemaparan tersebut dapat Davis dalam Nugraha (2012: 41) memaparkan
diartikan bahwa empati merupakan suatu komponen kognitif dalam empati meliputi
kemampuan untuk merasakan dunia pribadi sebagai berikut.
konseli sama seperti konselor merasakan
a. Fantasy (FS) merupakan kecenderungan
dunianya sendiri. Senada dengan pendapat
seseorang untuk mengubah diri secara
Gladding (Nugraha, 2012: 40) yang
imajinatif dalam mendalami perasaan dan
mendefinisikan empati ´LV WKH DELOLW\ WR HQWHU
tindakan individu lain. Kecenderungan
the private world of someone else and be
respon secara imajinatif dalam mendalami
WKRURXJKO\ DW KRPH LQ LW ´
persaan/tindakan individu tersebut ditandai
Carl Rogers (Hackney & Cormier, 2009: dengan pengenalan secara mendalam
67) memaparkan HPSDWL ´mean that the terhadap karaktek fiktif dalam buku/novel,
therapist senses accurately the feelings and film dan permainan drama. Fantasi
personal meanings that the client is merupakan aspek yang berpengaruh pada
experiencing and communicates this acceptant reaksi emosi terhadap orang lain dan
XQGHUVWDQGLQJ WR WKH FOLHQW ´ dapat diartikan menimbulkan perilaku menolong.
bahwa empati merupakan kemampuan Indikator
13
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D
14
Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan Konseling Nugraha, A. & Sulistiana, D.
15
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D
16
Kepekaan Multibudaya Bagi Konselor dalam Layanan Konseling Nugraha, A. & Sulistiana, D.
17
JOURNAL OF INNOVATIVE COUNSELING : THEORY, PRACTICE & RESEARCH
Vol.1, No.1, Januari 2017
Available online: http://journal.umtas.ac.id/index.php/innovative_counseling Nugraha, A & Sulstiana, D
Fawcet, Mary L. & Evans, Kathy M. (2013). (1981). Counseling Across Cultures.
Experiential Approach for Developing USA: The East-West Center by The
Multicultural Counseling Competence. University Press of Hawaii.
USA: SAGE.
Sue, D. W. & Sue, D. (2003). Counseling the
Culturally Diverse;Theory and
Practice. USA: John Wiley & Sons,
Hackney, Harold L. & Cormier, Sherry.
Inc.
(2009). The Professional Counselor; A
Process Guide to Helping. New Jersey: Surya, Mohamad. (2003). Psikologi Konseling.
Pearson. Bandung: C. V. Pustaka Bani Quraisy.
Hays, Danica G. & Erford, Bradley T. (2010).
Developing Multicultural Counseling
Competence: A Systems Approach.
New Jersey: Pearson.
Hojat, Mohammadreza .(2007). Empathy in
Patient Care; Antecedents,
Development, Measurement, and
Outcomes. New York: Springer.
Ibrahim, Farah A. & Heuer, Jianna R. (2016).
Cultural and Social Justice Counseling
Client-Specific Interventions.
Switzerland: Springer.
Ivey, Allen E. & Auther, Jerry. (1978). Micro
Counseling; Innovations in
Interviewing, Counseling,
Psychotherapy, and Psychoeducation:
Second Edition. USA: Charles C
Thomas Publisher.
Leong, Frederick & Kim, Helen H.W. (1991).
Going Beyond Cultural Sensitivity on
the Road to Multiculturalism: Using the
Intercultural Sensitizer as a Counselor
Training Tool. Journal of Counseling
& Development, Vol. 70,
September/Oktober, pp. 112±118.
Nugraha, Agung. (2012). Program
Experiential Based Group Counseling
Untuk Meningkatkan Kepekaan
Multibudaya Calon Konselor
(Penelitian Pra Eksperimen di Jurusan
PPB FIP UPI Tahun Akademik
2011/2012). Tesis. Bandung: SPs UPI
(tidak diterbitkan).Pedersen, Paul B.,
Crether & Carlson. (2008). Inclusive
Cultural Empathy; Making
Relationships Central in Counseling
and Psychotherapy. Washington D.C:
APA.
Pedersen, Paul B., Draguns, Juris G., Lonner,
Walter J., and Trimble, Joseph E..
18