Professional Documents
Culture Documents
Pusat Penelitian dan Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan RI. Jl. Percetakan Negara no 29 Jakarta, Indonesia
E-mail: nur_handayani80@yahoo.com
ABSTRACT
The problem of undernutrition and overnutrition among underfive children is still a challenge in improving public
health in Indonesia. Public Health Development Index (PHDI) has been developed based on the results of the
Basic Health Research (Riskesdas) 2013. This analysis was carried out to determine the role of PHDI and its
constituent components with the nutritional problems of children under five in Indonesia. The 2013 PHDI
consists of 7 indexes, namely underfive children health, reproductive health, health services, health behavior,
non-communicable diseases, communicable diseases, and environmental health. One-way ANOVA analysis
was carried out to analyze the mean differences between the prevalence of undernutrition based on the
category of PHDI values, while the analysis of overweight with the PHDI value category was analyzed by
Kruskal-Wallis. Analysis of the association between the prevalence of undernutrition and overweight with the
PHDI was done using linear regression. Mean analysis of the prevalence of undernutrition according to the
PHDI group shows a tendency with the higher PHDI, the lower the prevalence of undernutrition. Linear
regression analysis shows that there is a significant relationship between the indices in the PHDI and the
prevalence of undernutrition, where the reproductive health index has the highest contribution to the
decreament of the prevalence of child undernutrition. In contrary, the analysis of the prevalence of obesity
according to the PHDI group shows no difference in the prevalence of obesity with the PHDI group. Linear
regression analysis also shows a weak relationship between the PHDI indices and the prevalence of obesity.
ABSTRAK
Masalah gizi kurang dan gizi lebih pada balita masih menjadi tantangan dalam perbaikan kesehatan
masyarakat di Indonesia. Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 telah dikembangkan
Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat (IPKM) yang dapat menjadi arah dalam menentukan prioritas
pembangunan di bidang kesehatan. Analisis ini dilakukan untuk mengetahui peran dari IPKM dan komponen-
komponen penyusunnya dengan masalah gizi balita (gizi buruk-kurang, pendek dan gemuk) di Indonesia.
IPKM 2013 terdiri dari 7 indeks, yaitu kesehatan balita, kesehatan reproduksi, pelayanan kesehatan, perilaku
kesehatan, penyakit tidak menular, penyakit menular, serta kesehatan lingkungan. Analisis one way anova
dilakukan untuk menganalisis perbedaan rerata antara prevalensi kurang gizi berdasarkan kategori nilai IPKM,
sedangkan pada analisis kegemukan dengan kategori nilai IPKM dilakukan analisis Kruskal-Wallis. Analisis
hubungan antara prevalensi gizi kurang dan gizi lebih dengan IPKM dilakukan dengan menggunakan analisis
regresi linear. Analisis rerata prevalensi kurang gizi menurut kelompok IPKM menunjukkan kecenderungan
semakin tinggi IPKM suatu daerah semakin rendah prevalensi kurang gizi pada balita. Analisis regresi linear
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang siknifikan antara indeks-indeks dalam IPKM dengan prevalensi
gizi kurang, dimana indeks kesehatan reproduksi memberikan kontribusi yang paling besar terhadap
penurunan prevalensi gizi kurang balita. Sementara analisis prevalensi kegemukan menurut kelompok IPKM
menunjukkan tidak adanya perbedaan prevalensi kegemukan dengan kelompok IPKM. Analisis regresi linear
juga menunjukkan hubungan yang lemah antara indeks-indeks IPKM dengan prevalensi kegemukan pada
balita. [Penel Gizi Makan 2019, 42(1):1-10]
Kata kunci: masalah gizi; indeks pembangunan kesehatan masyarakat; bawah lima tahun
1
Penelitian Gizi dan Makanan, Juni 2019 Vol. 42 (1): 1-10
P
kesehatan suatu kabupaten/kota. Indeks yang
ermasalahan gizi masih menjadi
dinamakan sebagai Indeks Pembangunan
tantangan yang nyata di negara-negara
Kesehatan Masyarakat (IPKM) ini merupakan
berkembang. Indonesia menghadapi
komposit dari 7 indeks dan 30 indikator kunci
beban masalah gizi ganda, yaitu gizi
yang diharapkan dapat mengidentifikasi
kurang di satu sisi dan kegemukan di sisi
masalah utama kesehatan di daerah
lainnya. Prevalensi balita pendek (stunting) 9
kabupaten/kota .
cenderung tidak mengalami perbaikan dalam
Walaupun indeks ini telah mulai di-
satu dekade terakhir. Berdasarkan hasil Riset
kembangkan sejak tahun 2007, namun belum
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) prevalensi
banyak analisis lanjut yang dilakukan untuk
stunting sebesar 36,8 persen tahun 2007, lalu
mengeksplorasikan indeks ini dengan indeks
menurun menjadi 35,6 persen pada tahun
kesehatan maupun indikator-indikator
2010, akan tetapi kembali meningkat pada
1 kesehatan pembangunnya. Untuk itu, analisis
tahun 2013 menjadi 37,2 persen , dan kembali
2 ini dilakukan untuk mengetahui peran dari
menurun di tahun 2018 menjadi 30,8 persen .
IPKM dan komponen-komponen penyusunnya
Prevalensi gizi buruk dan kurang sejak tahun
dengan masalah gizi balita (gizi buruk-kurang,
2007 justru mengalami peningkatan, mulai dari
pendek dan gemuk) di Indonesia. Khususnya
18,4 persen (tahun 2007), 17,9 persen (tahun
analisis ini dilakukan untuk menggambarkan
2010) dan prevalensi nya menjadi 19,6 persen
3 masalah gizi balita (gizi buruk-kurang, pendek
di tahun 2013 . Pada tahun 2018 prevalensi
2 dan kegemukan) menurut kategori skor IPKM
nya menurun menjadi 17,7 persen .
kabupaten/kota serta untuk menginvestigasi
Masalah kegemukan pada balita telah
hubungan masalah gizi balita (gizi buruk-
menjadi sinyal yang perlu diwaspadai di
kurang, pendek dan kegemukan) dengan
negara-negara maju dan berkembang karena
beberapa indeks dari IPKM.
jumlahnya yang cenderung mengalami
peningkatan. Masalah kegemukan di Indonesia
METODE
juga termasuk yang mendapatkan perhatian
walaupun secara nasional prevalensi gemuk Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013
pada balita mengalami penurunan dari tahun adalah survei nasional dengan disain potong
2010 yang sebesar 14 persen menjadi 11,9 lintang (cross sectional)yang melibatkan rumah
persen di tahun 2013, dan 8 persen di tahun tangga di 33 provinsi di Indonesia sebagai
2018, akan tetapi masih terdapat beberapa populasi. Sampel rumah tangga diambil dari
provinsi dengan prevalensi gemuk yang lebih 497 kabupaten/kota pada 33 provinsi. Sampel
2-3
tinggi dari nasional . didisain untuk dapat menggambarkan kondisi
Masalah gizi pada balita usia dibawah 5 nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Jumlah
tahun (balita) dapat berdampak serius secara sampel sebanyak 294.959 rumah tangga dan
9
jangka pendek maupun jangka panjang. Balita 1.027.763 individu .
yang mengalami gizi buruk dan kurang dapat Proses pengumpulan data Riskesdas
berdampak terhadap morbiditas bahkan di 2013 dilakukan melalui wawancara,
negara-negara berkembang kekurangan gizi pengukuran (berat dan tinggi/panjang badan),
merupakan salah satu faktor penyebab pemeriksaan biomedis serta observasi.
3
kematian anak . Secara jangka panjang akan Selama proses pengumpulan data, tim yang
berdampak terhadap terjadinya gangguan gizi independen dari beberapa universitas
kronis atau balita tumbuh menjadi lebih pendek (Universitas Indonesia, Universitas Hasanudin,
(stunting) dari anak seusia nya. Hal ini dapat dan Universitas Airlangga) berperan sebagai
berdampak pada menurunnya kecerdasan atau tim validator sebagai salah satu upaya
9
kemampuan kognitif, meningkatnya morbiditas menjaga kualitas data .
serta meningkatkan risiko terhadap penyakit Riskesdas 2013 telah menghasilkan
4,5
tidak menular (PTM) di masa mendatang informasi mengenai status kesehatan dan
Sementara itu, obesitas atau kegemukan faktor-faktor determinannya seperti kesehatan
dikaitkan dengan masalah psikologis seperti lingkungan, perilaku kesehatan dan pelayanan
emosi negatif, rendah harga diri, dan masalah kesehatan. Indikator-indikator ini kemudian
6
citra tubuh . Salah satu perhatian utama pada diringkas dalam IPKM. IPKM pertama dibuat
dampak obesitas yang terjadi pada anak pada tahun 2007 yang didasarkan pada hasil
adalah bahwa obesitas pada masa kanak- Riskesdas 2007, kemudian dikembangkan lagi
9
kanak cenderung bertahan hingga remaja dan pada tahun 2013 .
7-8
dewasa . IPKM 2013 terdiri dari 7 sub indeks, yaitu
Sejak pelaksanaan Riskesdas 2007, kesehatan balita (gizi balita, penimbangan
Kementerian Kesehatan telah menciptakan balita, kunjungan nenonatal, imunisasi),
2
Masalah gizi balita dan hubungannya dengan indeks pembangunan ... (Utami NH; dkk )
kesehatan reproduksi (penggunaan alat deviasi nilai skor IPKM. IPKM tinggi
kontrasepsi, pemeriksaan kehamilan, status dikategorikan berdasarkan skor IPKM yang
KEK), pelayanan kesehatan (persalinan lebih besar dari nilai rerata (skor IPKM>0,526),
tenaga kesehatan, rasio dokter, bidan, IPKM sedang (0,456 ≤ skor IPKM ≤ 0,526),
posyandu, jaminan kesehatan), perilaku sedangkan IPKM rendah (skor IPKM <0,456).
kesehatan (rokok, cuci tangan, buang air Uji normalitas data dilakukan sebelum
besar, aktivitas fisik, gosok gigi), penyakit tidak menentukan uji statistik yang akan diambil.
menular (hipertensi, cedera, diabetes, Analisis One-way ANOVA dilakukan untuk
gangguan mental, obesitas, sakit gigi-mulut), menganalisis perbedaan rerata antara
penyakit menular (pneumonia, diare balita, prevalensi kurang gizi berdasarkan kategori
ISPA balita), serta kesehatan lingkungan nilai IPKM. Sedangkan dikarenakan data
(akses sanitasi, akses air bersih). Ke-7 sub prevalensi balita gemuk tidak tersebar normal,
indeks ini merupakan komposit dari 30 maka analisis Kruskal Wallis digunakan untuk
indikator kunci. Semakin tinggi nilai sub menganalisis perbedaan rerata antara
indeks, artinya semakin tinggi capaian untuk prevalensi gemuk berdasarkan kategori nilai
indeks tersebut. Meskipun jumlah indikator IPKM. Analisis hubungan antara prevalensi
berbeda-beda dalam setiap sub indeks, namun kurang gizi serta prevalensi balita gemuk
nilainya sama, yaitu dari rentang 0 hingga 1. dengan indeks-indeks IPKM dilakukan dengan
Prevalensi balita gizi buruk dan kurang, menggunakan analisis regresi linear. Dari 6
prevalensi balita sangat pendek dan pendek indeks dalam IPKM 2013 selain status gizi
serta prevalensi balita gemuk merupakan 3 dari balita, sesuai dengan kerangka teori yang
6 indikator kunci pembangun indeks kesehatan digunakan maka dipilih 5 indeks untuk
anak. Indikator kunci pembangun lainnya yaitu dihubungkan dengan prevalensi gizi kurang
penimbangan balita, kunjungan neonatal dan dan lebih yaitu perilaku kesehatan, kesehatan
9
imunisasi lengkap . Penelitian ini melakukan lingkungan, pelayanan kesehatan, kesehatan
analisis indeks kesehatan balita, yang diwakili reproduksi serta penyakit menular. Adapun
oleh prevalensi kurang gizi serta prevalensi unsur penyakit tidak menular tidak
balita gemuk, yang akan dikaitkan dengan berhubungan dengan status gizi balita secara
indeks kesehatan lainnya. langsung.
Penilaian status gizi balita pada Riskesdas
2013 dilakukan melalui pengukuran berat dan HASIL
tinggi/panjang badan. Kemudian nilai status
Berdasarkan Tabel 1 dapat diketahui
gizi dihitung berdasarkan nilai Z-skor tinggi
bahwa hasil analisis dengan menggunakan one
badan menurut umur (TB/U) untuk
way ANOVA menunjukkan bahwa rerata
mendapatkan indikator balita pendek dan
prevalensi balita kurang gizi pada
sangat pendek, berat badan menurut umur
kabupaten/kota meningkat seiring dengan
(BB/U) untuk mendapatkan indikator gizi buruk
semakin rendahnya IPKM. Pada kabupaten
dan gizi kurang serta berat badan menurut
dengan IPKM tinggi, prevalensi balita kurang
tinggi badan (BB/TB) untuk mendapatkan
10 gizi adalah 27,97 persen dengan standar
indikator balita gemuk .
deviasi 6,54 persen. Pada daerah dengan
Dalam analisis ini prevalensi kurang gizi
IPKM sedang, rerata prevalensi kurang gizi
merupakan gabungan antara prevalensi
adalah 31,97 persen dengan standar deviasi
pendek dan sangat pendek (Z skor TB/U <-2
6,85 persen, dan rerata prevalensi di daerah
SD) dan prevalensi gizi buruk-kurang (Z score
dengan IPKM rendah adalah 37,56 persen
BB/U <-2 SD). Kemudian prevalensi ini dibagi
dengan standar deviasi 8,57 persen. Hasil uji
dua untuk mendapatkan prevalensi kurang gizi
statistik diperoleh nilai p=0,000, dengan
kabupaten/kota. Sedangkan untuk prevalensi
demikian pada alpha 5 persen dapat
gemuk, diambil berdasarkan nilai indikator ini
disimpulkan terdapat perbedaan rerata
dalam IPKM 2013 (Z skor BB/TB > 2 SD).
prevalensi pada ketiga kelompok daerah.
Skor IPKM kabupaten/kota diurutkan
Analisis lebih lanjut (post-hoc tests)
sehingga menghasilkan rangking 1 sampai 497
menunjukkan bahwa antar semua kelompok
sesuai dengan jumlah kabupaten/kota di
daerah (tinggi dengan sedang, tinggi dengan
Indonesia. Dalam analisis ini IPKM
rendah, dan sedang dengan rendah) terjadi
dikategorikan sebagai rendah, sedang dan
perbedaan yang signifikan.
tinggi berdasarkan nilai rerata dan standar
3
Penelitian Gizi dan Makanan, Juni 2019 Vol. 42 (1): 1-10
Tabel 1
Rerata Prevalensi Undernutrition menurut Kategori Daerah IPKM
95% Confidence
Std. Std. Interval for Mean
Kategori daerah n Mean
Deviation Error Lower Upper p-value
Bound Bound
IPKM tinggi 267 27,97 6,54 0,40 27,18 28,76 0,000
IPKM sedang 167 31,97 6,85 0,53 30,92 33,01
IPKM rendah 63 37,56 8,57 1,08 35,40 39,72
Tabel 2
Rerata Prevalensi Kegemukan menurut Kategori Daerah IPKM
95% Confidence
Std. Std. Interval for Mean
Kategori daerah n Mean
Deviation Error Lower Upper p-value
Bound Bound
IPKM tinggi 267 12,51 5,56 0,34 11,84 13,18 0,000
IPKM sedang 167 10,76 5,81 0,45 9,88 11,65
IPKM rendah 63 11,95 11,91 1,50 8,95 14,95
Tabel 2 menunjukkan rerata prevalensi dan indeks penyakit menular maka semakin
kegemukan menurut kategori daerah IPKM. berkurang rata-rata prevalensi kurang gizi. Nilai
Data kegemukan penelitian ini tidak homogen, koefisiensi dengan determinasi 0,342 artinya
sehingga analisis perbedaan dilakukan dengan persamaan garis regresi yang diperoleh
uji Kruskal-Wallis. Rerata prevalensi menerangkan 34,2 persen variasi rata-rata
kegemukan pada anak di kabupaten/kota prevalensi kurang gizi. Hasil uji statistik
dengan nilai IPKM tinggi adalah 12,51 persen menunjukkan hubungan yang signifikan antara
dengan standar deviasi 5,56 persen. Pada indeks-indeks tersebut dengan prevalensi
daerah IPKM sedang, rata-rata prevalensi kurang gizi. Nilai koefisien terbesar adalah
kegemukan adalah 10,76 persen dengan indeks kesehatan reproduksi, artinya paling
standar deviasi 5,81 persen. Dan pada besar kontribusinya dalam mengurangi
kabupaten/kota IPKM rendah, prevalensi prevalensi gizi kurang.
kegemukan anak adalah sebesar 11,91 persen Pola hubungan ini berbeda jika kita
dengan standar deviasi 11,91 persen. Hasil uji lakukan di masing-masing kategori wilayah
statistik diperoleh hasil nilai p=0,000, yang IPKM. Pada wilayah dengan IPKM tinggi,
berarti pada alpha 5% dapat disimpulkan indeks yang berhubungan dengan gizi kurang
terdapat perbedaan prevalensi kegemukan adalah kesehatan reproduksi, pelayanan
anak pada ketiga kategori daerah IPKM. kesehatan, penyakit menular dan perilaku.
Hasil regresi linier indeks yang terkait Pada wilayah dengan IPKM sedang, indeks
dengan prevalensi kurang gizi disajikan pada yang berhubungan dengan gizi kurang adalah
Tabel 3. Secara keseluruhan kategori wilayah kesehatan reproduksi, kesehatan lingkungan,
IPKM, hubungan indeks reproduksi, indeks dan penyakit menular. Dan pada wilayah IPKM
pelayanan kesehatan, indeks kesehatan rendah, diketahui indeks reproduksi, indeks
lingkungan, indeks perilaku, dan indeks yankes, indeks kesling, indeks perilaku, dan
penyakit menular secara bersamaan indeks penyakit menular berhubungan dengan
menunjukkan hubungan kuat dengan prevalensi gizi kurang, meski hubungan ini
2
prevalensi kurang gizi balita (R =0,342, lemah (p=0,360).
p=0,000). Hubungan berpola negatif, artinya Satu hal yang sama dari semua tipe
semakin bertambah indeks kesehatan wilayah adalah kontribusi indeks kesehatan
reproduksi, indeks pelayanan kesehatan, reproduksi yang paling besar terhadap
indeks kesehatan lingkungan, indeks perilaku, penurunan prevalensi gizi kurang.
4
Masalah gizi balita dan hubungannya dengan indeks pembangunan ... (Utami NH; dkk )
Tabel 4 menunjukkan hasil regresi linier semakin tinggi indeks kesehatan lingkungan
indeks yang terkait dengan prevalensi maka semakin menurun prevalensi
kegemukan. Secara keseluruhan kegemukan. Hasil uji statistik menunjukkan
kabupaten/kota, hubungan indeks reproduksi, hubungan yang signifikan antara indeks
indeks pelayanan kesehatan, indeks perilaku kesehatan reproduksi, indeks pelayanan
dan indeks kesehatan lingkungan secara kesehatan, indeks perilaku dan indeks
bersamaan menunjukkan hubungan lemah kesehatan lingkungan dengan prevalensi
2
(R = 0,057). Pola hubungan indeks kesehatan kegemukan. Walaupun uji statistik ini
reproduksi dengan prevalensi kegemukan berhubungan signifikan namun nilai koefisiensi
adalah positif, artinya semakin tinggi indeks yang didapatkan yaitu dengan determinasi
kesehatan reproduksi maka semakin tinggi 0,057 artinya persamaan garis regresi yang
prevalensi kegemukan. Indeks pelayanan diperoleh hanya dapat menerangkan 5,7
kesehatan memiliki pola hubungan negatif, persen variasi rerata prevalensi kegemukan.
artinya semakin tinggi indeks pelayanan Jika dilakukan stratifikasi berdasarkan
kesehatan maka semakin berkurang prevalensi jenis wilayah, pola hubungan beberapa indeks
kegemukan. Pola hubungan indeks perilaku pada prevalensi anak gemuk sangat bervariasi,
adalah positif, artinya semakin tinggi indeks baik pada jenis indeks yang berhubungan
perilaku, maka semakin tinggi prevalensi maupun sifat pola hubungan masing-masing
kegemukan suatu daerah. Indeks kesehatan indeks. Serta nilai koefisien determinasi yang
lingkungan berpola hubungan negatif, artinya kecil pada seluruh model regresi.
Tabel 3
Hasil Regresi Linier Indeks yang Terkait dengan Prevalensi Undernutrition
Kabupaten Variabel R R2 Persamaan garis p-value
Total a, b, c, d, e 0,584 0,342 Prev undernutrition = 52,02 - (24,1 *a ) - (6,95* b ) – (7,47* c ) 0,000
Kabupaten - (5,5* d ) – (3,5* e )
IPKM tinggi a, b, c, d 0,522 0,273 Prev undernutrition = 55,1 - (27,1 * a ) - (9,58* b ) – (7,2* c) – 0,000
(14,1* d )
IPKM sedang a, c, e 0,515 0,265 Prev undernutrition = 61,1 - (27,2 * a ) – (12,8* c) - (16,8* e ) 0,000
IPKM rendah a, b, c, d, e 0,299 0,09 Prev undernutrition = 41,2 - (23,8 * a ) - (0,8* b ) + (1,4* c) + 0,360
(1,4 * d ) + (5,0* e )
Keterangan:
a=indeks kesehatan reproduksi
b= indeks pelayanan kesehatan
c= indeks kesehatan lingkungan
d= indeks perilaku
e= indeks penyakit menular
Tabel 4
Hasil Regresi Linier Indeks yang Terkait dengan Prevalensi Kegemukan
Kabupaten Variabel R R2 Persamaan garis p-value
Total a, b, c, d 0,238 0,057 Prev gemuk = 6,08 + (14,85 * a ) - (8,93* b ) ) - (6,04* c) + 0,000
Kabupaten (15,53* d)
IPKM tinggi a, b, e 0,389 0,152 Prev gemuk = -13.8+ (22.9 * a ) – (8,2* b ) + (24* e) 0,000
IPKM sedang a, b, c, e 0,348 0,121 Prev gemuk = -1,1 + (16,3* a ) – (9,8* b ) – (3,0* c ) + (13,2 * e) 0,000
IPKM rendah a, b, c, 0,477 0,228 Prev gemuk = 9,1 +(5.5* a ) – (22,8* b ) – (26,2 * c) + (21,1* d) 0,010
d, e + (11,7 * e)
Keterangan:
a=indeks kesehatan reproduksi
b= indeks pelayanan kesehatan
c= indeks kesehatan lingkungan
d= indeks perilaku
e= indeks penyakit menular
5
Penelitian Gizi dan Makanan, Juni 2019 Vol. 42 (1): 1-10
6
Masalah gizi balita dan hubungannya dengan indeks pembangunan ... (Utami NH; dkk )
tambahan, sebuah analisis yang dilakukan terdiri dari akses sanitasi dan air bersih.
terhadap data Survei Demografi Kesehatan Beberapa studi menerangkan bahwa ada
(SDK) menunjukkan bahwa jarak kelahiran kaitan kondisi sanitasi lingkungan dengan
yang sempit serta keadaan gizi yang buruk pertumbuhan anak. Analisis di 137 negara
saat lahir berhubungan dengan rendahnya berkembang menunjukkan sanitasi yang tidak
status gizi pada masa kanak-kanak termasuk di baik adalah faktor risiko utama terjadinya
27
dalamnya yaitu balita pendek (stunted), suatu stunting di negara berkembang . Penelitian di
keadaan dimana seorang anak terlalu pendek tiga wilayah di Indonesia menunjukkan anak
17
untuk umurnya . Studi di India menunjukkan yang tinggal di tempat tinggal tanpa jamban
pada ibu-ibu yang tidak menginginkan dan air minum yang tidak diolah akan
22
kehamilan anaknya, maka anak akan berisiko mengalami risiko 3 kali mengalami stunting .
1,8 kali untuk tumbuh menjadi anak yang Di Ethiopia dan Rwanda diketahui praktek
18
stunting . buang air besar tidak di jamban dan
Antenatal care (ANC) di negara-negara membuang feses anak di sembarang tempat
berkembang telah menjadi elemen yang menjadi faktor risiko terjadinya gizi kurang
25,28
penting sebagai strategi untuk melindungi anak (wasting dan stunting) . Terjadi sebaliknya
untuk menjadi pendek (stunted) mulai dari bahwa tempat tinggal yang memiliki akses
rahim sampai usia yang selanjutnya. Sebuah sanitasi yang baik, akan mengurangi risiko
29
studi di Kolombia pemeriksaan kehamilan stunting .
(ANC) telah dapat memberikan efek yang Hasil uji statistik menunjukkan walaupun
19
signifikan dalam menurunkan malnutrisi . terdapat hubungan yang signifikan antara
Begitu juga hasil analisis data pada 69 negara prevalensi kegemukan dengan indeks
miskin dan berkembang menunjukkan bahwa kesehatan reproduksi, indeks pelayanan
ANC minimal satu kali oleh ibu, akan kesehatan, indeks perilaku, penyakit menular
menurunkan 3-4 persen angka gizi buruk- dan indeks kesehatan lingkungan akan tetapi
20
kurang dan stunting pada balita . Hasil nilai determinasinya lemah. Seperti yang sudah
systematic review dan penelitian Indonesia dibahas sebelumnya bahwa kesehatan ibu
juga menunjukkan risiko stunting pada anak- sangat mempengaruhi keadaan kesehatan
umur 0-23 bulan lebih dari dua kali lipat jika anak yang akan dilahirkannya. Dalam hal ini,
dokter atau bidan tidak memberikan ANC atau berdasarkan studi sebelumnya, terjadinya
ibu tidak ke fasilitas kesehatan selama kegemukan pada anak juga dipengaruhi oleh
21,22
kehamilan . Sebuah analisis yang dilakukan kenaikan berat badan ibu selama kehamilan.
untuk menganalisis faktor yang mempengaruhi Studi menyebutkan bahwa semakin besar
keadaan kesehatan balita di Indonesia kenaikan berat badan ibu saat hamil
mendapatkan bahwa faktor ANC menjadi salah berhubungan dengan besarnya IMT anak saat
satu faktor yang mempengaruhi keadaan lahir, serta resiko akan terjadinya kegemukan
23
kesehatan balita . pada anak akan menjadi 2 kali lipat pada anak
Bukti-bukti dari negara-negara yang memiliki ibu gemuk sebelum kehamilan.
berkembang mengindikasikan bahwa wanita Untuk itu diharapkan ibu-ibu dapat mem-
yang kurang gizi dengan indeks massa tubuh pertahankan kenaikan berat badan yang ideal
(IMT) lebih rendah dari 18,5 menunjukkan saat hamil untuk mencegah terjadinya
tingkat kematian yang meningkat, seperti kegemukan pada anak.
halnya dengan meningkatnya risiko Walaupun menunjukkan hasil yang sangat
24
kesakitan . Penelitian tahun 2016 di Ethopia lemah (nilai determinasi rendah) hasil analisis
menunjukkan bahwa ibu dengan status KEK regresi linear menunjukkan yaitu untuk sub
akan berkorelasi kuat dengan kejadian kurang indeks b (pelayanan kesehatan) dan sub
25
gizi pada anaknya . Kekurangan gizi saat indeks c (kesehatan lingkungan) memberikan
hamil, kurang energi kronis (KEK) akan tanda yang negatif (-), artinya semakin baik
menimbulkan masalah, baik pada ibu dan pelayanan kesehatan (pelayanan kesehatan
janin. Wanita hamil yang mengalami KEK kurang optimal) dan kesehatan lingkungan
dapat mempengaruhi proses pertumbuhan maka prevalensi kegemukan pada anak akan
janin dan dapat menyebabkan keguguran, menurun. Kegemukan pada anak merupakan
aborsi, lahir mati, kematian neonatal, cacat suatu beban bagi pemerintah, sehingga
bawaan, anemia pada bayi, asphyxia intra prevalensi nya harus diturunkan. Upaya
partum, lahir dengan berat badan lahir rendah pelayanan kesehatan dalam penanggulangan
26
(BBLR) . kegemukan meliputi upaya promotif, preventif
28
Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dan juga rehabilitatif . Jika upaya pelayanan
penurunan prevalensi gizi kurang seiring kesehatan dalam penanganan kegemukan ini
dengan perbaikan indeks lingkungan yang berjalan dengan optimal, maka angka
7
Penelitian Gizi dan Makanan, Juni 2019 Vol. 42 (1): 1-10
prevalensi kegemukan akan dapat ditekan, seperti masakan-masakan siap saji (fast food)
begitu juga sebaliknya. Jika pelayanan telah tersedia dan mudah di dapatkan baik di
13
kesehatan kurang optimal maka angka kota besar maupun kota-kota kecil . Sebuah
kegemukan dapat terus meningkat. Hasil literatur review yang dilakukan terhadap 17
analisis ini juga menunjukkan bahwa walaupun artikel hasil studi yang berkualitas di Indonesia
memiliki nilai determinasi total lemah, tidak menyatakan bahwa faktor aktivitas fisik yang
terdapat tren antara prevalensi balita gemuk kurang serta konsumsi makanan-makanan
dengan nilai IPKM suatu daerah. Dimana gorengan merupakan faktor yang berhubungan
14
prevalensi gemuk pada balita di daerah dengan dengan kegemukan pada anak .
nilai IPKM yang tinggi hampir sama dengan
prevalensi gemuk yang terjadi di daerah KESIMPULAN
dengan nilai IPKM rendah, yaitu berkisar pada
Terdapat kecenderungan bahwa dengan
12 persen. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin tinggi nilai IPKM suatu daerah maka
kejadian balita gemuk terjadi di wilayah dengan
rerata prevalensi kurang gizi balita semakin
nilai IPKM yang tinggi maupun rendah. Studi
rendah. Hasil uji statistik menunjukkan
ekologi yang dilakukan sebelumnya telah
hubungan yang signifikan antara indeks
mendapatkan hasil yang berbeda, dimana
kesehatan reproduksi, indeks pelayanan
pada daerah dengan nilai IPM yang tinggi
kesehatan dan indeks kesehatan lingkungan
memiliki prevalensi kegemukan yang tinggi
11 dengan prevalensi kurang gizi.Tidak terdapat
juga .
tren atau kecenderungan antara prevalensi
Prevalensi kegemukan pada anak telah
kegemukan dengan nilai IPKM suatu daerah.
menjadi hal yang menjadi perhatian di bidang
Prevalensi kegemukan pada daerah dengan
kesehatan masyarakat di negara-negara maju.
nilai IPKM yang tinggi hampir sama dengan
Prevalensi kegemukan di wilayah dengan nilai
prevalensi kegemukan yang terjadi di daerah
IPM yang tinggi dan sedang dapat dijelaskan
dengan nilai IPKM rendah, yaitu berkisar pada
bahwa negara-negara ini merupakan negara-
12 persen.
negara yang berada dalam transisi menuju
Hasil uji statistik menunjukkan hubungan
negara industri; dimana transisi ini
yang signifikan antara indeks kesehatan
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan
reproduksi, indeks pelayanan kesehatan,
pada kehidupan masyarakat termasuk di
indeks perilaku dan indeks kesehatan
dalamnya adalah yang berhubungan dengan
lingkungan dengan prevalensi kegemukan,
kesehatan seperti pola hidup (lifestyle),
namun hubungan ini memiliki nilai determinasi
pertanian dan makanan; hal tersebut
yang lemah.
merupakan faktor-faktor yang berkontribusi
terhadap status gizi. Sebagai tambahan
SARAN
bahwa di negara-negara tersebut akses
terhadap makanan-makanan tinggi kalori Adanya hubungan kuat dan pengaruh
sangat mudah untuk didapatkan, akan tetapi besar antara indeks kesehatan reproduksi
hal ini tidak dibarengi dengan kepatuhan dengan terjadinya kekurangan gizi pada balita
terhadap diet yang sehat dan seimbang menunjukkan bahwa perhatian pada calon ibu
sehingga menjurus terhadap peningkatan dan ibu hamil sangat penting. Dimulai saat
11
kegemukan pada anak . perempuan beranjak dewasa, sangat perlu
Indonesia merupakan salah satu negara edukasi bagaimana menjaga status gizi
berkembang di Asia Tenggara yang sedang kehamilan akan menyelamatkan pertumbuhan
berada pada masa transisi. Pembangunan anak. Dan selama kehamilan, upaya
ekonomi serta infrastruktur tengah gencar pemeriksaan kehamilan dengan mengakses
dilaksanakan. Sejalan dengan hal tersebut fasilitas kesehatan atau tenaga kesehatan juga
terjadi perubahan dalam pola hidup maupun merupakan upaya yang wajib dilakukan. Guna
pola makan masyarakatnya, yang dijumpai di mendukung hal tersebut, maka juga perlu
kota-kota besar maupun juga di daerah upaya semua pihak untuk menjamin kondisi
pedesaan. Pola hidup masyarakat cenderung gizi ibu dan kemudahan akses layanan
menjadi sedentary (tidak aktif). Pola hidup ini kesehatan ibu hamil.
secara tidak langsung telah diajarkan orangtua
terhadap anaknya. Anak-anak cenderung lebih UCAPAN TERIMA KASIH
menyukai aktivitas fisik yang rendah, seperti
menonton TV, bermain gadget atau komputer. Ucapan terima kasih kami sampaikan
Selain itu, konsumsi dari makanan-makanan kepada Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan, ketua pelaksana
tinggi kalori dan natrium serta rendah serat,
8
Masalah gizi balita dan hubungannya dengan indeks pembangunan ... (Utami NH; dkk )
9
Penelitian Gizi dan Makanan, Juni 2019 Vol. 42 (1): 1-10
21. Elisanti AD, Purnomo W. Penerapan Partial diarrhoea and nutritional status in rural
Least Square Status Kesehatan Balita di Rwanda: a cross-sectional study to explore
Indonesia. J Biometrika dan Kependud. contributing environmental and demogra-
2013;2:99–107. phic factors. Trop Med Int Heal.
22. Abraham S, Miruts G, Shumye A. 2016;21(8):956–64.
Magnitude of chronic energy deficiency and 27. Dearden KA, Schott W, Crookston BT,
its associated factors among women of Humphries DL, Penny ME, Behrman JR.
reproductive age in the Kunama population Children with access to improved sanitation
in 2014. BMC Nutrition. 2015;1(12). but not improved water are at lower risk of
23. Ahmadi D, Amarnani E, Sen A, Ebadi N, stunting compared to children without
Cortbaoui P, Melgar-Quiñonez H. access: a cohort study in Ethiopia, India,
Determinants of child anthropometric Peru, and Vietnam. BMC Public Health.
indicators in Ethiopia. BMC Public Health. 2017;17(1):1–19.
2018;18(1):1–9. 28. Hadi H. Gizi lebih sebagai tantangan baru
24. Restu S, Sumiaty S, Irmawati I, Sundari S. dan implikasinya terhadap kebijakan
Relationship of Chronic Energy Deficiency pembangunan kesehatan nasional. J Gizi
in Pregnant Women with Low Birth Weight Klin Indones. 2004;1(2):47–53.
Newborn in Central Sulawesi Province. Int 29. Ayu R, Sartika D. Prevalensi dan
J Sci Basic Appl Res. 2017;36:252–9. Determinan Kelebihan Berat Badan dan
25. Danaei G, Andrews KG, Sudfeld CR, Fink Kegemukan pada Anak Berusia 5-15
G, McCoy DC, Peet E, et al. Risk Factors Tahun. J Kesehatan Masy Nas. 2007;5(6)
for Childhood Stunting in 137 Developing 2011:262–8.
Countries: A Comparative Risk 30. Rachmi CN, Li M, Baur LA. Overweight and
Assessment Analysis at Global, Regional, obesity in Indonesia : prevalence and risk
and Country Levels. PLoS Med. factors d a literature review. Public Health.
2016;13(11):1–18. 2017;147(6):20–29. doi:10.1016/j.puhe.
26. Sinharoy SS, Schmidt WP, Cox K, 2017.02.002.
Clemence Z, Mfura L, Wendt R, et al. Child
10