You are on page 1of 12

Al-Tazkiah, Volume 5, No.

2, Desember 2016

ETIKA KONSELING DALAM KONTEKS LINTAS


BUDAYA DAN AGAMA

Masruri
Fakultas dakwah dan komunikasi IAIN Mataram.
Email: masruri143@gmail.com

Abstract
Religion and culture are two entities have always been inherent
in human life as social beings. The synergy between religion and
culture in affecting the life order of human becomes a uniqueness
part in the plural society, the diversity of religion and culture in
a society with each having belief, thought, paradigm, values, and
norms. It becomes a challenge for counselors to have competence
in the field of cultural skills, in understanding the diversity of
cultural values and religion. The urgency of that understanding is to
avoid cultural bias and religion between counselor and counselee.
Thus, the counselors are required to have a cultural sensitive and
to develop tolerant attitude in the diverse of population, especially
for counselors who work in educational settings. The diverse
problem of religions and cultures become problems, which
often appear on the surface, such as the harassment of religious
teachings, traditions, gender issues.
Keyword : Counseling Ethics, cross culture and religion

Masruri | 139
Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

A. Pendahuluan dan menyesuaikan diri, yaitu dengan


Keberagaman (diverse) budaya keterampilan komunikasi verbal dan
dan agama dalam suatu masyarakat, non verbal yang sifatnya fleksibal
menjadi tantangan tersendiri bagi dan fluktuatif. Sebagaimana yang
konselor dalam melaksanakan proses dijelaskan oleh ASCA (American School
bimbingan dan konseling. Menuntut Counselor Association) tentang tanggung
kepekaan (sensitif ), toleransi, dan jawab etika (ethical responsibility) dalam
responsif konselor memahami konseling lintas budaya yaitu :
perbedaan budaya dan agama konseli, The professional school counselor
sekaligus menjadi kunci keberhasilan understands the diverse cultural
backgrounds of the counselees with
konseling dalam konteks lintas whom he/she work. This includes, but
budaya dan agama. Berangkat dari is not limited to, learning how the school
pemahaman utuh konselor mengenai counselor’s own cultural/ethic/racial
identity impacts her or his values and
multikulturalisme akan melahirkan beliefs about the counseling process.1
rumusan baru dalam etika pelaksanaan
proses bimbingan dan konseling. Indonesia merupakan salah
Etika konseling dalam konteks lintas negara yang memiliki aneka ragam
budaya dan agama, dipahami sebagai budaya dan agama. Berangkat dari
bentuk pertimbangan sikap konselor sebuah keyakinan bahwa budaya dan
kepada konseli upaya menghindari agama mempengaruhi cara pandang,
kesalahpahaman dalam memberikan pola pikir dan tingkahlaku individu.
layanan bantuan kepada konseli Untuk itu, selayaknya konselor dalam
yang berbeda agama dan budaya. memahami masalah yang sedang
Urgensinya pemahaman keragaman dihadapi oleh konseli, dapat dipahami
budaya dan agama konseli, sebagai secara obyektif alias tidak subyektif
cara konselor memahami prinsip- dan holistik. Sehingga penguasaan
prinsip, nilai-nilai budaya konseli agar konselor mengenai keberagaman
tidak terjadi kesalahpahaman (miss- budaya yang terdapat dalam
understanding), yang mengakibatkan masyarakat, sangat menentukan
tanggung jawab etika professional dapat efektifitas layanan konseling. Salah
terciderai. Terutama, bagi konselor satu sikap tidak etis konselor kepada
yang bekerja di seting pendidikan, konseli dalam konteks lintas budaya
keragaman (divers) budaya dan agama dan agama adalah memaksakan nilai-
konseli adalah sebuah tantangan
tersendiri untuk dapat memahami 1
Danielt T. Sciarra, School, Counseling, (New
Zealand: Thomson Learning, 2004), 173.

140 | Etika Konseling dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama


Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

nilai konselor pada konseli, konversi pendukungnya. Sedangkan Berry


agama, sikap diskriminasi dan lain- mengatakan bahwa Secara singkat
lain. dapat pula diartikan bahwa budaya
Untuk menghadapi masalah etika adalah pandangan hidup sekelompok
konseling dalam konteks lintas budaya orang, atau dalam rumusan yang lebih
dan agama, maka perlu adanya kode umum adalah “cara kita hidup seperti
etik profesional yang mengatur sebagai ini”, the way we are, yang diekspresikan
pijakan dalam melaksanakan konseling dalam cara (sekelompok orang)
lintas budaya dan agama. Sebagaimana berpikir, mempersepsikan, menilai,
yang dikemukakan oleh Hansen dan bertindak. Kata “sekelompok
bahwa untuk menghadapi masalah orang” (a group of people) perlu digaris
etik, konselor mengembangkan kode bawahi untuk menunjukkan bahwa
etik profesional dan standar tingkah budaya selalu menunjukkan pada ciri-
laku “berdasarkan nilai-nilai yang telah ciri yang melekat pada kelompok, tidak
disetujui bersama”.2 Sedangkan Vacc, pada (seseorang) individu.
Juhnke, dan Nielsen mengatakan Mendefinisikan makna kebudayaan
bahwa kode etik akan membantu yang mampu mewakili seluruh elemen
meningkatkan kepercayaan publik kebudayaan merupakan perkara yang
terhadap integritas sebuah profesi dan tidak mudah. Sebagian besar para
melindungi klien. ahli merumuskan kebudayaan dari
sudut pandang yang berbeda-beda.
B. Pembahasan Sebagaimana Pedersen mendefinisikan
kebudayaan secara ”variabel etnografik”
1. Memahami Konseling Lintas seperti etnisitas, kewarganegaraan,
Budaya
agama, dan bahasa, seperti juga variabel
Prosser mengemukakan dalam demografik dari umur, gender, tempat
konseling lintas budaya atau kebudayaan tinggal, dan sebagainya, variabel status
(culture) meliputi tradisi, kebiasaan, seperti latar belakang sosial, ekonomi,
nilai-nilai, norma, bahasa, keyakinan dan pendidikan dan afiliasi atau
dan berpikir yang telah terpola dalam keanggotaan formal atau informal
suatu masyarakat dan diwariskan dalam cakupan luas.
dari generasi ke generasi serta Laporan Willowbank dari Komite
memberikan identitas pada komunitas Lausanne memberikan definisi
berikut mengenai kebudayaan
Gladding T. Samuel, Konseling : Profesi Yang
2
yang menggabungkan kebudayaan
Menyeluruh, ( Jakarta: PT Indeks, 2012), 68.

Masruri | 141
Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

dengan turunannya, struktur sosial: berjalan efektif. Agar berjalan efektif,


Kebudayaan adalah suatu sistem maka konselor dituntut untuk memiliki
terpadu dari kepercayaan-kepercayaan kepekaan budaya dan melepaskan diri
(mengenai Allah, atau kenyataan, dari bias-bias budaya, dan memiliki
atau makna hakiki), dari nilai-nilai keterampilan-keterampilan yang
(mengenai apa yang benar, baik, responsif secara kultural. Dari segi
indah, dan normatif ), dari adat istiadat ini, maka konseling pada dasarnya
(bagaimana berprilaku, berhubungan merupakan sebuah “perjumpaan
dengan orang lain, berbicara, budaya” (cultural encounter) antara
berpakaian, bekerja, bermain, konselor dan klien yang dilayaninya.
berdagang, bertani, makan, dan Dalam konteks persekolahan, Yagi
sebagainya), dan dari lembaga-lembaga mengemukakan:4
yang mengungkapkan kepercayaan- By developing an awareness of the
kepercayaan, nilai-nilai, dan adat culturally diverse student population …,
istiadat ini (pemerintah, hukum, an understanding of cultural variables
and values of students from culturally
pengadilan, kuil dan gereja, keluarga, diverse backgrounds, and a repertoire
sekolah, rumah sakit, pabrik, toko, of culturally responsive skills, the school
serikat, klub, dan sebagainya), yang counselor can address cultural issues that
mengikat suatu masyarakat bersama affect the development needs of children
and youth … The culturally responsive
sama dan memberikan kepadanya school counselor uses acquires awareness,
suatu rasa memiliki jati diri, martabat, knowledge, and skills in multicultural
keamananm dan kesinambungan.3 context to meet the academic, career,
and personal/social development needs
Adapun yang dimaksud dengan of students from culturally diverse
konseling lintas budaya (cross-cultural environment.
counseling, counseling across cultures, Seperti halnya pada kajian-kajian
multicultural counseling) adalah lintas-budaya umumnya, pengertian
konseling yang melibatkan konselor di atas berlaku untuk konseling
dan klien yang berasal dari latar antar-budaya (intercultural counseling),
belakang budaya yang berbeda, dan konseling multi-budaya (multicultural
karena itu proses konseling sangat counseling), atau konseling trans-
rawan oleh terjadinya bias-bias budaya budaya (transcultural counseling) yang
(cultural biases) pada pihak konselor digunakan secara berganti-ganti dalam
yang mengakibatkan konseling tidak berbagai literatur untuk maksud yang

Bernard T. Adeney, Etika Sosial Lintas


3 4
Adhiputra, Konseling Lintas Budaya,
Budaya, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 19. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), 10.

142 | Etika Konseling dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama


Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

sama. Disamping itu, dalam berbagai profesional seseorang


literatur digunakan pula istilah c. Kelalaian dalam praktik
konseling untuk populasi khusus d. Mengklaim keahlian yang tidak
(counseling for special populations) dimiliki
dan konseling multi-etnik (multi-
e. Memaksakan nilai-nilai konselor
ethnic counseling), konseling untuk
pada klien
mahasiswa internasional (counseling for
international students) yang meliput isu- f. Membuat klien bergantung
isu yang sama dengan istilah yang lebih g. Melakukan aktifitas seksual dengan
umum: “konseling lintas budaya”. klien
h. Konflik kepentingan, seperti
2. Kode Etik Konselor Menyangkut
hubungan ganda yaitu peran konselor
Konseling Lintas Budaya Dan
Agama bercampur dengan hubungan
lainnya, baik hubungan pribadi atau
Menciptakan konseling yang hubungan profesional
kondusif dalam konteks lintas budaya
i. Persetujuan finansial yang kurang
dan agama, ada baiknya konselor
jelas, seperti mengenakan bayaran
selaku sebagai pemberi layanan,
tambahan
untuk tetap mengevaluasi diri, dengan
mengintegrasikan pada kode etik j. Pengiklanan yang tidak pantas
konseling yang berlaku. Pemahaman k. Plagiarisme
yang utuh mengenai faktor-faktor Laju perubahan dan peningkatan
yang menyebabkan timbulnya masyarakat multikultural, menuntut
permasalahan dalam konteks konseling konselor untuk lebih responsif. Proses
lintas budaya dan agama, seperti konseling dalam konteks lintas budaya
diskriminasi (perbedaan perlakuan) sangat rawan terjadinya bias-bias
dan memaksakan nilai-nilai konselor budaya pada pihak konselor yang
pada konseli merupakan suatu mengakibatkan konseling berjalan
keharusan. Untuk lebih jelasnya, ada tidak efektif, maka konselor dituntut
beberapa tingkah laku tidak etis yang untuk memiliki kepekaan budaya dan
paling sering terjadi dalam konseling melepaskan diri dari bias-bias budaya,
sebagai berikut:5 dan mengapresiasi diversitas budaya,
dan memiliki keterampilan yang
a. Pelanggaran kepercayaan
responsif secara kultural.
b. Melampui tingkat kompetensi
Awal pergerakan perkembangan
5
Ibid., 67.
profesi konseling di Indonesia dimulai

Masruri | 143
Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

pada seting pendidikan. Keberagaman nilai-nilai yang dianutnya kepada


identitas budaya dan agama siswa dapat konseli
mengganggu dan menghambat proses 6. Konselor tidak menentukan sesuatu
konseling, apabila konselor tidak itu benar atau salah akan tetapi
terampil secara kulttural. Mengingat, memberikan dorongan agar konseli
pengambilan keputusan etik tidak dapat menilai sendiri sikap, norma
selamanya mudah dilakukan, tetapi dan tindakannya secara obyektif
hal ini merupakan bagian dari tugas 7. Konselor jangan mencoa
seorang konselor. untuk menghapus kenyataan
Dengan demikian Monro yang dirasakan konseli dengan
mengemukakan beberapa pedoman menyarankannya tidak memandang
umum yang dapat membantu konselor tingkahlakunya sebagai
mengatasi masalah yang berkaitan penyimpangan
dengan nilai-nilai hidup, antara lain : 8. Konselor tidak melakukan konseling
1. Setiap individu berhak menentukan dalam pengasingan
arah hidupnya 9. Apabila diperkenankan
2. Konselor harus jujur pada dirinya memberikan penilaian, maka
sendiri dengan tidak meninggalkan penilaian konselor harus mengarah
nilai sosial, moral dan agama yang pada tindakan dan bukan kepada
dianutnya. Konselor harus mengenal konseli.
dirinya sendiri dan mengikuti nilai Kitchener mengidentifikasi
tersebut secara jujur beberapa prinsip etik yang berhubungan
3. Tugas konselor adalah membantu dengan aktivitas dan pilihan etik
konseli mengenal nilai hidupnya konselor dalam mengimplementasikan
serta mengambil keputusan dan konseling lintas budaya yaitu :
menetapkan keputusan dirinya a. Otonomi (Autonomy), This principle
4. Konselor hendaknya membantu addresses one’s to self-determination
konseli agar dapat menyalurkan (memberikan kebebasan dalam
pendapat atau sikap mereka melalui memilih dan pengambilan
cara yang baik. Setelah itu konselor keputusan sendiri).
menanggapi secara jujur apakah b. Nonmaleficence. This concept entails
pendapat dan sikap mereka tepat doing no harm to other (seorang
atau tidak konselor berinteraksi dengan
5. Konselor tidak boleh memaksakan konseli secara intensional dengan

144 | Etika Konseling dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama


Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

tidak mengakibatkan kerugian/ Memahami secara kritis (critical


rasa sakit) contex) mengenai multikulturalisme
c. perbuatan baik (Beneficence) yaitu dalam menjalankan konseling lintas
melakukan yang baik dan mencegah budaya dan agama membutuhkan
kerugian waktu yang cukup lama. Hal pertama
d. keadilan (Justice), is associated with yang harus dipahami oleh konselor
the idea of fairness. lintas budaya, terutama sekali
berkaitan dengan mawas diri, adalah
e. kesetiaan (Ficelity), yaitu kesetiaan
isu-isu mengenai relaivitas budaya.
atau berpegang pada komitmen.6
kebudayaan sebagai produk manusia
Prinsip-prinsip di atas melibatkan
merupakan seperangkat aturan yang
pengambilan keputusan secara sadar
tidak hanya mengekang tindakan
selama proses konseling. Khususnya
manusia melainkan juga membuat
konseling lintas budaya dan agama
manusia mampu, dengan cara-cara
yang sarat dengan nilai-nilai yang
yang unik, menyusun tindakan yang
harus dipahami secara utuh oleh
bermakna bagi sesama mereka.
konselor. Untuk itu, demi kelancaran
Kebudayaan tentu saja merupakan
proses konseling dalam konteks lintas
pembahasan yang terlalu luas untuk
budaya, maka konselor harus sensitif
dikaji secara parsial. Meski demikian,
atau memperhatikan tiga area berikut
mengkaji kebudayaan secara utuh
dalam isu budaya, sebagaimana hal ini
bukanlah perkara yang mudah untuk
disampaikan oleh Padersen bahwa :
dilakukan sifat budaya sebagai
1. Pada pengetahuan akan cara konstruk diferensial menjadikannya
pandang klien yang berbeda terlampau elusif untuk dikaji melalui
budaya. kacamata paradigma struktural. Pada
2. Kepekaan terhadap cara pandang masa-masa sebelum revolusi industri
pribadi seseorang dan bagaimana mengenali kegelisahan individu dalam
seseorang merupakan produk dari seting sosial mereka masih dapat
pengkondisian budaya dilakukan tanpa kuatir terjebak dalam
3. Keahlian yang diperlukan untuk bentuk-bentuk generalisasi yang tidak
bekerja dengan klien yang berbeda bertanggung jawab
budaya. Dinamika kehidupan pada
masyarakat multikultural, meng­
6
Courtland C. Lee, Multicultural Issues In gambarkan kompleksitas kebudayaan
Counseling : New Approaches to Diversity, (United
State : American Counseling Association, 2005), yang saling berbenturan nilai.
357.

Masruri | 145
Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

Kebudayaan-kebudayaan dan sub- budya, bahwa sesuatu yang tidak


sub kebudayaan bertumpang tindih. asing lagi, ketika siaran radio, televisi
Disamping itu, perbedaan agama dan media cetak lainnya setiap hari
dari beragam kelompok masyarakat menyuguhkan berita-berita konflik,
multikultural yang diyakini memiliki baik antara suku dan etnis dan lain-
dampak pada pembentukan karakter lain.Kompleksitas permasalahan yang
dan prinsip-prinsip individu maupun muncul pada masyarakat multikultural
kelompok. Peran budaya dan agama merupakan suatu hal yang tidak
yang berbeda pada individu maupun mudah bagi konselor, baik konselor
kelompok masyarakat dengan pendidikan , keluarga dan lain-lain
masyarakat lainnya melahirkan untuk menyelesaikan masalah konseli
perbedaan pada sikap, paradigma, pada konteks lintas budaya.
nilai-nilai, norma, adat istiadat, etika, Tema sentral dalam pembahasan
estetika, life style dan lain-lain. etika konseling dalam konteks lintas
Berangkat dari kompleksitas budaya dan agama, memfokuskan
budaya pada masyarakat multikultural, pada kajian mengenai etika seorang
menuntut setiap orang untuk konselor dalam menangani klien/
bisa menyesuaikan diri, menerima konseli yang berbeda budaya. etika
segala perbedaan, toleransi tanpa yang dimaksud disini mencakup analisis
menghilangkan identitas budaya dan penerapan konsep mengenai baik,
masing-masing individu maupun antar buruk, salah, benar dan tanggung
kelompok. Dengan cara itu, maka jawab. Secara sederhana etika yang
dibutuhkan setiap individu maupun dimaksud dalam kajian ini adalah sudut
kelompok untuk lebih sensitif atau pandang mengenai baik dan buruk,
responsif terhadap perbedaan budaya. benar dan salah serta tangggung jawab
Keterampilan individu untuk lebih konselor sebagai pemberi layanan guna
responsif secara kultural, menjadi menyelesaikan permasalahan yang
modal awal dalam menciptakan dihadapi oleh konseli yang berbeda
nuansa kondusif antar sesama individu budaya.
dan kelompok masyarakat. Namun
nyatanya, tidak semua individu maupun 1. Model Konseling Lintas Budaya
kelompok mampu hidup berdampingan
Palmer and Laungani mengajukan
di tengah-tengah perbedaan budaya
tiga model konseling lintas budaya,
tersebut. Indonesia merupakan salah
yakni (1) culture centred model, (2)
satu negara yang memiliki keragaman

146 | Etika Konseling dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama


Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

integrative model, dan (3) ethnomedical budaya yang telah menjadi keyakinan
model.7 dan menjadi pola perilaku individu.
a. Model berpusat pada budaya Dalam konseling ini penemuan dan
Palmer and Laungani pemahaman konselor dan konseli
berpendapat bahwa budaya-budaya terhadap akar budaya menjadi sangat
barat menekankan individualisme, penting. Dengan cara ini mereka dapat
kognitifisme, bebas, dan materialisme, mengevaluasi diri masing-masing
sedangkan budaya timur menekankan sehingga terjadi pemahaman terhadap
komunalisme, emosionalisme, identitas dan keunikan cara pandang
determinisme, dan spiritualisme. masing-masing.
Konsep-konsep ini bersifat kontinum b. Model Integrative (integrative
tidak dikhotomus. Pengajuan model model)
berpusat pada budaya didasarkan Berdasarkan uji coba model
pada suatu kerangka pikir (framework) terhadap orang kulit hitan Amerika,
korespondensi budaya konselor Jones merumuskan empat kelas
dan konseli. Diyakini, sering kali variabel sebagai suatu panduan
terjadi ketidaksejalanan antara konseptual dalam konseling model
asumsi konselor dengan kelompok- integratif, yakni sebagai berikut :
kelompok konseli tentang budaya, 1. Reaksi terhadap tekanan-tekanan
bahkan dalam budayanya sendiri. rasial (reactions to racial oppression).
Konseli tidak mengerti keyakinan-
2. Pengaruh budaya mayoritas
keyakinan budaya yang fundamental
(influence of the majority culture).
konselornya demikian pula konselor
tidak memahami keyakinan-keyakinan 3. Reaksi terhadap tekanan-tekanan
budaya konselinya. Atau bahkan rasial (reactions to racial oppression).
keduanya tidak memahami dan tidak 4. Pengaruh budaya mayoritas
mau berbagi keyakinan-keyakinan (influence of the majority culture).
budaya mereka. Menurut Jones pada kenyataannya
Oleh sebab itu pada model ini sungguh sulit untuk memisahkan
budaya menjadi pusat perhatian. pengaruh semua kelas variabel tersebut.
Artinya, fokus utama model ini adalah Menurutnya, yang menjadi kunci
pemahaman yang tepat atas nilai-nilai keberhasilan konseling adalah asesmen
yang tepat terhadap pengalaman-
pengalaman budaya tradisional sebagai
7
Palmer, Stephen & Laungani, Pittu.
Counseling in a Multicultural Society, (London : suatu sumber perkembangan pribadi.
Sage Publisher, 2008), 97-109.

Masruri | 147
Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

Budaya tradisional yang dimaksud hukum


adalah segala pengalaman yang d. Mengalami masalah inter­
memfasilitasi individu berkembangan personal
baik secara disadari ataupun tidak. 2. Causal/healing beliefs
Yang tidak disadari termasuk apa
a. Menjelaskan model healing
yang diungkapkan Jung dengan istilah
yang dilakukan dalam
colective uncosious (ketidaksadaran
konseling
koletif ), yakni nilainilai budaya yang
diturunkan dari generasi ke generasi. b. Mengembangkan pendekatan
Oleh sebab itu kekuatan model yang cocok dengan keyakinan
konseling ini terletak pada kemampuan konseli
mengases nilai-nilai budaya tradisional c. Menjadikan keyakinan konseli
yang dimiliki individu dari berbagai sebagai hal familiar bagi
varibel di atas. konselor
c. Model Etnomedikal d. Menunjukkan bahwa semua
Model etnomedikal pertama kali orang dari berbagai budaya
diajukan oleh Ahmed dan Fraser yang perlu berbagi (share) tentang
dalam perkembangannya dilanjutkan keyakinan yang sama
oleh Alladin. Model ini merupakan 3. Kriteria sehat (wellbeing criteria)
alat konseling transkultural yang Pribadi yang sehat adalah seseorang
berorientasi pada paradigma yang harmonis antara dirinya sendiri
memfasilitasi dialog terapeutik dan dengan alamnya. Artinya, fungsi-
peningkatan sensitivitas transkultural. fungsi pribadinya adaftif dan secara
Pada model ini menempatkan individu penuh dapat melakukan aturan-aturan
dalam konsepsi sakit dalam budaya sosial dalam komunitasnya.
dengan sembilan model dimensional a. Mampu menentukan sehat dan
sebagai kerangka pikirnya sakit
1. Konsepsi sakit (sickness b. Memahami permasalahan
conception) sesuai dengan konteks
a. Melakukan penyimpangan nor­ c. Mampu memecahkan ketidak­
ma-norma budaya berfungsian interpersonal
b. Melanggar batas-batas keya­ d. Menyadari dan memahami
kinan agama dan berdosa budaya­nya sendiri
c. Melakukan pelanggaran 4. Body Function Belief

148 | Etika Konseling dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama


Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

Perspektif budaya berkembang merupakan proses yang aktif dan


dalam kerangka pikir pebih bermakna resiprokal.8
Sosial dan okupasi konseli semakin
membaik dalam kehidupan sehari-hari C. Penutup
Muncul intrapsikis yang efektif pada Salah satu komptensi konselor
diri konseli professional di bidang akademik
5. Health practice efficacy beliefs adalah mengetahui secara mendalam
Ini merupakan implemetasi konseli yang hendak dilayani.9 Untuk
pemecahan masalah dengan dapat mengetahui kondisi psikologis
pengarahan atas keyakinan-keyakinan dan kondisi sosio cultural konseli
yang sehat dari konseli. dibutuhkan instrument untuk
Model-model konseling lintas menggali data psikologis dan data latar
budaya di atas, dapat dijadikan belakang (background) budaya konseli.
sebagai pedoman konselor dalam Data-data tersebut sebagai alat untuk
mengimplementasikan konseling memahami sekaligus sebagai langkah
pada populasi yang beragam secara awal dalam penentuan treatmen.
kebudayaan. Di sisi lain, terdapat ada Ketepatan treatmen sangat bergantung
tiga pendekatan dalam melaksanakan dari ketepatan dalam melakukan
konseling lintas budaya yaitu : asesmen terhadap konseli. Sehingga,
semakin baik konselor dalam menilai
1. Pendekatan universal atau etik,
kebutuhan maupun permasalahan
yaitu suatu pendekatan yang
konseli maka semakin baik pula
menekankan kepada inklusivitas,
pelaksanaan konseling dan hasil yang
komonalitas atau keuniversalan
akan dicapai.
kelompok-kelompok.
Efektifitas konseling dalam nuansa
2. Pendekatan emik (kekhususan
keragaman budaya, baik antar konseli
budaya), yaitu suatu pendekatan
dengan konselor maupun antar sesama
yang memfokuskan pada
konseli (konseling teman sebaya) akan
karakteristik khas dari populasi-
populasi spesifik dan kebutuhan-
8
Mamat supriatna, Bimbingan Dan Konseling
kebutuhan konseling mereka. Berbasis Kompetensi : Orientasi Dasar Pengembangan
3. Pendekatan transcultural, yaitu Profesi Konselor, ( Jakarta: Rajawali Pers, 2011),
169.
suatu pendekatan yang menekankan 9
Departemen Pendidikan Nasional, Penataan
bahwa keterlibatan dalam konseling Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan
Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan
Formal, ( Jakarta : Dirjen Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan Nasional, 2007), 38-39.

Masruri | 149
Al-Tazkiah, Volume 5, No. 2, Desember 2016

berjalan kondusif apabila individu yang dibawa individu. Akan tetapi


dapat saling mengahargai terhadap sebaliknya, apabila individu meyakini
keragaman nilai-nilai yang melekat pada adanya superioritas-inferioritas, atau
masing-masing individu. Kemampuan mayoritas-minoritas budaya maka
untuk dapat saling menghargai akan rentan terjadinya asimilasi,
mensyaratkan adanya kesadaran diskriminasi dan pemaksanaan
dan pemahaman yang mendalam (intervensi) nilai pada individu yang
tentang masing-masing budaya tergolong inferior maupun minor
dalam konteks budaya.

Daftar Pustaka

Adeney, T., Bernard, Etika Sosial Lintas Palmer, Stephen & Laungani, Pittu.
Budaya, (Yogyakarta: Kanisius, Counseling in a Multicultural
2000) Society, (London: Sage Publisher,
Adhiputra, Konseling Lintas Budaya, 2008)
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013) Samuel, Gladding, T., Konseling : Profesi
Departemen Pendidikan Nasional, Yang Menyeluruh, ( Jakarta: PT
Penataan Pendidikan Profesional Indeks, 2012)
Konselor dan Layanan Bimbingan Sciarra, Danielt, T., School Counseling,
dan Konseling dalam Jalur (New Zealand: Thomson
Pendidikan Formal, ( Jakarta: Dirjen Learning, 2004)
Pendidikan Tinggi Departemen
Supriatna, Mamat, Bimbingan Dan
Pendidikan Nasional, 2007)
Konseling Berbasis Kompetensi:
Lee, C., Courtland, Multicultural Issues Orientasi Dasar Pengembangan
In Counseling : New Approaches To Profesi Konselor, ( Jakarta: Rajawali
Diversity, (United State: American Pers, 2011)
Counseling Association, 2005)

150 | Etika Konseling dalam Konteks Lintas Budaya dan Agama

You might also like