You are on page 1of 14
BIAS GENDER DALAM BUKU PELAJARAN BAHASA INDONESIA (Gender Bias In Indonesian Language Texts) Mary Astuti, Aisah Indati, dan Siti Hari Abstrak Telah dilakukan penelitian tentang perspektif gender dalam buku pelajaran wajib Bahasa Indonesia untuk anak sekolah tingkat SD, SLTP, dan SMU. Analisis isi dipakai sebagai metoda untuk mengetahui apakah ada pembedaan peran gender dalam buku pelajaran tersebut. Data dikumpulkan berdasarkan atas frekuensi kata, frasa, tema maupun gambar untuk wanita dan pria. Parameter gender yang digunakan meliputi partisipasi dalam peran domestik, publik, sosial, akses, dan kontrol terhadap kepemilikan barang dan pengambilan keputusan, Fasil penelitian menunjukkan bahwa wanita yang berperan di sektor publik dialokasikan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan pria. Di sektor domestik ada pembagian yang spesifik untuk pria dan wanita. Wanita mempunyai akses dan kontrol terhadap barang-barang yang bernilai lebih rendah dibandingkan pria. Wanita tidak pernah dialokasikan mempunyai tanah ataupun mobil. Disimpulkan bahwa isi buku pelajaran Bahasa Indonesia untuk anak SD, SLTP, dan SMU yang bias dan timpang gender akan mempengaruhi pandangan anak tentang posisi sosial-politik wanita baik di rumah tangga maupun masyarakat. Untuk itu perlu peninjauan kembali isi buku pelajaran Bahasa Indonesia yang lebih berkeadilan gender serta memperhatikan kepentingan gender strategis dan praktis bagi pria dan wanita. Abstract A study of gender bias in Indonesian language textbooks was conducted at Primary School (SD), Middle School (SLTP) and High School (SMU) levels. The researcher em- ployed content analysis as a means of assessing Indonesian gender roles as depicted in language textbooks. Data was collected on phrase frequency, theme types, and the image of males and females. The researcher considered depictions of gender participation within domestic and public spheres including social roles, decision making, and positions of control and ownership. Results of the research demonstrated that language texts depict women's posi- tion and participation within the public sector as lower than that of men. Women are JURNAL GENDER, Vol.1, 1999:1-14 shown as having less access to resources and less controt over decision making. Women are rarely depicted as owners of significant property such as farmland, housing. or trans- portation (automobiles). The conclusion of the research is therefore that language textbooks ai SD. SLTP. and SMU levels are gender-biased and may have an influence on the views of students regarding the social and polittcat roles of Indonesian men and women, The research sug- gests that the content of Indonesian language texts needs to be revised in order fo bring about gender equality. Pendahuluan Manusia sebagai sumber daya pembangunan akan sangat menentukan tercapainya masyarakat madani (civil society) yang bersifat demokratis, adil, dan sejahtera. Untuk itu, perlu peningkatan kualitas sumber daya manusia_baik pria maupun wanita. Pendidikan merupakan salah satu parameter kualitas sumber daya. manusia. sehingga pendidikan merupakan hal yang sangat mutlak diperlukan. Lebih-lebih di saat dunia memasuki millenium baru sehingga perlu. pola pendekatan pembangunan yang bersifat holistik dan mencakup berbagai segi seperti persamaan hak, kedudukan, kesempatan ataupun parti- sipasi antara pria dan wanita dalam berbagai bidang. Indonesia telah meratifikasi kon- vensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita sehingga wanita Indonesia berhak menunjukkan potensi, kemampuan maupun perannya dan bethak atas pendidikan yang layak. Namun, pada kenyataannya pendidikan wanita lebih rendah dibandingkan dengan pria dan prosentase wanita yang buta huruf dua kali lebih banyak dibandingkan dengan pria yang, buta huruf. Kondisi tersebut tidak disebabkan karena kemampuan wanita yang kurang dibandingkan dengan pria tetapi karena akses pendidikan wanita sangat rendah. Ketidakadilan gender, kurangnya akses, dan kontro! wanita terhadap pendidikan disebabkan pula oleh kondisi sosial-politik wanita yang masih rendah sehingga wanita belum diperhitungkan sebagai sumber daya pembangunan yang potensial. Politik subordinasi sering dilakukan oleh penguasa tanpa disadari oleh wanita schingga menjebak wanita tetap dalam posisi subordinat. Kondisi tersebut disebabkan pula adanya pemahaman budaya yang kurang mendukung pembangunan wanita sebagai sumber daya manusia yang berkualitas. Budaya yang kurang mendukung tersebut mengakibatkan terjadinya bias-bias gender dalam berbagai sendi kehidupan manusia ternyata dilegitimasi melalui pendidikan baik yang bersifat formal di sekolah maupun melalui pendidikan yang dilakukan oleh orang tua di rumah. Pendidikan yang bias gender tersebut menimbulkan suatu stereotipe- stereotipe peran wanita dan pria yang kurang menguntungkan posisi sosial-politik 1 BIAS GENDER DALAM... (Mary Astuti) SS wanita karena wanita lebih diposisikan dalam peran domestik yang peranannya berkaitan dengan fungsi reproduksinya yaitu mengurus pekerjaan rumah tangga ataupun bertugas mendidik anak. Kondisi yang tidak menguntungkan wanita tersebut akan berlangsung secara terus menerus dari satu generasi ke generasi berikutnya dan apabila tidak dilakukan perubahan akan sangat merugikan wanita dan menye- babkan diskriminasi gender yang semakin meluas serta menghambat pembangunan manusia yang berkualitas. Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka dipandang perlu melakukan penelitian untuk mengetahui sejauh mana perspektif gender dipakai sebagai pendekatan dalam pendidikan yang berlaku di sekolah melalui buku-buku pelajaran. Pengalaman-pengalaman yang dimiliki seorang anak sejak kecil akan sangat mempengaruhi kehidupan dan perkembangan anak, pandangan anak terhadap peran, dan kedudukan pria dan wanita baik dalam keluarga maupun di dalam masyarakat. Pendidikan yang dilakukan di sekolah melalui pelajaran wajib akan berpengaruh terhadap pandangan ataupun sikap seseorang terhadap kedudukan dan peran wanita dan pria dalam keluarga maupun masyarakat. Oleh karena itu, buku pelajaran yang diper-gunakan dalam proses belajar mengajar anak sekolah perlu dievaluasi untuk mengetahui apakah ada pembedaan perlakuan pada anak laki-laki dan perempuan; antara wanita dan pria yang terdapat dalam buku pelajaran wajib sekolah, Oleh karena pada penelitian ini, dilakukan analisis isi buku pelajaran bahasa Indonesia yang digunakan oleh anak SD, SLTP dan SLTA. Tinjauan Pustaka Gender adalah konstruksi sosial yang membedakan peran dan kedudu-kan wanita dan pria. Gender sebagai konstruksi sosial dilegitimasi oleh masyarakat, pemerintah melalui berbagai kebijakan dan perlakuan sehingge2 menimbulkan kerugian pada wanita sebagai sumber daya pembangunan. Ketidakadilan gender tetjadi pada berbagai bidang pembangunan termasuk pada bidang pendidikan. Dalam sistem Pendidikan Nasional Indonesia bertujuan membangun manusia Indonesia yang utuh sebagai komponen utama dalam pembangunan bangsa, tanpa membedakan jenis kelamin laki-laki atau perempuan. Meskipun dalam sistem pendidikan dan perundangan yang berlaku tidak membedakan pendidikan yang diberi-kan kepada anak Jaki-laki maupun anak perempuan, namun pada kenyataannya banyak terjadi pembedaan perlakuan ataupun pembedaan pendidikan sehing-ga lebih banyak keuntungan yang dapat dinikmati oleh anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan. Pembedaan perlakuan dan pemberian kesempatan untuk mengikuti pendidikan berakibat lebih rendahnya pendidikan wanita dibandingkan pada pria. Salah satu hasil pendidikan adalah kemampuan seseorang untuk bisa baca tulis. Dengan demikian kemampuan baca tulis sering dipergunakan sebagai indikator pembangunan. Wanita Indonesia yang buta huruf dua kali lebih banyak dibandingkan pria. Hal tersebut terjadi sebagai akibat pembedaan perlakuan yang dialami oleh wanita dan bukan karena wanita secara alami lebih bodoh dibandingkan dengan pria, Wanita tidak mendapat kesempatan JURNAL GENDER, Vol.1, No.1, 1999:1-14 yang sama dengan pria karena adanya pandangan masyarakat yang lebih mementingkan dan mendahulukan pendidikan anak laki-laki dibandingkan pada anak perempuan. Pertimbangan yang dilaku-kan yaitu bahwa anak laki-laki akan menjadi kepala keluarga, akan meniti karir yang dapat dibanggakan dan dipamerkan serta merupakan tumpuan harapan keluarga. Dengan demikian anak laki-laki dan anak perempuan mempunyai nilai yang berbeda (Kodiran., 1986). Perbedaan pandangan dan perlakuan terhadap wanita dan laki-laki pada umumnya didasarkan atas “kodrat” wanita untuk mengandung maupun mempunyai anak sehingga dengan kodrat tersebut scakan-akan ada peran melekat bagi wanita hanya berperan di rumah tangga. Proses sosialisasi dan legimitasi peran dan kedudukan wanita dan laki-laki yang berbeda tersebut akan menyebabkan wanita secara internal menghadapi berbagai kendala untuk dapat memanfaatkan hak-haknya maupun kesempatan yang terbuka bagi dirinya (Saparinah Sadli, 1994). Domestikasi wanita yang banyak berperan di rumah akan direkam dan dilihat oleh seorang anak, walaupun orang tua tidak mengajarkannya. Peristiwa ini disebut “modeling” atau meniru, Peniruan dilakukan seorang anak sejak masa perkembangan terutama yang dilihat dan diamati dari lingkungan kehidupan setiap hari yaitu keluarga (Monks et al., 1989). Peniruan dan percontohan yang diperoleh dari lingkungan kehidupan tersebut akan mempengaruhi perkembangan psikoso-sial individu/seseorang. Dalam melakukan pendidikan di rumah, secara sadar ataupun tidak sadar seorang anak perempuan diharapkan untuk diposisikan di dalam rumah dan anak !aki- laki diposisikan untuk berperan di luar rumah. Untuk menjalankan tugas di rumah, anak perempuan dididik untuk bisa memasak, menjahit, mengasuh anak agar kelak mendapat jodoh yang baik karena cinta datangnya dari perut, berkepribadian santun, dan tampil menarik (Beechey, 1976) sedangkan anak laki-laki tidak dididik untuk bisa memasak ataupun mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang, lain tetapi dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat kompetitif dan dilakukan di luar rumah. Apabila anak laki-laki dididik, untuk bekerja di dalam rumah umumnya adalah membetulkan listrik, memelihara burung, membelah kayu, mencari kayu bakar dan lain sebagainya. Pembagian kerja,sejak dini berdasarkan jenis kelamin tersebut akan melahirkan stereotipe- stereotipe peran gender pria dan wanita. Keterkungkungan wanita oleh stereotipe tentang sesuatu yang pantas dilakukan olehnya sebagai wanita akan membatasi pengembangan minatnya dan menyebabkan wanita lebih banyak terkonsentrasi pada bidang studi maupun jenis.pekerjaan yang khas wanita (female job). Kenyataan tersebut dapat dipakai sebagai petunjuk adanya kekurangan pada diri wanita sehingga ada gejala untuk memandang wanita sebagai kurang pandai, kurang pantas untuk melakukan sesuatu, kurang stabil, emosional dan lain sebagainya, meskipun pada kenyataannya banyak wanita yang lulus dengan predikat “pujian” (Anonim., 1997). Peran guru di sekolah sangat penting untuX mengarahkan anak didiknya yang wanita untuk tidak hanya menekuni bidang studi yang dikatakan sebagai “female BIAS GENDER DALAM ... (Mary Astuti) _——— field” tetapi juga diarahkan kepada pemilihan bidang yang dianggap sebagai bidangnya kaum laki-laki seperti misalnya bidang eksakta atau teknik (Mosse, 1996). Dalam pembangunan yang menuju indus- trialisasi, peran ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilandasi dengan basis eksakta perlu pula dikuasai oleh kaum wanita sehingga wanita tidak mengalami hambatan untuk berperan lebih besar dalam pembangunan. Oleh karena itu, perlu diberikan porsi yang sama dalam memberikan pendidikan bagi anak-anak. Pendidikan yang dimaksud disini adalah pendidikan baik di lingkungan sekolah maupun di lingkungan rumah tangga. Beberapa pandangan sosial budaya yang membedakan peran dan kedudukan wanita dan pria memberikan stereotipe yang berbeda-beda seperti wanita bersifat lemah lembut, keibuan sehingga hanya pekerjaan-pekerjaan tertentu yang cocok diJakukan oleh wanita. Sifat keibuannya tersebut mengakibatkan wanita lebih sesuai untuk melakukan pekerjaan yang bersifat pelayanan. Pengembangan budaya yang lebih banyak mendudukan wanita dibawah kedudukan pria dimulai sejak zaman peradaban Yunani, Romawi, Cina maupun India (Quraish Shihab,1995). Kaplan dan Bean, 1976 mengatakan bahwa secara tradisional perbedaan seks dipandang dari kondisi pria dan wanita yang inklusif memiliki sifat maskulin dan feminin. Lebih lanjut Constantinople (dalam Kaplan dan Bean,1976) menggambarkan sifat maskulin dan feminin itu bertolak belakang atau sesuatu yang saling bertentangan. Menurut Bem, 1975 stereotipe yang dilekatkan pada wanita dan pria mempunyai akibat kurang menguntungkan bagi wanita dibandingkan kerugian yang diderita oleh pria. Stereotipe wanita dan pria tersebut merupakan peran jenis (“sex role”), dan menurut Eysenck, 1972. peran jenis adalah perilaku spesifik yang diharapkan dan dipergunakan sebagai standar yang diterapkan pada wanita dan pria. Kalau terjadi penyimpangan maka subyek dianggap tidak mengikuti norma-norma yang berlaku. Sifat feminin adalah sifat kewanitaan seperti merasa iba, selalu ingin menolong orang lain, dan suka memelihara. Sifat maskulin adalah sifat kejantanan, sikap dominan, agresif, asertif, independen, dan bertanggung jawab. Setiap individu akan mempunyai sifat maskulin dan feminin namun mana di antara kedua sifat tersebut yang menonjol akan befpengaruh terhadap peran gender individu tersebut. dengan demikian, wanita tidak selalu mempunyai sifat feminin yang menonjol dan pria tidak selalu dengan sifat maskulin yang lebih dominan. Adanya perubahan tatanan masya- rakat matriakhat menjadi masyarakat patriakhat dan perkembangan perkawinan dari kelompok menjadi perkawinan “somah” atau satu bapak untuk identitas anak yang lahir, maka identitas anak tidak lagi ditandai oleh yang melahirkan melainkan oleh yang membuahi. Hukum yang dikembangkan dimaksudkan untuk mengatur hukum keturunan dan hukum warisan. Perubahan dari sistem matriakhat menjadi patriakhat sangat kuat dan dianggap sebagai kodrat alam (Budi Susanto, 1992). Karena itu, masyarakat memandang bahwa pria mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan wanita. Tidak adanya keinginan dari pria ataupun dari wanita sendiri untuk JURNAL GENDER, Vol.1, No.1, 1999:1-14 mengubah sesuatu yang dianggap telah “mapan” dan adanya upaya-upaya untuk tetap mempertahankan “status quo” bahwa yang paling berkuasa adalah pria tentu saja akan sangat merugikan pengembangan potensi wanita sebagai sumber daya pembangunan. Berbagai pandangan sempit sering- kali menggunakan dalih agama untuk menahan Jaju perkembangan dan ruang gerak wanita yang dianggap sebagai ancaman untuk merubah “status quo” kekuasaan pria dalam berbagai sendi kehidupan, Bagi masyarakat yang sudah maju, masyarakat yang memperhatikan hak asasi manusia mulai ikut memperjuangkan kondisi normatif wanita, dengan mempelajari kembali tafsir ajaran agama. Dengan mempelajari hal tersebut, akan dapat dipergunakan untuk menegakkan kebenaran dan membantu apabila wanita disudutkan dengan dalih agama ataupun kepercayaan. Peran gender ini sebenarnya dapat dipertukarkan. Hal tersebut sangat tergantung kondisi dan situasi masyarakat bagaimana mereka bisa menerima pembalikan peran tersebut. Oleh karena gender itu produk budaya yang dibentuk sesuai dengan kondisi dan situasi saat itu maka produk budaya tersebut bersifat sangat dinamis dan bisa mengalami perubahan-perubahan, Peran dalam kehidupan ma-nusia meliputi peran domestik, publik dan sosial. Peran domestik atau disebut peran reproduktif adalah kegiatan seseorang yang terkait dengan suatu kegiatan yang tidak dihargai dengan uang ataupun barang. Peran tersebut disebut sebagai peran reproduktif kerena ada hubungannya dengan fungsi reproduksi. Sebagai contoh fungsi reproduksi wanita adalah mengandung, melahirkan anak dan menyusui anaknya. Dengan demikian kegiatan untuk mendidik.anak, mengasuh anak, memberi makan anak dan keluarganya dibebankan kepada wanita meskipun sebenarnya pria dengan fungsi reproduksinya yaitu menghasilkan sperma untuk membuahi sel telur sehinega menjadi janin jaga mempunyai andil di dalam mengurus anak, membesarkan nak, mendidik anak hasil buah kasih wanita dai pria. Dengan demikian pria juga membunyai kewajiban yang sama dengan wanita dalam melakukan aktivitas ataupua peran domestiknya, tetapi seringkali tidak disadari dan ditekankan bahwa peran reproduksi adalah “kodrat” wanita (Mary Astuti, 1995). Peran wanita dalam politik perlu ditingkatkan sehingga wanita mempunyai andil di dalam pengambilan keputusan dan penentu kebijaksanaan yang nantinya akan dipergunakan dalam proses pembangunan dengan sasaran peningkatan kualitas sumber daya manusia ketidakadilan gender terjadi pada berbagai bidang pembangunan termasvk pada bidang pendidikan. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Mengevaluasi peran gender wanita dan pria dalam buku pelajaran wajib bahasa Indonesia dan matematika; 2. Meningkatkan kepekaan dan kesa- daran orang tua dan guru tentang terjadinya ketidakadilan gender yang merugikan wanita sebagai sumber daya pembangunan; 3. Memberikan pengetahuan dan infor- masi kepada guru, orang tua dan siswa tentang adanya bias gender dalam buku wajib yang diajarkan di sekolalr: BIAS GENDER DALAM... (Mary Astuti) — SSSSSSFSFSSSSSFSeFse 4. Menimbulkan kesadaran dan kepe- kaan gender pada guru, orang tua dan siswa; 5, Memberikan motivasi kepada guru untuk menerapkan pendidikan yang berkeadilan gender dengan memper- hatikan kepentingan dan kebutuhan gender praktis dan strategis pria dan wanita. Metode Penelitian Bahan yang dipergunakan dalam penelitian adalah buku pelajaran wajib Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka yang dipakai sebagai buku wajib nasional untuk SD, SLTP dan SMU dikarang oleh Djaenah Alim, Dendy Sugono, Parera, Tarigan, dan Malik Tachir, Untuk tingkat sekolah dasar buku Bahasa Indonesia untuk kelas 1, II, III, IV, V dan VI; SLTP kelas I, I, 11]; SLTA kelas I, 11, dan kelas I. Analisis isi adalah metoda anali-sis teks yang prinsipnya menaruh perhatian pada hal-hal yang terdapat pada teks. Tehnik penelitian ini secara deskriptik obyektif, sistematik, dan kualitatif untuk mengungkap komunikasi. Penelitian ini bertumpu pada angka-angka yang akan menghilangkan kesubyektifan ataupun penafsiran secara individu. Pengungkapan isi menunjukkan secara nyata dan efektif mencoba dalam tindakan membuat abstraksi pada penerima dan pengirim yang menaruh perhatian pada teks. Analisis ini meng-hitung frekuensi yang berwujud kata, frasa, tema maupun gambar-gambar (Potticr, 1973). Tujuan analisis isi adalah meng- ungkap pembedaan peran dan aktivitas antara pria dan wanita di sektor domes-tik, publik, pendidikan, sosial dan keagamaan, rekreasi, kepemilikan, dan pengambilan keputusan yang terdapat dalam buku-buku Bahasa Indonesia untuk SD, SLTP, dan SMU. Hal ini perlu dilakukan untuk mengetahui apakah buku pelajaran yang diberikan sudah menggunakan perspektif gender secara seimbang, ataukah terjadi bias gender yang merugikan wanita. Larigkah-langkah yang dilakukan: a. Penentuan unit kegiatan Unit kegiatan ditentukan berdasarkan jumlah kegiatan yang ada pada setiap tema pelajaran baik berupa kalimat maupun gambar-gambar yang melibatkan wanita, pria atau wanita dan pria. b. Penghimpunan data Seluruh data dihimpun dan dikelompokkan terlebih dulu ke dalam. kartu-kartu data. Unit data untuk telaah berupa kalimat atau gambar-gambar, sedangkan unit data pada kegiatan berupa wacana yang berkaitan dengan peran aktivitas wanita dan pria. Data yang telah dicatat, kemudian dikelompokkan berdasarkan satuan- satuag yang berupa penilaian terhadap kesesuaian peran aktivitas wanita dan pria di bidang domestik, publik, pendidikan, sosial dan keagamaan, rekreasi, akses dan kontrol terhadap kepemilikan dan pengambilan keputusan. © . Seleksi dan pencatatan data Seleksi data dan pencatatan data berdasarkan atas peran dan aktivitas wanita dan pria di bidang domestik, publik, pendidikan, sosial dan keaga- maan, rekreasi, aks¢s dan kontrol terhadap kepemilikan dan peng-ambilan JURNAL GENDER, Vol.1,1999:1 keputusan dan ditandai sebagai indikator aspek isi buku pefajaran. oe Analisis data Analisis yang diguaakan adalah analisis gender untuk mengungkapkan hubungan gender wanita dan pria dengan’ menggunakan alat analisis yang berupa aktivitas dalam peran domestik, peran publik, akses, dan kontrol terhadap sumber daya pembangunan. Tehnik yang digunakan adalah dengan tehnik Harvard (Williams, 1994). Data dianalisis secara deskriptik terhadap konsep-konsep dasar, hubungannya, kriteria eksternal yang dipakai untuk menilai isi teks (Zuchdi, 1993) Konfirmasi data Data yang diperoleh — dikonfir- masikan kepada guru SD, SMP, dan SMU melalui diskusi. Konfirmasi dengan beberapa guru dipandang dapat memberikan pendapat tentang makna @ -14 yang tersurat dan tersirat dalam data hasil evaluasi isi teks buku pefajaran. Hasil Penelitian Dan Pembahasan Pemunculan peran wanita dan pria dalam berbagai aktivitas baik di rumah tangga maupun di sektor publik dan sosial yang diperoleh dalam buku wajib Bahasa Indonesia tingkat SD, terdapat dalam Tabel 1, tingkat SLTP pada Tabel 2, dan tingkat SMU pada Tabel 3. 1. Pemunculan Peran Gender Pada ‘Tingkat Sekolah Dasar Pada buku pelajaran — bahasa. Indonesia tingkat SD tersebut pemunculan wanita dan pria dalam peran domestik nampaknya seimbang, namun demikian jenis peran yang ditakukan berbeda, Untuk kegiatan yang dilakukan di rumah tangga memasak merupakan jenis aktivitas yang dimunculkan hanya untuk wanita, Tabel. 1, Frekuensi Pemunculan Peran Gender pada Buku Pelajaran Bahasa Indonesia Tigkat SD. BIAS GENDER DALAM... (Mary Astuti) sedangkan jenis peran yang melekat pada pria adalah memelihara hewan. Untuk peran publik, pemunculan wanita lebih sedikit dibandingkan de-ngan pria dan yang paling menonjol untuk wanita di sektor publik adalah perannya sebagai guru. Peran sebagai guru muncul sampai 8 kali, Untuk peran publik juga terlihat adanya suatu stercotipi seperti peran sebagai supir ataupun polisi hanya dilakukan oleh pria. Untuk kegiatan rekreasi lebih banyak pria yang melakukan. Hal ini sesuai dengan teori Lever dalam Suhapti, 1995 yang 25 20 Frekuensi 1% Pemuncutan 4 9, bahasa Indonesia banyak dimunculkan permainan yang lebih banyak diikuti oleh pria seperti bermain layang-layang, berenang, catur, silat, dan fain sebagainya. Pemunculan dalam akses kepemilikan pada wanita lebih besar dibandingkan dengan pria. Jenis barang yang dimiliki oleh pria berbeda dengan jenis barang yang dimiliki oleh wanita, misalnya pada wanita adalah balon, boneka, kucing, tabungan, bunga, buku sedangkan pada pria berupa bola, ayam, itik, sawah, kambing, kuda dan lain sebagainya. Dengan demikian meskipun pemunculan 5 0 Wanita Pria + Wanita Kepemilikan Gambar 1. Akses Terhadap Kepemilikan barang dalam Buku Bahasa Indonesia Tingkat SD. mengatakan bahwa pria mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk bermain di luar rumah, yang menonjo! dalam aktivitas tersebut adalah bermain bola yang muncul sampai 16 kali, Untuk bermain bola, wanita tidak dimunculkan. Wanita dimunculkan dalam bermain lompat tali sedangkan prianya tidak dimunculkan. Besarnya pemunculan pria dalam aktivitas ini karena dalam konteks ataupun kalimat akses terhadap kepemili-kan barang pada wanita lebih banyak tetapi nilai barang yang dimunculkan lebih tinggi pada pria. Hal tersebut menunjukkan bahwa posisi pria untuk memiliki barang yang berharga lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Kenyataan tersebut mendukung nilai anak laki-laki yang lebih tinggi daripada anak perempuan (Kodiran, 1986). Perbedaan peran antara pria dan JURNAL GENDER, Yol.t, No.1, 1999:1-14 wanita yang dimunculkan dalam buku pelajaran bahasa Indonesia untuk anak sekolah dasar akan mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap peran yang dimainkan oleh wanita maupun pria dalam berbagai aktivitas kehidupan baik di rumah tangga maupun di masyarakat. Menurut Maccoby., 1979, perbedaan perilaku bagi wanita dan pria bukan dikarang oleh pria seperti Parera, Ansan Tasai, Tarigan sehingga pandangan mercka dalam kehidupan sehari-hari yang diperankan oleh pria dan wanita akan mempengaruhi isi buku teks tersebut, lebih-lebih apabiJa pengarang tidak mengenal dan tidak mengetahui tentang gender schingga contoh peran pria dan wanita yang ada dalam buku teks bahasa Tabet 2. Frekuensi Pemunculan peran Gender Dalam Buku Bahasa Indonesia Tingkat SLTP disebabkan karena faktor bawaan yang dibawa sejak lahir tetapi terbentuk karena faktor sosial _budaya masyarakat dimana terdapat perbedaan perlakuan antara pria dan wanita yang diterima oleh pria dan wanita sejak awal perkembangannya. Buku teks Bahasa Indonesia untuk tingkat SD yang dipakai sebagai buku wajib lebih banyak dikarang atau diciptakan oleh pria seperti Malik Thachir, Dendy Sugiyono, sehingga konsep-konsep pengarang tentang peran dan kedudukan pria dan wanita akan mewarnai isi buku teks tersebut. 2. Pemunculan Peran Gender Pada Tingkat SLTP Dalam buku pelajaran bahasa Indonesia tingkat SLTP kebanyakan juga Indonesia tersebut akan lebih banyak bias gendernya dan lebih tidak adil schingga merugikan posisi sosial-politik wanita. Tabel 2 memuat hasil rangkuman pemunculan peran wanita dan pria dalam teks buku pelajaran Bahasa Indonesia. Pada Tabel 2 terlihat bahwa meskipun jumlah pemunculan peran di sektor domestik antara pria dan wanita sama tetapi jenis peran yang dimainkan berbeda. Seperti halnya pada pelajaran tingkat SD, wanita dimunculkan dalam sektor domestik paling banyak memasak, mencuci, menelepon, dan menangis. Pada pria adalah mengurus kebun, mengurus kendaraan, menebang kayu, mencari kayu dan fain sebagainya. Sebenarnya berbagai peran tersebut dapat dipertukarkan karena memasak dapat pula ditakukan oleh pria. BIAS GENDER DALAM... (Mary Astuti) Frekuensi Pemunculan 1 fa Pria + Wanita Kepemilikan Barang - Gambar 2. Akses Terhadap Kepemilikan Barang dalam Buku Bahasa Indonesia Tingkat SLTP Banyak pria pandai memasak dan dengan memasak mereka dapat menghasilkan uang, seperti misalnya koki atau tukang masak yang bekerja di restoran ataupun di hotel. Meskipun peran memasak dapat dilakukan oleh wanita dan pria tetapi tidak pernah dimunculkan dalam buku pelajaran. Hal tersebut akan memberikan persepsi seorang anak yang sedang tumbuh menuju kedewasaan bahwa memasak memang tugas wanita dan pria tidak perlu melakukannya. Pada peran publik, pemunculan wanita sebanyak 50% pemunculan pria dan itupun dalam peran yang tidak begitu tinggi kedudukannya yaitu sebagai penjaga toko atau pemetik teh, Untuk pria berperan sebagai dokter ataupun polisi. Bentuk peran yang dicontohkan dalam teks mata pelajaran tersebut akan memperkuat persepsi anak tentang kewajaran posisi wanita yang lebih rendah dibandingkan posisi pria, bahkan cenderung membingungkan sikap anak karena dalam kehidupan sehari-hari mereka melihat bahwa dokter ataupun polisi dapat pula dipe-rankan oleh wanita. Akses terhadap kepemilikan menunjukkan pria lebih memiliki peluang daripada wanita, misalnya akses kepemilikan terhadap binatang, kendaraan, dan sebagainya. 3. Pemunculan Peran Gender Pada Tingkat SMU Dalam buku pelajaran SMU yang dikarang oleh imam Syafiie, Imam Sudjono, Gorys Keraf, pandangan dan konsep-konsep terhadap peran dan kedudukan wanita dan pria akan nampak dalam buku yang dikarang oleh pengarang- pengarang pria tersebut. Meskipun pengarang tersebut berjenis kelamin laki- laki namun apabila mereka sudah sadar gender dan sensitif gender maka pemunculan akan peran Wanita dan JURNAL GENDER, Vol.t, No.1, 1999:1-14 pria akan lebih sebanding. pada Tabel 3. Dalam penelitian kualitatif diperoleh Dalam Tabel 3 terlihat bahwa hasil bahwa wanita lebih menguasai _ pemuncufan peran pria di sektor domestik pelajaran Bahasa termasuk Bahasa sedikit lebih rendah dibanding peran Tabel 3. Frekuensi Pemmunculan peran Gender Dalam Buku Bahasa Indonesia Tingkat SMU Indonesia dibandingkan dengan priatetapi wanita. Berarti pengarang sudah pada kenyataannya buku teks Bahasa © memposisikan wanita lebih banyak Indonesia lebih banyak diciptakan atau —_berperan di sektor domestik, Sebaliknya dikarang oleh pria. Dengan demikian yang terjadi pada pemunculan di sektor hanya pemikiran ataupun konsep pria publik. Pada pria sebanyak 180 kali tentang peran ataupun posisi wanita dan dibandingkan dengan wanita yang hanya pria yang akan muncul dalam buku 23 kali. Pemunculan peran di sektor pelajaran tersebut, seperti yang terlihat domestik untuk pria memelihara binatang, 18 Frekuensi 49. Kemunculan 8. Wanita Pria+Wanita Kepemilikan Barang Gambar 3. Akses Tethadap Kepemilikan Barang pada Buku Bahasa Indonesia Tingkat SMU 12 BIAS GENDER DALAM... (Mary Astuti) — merokok, menggali sumur sedangkan pada wanita selalu memasak yang dimunculkan sampai 8 kali, menangis yang cenderung menunjukkan bahwa wanita emosional ataupun “cengeng”, lemah, sedangkan di sektor publik pemunculan wanita sebagai penjual sebanyak 4 kali, bidan/perawat, penulis, penyair. Untuk pria sebagai penjual muncul 9 kali, sebagai pakar 13 kali, pengarang 10 kali, penyair 36 kali, guru 11 kali, direktur 13 kali, dokter 6 kali, sopit, dan pemburu 5 kali. Posisi peran pria di sektor publik tersebut akan memberikan kesan bahwa untuk sektor publik memang dunianya Jaki-laki sehingga wanita tidak wajib ikut berperan di sektor publik. Meskipun pada kenyataannya banyak pula wanita yang berperan sebagai pakar, pilot, ataupun dokter. Pemunculan peran wanita dan pria yang tidak seimbang tersebut akan menimbulkan ketidakadilan gender yang semakin besar yang dimulai sejak dalam pelajaran di tingkat SD. Gambar 3 menunjukkan bahwa akses kepemilikan didominasi oleh pria. Barang- barang yang dimiliki pria adalah barang- barang yang biasanya mahal harganya. Bias gender dan ketidakadifan gender dalam buku teks Bahasa Indonesia tingkat SD, SLTP, dan SMU apabila dibiarkan saja akan menghambat upaya yang dilakukan berbagai fihak untuk meningkatkan peran dan kedudukan wanita sebagai sumber daya manusia yang potensial. Oleh karena itu, buku-buku teks tersebut perlu direvisi agar peran-peran yang dimunculkan dapat memberikan gambaran yang lebih nyata yang terjadi dalam kehidupan masyarakat sehingga tidak membingungkan anak didik. Kesimpulan " 1. Peran publik wanita yang dimunculkan. pada buku ajar Bahasa Indonesia tingkat SD, SLTP, dan SMU pada posisi lebih rendah daripada pria. 2. Kegiatan rekreasi lebih banyak dinikmati oleh pria . Ada pembagian peran domestik yang spesifik untuk pria dan wanita . Akses dan kontrof wanita terhadap kepemilikan barang dan pengambilan keputusan lebih rendah daripada pria. Kontrol wanita terhadap pengambilan keputusan juga lebih rendah |. Bias gender dan ketidakaditan gen-der terdapat dalam semua buku pelajaran wajib Bahasa Indonesia di tingkat SD, SLTP, dan SMU . Disarankan untuk dilakukan revisi buku ajar tersebut yang lebih berkeadilan gender dan yang dapat meningkatkan peran sosial-politik wanita, dan disesuaikan pula dengan peran wanita dan pria di masyarakat saat ini. o Daftar Pustaka Anonim. 1997. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka BPS. 1994. Indikator Sosial Wanita Indonesia 1994. Budi Susanto. 1992. Citra wanita dan Kekuasaan Jawa, Yogyakarta Kanisius. Kapian, AG. and Bean Joan, P. 1976, Beyond Sex Roles Sterevtypes. Reading Toward A Psychology of Androgying. Boston-Toronto: Little Brown and Company. Kodiran. 1986, Nilai Anak dan Wanita dalam Masyaraka! Jawa. Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan Proyek Penelitian dan JURNAL GENDER, Vol.1, No.1, 1999:1-14 Pengkajian Kebudayaan Nusantara Bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada Bagian Jawa. University Press. : Mary Astuti, 1995, Profil Kedudukan dan Saparinah Sadli. 1994. “Konsep Kemitra- Peranan Wanita di DIY. Laporan sejajaran Laki-laki dan Perempuan”. Penelitian, Makalah disampaikan pada Pusat Studi Mosse, J.C. 1996: Gender dan Pemba- wanita Palangkaraya, | Desember ngunan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1994, dan Rifka Anisa. Quraish Shihab. 1994. The Oxfam Gender Monks, FI., Knoest, AMP dan Sri Rahayer Training Manual. Oxfam CUK and Haditono. 1989. Psikologi Perkem- Ireland. Bangan Pengantar Dalam Berbagai

You might also like