Professional Documents
Culture Documents
Gambaran Pasien Koledokolitiasis DI Bagian Bedah Digestif Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode JANUARI 2014 Desember 2016
Gambaran Pasien Koledokolitiasis DI Bagian Bedah Digestif Rsup Dr. Hasan Sadikin Bandung Periode JANUARI 2014 Desember 2016
Oleh
Devita Nur Amelia
NIM 4111131047
ABSTRACT
Choledocholithiasis is one of the disease which its incidence has began to increase
and its diagnosed quite difficult since the beginning. Many recent studies have
shown that choledocholithiasis disease is related to age, sex, and laboratory test
especially total bilirubin, alkaline phosphatase and gamma glutamyl transferase.
This study aimed to describe choledocholithiasis disease based on age, sex,
cilinical manifestations, number of stones, laboratory test and its managements
that was conducted in department of digestive surgery Hasan Sadikin Hospital
Bandung period of January 2014December 2016.
This study was a descriptive study using secondary data from medical records
conducted on 50 cases of cholecholithiasis. Choledocholithiasis was most
frequently in the age >40 years old as much as 68% and 60% in female. The main
clinical manifestation was upper right abdominal pain which intermittent and
radiates to right shoulder with jaundice. Most patients with choledocholithiasis
have multiple stones (68%). Laboratory examinations have shown that 16 patients
(32%) have leukositosis, 40 patients (80%) increase of total bilirubin level, 37
patients (74%) increase of alkaline phosphatase enzyme and 43 patients (86%)
increase of gamma glutamyl transferase enzyme. All patients manage by CBD
exploration which 94% done by intraoperative cholangiography.
The conclusion of this study, choledocholithasis widely reported at the age >40
years old, woman, most symptom was upper right abdominal pain which
intermittent and radiates to the back right with jaundice in full body.
Choledocholithiasis most often has multiple stones. Laboratory examinations
marked by leukositosis, increase of total bilirubin level, alkaline phosphatase and
gamma glutamyl transferase. All patients manage by CBD exploration which
most frequently done by intraoperative cholangiography.
Keyword: Choledocholithiasis
2
ABSTRAK
PENDAHULUAN
Penyakit batu empedu saat ini menjadi masalah kesehatan masyarakat karena
frekuensi kejadiannya yang tinggi dan menyebabkan beban finansial maupun
beban sosial bagi masyarakat. Salah satunya, penyakit adanya batu di saluran
empedu atau yang disebut koledokolitiasis.1 Koledokolitiasis sering kali timbul
tanpa gejala atau asimtomatik dan menyebabkan masalah dalam menentukan
diagnosis.1,2 Batu ini dapat menyebabkan obstruksi baik total maupun parsial,
sehingga koledokolitiasis ini dapat membahayakan penderitanya karena
menyebabkan terjadinya komplikasi berupa kolangitis.3
Batu kandung empedu (kolelitiasis) dan koledokolitiasis merupakan penyakit
yang pada awalnya sering ditemukan di negara barat. Prevalensi penyakit batu
empedu di Amerika Serikat mencapai 15%.4 Koledokolitiasis ditemukan pada
314,7% pasien yang mengalami terapi pembedahan kolesistektomi. Prevalensi
batu empedu di Asia berkisar antara 315%.5 Angka kejadian koledokolitiasis di
Indonesia diduga tidak berbeda jauh dengan angka negara lain yang ada di Asia
Tenggara, hanya saja baru mendapatkan perhatian secara klinis, sementara
penelitian koledokolitiasis empedu masih terbatas.6,7
Diagnosis koledokolitiasis cukup sulit dibandingkan dengan penyakit batu
empedu lainnya. Permeriksaan radiologis sederhana pun tidak mudah menentukan
adanya batu pada saluran empedu. Namun untuk membantu diagnosis
koledokolitiasis, tidak ada salahnya untuk dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang seperti laboratorium darah, fungsi hati, dan pemeriksaan radiologis
sebagai pertimbangan diagnosis.8,9
Pemeriksaan laboratorium darah dan pemeriksaan fungsi hati pun dapat
dilakukan dalam membantu diagnosis koledokolitiasis. Dari pemeriksaan
laboratorium darah yang dilakukan pada pasien koledokolitiasis, ternyata
ditemukan pasien yang mengalami peningkatan hitung jumlah leukosit atau
leukositosis. Seperti penelitian yang telah dilakukan di bagian bedah Rumah Sakit
Craiova Romania pada tahun 2011, ditemukan sebanyak 10-20% pasien
koledokolitiasis mengalami leukositosis.9 Sedangkan pada pemeriksaan fungsi
hati, peningkatan kadar enzim alkaline phosphatase disertai peningkatan gamma
glutamyl tranferase (GGT) dapat mengkonfirmasi adanya sumbatan di saluran
empedu. Selain alkaline phosphatase dan gamma glutamyl tranferase (GGT),
kadar bilirubin total memiliki spesifitas tertinggi 87,5% dalam membantu
diagnosis koledokolitiasis. Dari berbagai pemeriksaan fungsi hati yang dapat
dilakukan, hanya gamma glutamyl tranferase, alkaline phosphatase, dan kadar
bilirubin total yang dapat menjadi prediktor independen dan gamma glutamyl
tranferase dapat dijadikan prediktor terkuat dalam membantu diagnosis adanya
sumbatan di saluran empedu.1
IDENTIFIKASI MASALAH
Objek penelitian ini adalah data sekunder yang diambil dari rekam medis pasie
di bagian bedah digestif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung periode Januari 2014
Desember 2016. Metode pemilihan subjek ini adalah total sampling dengan sampe
minimal sebanyak 49 rekam medias pasien koledokolitiasis yang didapat dari
rumus estimasi dengan presisi mutlak. Pengambilan dan pengumpulan data rekam
medis pasien koledokolitiasis diawali dengan melakukan pengecekan jumlah dan
nomor rekam medis pasien koledokolitiasis yang berobat pada periode Januari
2014Desember 2016 di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung, kemudian meminta
rekam medis yang sudah ditentukan tersebut secara satu persatu di bagian instalasi
rekam medis. Data yang sudah didapatkan kemudian dikelompokkan berdasarkan
usia, jenis kelamin, manifestasi klinis, jumlah, hasil laboratorium dan
penatalaksanaan yang dilakukan. Data yang sudah dikelompokkan kemudian
diolah dan dianalisis untuk disajikan sebagai persentase dan analisa dalam bentuk
tabel dan penjelasan deskriptif. Analisis data menggunakan salah satu software
statistic Statistical Product and Service Solution (SPSS) for windows versi 23,0.
Jumlah rekam medis pasien koledokolitiasis yang terdaftar di RSUP Dr. Hasan
Sadikin Bandung periode Januari 2014-Desember 2016 berjumlah 132. Setelah
dilakukan penelitian, ternyata rekam medis yang lengkap dan utuh hanya
82 rekam medis karena 23 rekam medis hilang dan tidak utuh, 25 rekam medis
non-koledokolitiasis dan 2 rekam medis sedang dipinjam namun tidak kunjung
dikembalikan. Dari 82 rekam medis yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 50
5
Berdasarkan Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa kelompok umur tertinggi penderita
koledokolitiasis adalah usia >40 tahun sebanyak 34 orang (68%) dan sisanya
sebanyak 16 orang (32%) mengenai kelompok umur <40 tahun. Hasil ini tidak
jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan di RSUP Dr. Hasan Sadikin
sebelumnya yakni pada tahun 20102011 oleh M. Nuhadi 35,7% kasus terjadi
pada pasien dibawah 40 tahun dan 64,3% terjadi pada pasien diatas 40 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Ju Hyun Oak et al di St. Vincent’s Hospital Korea
tahun 2012 pun memiliki hasil yang serupa, didapatkan rata-rata pasien
koledokolitiasis adalah >40 tahun yakni 59,8 tahun dengan usia paling muda 26
tahun dan paling tua 86 tahun.10 Usia lebih dari 40 tahun merupakan faktor risiko
terjadinya batu empedu ungkap Beckingham.11 Semakin tinggi usia maka semakin
tinggi risiko terjadinya penyakit batu empedu hal ini dapat terjadi karena usia
mempengaruhi perjalanan penyakit dengan meningkatnya sekresi kolesterol
empedu dan menurunnya sekresi asam empedu. Usia itu sendiri juga dapat
meningkatkan saturasi kolesterol empedu dengan peningkatan sekresi kolesterol
sekunder hepatik pada peningkatan kadar HMG Ko-A reduktase, enzim yang
menentukan kecepatan pembentukan kolesterol hati sehingga risiko untuk
menderita koledokolitiasis meningkat dengan bertambahnya usia.11,12
Dari Tabel 4.2 diatas kita dapat mengetahui bahwa pasien yang berjenis
kelamin laki-laki sebanyak 20 orang (40%) dan berjenis kelamin perempuan
sebanyak 30 orang (60%), sehingga didapatkan perbandingan jumlah pasien
6
koledokolitiasis yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan adalah 2:3. Hasil
tersebut rupanya tidak berbeda jauh dengan penelitian yang dilakukan di RSUP
Dr. Hasan Sadikin Bandung sebelumnya pada tahun 20102011, 35,7% mengenai
laki-laki dan 64,3% mengenai perempuan sehingga didapatkan perbandingan 1:2.7
Selain hasil tersebut hampir sama dengan penelitian yang dilakukan pada rumah
sakit serupa, hasil penelitian ini ternyata sama dengan penelitian yang dilakukan
oleh Melo et al di Brazil tahun 2013, didapatkan dari 81 pasien koledokolitiasis
yang diteliti 34 orang laki-laki (40,5%) dan 41 orang perempuan (59,5%)
sehingga didapatkan perbandingan sebesar 2:3.13 Risiko berkembangnya batu
empedu pada perempuan semakin meningkat dikarenakan adanya sekresi hormon
estrogen dan progesteron oleh ovarium pada perempuan. Estrogen memiliki efek
lipolisis terhadap lemak jaringan, hasil dari proses lipolisis yang berupa asam
lemak bebas selanjutnya akan dimobilisasi dalam darah dan akan di metabolisme
pada hati. Lipid hasil metabolisme ini merupkan prekursor dari lipid bilier
(kolesterol dan asam empedu) sendiri.
4.200 sel/mm3 dan tertinggi sebesar 26.500 sel/mm3, dengan standar deviasi
5688,76 sel/mm3. Karena rentang nilai hitung jumlah leukosit cukup luas, maka
dari itu hitung jumlah leukosit pasien koledokolitiasis yang normal belum tentu
tidak mengalami peningkatan hitung jumlah leukosit. Hasil ini tidak jauh berbeda
dengan penelitian yang dilakukan Ramboui pada tahun 2011 bahwa 10-20%
pasien batu empedu yang diteliti mengalami leukositosis. 9 Hal ini disebabkan oleh
sumbatan batu yang terjadi dapat mencetuskan kerusakan jaringan sekitarnya dan
menyebabkan respon inflamasi sehingga kadar leukosit pun meningkat. 3,4
Tidak hanya enzim ALP, enzim GGT pada pasien koleodokolitiasis yang diteliti
pun ternyata mengalami peningkatan. Seperti pada tabel 4.6, gambaran
meningkatnya kadar enzim GGT pada pasien koledokolitiasis ini didukung oleh
nilai tengah yang didapat yaitu 282,50 U/L dengan rata-rata 306,60 U/L. Kadar
enzim GGT terendah pasien didapatkan sebesar 28 U/L dan kadar enzim GGT
tertinggi sebesar 706 U/L dengan standar deviasi 199,89 U/L. Hasil ini ternyata
sama dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Joana Tozzati
melaporkan penelitiannya pada tahun 2015 di Brazil bahwa pasien
koledokolitiasis yang ditelitinya memiliki kadar enzim ALP, GGT dan bilirubin
total yang lebih tinggi dari daripada kelompok kontrolnya.14 Yang et al
melaporkan penelitannya pada tahun 2008 bahwa dari 1.002 pasien yang
menjalani kolesistektomi laparoskopi mengalami peningkatan parameter biokimia
ini, dimana peningkatan parameter biokimia tersebut dapat membantu diagnosis
koledokolitiasis.17 Peningkatan kadar enzim ALP dan GGT biasanya dapat
menkonfirmasi adanya suatu sumbatan diempedu. Pemeriksaan kadar bilirubin
serum, ALP dan GGT memprediksi sekitar 25-40% pasien koledokolitiasis yang
diteliti oleh Desai pada tahun 2009.1 ALP adalah enzim yang dihasilkan oleh hati.
Peningkatan ALP ini dapat terjadi karena ekskresinya terganggu akibat obstruksi
saluran bilier. Sedangkan GGT adalah enzim yang diproduksi di saluran empedu
sehingga meningkat nilainya pada gangguan empedu.3
10
SIMPULAN