You are on page 1of 16

Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research

Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60


e-ISSN: 2962-8350
Journal Homepage: https://alisyraq.pabki.org/index.php/alihtiram/

PERAN KONSELOR LINTAS AGAMA DAN BUDAYA


SEBAGAI PROBLEM SOLVING MASYARAKAT
MULTIBUDAYA

THE ROLE OF CROSS-RELIGIOUS AND CULTURAL


COUNSELORS AS A MULTI-CULTURAL COMMUNITY SOLVING
PROBLEM

Afifatuz Zakiyah1*, Hayatul Khairul Rahmat2, Nurus Sa’adah3


1
Konsentrasi Bimbingan dan Konseling Islam, Program Studi Magister Interdisciplinary
Islamic Studies, Pascasarjana, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Indonesia
2
Program Studi Bimbingan dan Konseling Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia
3
Program Studi Sosiologi Agama, Fakultas Ushuluddin dan Pemikian Islam,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Indonesia
*E-mail: afifatuzzakiyah54@gmail.com

Abstract
This research is motivated because the condition of Indonesia as a country that is rich in
culture, of course, results in different patterns of life in society, so it is necessary to have a
facilitator who can facilitate the unrest of the community. Therefore, this study aims to
determine the role of interfaith and cultural counselors as problem solving in a
multicultural society. This research uses a literature study approach. Sources of data that
will be used as material for this research are books, journals, and internet sites related to
the chosen topic. In this study, after the data was collected, the data was analyzed to get
a conclusion. The results of this study are that religious and cultural sensitive counselors
are counselors who must have awareness in knowing their own culture in all respects.
Therefore, it is understood that what can influence the mindset, actions and feelings of a
counselee can come from every culture. A counselor must be able to find the right approach
or according to the characteristics of the counselee and should not force the counselee to
follow the cultural values that the counselor wants. Therefore, the role of the counselor
must really understand the characteristics of the counselee in terms of religion and culture.

Keywords: Role; Cross-Religious and Cultural Counselors; Problem Solving;


Multicultural Society.

Abstrak
Penelitian ini dilatarbelakangi karena kondisi Indonesia sebagai negara yang
kaya akan budaya, tentunya mengakibatkan perbedaan pola kehidupan dalam
masyarakat, sehingga perlu adanya fasilitator yan dapat memfasilitasi

45
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

keresahan para masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui bagaimana peran konselor lintas agama dan budaya sebagai
problem solving dalam masyarakat multibudaya. Penelitian ini menggunakan
pendekatan studi kepustakaan. Sumber data yang memjadi bahan akan
penelitian ini berupa buku, jurnal, dan situs internet yang terkait dengan topik
yang dipilih. Dalam penelitian ini, setelah data terkumpul maka data tersebut
dianalisis untuk mendapatkan konklusi. Hasil dalam penelitian ini adalah
bahwa konselor sensitif agama dan budaya adalah konselor harus mempunyai
kesadaran dalam mengenal kebudayaannya sendiri dalam segala hal. Oleh
karena itu, dapat dipahami bahwa yang dapat memengaruhi pola pikir,
tindakan dan perasaan seorang konseli dapat berasal dari setiap budaya.
Seorang konselor harus bisa mencari pendekatan yang tepat atau sesuai dengan
karakteristik konseli dan tidak boleh memaksakan konseli agar mengikuti nilai-
nilai kebudayaan yang konselor inginkan. Oleh karena itu, maka peran
konselor harus benar-benar memahami karakteristik konseli dari segi agama
dan budayanya.

Kata Kunci: Peran; Konselor Lintas Agama dan Budaya; Problem Solving;
Masyarakat Multibudaya.

Pendahuluan
Dampak global menuntut seorang konselor mempunyai kecakapan atau
tahap kompetensi yang tinggi. Globalisasi juga menuntut strategi yang berintegrasi
dalam mengurus segala isu kehidupan. Oleh karena itu, konseling untuk semua
(counseling for all) dan konseling sepanjang hayat (lifelong counseling) menjadi sangat
relevan dan sangat diperlukan dalam upaya peningkatan kondisi kehidupan
masyarakat yang mendunia (Situmorang, 2018). Konseling memiliki peran yaitu
untuk membantu menyiapkan anak-anak bangsa untuk menghadapi masa depan dan
menjadikan bangsa ini bermartabat di antara bangsa-bangsa lain di dunia ini
(Suwartini, 2017).
Masa depan yang selalu berkembang menuntut pelayanan konseling untuk
selalu menyesuaikan diri dengan kebutuhan, keinginan, permasalahan pihak yang
dilayani, dan juga tuntutan lingkungan dalam berbagai kehidupan baik di kawasan
masyarakat Indonesia, masyarakat modern, dan Masyarakat Ekonomi Asia (MEA),
serta menjadi lokomotif dari proses pemberdayaan dan pembudayaan bangsa
Indonesia. Selain itu, melalui konseling juga bisa membantu dalam membentuk
masa depan bangsa melalui berbagai jenis layanan konseling bermartabat yang

46
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

dilakukan oleh konselor-konselor yang profesional yang kompeten dalam


menjalankan tugasnya (Rahmawati et al., 2018).
Di era globalisasi abad ke-21, kemungkinan bertemunya orang-orang dari
berbagai belahan dunia semakin besar pula. Pertemuan yang bukan hanya antar
orang-perorang semata, melainkan sesungguhnya juga antar budaya dengan berbagai
keragamannya. Multikultural atau keragaman budaya merupakan aspek utama dari
kehidupan manusia (Siregar, 2017). Manusia berbeda dalam berbagai variabel yaitu
variabel etnografik, variabel demografik dan variabel status. Variabel etnografik
seperti etnisitas, kewarganegaraan, agama dan bahasa, sedangkan variabel
demografik seperti umur, gender, tempat tinggal, dan sebagainya, dan variabel status
seperti latar belakang sosial, ekonomi dan pendidikan dan afiliasi keanggotaan
formal atau informal (Achsin & Rosalinda, 2021).
Konseling di abad ke-21 harus memperhatikan pengaruh budaya terhadap
konseling. Erford (dalam Wibowo, 2018) menyatakan bahwa semua konseling
adalah konseling multikultural. Setiap klien datang ke sebuah sesi dengan pandangan
yang unik tentang dunia, yang dibentuk oleh beragam pengalaman kultural antara
lain melalui ras, etnisitas, gender, orientasi seksual, status sosial-ekonomi, umur, dan
spiritualitas. Selain itu, agama merupakan suatu bentuk ikatan hidup yang
mengandung pengakuan pada suatu sumber yang berada di luar diri manusia dan
yang mempengaruhi perbuatan-perbuatan manusia, sehingga timbul pengakuan
akan adanya kewajiban-kewajiban yang diyakini dan harus dilaksanakan
(Muhammaddin, 2013). Beragamnya budaya dan agama ini menyebabkan adanya
perbedaan pola kehidupan masyarakat satu dengan lainnya, sehingga terdapat pula
beberapa pemahaman yang berbeda antar daerah tentang bagaimana memaknai
kehidupan sesuai dengan tugas dan fungsinya sebagai manusia di muka bumi ini
(Subhi, 2017; Indrawan & Putri, 2022).
Sejauh ini, telah banyak penelitian yang membahas mengenai masyarakat
multibudaya (Gumilang, 2015: Annajih et al., 2017; Setyaputri, 2017: Umami, 2022;
Deliani, 2018). Melihat Indonesia sebagai negara yang kaya akan budaya, hal ini
yang akan menyebabkan perbedaan pola kehidupan dalam masyarakat, sehingga
perlu adanya fasilitator yang dapat memfasilitasi keresahan para masyarakat. Oleh
karena itu, adanya penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana peran

47
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

konselor lintas agama dan budaya sebagai problem solving dalam masyarakat
multibudaya.

Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan yang berupa studi
kepustakaan (library research). Dalam hal ini, peneliti berbicara banyak dan berdialog
banyak dengan buku-buku, arsip-arsip, dokumen-dokumen tua, jurnal, catatan-
catatan, dokumentasi statistik, surat-surat, dan lain-lain (Antonius & Sosrodihardjo,
2014). Selain itu, studi pustaka merupakan sebuah proses mencari berbagai literatur
yang berhubungan dengan penelitian yang akan dilakukan (Martono, 2010; Bastian
et al., 2021; Putri et al., 2020; Hakim et al., 2020; Syarifah et al., 2020; Pratikno et
al., 2020; Rahmanisa et al., 2021; Adri et al., 2020; Kodar et al., 2020; Gustaman et
al., 2020; Banjarnahor et al., 2020). Studi kepustakaan juga dapat mempelajari
berbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis yang berguna
untuk mendapatkan landasan teori mengenai masalah yang akan diteliti (Wirawan,
2007; Widha et al., 2021; Rahmat et al., 2021; Rahmat & Alawiyah, 2020; Marufah
et al., 2020; Muara et al., 2021; Priambodo et al., 2020; Alawiyah et al., 2020).
Adapun langkah-langkah dalam penelitian kepustakaan menurut Purwoko &
Mirzaqon (dalam Wirawan, 2007) yaitu dijelaskan dalam Gambar 1.

Eksplorasi Menentukan
Pemilihan Topik
Informasi Fokus Penelitian

Penyusunan Persiapan Pengumpulan


Laporan Penyajian Data Sumber Data

Gambar 1. Langkah-Langkah Penelitian Kepustakaan

48
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

Hasil dan Pembahasan


Konselor Profesional adalah Konselor yang Memiliki Kesadaran (Kepekaan)
Budaya dan Agama
Membahas mengenai konselor sensitif agama dan budaya tidak terlepas dari
pengertian konseling multikultural atau disebut multibudaya. Konselor harus
memiliki kesadaran multibudaya agar bisa mengenali konseli yang berlatar belakang
budaya yang berbeda-beda. Menurut Gemilang (2015), konselor harus memiliki
asumsi, nilai-nilai budaya, dan kecondongan, keyakinan, dan sikap antara lain yaitu
sebagai berikut.
1. Konselor budaya tidak menyadari akan pentingnya kepekaan budayanya.
2. Konselor budaya yang terampil menyadari bagaimana latar belakang budaya dan
pengalamannya, sikap, dan nilai-nilai serta bias pengaruh dari psikologi.
3. Konselor budaya yang terampil harus mengenali batas-batas kompetensi dan
keahlian mereka.
4. Konselor berbudaya juga mampu menciptakan rasa nyaman serta tidak
membeda-bedakan ras, etnis, budaya, serta keyakinan.
Konselor harus memiliki keempat kriteria tersebut. Konselor yang
bermartabat ialah konselor yang memiliki culture respect yang baik serta mampu
membuat nyaman konseli yang memiliki latar belakang budaya (Sari et al., 2022).
Proses konseling yang melibatkan konselor dengan klien berbeda budaya dan agama
akan rawan terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor dan hal ini
menyebabkan proses konseling tidak berjalan efektif. Daya (dalam Gumilang, 2015)
mengatakan bahwa konselor yang profesional itu mampu mempraktekkan
pendekatan konseling yang efesien sesuai dengan standar profesional konselor yang
ada. Selain itu, juga memiliki responsibilitas budaya yang bagus untuk menangani
konseli yang bermulti budaya. Konselor yang profesional harus memiliki
keterampilan dan teknik konseling yang memadai serta bagaimana menghadapai
masalah dari konseli yang berbeda budaya. Selain itu, konselor juga perlu
mempelajari karakteristik multibudaya dari suku/ bangsa lain untuk merespon
dengan konseli yang multibudaya.

49
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

Kode Etik Konselor Menyangkut Konseling Lintas Budaya dan Agama


Ditegaskan oleh ABKIN, kode etik konselor merupakan seperangkat norma,
sistem nilai dan moral yang mendasari perilaku anggota profesi dalam menjalankan
tugas keprofesiannya dan kehidupan di masyarakat dalam rangkaian budaya
tertentu. Tujuan disusunnya kode etik konseling Indonesia yaitu sebagai berikut.
1. Memberikan panduan sikap atau perilaku yang berkarakter dan profesional bagi
anggota dalam memberikan layanan.
2. Membantu dalam memberikan pelayanan yang professional.
3. Mendukung visi dan misi organisasi profesi.
4. Menjadi landasan dalam menyelesaikan masalah yang datang dari anggota
profesi.
5. Melindungi konselor dari konseli.
Kode etik konselor juga bisa meningkatkan akuntabilitas dan integritas
organisasi profesi konselor sehingga pelaksanaan pelayanan konseling menjadi lebih
efektif (Aniswita et al., 2021). Menciptakan konseling yang kondusif dalam konteks
lintas budaya dan agama, ada baiknya konselor selaku sebagai pemberi layanan,
untuk tetap mengevaluasi diri, dengan mengintegrasikan pada kode etik konseling
yang berlaku. Laju perubahan dan peningkatan masyarakat multikultural, menuntut
konselor untuk lebih responsif. Proses konseling dalam konteks lintas budaya sangat
rawan terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor yang mengakibatkan
konseling berjalan tidak efektif, maka konselor dituntut untuk memiliki kepekaan
budaya dan melepaskan diri dari bias-bias budaya, dan mengapresiasi diversitas
budaya, dan memiliki keterampilan yang responsif secara kultural (Syahril, 2018;
Iswari, 2017; Pratama, 2016). Monro (dalam Masruri, 2016) mengemukakan
beberapa pedoman umum yang dapat membantu konselor mengatasi masalah yang
berkaitan dengan nilai-nilai hidup antara lain:
1. Setiap individu berhak menentukan arah hidupnya.
2. Konselor harus jujur pada dirinya sendiri dengan tidak meninggalkan nilai sosial,
moral dan agama yang dianutnya. Konselor harus mengenal dirinya sendiri dan
mengikuti nilai tersebut secara jujur.

50
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

3. Tugas konselor adalah membantu konseli mengenal nilai hidupnya serta


mengambil keputusan dan menetapkan keputusan dirinya.
4. Konselor hendaknya membantu konseli agar dapat menyalurkan pendapat atau
sikap mereka melalui cara yang baik. Setelah itu konselor menanggapi secara
jujur apakah pendapat dan sikap mereka tepat atau tidak.
5. Konselor tidak boleh memaksakan nilai-nilai yang dianutnya kepada konseli.
6. Konselor tidak menentukan sesuatu itu benar atau salah, akan tetapi memberikan
dorongan agar konseli dapat menilai sendiri sikap, norma dan tindakannya secara
obyektif.
7. Konselor jangan mencoba untuk menghapus kenyataan yang dirasakan konseli
dengan tidak memandang tingkahlakunya sebagai penyimpangan.
8. Konselor tidak melakukan konseling dalam pengasingan.
9. Apabila diperkenankan memberikan penilaian, maka penilaian konselor harus
mengarah pada tindakan dan bukan kepada konseli.
Awal pergerakan perkembangan profesi konseling di Indonesia dimulai pada
seting pendidikan. Keberagaman identitas budaya dan agama siswa dapat
mengganggu dan menghambat proses konseling, apabila konselor tidak terampil
secara kultural. Mengingat, pengambilan keputusan etik tidak selamanya mudah
dilakukan, tetapi hal ini merupakan bagian dari tugas seorang konselor.

Sensitifitas Budaya dan Agama dalam Layanan Konseling


Hakikat sifat layanan konseling merupakan layanan kuratif yang menuntut
konselor berperan sebagai memberi fasilitas, motivator, dan evaluator terhadap
kesesuaian potensi yang dimiliki konseli terhadap langkah penyelesaian masalah
konseli. Layanan konseling merupakan proses dimana konselor dan konseli
mempertemukan atribut-atribut psikofisik seperti kecerdasan, bakat, minat, sikap,
motivasi, dan sosio-budaya. Selanjutnya, layanan konseling merupakan suatu
kondisi atau bentuk lain dalam interaksi budaya. Selama berlangsungnya proses
konseling secara tidak langsung seluruh atribut budaya diantara konselor dan konseli
akan muncul yang mewakili keunikan individu masing-masing.

51
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

Layanan konseling menjadi lebih optimal andai kompetensi multibudaya


serta pemahaman atribut psikofisik diri sendiri dan atribut psikofisik konseli yang
dibawa dalam layanan konseling dimiliki oleh konselor, sehingga pemahaman dan
penghayatan mendalam mengenai identitas budaya dapat dijadikan jembatan yang
menghubungkan kesenjangan antara atribut psikofisik konselor dan atribut psikofisik
konseli serta dapat mewujudkan layanan konseling yang efektif (Nugraha &
Sulistiana, 2017). Supridi (dalam Nugraha, 2012) berpendapat bahwa untuk
memiliki kepekaan multibudaya, konselor dituntut untuk mempunyai pemahaman
yang kaya tentang berbagai budaya diluar budayanya sendiri, khususnya berkenaan
dengan latar belakang budaya konseli.
Berdasarkan pemaparan di atas, menjelaskan bahwa konselor harus memiliki
pemahaman terhadap dirinya sendiri dan konseli, baik dalam segi fisiologis maupun
psikologis. Hal tersebut merupakan atribut dalam konseling, sehingga dengan
adanya pemahaman yang mendalam mengenai diri konselor dan konseli akan
memudahkan pengembangan pendekatan-pendekatan dalam proses konseling.
Membahas mengenai konselor sensitif agama dan budaya tidak terlepas dari
pengertian konseling multikultural. Konseling lintas budaya atau bisa disebut
multikultural secara umum merupakan suatu proses konseling yang melibatkan
antara konselor dan konseli yang berbeda budayanya dan dilakukan dengan
memperhatikan budaya subyek yang terlibat dalam konseling (Hidayat et al., 2018).
Maka dengan ini, seorang konselor harus mengetahui aspek-aspek khusus
budaya konseli dalam melakukan konseling, sehingga dapat menangani konseli lebih
terampil dengan variabel budaya. Dalam melaksanakan layanan bimbingan
konseling, tidak ada budaya dan ras yang diunggulkan, semua budaya maupun ras
dipandang sama. Karakter yang dimiliki oleh individu terpengaruh dari kondisi
lingkungan masyarakat di tempat individu tersebut berinteraksi. Menurut Sue et al.
(dalam Ridho & Wahyudi, 2021) bahwa konseling multikultural meruakan sebuah
hubungan konseling yang didalamnya seorang konselor dan konseli berbeda budaya
dan agama akan rawan terjadinya bias-bias budaya pada pihak konselor dan hal ini
menyebabkan proses konseling tidak berjalan aktif. Menjadi seorang konselor yang
sensitif agama dan budaya tidak cukup hanya mengetahui tentang agama dan
budaya lain. Tetapi, juga perlu memahami proses yang kompleks dalam anggota

52
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

kelompok dan masyarakat yang membangun pandangan dunia mereka, norma-


norma, sikap dasar, nilai-nilai dan lain sebagainya. Dengan begitu konselor akan
sensitif terhadap budaya dan agama konseli sehingga mendapatkan solusi yang tepat
untuk penyelesaian masalah konseli (Azmi, 2015; Astawa, 2016).
McCoy (dalam Mufrihah, 2014) berpendapat dalam bahwa untuk
mengembangkan konselor dalam konseling multi budaya adalah diperlukan
multicultural awareness, multicultural knowledge, dan multicultural skills. Pertama,
multicultural awareness adalah konselor perlu memiliki kesadraan terhadap perbedaan
utamanya perbedaan dengan konseli yang berbeda secara kultural dengan dirinya
(Permatasari & Bariyyah, 2016). Kedua, multicultural knowledge dalam menjalankan
konseling multikultural berarti memerlukan pengetahuan yang kuat mengenai multi
budaya itu sendiri (Masri, 2020). Konselor harus sadar akan pentingnya memiliki
pengetahuan tentang konsep multibudaya sehingga dapat menjadi bagian dalam
layanan konseling multi budaya. Pengetahuan multi budaya yang dimaksud adalah
kebudayaan, ras, etnik, agama, kelompok minoritas dan mayoritas. Ketiga,
multicultural skills pada intinya adalah konselor mengembangkan teknik dan strategi
yang tepat sebagai contoh dalam menghadapi konseli yang berbeda-beda secara
budaya maka konselor harus memiliki skill yang efektif dalam pelaksanaan
bimbingan. Teknik dan strategi tertentu dinilai efektif bagi konseli tertentu tetapi
tidak menutup kemungkinan tidak efektif bagi konseli lain dengan berbeda latar
belakang budaya (Prihwanto et al., 2021).

Pendekatan Konseling sebagai Problem Solving Masyarakat Multibudaya


Dalam konseling dan psikologi memiliki beberapa pendekatan dan
pendekatan lintas budaya dipandang sebagai pendekatan keempat setelah
pendekatan psikodinamik, behavioral, & humanistik. Sedangkan, pendekatan dalam
konseling lintas budaya terdapat tiga pendekatan yaitu pendekatan universal atau
etik, pendekatan emik atau kekhususan, dan pendekatan inklusif atau transkultural
(Suryadi, 2018). Pertama, pendekatan universal atau etik lebih menekankan pada
keuniversalan kelompok-kelompok yang memandang secara luas tentang apa yang
sekiranya bisa diterima dan diaplikasikan dalam semua sisi budaya. Pendekatan ini

53
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

akan memunculkan perasaan kesepahaman antara konselor dengan konseli,


sehingga akan membangun hubungan yang saling bersinergi dalam proses konseling.
Titik pandang dalam mempelajari budaya dari luar (Zulfa & Suryadi, 2021).
Kedua, pendekatan emik atau kekhususan budaya yaitu menekankan pada
karakteristik-karakteristik khusus yang dimiliki oleh suatu budaya atau karakteristik
yang berbeda antara satu budaya dengan budaya yang lainnya. Menimbulkan ciri
khas serta keunikan dari masing-masing budaya untuk menciptakan rasa cinta
terhadap budaya yang membesarkannya. Titik pandang dari dalam sistem budaya
sendiri. Ketiga, pendekatan inklusif atau transcultural yaitu menekankan keterlibatan
antara konselor dengan konseli dalam proses konseling serta berperan aktif dan
saling berbalas satu sama lain. Menurut Zulfa & Suryadi (2021), terdapat beberapa
komponen dalam pedekatan ini, antara lain:
1. Kepekaan yang dimiliki oleh konselor dalam menanggapi penyimpangan budaya
dan variasi-variasi yang digunakan dalam pendekatan konseling lintas budaya.
2. Konselor memahami latar belakang budaya konseli.
3. Komitmen dan konselor memiliki kemampuan dalam mengembangkan
pendekatan konseling sesuai dengan kebutuhan latar belakang budaya konseli.
4. Kemampuan konselor untuk menghadapi peningkatan kompleksitas lintas
budaya.
Dalam praktiknya, konseling lintas budaya juga menggunakan tahapan-
tahapan konseling secara umum karena tahapan ini penting untuk dilakukan.
Tahapan-tahapan dalam konseling yaitu tahapan persiapan dan permulaan, tahapan
klarifikasi, tahapan menentukan struktur, tahapan hubungan, tahapan eksplorasi,
tahapan konsolidasi, tahapan merencanakan, dan tahapan terminasi (Effendi, 2016;
Tri & Salis, 2022).

Simpulan
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa konselor sensitif
agama dan budaya adalah konselor harus mempunyai kesadaran dalam mengenal
kebudayaannya sendiri dalam segala hal. Dapat memahami bahwa yang dapat
memengaruhi pola pikir, tindakan dan perasaan seorang konseli dapat berasal dari

54
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

setiap budaya. Seorang konselor harus bisa mencari pendekatan yang tepat atau
sesuai dengan karakteristik konseli dan tidak boleh memaksakan konseli agar
mengikuti nilai-nilai kebudayaan yang konselor inginkan. Oleh karena itu, maka
peran konselor harus benar-benar memahami karakteristik konseli dari segi agama
dan budayanya.

Daftar Pustaka
Achsin, M. Z., & Rosalinda, H. (2021). Teori-Teori Migrasi Internasional. Universitas
Brawijaya Press.
Adri, K., Rahmat, H. K., Ramadhani, R. M., Najib, A., & Priambodo, A. (2020).
Analisis Penanggulangan Bencana Alam dan Natech Guna Membangun
Ketangguhan Bencana dan Masyarakat Berkelanjutan di
Jepang. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 361-374.
Alawiyah, D., Rahmat, H. K., & Pernanda, S. (2020). Menemukenali konsep etika
dan sikap konselor profesional dalam bimbingan dan konseling. JURNAL
MIMBAR: Media Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani, 6(2), 84-101.
Aniswita, A., Neviyarni, N., Mudjiran, M., & Nirwana, H. (2021). KODE ETIK
KONSELING: TEORITIK DAN PRAKSIS. Inovasi Pendidikan, 8(1a).
Annajih, M. Z. H., Lorantina, K., & Ilmiyana, H. (2017). Konseling Multibudaya
dalam Penanggulangan Radikalisme Remaja. In Prosiding Seminar Bimbingan
dan Konseling (Vol. 1, No. 1, pp. 280-291).
Astawa, I. M. O. (2016). Kinerja Konselor dalam Mempersiapkan Generasi Emas
pada Masyarakat Multi Kultural dan Modern. Jurnal Penjaminan Mutu, 2(2),
109-126.
Azmi, K. R. (2015). Enam Kontinum dalam Konseling Transgender Sebagai
Alternatif Solusi untuk Konseli LGBT. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan
Konseling: Jurnal Kajian Psikologi Pendidikan Dan Bimbingan Konseling, 1(1), 50-
57.
Banjarnahor, J., Rahmat, H. K., & Sakti, S. K. (2020). Implementasi sinergitas
lembaga pemerintah untuk mendukung budaya sadar bencana di Kota
Balikpapan. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 448-461.
Bastian, O. A., Rahmat, H. K., Basri, A. S. H., Rajab, D. D. A., & Nurjannah, N.
(2021). Urgensi Literasi Digital dalam Menangkal Radikalisme pada
Generasi Millenial di Era Revolusi Industri 4.0. Jurnal Dinamika Sosial
Budaya, 23(1), 126-133.

55
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

Deliani, N. (2018). Bimbingan Konseling Pada Masyarakat Multikultural. Tathwir:


Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam, 11-27.
Effendi, K. (2016). Proses dan keterampilan konseling. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gumilang, G. S. (2015). Urgensi kesadaran budaya konselor dalam melaksanakan
layanan bimbingan dan konseling untuk menghadapi masyarakat ekonomi
Asean (MEA). Jurnal Guidena, 5(2), 45-58.
Gustaman, F. A. I., Rahmat, H. K., Banjarnahor, J., & Maarif, S. (2020). Peran
Kantor Pencarian dan Pertolongan Lampung dalam Masa Tanggap Darurat
Tsunami Selat Sunda Tahun 2018. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan
Sosial, 7(2), 462-469.
Hakim, F. A., Banjarnahor, J., Purwanto, R. S., Rahmat, H. K., & Widana, I. D. K.
K. (2020). Pengelolaan obyek pariwisata menghadapi potensi bencana di
Balikpapan sebagai penyangga ibukota negara baru. NUSANTARA: Jurnal
Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(3), 607-612.
Hidayat, F., Maba, A. P., & Hernisawati, H. (2018). Perspektif Bimbingan Dan
Konseling Sensitif Budaya. Jurnal Konseling Komprehensif: Kajian Teori Dan
Praktik Bimbingan Dan Konseling, 5(1), 31-41.
Indrawan, J., & Putri, A. T. (2022). ANALISIS KONFLIK AMBON
MENGGUNAKAN PENAHAPAN KONFLIK SIMON FISHER. Jurnal
Kolaborasi Resolusi Konflik, 4(1), 12-26.
Iswari, M. (2017). Efektivitas Penyelenggaraan Konseling dengan Memahami
Komunikasi antar Budaya. Konselor, 6(1), 13-17.
Kodar, M. S., Rahmat, H. K., & Widana, I. D. K. K. (2020). Sinergitas Komando
Resor Militer 043/Garuda Hitam dengan Pemerintah Provinsi Lampung
dalam Penanggulangan Bencana Alam. NUSANTARA: Jurnal Ilmu
Pengetahuan Sosial, 7(2), 437-447.
Martono, N. (2010). Metode penelitian kuantitatif: Analisis Isi dan Analisis Data. Raja
Grafindo Persada.
Marufah, N., Rahmat, H. K., & Widana, I. D. K. K. (2020). Degradasi Moral sebagai
Dampak Kejahatan Siber pada Generasi Millenial di
Indonesia. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(1), 191-201.
Masri, S. (2020). MULTICULTURAL AWARENESS, TEKNIK
CINEMEDUCATION, DAN BIBLIOTHERAPY. Penerbit Aksara Timur.
Masruri, M. (2016). Etika Konseling Dalam Konteks Lintas Budaya Dan Agama. Al-
Tazkiah: Jurnal Bimbingan Dan Konseling Islam, 5(2), 139-150.

56
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

Muara, T., Prasetyo, T. B., & Rahmat, H. K. (2021). Psikologi Masyarakat Indonesia
di Tengah Pandemi: Sebuah Studi Analisis Kondisi Psikologis Menghadapi
COVID-19 Perspektif Comfort Zone Theory. Ristekdik: Jurnal Bimbingan dan
Konseling, 6(1), 69-77.
Mufrihah, A. (2014). Implikasi prinsip bimbingan dan konseling terhadap
kompetensi multikultural konselor. Jurnal Pelopor Pendidikan, 7(1), 73-85.
Muhammaddin, M. (2013). Kebutuhan Manusia Terhadap Agama. Jurnal Ilmu
Agama: Mengkaji Doktrin, Pemikiran, Dan Fenomena Agama, 14(1), 99-114.
Nugraha, A. (2012). Program Experiential Based Group Counseling Untuk Meningkatkan
Kepekaan Multibudaya Calon Konselor (Doctoral dissertation, Universitas
Pendidikan Indonesia).
Nugraha, A., & Sulistiana, D. (2017). Kepekaan multibudaya bagi konselor dalam
layanan konseling. Journal of Innovative Counseling: Theory, Practice, and
Research, 1(01), 9-18.
Permatasari, D., & Bariyyah, K. (2016). Tingkat Kesadaran Multikultural
Mahasiswa dan Urgensinya Bagi Bimbingan dan Konseling. JKI (Jurnal
Konseling Indonesia), 2(1), 22-28.
Pratama, B. D. (2016, May). Kompetensi lintas budaya dalam pelayanan konseling.
In Proceedings International Seminar FoE (Faculty of Education) (pp. 294-305).
Pratikno, H., Rahmat, H. K., & Sumantri, S. H. (2020). Implementasi Cultural
Resource Management dalam Mitigasi Bencana pada Cagar Budaya di
Indonesia. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 427-436.
Priambodo, A., Widyaningrum, N., & Rahmat, H. K. (2020). Strategi Komando
Resor Militer 043/Garuda Hitam dalam Penanggulangan Bencana Alam di
Provinsi Lampung. PERSPEKTIF, 9(2), 307-313.
Prihwanto, P., Maturidi, K., Renny, C. A., Humairah, S., Fadliansyah, A., & Da,
R. Konseling Lintas Agama dan Budaya: Strategi Konseling di Era Modern.
GUEPEDIA.
Putri, H. R., Metiadini, A., Rahmat, H. K., & Ukhsan, A. (2020). Urgensi
pendidikan bela negara guna membangun sikap nasionalisme pada generasi
millenial di Indonesia. Al-Muaddib: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial dan Keislaman, 5(2),
257-271.
Rahmanisa, R., Rahmat, H. K., Cahaya, I., Annisa, O., & Pratiwi, S. (2021). Strategi
Mengembangkan Resiliensi Individu di Tengah Masa Pandemi COVID-19
Menggunakan Islamic Art Therapy [Strategy to Develop Individual
Resilience in The Middle of The COVID-19 Pandemic using Islamic Art
Therapy]. Journal of Contemporary Islamic Counselling, 1(1).

57
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

Rahmat, H. K., & Alawiyah, D. (2020). Konseling Traumatik: Sebuah Strategi Guna
Mereduksi Dampak Psikologis Korban Bencana Alam. Jurnal Mimbar: Media
Intelektual Muslim dan Bimbingan Rohani, 6(1), 34-44.
Rahmat, H. K., Muzaki, A., & Pernanda, S. (2021, March). Bibliotherapy as An
Alternative to Reduce Student Anxiety During Covid-19 Pandemic: a
Narrative Review. In Proceeding International Conference on Science and
Engineering (Vol. 4, pp. 379-382).
Rahmawati, R. R., Wibowo, B. Y., & Lestari, D. J. (2018). Menari sebagai media
dance movement Therapy (DMT). JPKS (Jurnal Pendidikan dan Kajian
Seni), 3(1).
Ridho, S., & Wahyudi, H. F. (2021). STRATEGI EL-PSIKA DALAM
MENGHADAPI MULTIKULTURAL PERSONALITY SANTRI
TARBIYATUL MUALLIMIN AL-ISLAMIYAH (TMI) PUTRA AL-
AMIEN PRENDUAN. Jurnal Inovasi Penelitian, 1(11), 2369-2376.
Sari, I. P., Sitanggang, W. H., Ningsih, M. L. S., Rinjani, A. P., & Nababan, S. M.
(2022). Pengaruh Budaya Dalam Keberhasilan Konseling. Syntax Literate;
Jurnal Ilmiah Indonesia, 7(5), 6485-6492.
Setyaputri, N. Y. (2017). Karakter ideal konselor multibudaya berdasarkan nilai
luhur semar. Jurnal Kajian Bimbingan dan Konseling, 2(2), 58-65.
Simanjuntak, B. A., & Sosrodiharjo, S. (2014). Metode Penelitian Sosial (Edisi Revisi).
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Siregar, R. (2017). SOSIAL BUDAYA DALAM KONSELING
MULTIKULTURAL. Hikmah, 11(2), 251-270.
Situmorang, T. (2018). Profesionalisasi Profesi Konselor Berwawasan Islami.
Perdana Publishing.
Subhi, M. R. I. (2017). Konseling Lintas Budaya dan Agama di
Sekolah. Madaniyah, 7(1), 75-96.
Suryadi, S. (2018). Cross Cultural and Cultural Counseling: Komunikasi Konseling
Lintas Budaya Jawa dan Madura di Madrasah Aliyah Negeri 1
Jember. Konseling Edukasi: Journal Of Guidance and Counseling, 2(2).
Suwartini, S. (2017). Pendidikan karakter dan pembangunan sumber daya manusia
keberlanjutan. Trihayu: Jurnal Pendidikan Ke-SD-an, 4(1).
Syahril, S. (2018). Konseling Lintas Budaya dalam Perspektif Budaya
Indonesia. Jurnal Al-Taujih: Bingkai Bimbingan dan Konseling Islami, 4(1), 76-
86.

58
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

Syarifah, H., Poli, D. T., Ali, M., Rahmat, H. K., & Widana, I. D. K. K. (2020).
Kapabilitas Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kota Balikpapan dalam
Penanggulangan Bencana Kebakaran Hutan dan Lahan. NUSANTARA:
Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(2), 398-407.
Tri, D., & Salis, Y. (2022). Psikologi lintas budaya. UMMPress.
Umami, D. A. N. (2022). PENGETAHUAN DAN KETERAMPILAN GURU
BIMBINGAN DAN KONSELING MENGENAI KONSELING
MULTIBUDAYA DI INDONESIA. Edu Consilium: Jurnal Bimbingan dan
Konseling Pendidikan Islam, 3(1), 38-50.
Wibowo, M. E. (2018). Konseling Multikultural di Abad-21. UNNES Press.
Widha, L., Rahmat, H. K., & Basri, A. S. H. (2021, March). A review of mindfulness
therapy to improve psychological well-being during the COVID-19 pandemic.
In Proceeding International Conference on Science and Engineering (Vol. 4, pp. 383-
386).
Wirawan, S. S. (2007). Psikologi Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Zulfa, E. I., & Suryadi, S. (2021). Studi Kode Etik Konseling Multikultural. Jurnal
Bimbingan Penyuluhan Islam, 3(1), 65-77.

59
Al-Ihtiram: Multidisciplinary Journal of Counseling and Social Research
Vol. 1, No. 1 (2022), pp. 45-60

60

You might also like