Professional Documents
Culture Documents
Syaiful Bahri
Abstract
In this paper, there are two problems to be answered, namely are (1) the comparison between Sasak and Samawa
folktales and (2) the description of Sasak and Samawa people based on the folktales. The folktales used as data
are (1) Batu Goloq (Sasak) and Batu Plantolan (Samawa); Mandalika (Sasak) and Lala Buntar (Samawa); and
(3) Tegodek dait Tetuntel (Sasak) and Ne Bote Ne Kakura (Samawa). Data are gathered through library research.
Problems are answered using Levi-Strauss structural theory saying that tale is the gate of understanding the
people. It is found that the relation of each group of tales shows a consistency in similarities and differences. Batu
Goloq and Batu Plantolan give a description that Sasak people tend to solve problems by themselves as a
consequence of being closed people, while Samawa people tend to invite others in solving their problems as a
consequence of being opened people. The similar characters found in Mandalika and Lala Buntar specifically
in miteme processing, in taking decision, and solving problems. Mandalika is characterized as a closed figure,
while Lala Buntar is an opened one in deciding and solving the problems. The comparison between Tegodek dait
Tetuntel and Ne Bote Ne Kakura shows that Sasak and Samawa people tend to protest any mistreatment from high
class community toward a lower class community. It is the manifestation of the same view toward refusal and
disagreement to the oppression done by high status people.
Abstrak
Artikel ini menjawab dua permasalahan, yakni (1) perbandingan antara cerita rakyat Sasak dan Samawa dan (2)
konsep berpikir masyarakat Sasak dan Samawa berdasarkan perbandingan cerita rakyatnya. Cerita rakyat yang
dijadikan data analisis adalah tiga pasang cerita yang memiliki kemiripan, yakni (1) Batu Goloq (Sasak) dan Batu
Plantolan (Samawa), (2) Mandalika (Sasak) dan Lala Buntar (Samawa), (3) Tegodek dait Tetuntel (Sasak) dan
Ne Bote Ne Kakura (Samawa). Data tersebut diperoleh melalui studi pustaka. Penganalisisan data menggunakan
analisis struktural Levi-Strauss. Hasil analisis menunjukkan bahwa relasi cerita rakyat Sasak dan Samawa
diperlihatkan dari adanya bagian pada masing-masing pasangan cerita yang menunjukkan persamaan dan
perbedaan secara konsisten. Konsep berpikir masyarakat Sasak dan Samawa dalam pasangan cerita Batu Goloq
dan Batu Plantolan memperlihatkan masyarakat Sasak cenderung menyelesaikan permasalahan sendiri sebagai
wujud ketertutupan yang dioposisikan dengan masyarakat Samawa yang cenderung mengikutsertakan orang lain
sebagai wujud keterbukaan. Hal yang sama juga terlihat pada pasangan cerita Mandalika dan Lala Buntar sebagai
tokoh puteri raja, terutama dalam miteme proses pengambilan keputusan dan cara penyelesaian masalah. Konsep
berpikir masyarakat Sasak dalam ceritaMandalika cenderung tertutup, sedangkan masyarakat Samawa dalam
cerita Lala Buntar cenderung lebih terbuka dalam memutuskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.
Perbandingan antara cerita Tegodek dait Tetuntel dan Ne Bote Ne Kakura memperlihatkan konsep berpikir
masyarakat Sasak dan Samawa yang memprotesketidakterimaan atau ketidaksetujuanpada penindasan masyarakat
kelas atas terhadap masyarakat kelas bawah.
167
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 168
interaksi yang berkaitan dengan pengaruh- secara otomatis bisa dilakukan untuk
memengaruhi antara satu masyarakat membandingkan masyarakat pemilik
pemilik cerita dengan masyarakat pemilik cerita. Dengan kata lain, melihat relasi
cerita yang lain. Pendapat kedua dengan membandingkan cerita rakyat
menyatakan bahwa kesamaan yang terjadi Sasak dan Samawa secara otomatis bisa
dalam cerita rakyat hanya bersifat dijadikan dasar untuk membandingkan
kebetulan (lihat Ahimsa-Putra, 2013; masyarakat Sasak dan Samawa sebagai
Taum, 2011). pemilik cerita. Perbandingan bisa
Terlepas dari adanya dua diarahkan untuk memahami masyarakat
pandangan yang berseberangan tersebut, Sasak dan Samawa sebagai masyarakat
cerita rakyat merupakan salah satu jenis yang berasal dari satu nenek moyang yang
karya sastra yang bersifat anonim. sama.
Keberadaannya yang anonim dikatakan Berdasarkan pemikiran tersebut,
sebagai milik kolektif masyarakat. Sebagai artikel ini bermaksud membandingkan
karya sastra milik kolektif masyarakat, cerita rakyat Sasak dan Samawa.
secara otomatis cerita rakyat Perbandingan tersebut dilakukan dengan
mengungkapkan kesadaran kolektif melihat bagian-bagian yang menunjukkan
masyarakat pemiliknya (Taum, 2011: 11). perbedaan dan persamaan dalam tiga
Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar pasang cerita rakyat yang memiliki
jika pengkajian terhadap cerita rakyat bisa kemiripan, yakni 1) Batu Goloq (Sasak)
dijadikan sebagai “pintu masuk” untuk dan Batu Plantolan (Samawa), 2)
memahami masyarakat pemilik cerita. Mandalika (Sasak) dan Lala Buntar
Ahimsa-Putra (2013) menyatakan bahwa (Samawa), serta 3) Tegodek dait Tetuntel
keinginan-keinginan yang tidak (Sasak) dan Ne Bote Ne Kakura (Samawa).
tertuangkan dalam dunia nyata, secara Tiga pasang cerita rakyat yang didapatkan
sadar atau tidak, tertuang dalam cerita dari penelitian Bahri dkk. (2015) tersebut
rakyat. Hal itu dikarenakan segala peristiwa akan dibandingkan dengan menggunakan
yang ingin diungkapkan dalam cerita rakyat teori strukuralisme Levi-Strauss.
tidak terikat oleh aturan atau nilai yang Penggunaan teori ini sangat penting karena
berlaku dalam dunia nyata. sejalan dengan pandangan bahwa cerita
Apabila kajian terhadap cerita rakyat rakyat bisa digunakan untuk memahami
dilakukan untuk memahami masyarakat masyarakat pemilik cerita. Perbedaan dan
pemilik cerita, membandingkan cerita persamaan yang terdapat dalam pasangan
rakyat dari dua masyarakat yang berbeda cerita rakyat akan diarahkan pada upaya
169
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 170
kontradiksi empiris yang tak terpecahkan. Struktur dalam inilah yang bisa dipakai
Dalam cerita rakyat tergambar keinginan- untuk memahami fenomena (dalam hal ini
keinginan yang tidak mungkin tertuangkan narasi) yang diteliti karena melalui struktur
dalam dunia nyata. Keinginan-keinginan inilah peneliti kemudian memahami
tersebut tersusun atas sruktur-struktur berbagai fenomena yang dipelajarainya.
sebagai sebuah mekanisme nalar, human Relasi-relasi yang ada pada struktur
mind. Meskipun demikian, keinginan dalam dapat diperas atau disederhanakan
maupun mekanisme cara bekerja nalar menjadi oposisi berpasangan (binary
tersebut tidak disampaikan secara langsung opposition). Oposisi biner adalah aspek
dalam cerita. Dalam interpretasinya, Levi- paling penting yang bisa menyingkap
Strauss memperlihat-kan bahwa mitos bagaimana manusia berpikir, bagaimana
terdiri dari (1) relasi-relasi serta oposisi- manusia memproduksi makna dan
oposisi dan relasi-relasi, dan (2) dengan memahami realitas. Oposisi biner dalam
cara itulah pemikiran primitif (savage narasi bisa mengungkap makna di balik
mind) berhasil menciptakan orde/ suatu cerita, logika di balik cerita. Analisis
keteraturan dalam dunianya (Taum, 2011: struktural dan menemukan oposisi biner
171). berguna dalam memberikan petunjuk atas
Levi-Strauss (Ahimsa-Putra, 2003) bekerjanya human mind atau nalar manusia,
membagi struktur narasi menjadi dua bagaimana nalar manusia bekerja. Dalam
bagian, yakni struktur luar (surface konteks naratif, ini terutama bisa
strukture) dan struktur dalam (deep menyingkap bagaimana logika di balik
structure). Struktur luar adalah relasi-relasi dibuatnya sebuah narasi (Eriyanto, 2013).
antarunsur yang dapat kita buat atau bangun Analisis strukturalisme Levi-Strauss
berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri menetapkan tiga landasan analisis
empiris dari relasi-relasi tersebut. struktural terhadap mitos. (1) Jika mitos
Sementara itu, struktur dalam adalah dipandang sebagai sesuatu yang bermakna,
susunan tertentu yang dibangun maka maknanya tidak terdapat pada unsur-
berdasarkan struktur lahir yang telah unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah
berhasil kita buat, tetapi tidak selalu satu sama lain, melainkan pada kombinasi
terlihat pada sisi empiris dari fenomena unsur-unsur tersebut. (2) Sekalipun mitos
yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat termasuk dalam kategori `bahasa`, bahasa
disusun dengan menganalisis dan mitos bukan sekadar bahasa biasa. Bahasa
membandingkan berbagai struktur luar mitos memiliki ciri-ciri yang berbeda. Jika
yang berhasil ditemukan atau dibangun. bahasa memiliki tiga tahap, yaitu fonem,
171
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 172
kata, dan kalimat, maka mitos hanya Ne Kakura. Data tersebut diperoleh dari
mempunyai dua tahap, yaitu kata dan hasil inventarisasi cerita rakyat Sasak dan
kalimat, sementara musik hanya memiliki Samawa yang dilakukan Bahri dkk. (2015).
dua tahap, yaitu nada dan kalimat musikal. Dengan demikian, pencarian data
(3) Ciri-ciri ini bersifat kompleks dan lebih dilakukan dengan studi atau telaah pustaka
rumit daripada ciri-ciri bahasa sehingga yang oleh Sugiono (2008: 240) dikatakan
dapat kita temukan pada tingkat di atas sebagai studi dokumen.
bahasa. (Ahimsa-Putra, 2013: 93—94) Studi dokumen dilakukan selain
Penganalisisan dongeng atau cerita untuk menemukan data cerita rakyat yang
dengan menggunakan analisis strukural dianalisis, juga untuk menemukan data-
Levi-Strauss dilakukan dengan tiga langkah data pendukung sebagai penguat tafsiran
utama secara berurutan, yakni (1) mencari dari hasil analisis terhadap pasangan cerita
miteme (myteme); (2) mencari relasi di yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan
antara miteme-miteme yang telah prinsip analisis struktural Levi-Strauss
ditemukan; dan (3) menyusun miteme- yang menggunakan data kehidupan sosial
miteme secara sintagmatik dan budaya masyarakat sebagai bahan untuk
paradigmatik (Eriyanto, 2013: 171—172). menguatkan tafsiran terhadap analisis
Langkah-langkah ini akansampai pada struktural cerita rakyat.
tujuan akhir, yakni menemukan logika Data berupa tiga pasang cerita rakyat
berpikir masyarakat pemilik cerita. Sasak dan Samawa selanjutnya
Membandingkan tiga pasang cerita rakyat dianalisismenggunakan metode analisis
Sasak dan Samawa akan mengarah pada struktural Levi-Strauss. Sebagaimana telah
penemuan logika berpikir masyarakat dipaparkan sebelumnya, penggunaan
Sasak dan Samawa dalam cerita rakyat metode analisis struktural Levi-Strauss
yang berpasangan tersebut. pada dasarnya bertujuan menemukan
logika nalar masyarakat pemilik mitos atau
3. Metode Penelitian cerita, yakni masyarakat Sasak dan
Artikel ini menggunakan tiga pasang Samawa. Langkah-langkah yang
cerita pasang cerita rakyatSasak dan diterapkan dalam analisis data sebagai
Samawa yang memiliki kemiripan sebagai berikut.
data. Ketiga pasang cerita rakyat yang 1. Menentukan miteme dari masing-
dimaksud, yakni (1) Batu Goloq dan Batu masing cerita, baik cerita rakyat
Plantolan, (2) Mandalika dan Lala Buntar, Sasak maupun cerita rakyat Samawa.
dan (3) Tegodek dait Tetuntel dan Ne Bote
173 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184
173
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 174
mereka pun tidak makan pada hari itu. cerita Batu Goloq memiliki maupun tokoh
Tokoh suami istri yang sama-sama Ibu dalam cerita Batu Plantolan sama-sama
berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari membawa anaknya pergi bekerja. Alasan
pada tempat yang berbeda inilah yang mengikutsertakan anak juga memiliki
menjadikan mereka harus meng- persamaan, yakni ketidakadaan orang yang
ikutsertakan anaknya dalam bekerja. Pada akan menemaninya di rumah. Persamaan
situasi seperti ini, tokoh Inaq Lembain juga terdapat pada lokasi yang dipilih
sebagai ibu yang diserahi tugas untuk sebagai tempat sang anak menunggu sang
mengasuh anak sambil bekerja. Tuntutan ibu bekerja. Persamaan tersebut berlanjut
mendesak untuk memenuhi kebutuhan sampai meningginya batu yang digunakan
sehari-hari menjadikan Inaq Lembain tidak sebagai tempat sang anak menunggu
memiliki pilihan lain selain membawa ibunya yang sedang berkerja. Keberadaan
anaknya dalam bekerja. sang anak di atas batu meninggi itulah yang
Berbeda dengan tokoh Inaq sama-sama menjadi puncak permasalahan
Lembain dan Amaq Lembain, tokoh Ibu yang dihadapi oleh tokoh Inaq Lembain
dengan nama yang tidak disebutkan secara dalam cerita Batu Goloq maupun tokoh Ibu
terang dalam cerita Batu Plantolan dalam cerita Batu Plantolan.
memiliki kehidupan yang lebih Perbedaan kembali terlihat pada
baik.Bersama suaminya, tokoh Ibu miteme “cara menyelesaikan masalah”.
memiliki pekerjaan dengan hasil yang lebih Tokoh Inaq Lembain menyelesaikan
pasti. Mereka berdua secara bersama-sama permasalahan (menurunkan sang anak)
berladang dengan tanah garapan sendiri. secara sendiri, yakni menggunakan
Dengan demikian, hasil yang didapatkan peralatan berupa sabuk yang terikat di
tentu lebih banyak sehingga pemenuhan pinggang. Sementara itu, tokoh Ibu dalam
kebutuhan sehari-hari tidak menjadi cerita Batu Plantolan meminta bantuan
permasalahan bagi keluarga ini. Meskipun tokoh lain berupa burung untuk membantu
demikian, tokoh Ibu dalam cerita ini juga menurunkan sang anak. Pada bagian akhir
membawa anaknya dalam mengerjakan miteme ini terlihat perbedaan yang
ladang garapannya. Dibawanya sang anak menunjukkan bahwa anak dalam cerita
disebabkan ketidakadaan tokoh suami yang Batu Goloq berubah menjadi burung,
telah meninggal. sedangkan anak dalam cerita Batu
Miteme “permasalahan yang Plantolan tetap menjadi sosok anak yang
dihadapi” pada kedua cerita memiliki kembali kepada orang tuanya.
persamaan. Tokoh Inaq Lembain dalam Perbandingan berupa persamaan dan
175 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184
perbedaan tersebut telihat dalam bagan cantik jelita. Kecantikan itulah yang
berikut. mendorong banyak raja maupun pangeran
kerajaan lainnya untuk datang melamar.
Menghan Anak
Hidup
G kekurang
curkan berubah Kedua cerita juga sama-sama menceritakan
sendiri jadi
o an
dg. alat burung
l Didudukkan
bahwa lamaran tersebut datang secara
Memba
wa anak di atas batu
bekerja meninggi bersamaan dan masing-masing menuntut
B Hidup
P berkecuku Memintaba agar lamarannya diterima.
pan ntuan Bertemu
anak
burung Tuntutan masing-masing pelamar
agar diterima itulah yang menjadi
permasalahan. Mandalika maupun Lala
4.1.2 Perbandingan Cerita Mandalika Buntar menyadari bahwa menerima salah
dan Lala Buntar satu pelamar akan menimbulkan pertikaian.
Sebagaimana pasangan cerita Kedua putri ini sama-sama tidak
sebelumnya, cerita Mandalika dan Lala menginginkan terjadinya pertikaian
Buntar terdiri atas tiga miteme, yakni (1) sehingga masing-masing memiliki cara
latar belakang tokoh, (2) permasalahan agar pertikaian itu tidak terjadi.
yang dihadapi, dan (3) cara mengatasi Sebagaimana bagian yang
masalah. Persamaan terlihat pada dua menunjukkan perbedaan pada pasangan
miteme pertama, sedangkan perbedaan cerita sebelumnya, perbedaan pada
hanya terdapat pada miteme “cara pasangan cerita Mandalika dan Lala Buntar
mengatasi masalah”. Miteme “latar juga terdapat pada miteme “cara
belakang tokoh” berkaitan dengan latar menyelesaikan masalah”. Kebebasan
belakang kehidupan tokoh yang terdapat mengambil keputusan untuk memilih yang
pada masing-masing cerita. Tokoh diberikan orang tua telah mendorong
Mandalika maupun Lala Buntar Mandalika untuk meminta waktu
merupakan dua tokoh yang sama-sama menyendiri dan berpikir, sedangkan tokoh
sebagai putri raja. Kedua tokoh pada kedua Lala Buntar langsung memutuskan untuk
cerita ini juga berada pada lingkungan pergi meninggalkan istana dan
istana dengan segala fasilitas yang tersedia. bersembunyi di tengah hutan. Dua
Persamaan yang terdapat pada keputusan berbeda ini memperlihatkan
miteme “latar belakang tokoh” dilanjutkan bahwa tokoh Mandalika memilih
dengan “permasalahan yang dihadapi”. mengetahui sendiri keputusan yang
Mandalika maupun Lala Buntar sama- diambil, tanpa menginformasikan kepada
sama digambarkan sebagai putri raja yang tokoh lain, termasuk orang tua dan
175
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 176
kodok maupun kurakura yang mengambil terhadap masyarakat pemilik cerita ini lebih
posisi pada bagian bawah. banyak difokuskan pada perbedaan-
Miteme “pembagian pohon pisang” perbedaan yang terdapat di dalamnya.
memperlihatkan bahwa tokoh monyet Meskipun demikian, persamaan-persamaan
mengambil bagian atas dari pohon pisang yang terdapat di dalamnya juga menjadi
yang dibagikan. Pengambilan bagian atas perhatian guna melihat konteks
tersebut dilakukan dengan alasan agar cepat keseluruhan sebagai struktur cerita.
berbuah. Bagian bawah pohon pisang Memahami tokoh Inaq Lembain
menjadi bagian kodok/katak maupun dalam cerita Batu Goloq maupun tokoh ibu
kurakura. dalam cerita Batu Plantolan harus
Tokoh monyet pada miteme dilakukan dengan melihat cerita secara
“penanaman pisang” melakukan keseluruhan. Melakukan pemahaman
penanaman pisang dengan menggantung terhadap solusi yang dipilih oleh tokoh Inaq
bagiannya pada dahan pohon asam yang Lembain maupun tokoh ibu harus
posisinya paling tinggi. Berbeda dengan dihubungkan dengan latar belakang
monyet, tokoh katak maupun kurakura kehidupan masing-masing tokoh. Latar
memilih tanah sebagai tempat menanam belakang kehidupan yang dimaksud harus
bagian pisang yang didapatkan. Posisi dihubungkan dengan latar belakang
seperti ini berlangsung dengan konsisten sebagaimana yang digambarkan dalam
sampai akhir cerita, yakni pada miteme miteme sebelumnya, yakni miteme latar
“pascahabis pisang”. belakang kehidupan perekonomian masing-
4.2 Konsep Berpikir Masyarakat Sasak masing tokoh. Cara penyelesaian masalah
dan Samawa dalam Cerita Rakyat yang dipilih oleh tokoh Inaq Lembain
Perbandingan dengan melihat dalam Batu Goloq harus dihubungkan
persamaan dan perbedaan pada masing- dengan kehidupan perekonomiannya yang
masing pasangan cerita merupakan data penuh kekurangan dan kemiskinan. Begitu
awal yang dijadikan sebagai data untuk pula dengan cara penyelesaian yang dipilih
melihat konsep berpikir masyarakat Sasak oleh tokoh ibu dalam cerita Batu Plantolan
dan Samawa sebagai pemilik cerita yang yang harus dihubungkan dengan kehidupan
dibandingkan. Hal ini sejalan dengan perekonomiannya yang masuk dalam
prinsip kajian strukturalisme Levi-Strauss kategori “berada”. Dua hal ini saling
yang memandang cerita rakyat sebagai mendukung dan memiliki keterkaitan satu
“pintu masuk” untuk memahami sama lain. Solusi yang dipilih oleh masing-
masyarakat pemilik cerita. Pemahaman masing tokoh memiliki hubungan dengan
177
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 178
digambarkan dalam cerita Batu Plantolan oposisional masyarakat Sasak dan Samawa
cenderung menyelesaikan permasalahan dalam cerita Batu Goloq dan Batu
dengan meminta bantuan kepada orang Plantolan. Oposisi biner berkaitan dengan
lain. Cara penyelesaian masalah seperti ini cara penyelesaian masalah secara sendiri
memunculkan perilaku yang juga dan meminta bantuan orang lain sebagai
beroposisional dengan perilaku yang wujud sikap keterbukaan dan ketertutupan
dimunculkan dari cara penyelesaian merupakan gambaran watak masyarakat
masalah secara sendiri. Jika masyarakat Sasak dan Samawa.
Sasak yang tergambar dalam Batu Goloq
Tekanan
Batu Kurang Tertutup
cenderung berperilaku tertutup, masyarakat kebutuhan
Goloq percaya diri
179
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 180
dan rakyat memeluk Islam, budaya dan adat Lawas tersebut memberikan
istiadat yang tumbuh dan berkembang pada gambaran keterbukaan orang Samawa
masyarakat Samawa dibiarkan ber- terhadap orang luar. Masyarakat Samawa
kembang. Pemaksaan untuk mengikuti adat mendefinisikan saudara bukan hanya orang
istiadat dan budaya Bugis tidak dilakukan. yang berada dalam satu ikatan keluarga,
Internalisasi budaya Bugis dalam budaya tetapi juga semua orang yang berperilaku
dan adat istiadat Samawa yang masih baik dan menenangkan. Tidak
terlihat sampai saat ini dilakukan secara mengherankan jika di tengah-tengah
sukarela, tanpa paksaan sebagaimana yang lingkungan masyarakat Samawa di
dilakukan Bali terhadap Sasak. Sumbawa maupun Sumbawa Barat terdapat
Memberikan kesempatan tetap perkampungan-perkampungan masyarakat
berkembangnya budaya dan adat istiadat pendatang dengan nama kampung sesuai
masyarakat Samawa oleh Bugis nama suku atau daerah asalnya, seperti
menjadikan masyarakat Samawa tetap Kampung Irian, Kampung Arab, dan lain-
berada pada identitas yang dimiliki. Hal ini lain.
membawa implikasi pada kepercayaan diri Berbeda dengan dua pasangan
yang pada tahap selanjutnya menumbuhkan cerita sebelumnya, konsep berpikir
sikap terbuka yang menjadikan masyarakat masyarakat Sasak dan Samawa pada
Samawa tidak canggung berinteraksi padangan cerita Tegodek dait Tetuntel dan
dengan masyarakat lain, termasuk meminta Ne Bote Ne Kakura menunjukkan adanya
bantuan kepada orang lain sebagaimana perlawanan masyarakat bawah terhadap
yang dilakukan tokoh ibu dalam Batu masyarakat kelas atas. Kekonsistenan
Plantolan. posisi yang ditunjukkan oleh tokoh monyet
Keterbukaan masyarakat Samawa yang selalu berada pada posisi di atas
terhadap orang luar juga terlihat pada salah menunjukkan bahwa tokoh ini merupakan
satu lawas yang cukup populer di tengah- keterwakilan dari masyarakat pada kelas
tengah masyarakat. sosial atas. Hal itu beroposisi dengan tokoh
Mana tau barang kayu `Walaupun kodok maupun kurakura sebagai
orang itu bukan sanak keluarga` masyarakat kelas bawah yang ditandai
Lamen ya sanyaman ate `Jika dia dengan posisinya yang secara konsisten
menenangkan hati atau membawa berada di bawah.
kedamaian` Gambaran protes kelas sosial bawah
Ba nansi sanak parana`Itulah terhadap kelas sosial atas dalam kedua
saudara kita` cerita terlihat dengan jelas ketika melihat
181
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 182
Goloq dan Batu Plantolan terlihat adanya yang dialami oleh kedua masyarakat
persamaan pada miteme “permasalahan tersebut.
yang dihadapi”, sedangkan perbedaan
terlihat pada miteme “latar belakang
Daftar Pustaka
kehidupan” dan “cara menyelesaikan
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2003). “Dari
masalah”. Persamaan pada padangan cerita
Antropologi Budaya ke Sastra dan
Mandalika dan Lala Buntar terlihat pada Sebaliknya” dalam Sastra
Interdisipliner: Menyandingkan
miteme “latar belakang tokoh” dan
Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial
“permasalahan yang dihadapi”, sedangkan Lainnya. Sirojuddin Arif (penyunting).
Yogyakarta: Qalam.
perbedaannya terdapat pada miteme “cara
menyelesaikan permasalahan”. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2013).
Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos
Pola persamaan dan perbedaan pada
dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel
pasangan cerita Tegodek dait Tetuntel Press.
dengan Ne Bote Ne Kakura. Kedua cerita
Bahri, Syaiful dkk. (2015). “Relasi
ini memiliki persamaan pada semua Kekerabatan Sastra Sasak dan Samawa
rangkaian cerita. Perbedaan terlihat pada di Pulau Lombok dan Sumbawa”
(Laporan Penelitian). Mataram:
peran tokoh protagonis yang menemani Kantor Bahasa NTB.
monyet sebagai tokoh antagonis. Tokoh
Bahri, Syaiful. (2014). “Analisis Struktural
katak merupakan tokoh protagonis dalam Fabel Tegodek dait Tetuntel:
Representasi Perilaku dalam
Tegodek dait Tetuntel, sedangkan tokoh
Masyarakat Sasak. Jurnal Mabasan
kurakura sebagai tokoh protagonis dalam Volume 8 Nomor 2 Juli—Desember
2014. Mataram: Kantor Bahasa
Ne Bote Ne Kakura.
Provinsi NTB.
Perbandingan dengan melihat
Burhanuddin. (2010). “Sejarah Komunitas
persamaan dan perbedaan tersebut
Sumbawa di Pulau Lombok: Suatu
menunjukkan adanya pola yang konsisten Telaah Perspektif Linguistik”.
Mataram: Universitas Mataram.
dalam menyelesaikan masalah. Pola yang
konsisten tersebut menunjukkan adanya Damono, Sapardi Djoko. (2009). Sastra
Bandingan. Jakarta: Editum.
kecenderungan ketertutupan pada
masyarakat Sasak yang beroposisi dan Danandjaja, James. (2002). Folklor
Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan
keterbukaan pada masyarakat Samawa. Lain-Lain. Jakarta: Pustaka Utama
Keterbukaan dan ketertutupan itu tidak bisa Grafiti.
dilepaskan dari perbedaan latar belakang Endraswara, Suwardi. (2009). Metode
sejarah berupa perbedaan pola kolonialisasi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan
183
P e r b a n d i n g a n C e r i t a . . . ( S y a i f u l B . ) | 184