You are on page 1of 16

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/337324197

MUSIBAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR'AN

Article · November 2019

CITATION READS

1 11,657

1 author:

Andri Nirwana
Universitas Muhammadiyah Surakarta
23 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

PUBLICATION View project

BOOK PROJECT View project

All content following this page was uploaded by Andri Nirwana on 18 November 2019.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


MUSIBAH DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Andri Nirwana. AN
Fakultas Ushuluddin IAIN Ar-Raniry
Kopelma Darussalam, Kota Banda Aceh
Email: andrinirwana@yahoo.com

ABSTRACT
Understanding the Islamic attitude toward nature is necessary for
understanding the Islamic perspective of natural disasters. In the Islamic world
view, everything in nature is created by God, scrupulously measured both
qualitatively and quantitatively, and designed to serve a purposive task in the
universe’s overall system. God states: “Verily, all things have We created in
proportion and measure”. Nothing in the universe, including natural resources,
was created purposelessly: “We did not create the heavens, Earth, and all between
them merely in (idle) sport. We created them only for just ends. Although the
Qur’an maintains humanity’s superiority as khalifah Allah (God’s vicegerent)
over other creations, it does not necessarily follow that these other creations have
no other purpose but to serve human beings. They are equally creations of God,
autonomous Ummahs (communities) that worship their Creator on their own
terms. In addition, they perform an aesthetic function as constituents of
biodiversity, which the Qur’an often counts as part of the ayat (signs) of God for
people of understanding. Moreover, the Qur’an recognizes the physical world as
ayat of God, just as it considers the Qur’an’s verses as ayat. The Qur’an is clear of
any contradiction; nature is equally devoid of any flaw.

Kata Kunci: Musibah, Al-Qur’an, Tafsir Mawdhu’iy

Pendahuluan
Musibah adalah bagian dari takdir yang akan menimpa makhluk ciptaan
Allah, hal ini terjadi atas izin-Nya dan sudah tertulis di lauh al-mahfudz (QS. al-
Hadid: 2). Musibah tersebut dapat berupa ketakutan, kelaparan, kekurangan harta,
jiwa dan buah-buahan (QS. al-Baqarah: 155). Bagi orang yang sabar atas musibah
yang menimpanya, maka akan mendatangkan barakah, rahmat dan hidayah Allah
(QS. al-Baqarah: 157). Dengan muhasabah atas apa yang menimpa, maka
manusia akan sadar bahwa musibah yang menimpanya adalah karena perbuatan
dirinya sendiri (QS. Ali Imran: 165 dan QS. al-Syura: 30), sehingga diharapkan
akan muncul penyesalan atas apa yang telah dilakukan (QS. al-Nisa’: 62).
Dari rangkaian penjelasan di atas, manusia tidak akan lepas dari musibah
yang diuji Allah. Musibah tidak hanya menimpa manusia, akan tetapi semua
makhluk yang diciptakan Allah. Hanya saja dalam teks-Nya, Allah sering ber-
firman dengan teks musibah yang menimpa manusia. Dalam hal ini, penulis ingin
mendiskusikan sebuah pemahaman tentang musibah yang ditinjau dari sisi al-
Qur’an.

142 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an


Definisi Musibah
Secara etimologi, kata musibah berasal dari bahasa Arab. Menurut Ahmad
bin Yahya sebagaimana dikutip oleh Ibnu Manzhur, kata ‫ ﻣﺼﯿﺒﺔ‬berasal dari kata
‫ﻣﺼﻮﯾﺒﺔ‬.1 Sementara menurut Raghib al-Asfahani, mushibah berasal dari kata
‘melempar’, kemudian dikhususkan sebagai pengganti, seperti firman Allah ‫اﺻﺎﺑﺘﮭﻢ‬
‫ﻣﺼﯿﺒﺔ‬, dan berasal dari ‫ اﺻﺎب‬seperti firman Allah ‫ وﻣﺎ اﺻﺎﺑﻜﻢ ﯾﻮم اﻟﺘﻘﻰ اﻟﺠﻤﻌﺎن‬.2
Selanjutnya al-Asfahani menjelaskan, kata ‫ اﺻﺎب‬bisa berarti menimpa
dengan kebaikan seperti turunnya hujan dan bisa juga berarti menimpa dengan
keburukan seperti terkena panah.3 Senada dengan al-Ashfahani, Abu Hayan al-
Andalusi memahami kata musibah sebagai isim fa’il dari ‫ اﺻﺎﺑﺖ‬, sehingga menjadi
khusus maknanya tentang sesuatu yang tidak disenangi atau benci, maka musibah
bisa diartikan sebagai kinayah terhadap bala atau bencana, demikian Abu Hayyan
menjelaskan dalam tafsirnya al-Bahrul Muhith fi al-Tafsir.4 Ketika menafsirkan
ayat ‫ وأﺻﺎﺑﺘﮭﻢ ﻣﺼﯿﺒﺔ‬Abu Hayyan menjelaskan bahwa kata musibah merupakan
bagian dari satu jenis yang berubah (isim dan fa’il).5 Dalam al-Qur’an terdapat
beberapa ayat yang berasal dari satu jenis dan berubah menjadi isim dan fa’il,
diantaranya ayat ‫ اذا وﻗﻌﺖ اﻟﻮاﻗﻌﺔ‬dan ‫ أزﻓﺖ اﻻزﻓﺔ‬.
Secara spesifik Abu Hayyan mendefinisikan musibah adalah segala
sesuatu yang menyakitkan mukmin baik terhadap dirinya sendiri, harta atau
keluarganya, sesuatu yang menyakitkan itu kecil atau besar.6 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, musibah diartikan sebagai kejadian atau peristiwa menyedih-
kan, malapetaka atau bencana.7
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa pengertian musibah secara
terminologi adalah segala sesuatu yang menimpa perorangan maupun komunitas,
baik secara tiba-tiba atau bertahap, baik yang bersifat positif maupun negatif.
Dalam Mu’jam al-Mufahras li Alfazh al-Qur’an disebutkan bahwa kata musibah
dalam berbagai bentuk sebanyak 77 kali, 34 kali dalam bentuk fi’il madhi yaitu 33
bentuk ‘ashaba’ dan 1 bentuk ‘shayyib’, 31 dalam bentuk fi’il mudhari’ yaitu
‘yushibu’, 1 kali bentuk masdar yaitu ‘shawwaba’, 1 kali dalam bentuk isim
maf’ul yaitu ‘mushibuha’ dan 10 kali dalam bentuk isim fa’il yaitu ‘mushibah’.
Dalam tulisan ini, penulis hanya membahas ayat-ayat al-Qur’an yang didalamnya
terdapat kata mushibah.

Munasabah Ayat-ayat tentang Musibah


Di dalam al-Qur’an terdapat sepuluh ayat yang menggunakan bentuk kata
mushibah. Berikut ayat-ayat berdasarkan tertib turunnya ayat.

_____________
1
Ibnu Manzhur Jamaludin Muhammad bin Mukarram al-Anshari, Lisan al-Arab, juz. 2
(Mesir: al-Mu’asharah al-Mishriyah al-‘Ammah li Ta’lif wa al-Naba’ wa al-Nashr, tt.), 23
2
Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, 296
3
Al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat Alfazh al-Qur’an, 296
4
Muhammad bin Yusuf al-Syahir bi al-Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith fi al-
Tafsir, juz. 21 (Beirut: Dar al Fikr, tt.), 56
5
Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, 57
6
Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, 57
7
Team Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 602

Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013 143


A. Surah al-Qashash: 47
             

    


“Dan agar mereka tidak mengatakan ketika azab menimpa mereka disebabkan apa
yang mereka kerjakan: “Ya Tuhan kami, mengapa Engkau tidak mengutus se-
orang Rasul kepada kami, lalu kami mengikuti ayat-ayat Engkau dan jadilah kami
termasuk orang-orang mukmin”. (QS. al-Qashash: 47)
Al-Maraghi memaknai musibah pada ayat di atas dengan azab, baik di
dunia maupun di akhirat. Pada ayat di atas, al-Maraghi menjelaskan tentang pe-
ngutusan Rasul kepada orang-orang kafir, untuk mematahkan alasan mereka,
sehingga apabila siksaan Allah datang, mereka tidak akan mendapatkan hujjah
lagi. Sebelum Allah mengutus Nabi, orang-orang kafir ketika ditimpa azab ber-
dalih dengan tidak diutusnya seorang rasul untuk diikuti dan diimani. Kesimpulan
dari penafsiran al-Maraghi terhadap ayat di atas adalah Allah telah mengutus Nabi
kepada manusia dan Allah tidak menyiksa seorang hambapun kecuali setelah
Allah menyempurnakan penjelasan dan hujjah serta mengutus para rasul.8
Adapun Ibnu Katsir menafsirkan Allah berfirman untuk menerangkan
salah satu bukti kebenaran risalah Muhammad. Bahwa ia dapat menceritakan hal-
hal ghaib dan kisah-kisah umat terdahulu, padahal Nabi tidak pernah meninggal-
kan jazirah Arab dan menyaksikan dengan langsung apa yang diceritakan dan
kabarkan. Di samping itu, ia seorang ummi yang tidak dapat menulis dan mem-
baca, lahir dan dibesarkan di tengah bangsa yang demikian keadaannya.9
Menurut Quraisy Shihab, kata musibah dapat mencakup musibah duniawi
dan ukhrawi, sedangkan kalimat bima qaddamat aidihim (disebabkan apa yang
mereka kerjakan), dapat mencakup amal batin seperti keyakinan yang batil atau
penyakit-penyakit hati lainnya seperti iri hati, takabur dan lain-lain dan dapat juga
mencakup amal lahiriah berupa aneka kedurhakaan seperti permusuhan, korupsi,
perzinahan dan lain-lain.10 Para ulama menurut Quraisy Syihab memahami kata
musibah pada ayat ini dalam arti siksa duniawi.11
Ayat ini menurut Ibnu ‘Asyur sebagaimana dikutip oleh Quraish Shihab
adalah menyatakan musibah duniawi berupa kebinasaan, seandainya Allah tidak
mengutus Rasul. Oleh karena itu, kaum musyrikin Makkah wajar mendapat siksa
duniawi walau tidak datang kepada mereka rasul. Bukankah keyakinan tentang
keesaan-Nya telah tertancap dalam jiwa setiap insan? namun demikian, Allah
masih merahmati mereka dan tidak menyiksa mereka dengan siksa duniawi
sampai datang Rasul.

B. QS. al-Syura: 30
          

_____________
8
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 7, 176
9
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur an al-‘Azhim, juz. 3, 405
10
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, 360
11
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 10, 360

144 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an


“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu, maka adalah disebabkan oleh
perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari ke-
salahan-kesalahanmu”. (QS. al-Syura: 30)
Al-Maraghi menafsirkan bahwa musibah-musibah di dunia yang menimpa
manusia tidak lain sebagai hukuman atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan.
Namun Allah memaafkan manusia atas kejahatan yang telah di lakukan dengan
tidak menghukum atas semua kejahatan-kejahatan tersebut. Allah menjadikan
dosa sebagai sebab-sebab yang menghasilkan akibat. Misalnya peminum khamar
akan ditimpa banyak penyakit jasmani maupun akal di dunia, penyakit itu me-
rupakan salah satu bekas dari dosa yang dilakukan. Namun hukuman yang me-
nimpa individu-individu di dunia ini tidaklah bersifat umum. Karena sering pula
seorang pemabuk yang kecanduan, ternyata tidak ditimpa satu penyakit pun akibat
perbuatan. Sering juga didapatkan seorang pedagang berkhianat, ternyata tidak
ditimpa kerugian dalam perdagangannya. Dalam keadaan demikian, maka
hukuman bagi masing-masing dari keduanya ditangguhkan sampai hari hisab.
Al-Maraghi selanjutnya menafsirkan ayat di atas dengan mengutip salah
satu hadis Nabi. Menurut satu riwayat, Nabi bersabda kepada Ali bin Abi Thalib,
“Dan aku akan tafsirkan ayat ini (QS. al-Syura: 30) kepadamu wahai Ali:
“Apapun yang menimpamu baik itu penyakit, suatu hukuman atau suatu bencana
di dunia, maka adalah dikarenakan perbuatan yang telah dilakukan oleh tangan-
tanganmu. Sedang Allah terlalu mulia untuk mengulangi hukuman terhadapmu di
akhirat. Sedangkan apa yang telah dimaafkan oleh Allah di dunia ini, maka Allah
terlalu mulia untuk mengulangi setelah dia memaafkan”.12
Sementara Ibnu Katsir menafsirkan bahwa musibah dan bala yang
menimpa manusia adalah akibat dari manusia sendiri dan Allah memaafkan
sebagian besar kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat.13 Adapun Imam al-Razi
mengatakan bahwa yang dimaksud musibah pada ayat di atas adalah semua ke-
jadian yang tidak disukai seperti sakit, paceklik, banjir, dan kesusahan lainnya. 14
Menurut al-Razi, para ulama berbeda pendapat tentang musibah manusia,
apakah musibah yang terjadi di dunia akibat perbuatan dosa-dosa yang telah lalu?
Kelompok pertama mengatakan, bahwa Allah akan membalas amal perbuatan
manusia pada yaum al-jaza atau hari pembalasan, sebagaimana firman Allah ‫اﻟﯿﻮم‬
‫ ﺗﺠﺰى ﻛﻞ ﻧﻔﺲ ﺑﻤﺎ ﻛﺴﺒﺖ‬dan ‫ ﻣﺎﻟﻚ ﯾﻮم اﻟﺪﯾﻦ‬. Dengan demikian, menurut kelompok ini
musibah yang menimpa manusia di dunia ini bukan akibat dosa manusia.
Kelompok kedua berpendapat, musibah di dunia dapat menimpa siapa saja baik
orang zindiq atau orang yang telah berbuat baik. Bahkan menurut kelompok ini,
terkadang orang saleh dan bertakwa lebih banyak mendapat musibah dibanding-
kan orang yang berdosa. Dengan demikian kelompok kedua ini sependapat
dengan kelompok yang pertama bahwa musibah yang terjadi di dunia bukan
akibat perbuatan dosa dan bukan sebagai siksaan di dunia. Sedangkan kelompok
ketiga berpendapat bahwa dunia sebagai tempat pembebanan (dar al-taklif) dan
juga pembalasan (dar al-jaza’). Namun ketika ada yang mengatakan bahwa
musibah di dunia ini sebagai pembalasan akibat dosa yang telah lalu, maka hal ini
berdasarkan hadis Nabi “Tidak akan ditimpa musibah seseorang kecuali karena
berdosa”. Jadi musibah yang menimpa bagi para nabi dan para wali itu bukan
_____________
12
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, 38-40
13
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur an al-‘Azhim, juz. 4, 116
14
Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, 173

Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013 145


berarti siksaan, melainkan ujian dari Allah. Dengan demikian, musibah itu hanya
menimpa manusia yang sudah dewasa, tidak termasuk binatang atau anak kecil
karena mereka tidak kena beban syari’at.15
Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, ayat di atas dikhususkan bagi orang
yang berdosa, karena terjadinya musibah akibat dari perbuatan orang-orang yang
berdosa. Adapun orang yang tidak berdosa seperti para nabi, anak-anak dan bayi
yang masih dalam kandungan, apabila mereka tertimpa musibah maka hal itu se-
bagai pengganti dari ke-Maha-Pemaafnya Allah dan kemaslahatan bagi mereka.16
Quraisy Shihab mengatakan musibah yang menimpa manusia kapan dan
dimana pun terjadinya, maka itu adalah disebabkan oleh perbuatan manusia
sendiri yakni dosa dan kemaksiatan yang telah dilakukan, paling tidak disebabkan
oleh kecerobohan atau ketidakhati-hatian. Musibah yang dialami manusia hanya-
lah akibat sebagian kesalahan manusia, karena Allah tetap melimpahkan rahmat-
Nya kepada manusia dan Allah memaafkan banyak kesalahan manusia. Sehingga
kesalahan itu tidak mengakibatkan musibah atas diri manusia. Seandainya
pemaafan itu tidak dilakukan-Nya, maka pasti manusia semua binasa bahkan tidak
akan ada satu binatang melata pun di muka bumi ini.17
Menurut Quraisy Shihab, walaupun ayat di atas dari segi konteksnya ter-
tuju pada kaum musyrik Makkah, tetapi dari segi kandungannya tertuju kepada
seluruh manusia baik perorangan maupun kolektif, kapan dan dimana pun, baik
mukmin atau pun kafir.18 Lebih lanjut Quraisy Shihab mengatakan bahwa ayat ini
menggaris-bawahi adanya musibah atau hal-hal negatif yang dijatuhkan Allah
menimpa manusia dalam kehidupan dunia ini sebagai sanksi atas pelanggaran
mereka. Namun demikian bisa saja ada pelanggaran yang ditangguhkan sanksinya
di akhirat nanti. Sebagaimana ada juga yang dicukupkan di dunia dan ada yang
ganjarannya di terima di dunia sebagai muqaddimah dari sanksi ukhrawi.
Di akhir ayat di atas, Allah berfirman ‫ وﯾﻌﻔﻮﻋﻦ ﻛﺜﯿﺮ‬berarti Allah memaafkan
banyak kedurhakaan, sehingga tidak dijatuhkan sanksi duniawi. Pemaafan ini ber-
kaitan dengan kehidupan duniawi. Itu sebabnya sekian banyak yang melakukan
pelanggaran masih hidup nyaman dan terlihat bahagia. Mereka itulah yang di-
maafkan, yakni yang ditangguhkan Allah siksanya dalam kehidupan dunia ini.
Bisa juga pemaafan ini mencakup pemaafan duniawi dan ukhrawi.19

C. Surat al-Baqarah: 156


          
“(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna
lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun”. (QS. al-Baqarah: 156)
Menurut al-Maraghi, musibah adalah semua peristiwa yang menyedihkan
seperti meninggalkan seseorang yang dikasihi, kehilangan harta benda atau pe-
nyakit yang menimpa baik ringan atau berat. Ketika ditimpa cobaan, hendaklah
bersabar dan sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yakni
orang-orang yang mengatakan perkataan tersebut sebagai ungkapan rasa iman
_____________
15
Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 27, 173
16
Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995), 219
17
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mihsbah, 503
18
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, 504
19
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, 505-505

146 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an


dengan kodrat kepastian Allah. Sabar bukannya bertentangan dengan perasaan
sedih ketika datang suatu musibah. Sebab perasaan sedih ini merupakan perasaan
halus yang ada secara fitri pada diri manusia normal.20
Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat di atas, mengutip beberapa hadis
Nabi. Hadis yang diriwayatkan oleh Ummu Salamah, ia berkata “Pada suatu hari
Abu Salamah pulang ke rumah dari majlis Nabi dan berkata “Aku mendengar
Nabi bersabda yang sangat menyenangkan hatiku: “Tiada seorang muslim yang
ditimpa musibah, kemudian ia membaca “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”, lalu
membaca “Ya Allah berilah pahala bagiku dalam musibahku ini dan gantikanlah
untukku yang lebih baik darinya, melainkan akan diganti oleh Allah”. 21
Menurut al-Razi makna ‫ اﻧﺎ ﻟﻠّﮫ‬pada ayat di atas adalah adanya keikhlasan
menerima segala sesuatu yang diturunkan oleh Allah dari semua cobaan dan ujian,
sedangkan makna ‫ اﻟﯿﮫ رﺟﻌﻮن واﻧﺎ‬adalah adanya keikhlasan menerima segala sesuatu
berupa cobaan dan ujian yang akan terjadi kemudian dengan harapan mendapat-
kan pahala dari Allah.22 Al-Razi juga mengutip beberapa hadis Nabi dalam me-
nafsirkan ayat di atas, diantaranya adalah Nabi bersabda “Barangsiapa me-
ngembalikan kepasrahan ketika terkena musibah, maka Allah akan menggantinya,
menjadikannya baik akibatnya dan menjadikan orang yang saleh yang diridhai
Allah”.

D. Surat Ali Imran: 165


                  

   


“Dan mengapa ketika kamu ditimpa musibah (pada peperangan Uhud), padahal
kamu telah menimpakan kekalahan dua kali lipat kepada musuh-musuhmu (pada
peperangan Badar), kamu berkata: “Dari mana datangnya (kekalahan) ini?”
Katakanlah: “Itu dari (kesalahan) dirimu sendiri”. Sesungguhnya Allah Maha
Kuasa atas segala sesuatu”. (QS. Ali Imran: 165)
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa Umar bin Khattab berkata
bahwa menderitanya orang-orang dalam perang Uhud akibat perbuatan mereka
mengambil fida’ di Perang Badar. Pada waktu perang uhud, ada 70 sahabat yang
syahid, sebahagian lagi lari bercerai berai bahkan gigi Nabi patah, topi besinya
pecah, sehingga berlumuran darah di mukanya. Allah menurunkan ayat tersebut di
atas sebagai peringatan bahwa penderitaan tersebut akibat perbuatan mereka
sendiri.23
Maksud musibah pada ayat di atas adalah kekalahan pasukan muslimin
dalam perang Uhud. Musibah itu merupakan imbalan bagi kekalahan pasukan
musyrikin dalam perang Badar yaitu 70 orang terbunuh dan 70 orang tertawan.
Allah menerangkan bahwa mereka tidak perlu mencari sebab-sebab kekalahan itu,
karena itu semuanya disebabkan kesalahan yang telah dilakukan oleh regu

_____________
20
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 1, 206-207
21
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 8
22
Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 4, 2
23
Abi Hasan Ali bin Ahmad al-Wahidi, Asbab al-Nuzul (Beirut: al-Maktabah al-
Saqafiyah, 1989), 73; lihat juga Nurcholish, Asbabun Nuzul (Surabaya: Pustaka Anda, 1997), 119

Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013 147


pemanah dengan meninggalkan pos strategisnya, walaupun diperintahkan oleh
Nabi untuk tetap bertahan di tempat meski dalam keadaan bagaimanapun.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Zamaksyari mengutip QS. Ali Imran: 152
yang menjelaskan tentang sebab-sebab terjadinya kekalahan dalam perang Uhud.
Allah memenuhi janjinya ketika kaum muslimin membunuh orang-orang kafir
sampai dengan kaum muslimin mendurhakai perintah Nabi sehingga terjadi
kekalahan dalam peperangan. Ada pun firman Allah ‫ ﻗﻞ ھﻮ ﻣﻦ ﻋﻨﺪ أﻧﻔﺴﻜﻢ‬maksudnya
bahwa terjadinya musibah berupa kekalahan dalam perang Uhud itu disebabkan
kesalahan kaum muslimin sendiri dengan meninggalkan pos yang ditugaskan oleh
Rasulullah.24

E. Surah al-Nisa: 62
              

 
“Maka bagaimana halnya apabila mereka (orang-orang munafik) ditimpa sesuatu
musibah disebabkan perbuatan tangan mereka sendiri, kemudian mereka datang
kepadamu sambil bersumpah: “Demi Allah, kami sekali-kali tidak menghendaki
selain penyelesaian yang baik dan perdamaian yang sempurna”. (QS. al-Nisa: 62)
Menurut riwayat al-Tabrani dari Ibnu Abbas, asbab al-nuzul ayat ini
adalah karena ada seorang pendeta Yahudi yang bernama Abu Barzah al-Aslami
menjadi hakim, untuk memberi keputusan pada hal-hal yang dipersengketakan,
dan didatangi pula oleh orang-orang musyrikin untuk menyelesaikan masalah
yang menjadi persengketaan, maka turunlah ayat ini.25 Al-Maraghi menafsirkan
bahwa ayat di atas menggambarkan bagaimana keadaan orang munafik yang
menjadikan hakim selain Nabi dengan alasan untuk kebaikan di dalam mu’amalah
dan tercapainya kesepakatan antara mereka dengan musuh-musuhnya dengan cara
mengambil manfaat. Namun ketika mereka tertimpa musibah, mereka kembali
menjadikan Nabi sebagai hakim mereka padahal mereka hanya menipu.26
Ibnu Katsir lebih tegas mengatakan bahwa Allah mencela orang-orang
munafik. Mereka terpaksa datang kepadamu, disebabkan musibah yang menimpa
mereka, akibat dosa-dosa mereka dan mereka bersumpah untuk membenarkan
tindakan mereka berhakim kepada thaghut. Namun mereka sebenarnya melakukan
itu bukan dari hati mereka dan bukan karena percaya akan kebenaran hakim-
hakim, tetapi hanya sekedar berpura-pura.27 Sedangkan menurut Quraisy Shihab,
ayat ini merupakan gambaran tentang sifat dari orang munafik ketika mereka
ditimpa musibah dan dapat juga dipahami dalam arti ancaman terhadap mereka
saat bencana menimpa.28

_____________
24
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 1, 427
25
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, juz. 1, 519
26
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 2, 77
27
Ibnu Katsir, Tafsir al-Quran al-‘Azhim, juz. 1, 519
28
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, 467

148 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an


F. Surat al-Nisa: 72
                
“Dan sesungguhnya di antara kamu ada orang yang sangat berlambat-lambat (ke
medan pertempuran). Maka jika kamu ditimpa musibah ia berkata” sesungguhnya
Tuhan telah menganugerahkan nikmat kepada saya karena saya tidak ikut ber-
perang bersama mereka”. (QS. al-Nisa: 72)
Menurut penulis, kata musibah pada ayat di atas mengandung pengertian
kekalahan atau terbunuh (dikarenakan konteks ayat sesuai dengan keadaan pe-
perangan). Menurut Ibnu Katsir, Allah menggambarkan sikap orang-orang
munafik yang enggan ikut berperang. Bila terjadi musibah dan kerugian seperti
jatuhnya korban dan kekalahan dalam perang yang mereka tidak ikut, mereka
berkata bahwa Allah telah memberi karunia kepada mereka dengan tidak ikut
berperang. Padahal muslim yang wafat di medan perang adalah syahid dan
disediakan bagi mereka pahala yang besar atas kesabaran dan pengorbanan
mereka. Akan tetapi jika kaum muslimin menang dan memperoleh ghanimah
(harta rampasan perang) mereka berkata “Alangkah beruntungnya andaikata kami
bersama-sama, niscaya kami akan mendapat bahagian dari kemenangan dan
ghanimah yang diperoleh itu.29
Quraisy Shihab mengatakan, ayat di atas menggambarkan sikap orang
munafik saat panggilan jihad, mereka melambat-lambatkan bahkan berat hati jika
diajak ke medan perang. Bahkan mendorong orang lain untuk ikut jejak mereka
agar tidak ikut berjuang karena kelemahan iman mereka. Lebih lanjut Quraisy
Shihab mengatakan ayat ini merupakan kecaman, sekaligus menggambarkan sikap
aneh dari orang-orang munafik, pada saat orang beriman gagal, mereka bersyukur
pada saat kaum muslimin berhasil, mereka sedih. Ketika itu mereka mengucapkan
kata-kata yang sebenarnya sungguh aneh, keadaan mereka dan ucapan itu sama
dengan ucapan orang yang tidak pernah ada hubungan pergaulan yang mestinya
akrab, harmonis dan penuh kasih sayang dengan orang-orang yang beriman.30

G. Surat al-Hadid: 22
                  

   


“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi ini dan (tidak pula) pada dirimu
sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauh mahfudz) sebelum kami
menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”.
(QS. al-Hadid: 22)
Ibnu Katsir mengutip riwayat dari Ibnu Jarir al-Thabari dari Ya’qub dari
Ibnu ‘Aliyah dari Manshur bin Abdurrahman, dia berkata: “Saya duduk bersama
Hasan, ketika Hasan ditanya oleh seseorang tentang ayat di atas, maka Hasan
menjawab, bahwa siapakah yang ragu tentang hal ini, bahwa tiap kejadian
musibah yang terjadi diantara langit dan bumi semua telah ditentukan sebelumnya
oleh Allah. Apakah musibah itu berupa kekurangan hasil makanan, tanaman atau
_____________
29
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 1, 524
30
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 2, 482

Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013 149


yang menimpa manusia pada dirinya dan keluarganya. Dalam hadis diterangkan
“Tiada seseorang yang ditimpa musibah terkena duri, terkilir, atau sakit di dalam
urat melainkan semua itu disebabkan oleh dosa yang dilakukannya, sedang yang
dimaafkan oleh Allah jauh lebih banyak.31
Al-Maraghi menafsirkan ayat di atas bahwa setelah Allah menerangkan
bahwa kenikmatan dunia ini akan sirna dan binasa dan kebaikan maupun
keburukan yang ada padanya tidaklah kekal, maka dilanjutkan dengan
menyatakan remehnya musibah-musibah yang menimpa orang-orang mukmin.
Karena musibah-musibah itu merupakan kebahagiaan dan ketentraman jiwa
mereka. Tanpa musibah tersebut, maka mereka akan mengalami kesengsaraan dan
penderitaan. Oleh karena itu, tidak sepatutnya mereka bersedih atas apa yang
luput dari mereka dan tidak perlu bersenang-senang dengan kelezatan dunia yang
fana ini.32
Menurut Quraisy Shihab, ayat di atas mengingatkan agar manusia jangan
terlalu risau dengan apa yang mungkin dibisikan syaithan menyangkut dampak
negatif dari berinfak dan berjuang. Musibah sebenarnya mencakup segala sesuatu
yang terjadi, baik positif maupun negatif, baik anugerah maupun bencana. Tetapi
kata tersebut populer digunakan untuk makna bencana. Bahkan Quraisy Shihab
mengatakan ayat diatas bisa saja dipahami dalam pengertian umum yakni selain
bencana, karena memang Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.33

H. Surat al-Taghabun: 11
                  
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin
Allah; dan barang siapa yang beriman kepada Allah, niscaya dia akan memberi
petunjuk kepada hatinya dan Allah mengetahui segala sesuatu”. (QS. al-
Taghabun: 11)
Menurut al-Maraghi, musibah adalah sesuatu yang mengenai dan menimpa
manusia berupa kebaikan dan keburukan. Dan diharapkan bagi manusia untuk
bersungguh-sungguh dan bekerja, kemudian ia tidak perlu menghiraukan apa yang
dilakukan terhadap dirinya, karena dia tahu bahwa yang demikian itu di luar
kesanggupannya, tidak akan menyulitkan dan tidak akan menyusahkannya. Orang
mukmin mempunyai dua kewajiban, pertama berusaha dan mencurahkan tenaga
untuk mendatangkan kebaikan dan menolak bencana semampunya. Kedua,
bertawakkal kepada Allah, karena yakin bahwa segala sesuatu itu terjadi menurut
qadha dan qadar-Nya. Sehingga tidak bersedih dan susah jika terjadi keburukan
dan tidak pula berkepanjangan dalam kesenangan jika terjadi kebaikan.34
Dalam ayat ini Ibnu Katsir berpendapat bahwa Allah menyatakan tiada
sesuatu yang terjadi di alam ini melainkan dengan kehendak dan kekuasaan Allah.
Siapa yang beriman kepada Allah pasti rela pada putusan Allah. Dengan iman
itulah hati akan mendapatkan ketenangan, karena ia telah yakin bahwa yang
dikehendaki tidak akan terjadi.35 Dalam riwayat Muslim, Nabi bersabda:
_____________
31
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, 313-314
32
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 9, 438
33
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, 43
34
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 10, 126-127
35
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 4, 375

150 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an


“Sungguh mengagumkan keadaan mukmin itu karena semuanya mengandung
kebaikan, apabila ia mendapat kenikmatan, maka ia bersyukur dan hal itu baik
baginya dan apabila ditimpa kesengsaraan, maka ia bersabar dan itu baik pula
baginya”.36
Dalam Tafsir al-Razi ada beberapa pendapat ulama tentang maksud dari
lafaz ‫ ﻗﻠﺒﮫ ﯾﮭﺪ‬pada ayat tersebut. Ibnu Abbas menafsirkan potongan ayat tersebut
dengan menyelamatkan karena perintah Allah. Para ulama ahl al-ma’ani meng-
artikannya dengan bersyukur ketika mendapatkan kelapangan dan bersabar ketika
terkena musibah. Sedangkan al-Zujaj memaknainya dengan ketenangan.37 Pen-
dapat lain mengatakan makna ‫ ﻗﻠﺒﮫ ﯾﮭﺪ‬adalah istirja’ kepada Allah ketika ditimpa
musibah, sedangkan menurut Mujahid adalah dengan bersabar.38
Sebelum ayat di atas, Allah berfirman mengancam kaum kafir dengan
siksa neraka. Menurut Quraisy Shihab, para ulama berpendapat bahwa ketika itu
kaum musyrikin berkata: “Jika kaum muslimin berada dalam kebenaran tentu
Allah tidak akan menjatuhkan bencana atas mereka, termasuk bencana yang
terjadi melalui upaya kaum musyrikin. Untuk menyingkirkan keresahan itu, ayat
di atas menyatakan bahwa seseorang tidak menimpa satu musibah pun berkaitan
urusan dunia atau agama kecuali atas izin Allah. Siapa yang kufur kepada Allah,
maka dia akan membiarkan hatinya dalam kesesatan dan siapa yang beriman
kepada Allah dan percaya bahwa tidak ada yang terjadi kecuali atas izin-Nya.
Sehingga ia akan semakin percaya, serta tabah dan rela atas musibah yang
menimpanya sambil mencari sebab-sebabnya dan semakin meningkat pula amal
baiknya. Allah Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, karena itu hendaklah manusia
bersabar menghadapi aneka cobaan serta lakukan introspeksi dan taat kepada
Allah di setiap tempat dan waktu dan taat kepada Rasul dalam segala hal yang
diperintahkan.39

I. Surat al-Maidah: 106


             

              

                 

      


“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi
kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh
dua orang yang adil di antara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan
kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya
kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah),
lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu:
_____________
36
Abu Husain Muslim bin Hajjaj al-Qusyairi al-Nisaburi, Shahih Muslim, juz. 4 (ttp: Dar
al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.), 2295
37
Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 30, 27
38
Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf, jil. 4, 537
39
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 14, 274-275

Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013 151


“(Demi Allah) kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit
(untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat dan tidak (pula) kami
menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah
termasuk orang-orang yang berdosa”. (QS. al-Maidah:106)
Dalam riwayat dikemukakan, asbab al-nuzul ayat di atas adalah karena
dua orang Nasrani bernama Tamim al-Dairi dan Adi bin Bada sering pulang pergi
ke Syam berdagang sebelum mereka masuk Islam. Ikut bersama mereka seorang
maula dari Bani Salim yang bernama Badil bin Abi Maryam yang juga membawa
dagangan serta membawa bejana yang dibuat dari perak. Di perjalanan Badil bin
Abi Maryam sakit dan ia berwasiat kepada kedua orang itu agar harta pusakanya
disampaikan kepada ahli warisnya. Namun mereka tidak melaksanakan amanah
tersebut.
Setelah Tamim masuk Islam, ia merasa berdosa dari perbuatannya, lalu
mendatangi ahli waris Badil dan mengaku serta menyerahkan uang sebanyak lima
ratus dirham dan sisanya lima ratus dirham ada pada kawannya (Adi bin Bada).
Maka berangkatlah ahli warisnya itu beserta Adi menghadap Nabi. Lalu Nabi
minta bukti-bukti tuduhan terhadap Adi, tetapi mereka tidak dapat memenuhinya.
Kemudian Nabi menyuruh mereka menyumpah Adi dan ia pun bersumpah, maka
turunlah ayat ini.40 Pada ayat sebelumnya, Allah mengingatkan bahwa kepada-
Nyalah tempat kembali dan pada hari kiamat akan ada penghisaban/perhitungan
dan pembalasan atas amal. Ayat ini Allah memberikan petunjuk supaya berwasiat
sebelum meninggal dan harus diadakan persaksian terhadap wasiat itu, sehingga
tidak hilang dari orang yang berhak menerimanya.
Kata-kata minkum pada ayat di atas menurut al-Maraghi berarti di antara
kaum mukminin atau kesaksian dua orang lainnya bukan dari kaum muslimin, jika
kalian dalam keadaan bepergian, lalu terkena bahaya dan melihat tanda-tanda
kematian kalian, sedang kalian ingin berwasiat. Tidak diragukan lagi, di dalam
ayat ini tersirat anjuran untuk menguatkan wasiat dan memberikan kesaksian
terhadapnya.41 Ayat ini mengandung hukum yang sangat berharga. Ada pendapat
bahwa hukum ayat ini mansukh, tetapi kebanyakan ulama berpendapat bahwa
hukum ini tetap muhkam, karena jika itu ada yang berpendapat mansukh harus
menjelaskan buktinya, demikian pendapat Ibnu Jarir.42
Ibnu Zaid sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir mengatakan bahwa ayat
ini diturunkan berkaitan dengan adanya seseorang yang akan meninggal dunia
sementara di sampingnya tidak ada orang Islam. Sementara Ibnu Mas’ud ketika
ditanya mengenai ayat ini mengatakan bahwa ayat itu mengenai seorang musafir
membawa hartanya tiba-tiba akan mati, maka jika mendapatkan dua orang
muslim, diserahkan kepadanya hartanya dan dipersaksikan oleh kedua orang yang
adil dari kaum muslimin.43

_____________
40
Nurcholis, Asbab al-Nuzul, 221-222
41
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 3, 39-40
42
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, 113
43
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, 113

152 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an


J. Surah al-Taubah: 50
              

  


“Jika kamu mendapatkan sesuatu kebaikan, mereka menjadi tidak senang
karenanya, dan jika kamu ditimpa oleh sesuatu bencana, mereka berkata: “Se-
sungguhnya kami sebelumnya telah memperhatikan urusan kami (tidak pergi ber-
perang) dan mereka berpaling dengan rasa gembira”. (QS. al-Taubah: 50)
Menurut al-Maraghi kebaikan adalah sesuatu yang apabila tercapai akan
menyenangkan jiwa, seperti harta rampasan perang, dan kemenangan, sebagai-
mana yang diperoleh dalam perang Badar. Hal itu membuat orang-orang kafir ber-
duka cita, karena sangat dengki dan benci kepada umat Islam. Jika ditimpa ke-
susahan seperti bercerai-berainya pasukan sebagaimana terjadi dalam perang
Uhud, maka dengan membanggakan pikiran dan memuji perbuatannya, mereka
berkata “Kami telah mendapatkan kepentingan kami dengan memerintahkan
supaya berhati-hati, yang merupakan kebiasaan kami ketika kami tidak turut
berperang dan tidak menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan”. Mereka me-
ninggalkan tempat ketika kata-kata itu dilontarkan, dengan rasa gembira di atas
penderitaan orang lain.44
Menurut riwayat Ibnu Abi Hatim dari Jabir bin Abdullah bahwa kaum
munafik yang menyelusup ke Madinah menyebarkan berita buruk tentang Nabi
dan para sahabatnya. Mereka mengatakan bahkan kaum mukminin mendapatkan
kesusahan dalam perjalanannya dan binasa. Namun kemudian sampai berita
tentang kedustaan berita mereka dan selamatnya Nabi beserta para sahabat. Akhir-
nya mereka menerima akibat yang buruk, lalu Allah menurunkan ayat ini.45
Allah memberitahu Nabi Muhammad tentang rasa dengki dan permusuhan
orang-orang munafik terhadap dirinya, sehingga bila Nabi mendapat kebaikan dan
karunia seperti kemenangan dalam suatu peperangan, maka mereka tidak senang
dan merasa jengkel. Tetapi sebaliknya bila ditimpa musibah dan hal-hal yang
buruk seperti kekalahan dalam suatu peperangan, mereka menyambut peristiwa
itu dengan suka ria dan gembira. Allah memberi petunjuk bagaimana menghadapi
sikap kaum munafik dan memerintahkan agar Nabi menjawab pertanyaan-
pertanyaan mereka itu dengan mengatakan “Sekali-kali tidak ada sesuatu yang
akan menimpa diri kami selain apa yang telah ditetapkan dan ditakdirkan oleh
Allah. Dialah pelindung kami dan hanya kepada-Nya kami dan orang-orang
mukmin bertawakal.46
Quraish Shihab menafsirkan ayat di atas dengan mengutip pendapat al-
Biqa’i. Ayat ini merupakan penjelasan mengapa neraka jahannam meliputi
mereka. Apapun hubungan yang dipilih yang jelas adalah hati kecil mereka tidak
senang jika Nabi menang dalam peperangan bahkan jika suatu kebaikan menimpa
Muhammad, mereka tidak senang karena adanya kedengkian dalam jiwa mereka.
Dan jika suatu bencana menimpa seperti ketika terjadi perang Uhud, mereka
berkata: “Sesungguhnya kami, sebelum jatuhnya musibah ini telah mengambil

_____________
44
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, 110
45
Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, jil. 4, 110
46
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, juz. 2, 370

Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013 153


ancang-ancang menyangkut urusan kami sehingga kami tidak taat kepadanya dan
tidak mengikutinya pergi berperang. Dan mereka terus menerus berpaling menuju
tempat mereka dalam keadaan gembira, akibat musibah yang menimpa Nabi serta
keterhindaran mereka.47

Balasan bagi yang Mendapatkan Musibah


Menurut Muhammad Yusuf ada lima kelebihan bagi orang yang ditimpa
musibah yaitu dapat mengangkat derajatnya, menghapus keburukan, ditanamkan
jiwa yang ikhlas, mendidik muslim supaya gigih dalam berdakwah dan mendapat-
kan syurga.48 Dalil-dalil yang menyebutkan tentang diangkatnya derajat manusia
yaitu QS. al-An’am: 165, Allah berfirman;
              

       


“Dan dialah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia me-
ninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk
mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu
amat cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. (QS. al-An’am: 165)
Al-Razi menafsirkan lafaz ‫ درﺟﺎت ﺑﻌﺾ ﻓﻮق ﺑﻌﻀﻜﻢ رﻓﻊ‬yaitu dimaknai dengan
kemuliaan, akal, harta, jabatan dan rizki. Kesemuanya itu tidak ada gunanya jika
manusia lemah, bodoh dan pelit karena pada intinya apa yang dianugerahkan
Allah itu merupakan ujian bagi manusia.49 Sebagaimana diriwayatkan oleh
Aisyah, Nabi bersabda: “Tidak ada yang menimpa seorang mukmin yang tertusuk
duri atau yang lebih dari itu, kecuali dinaikkan derajatnya oleh Allah dan dihapus
kesalahan-kesalahannya.50 Kelebihan lain yaitu menghapus keburukan manusia,
hal ini sesuai dengan sabda Nabi, “Tidak ada satu cobaan yang menimpa muslim,
seperti sakit, kesusahan, kesedihan, kecemasan, sekalipun musibah itu hanya ter-
tusuk duri, melainkan Allah menghapus dosa-dosanya.51
Kelebihan selanjutnya adalah merupakan penyebab masuk syurga, ber-
dasarkan firman Allah, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk Syurga,
padahal belum datang kepadamu cobaan, sebagaimana halnya orang-orang
terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa oleh mala petaka dan kesengsaraan,
serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan), sehinga berkata rasul dan
orang-orang yang beriman bersamanya: “Bilakah datangnya pertolongan Allah?”
Ingatlah sesungguhnya pertolongan Allah itu amat dekat”. (QS. al-Baqarah: 214).
Balasan Allah akan diberikan kepada manusia yang lulus dalam menghadapi
musibah adalah memperoleh kasih sayang, rahmat dan hidayah Allah.

_____________
47
M. Quraisy Shihab, Tafsir al-Mishbah, vol. 5, 583
48
Muhammad Yusuf, al-Insan baina al-Sarra wa al-Dharra fi Taswir al-Qur’an al-Karim
(Kairo: Dar al-Salam, 2002), 127-128
49
Al-Razi, Tafsir al-Razi, juz. 7, 31
50
Imam Muslim, Shahih Muslim, juz. 2, 427
51
Imam Muslim, Shahih Muslim, 428

154 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an


Kesimpulan
Kata mushibah merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab yang sudah
diindonesiakan menjadi musibah, yang mempunyai arti sesuatu yang dibenci atau
tidak disenangi. Sedangkan menurut istilah, musibah adalah sesuatu yang me-
nimpa pada perorangan maupun komunitas baik secara tiba-tiba atau bertahap
yang bersifat positif maupun negatif. Sebab-sebab terjadinya musibah adalah
sebagai sunnatullah atau fenomena alam dan musibah karena kesalahan moral
manusia sendiri. Tujuan ditimpanya musibah adalah untuk revitalisasi alam
(tajdid al-‘alam) dan untuk memperbaiki moral manusia. Sikap yang harus di-
gunakan ketika menghadapi musibah ialah sikap istirja’ (yaitu mengembalikan
segala sesuatunya kepada Allah), bersabar atau tabah hati dan bertawakkal.

Al-Mu‘ashirah Vol. 10, No. 2, Juli 2013 155


DAFTAR PUSTAKA

Al Qur’anul Karim

Al-Andalusi, Muhammad bin Yusuf al-Syahir bi al-Hayyan. Al-Bahr al-Muhith fi


al-Tafsir, juz. 21. Beirut: Dar al Fikr, tt.

Al-Ashfahani, Raghib. Mu’jam Mufradat al fazh al Qur’an. Beirut: Dar al-Fikr, tt.

Ibnu Katsir. Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim. Madinah: Maktabah al-Ulum wa al-


Hikam, 1993

Ibnu Manzhur. Lisan al-Arab. Mesir: al-Mu’asarah al-Misriyaah al-‘Ammah li


Ta’lif wa al-Naba wa al-Nashr, tt.

Al-Maraghi, Ahmad Mustofa. Tafsir al Maraghi. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-
Arabi, 1985

Al-Nisaburi, Abu Husain Muslim bin Hajjaj al Qusyairi. Shahih Muslim. Ttp: Dar
al-Ihya wa al-Kutub al-Arabiyah, tt.

Nurcholish, Asbabun Nuzul, Surabaya: Pustaka Anda, 1997

Al-Razi, Muhammad Fakhruddin. Tafsir al-Razi. Beirut: Dar al Fikr, tt.

Shihab, M. Quraisy. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2002

Team Penulis, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1988

Al-Wahidi, Abi Hasan Ali bin Ahmad. Asbab al-Nuzul. Beirut: al-Maktabah al-
Tsaqafiyah, 1989

Yusuf, Muhammad. Al-Insan baina al-Sarra wa al-Dadharra fi Taswir al-Qur’an


al-Karim. Kairo: Dar al-Salam, 2002 M

Al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, 1995

156 Andri Nirwana. AN: Musibah dalam Perspektif al-Qur’an

View publication stats

You might also like