You are on page 1of 16
Konsep per 16 Februari 2017 PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN Menimbang REPUBLIK INDONESIA. NOMOR TENTANG KETENTUAN IMPOR PREKURSOR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, a. bahwa untuk mendorong peningkatan daya saing nasional, perlu melakukan penyederhanaan perizinan di bidang perdagangan, khususnya impor prekursor; bahwa ketentuan impor prekursor sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri_Perindustrian dan Perdagangan Nomor 647/MPP/Kep/10/2004 tentang Ketentuan Impor Prekursor dinilai sudah tidak relevan; bahwa berdasarkan _pertimbangan _sebagaimana dimaksud dalam huruf b, dan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 10 ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor, perlu mencabut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 647/MPP/Kep/ 10/2004 tentang Ketentuan Impor Prekursor dan mengatur kembali ketentuan impor prekursor; bahwa berdasarkan _pertimbangan —_sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Menteri Perdagangan tentang Ketentuan Impor Prekursor; Mengingat -2- Undang-Undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penindakan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1955 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 801), sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 ‘Tahun 1964; Undang-Undang Nomor 7 ‘Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3564); Undang-Undang Nomor 10 ‘Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3612) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4661); Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1998 tentang Pengesahan Convention On The Prohibition Of The Development, Production, Stockpiling And Use Of Chemical Weapons And On Their Destruction (Konvensi Tentang Pelarangan Pengembangan, Produksi, Penimbunan, dan Penggunaan Senjata © Kimia Serta Tentang Pemusnahannya), (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 171); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 33, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3817); Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik 10. Ll. 12. 13, 14. 15. -3- Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4916); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5059); Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 143); Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5063); Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 227, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5360); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5492); Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5512); Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4183); Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu, dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4424); Menetapkan : 16. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor (Lembaran Negara Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5126); 17. Keputusan Presiden Nomor 65 Tahun 1998 tentang Pengesahan International Convention on the Safety of Life at Sea 1974; 18. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional; 19. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Organisasi Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 8); 20. Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2015 tentang Kementerian Perdagangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 90); 21, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 46/M-DAG/PER/8/2014 tentang Ketentuan Umum Verifikasi atau Penelusuran Teknis di Bidang Perdagangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1104); 22. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 48/M-DAG/PER/7/2015 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1006); 23. Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 70/M-DAG/PER/9/2015 tentang Angka —_Pengenal Importir (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 1516); 24, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 08/M-DAG/PER/2/2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Perdagangan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2016 Nomor 202); MEMUTUSKAN: PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN TENTANG KETENTUAN IMPOR PREKURSOR. Pasal 1 Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan: 1. Prekursor adalah zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika dan Psikotropika. 2. Impor adalah kegiatan memasukkan barang ke dalam daerah pabean. 3. Persetujuan Impor adalah persetujuan yang digunakan sebagai izin untuk melakukan Impor Prekursor. 4. Pengguna akhir adalah perusahaan/industri/lembaga yang menggunakan Prekursor sebagai. bahan baku/penolong proses produksinya atau untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 5. Rekomendasi adalah surat keterangan yang diterbitkan oleh pejabat instansi/unit teknis terkait yang berwenang dan merupakan persyaratan untuk bahan pertimbangan diterbitkannya Persetujuan Impor. 6. Verifikasi atau Penelusuran Teknis adalah penelitian dan pemeriksaan barang Impor yang dilakukan oleh surveyor. 7. Surveyor adalah perusahaan survey yang mendapat otorisasi untuk melakukan Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Prekursor. 8. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan. 9. Menteri Perindustrian adalah = menteri_—-yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian. 10. Direktur Jenderal adalah Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan. 11. Kepala BNN adalah Kepala Badan Narkotika Nasional. 12. Kabareskrim POLRI adalah Kepala Badan Reserse dan Kriminal Kepolisian Negara Republik Indonesia. 13. Direktur adalah Direktur Impor, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan. Pasal 2 (1) Impor Prekursor dibatasi. (2) Jenis Prekursor yang dibatasi impornya sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. (3) Jenis Prekursor yang dibatasi impornya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali sesuai perkembangan. Pasal 3 Jenis Prekursor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 hanya digunakan untuk keperluan industri non farmasi. Pasal 4 (1) Impor Prekursor hanya dapat dilakukan oleh perusahaan pemilik Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) atau Angka Pengenal Importir Umum (API-U) yang telah mendapat Persetujuan Impor dari Menteri. (2) Menteri mendelegasikan kewenangan _penerbitan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Direktur Jenderal. Pasal 5 (1) Untuk mendapat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, perusahaan pemilik API-P harus mengajukan permohonan secara elektronik kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen: a. Izin Usaha Industri atau izin usaha lain yang sejenis. dari instansi yang berwenang; b. API-P; c. Rekomendasi dari Menteri Perindustrian atau pejabat yang ditunjuk; d. Rencana kebutuhan Prekursor selama 1 (satu) tahun; dan e. Asli Persetujuan Impor beserta bukti realisasi Impor, bagi yang telah mendapat Persetujuan Impor sebelumnya. (2) (3) @) () (2) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan Persetujuan Impor paling Jama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum lengkap dan benar, Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. Direktur Jenderal memberikan mandat pemberitahuan penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur. Pasal 6 Untuk mendapatkan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, perusahaan pemilik API-U harus mengajukan permohonan secara elektronik kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen: a, Surat Izin Usaha Perdagangan atau izin usaha lainnya yang sejenis dengan bidang usaha/lingkup perdagangan bahan kimia dari instansi yang berwenang; b. API-U; Pemberitahuan Impor Barang (PIB) yang menunjukkan pengalaman di bidang Impor bahan kimia paling sedikit 3 (tiga) tahun; d. Rencana pendistribusian Prekursor ke pengguna akhir yang memuat informasi paling sedikit mengenai identitas pengguna akhir dan jumlah pesanan berdasarkan kontrak pemesanan; e. Rekomendasi dari Kepala BNN; dan f. Rekomendasi dari Kabareskrim POLRI. Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Direktur Jenderal menerbitkan Persetujuan Impor paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. -8- (3) Dalam hal permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) betum tengkap dan benar, Direktur Jenderal menyampaikan pemberitahuan penolakan permohonan paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima. (4) Direktur Jenderal memberikan mandat pemberitahuan penolakan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Direktur. Pasal 7 (1) Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) berlaku selama 1 (satu) tahun sejak tanggal diterbitkan, bagi perusahaan pemilik API-P; dan (2) Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) berlaku selama 6 (enam) bulan sejak tanggal diterbitkan, bagi perusahaan pemilik API-U. Pasal 8 (1) Masa berlaku Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dapat diperpanjang paling lama 30 (tiga puluh) hari. (2) Permohonan perpanjangan masa berlaku Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan sebelum masa berlaku Persetujuan Impor berakhir. (3) Untuk memperoleh perpanjangan masa __berlaku Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan harus mengajukan permohonan secara elektronik kepada Direktur Jenderal dengan melampirkan dokumen: a. Persetujuan Impor yang masih berlaku; b. Bill of Lading (B/L) atau Airway Bill (AWB); dan c. Bukti realisasi impor. (4) Atas permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Direktur Jenderal menerbitkan perpanjangan masa berlaku Persetujuan Impor paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap dan benar. () (2) (3) (4) Pasal 9 Perusahaan yang mengimpor Prekursor wajib melaporkan setiap perubahan yang terkait dengan dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a dan huruf b, dan Pasal 6 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf c, serta mengajukan permohonan perubahan Persetujuan Impor. Perusahaan yang mengimpor Prekursor dapat mengajukan permohonan perubahan Persetujuan Impor dalam hal terdapat perubahan mengenai Pos Tarif/HS, jenis, jumlah, negara asal, pelabuhan muat, pelabuhan tujuan impor, dan/atau nama dan alamat eksportir. Untuk memperoleh perubahan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan harus mengajukan permohonan secara clektronik kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a, dokumen yang mengalami perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); b. Persetujuan Impor; dan ¢. Bukti realisasi impor. Untuk memperoleh perubahan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), perusahaan harus mengajukan permohonan secara elektronik kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a. Persetujuan.Impor; b. Bukti realisasi impor; c. Rekomendasi dari Menteri Perindustrian atau pejabat yang ditunjuk bagi perusahaan pemilik APL-P; dan d. Rekomendasi dari Kepala BNN dan Rekomendasi dari Kabareskrim POLRI bagi perusahaan pemilik API-U. () (2) (1) (2) -10- Pasal 10 Pengajuan permohonan untuk mendapatkan: a. Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6; b. perpanjangan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8; dan c. perubahan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, harus disampaikan secara_elektronik melalui http://inatrade. kemendag.go.id. Dalam hal terjadi keadaan memaksa (force majeure) yang mengakibatkan sistem elektronik tidak _ berfungsi, pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan secara manual. Pasal 11 Setiap pelaksanaan impor Prekursor oleh pemilik API-P dan API-U yang telah mendapat Persetujuan Impor wajib terlebih dahulu dilakukan Verifikasi atau Penelusuran teknis di pelabuhan muat. Pelaksanaan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Surveyor yang ditetapkan oleh Menteri Pasal 12 Untuk dapat ditetapkan sebagai pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Prekursor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Surveyor harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a b. memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey (SIUJS); berpengalaman sebagai surveyor paling sedikit 5 (lima) tahun; memiliki cabang atau perwakilan dan/atau afiliasi di luar negeri dan memiliki jaringan untuk mendukung efektifitas pelayanan Verifikasi atau Penelusuran Teknis; dan -li- d. mempunyai rekam-jejak (track records) yang baik di bidang pengelolaan kegiatan Verifikasi atau penelusuran teknis Impor. Pasal 13 (1) Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) dilakukan terhadap Impor Prekursor, yang meliputi data atau keterangan paling sedikit mengenai: a. _jenis dan nomor Pos Tarif/HS; b. jumlah Prekursor yang akan diimpor; c. negara asal; dan d. _pelabuhan muat. (2) Hasil Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dituangkan dalam bentuk Laporan Surveyor (LS) untuk digunakan sebagai dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang Impor. (3) LS sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memuat pernyataan kebenaran atas hasil Verifikasi atau Penelusuran Teknis dan menjadi tanggung jawab penuh Surveyor. (4) Atas pelaksanaan Verifikasi atau Penelusuran Teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Surveyor memungut imbalan jasa dari importir yang besarannya ditentukan dengan memperhatikan azas manfaat. Pasal 14 (1) Perusahaan yang mengimpor Prekursor —_wajib menyampaikan laporan tertulis baik melakukan maupun tidak melakukan impor Prekursor kepada Direktur Jenderal dengan tembusan disampaikan kepada Kepala BNN, Kabareskrim POLRI, dan Menteri Perindustrian setiap bulan sekali paling lambat pada tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya. (2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan melalui http:/ /inatrade.kemendag.go.id. -12- Pasal 15 Surveyor wajib menyampaikan laporan tertulis mengenai pelaksanaan kegiatan Verifikasi atau Penelusuran Teknis yang disampaikan setiap bulan paling lambat tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya kepada Direktur Jenderal dengan tembusan kepada Direktur Impor. Pasal 16 (1) Perusahaan pemilik API-P yang telah mendapat Persetujuan Impor hanya dapat mengimpor Prekursor untuk kebutuhan proses produksi industri non farmasi yang dimilikinya dan dilarang memperdagangkan dan/atau memindahtangankan kepada pihak lain. (2) Perusahaan pemilik API-U yang telah mendapat Persetujuan Impor hanya dapat mengimpor Prekursor untuk didistribusikan secara langsung kepada pengguna akhir. (3) Pengguna akhir yang memperoleh Prekursor dari perusahaan pemilik API-U yang telah mendapat Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) hanya dapat menggunakan Prekursor dimaksud sebagai bahan baku/penolong proses produksi atau untuk keperluan analisa penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi_—serta_dilarang memperdagangkan dan/atau — memindahtangankan kepada pihak lain. Pasal 17 (1) Persetujuan Impor dicabut apabila perusahaan: a. tidak © menyampaikan laporan _sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 sebanyak 3 (tiga) kali; b. melanggar ketentuan memperdagangkan Prekursor yang diimpornya kepada pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1), untuk perusahaan pemilik API-P; c. mendistribusikan Prekursor yang diimpor kepada pihak lain selain pengguna akhir sesuai kontrak -13- pemesanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2), untuk perusahaan pemilik API-U; d.mengubah, menambah dan/atau mengganti isi yang tercantum dalam Persetujuan Impor; . mengimpor Prekursor yang jenis atau jumlahnya tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Persetujuan Impor; dan/atau f. dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas tindak pidana yang berkaitan dengan penyalahgunaan Persetujuan Impor. (2) Pencabutan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 18 Perusahaan pemilik API-P dan perusahaan pemilik API-U yang terkena sanksi pencabutan Persetujuan Impor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 hanya dapat mengajukan permohonan untuk memperoleh Persetujuan Impor kembali setelah 2 (dua) tahun sejak tanggal pencabutan. Pasal 19 Pengguna akhir yang melanggar ketentuan Pasal 16 ayat (3) dikenai sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 20 (1) Surveyor yang tidak melaksanakan —_kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 dikenai sanksi pencabutan penetapan sebagai Surveyor pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Prekursor dan/atau sanksi lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. (2) Pencabutan penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahului dengan peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali dengan tenggang waktu masing-masing 10 (sepuluh) hari. (3) Pencabutan penetapan sebagai Surveyor pelaksana Verifikasi atau Penelusuran Teknis Impor Prekursor -14- sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditctapkan oleh Menteri. Pasal 21 (1) Perusahaan pemilik API-P dan API-U yang mengimpor Prekursor tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Prekursor yang diimpor tidak sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini harus diekspor kembali atau dimusnahkan atas biaya importir dengan disaksikan oleh instansi terkait. (3) Pelaksanaan eckspor kembali atau pemusnahan dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari sejak tanggal Manifest (BC 1.1). Pasal 22 Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini tetap berlaku terhadap pemasukan Prekursor asal luar daerah pabean ke dalam Tempat Penimbunan Berikat, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, dan Kawasan Ekonomi Khusus. Pasal 23 (1) Ketentuan dalam Peraturan Menteri ini tidak berlaku terhadap Impor Prekursor untuk keperluan analisa penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. (2) Impor Prekursor untuk keperluan _ sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memerlukan surat penjelasan dari Direktur berdasarkan pertimbangan teknis dari Kepala BNN dan Kabareskrim POLRI. Pasal 24 Untuk kepentingan pengawasan pelaksanaan Peraturan Menteri ini, Direktur Jenderal bersama dengan instansi terkait dapat membentuk tim pengawasan Impor Prekursor. -15- Pasal 25 Petunjuk teknis pelaksanaan dari Peraturan Menteri ini dapat ditetapkan oleh Direktur Jenderal. Pasal 26 Pengakuan sebagai IP-Prekursor, penetapan _ sebagai IT-Prekursor, dan Persetujuan Impor yang telah diterbitkan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 647/MPP/Kep/10/2004 _ tentang Ketentuan Impor Prekursor dinyatakan tetap berlaku sampai dengan: a, masa berlakunya berakhir; atau b. tanggal .......... 2018, Pasal 27 Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 647/MPP/Kep/10/2004 tentang Ketentuan Impor Prekursor dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 28 Peraturan Menteri ini mulai berlaku 60 (enam puluh hari) sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, ~ memerintahkan pengundangan Peraturan Menteri ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. Ditetapkan di Jakarta pada tanggal MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, ENGGARTIASTO LUKITA LAMPIRAN PERATURAN MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR TENTANG KETENTUAN IMPOR PREKURSOR NON FARMASI DAFTAR JENIS PREKURSOR YANG DIBATASI IMPORNYA POS No} No.cas | sariRsus URAIAN BARANG 1 108-24-7 2915.24.00 | Asetat Anhidrida 2. | 108-82-2 | 2916.34.00 | Asam fenilasetat dan garamnya 3. 2939.63.00 | Asam lisergat dan garamnya 4. 2924.23.00 | Asam 2- Asetamidobenzoat (asam N asetilantranilat) dan garamnya 5. | 299-42-3 | 2939.41.00 | Efedrin dan garamnya 6. | 60-79-7 | 2939.61.00 | Ergometrin (INN) dan garamnya 7. | 113-18-5 | 2939.62.00 | Ergotamin (INN) dan garamnya 8. | 103-79-7 | 2914.31.00 | Fenilaseton (fenilpropan-2-on) 9, | 120-58-1 | 2932.91.00 | Isosafrol 10. | 7722-64-7 | 2841.61.00 | Kalium Permanganat 11. | 4676-39-5 | 2932.92.00 | 1-(1, 3- Benzodioksol-5-yl) propan -2-on Norefedrin dan garamnya 12. | 154-416 | 9939.44.00 fran 13. | 120-57-0 | 2932.93.00 | Piperonal 14. | 90-82-4 | 2939.42.00 | Pseudoefedrin (INN) dan garamnya 1s. | 94-59-7 | 2932.94.00 | Safrol 16. | 118-92-3 | 2922.43.00 | Asam antranilat dan garamnya 17. | 7647-01-0 | 2806.10.00 | Hidrogen klorida (Asam hidroklorida) 18. | 7664-93-9 | 2807.00.00 | Asam sulfat; oleum 19. | 67-64-1 | 2914.11.00 | Aseton 20. 60-29-7 2909.11.00 Dietil eter 21, | 78-93-3 | 2914.12.00 | Butanon (metil etil keton) 22, | 110-89-4 | 2933.32.00 | Piperidina dan garamnya 23. | 108-88-3 | 2902.30.00 | Toluena dengan kemurnian 295% 24. |_108-88-3 | 2707.20.00 | Toluena dengan kemurnian <95% MENTERI PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA, ENGGARTIASTO LUKITA.

You might also like