You are on page 1of 10

TUGAS MATA KULIAH

SISTEM PERADILAN PIDANA

AHMAD FAUZAN
P2B119056

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

JAMBI
2020
2

KATA PENGANTAR

Assalammu’alaikum Wr. Wb.


Puji syukur kita panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang mana telah
memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas ini sebagai tugas perkuliahan untuk mata kuliah Sistem Peradilan Pidana.
Terima kasih saya ucapkan kepada dosen mata kuliah Sistem Peradilan
Pidana yang telah membimbing kami serta, tidak lupa saya ucapkan terima kasih
kepada teman-teman yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan
tugas ini.
Dalam penyusunan makalah ini terdapat banyak kesulitan. Oleh karena
itu, penulis, mohon maaf apabila terdapat banyak kesalahan dalam penyusunan
tugas ini. Kritik dan saran yang membangun selalu penulis nantikan, demi
perbaikan dan pembangunan penyusunan makalah selanjutnya.

( Penulis )
Due Process Values

This strand of due process ideology is not enough to sustain the model. If all
that were at issue between the two models was a series of questions about the
reliability of fact-finding processes, we would have but one model of the criminal
process, the nature of whose constituent elements would pose questions of fact not
of value. Even if the discussion is confined, for the moment, to the question of
reliability, it is apparent that more is at stake than simply an evaluation of what
kinds of fact-finding processes, alone or in combination, are likely to produce the
most nearly reliable results. The stumbling block is this: How much reliability is
compatible with efficiency? Granted that informal fact-finding will make some
mistakes that can be remedied if backed up by adjudicative factfinding, the
desirability of providing this backup is not affirmed or negated by factual
demonstrations or predictions that the increase in reliability will be x percent or x
plus n percent. It still remains to ask how much weight is to be given to the
competing demands of reliability (a high degree of probability in each case that
factual guilt has been accurately determined) and efficiency (expeditious handling
of the large numbers of cases that the process ingests).
The Crime Control Model is more optimistic about the improbability of error
in a significant number of cases: but it is also, though only in part therefore, more
tolerant about the amount of error that it will put up with. The Due Process Model
insists on the prevention and elimination of mistakes to the extent possible; the
Crime Control Model accepts the probability of mistakes up to the level at which
they interfere with the goal of repressing crime, either because too many guilty
people are escaping or, more subtly, because general awareness of the unreliability
of the process leads to a decrease in the deterrent efficacy of the criminal law. In
this view, reliability and efficiency are not polar opposites but rather
complementary characteristics. The system is reliable because efficient; reliability
becomes a matter of independent concern only when it becomes so attenuated as
to impair efficiency. All of this the Due Process Model rejects. If efficiency
demands shortcuts around reliability, then absolute efficiency must be rejected.
The aim of the process is at least as much to protect the factually innocent as it is
to convict the factually guilty. It is a little like quality control in industrial
technology; tolerable deviation from standard varies with the importance of
conformity to standard in the destined uses of the product. The Due Process
Model resembles a factory that has to devote a substantial part of its input to
quality control. This necessarily cuts down on quantitative output.
Nilai Proses Jatuh Tempo
Untaian ideologi proses hukum ini tidak cukup untuk menopang model.
Jika semua yang menjadi masalah antara kedua model tersebut adalah serangkaian
pertanyaan tentang keandalan proses pencarian fakta, kita hanya akan memiliki
satu model proses kriminal, yang sifat unsur-unsur pembentuknya akan
menimbulkan pertanyaan tentang fakta bukan nilai. Sekalipun pembahasannya
terbatas, untuk saat ini, pada pertanyaan reliabilitas, tampak jelas bahwa lebih
banyak yang dipertaruhkan daripada sekadar evaluasi jenis proses pencarian fakta
apa, sendiri atau dalam kombinasi, kemungkinan besar akan menghasilkan yang
paling mendekati. Hasil yang dapat diandalkan. Batu sandungannya adalah ini:
Seberapa besar keandalan yang kompatibel dengan efisiensi? Memang pencarian
fakta informal akan membuat beberapa kesalahan yang dapat diperbaiki jika
didukung oleh pencarian fakta putusan, keinginan menyediakan cadangan ini
tidak ditegaskan atau ditiadakan oleh demonstrasi faktual atau prediksi bahwa
peningkatan keandalan akan sebesar x persen atau x plus n persen. Masih perlu
dipertanyakan berapa banyak bobot yang harus diberikan pada tuntutan
kehandalan yang bersaing (tingkat kemungkinan yang tinggi dalam setiap kasus
bahwa kesalahan faktual telah ditentukan secara akurat) dan efisiensi (penanganan
yang cepat dari sejumlah besar kasus yang proses menelan). Model Pengendalian
Kejahatan lebih optimis tentang ketidakmungkinan kesalahan dalam sejumlah
besar kasus: tetapi juga, meskipun hanya sebagian, lebih toleran tentang jumlah
kesalahan yang akan ditanggungnya.
Model Proses Tuntas menekankan pada pencegahan dan penghapusan
kesalahan sejauh mungkin; Model Pengendalian Kejahatan menerima
kemungkinan kesalahan sampai pada tingkat di mana mereka mengganggu tujuan
menekan kejahatan, baik karena terlalu banyak orang yang bersalah melarikan diri
atau, lebih halus lagi, karena kesadaran umum tentang tidak dapat diandalkannya
proses menyebabkan penurunan dalam pencegahan hukum pidana. Dalam
pandangan ini, keandalan dan efisiensi bukanlah dua kutub yang berlawanan,
melainkan karakteristik yang saling melengkapi. Sistem tersebut dapat diandalkan
karena efisien; keandalan menjadi masalah perhatian independen hanya jika hal
itu menjadi begitu dilemahkan sehingga merusak efisiensi. Semua ini ditolak
Model Proses Tuntas. Jika efisiensi menuntut jalan pintas seputar keandalan, maka
efisiensi absolut harus ditolak. Tujuan dari proses ini setidaknya untuk melindungi
yang tidak bersalah secara faktual seperti juga untuk menghukum mereka yang
bersalah secara faktual. Ini seperti kontrol kualitas dalam teknologi industri;
deviasi yang dapat ditoleransi dari standar bervariasi dengan pentingnya
kesesuaian dengan standar dalam tujuan penggunaan produk. Model Proses
Tuntas menyerupai pabrik yang harus mencurahkan sebagian besar masukannya
untuk pengendalian kualitas. Hal ini akan mengurangi keluaran kuantitatif.
Ulasan:

Menurut Due Process Model, tujuan dari sistem peradilan pidana adalah

untuk menangani terdakwa pidana secara adil dan sesuai dengan standar

konstitusi. Due Process Model jauh lebih skeptis terhadap proses investigasi

administrasi dan kapasitas untuk membuat penilaian yang akurat bersalah tanpa

pengawasan yudisial. Due proses model menghargai hak-hak individu dan

martabat dalam menghadapi kekuasaan negara, bukan hanya penindasan terhadap

kejahatan.

Menurut John Griffith, due process model tampak sangat berbeda

dengan crime control model, sistem due process model berkisar sekitar konsep

penghormatan terhadap individual dan konsep pembatasan kekuasaan resmi.

Oleh karena itu, due proses model menolak informal administrasi

pencarian fakta, dan preferensi ajudikasi yang mengambil posisi berseberangan

dengan proses formal. Di dalam due process model, tidak ada temuan fakta yang

sah sampai kasus tersebut disidangkan secara terbuka dan dievaluasi oleh

pengadilan yang adil, dan terdakwa telah memiliki kesempatan penuh untuk

mendiskreditkan kasus terhadap dirinya.

Sehingga, karakteristik due process model adalah perlindungan hak-hak

tersangka untuk menentukan terbuktinya kejahatan dan kesalahan seorang yang

harus melalui suatu persidangan.


Menurut Romli Atmasasmita, Nilai-nilai yang mendasari Due Proses

Model adalah:

1. Kemungkinan adanya faktor “kelalaian” yang sifatnya manusiawi


(human error) menyebabkan model ini menolak “informal fact finding
process” sebagai cara untuk menetapkan secara definitive “factual
guild” seseorang. Model ini hanya mengutamakan “formal
adjudicative and adversary fact finding”. Hal ini berarti dalam setiap
kasus tersangka harus diajukan ke muka pengadilan yang tidak
memihak dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh hak penuh
untuk mengajukan pembelaannya.
2. Model ini menekankan pada pencegahan (preventive measures) dan
menghapuskan sejauh mungkin administrasi pengadilan.
3. Model ini beranggapan bahwa proses pengadilan dipandang
sebagai coercive (menekan), restricting (membatasi) dan merendahkan
martabat manusia.
4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan.
5. Adanya gagasan persamaan di muka hukum.
6. Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan sanksi
pidana.

Berkaitan dengan pengendalian kejahatan akan ada hubungannya dengan

asas legalitas, yang mana tiada suatu perbuatan dapat dipidana melainkan telah

diatur dalam undang-undang, maka bagi barang siapa yang melangar larangan

tersebut dan larangan tersebut sudah diatur dalam undang-undang, maka bagi para

pelaku dapat dikenai sanksi atau hukuman sedangkan ancaman pidananya

ditujukan kepada si pelaku kejahatan.

Upaya penanggulangan yang ditempuh terhadap kejahatan adalah dengan

2 (dua) cara, yaitu:

Upaya penanggulangan kejahatan dilakukan dengan dua cara, yaitu:


(a) preventif, upaya penanggulangan secara preventif dilakukan adalah
dengan mengupayakan untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut.
Untuk itu, kegiatan yang dilakukan adalah dengan mengupayakan
optimalisasi kegiatan intern pada institusi penegak hukum khususnya
personil dan sarananya.
(b)represif, penanggulangan secara represif dilakukan dengan memberikan
tindakan kepada pelaku kejahatan sesuai hukum yang berlaku.

Upaya penanggulangan yang ditempuh terhadap tindak pidana adalah

dengan 2 (dua) cara, dapat dikemukakan sebagai berikut:

1. Pencegahan (preventif)

Hal ini dilakukan sebelum tindak pidana terjadi, yang mana

penanggulangan dengan bentuk preventif ini dilakukan dengan

mengadakan himbauan-himbauan kepada masyarakat luas melalui media

massa seperti media cetak (surat kabar) maupun media elektronik berupa

radio, televisi.

Agar kebijakan tersebut dapat terlaksana dalam upaya pencegahan

dan pemberantasan kejahatan maka perlu ditetapkan strategi yaitu sebagai

berikut:

a. Strategi pre-emtif ( Prevensi tidak langsung)


Merupakan pencegahan tidak langsung yaitu
menghilangkan atau mengurangi faktor-faktor yang mendorong
timbulnya kesempatan atau peluang untuk melakukan tindak
pidana, dengan usaha atau kegiatan dengan menciptakan
kesadaran, kepedulian, kewaspadaan dan daya tangkal
masyarakat dan terbina kondisi, perilaku dan hidup yang peduli
lingkungan.
b. Strategi nasional usaha promotif
Usaha-usaha promotif dilaksanakan dengan kegiatan-
kegiatan pembinaan dan pengembangan lingkungan masyarakat
yang sadar dan berperan aktif dalam melakukan pembinaan dan
pengembangan pola hidup sehat, beriman, kegiatan positif,
produktif, konstruktif dan kreatif.
c. Strategi nasional untuk komunikasi, informasi dan pendidikan
pencegahan.
Pencegahan tindak pidana terutama diarahkan kepada
generasi muda (anak, remaja, pelajar, pemuda, dan mahasiswa).
Tindak pidana terjadi sebagai hasil interaksi individu yang
kompleks dengan berbagai elemen dari lingkungannya, terutama
dengan orang tua, sekolah, lingkungan masyarakat dan
remaja/pemuda lainnya, oleh karena itu strategi komunikasi,
informasi dan pendidikan. Pencegahan dilaksanakan dengan 7
(tujuh) jalur yaitu:
1) Keluarga, dengan sasaran orang tua, anak, pemuda, remaja,
dan anggota keluarga lainnya.
2) Pendidikan sekolah maupun diluar sekolah/dengan
kelompok sasaran guru/tenaga pendidik serta didik/warga
belajar baik secara kurikurer maupun ekstra kurikurer.
3) Lembaga keagamaan, dengan sasaran pemuka-pemuka
agama dan umatnya.
4) Organisasi sosial kemasyarakatan, dengan sasaran
remaja/pemuda dan masyarakat.
5) Organisasi wilayah pemukiman (Dusun, RT, RW) dengan
sasaran warga terutama pemuka masyarakat dan remaja
setempat.
6) Unit-unit kerja, dengan sasaran pemimpin, karyawan dan
keluarganya.
7) Media massa baik elekronik, cetak, dan media interpesonal
(talkshow dan dialog interaktif), dengan sasaran masyarakat
secara luas maupun indivudu.
d. Strategi nasional untuk partisipasi masyarakat
Strategi ini merupakan strategi pencegahan berbasis masyarakat,
sebagai upaya untuk menggugah, mendorong dan mengerakkan
masyarakat untuk sadar, peduli dan aktif untuk melakukan
pencegahan terhadap tindak pidana. Suksesnya strategi ini
sangat tergantung pada partisipasi masyarakat dalam usaha-
usaha promotif, edukasi prevensi, dan kekuatan-kekuatan dalam
masyarakat dimobilisir untuk secara aktif menyelenggarakan
program-program dibidang tersebut di atas.

2. Tindakan (Represif)

Hal ini dilakukan setelah terjadinya kejahatan, yang mana

penanggulangan dengan bentuk represif dilakukan dengan cara menangkap

pelaku yang ketahuan melakukan tindak pidana dan selanjutnya akan

dikenakan hukuman pidana terhadapnya. Agar efektif dan berdaya guna,

upaya ini dilakukan dengan saling koordinasi antar aparat penegak hukum

di wilayah Indonesia.

You might also like