You are on page 1of 10
Faktor Risiko Terjadinya Syok pada Infeksi Dengue Anak Di RSUD Panembahan Senopati Bantul Dwi Kartika Sari’, MTS Darmawan* Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia Departemen limu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Istam Indonesia mtsdarmawan@yahoo.co.id Abstract Dengue is a important viral disease for public health issues. Compared lo the 1950s where only nine counties have reported the case, then now is the geographic distribution has included more than 112 countrias in the world, Word Health Organization (WHO) estimates that about 2.5 blfion people on earth have a risk of dengue infection. Most of them hhave symptoms asymptomatic. A large number of cases mentioning that in 2005 there were 50,196 cases of dengue In Indonesia, The distict of Bantu! did not escape from the threat of dengue infection. The main cause of mortalty of dengue virus infection is dengue hemorrhagic fever and dengue shock syndrome. Tho incident af shock is influcnced by severe factors that are aiffeit issue in the treatment of dengue hemorrhagic fever severity. The purpose of this study Is (o identify risk factors the incidence of shock dengue hemonhagic fever patients in chiliran at RSUD Panembahen Sonopat, Bantu. This study use cross-sectional metnod. The samples were collected from children age 1-15 years who were treated af RSUD Panembahan Senopat, Bantu! period January to December 2010 with DHF and DSS. Clinical symptoms and laboratory result are taken from medical record. Univariate analysis using the frequency distribution teble and bivariate analysis using the chi-square test. Skly subjects includ in this study, thity subjects DHF and thity subjects DSS. Using bivariate analysis we found that headache (OR 0,082; Cl 95%: 0,016-0,406), hepatomegaly (OR 6,000: Ci 9596 1,482-24,299) and WBC <4.000/mmk (OR 0,335; Cl 95%: 0,117-0,966) are shock rsk factors in dengue hemorrhagic fever. Conclutlons from this study are headache, hepatomegaly and WAC <4.000/mmk are shock risk factors n dengue hemorrhagic fever. Keywords: DHF, DSS, tincal and laboretory fining, risk factor PENDAHULUAN Pada manusia, infeksi virus Dengue menimbuikan spektrum manifestasi Klinis dan temuan laboratorium yang beragam. Mulai dari Penyekit paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, dengue haemorrhagic fever (DHF) dan demam berdareh dengan disertai syok (dengue shock syndrome = Dss).' Sampai sekarang penyakit OHF masih menjadi masalah Kesehatan di Indonesia. Hal ini didukung oleh data-data berikut : 41). Sejak citemukan kasus DHF pada 1968 di Surabaya dan Jakarta, angka kejadian DHF meningkat dan menyebar ke seluruh daerah kabupaten di wilayah Indonesia. 2) Selama kurun waktu 20-25 tahun, berdasarkan pengamatan yang dilakukan, angka kejadian Ivar biasa (KLB) penyakit DHF diperkirakan terjadi setiap lima tahun dengan angka kematian tertinggi pada tahun 1968 awal pada tahun itu itemukan kasus. DHF dan angka kejadian penyakit tertinggl pada tahun 1988, 3) Vektor penyakit DHF nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus masih banyak dijumpai di witayah Indonesia, 4) Kemajuan teknologi dalam — bidang ‘transportasi disertai mobilitas penduduk yang cepat memudahkan penyebaran ‘sumber penularan dari satu kota ke kota lainnya? DHF telah menjadi masalah Kesehatan bukan hanya di Indonesia tetapi di juga di negara lain di Asia Tenggara. Sejak tahun 2001 sampai 2003, jumiah kasus DHF telah meningkat. Oleh karena itu, Asia Tenggara menjadi wilayah hiperendemis. Infeksi virus Dengue disebabkan oleh satu dari empat serotipe virus Dengue (DEN 1-4). Infeksi Dengue adalah masalah kesehatan ee | | 109, vot. 20 6. sub 20% mayor di negara-negara Asia Tenggara dan Pasitik barat! Ol Indonesia Demam Berdarah Dengue pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Surabaya dan Jakarta, Pada epidemik demam berdarah dengue yang terjadi 1998, sebanyak 47.573 kasus dilaporkan dengan 1.527 kematian. Selama tahun 2004 dilaporkan seliap bulan dengan jumlah 78.690 kasus dengan 954 kemalian (CFR = 1,2 % ). Dalam rentang waktu antara Desember 2004 hingga Februari 2005 dilaporkan sebanyak 10.517 kasus dengan 182 kematian (CFR = 1,73 %) untuk 30 Provinsi. Pada tahun 2005, Indonesia merupakan_kontributor tama kasus demam berdarah dengue di Asia Tenggara (53 %) dengan jumian kasus 95.270 kasus dan 1.298 kematian (CFR = 1,36 %) Jumiah kasus meningkat menjadi 17 % dan kematian 36 % cibanding tahun 2004. Jumiah kasus yang dilaporkan merupakan yang terbesar dalam sejarah demam berdarah dengue di Inconesia.* Pola angka kejadian sakit DHF telah tersebar di berbagai kota kabupaten. Angka kejadian sakit DHF terus meningkat dan pada tahun 1973, 1988, 1998 menunjukkan angka kejadian sakit’ yang terlinggi _sehingga diestimasiken setiap lima tahun terjadi kejadian lar biasa dengan kasus > 10 dan tersebar pada seralus kabupaten. Tetapi apabila kita cermati benar kejadian Ivar biasa penyakit DHF makin tahun makin bergeser dari lima tahun ke tiga tahun ke dua tahun bahkan di daerah yang sangat endemic dapat dijumpai setiap tahun pada bulan-bulan tertentu.? Di Kabupaten Bantul, pada tahun 2006 angka morbiditas penyakit DHF mencapai 26,03. ‘Angka tersebut merupakan angka tertinggi kedua setelah Kota Yogyakarta." World Health Organization (WHO) menyebutkan, DHF ditandai dengan empat manifestasi klinis tama. Manifestesi Klinis tersebut meliputi demam tinggi, fenomena hemoragik, _seting dengan hepatomegali dan, pada kasus berat, terdapat tanda-tanda kegagalan sirkulasi, Pasion DHF dapat mengalami syok hipovolemi« yan diakibatkan olen kebocoran plasma. Syok ini la yang disebut sebagai DSS.° Secara sederhana, dapat dikatakan DS‘ apabila memenuhi seluruh kriteria DHF dai ferjacl Kegagalan sirkulasi. Flushing menjac salah satu Kriteria klinis yang dapat diambil untul diagnosis DHF. WHO 2009" menyebutkan bahwé ushing biasanya menjadi salah satu tanda yane menyetai fase demam pada DHF. Sangat penting untuk memperhatikar potensi berkembangnya DHF menjadi OSS karena DSS memiliki mortalifas tinggi. DSS muncul bila kebocorann plasma terjadi dalam Jumlah yang lebih dari 30% volume darah Sehingga_menyebabkan penderita seolah-olah kekurangan cairan seperti terserang diare. Hal tersebut menyebabkan munculnya tanda-tanda syok seperti nadi cepat, lemah sampai tak teraba dan tersi dapat menurun sampai nol.? Terdapat beberapa faktor yang dapat digunakan untuk meramaikan kejadian DSS pada pasien DHF. Terjadinya limfositosis relatif, dengan adanya limfositosis atipikal, adalah temuan umum sebelum penurunan suhu atau syok! Nyeri abdominal akut adakeh keluhan sering sebelumm awitan syok. Pada kasus-kasus yang berat, nyeri perut akut sering kali dikuti dengan perdarahan gastrointestinal. Gejala nyeri perut ini adalah tanda behaya terjadinya perdarahan gastrointestinal.® Dilaporkan bahwa kejadian hepatomegali ‘meningket seiring dengan bertambah beratnya Penyakit. Meskipun ukuran hepar tidak berhubungan dengan keparahan _penyakit, Pembesaran hepar terjadi lebih sering pada kasus-kasus syok daripada pada kasus non- syok! Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada seba besar penderita DHF. Trombositopenia berat ( <50.000/mmk) — merupakan prediktor bagi terjadinya syok.’ Peningkatan kadar hematokrit yang menunjukkan rembesen plasma selalu —k£= @+;| - ~~ | Owikartka Sar, eT Darmawan, Foltor Risiko terjadi, bahkan pada kasus non-syok. Namun, hal itu lebih banyak terjadi pada kasus syok.” RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini adalah_—_—penelitian observasional deskriptif analitk kategorik tidak berpasangan dengan rancang bangun cross sectional dengan melihat catatan rekam medik penderita-pendertia yang didiagnosis DHF yang memiliki kecenderungan menjadi DSS yang dirawat dari Januari-Desember 2010 di RSUD Panembahan Senopati, Bantul. Populasi target ialah pasien anak yang didiagnosis DHF. Sedangkan populasi terjangkau adalah pasien anak yang terdiagnosis DHF dan telah memasuki fase DSS yang dirawat dari Januari-Desember 2010 di RSUD Panembahan Senopati, Bantul. Sampel yang digunakan disesuaikan dengan jumlah data rekam medis yang tersedia dalam rentang waktu selama Januiari-Desember 2010. Besar sampel dinitung dengan cara pac ZEN ZPO+ 2B /PROTFPIOS)? @1-P2F Za= 1,960 ZB = 0,842 Pt =0,67 P2=0,32 Q1=0,33 02 = 0,68 P=0,495 Q=0,505 Besar sampel yang didapatkan adalah 30 kriteria Inklusi: Pasien yang telah didiagnosis DHF dan DSS Kriteria eksklusi : Pasien DHF dan DSS yang mengalami komplikasi sepsis, ensefalopati dengue, komplikas! dan data rekam medis tidak lengkap Variabel bebas dari peneliian ini metiputi Flushing ‘Trombositopenia berat (< 50.000/mmk) Jumiah sel darah putin < 4000/mmk Peningkatan hematokrit > 45% apge © Hepatomegali (hepar teraba 2-4 em dari margin kosta) .Nyeri abdominal akkut 9. Nyeri kepala fh Perdarahan 1 Mual muntah |}. Nye otot dan senai Variabel terikat dari penelitian ini adalah syok HASIL PENELITIAN Peneliian ini dilakukan di RSUD Panembahan Senopati, Bantul. Terdapat 512 pasien infeksi Dengue pada kurun waktu Januari 2010-Desember 2010. Semua kasus infeksi Dengue di RSUD Panembahan Senopati diberi kode A91, sehingga tidak diketahui berapa total pasien yang DHF dan DSS. Data dari subyek penelitian ini didapatkan 60 pasien. Terbagi menjadi dua kelompok yaitu 30 pasion DHF dan 30 pasien DSS. Data didapatkan dari catatan rekam medik pasien. Lalu pada setiap pasien diambil data berupa nomor rekam medik, nama, janis kelamin, umur, berat badan dan masing-masing hasil pemeriksaan. Pada Tabel 1 di atas untuk Kategori umur didapatkan sebanyak 17 orang (56,7%) yang terdiagnosis DHF berade pada rentang umur 6-10 tehun, Persentase Kedua terjadi pada rentang umur 11-15 tahun sebanyak 11 orang (36,7%) dan diikuti dengan interval umur 1-5 tahun sebanyak 2 (6,7%). Sementara pada kesus DSS, persentase terbesar terjadi pada rentang umur 6- 10 tahun sebanyak 16 orang (53,3%), dlikuti interval umur 11-45 tahun sebanyak 12 orang (40%) dan interval 1-5 tahun sebanyak 2 orang (6.7%). Untuk —kategori_ jens. —_kelamin menunjukkan bahwa terdapat 13 pasien laki-laki (43,3%) dan 17 pasien perempuan (56,7%) telah terdiagnosis DHF. Sedangkan pada penderita yang telah didiagnosis DSS, terdapat sejumiah 19 (63,3%) pasien lakitaki dan 11 (36,7%) pasien perempuan | | 400, vou. 20.6) 200 Untuk Kategori berat badan, terdapat 18 (60%) pasien yang telah terdiagnosis OHF pada rentang 21-40 Kg, Persentase kedua terjadi pada rentang 1-20 Kg sebanyak 9 (30%) pasien Persentase ketiga terjadi pada rentang 41-60 Kg sebanyak 2 (6,7%) pasien dan dilkuti dengan >60 tahun paling banyak mengalami DHF dan DSS. (85%). Persentase terbesar kedua terjadi pada fentang umur 11-15 tahun (38,3%). Persentase paling kecil pada rentang umur 1-5 tahun (6,7%). Penelitian Anders ef a! tahun 2011 imenunjukkan bahwa terdapat kemaknaan secara Tabel 1. Karekteristik Subyek Penelitian fi DHE Dss Variabel a a ¥ ~—— Umar a, 1-Stehun 2 67 2 67, 4 67 b. 6-10 tahun 7 56,7 16 53,3 33 55 c_1-15 tahun 14 36,7 12 40 23 383 ‘Jenis Kelamin a. Lakilaki 13 43,3 19 03,3 32 53,3 b__Perempuan 47 56,7 4 367 28 46,7 ‘Berat Badan a. 4-20Kg 9 30 5 16,7 4 23,3 b, 21-40 Kg 18 60 20 86,7 38 633 cc. 41-60 Kg 2 67 5 16,7 7 447 d, >60K9 1 33 0 0 1 7 Kq sebanyak 1 (3,3%) passion. Sementara pada kasus DSS, persentase terbesar terjadi pada rentang 21-20 Kg sebanyak 20 (66,7%) pasien, diikuti interval berat badan 1-20 Kg sebanyak 5 (16,7%) dan interval 41-60 Kg juga sebanyak 5 (16,7%) pasien, Tidak ada pasien dengan berat badan >60 Kg yang terdiagnosis DSS. Data dari hasil_penelitan yang dikumpulkan tersebut kemudian akan dilakukan analisis statistik. Data-data tersebut dibagi dalam dua kelampok ; DHF dan DSS. Metode analisis yeng digunakan adalah analisis bivariat dengan menggunakan uji chi-square untuk meneari faktor- faktotrisiko terjadinya DSS pada pasien DHF. Berdasarkan table 2 di atas, hasil analisis bivariat dengan uji chi-square didapatkan nyeri kepala dengan nilai_p sebesar 0,000, hepatomegali dengan nilai p 0,007 dan leukosit <4000/mmk. dengan, rilal_p 0,039 merupakan faktortaktor tisiho tetjadinya DSS pada pasien DHF karene:fhemplunyiai nilai kemaknaan p <0,05. PEMBAHASAN Pada penelitian ini, untuk variabel umur, didapatkan jumlah total anak berumur 10-15 statistik antara umur <1 tahun dan rentang umur 6-10 tahun dengan DSS. Rentang umur 1-5 tahun dan 11-15 tahun dinyatakan tidak bermakna secara statistik dengan DSS. Untuk —_katag Jenis —kelamin menunjukkan bahwa terdapat 13 pasien lak-laki (43,3%) dan 17 pasion perempuan (56,7%) telah terdiagnosis DHF. Sedangkan pada penderita yang didiagnosis DSS, terdapat sejumiah 19 (63,%) pasion lakHaki dan 11 (36,7%) pasien perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh Kan, et al’ pada 2004 menyalakan bahwa anak laki-laki lebih banyak yang mengalemi DSS daripada anak perempuan, walaupun hasilnya tidak bermakna secara statistik. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Anders et ai"? terhadap pasien DHF anak di Vietnam menunjukkan hasil yang bermakna antara jenis kelamin _perempuan dengan terjadinya DSS. Teori nutrisi mempengaruhi derajat berat ringan penyakit DHF ini dan ada hubungannya dengan teori imunologi, bahwa pada gizi yang baik mempengaruhi peningkatan antibodi, dan karena ada reaksi antigen-antibodi yang cukup Lk =z .+~- ] om kana Sani, WS Carmawan. Faktor His. baik, maka terjadi inteksi Dengue yeng berat. Jadi gizi tidak mempengaruhi derajat berat ringan ‘Tetapi dari penelitian di Yogyakarta (Sugiyanto et penyakit® al, 1983) dan di Thailand (Thysakom and ojala dan tanda kiinis yang diteliti pada Tabel 2. Analisis Bivariat dengan Uji Chi-square DHF oss No Diagnosis Faakuonl —%—Fiskuar aq —_OR ci98% — pwvalve 1 hyert Kepate Ye 4 a7 2 87 0,082 0,016-0,408 —_0,000° Tidak 16 535 28 933 2 yori Perut Ya 26 86,7 28 933 2,154 0,385-12,764 0,389 Tidake 3 1332 6 3 Nyeri OtotSendt Ya 3 0 0 © 0474 0,360-0623 0076 Tidak a 8 30 100 4 Mua! Muntah Ya 22 ms 17 567 0476 0,181-1.407 0,176 Tidak 8 267 13 43 5 Flushing Ya ° oo oo o ° Tidak 30 100 30 100 6 Patoki Ya 5 1s7 5, 18.7 1000 0,287-3,888 1,000 Tidak 2s 33 25 333 7 Purpura/Ekimosis Ya 7 23 4 10 0,365 0,085-1,576 0,166 Tidak 2B 78727 80 8 Epistaksis Ya 8 wr 3 10 0,308 0.072-1,282 0.095 Tidak 2 733 2 80 8 HematemesisiMelena Ya ° oo 0 0 0 ° Tidak 30 10030 ‘100 10 Hematuria Ya ° oo o 0 0 ° Tidak 30 joo 30 700 11 Perdaranan OtakiKejang Ya ° oo o 0 oO ° Tidak 30 joo 30 100 12 Hepatomeuati Ya 3 0 12 40 6,000 1,482-24,299 0,007" Tidak ar so 18 6 43 Leukosit < 4000/mmi <4.000immi 18 ss 4 38,7 0935 0,117-0,958 0,039" 24.000/mek " 37 18 633 14 Hematokeit > 45% 245% ” ver 18 60 2,891 ost47.342 0,071 45% 19 e312 40 15 Trombosit < 50,000/mmie <50.000mmie 2 767 20 86,7 0608 0,195,897 0,390 3250.000/mmi 7 233 10 33/3, Nimmannitya, 1993), meskipun ada_malnutris penelitian ini yaitu nyeri kepala, nyeri perut, nyeri juga dapat terkena infeksi Dengue yang berat. tot dan sendi, mual-muntah, flushing, peteki, CE [ 440, vou. 210. 6, ues 2010 Purpura dan ekimosis, epistaksis, hematemesis dan melena, hematuria, perdarahan otak atau kejang dan hepatomegali. Hasil analisis bivariat dengan uji chi-square menunjukkan bahwa nyeri kepala (p=0,000) dan hepatomegali (=0,007) Merupaken faktor-faktor risiko terjadinya DSS pada pasien DHF anak karena mempunyai nial kemaknaan p<0,06. Pada penelitian ini, hasil ui) chi-square pada nyeri kepala diperoleh p=0,000, yang berarti terdapat hubungan yang signifikan antara_nyeri kepala dengan DSS. Nyeri kepala merupakan salah salu gejala DHF. Berbeda dengan Penelitian yang dilakukan Tantracheewathorn ef al"? pada tahun 2007, dimana nyeri kepala bukan merupaken faktor risiko DSS. Percobaan inokulasi virus dengue pada manusia pernah dilakukan oleh Cleland and Bradley (1918 dan 1919), Siler et al, (1926) dan Simmons and Reynolds (1831). Simmons and Reynolds (1931) ‘mengamati sebanyak 39 gejala akibat dengue. Gejala yang hampir pasti (ada lebih dari 80%) adalah demam, nyeri kepala, sakit di bolakang bola mata dan nyeri punggung. Artinya, nyeri kepala merupakan salah satu gejala yang pasti ada akibat infeksi dengue.° Hasil ull chi-square untuk nyeri perut tidak bermakna secara statistik (p>0,05), didapatkan =0,989. Namun, yang perlu diperhatikan adalah nitai OR nyeri perut 2,16 (Ik 95% = 0,363-12,764). Hal ini berarti pasien dengan nyeri perut berisiko mengalami syok 2,154 kell bila dibandingkan dengan pasien yang tidak nyeri perut. Penelitian Ramadan pada tahun 2011 yang menyatakan nilai perut bukan merupakan faktor risisko DSS. Juga—peneiitian yang dilakukan Tantracheewathom et al pada tahun 2007 menyatakan nyeri perut bukan faktor risiko DSS. ‘Sedangkan penelitian Kan et al pada tahun 2004 menunjukkan bahwa nyeri perut faktor risiko terjadinya DSS pada pasien DHF anak. Nyeri di daerah abdomen, terutama di daerah epigastrium ialah gejala klinis yang sangat Mmenonjol pada penderita DHF. Hampir semua negara di Asia Tenggara melaporkan gejala ini alam frekuensi yang tinggi, yaitu Vu-Thi-Thoa | Saigon sebesar 12,5% (1966). Goldsmith dkk. « Singapura 26% (1966), Eram dk. di Yogyakart 42,1% (1979). Nyeci abdomen ditemukan pad 47% penderita DHF yang dirawat di Bagian IK) Rumah Sakit Or. Cipto Mangunkusumo padi tahun 1973 (Sumarmo dkk., 1975). Seringkal gejala nyeri abdomen ini menonjol pada anal besar yang menderita DSS, Fabie (1968) mint kewaspadaan akan gejala nyeri perut ini, apalag bila hebat Karena seringkali mendahului terjadinye Perdarahan dalam traktus gastrointestinal. Lim kk. (1968) menganggap gejala ini sebagai suatu canang bahaya yang harus dianggap sebagai Peranda adanya perdarahan gastrointestinal Gejala ini perlu citelit’ sampai dapat dibuktikan tidak terdapatnya perdarahan gastrointestinal.” Nyeri perut_ merupakan gejela yang ditemukan pada sebagian besar kasus DSS Pasien seringkali mengeluh nyeri di daerah perut Sesaat sebelum —syok. Fabie (1966) mengemukakan bahwa nyeri perut_hebat Seringkali mendahului perdarahan _gastro- intestinal, Seringkali sesaat sebelum —syok, Penderita mengeluh nyeri perut, beberapa tampak sangat lemah dan gelisah? Hasil pada peneltian ini menunjukkan ‘yeti otot dan sendi memiliki nilai p=0,076, yang berarti tidak terdapat hubungan yang signifkan antara nyeri otot dan sendi dengan DSS. Hal sefupa juga iperoleh pada —_penelitian sebelumnya yang cilekukan oleh Utami pada tahun 2011. Nyeri otot lebih banyak ditemukan ada pasien Demam Dengue dibandingkan pada asien DHF.° Terdapat empat variabel pada penelitian ‘nl yang akhimya tidak dapat ditelil. Ini cikarenakan pada rekam medik seluruh sampel tidak eda pasien yang mengalami gejala dan tanda tersebut. Empat variabel itu adalah flushing, hematemesis dan melena, hematuria dan Perdarahan otak atau kejang, Flushing biasanya menyertai pada fase demam penyakit DHF. Selain disertai flushing, ada fase demam biasanya juga terdapat eritema LL & ———— Jou i Kult, nyeri otot, nyeri sendi dan sakil kepala Menurut —penelitian yang dilakukan. Darmowandowo dkk, flushing tidak valid untuk dijadikan salah satu parameter Klinis sebagai penanda infeksi virus dengue pada anak? Penelitian Suharti et al" tahun 2009 menyatakan kejang pada pasien OSS. tidak berhubungan dengan terjadinya kematian. Kejang merupakan salah satu manifestasi tak umum. Bentuk kejang halus kadang terjadi selama fase demam pada bay. Kejang ini mungkin hanya kejang demam sederhana, karena cairanb serebrospinal_ditemukan normal pada kasus ini. Penelitian yang dilakukan oleh Suhart et ai? pada tahun 2009 menunjukken bahwa hematuria bukan faktor ristko terjadinya kematian pada pasien DSS. Penelitian yang ditakukan Tantracheewathorn ef al? pada tahun 2007 menyatakan bahwa perdarahan merupakan faktor risiko terjadinya syok pada pasien DHF dengan p=0,003. Yang tergolong perdarahan pada penelitian tersebut adalah ekimosis, perdarahan gusi, epistaksis, hematemesis dan melena. Hematemesis dan melena biasanya imbul bersamaan dengan renjatan atau lebih sering apabila renjatan telah diatasi.” Mual dan muntah pada penelitian ini memiliki nilai p=0,176, yang berart tidak terdapat hubungan yang signifixan antara mual dan muntah dengan DSS, Mual muntah juga bukan merupakan faktor risiko DSS menurut penelitan yang dilakukan Tantracheewathom et ai* pada tahun 2G07. Gejala klinis muntah lebih banyak dialami pasien Demam Dengue daripada DHF Sedangkan untuk gejata klinis mual ditemukan sama banyak antara pasien Demam Dengue dan DHF. Pada peneltian ini, variabel perdarahan kulit berupa petekie dan ekimosis atau purpura sama-sama tidak menunjukkan hubungan yang signifkan dengan DSS, Variabel peteki memilii 1,000 sedangkan ekimosis atau purpura memiliki rilai p=0,166. Hal serupa juga didapatkan pada penelitian sebelumnya yang ivan. Fakion isko dilakukan Utami pada tahun 2011, Penelitian Suharti ef ai? tahun 2009 menyatakan tidak terdapat hubungan antara perdarahan ult dengan kematian pada pasien DSS. Perdarahan spontan berupa peteki, purpura dan ekimosis termasuk salah satu gejala klinis menurut WHO (1986). Peteki halus yang tersebar di anggota gerak, muka, aksila seringkali ditemukan pada masa dini demam, Hasil ji chi-square untuk variabel epistaksis menunjukkan nilai p=0,095 yang berarti tidak terdapat hubungan signifikan dengan. ‘Suharti et a/'* pada tahun 2009 melakukan penelitian tentang faktorrisiko terjadinya kematian pada psien DSS. Hasil__penelitiannya menunjukkan bahwa epistaksis bukan merupakan faktor risiko terjadinya keamtian pada DSS. Pada DHF, perdarahan dapat terjadi pada setiap organ tubuh. Epistaksis termasuk perdarahan yang jarang dijumpai Pada penelitian ini, hepatomegall menunjukkan nilai p=0,007 yang berarti terdapat hubungan yang signifikan dengan DSS. Hasil yang sama juga didapatkan dari penelitian yang diakukan oleh Tantracheewathom et al”? pada tahun 2007, Utami dan Ramadian tahun 2014 Hepatomegali adalah pembesaran _hepar sehingga hepar dapat teraba 2-4 cm dibawah margin kosta, Meskipun ukuran hepar tidak berhubungan dengan keparahan._penyakit, pembesaran hepar terjadi lebih sering pada kasus-kasus syok daripada pada kasus non- syok.” Di dalam tubuh manusia, virus Dengue berkembang biak dalam system retikuloendotelial, dengan target utama virus Dengue adalah APC (antigen presenting cell) dimana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar dapat juge terkena,* Hepatomegali sebagai salah satu patokan untuk memperkuat diagnosis klinis DHF seperti digariskan oleh WHO (1975) dilaporken dar! berbagai_ negara dengan sangat bervariasi Sewaktu terjadi wabah di Filipina pada tahun 1986, persentase hepatomegali iatah 1% (Venzon dkk., 1972), Burma melaporkan 24% (U Thang — | $440, vou. 2 wo. 6, aut 2010 dkk., 1975), Singapura 54-63% (Chan dk 1967), dan angka yang dilaporkan dari Vielnam falah 66% (Halstead dkk., 1985), Dari Yogyakarta dilaporkan persentase hepatomegali sebesar 13% (Soenarto okk., 1977). Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tahun 1973, diantara 180 orang penderita DHF yang diagnosis Klinisnya disokong oleh hasil_pemeriksaan serologis dan virologis, hepato-megali ditemukan Pada 81% ponderita (Sumarmo dkk., 1975). Dilaporkan bahwa kejadian hepato-megali meningkat dengan bertambah beratnya penyakit Ditemukan sebesar 39,8% pada penderita DHF derajat ||. Pada penderita DHF derajat Ill sebesar 57,2% dan pada DHF derajat IV sebesar 64,1%. Proses pembesaran hati dimulai pada hari Pertama dan mencapal puncak saat masa kritis yaitu pada hari ke-5, 6 dan 7. Ukuran hati akan Kembali normal setelah hari kesembilan sampai dua minggu setelah penyembuhan. Hepatomegali penting uniuk dipanteu setiap hari karena Pembesaran hati dimulal pada hari pertama dan mencapai puncak pada hari 5,6 dan 7, dan kembali ke besar semuta setelah 9 hari? Data leboratorium yang diteliti pada pPenelitian ini adalah leukosit <4,000/mmk, hematokrit >45% dan trombosit <50.000/mmik. Leukosit <4,000/mmk juga memiliki hasil il chraquare p=0,039, yang berarti terdapat hubungan signifikan dengan terjadinya DSS. Penelitian yang dilakukan oleh Tantracheewathom et al? pada tahun 2007 menyatakan bahwa jumlah sel darah putih <5.000/mmk merupakan faktor risiko terjadinya syok pada pasion DHF anak. Pada tahun 2007, Agilatun N. K et al’ melakukan penelitian ferhadap pasien DHF usia dewasa. Hasil Penelitiannya menyatakan bahwa tidak terdapat Perbedaan bermakna rate-rata jumlah leukosit hari 3-7 demam antara pasien DHF dan DSS. Pada fase demam dari DHF, abnormalitas paling awal dari hitung darah lengkap adalah ditemukannya penurunan jumlah leukosit secara Progresif. Pada DSS, terjadi leukopenia progresif yang dikuti oleh penurunan jumiah trombosit biasanye mendahului kebocoran plasma,’ Tan dkk. (1968) melaporkan bahwa leukopeni ditemukan pada sebagian besar Penderita DHF pada hari ketiga demam yang mencapai nilai terandah pada hari keempat demam dannilainya menjadi normal kembali dalam waktu dua sampai tiga hari, bahkan tidak jarang aitemukan eukositosis pada masa konvalesen.? Hematokrit >45% tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan DSS pada Peneltian ini. Hematokrit >45% memiliki nilai p=0,071. Namun, yang perlu dipethatikan adalah nilal OR hematokrit >45% 2,591 (IK 95% = 0,914- 7,342). Hal ini berarti pasien dengan hematokrit >45% berisiko mengalami syok 2,591 kali bila dibandingkan pasien dengan hematokrit <45%. Hematokrit 241,5% bukan faktor _prediktor terjadinya syok pada pseian DHF berdasarkan penelitian yang dilekukan oleh Ahmad Taufik S. of af"* pada tahun 2007 Pemeriksaan hematokrit secara berkala pada pasion DHF mempunyai beberapa tujuan, yaitu (1) pada saat pertama kali seorang anak dicurigal menderita DHF; pemeriksaan ini turut menentukan pert atau tidaknya anak it direwat, (2) pada penderita DHF tanpa renjatan, Pemeriksaan hematokrit berkala ikut memantau Peru atau tidaknya anak itu. diberikan cairan intravena, dan (3) pada penderita DSS, Pemeriksaan hematokrit berkala_menentukan Perlu atau tidaknya kecepatan tetesan dikurangi, menentukan seat yang tepat untuk menghentikan cairan intravena, dan menentukan saat yang tepat Untuk memberikan transfuse darah.? Meningkatnya derajat hematokrit sering menjadi refleksi dari seberapa parah kebocoran plasma yang terjadi.’ Perdarahan yang banyak akan — mempengaruhi—nilai_—_-hemaiokrit. Hemokonsentrasi dengan batasan 20% tidak selalu harus ada.’ Meningginya nilai hematokrit Pada kasus syok terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskular (ruang interstisial dan rongga serosa) metalui kapiler LL & ————_ | bei kari san, Ms Domewan. Fano Riso yang rusak. Bukti yang mendukung dugaan ini adalah ditemukannya caitan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan perikard yang pada otopsi temyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus, meningkatnya berat badan dan terdapatnya edema Perlu diwaspadai peningkatan hematokrit pada pasien DHF anak dengan anemia. Di Indonesia, perkiraan prevalensi anak balita yang ferkena anemia adalah 30-40% dan perkiraan prevalensi anak usia sekolah yang terkena anemia iaich 25-35%. Secara laboratorik, anemia dijabarkan sebagai penurunan ditawah normal kadar hemoglobin, hitung eritrosit dan hernatokri. Alasan praktis kriteria anemia di Klinik (di rumah sakit atau praktik Klinik) untuk Indonesia pada umumnya adalah Hemoglobin < 10g/dl, Hematokrit < 30%dan Eritrosit < 2,8 juta/mmk,"* Dalam monitoring hematokrit, hal yang perlu diperhatikan ialah adanya kemungkinan anemia, perdarahan berat dan volume- replacement therapy Pada penelitian —ini,_—_trombosit +<50.000/mmk juga tidak menunjukkan hubungan signifkan dengan DSS. Nilai p dari trombosit <50.000/mmk adalah 0,390. Hasil_ yang tidak bermakna ini kemungkinan disebabkan oleh salah satu. kelemahan dalam penelitian ini, yaitu ‘menggunakan rancang bangun cross sectional. Rancang bangun cross sectional_memberikan keterbatasan dalam menarik Kesimpulan sebab akibat karena paparan dan outcome diukur dalam waktu yang bersamaan.”” Selain itu, pada eneliian ini trombositopenia tidak berhubungan dengan syok mungkin karena beberapa fakior, antara lain diagnosa dan penanganan yang cepat sehingga pasiennya tidak mencapai syok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Taufik S. et al" tahun 2007 menunjukkan trombosit <50.000/ul bukan faktor prediktor terjadinya syok pada DHF. Penelitian lain di Bangladesh juga menemuken jumizh trombosit, kadar hematokrit yang tinggi dan hepatomegali sebagai prediktor utama untuk terjadinya syok."° Penilitian yang cilakukan oleh Tantracheewathorn et af pada tahun 2007 menyatakan trombosit +<50,000/mmnk adalah faktor risiko DSS. Petubahan hemostasis pada DHF dan DSS melibatkan tiga faktor yaltu perudahan vaskuler, trombositopeni dan kelzinan koagulasi.* Penelitian yang dilakuken oleh Tantracheewathorn dkk'? pada tahun 2007 menyebutkan bahwe —angka_—_trombosit <50,000/mmk — merupakan —prediktor bagi terjadinya syok. Trombositopenia merupakan kelainan hamatologis yang ditemuken pada sebagian besar penderita DHF. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai terendah pada masa renjatan,” SIMPULAN 1. Nyeri kepala, hepatomegali dan leukosit <4.000/mmk merupakan faktor isiko-faktor risiko yang —bethubungan dengan meningkatnya kejadian DSS pada pasien anak. 2. Nyeri perut bukan merupakan faktor risiko DSS (p20,05). Namun, nilai OR nyeri perut sebesar 2,154 (IK 95% = 0,363-12,764). Hal ini berarti pasien dengan nyeri perut berisiko mengalami syok 2/154 kali bila dibandingkan dengan pasien yang tidak nyeri perut. Hematokrit >45% juga bukan faktor isl DSS (p>0,05). Tetapi nilai OR hematokrit 45% ialah 2,691 (IK 95% = 0,914-7,342). Artinya, pasien dengan hematokrit >45% berisiko mengalami syok 2,591 kali bila dibandingkan pasien dengan hematokrit <45%. SARAN 4. Perlu. meningkatkan kewaspadan apabila telah terjadi nyeri kepala, hepatomegali dan ‘eukosit <4,000/mmk pada pasien DHF. 2. Perlu dilakukan penelitian serupa pada pasien DHF dan DSS dengan variabel yang lebih banyak sehingga dapat ciketahui faktor risiko yang dapat memperkirakan terjadinya DSS pada pasien DHF. ne | Ikki, VOL. 2NO. 6, 4, 2010 DAFTAR PUSTAKA 1 10, "1 Slaven dk. Infectious Disease. McGraw Hil: New York, 2007 Soegijanto S. Demam Bardarah Dengue Aitangga University Press: Surabaya, 2006. Dharma dkk. 2006. Disfungs! Endotel pada Demam Berderah —Dongue |) fakara Kesehatan : 17-23 Arsin dk. Analisis Faktor Yang Ber(rubungan Dengan Kejadian Demam | Berdarah Denguedi Kecamatan Baruga Kota Kendari 2007. http:/wwnw.pascaunhas.nevjumal_pdfian_4_ 2/03-JURNAL%20tesis%20MAWAN. pat. diakses pada tanggal 31 Agustus 2010. Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Profil Kesehatan Provinsi_ © DIY. 2007. tip/ www. depkes.go.id/downloadsfprofildly O7.par World Health Organization. Demam Bordarah Dengue. EGC: Jakarta, 1998. World Health Organization. 2009, Dengue Guidelines for Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. hitp//-whgfibdoc. who.intfpublications/2009/97 89241547871_ong.pdf. diakses pada tanggal 2 Soptember 2010. Sutaryo. Dengue. Yogyakarta, 2004. Soedarmo S. Demam Berdarah (Dengue) Pada Anak, UIP: Jakarta, 2009, Anders dk. Epidemiological Factors Associated with Dengue Shock Syndrome and Mortality in Hospitalized Dengue Pationts in Ho Chi Minh City, Vietnam. Am. J. Trop. Med. Hyg., 84(1), 2011, pp. 127-134 doi:10.4269/ajtmh,2011.10-0476 Kan dkk. Factors associated with shock in children with dengue hemorrhagic fever. Penerbit Medika: 12 13, 15, 16. Paediatrica Indonesiana, Vol. 44, No. 9-10 + ‘September - October 2004 Tantracheewathom dk. Risk Factors of Dengue Shock Syndrome in Children, J Med ‘Assoc Thai 2007; 90 (2): 272-7 Suharti,, Tatty E Setiat.., Eric CM Van Gorp. Robert J Djokomoeljanto., Mosliono S Trastotenojo., Jos WM van der Mcer., Wil MV Dolmans. 2009. Risk Factors for Mortality in Dengue Shock Syndrome (DSS). Media Medika Indonesiana Volume 43, Nomor 5, Tahun 2009 Agilatun N. K., Muchlis A. U. Sofro., Helmia Farida. The Relationship between Leukooyts Count and Shock in Adult Patient of Dengue Haemorthagic Fever in Dr. Kariadi Hospital Semarang (Karya Tulis limiah). Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 2007 ‘Anmad Taufik S., Didit Yudhanto., Farid Rejadi, — Rohadi. = Peranan kadar hematokrit, jumlah trombosit dan serologi IgG — IgM Anti DHF Dalam Memprediksi Terjadinya Syok pada Pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di Rumah Sakit Islam Siti Hajar Mataram. J Peny Dalam, Volume 8 Nomor 2 Mei 2007 Bakta M. Hematologi Klinik Ringkas. EGC: Jakarta, 2003. Marfianti E. Perbedaan Kadar Resistin pada Obes dengan Resistensi Insulin dan Obes Tanpa Resistensi Insulin. Juma! Kedokteran dan Kesehatan Indonesia, Vol. 1, No. 1. April 2009

You might also like