You are on page 1of 24

PERAN KAPITAL DAN GAGALNYA

KONSOLIDASI DEMOKRATIS INDONESIA:


PENDEKATAN EKONOMI-POLITIK

The Role of Capital and The Failure of Indonesia’s Democratic Transition:


A Political-Economy Approach

Poltak Partogi Nainggolan

Peneliti Utama Bidang Masalah Hubungan Internasional


Pada Pusat Penelitian Badan Keahlian DPR RI
Alamat email: pptogin@yahoo.com.

Naskah Diterima: 14 Januari 2016


Naskah Direvisi: 3 Mei 2016
Naskah Disetujui: 19 Mei 2016

Abstract
The failure of having a proper understanding on the prospect of Indonesia’s democratization has been discussed
in this essay. Applying a political economy approach, the writer presents a critical analysis on the development of
political situation in post-Soeharto Indonesia. He criticized institutionalists, particularly Indonesianists, in preserving
their point of views in understanding the country’s politics in post-colonial era. Rather than institutionalism, the
political economy approach, the writer argues, is more helpful in giving clear explanations why capital or money
politics more dominantly influences the Indonesian politics after 1998, which eventually causes its failure in realizing
democratic consolidation several years afterwards. The writer offers ‘a socialist solution’ to the western practices
of liberal democracy and its capitalist development model, in addition to neo-liberalism, neo-feudalism, and its new
form of oligarchy in new emerging democracies such as Indonesia. Therefore, the solution to the problems of politics
and power in Indonesia will be no longer artificial in nature, but it can effectively address the roots of the problem.
Keywords: democratic consolidation, Indonesian politics, capital role, capital domination, money politics, political
representation, institutionalism, political economy.

Abstrak
Kegagalan dalam memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap prospek demokratisasi di Indonesia
telah dipertanyakan dalam tulisan ini. Dengan menggunakan pendekatan ekonomi-politik, penulis
mempresentasikan sebuah analisis kritis mengenai perkembangan politik di Indonesia pasca-Soeharto.
Penulis mengritik para institusionalis, khususnya Indonesianis, yang mempertahankan cara pandang
mereka dalam memahami Indonesia. Dibandingkan dengan institusionalisme, pendekatan ekonomi politik,
menurut penulis, lebih menolong dalam memberikan penjelasan yang lebih baik mengapa modal atau
politik uang semakin dominan mengontrol perkembangan politik Indonesia pasca-1998, sehingga telah
menyebabkan kegagalannya dalam mewujudkan konsolidasi demokratis dalam beberapa tahun sesudahnya.
Penulis mengemukakan mengenai pentingnya sebuah solusi sosialis atas praktek demokrasi liberal Barat dan
model pembangunan kapitalisnya, serta neo-feodalisme, neo-liberalisme, dan bentuk-bentuk baru oligarki
yang muncul di negara demokrasi baru seperti Indonesia. Dengan demikian, solusi terhadap permasalahan
sistem politik dan kekuasaan di Indonesia tidak lagi bersifat institusional di permukaan, namun efektif
menjawab akar permasalahannya.
Kata kunci: konsolidasi demokratis, politik Indonesia, peran kapital, dominasi modal, politik uang,
perwakilan politik, institusionalisme, ekonomi politik.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 1


A. Pendahuluan menyingkirkan faksi yang berbeda. Banyak
Dalam waktu kurang dari sebulan, penulis referensi dari Indonesianis (akademisi atau
menghadiri dua presentasi dari dua pihak yang pengamat) asing dan nasional yang digunakan
berbeda, namun dengan topik terkait satu dengan sebagai basis analisis, dari kalangan klasik
lainnya, mengenai perkembangan demokrasi seperti Herbert Feith1 dan Lance Castle,2 dan
Indonesia, pelembagaan (sic!), dan kepemimpinan yang terkini seperti Stephen Sherlock,3 Marcus
politik. Yang pertama, pada 27 April 2015, adalah Mietzner,4 Andreas Ufen,5 Vedy R. Hadiz,6
presentasi makalah Puskapol UI dengan judul Syamsudin Haris7 dan Tomi Legowo,8 walaupun
“Reformasi Sistem Perwakilan Politik Indonesia” dalam penilaian tertentu ada yang belum tentu
dan yang kedua, pada 20 Mei 2015, presentasi tepat dan relevan. Karena, dasarnya, atau sejak
makalah dosen senior Jurusan Ilmu Politik UI, awal pisau analisisnya masih menggunakan
Arbi Sanit, berjudul “Pematangan Demokrasi institusionalisme, ataupun yang sudah masuk
dan Sistem Politik Indonesia.” Keduanya dalam kategori institusionalisme baru (neo-
dipresentasikan di Aula Juwono Sudarsono, FISIP- institutionalism), yang mengombinasikannya
UI, Depok. Kajian dan presentasi ini berangkat dari dengan pendekatan perilaku (behavioral
keprihatinan terhadap kondisi perwakilan politik approaches), tidak mengherankan, rekomendasi
Indonesia dewasa ini, yang tidak disertai dengan yang diberikan hanya fokus di permukaan, atau
publisitas, namun sangat positif dilakukan, karena bukan sesuatu yang baru. Juga, rekomendasi yang
dihadiri civitas academica FISIP UI dan aktifis diberikan mengungkap hal-hal yang sudah sering
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Presentasi dikemukakan, terutama dalam diskusi di media
pertama merupakan bagian dari pemaparan hasil 1

Lihat, Herbert Feith, The Decline of Constitutional
riset Puskapol, sementara yang kedua, dalam Democracy in Indonesia. Equinox Publishing, 2006.
tradisi ilmiah universitas di Barat dikenal sebagai 2
Herbert Feith and Lance Castle. Indonesian Political
Thinking 1945-1965. Ithaca: Cornel University Press, 1970.
General Studium, atau Kuliah Umum. 3
Stephen Sherlock, The Indonesian Parliament after Two
Makalah Puskapol membahas masalah Elections: What Has Really Changed? Canberra: CDI,
politik nasional yang ada saat ini, khususnya 2007. Lihat juga karyanya,”The Parliament in Indonesia’s
DPR, dan kontestasi antar-koalisi,: Koalisi Decade of Democracy: People’s Forum or Chamber of
Cronies?,” dalam Marcus Mietzner and Edward Aspinall
Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia
(eds.). Problems of Democratization in Indonesia. Singapore:
Hebat (KIH). Selanjutnya, Puskapol membahas ISEAS, 2010.
kegagalan partai politik dalam mengembangkan 4
Misalnya, Marcus Mietzner and Edward Aspinall (eds.),
demokrasi dan mendorong terwujudnya ibid.
5
Andreas Ufen, “From aliran to dealignment: political
konsolidasi demokratis, dan mengatasi krisis
parties in post-Suharto Indonesia.” South East Asia
ideologi partai politik di era reformasi. Kajiannya Research, 16, 2008, No.1: 5-41; Andreas Ufen. “Party
berujung pada kesimpulan bahwa semua systems, Critical Junctures, and Cleavages in Southeast
masalah itu penyebab krisis keterwakilan politik Asia.” Asian Survey, Volume, 01, 2012, 52, No.3: 441-
464.
dan kinerja parlemen (DPR), karena: (1) telah 6
Vedy R. Hadiz, Dinamika kekuasaan: ekonomi politik
muncul kepemimpinan yang elitis dan sentralistik Indonesia pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2005; Vedy R.
dalam partai politik, yang mempengaruhi proses Hadiz, “The Rise of Capital and the Necessity of Political
pengambilan keputusan; (2) telah muncul Economy.” Journal of Contemporary Asia, 05/2013; 43(2);
Vedy R. Hadiz and Richard Robison,”The Political
terciptanya faksionalisme yang menguatkan
Economy of Oligarchy and the Reorganization of Power
struktur oligarki warisan lama; (3) telah in Indonesia,” Indonesia, Vol. 96, October 2013: 35-58.
sirnanya ideologi yang menyebabkan absennya 7
Syamsuddin Haris. “Sistem Proporsional yang
agenda nasional partai politik, yang seharusnya Disempurnakan bagi Pemilu 1999.” kertas kerja, pada
Dialog Nasional, “Agenda Pemilu: Visi, Tantangan, dan
menjadi pendulum kebijakan; (4) hadirnya basis
Prospek,” di UI, 20-21 Juli 1998, dan karya-karya lainnya.
rekruitmen partai yang sempit; dan (5) matinya 8
Tomy A. Legowo, ”Disparitas Hubungan Parlemen dan
debat kritis dalam partai, sehingga keputusan Aspirasi Rakyat,” kertas kerja, 2011; Legowo, Tomy A.
sepihak pimpinan partai dijadikan senjata untuk Legowo,”Pemilihan Umum dan Perwakilan Politik.”
Jurnal Jentera, Edisi 16, Tahun IV, April-Juni 2007.

2 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


massa, misalnya, dominasi fraksi harus dikurangi, Kunio,17 dan Jeffry A. Winters,18 yang telah
anggota DPR harus diberikan kesetaraan hak mencoba melihat kaitan pembangunan ekonomi
dalam pemilihan pimpinan Alat Kelengkapan Indonesia dengan struktur elit dan konstelasi
Dewan (AKD), serta relasi fraksi dan partai politik yang tercipta, dengan telaah implikasi
harus diperbaiki. perkembangan sejarah kapitalisme di negeri ini,
Sementara itu, presentasi Arbi Sanit tidak dibahas lebih jauh. Memang ada karya
berangkat dari sejarah politik Indonesia, yang (artikel) M. Dawam Rahardjo yang digunakan,
mampu mengungkap jatuh bangun dan kematian namun itu dalam hubungannya dengan prospek
demokrasi di era Orde Lama (Orla) dan Orde ideologi nasional.19 Padahal, ilmuwan tersebut
Baru (Orba), serta pengambangan ideologi, dan memiliki (kumpulan) karya yang jauh lebih
kemudian berusaha menjelaskan pelembagaan, relevan untuk dijadikan referensi, yang terbit
kepemimpinan politik dan prospek demokrasi jauh lebih awal, tiga dasawarsa sebelumnya,
di Indonesia. Arbi masih dominan dengan pisau yakni Esei-esei Ekonomi Politik,20 yang sudah
analisis institusionalisme,9 walaupun kajiannya dapat dipakai untuk melihat arah perubahan
dilengkapi dengan literatur strukturalis dan sosial-politik di Indonesia dalam era Orba dan
mereka yang memakai perspektif budaya- dan pasca-Soeharto.
ekonomi-politik. Tidak heran, kajiannya masih Sehingga logis, sebagaimana kajian Puskapol,
terbatas dalam menganalis realitas politik yang kajian Arbi mengenai kondisi politik Indonesia
berkembang, dan belum mengontruksikan dewasa ini, tampak seperti sesuatu yang sudah
masalah secara komprehensif dan terlihat diketahui umum. Itulah sebabnya, para peserta
koneksinya satu dengan lain, karena analisis diskusi kajian Puskapol mengomentarinya
ekonomi-politik-nya tidak dieksplorasikan. dengan menggunakan ungkapan Prancis, déjà
Sebagai konsekuensinya, yang menonjol masih vu,21 namun mereka juga sebenarnya belum
analisis institusionalismenya, melalui referensi mampu untuk menjelaskan, mengapa realitas
yang tidak bisa beranjak dari karya-karya klasik politik Indonesia, terutama masalah kelembagaan
Herbert Feith,10 Daniel S. Lev,11 Samuel P. (institusi), kepemimpinan, dan perwakilan
Huntington,12 dan Arend Lijphart.13 Sementara, politik, begitu karut-marut. Akibatnya, kita
karya-karya Samuel P. Huntington,14 Richard tidak bisa berkontribusi pada upaya memberikan
Robison,15 Andrew Macintyre16 dan Yoshihara pemahaman yang lebih baik terhadap realitas
yang tengah berlangsung dan berkembang, yang
memperburuk kualitas demokrasi kita.
Karena itulah, tulisan ini bertujuan
9
Sebagaimana juga penilaian Panji Anugerah, dosen Ilmu
menjelaskan mengapa kita selalu gagal
Politik UI, yang tengah menyelesaikan program doktoral
ilmu politiknya di Albert-Ludwigs-Universitaet Freiburg, untuk dapat memberikan penjelasan yang
Jerman. komprehensif terhadap perkembangan
10
Herbert Feith, The Decline of Constitutional Democracy in demokrasi kita, sehingga sulit untuk sepakat
Indonesia. Equinox Publishing, 2006, op.cit.
bahwa demokrasi masih belum terkonsolidasi,
11
Daniel S. Lev, “Political Parties in Indonesia,” Party
System of Southeast Asia, Journal of Southeast Asian 17

Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism in South-
History. Singapore: March 1967.
east Asia, Manila: Ateneo de Manila University, 1988.
12
Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society. 18
Lihat, Jeffrey A. Winters. Oligarchy. Cambridge:
Yale: Yale University Press, 1968.
Cambridge University Press, 2011.
13
Arend Lijphart, Patterns of Majoritarian and Consensus 19
M. Dawam Rahardjo,”Pancasila dan Akhir Ideologi,”
Government in Twenty-One Countries. New Haven: Yale
Kompas, 22 Juni 2013.
University Press, 1984. 20
M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi-Politik: Jakarta,
14
Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society.
LP3ES, 1985.
New Haven: Yale University Press, 1968, op.cit. 21
Komentar Bivitri Susanti, peneliti senior dari Pusat Studi
15
Richard Robison, The Rise of Capital, Sydney, Allen &
dan Kebijakan Hukum (PSHK), Jakarta, yang sedang
Unwinn, 1986.
menyelesaikan studi doktoralnya dalam bidang hukum di
16
Andrew Macintyre, Business and Politics in Indonesia,
University of Washington, Seattle, AS.
Syufney: Allen & Unwinn, 1991.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 3


seperti ada dalam perspektif Juan J. Linz dan yang banyak dikuatirkan analis perubahan
Alfred Stepan,22 seorang analis perubahan politik.24 Dalam terminologi yang lebih terkini
rejim dan demokratisasi. Tulisan ini selanjutnya adalah negara rentan, dengan parameter angka
mengungkapkan mengapa koreksi terhadap indeks yang tinggi, di antaranya memiliki
demokratisasi di Indonesia cenderung bersifat indikator yang buruk, dengan kondisi elit yang
parsial, dan tidak memberikan solusi (alternatif) terbelah, korupsi yang sistemik, kemiskinan
yang efektif, sehingga perwujudan konsolidasi dan penurunan ekonomi, pembangunan tidak
demokratis masih jauh dari yang diharapkan. merata, pelayanan publik yang buruk, dan
Sementara, sukses konsolidasi demokratis seterusnya.25 Dalam hal ini, bukan perbedaan
membutuhkan kehadiran partai politik yang geografis dan budaya yang membuat ada negara
kuat dan telah menjalankan kesemua fungsinya yang makmur, dan yang lainnya miskin dan
secara efektif sebagai wahana pendidikan tidak stabil, dengan berbagai konflik sosial silih
poltiik, kaderisasi sosialisasi politik, serta berganti.26
altikulator aspirasi dan kepentngan rakyat,
serta sebagai sarana implementasi demokrasi B. Institusionalisme dan Alternatifnya
pasca-pergantian rejim dan transisi demokratis Pendekatan institusionalisme, yang sering
secara damai. Di samping itu, secara diidentifikasi sebagai pendekatan legal, merupakan
simultan, konsolidasi demokratis harus dapat salah satu pendekatan yang dominan dalam ilmu
menciptakan sebuah sistem baru yang mampu sosial, termasuk ilmu politik, sejak disiplin ini
menjamin tegaknya rule of law dan menciptakan mulai berkembang pada awal abad 19 sampai
pers dan masyarakat sipil yang masing-masing tahun 1980an, ketika pendekatan lain belum
dalam kondisi independen dan kokoh sebagai populer dan dominan dipakai. Adapun pada masa
kekuatan-kekuatan politik alternatif demokrasi, ini, kekuasaan formal, struktur organisasi, dan
di luar partai politik.23 aturan hukum serta hal-hal normatif merupakan
Kegagalan pendekatan institusionalisme titik-tolak pembicaraan.27 Dalam perspektif ini,
selama ini dalam beberapa kali periode masalah-masalah dalam negara dan masyarakat
pergantian rejim dan membawa proses transisisi dalam disiplin ilmu politik, ekonomi, dan juga
menuju konsolidasi demokratis di Indonesia, ilmu hokum, selalu dilihat dari analisis terhadap
serta keterbatasannya dalam menjelaskan institusi yang berjalan, dengan tawaran solusi
kegagalan konsolidasi demokratis di Indonesia perbaikan atas kerusakan sistem yang ada dan
menjadi fokus bahasan esei ini. Pentingnya tidak berjalan dalam institusi. Pendekatan ini
kembali mencari solusi alternatif dengan bertitik-tolak dari asumsi, bahwa jika masalah
menggunakan pendekatan ekonomi-politik dalam institusi dapat diidentifikasi dan ditemukan,
atas berbagai permasalahan politik di Indonesia, untuk kemudian dapat dikoreksi, maka masalah
yang mulai diabaikan, menjadi pokok bahasan akan teratasi dengan sendirinya, karena sistem
dalam esei ini di tahap berikutnya, Tinjauannya telah dapat berjalan kembali atau menjadi lebih
akan menyentuh banyak persoalan lainnya yang baik beroperasi.
dihadapi negara ini dewasa ini, yang tampak Sebagai konsekuensinya, masalah-masalah
kian kompleks dan memburuk implikasinya masyarakat dan kenegaraan yang dihadapi
di berbagai bidang, sehingga negara ini dinilai
24

Lihat, Wolfgang Merkel et al, Defekte Demokratie, Band
tengah menuju wilayah abu-abu di ujung proses
I: Theorie: Opladen: Leske & Budrich, 2003:113-116.
transisi demokratisnya –-sebuah tahapan atau 25
Antony Lee, “Indeks Negara Rentan: Parpol, Korupsi,
proses selanjutnya menuju negara gagal, seperti dan Penguasaan Elite,” Kompas, 5 Maret 2016: 4.
26
Lihat, Daren Acemoglu and James Robinson. Why
22
Juan J. Linz and Alfred Stepan, Problemes of Democratic Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty.
Transition and Consolidation: Southern Europe, South Paperback, Crown Business, 2013
America, and Post-Communist Europe. Washington DC: 27
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta:
John Hopkins University Press, 1996. Gramedia, 2008: 72.
23
Ibid: 6-7.

4 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


Indonesia sejak ia berdiri sampai periode pasca- Ahli politik dan perubahan sosial asal
reformasi (1998) selalu dilihat dalam perspektif Amerika, Samuel P. Huntington,30 yang
institusionalismenya. Begitu pula, dengan tawaran dekat dengan para pengambil keputusan di
perbaikannya dalam perjalanan perkembangan Gedung Putih, merupakan salah satu pakar
masyarakat dan negara selama 70 tahun ini. yang telah mengidentifikasi relasi perlunya
Tidaklah mengherankan, solusinya menjadi pembangunan politik sebagai tindak lanjut dari
tambal-sulam, tidak memecahkan masalah, dan sukses pembangunan ekonomi dengan tingkat
malah membuat arah perkembangan politik pertumbuhan tingginya yang stabil. Ia, bahkan,
menjadi semakin buruk atau tidak menentu. telah memberikan peringatan dini bahaya yang
Sebab, pendekatan dan solusi masalahnya muncul akibat situasi pertumbuhan ekonomi
tidak menyentuh dan mampu merespons tinggi yang tidak diiringi oleh tersedianya
penyebab karut-marut permasalahan negara ruang yang cukup untuk partisipasi politik
dan masyarakat di Indonesia, yang berkembang publik, yang membedakannya dari mobilisasi
sejak jaman kolonialisme. Sementara itu, analisis politik yang dirancang oleh rejim-rejim otoriter.
sejarah masyarakat dan ekonomi-politik menjadi Tanpa dibukanya ruang partisipasi publik ini,
terabaikan. instabilitas politik akan muncul, yang tidak
Selanjutnya, teori ilmu sosial yang sederhana hanya merusak kesuksesan pembangunan
dan terbatas, seperti teori sistem David Easton ekonomi, tetapi juga pada akhirnya mengancam
dan pendekatan perilaku kaum behavioralist, kelangsungan rejim yang memerintah.
termasuk pilihan rasional, menjadi primadona Dalam analisis yang lebih kontemporer,
sampai periode transisi demokratis di Indonesia kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan
di akhir tahun 1960-an dan di awal tahun stabilitas politik, atau demokrasi secara lebih
1980-an. Masalah muncul ketika gelombang spesifik, telah dilihat oleh Amartya Sen,31
demokratisasi ketiga menghadapi masalah, ilmuwan ekonomi-politik India. Ia berargumen,
atau berkembang tidak mengikuti arah yang membalik tesis, bahwa ruang politik untuk
dialami negara-negara di Eropa Selatan atau berdemokrasi harus diberikan. Tanpa itu,
Eropa Barat sebelumnya. Sehingga, pendekatan dengan absennya demokrasi, pertumbuhan
alternatif yang lebih empirik atau membumi, dan ekonomi hanya akan memusat pada segelintir
diharapkan dapat memberikan penjelasan yang orang, dan kesejahteraan rakyat tidak dapat
lebih memuaskan, seperti teori dependensia diwujudkan. Untuk itu, negara harus turun
dan keterbelakangan Andre Gunder Frank, tangan, berperan dalam melakukan distribusi
Cardozo, Furtado dan lain-lain,28 serta teori pertumbuhan dan kesejahteraan. Argumen
sistem dunia Immanuel Wallerstein,29 mulai ini menjadi dasar bagi kaum intervensionis
dilirik. Berbagai teori alternatif ini menjadi dalam disiplin ekonomi untuk membenarkan
lebih dibutuhkan, padahal pisau analisis campur tangan negara, yang sebaliknya, sangat
ekonomi-politik yang menjadi basis berpikir ditentang kaum ekonom liberal yang sangat
untuk pengembangan teori mereka sudah hadir pro-pasar dan anti-intervensi.
dan diintroduksi jauh sebelumnya, apalagi yang Tesis Huntington tampaknya relevan
berkembang dari perspektif yang Marxis. untuk Indonesia dan negara berkembang
lainnya, namun mampu terus ditolak China,
28

Andre Gunder Frank, Capitalism and Underdevelopment yang tidak melihat pentingnya reformasi politik,
in Latin America. New York: Monthly Review Press, asalkan kebijakan distribusi pertumbuhan
1967; Juga, Henry Berstein (Ed.), Underdevelopment and
dan kesejahteraan dapat dilakukan. Dengan
Development, the Third World Today. Penguin Books,
1976. 30
Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Society.
29
Immanuel Wallersetein, Modern Worlds System. New
Yale: Yale University Press, 1968, op.cit.
York: Academic Press, 1976; Immanuel Wallerstein, 31
Amartya Sen, The Idea of Justice. UK: Allen Lane, 2009;
World System Analysis, Durham, Duke University Press,
Amartya Sen, Poverty and Famine. Oxford, UK: Oxford
2004.
University Press, 1981.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 5


model strategi pembangunannya ini, model yang menggunakan perspektif ini dibahas secara
pembangunan China dipertanyakan, panjang lebar cara produksi di masyarakat atau
apakah masih relevan disebut sebagai model sebuah negara, terutama konstelasi pihak yang
pembangunan sosialis? Demikian pula, ia berkuasa (mempunyai kekuasaan politik) dan
dinilai menjadi tidak tepat untuk disebut yang menguasainya, terutama yang dominan.
kembali sebagai China komunis, mengingat Struktur dan kondisi alat produksi serta kontrol
kepemilikan kolektif (kolektifisme) tidak lagi terhadapnya menjadi hal lain yang sama
mutlak diterapkan di bawah kontrol negara, pentingnya untuk diperhatikan.
partai (Partai Komunis China --PKC), dan Dalam konteks ini, dapat dijelaskan,
tentara (Tentara Pembebasan Rakyat --TPR). mengapa dalam banyak riset dan kajiannya
Terlepas dari penilaian baru itu, yang jelas, tentang kondisi dan perkembangan kekuatan
Pemerintah China (Republik Rakyat China ekonomi rakyat, M. Dawam Rahardjo, banyak
--RRC) pasca-Deng Xiaoping, yang telah sukses mengangkat kasus dan belajar dari cara produksi
dengan introduksi pertumbuhan ekonomi dan dan penguasaan, serta relasi cara produksi di
eksperimen pembangunan baru kapitalisnya negara seperti China. Lebih spesifik lagi, di masa
secara lebih luas, tidak mau menerima tekanan lalu, ia mengajak kita untuk mengupas dan
Barat untuk melakukan reformasi politik atau belajar dari model pembangunan sosialis a la Mao
demokratisasi. Situasi yang berkembang ke Zedong, yang sangat berakar atau berorientasi ke
wilayah abu-abu pasca-transisi demokratis di bawah.32 Sebelumnya, Paul A. Baran,33 dalam
negara demokrasi baru telah memperkuat alasan karyanya mengenai model-model ekonomi
Pemerintah China untuk mempertahankan politik berbagai negara telah mempopulerkan
rejim politik otoriter mereka, yang ditandai pendekatan ekonomi politik, dengan telaah
absennya partisipasi politik rakyat, termasuk kasus yang jauh lebih beragam, dengan variant
penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) lebih banyak model pembangunan sosialis, seperti
yang terbuka dan jujur. China mempunyai Kuba, Yugoslavia, dan, bahkan, di luar itu.34
alasan tersendiri untuk belajar dari kesulitan Walaupun terdapat kajian tentang pertumbuhan
Rusia dalam menciptakan stabilitas politik ekonomi dan keterbelakangan dalam kasus di
pasca-Glasnost dan Perestroika. Sebab, secara berbagai negara, tetapi ia luput mendiskusikan
realistis, Pemerintah China pasca-Deng --Deng model pembangunan sosialis dengan demokrasi
yang dianggap Mao sebagai penganut jalan terpimpin a la Indonesia (Soekarno dengan Orde
kapitalis-- tetap mampu mempraktekkan, Lama-nya).
tepatnya mengawinkan, sistem ekonomi yang Sementara itu, mereka yang juga dulunya
kapitalis dengan sistem politik a la partai melihat tetap relevan dan pentingnya perspektif
komunis, yang tetutup dan otoriter. Jalan institusionalisme, mencoba mengembangkan
demokrasi belum diputuskan, sehingga pintu pendekatannya dengan melihat atau
demokrasi belum dibuka, seperti yang kemudian mengintroduksi varian analisis baru. Norma
ditiru Viet Nam dan Kuba. dan nilai kultural yang menjadi landasan
Dalam perspektif yang Marxis, analisis perhatian kaum behavioralis dimanfaatkan
ekonomi politik terhadap masalah kemasyarakatan untuk bisa memberi penjelasan secara lebih baik
dan kenegaraan bertitik-tolak dan tidak lepas mengapa institusi-institusi modern belum efektif
dari diskusi mengenai mode of production (cara berfungsi di negara-negara yang baru muncul.
produksi), process of production (proses produksi), Hubungan dan interaksi aktor, dengan berbagai
dan juga means of production (alat produksi), 32
M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi-Politik. Jakarta,
di luar diskursus filsafat, sebagian bagian yang LP3ES, 1985, op.cit.
sama pentingnya. Sebagai konsekuensinya, 33
Paul A. Baran, The Political Economy of Growth. Monthly
pola cara produksi atau model cara produksi Review Press; Penguin Books, 1972.
34
Lihat pula, Paul A. Baran, The Political Economy of
mendominasi analisis ini. Dalam lingkungan
Development, Penguin Books, 1974.

6 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


latar belakangnya, selanjutnya ditelaah untuk pihak, terutama Soeharto dan keluarganya yang
melihat implikasinya terhadap respons institusi. telah muncul sebagai kekuatan ekonomi baru
Juergen Rueland adalah salah satu Indonesianist yang menggurita, sebagai kompetitor dari para
(asal) Jerman (Albert-Ludwigs-Universitaet konglomerat atau pemilik modal lainnya pada
Freiburg) yang termasuk ahli dalam melihat cara waktu itu, menjadi tidak nyaman.
bekerja pisau analisis institusionalisme dalam Pada lebih tiga dasawarsa lalu, mata kuliah
kombinasinya dengan pendekatan konstruktifis “Kekuatan-kekuatan Politik di Indonesia,” yang
atau yang lebih maju, neo-konstruktifis. Tidaklah disampaikan Arbi Sanit di kampus Rawamangun,
mengherankan kemudian, dikenal kehadiran yang sarat dengan telaah kritis, yang sensitif bagi
terminologi neo-institusionalisme dalam studi- rejim, termasuk rejim kampus, namun menarik
studi ilmu sosial yang muncul belakangan. bagi para mahasiswa, belum memasukkan kapital
atau modal sebagai salah satu unsur power yang
C. Kapital dan Kartel juga menentukan munculnya kekuatan politik
Absennya, atau jika tidak setuju, belum baru di Indonesia. Karya Robison masih baru
dominannya, pisau ekonomi-politik yang dikenal pada masa itu, sehingga analisis terhadap
mengupas dan menganalisis secara mendalam tokoh atau kelompok tertentu sebagai sebuah
peran kapital sejak dasawarsa 1980, menjadi kekuatan politik, belum terfokus pada kekuatan
penyebab dari analisis yang tidak mampu dan pengaruh modal miliknya atau pengusaha
memberikan penjelasan yang memadai lain yang mendukung secara finansial segala
terhadap masalah (perkembangan) politik aktifitas politiknya. Terlebih lagi di Fakultas
dan kekuasaan, terutama perwakilan politik, Ilmu Sosial (FIS, belum menjadi FISIP) UI di
di Indonesia. Sebenarnya, dengan melihat pertengahan dasawarsa 1980, sudah hadir Dr.
kembali ke belakang, ke pertengahan 1980- Farkhan Bulkin yang baru selesai studi ekonomi-
an, kalangan akademik di Indonesia sudah politik internasional dari (George Washington
diperkenalkan dengan pisau analisis ini, setelah University) AS. Ia berkontribusi dalam analisis
terbitnya karya Richard Robison, Indonesianist negara dan masyarakat, dengan melihat kondisi
dari Universitas Murdoch, Australia, the Rise kapitalisme pinggiran dan peran kelas menengah
of Capital.35 Ketika itu, karya Robison masih Indonesia. Sayangnya, mata kuliah ekonomi
terdiseminasi secara terbatas, karena politik politik (internasional) masih memberikan daya
otoriter rejim Orde Baru yang antikritik dan tarik yang terbatas buat kampus UI, khususnya
tersudutkan oleh analisis yang masih langka jurusan ilmu politik (FIS) dan sejarah (Fakultas
tentang relasi perkembangan kapitalisme sejak Sastra).
masa kolonial hingga Soeharto dan kaitannya Kehadiran karya Robison seharusnya telah
dengan konstelasi politik dan kekuasaan yang dapat mempertajam pisau analisis ekonomi-politik
kemudian berkembang di Indonesia. di dasawarsa 1980, karena setahun sebelumnya
Masih hangat dalam ingatan penulis, lebih sudah hadir Esei-esai Ekonomi Politik-nya M.
dari 3 dasawarsa lalu, untuk mendapatkan Dawam Rahardjo.36 Apalagi, jika melihat dalam
analisis Robison itu sulit sekali. Kehadiran perkembangannya sesudah itu, analisis dunia
bukunya beresiko tinggi, membacanya pun akademis telah diperkaya oleh kehadiran karya
harus sembunyi-sembunyi, karena mengungkap Andrew MacIntyre,37 Indonesianis Australia,
dan mengritisi sepak terjang elit penguasa Orde dan juga Yoshihara Kunio,38 Indonesianis
Baru yang tengah membangun kemapanannya 36
M. Dawam Rahardjo, Esei-esei Ekonomi-Politik. Jakarta,
dengan menciptakan koalisi dengan para LP3ES, 1985, op.cit.
konglomerat dalam mendorong pencapaian 37
Andrew Macintyre, Business and Politics in Indonesia,
target pertumbuhan ekonomi. Sehingga, banyak Syufney: Allen & Unwinn, 1991, op.cit.
38
Yoshihara Kunio, The Rise of Ersatz Capitalism in South-
35
Richard Robison, The Rise of Capital. Sydney, Allen & east Asia, Manila: Ateneo de Manila University,1988,
Unwinn, 1986, op.cit. op.cit.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 7


Jepang, dengan analisis kapitalis semu (ersatz Andreas Ufen kemudian mendeskripsikannya
capiltalism)-nya Indonesia. Tidak mengejutkan, sebagai gejala “Filipina-isasi” perkembangan
keduanya melihat anomali dalam kemunculan politik Indonesia dalam pasca-Soeharto.41
dan pertumbuhan kapitalisme di Indonesia, yang Sementara itu, Kuskridho Ambardi (2009)42
membedakannya dengan sejarah perkembangan melengkapi dan memperkaya analisis ekonomi-
kapitalisme di Barat. Sebab, dalam studi lebih awal, politik ini dengan tesis kartel politik yang muncul
di jurusan ilmu ekonomi dan studi pembangunan dalam politik Indonesia, dalam koalisi pasca-
FE-UI, dan juga ilmu sosial FIS-UI, mahasiswa pemilu, khususnya dalam formasi kabinet. Kartel
telah diperkenalkan dengan kesimpulan Boeke, politik ini menjadi sedikit berbeda dari Jerman,43
ekonom Belanda, mengenai dualisme ekonomi mengingat di Jerman adalah legal dengan
yang hidup berdampingan di Indonesia, yakni dukungan subsidi partai politik dari negara, sesuai
sektor modern dan tradisional, sejak era kolonial. dengan peroleh suara dalam pemilu atau kursi
Sayangnya, analisis ekonomi-politik untuk parlemen, sekalipun tujuannya bisa serupa,
tentang peran kapital ini tampaknya tidak yakni untuk mempertahankan kepentingan
memperoleh perhatian serius dalam dunia kekuasaan politik. Namun, koalisi besar (grand
akademis, terutama disiplin politik dan politik coalition) antara 2 partai politik utama di Jerman,
perbandingan (comparative politics), yang tidak yakni Christlich Demokrtische Union (CDU) dan
menggunakannya lebih dalam untuk pisau Sozialdemokratische Partei Deutchslands (SPD),
analisis dalam memahami perkembangan politik tidak akan bersifat permanen. Di Jerman, tanah
di tanah air pada tahap selanjutnya. Sebaliknya, kelahiran Marx, dan juga tempat lahir dan
Indonesianis lain, asal AS, seperti Jeffrey A. tumbuh dan berkuasannya fasisme Partai National
Winters,39 melanjutkan penggunaan pisau Sozialistiche (Nazi), ideologi sulit dikatakan telah
analisis ekonomi-politik ini dalam memahami benar-benar mati, seperti diidentifikasi Daniel
politik Indonesia di akhir pemerintahan Soeharto Bell,44 dan sejarah telah benar-benar berakhir,
sampai tahun-tahun awal era reformasi, atau seperti dikatakan Fukuyama.45 Karena, perjuangan
periode transisi demokratis dari rejim otoriter, partai komunis eks-Jerman Timur, yaitu Partei
dengan peran militer yang kuat ke pemerintahan des Demokratischen Sozialismus (PDS), dan partai
sipil yang terbuka. Dengan pisau analisisnya ini, politik titisan Nazi, yaitu Nationalsolialistische
seperti halnya Hadiz (2005),40 ia menemukan Deutsche Arbieterpartei (NSDAP) masih eksis,
anomali kembali dalam politik Indonesia di walaupun tidak sedahsyat sebelum Perang Dunia II
tahun-tahun awal era reformasi dalam wujud dan periode Perang Dingin, dan sekalipun ekonomi
oligarki politik lama yang menguat akibat sistem

41
Pernah diangkat dalam diskusi sebuah artikel di Kompas.
kapitalisme dan neoliberalisme yang tumbuh
Lihat pula, Andreas Ufen. “Party systems, Critical Junctures,
subur di era baru kebebasan politik yang luas. and Cleavages in Southeast Asia.” Asian Survey, Volume,
Perbedaannya terletak pada aktornya yang sedikit 01, 2012, 52, No.3: 441-464. Juga, Andreas Ufen, “From
melebar (beragam), yang bukan berarti merata, aliran to dealignment: political parties in post-Suharto
Indonesia.” South East Asia Research, 16, 2008, No.1: 5-41.
sebagai bukti tersebarnya kesejahteraan rakyat 42
Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik Kartel: Studi
secara relatif lebih baik, dan pola feodalismenya tentang Sistem Kepartaian di Indonesia Era Reformasi.
yang berkembang ke arah neofeodalisme. Jakarta: Penerbit KPG, 2009.

43
Penulis tidak sependapat dengan Yuna Farhan, ahli analis
39
Jeffrey A. Winters, Oligarchy. Cammbridge: Cambridge anggaran (budget analyst) dari Fitra, yang tengah menyusun
University Press, 2011, op.cit. tesis dan melakukan riset mengenai relevansi menguatnya

40
Vedy R. Hadiz, Dinamika kekuasaan: ekonomi politik Indonesia oligarki dengan budget struggle antar-fraksi di parlemen, di
pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2005; Vedy R. Hadiz, The University of Sydney, Australia, yang menurutnya, akan
Rise of Capital and the Necessity of Political Economy, mengarahkan praktek seperti ini di Indonesia menciptakan
Journal of Contemporary Asia, 05/2013, 43(2); Vedy R. kartel politik seperti di Jerman (sic!).
Hadiz,: The Rise of Capital and the Necessity of Political
44
Daniel Bell, The End of Ideology: On the Exhaustion of
Economy, Indonesia, 01/2013. Lihat juga, Ian Chalmers and Political Ideas in the Fifthies, Harvard University Press, 1960.
Vedy R. Hadiz (Eds.), The Politics of Economic Development in 45
Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man,
Indonesia: Contending Perspectives. Routledge: London, 2005. New York: Free Press, 1992.

8 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


pasar sosial (Sozialemarktwirtshaft) telah, dan Pertama-tama yang ingin dikatakan adalah telah
akan terus, bekerja keras membabat kesenjangan berlangsungnya kekeliruan arah perkembangan
sosial yang diciptakan kapitalisme Jerman, untuk demokrasi kita, yang menggagalkan terwujudnya
mewujudkan dan mempertahanakan visi negara konsolidasi demokratis. Partai-partai politik
kesejahteraan. tidak mampu memainkan keseluruhan peran
Bedanya juga, koalisi politik di Indonesia dan fungsinya dalam melakukan rekruitmen
terbentuk pasca-pemilu, yang artinya merupakan politik yang baik, serta menyiapkan para kader
bentuk manipulasi terhadap mandat politik untuk memiliki kapabilitas yang tinggi dalam
dan kepercayaan rakyat pada partai-partai mengelola pemerintahan dan parlemen.
politik yang telah mereka dukung atau pilih Kemudian, lebih jelas lagi, partai-partai
dalam pemilu. Di sini, ideologi partai politik politik telah berkembang menjadi korporasi-
semakin terbukti tidak bekerja, mandul, atau korporasi politik keluarga dan semakin
benar-benar telah mati. Partai politik menjadi mendukung munculnya oligarki, dan bahkan,
benar-benar pragmatis: mengejar pemenuhan memperkuat strukturnya. Dari dalam partai
kepentingan kekuasaan dan finansial secara politik sendiri, misalnya Partai Golkar, yang
simultan. Sementara itu, kehadiran karya Dan mendominasi pemilu sejak 1971 hingga 1997,
Slater, Indonesianis kontemporer lain dalam muncul kritik dari tokohnya, yakni Akbar
studi politik Indonesia, kemudian memperdalam Tanjung. Ia menyadari munculnya saudagar,47
pisau analisis ekonomi-politik yang ada, dengan yang artinya juga pengusaha atau pemilik modal,
karena dapat dipakai untuk menilai implikasi ke dalam tampuk pimpinan, turut membawa
kehadiran kartel politik terhadap prospek konsekuensi negatif, selain bisa lebih membantu
pemerintahan berikutnya, Jokowi. partai politik dalam mengatasi masalah finansial
secara langsung, ketimbang harus menunggu
D. Transformasi Kapital bantuan subsidi terbatas dari negara yang
Apa relevansi pendekatan ekonomi politik ditunggu-tunggu, tetapi tidak pernah datang.
ini dengan perkembangan demokrasi kita yang Adapun konsekuensi negatifnya yang disadari
belum dapat dikatakan sudah terkonsolidasi?46 adalah tersingkirnya tokoh dan aktifis partai
politik yang berdedikasi dan memiliki kapabilitas

46
Kalangan yang memiliki pandangan yang berbeda dengan tinggi oleh mereka yang memiliki kekuatan
penilaian ini, antara lain, Ikrar Nusa Bhakti dari LIPI, dalam
modal. Penilaian ini tentu berlaku universal,
diskusi di sebuah jaringan televisi di awal tahun 2015 ini
mengatakan demokrasi Indonesia sudah terkonsolidasikan. tanpa pengecualian, terkena untuk siapa saja
Ini alasannya, semua perbedaan berusaha diselesaikan pemilik modal, saudagar, atau pengusaha yang
melalui cara-cara politik di parlemen (DPR), tidak ada menjadi pemimpin dan/atau sekaligus pemodal
yang terpancing atau berminat untuk merencanakan atau
partai politik yang sangat berpengaruh dalam
melakukan perebutan kekuasaan dengan cara kekerasan
atau melalui kudeta terbuka, seperti di masa sebelumnya. mengambil keputusan, membuat kebijakan,
Pandangan ini menjadi naif, jika penggunaan terminologi dan menentukan perjalanan dan masa depan
“konsolidasi demokratis” bertitik-tolak dari karya-karya para partai tersebut.
analis transisi politik di new emerging democracies, seperti
Akibat berkuasanya pengusaha atau pemilik
Juan J. Linz dan Alfred Stepan1996, op.cit, yang berpatokan
bahwa konsolidasi demokratis telah tercipta, jika partai politik, modal di dalam partai politik, modal sosial yang
kekuatan masyarakat sipil, media massa telah berkembang dimiliki para kader yang cakap tersingkir begitu
dengan baik, mapan, dan independen dalam memainkan saja oleh modal uang kader yang bisa saja baru
peran mereka yang konstruktif pasca-transisi atau pergantian
muncul dan merupakan tokoh atau aktifis di
rejim. Selain itu, tolak ukur bahwa konsolidasi demokratis
telah tercipta adalah jika rule of law telah tegak di negara baru partai lain. Sehingga, kepemimpinan model
itu, dengan kondisi, hukum selalu menjadi pegangan untuk ini dinilai tidak akan bertahan lama, karena
setiap penyelesaian konflik politik yang muncul pasca-transisi.
Sehingga, pemahaman tentang “democracy is the only game in 47
Akbar Tanjung, “Partai Golkar dalam Pergolakan Politik
town” harus dipahami dalam konteks yang lebih dalam, tidak Era Reformasi: Tantangan dan Respons”, disertasi
di permukaan, tetapi secara sistemik dan kultural. doktoral, Yogyakarta: Pasca Sarjana fisipol UGM, 2009.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 9


semata dikelola untuk kepentingan pragmatis, merit system (prestasi, kinerja, integritas, dan
menampung para “kader lompat pagar,” loyalitas) yang murni. Karena itu, relasi di
serta mengabaikan pengembangan institusi dalam partai politik sangat diwarnai hubungan
partai48 dan peran partai dalam melakukan nepotisme dan kolusi yang kuat, sedangkan
kaderisasi, sosialisasi serta fungsi komunikasi hubungan kedekatan secara ideologi kian sirna.
dan pendidikan politik. Partai politik tidak Perkembangan ini turut membawa implikasi
lagi menganggap penting proses politik dalam penempatan para kader partai politik tidak lagi
pengambilan keputusan, dan berorientasi pada berbasis keahlian. Dengan perspektif ini, dapat
sasaran dan hasil jangka pendek, sehingga usia dijelaskan mengapa penempatan mereka di
kepemimpinannya pendek pula. Namun, secara (AKD), terutama Komisi-komisi di parlemen
realistis, kepemimpinan Aburizal Bakrie bisa (DPR) belakangan semakin memperlihatkan
berlanjut pasca-kekalahan Golkar dalam pemilu adanya kesenjangan dan ketidakpuasan, akibat
2014, terlepas dari adanya tudingan rekayasa aspirasi dan kapabilitas yang berbeda dengan
politik, serta munculnya kemudian kontroversi realitas.
dan friksi, yang berlanjut dengan konflik partai Begitu pula, posisi siapa yang bakal menjadi
yang berkepanjangan. Sebab, dengan dukungan orang nomor satu di fraksi atau Ketua Fraksi,
kemampuan modal ekonomi dan finansialnya dan bahkan pimpinan masing-masing AKD
dalam partai politik Golkar, Aburizal Bakrie dan DPR, menjadi kian sulit diperkirakan,
mampu mempertahankan dan mengoreksi kecuali untuk tokoh yang dipastikan memiliki
kepentingan politiknya, dan sekaligus, bukan kekuatan atau kontrol kapital yang besar,
kebetulan, prospek imperium bisnisnya. hubungan kedarahan, atau bisnis, dan bukan
Dalam konteks perkembangan ini, lagi emosional dan ideologis, atau karena
Puskapol UI sesungguhnya telah melihat loyalitas dan kesamaan visi dan cita-cita yang
persoalan ini, dengan menyitir Vedy R. Hadiz luas. Bahkan, sebelum dan sesudah pemilu
yang berpendapat bahwa kapitalisme dan dilangsungkan, para kader partai politik jauh
neoliberalisme telah mengubah oligarki dari lebih tertarik untuk melakukan langkah yang
yang berjiwa feodal menjadi komersial.49 Sebagai tidak profesional dan terhormat, dengan
implikasinya, aktifitas politik dalam partai menggunakan kemampuan finansialnya, untuk
politik dan perhitungan politik yang diambil memperebutkan dan memperoleh nomor
para elite pengambil keputusannya tidak lepas kandidat yang terkecil atau teratas. Adalah
dari transaksi bisnis. Dengan kata lain, partai telah menjadi sebuah rahasia umum dewasa
politik kemudian berkembang menjadi institusi ini, kandidat berusaha saling menjegal dengan
untuk mempertahankan kepentingan pribadi rekan pencalonan separtainya, menggunakan
secara kontiniu.50 langkah-langkah emosional tidak terpuji,
Ini berarti, nominasi calon dalam pemilihan termasuk melakukan praktek jual beli,
umum untuk legislatif dan pemerintahan atau pelimpahan, suara. Karakter oligarki
nasional, serta legislatif dan pemerintahan yang semakin berkembang materialistis dan
daerah tidak lagi berbasiskan pertimbangan kapitalistis pada akhirnya dapat menjelaskan
dengan baik mengapa pemilu menjadi mahal.
48

Lihat, Herman Siregar,”Bahtera Partai Golkar Terancam
Karam,” 3 Mei 2009. Ini artinya, calon legislator (caleg) harus dapat
49
Vedy R. Hadiz, Dinamika kekuasaan: ekonomi politik menyediakan uang untuk pencalonan dan
Indonesia pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES, 2005, op.cit; kampanye mulai dengan anggaran sebesar (tiga)
Vedy R Hadiz. “The Rise of Capital and the Necessity of
ratusan juta sampai (delapan) miliaran Rupiah.
Political Economy,” Journal of Contemporary Asia, 05/2013;
43(2), loc.ci; Vedy R. Hadiz, “The Rise of Capital and the Kemampuan caleg, capres, atau calon
Necessity of Political Economy.” Indonesia, 01/2013, loc. kepala daerah menyediakan “uang perahu” telah
cit. membuat partai politik mengalami transformasi
50
“Reformasi Sistem Perwakalan Politik di Indonesia,”
fungsi dari alat komunikasi, perjuangan aspirasi
Puskapol FISIP-UI, 2015: 16.

10 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


dan sosialisasi, serta kaderisasi politik menjadidari upaya kontrol terhadap kapital. Partai
alat untuk menjalankan dan melindungi politik menjadi sulit, terkendala, dan bahkan
kepentingan bisnis serta melakukan praktek seringkali gagal untuk bisa menempatkan secara
brokerage serta mengakumulasi kekayaan obyektif, berdasaraan kinerja dan prestasi, caleg
individu dan keluarga. Di masa Orba, partai dalam daftar pemilu. Serupa dengan keadaan
politik telah menjadi alat yang sah, karena itu, partai politik menemui hambatan untuk
dilindungi UU, dan efektif untuk mobilitas sosialmampu mengalokasikan dan menempatkan
atau merubah nasib bagi individu-individu yang secara fair pimpinan AKD di parlemen melalui
sulit memperoleh peluang mobilitas melalui kompetisi yang sehat dan seterusnya.
jalur bisnis, karena kelangkaan modal atau Yang lebih serius lagi, kegiatan studi
kapital, dan, tentunya, kesempatan untuk maju banding parlemen tidak disiapkan dengan
dan meraih karir yang lebih baik. Parlemen, baik, cenderung asal jalan, untuk desakan
sebagai arena karirnya, lalu berkembang kepentingan penyusunan UU dan fungsi
menjadi tempat dan tujuan untuk aktualisasi legislasi secara luas. Praktek “pelembagaan
diri dan bukti tingkat prestasi politik atau ekonomi-politik” terus berlangsung di di DPR,
pencapaian yang dapat diraih dalam kurun sehingga membuat proses pembuatan kebijakan
waktu yang berjalan. publik di parlemen menjadi pro-pasar.51 Contoh
Sebagai konsekuensinya, pemilu dan proses jelasnya adalah dalam kasus penyusunan UU
penentuan caleg hingga terpilihnya mereka di Minerba dan Kesehatan, dan RUU Tembakau.
parlemen (DPR) menjadi sebuah paket politik Anomali bertambah, dengan laporan observasi
yang mahal dan mewah. Ia telah berubah dan dokumen catatan mengenai rendahnya
menjadi permainan yang semula melibatkan tingkat kehadiran anggota DPR dalam rapat-
masyarakat di tingkat akar rumput dalam rapat paripurna, dan seterusnya. Di sisi lain,
kegiatan kampanye menjadi menjauhkan diri power dan authority meningkat drastis dengan
dari kemampuan masyarakat kebanyakan untuk imunitas anggota parlemen terhadap aplikasi
dapat berpartisipasi dan terlibat lagi dalam sistem at cost dalam belanja akomodasi dan
politik sesudah itu. Secara realistis, proses transportasi, terbebas sama sekali dari aturan
mobilitas politik ke atas dan kompetisi untuk dan mekanisme akuntabilitas yang berlaku
meraih posisi kepemimpinan partai politik di dalam sistem belanja nasional. Sehingga, tidak
tingkat bawah dan nasional kemudian selalu aneh, aktifitas parlemen cenderung berkembang
berhubungan dengan kemampuan tokoh dalam menjadi sangat materialistik dan komersial,
memegang dan mengontrol kapital sebagai yang awal dan akhirnya harus digerakkan oleh
alat dan sekaligus modal dan tujuan dalam uang, karena kapital dibutuhkan kehadirannya
berpolitik. untuk segala kegiatan. Sebaliknya, kegiatan
yang sulit, apalagi seret, pembiayaan dan kering
E. Peran Dominan Kapital target uangnya, menjadi sangat sulit dijalankan,
Karena peran dominan kapital, kegiatan karena tidak mampu menarik motivasi yang
politik berkembang menjadi sangat elitis, luas dari politisi.
kembali ke tangan satu-dua orang penentu Pembicaraan tentang satuan tiga (1.3)
saja di tingkat atas, terbatas di tangan atau di dalam pelaksanaan fungsi anggaran (Anggaran
kalangan pihak yang mampu menyediakan Pendapatan dan Belanja Negara --APBN)
modal (pemodal). Politik berkembang cepat memang sudah dilarang. Namun, kegiatan itu
sebagai kegiatan rent seeking dan akumulasi tetap dijustifikasi, sejauh untuk mendukung dan
capital, mulai dari jumlah yang sedikit sampai menjalankan fungsi pengawasan, dan bukan
big projects, mulai dari proyek yang ringan untuk menentukan proyek atau belanja barang.
sampai yang berat. Sehingga, sampai urusan 51
Makmur Keliat, “Pelembagaan Ekonomi-Poitik,” Kompas,
kelembagaan yang sepele pun sulit terlepas 14 Maret 2016: 6.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 11


Padahal, itu akan konstruktif jika dapat dilakukan kedaulatan partainya terletak di tangan ketua
DPR sebagai bagian dari oversight function terhadap partai, yang sekaligus pemilik modal, sebagai
kinerja pemerintah, dan bukan untuk (terlibat pemegang saham terbesar, yang menentukan
dalam) penentuan proyek di lapangan. Anggota kelangsungan partai politik sehari-hari.
parlemen memang harus memiliki kemampuan Jadi, dapat dikatakan, politik di Indonesia
dalam mengamati perkembangan data ekonomi sudah begitu elitis. Pertimbangan atas
dan pasar secara realistis dan lebih detil untuk keputusan bisa begitu saja diabaikan oleh
bisa mengontrol kinerja rejim yang berkuasa dari keputusan pemilik modal atau kedaulatan
hari ke hari. Tetapi, perlu disadari dan dicermati, pemegang saham terbesar dalam partai
dalam sistem politik yang dikendalikan oleh politik. Jika si pemilik modal atau pemegang
upaya memperebutkan kewenangan atas kontrol saham terbesar itu tidak langsung menduduki
kapital, larangan terhadap diskusi satuan tiga jabatan sebagai Ketua Umum partai, bisa saja,
bisa bertransformasi dalam bentuk lain, yakni misalnya, sebagai Ketua Dewan Pakar, Ketua
pembicaraan dalam lobi-lobi tertutup, yang justru Dewan Pertimbangan, seperti dalam kasus
lebih sulit diawasi publik, termasuk oleh LSM, Hary Tanoesoedibjo dalam Partai Nasdem
masyarakat sipil, dan media massa. dan Hanura, keputusannya tetap berpengaruh
Lobi-lobi dalam rapat tertutup yang formal, besar dalam menentukan kebijakan.. Di partai
tanpa catatan rapat (notulen), terus dilegitimasi. politik lamanya, Nasdem, Hary Tanoe kalah
Padahal, seharusnya, selain hanya boleh untuk berkompetisi, karena kalah dominan sahamnya
mengatasi deadlock dalam rapat, lobi-lobi harus dibandingkan Surya Paloh, sebagai pemegang
dilakukan secara terbuka dengan disertai risalah saham utama dan pendiri partai itu. Untuk
lengkap dan catatan rapat, sehingga tetap dapat tujuan dapat lebih leluasa dalam menggolkan
dikontrol publik proses dan hasilnya. Jika tidak, kepentingan individualnya, ia lalu mendirikan
rakyat hanya akan selalu menjadi sasaran partai baru, Perindo, sekaligus Ketua Umum
komodifikasi politik para anggota parlemen, partainya.
yang hanya dianggap penting menjelang dan Dapat dikatakan, tidak ada partai politik
saat pemilu saja.52 Dengan demikian, DPR di Indonesia tanpa kehadiran pengusaha atau
dan segala prosesnya, dan juga partai politik pemilik modal, apalagi dalam sebuah sistem
telah terpenjara oleh kekuatan modal dan dengan pembiayaan partai politik yang tidak
kepentingan para pemilik modal yang dapat didukung kuat iuran dan disiplin anggotanya,
mengontrol perilaku anggotanya.53 serta dengan ketidakpedulian dan absennya
Dalam karya Aspinal dan Mietzner, peran dukungan anggaran dari negara. Di PDIP,
Fraksi di DPR dikatakan bersifat mutlak, tidak kehadiran pengusaha atau pemilik modal besar
tersentuh.54 Pendapat ini kurang tepat. Sebab, seperti tidak tampak. Tetapi, dalam sebuah
sebenarnya pimpinan fraksi tidak berarti apa- sistem politik dengan akuntabilitas (keuangan)
apa, jika ketua umum partai menegur, bahkan partai yang belum transparan, dapat diduga
melalui telpon, atau memanggil mereka seperti yang berlangsung selama ini, banyak
secara langsung ke markas partai politik, jika invisible hands dari para pengusaha atau pemilik
pernyataan atau keputusan mereka di DPR modal besar yang mendukung keberlangsungan
tidak disetujui ketua umum partai. Realitas hidup partai politik, terutama untuk tujuan
ini terjadi di partai politik mana saja, yang memenangkan pemilu. Jika tidak, partai
sepopulis apapun, akan terpuruk nasibnya.
52
Lihat, Asep Salahudin,”Komodifikasi Politik Wong Cilik,” Pengalaman ini baru dialami Partai Hanura,
Media Indonesia, 22 Maret 2016: 6.
53
Benny Susetyo,”Gagal Membaca Zaman.” Kompas, 21
yang kurang serius didukung secara finansial
Maret 2016: 7. oleh Hary Tanoesoedibyo, seperti yang telah
54
Lihat, Marcus Mietzner and Edward Aspinall (eds.). dijanjikannya dalam kampanye pemilu legislatif
Problems of Democratization in Indonesia. Singapore: dan pemilu presiden.
ISEAS, 2010.

12 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


Di PDIP, tentu juga terdapat penyandang saudagar dari timur Indonesia yang sebelumnya
dana operasional dari kalangan bisnis menjadi pendukung faksi Agung Laksono dalam
(pengusaha) dalam berbagai pelaksanaan pemilu. Golkar. Kelompok ini berseberangan dengan
Sudah menjadi rahasia umum, para “samurai” faksi Aburizal Bakrie, yang bersama kekuatan
telah berbagai peran, dengan sikap mereka yang ekonomi dan kelompok koalisinya --di sini
pragmatis, untuk memenangkan tokoh partainya termasuk pula MS Hidayat dan kelompok
masing-masing, tanpa harus berkonflik terbuka. James Riady dan jaringan media massa Berita
Sebab, siapapun yang nantinya menang pemilu, Satu-nya, yang dekat dengan Theo Sambuaga,
mereka siap berbagi “hidangan” proyek.55 Wakil Ketua Golkar faksinya-- mengambil
Sehingga, sejalan dengan sistem patron-client sikap oposisi terhadap pemerintah Jokowi-
atau clientalism dalam struktur neo-feodalisme Kalla. Dapat dikatakan, hampir tidak ada partai
yang berjalan pasca-Soeharto, trah Soekarno politik dengan pucuk pimpinan atau pengurus
sekalipun sulit dapat mempertahankan teras yang bukan pengusaha atau terkait
keunggulan partainya dalam pemilu legislatif kelompok bisnis. Sebaliknya, akan sulit bagi
tanpa dukungan pembiayaan pengusaha, anggota partai politik yang non-pengusaha atau
selain Taufik Kiemas, salah satu tokoh PDIP pemilik modal, atau tidak memiliki hubungan
juga merupakan pengusaha nasional. Dapat dengan kelompok bisnis, untuk jadi pengurus di
diasumsikan di sini, semakin banyak individu tingkat pusat (elit).
dari kalangan swasta berperan dalam kegiatan Di Gerindra, peran dominan Prabowo
partai politik dengan kontribusi uang mereka, Subianto, Hasjim, dan keluarga Sumitro
semakin besar pengaruh dan reward yang mereka Djojohadikusumo tidak terbantahkan. Di
bisa terima. Di masa Presiden Soesilo Bambang Partai Demokrat, SBY turun gunung untuk
Yudhoyono (SBY), Partai Demokrat diketahui memberi jalan bagi kembalinya peran dominan
banyak didukung kehadiran pengusaha besar dinasti Sarwo Edhie. Dalam PAN, tokoh
seperti Tomy Winata, Dato Tahir, dan lain-lain. reformasi, Amien Rais, terus membangun
Sementara, Presiden Jokowi, sejak dinasti politiknya, setelah Hatta tersingkir dan
kampanye pemilu sampai dewasa ini didukung dikabarkan akan bergabung dengan dinasti
oleh pengusaha konglomerat kawakan sejak SBY. Trah atau dinasti yang sedang membangun
jaman Orde Baru, yaitu Sofyan Wanandi, kekuasaan, seperti Megawati Sukarnoputri
ataupun pengusaha seperti Luhut B. Panjaitan, dan Hatta Rajasa, ketika muncul bisa saja
di samping Jokowi sendiri berlatarbelakang tidak atau belum memiliki akses ke kapital
pengusaha, pemilik modal, dan aktor atau secara langsung. Tetapi, struktur kapitalisme
politikus yang memiliki kekuatan modal. dan neoliberalisme yang mendukungnya, yang
Pengusaha itu telah menjadi bagian dari elit eksis dalam era pasca-1998, telah memberinya
lingkaran dalam, yang aktif mengikuti sidang- pula peluang untuk mengakumulasikan modal
sidang kabinet Jokowi, dan dalam menyusun menjadi sebuah kekuatan ekonomi. Inilah
kebijakan ekonomi pemerintah. Ini belum lagi semua wajah dari oligarki kekuasaan Indonesia
menimbang peran para mantan perwira tinggi dalam periode baru pasca-Soeharto, dengan
militer, seperti AM Hendropriyono, selain kombinasi peran pengusaha (pelaku bisnis) dan
Luhut B. Panjaitan, yang juga telah masuk militer, yang tidak jauh berbeda dengan pada
dalam jajaran pengusaha nasional baru, yang masa Orba. Hanya kehadiran aktornya yang
patut diperhitungkan perannya di pentas bisnis, lebih beragam. Dengan demikian, apa yang
dan sekaligus politik, nasional. Kemudian, juga telah diberikan Robison,56 Macintyre,57 hingga
ada Jusuf Kalla dan Yorris Raweyai, kelompok
56
Richard Robison, The Rise of Capital. Sydney, Allen &
55
Wawancara dengan Satmono Hadi, alumnus FIS-UI, Unwinn, 1986, op.cit.
yang bekerja sejak lama di dunia perbankan, pada 14 57
Andrew Macintyre, Business and Politics in Indonesia,
April 2015, di Tangerang Selatan. Syufney: Allen & Unwinn, 1991.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 13


Winters,58 dalam analisis ekonomi-politik studi ilmu politik, baik di negara maju maupun
mereka tidak jauh berbeda. berkembang. Karya tersebut lalu dijadikan
Sebagai implikasinya pula, pemilihan Ketua semacam buku suci untuk demokrasi oleh para
Fraksi menjadi praktek yang sangat elitis, tanpa analis Barat. Demokrasi AS sendiri pada waktu
perlu memperhitungkan pendapat orang-orang itu baru tumbuh, sehingga seharusnya negara-
di lingkungan pengurus partai politik, apalagi negara demokrasi yang baru bermunculan
konstituen. Padahal, kehadiran fraksi bukan dewasa ini sudah dapat lebih cerdas belajar
tidak diperlukan, sebab seperti dalam praktek dan mengambil manfaat dari pengalaman dan
di parlemen Jerman (Bundestag), peran fraksi perjalanan demokrasi negara maju, tanpa perlu
dapat membuat efektif cara kerja partai dalam mengikuti, meniru, atau, bahkan, mengulangi
memperjuangkan misinya, yang berakar pada kesalahan mereka.
aspirasi rakyat, di lembaga legislatif. Kelemahan Dalam studi ilmu politik terkini, kelemahan
dalam analisis peran fraksi ini terjadi karena penerapan sistem presidensial dengan banyak
kita telah mengenyampingkan peran modal partai itu memang tidak luput dari fokus
yang dominan dan analisis ekonomi-politik perhatian ilmuwan Barat, seperti Juan J. Linz,
dalam melihat perkembangan partai politik dan Arturo Velenzuela, Matthew Soberg Shugart,
politik Indonesia secara utuh (komprehensif). dan Scott Mainwaring.61 Sementara, ilmuwan
Kelemahan analisis ini tampaknya mengulangi politik (perbandingan) baru bermunculan
kelemahan analisis Stephen Sherlock dalam di Indonesia, setelah mereka kembali dari
menilai fungsi representasi DPR, yang hanya studi, dengan program bea-siswa Barat, di AS,
dilihat dalam menerima konstituen dan Australia dan lain-lain, misalnya Denny JA, Andi
menindaklanjuti pengaduan/petisi mereka, dan Rizal Malarangeng, Kuskridho Ambardi,
dan memisahkannya dari ketiga fungsi dasar Bima Arya, dan generasi terbaru seperti Jayadi
parlemen yang inheren lainnya, yakni legislasi, Hanan, Philips Vermonte, dan sebagainya, yang
anggaran, dan pengawasan.59 kemudian mendirikan lembaga kajian (riset)
Sementara itu, kelemahan praktek sistem dan survai mereka masing-masing. Sehingga,
presidensial dengan (kehadiran) banyak menjadi sangat tidak logis, jika para pakar
partai bukannya tidak diketahui berbagai politik Indonesia generasi baru tidak mengritisi
kelemahan oleh para ahli atau ilmuwan kesalahan yang sudah lama telah diperkirakan
politik Indonesia. Sebab, kontroversi sistem (bakal) terjadi ini di negara demokrasi baru,
presidensial dan banyak partai merupakan akibat sistem presidensial yang diaplikasikan
perdebatan lama (klasik), yang sudah muncul dengan sistem banyak partai. Dalam beberapa
sejak Alexis de Tocqueville, ilmuwan politik tulisan, kritik sebenarnya sudah muncul,62
Prancis, melakukan perjalanan ke AS, untuk namun pendekatannya tampaknya masih
belajar secara langsung perkembangan praktek belum beranjak dari institusionalisme, tanpa
demokrasi di sana.60 Ketidakstabilan politik mempertanyakan lebih jauh, dari perspektif yang
yang diakibatkan oleh penerapan sistem berbeda, yakni ekonomi-politik. Pertanyaannya
yang ketika itu sudah terlihat kelemahan adalah, mengapa kesalahan ini sulit dihindari.
atau ketidakcocokannya, juga telah dilihat 61

Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and
sejak dini oleh Alexis de Tocqueville, yang Democracy: The Difficult Combination, http://cps.Sage-
kemudian memberi masukan berharga untuk pub.com, Comparative Political Studies, 26, 1993; Juan Linz
and Arturo (Eds), Velenzuela,The Failure of Presidential
58
Jeffrey A. Winters, Oligarchy. Cammbridge: Cambridge Democracy, Johns Hopkins University Press, 1994;
University Press, 2011. Scott Mainwaring and Matthew Soberg Shugart, 1997,
59
Lihat, Stephen Sherlock, “The Indonesian Parliament Presidentialism and Democracy in Latin America, Cambridge
after Two Elections: What Has Really Changed?” University Press, 1997.
Canberra: CDI, 2007, loc.cit. 62
Lihat, misalnya, Sunny Tanuwidjaja,”Multipartai dan
60
Alexis de Tocqueville, Democracy in America, translated Presidensialisme,” Kompas.com, 11 Juli 2008, diakses pada
by Henry Reeve, 1840. 23 Juni 2015.

14 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


Padahal, seharusnya, sudah muncul pemikiran tidak bisa lagi menjalankan peran sebagai pilar
alternatif dari para ilmuwan politik Indonesia alternatif (keempat) demokrasi, di luar eksekutif,
generasi (milenium) baru untuk dapat legislatif, dan yudikatif, seperti yang berjalan di
melakukan terobosan, memperkenalkan inovasi, AS, karena tidak ada lagi independensi dalam
dan menawarkan solusi baru terhadap masalah menyampaikan berita dan pandangannya.
yang dihadapi di negerinya terkait politik dan Yang lebih memprihatinkan, kekuatan atau
kekuasaan, khususnya perwakilan politik. benteng lain sukses konsolidasi demokratis,
Merujuk pada pada pemikiran Juan J. yakni masyarakat sipil, tidak juga bebas dari
Linz dan Alfred Stepan,63 perlu digarisbawahi pengaruh uang dan upaya kontrol terhadapnya.
bahwa kegagalan konsolidasi demokratis di Sejarah muncul dan perkembangan masyarakat
Indonesia adalah akibat dominasi peran kapital, sipil Indonesia, yang berbeda dengan Barat,
yang dapat diukur pula dari perkembangan telah membedakan eksistensi dan kontribusi
pers dan kebebasan media belakangan ini, mereka terhadap demokrasi. Tidak heran,
yang tidak mengembirakan. Kontrol uang, eksistensi mereka juga tergantung pada funding
selain melanda di partai politik, institusi asing dan negara donor mereka, dengan berbagai
pemerintah, yudikatif, dan parlemen, sehingga conditionalities yang mereka sudah tentukan
sering diplesetkan sebagai “trias-corruptica,” sejak awal. Sehingga, implementasi gagasan
mencakup “execu-thieves,” “judica-thieves,” demokratisasi dan transparansi di Indonesia
dan “legisla-thieves,” juga telah melanda akrab dengan tekanan kebijakan dalam rangka
pers/media massa. Kehadiran media bebas penjualan aset negara ke institusi donor
(liberal) semakin terbatas, karena kebutuhan internasional, seperti IMF dan World Bank,
pragmatis dan mendesak awak media untuk MNC, atau TNC, untuk alasan liberalisasi dan
bisa survive di tengah-tengah kehadiran media penyehatan perekonomian nasional.
massa yang semakin beragam dan berteknologi
canggih, yang rivalitas mereka semakin sengit. F. Mensosialiskan Demokrasi
Sementara, akibat gurita kapitalisme yang tidak Di luar perkembangan kondisi pesimis
terkontrol, media massa yang lemah modalnya di atas, sebenarnya, eksistensi sebagian besar
akan lemah kinerjanya dan kalah berkompetisi, kelas menengah masih bisa diharapkan, dengan
sehingga harus mengalihkan kepemilikan ke sikap liberal mereka, sebagai satu-satunya yang
pemegang modal yang lebih kuat. kondisinya masih lebih baik dibandingkan
Dalam perkembangannya, kepemilikan dengan kekuatan-kekuatan politik lainnya di
media massa semakin mengerucut dan Indonesia, untuk dapat mengarahkan proses
dikontrol beberapa pemodal besar saja, yang transisi demokratis ke jalurnya kembali. Berbagai
tidak lagi menyebar ke banyak pihak, namun langkah koreksi harus segera dilakukan, sehingga
terpusat pada pendiri dan pemilik partai politik. Indonesia dapat mengarahkan jalannya menuju
Ringkasnya, berita dan informasi media massa, konsolidasi demokratis, dengan menawarkan
cetak dan elektronik, berkembang menjadi solusi yang tepat. Langkah ini harus segera
partisan, atau cenderung memainkan peran diambil setelah kita memiliki pemahaman yang
dominan laksana corong partai, yang sangat tepat atas kondisi yang berkembang selama
bias pemberitaannya. Bisa disebut di sini ini, dengan menggunakan analisis ekonomi
misalnya, Surya Paloh mengontrol grup Metro politik yang kita bicarakan ini. Sebab, masalah
TV dan Media Indonesia, Hary Tanoesoedibjo ekonomi politik solusinya haruslah dengan
mengontrol grup MNC, RCTI, Global TV dan menggunakan pendekatan ekonomi politik
Sindo, AburIzal Bakrie mengontrol TV One dan pula.
Vivanews, Agung Laksono dengan AN TV, dan Adapun solusi tepat yang ditawarkan itu,
seterusnya. Sebagai implikasinya, media massa sebagai konsekuensinya, adalah memberi solusi
63
Juan J. Linz and Alfred Stepan, 1996, op.cit. dengan menggunakan cara berpikir dari dalam

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 15


kapitalisme itu sendiri. Dengan jalan berpikir ini, mereka yang telah habis terpakai selama pemilu
sistem kepartaian yang elitis harus dieliminasi, legislatif.
dengan cara mendistribusikan saham Gagasan Mendagri Cahyo Kumolo disambut
kepemilikan secara luas ke masyarakat. Dengan dengan komentar beragam, pro dan kontra,
demikian, dunia politik dan saham partai tidak dan kontroversial ataupun sinis, mulai dari
dikuasai atau didominasi oleh sekelompok elit orang partai, anggota parlemen, aktifis LSM,
(oligarki) partai, melainkan secara perlahan pengamat politik, dan rakyat biasa. Wacana
dapat bermetamorphosis menjadi milik publik. ini sebenarnya konstruktif untuk mulai dapat
Berbagai cara untuk membuat partai bisa mengurai dan mengatasi karut-marut politik
dikontrol publik, dan secara lebih spesifik lagi, uang dan merajalelanya praktek korupsi yang
anggota parlemen bisa dikontrol konstituen dilakukan para politisi selama ini. Namun, karena
mereka pasca-pemilu, bisa dilakukan. Langkah kinerja partai politik dan anggota DPR yang
ini bisa dimulai dengan pemberian subsidi negara masih sangat mengecewakan rakyat Indonesia
dalam jumlah tertentu, berdasarkan besaran pada umumnya, wacana Mendagri Cahyo
atau parameter tertentu. Perhitungannya Kumolo langsung ditentang, sehingga mati
dapat dibuat berdasarkan perolehan kursi di suri sebelum dapat direalisasikan dan sempat
DPR, untuk partai politik yang sukses dalam berkembang. Absennya (sistem) pelaporan
pemilu legislatif, mampu memenuhi ketentuan keuangan partai yang akuntabel selama ini
parliamentary thresold. Ambang batas parlemen dan tidak transparannya laporan sumbangan
dengan sendirinya menjadi seleksi awal boleh keuangan yang masuk dari individu anggota
tidaknya partai-partai politik peserta pemilu partai politik dan kalangan swasta, perusahaan
menerima bantuan keuangan atau subsidi besar (konglomerat), serta dari sumber-sumber
negara. non-APBN lainnya adalah beberapa faktor
Gagasan tentang ini bukannya baru, penyebab munculnya segera penolakan itu,
sehingga tidak juga harus membuat Jahadi terutama dari kalangan pengamat dan LSM yang
Hanan sebagai pihak yang pertama kali vokal.65 Penolakan juga terjadi karena adanya
memperkenalkannya, seperti yang ia lontarkan peningkatan drastis dari jumlah total subsidi bagi
dalam diskusi dengan Puskapol UI pada 27 April partai yang diberikan pemerintah sebelumnya,
2015. Gagasan ini sempat dibicarakan secara yang mencapai Rp13 miliar lebih.66
luas pasca-Pemilu-2009 untuk mencari solusi Karena paham tujuannya untuk
atas dashyatnya politik uang dalam pemilu, mengeliminasi peran dominan atau kontrol
yang telah menjerumuskan banyak politisi modal dari orang atau pemimpin tertentu,
dalam penjara, dan sebaliknya, menyebabkan dan orang yang berada di balik layar, yang
gagalnya caleg yang cakap terpilih. Terakhir juga memiliki kepentingan atas perkembangan
kali, Cahyo Kumolo, seorang pengurus teras partai politik tersebut, Indonesian Corruption
PDIP, yang menjabat sebagai Menteri Dalam Watch (ICW) sebenarnya mendukung besaran
Negeri (Mendagri), secara resmi mengusulkan subsidi bagi partai politik lebih dari itu, yakni
pemberian dana subsidi negara bagi partai, yang meningkat 10 kali lipat, tidak Rp108 per satu
jumlah totalnya sampai 1 trilyun Rupiah, yang kursi, tetapi 1.080, sehingga total subsidi bisa
bersumber dari APBN.64 Selain membantu mencapai sekitar Rp131 triliun lebih.67 Karena,
dukungan finansial buat pengembangan partai, 65
Lihat,”10 Masalah Pendanaan Parpol Versi ICW,”
tujuannya juga untuk mengurangi praktek Kompas.com, 12 Maret 2015, diakses pada 3 Juni 2015.
money politics dan korupsi politisi opasca- 66
Lihat,”Perludem: Kenaikan Dana Rp. 1 Trilyun untuk
pemilu, karena para caleg terpilih dikejar-kejar Parpol Terlalu Drastis,” Kompas.com, 12 Maret 2015,
diakses pada 3 Juni 2015.
tuntutan mengisi kembali kas pribadi dan partai 67
Lihat,”ICW: Idealnya Bantuan untuk Parpol Dinaikkan
10 Kali Lipat,” Kompas.com, 12 Maret 2015, diakses pada
64
“Cahyo Usul Parpol Disantuni Rp. 1 Trilyun,” Detik.com,
3 Juni 2015.
11 Maret 2015, diakses pada 3 Juni 2015.

16 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


selama ini, pemberian subsidi yang transparan di sana dibentuk sebelum pemilu, sehingga
itu bersifat legal, tetapi masih sangat terbatas sulit dikatakan bersifat manipulatif, atau telah
perannya, akibat masih sangat kecil besaran berhasil mengecoh kepercayaan dan pilihan
satuan dan total jumlah subsidinya. Sebagai konstituen atau pemilih loyalis atau konservatif,
akibatnya, peran sumbangan alternatif individu yang masih awam pandangan politiknya. Di
pemilik modal besar dan juga korporasi Jerman, proses politik berlangsung transparan
mereka yang dominan masih sulit diketahui. sekali; serta pemilih sudah melek politik dan
Jika ini berlangsung terus, tidak akan banyak memiliki kesadaran politik yang tinggi, sehingga
efeknya dalam mengeliminasi praktek politik setiap langkah manipulatif akan mendatangkan
uang, korupsi, serta kontrol modal atas setiap hukuman di akhir koalisi partai dan pada saat
kebijakan dan keputusan fraksi di parlemen. pelaksanaan pemilu baru.
Wacana subsidi negara untuk partai poltik Jadi, harus diperhatikan di sini bahwa, selain
dilontarkan Mendagri Cahyo Kumolo pada 11 dukungan pendanaan yang bersumber dari
Maret 2015, ketika Pemerintahan Jokowi baru individu anggota partai yang meluas, sebagai
beberapa bulan berjalan, dan oposisi tengah pembuktian atas partisipasi, keterlibatan, dan
menguat. Sepintas tawaran ini seperti langkah tanggung jawab politik yang kuat dari anggota
pragmatis untuk mengurangi tekanan oposisi terhadap partai politik mereka masing-masing,
Koalisi Merah Putih (KMP) yang dikuatirkan perhatian dan dukungan juga meningkat dari
dapat menghambat Pemerintahan Jokowi, negara, sebagai bukti komitmen negara untuk
karena datang dari Cahyo Kumolo, Mendagri, meningkatkan kualitas demokrasi. Yang ingin
yang juga politikus kawakan PDIP. Melihat digarisbawahi di sini adalah kontrol modal
tujuannya yang konstruktif untuk mengurangi dalam sistem politik dan kapitalisme yang
peran modal individual atau segelintir elit dianut Jerman telah berhasil ditumpulkan
partai dan pemilik modal, usulan peningkatan oleh adopsi sistem ekonomi pasar sosial
subsidi negara bagi partai dari Mendagri Cahyo (Sozialmarkwirschaft). Sehingga, upaya
Kumolo, seharusnya didukung, apalagi jika akan menjinakkan kontrol modal dan kapitalisme
ditindaklanjuti pasca-pemilu serentak tahun secara lebih luas adalah, upaya demokratisasi
2019. Dengan cara ini, sumber pendanaan menuju konsolidasi, yang harus dilakukan
partai politik semakin meningkat, yang artinya selain dengan memperluas kepemilikan saham
semakin tinggi bantuan subsidinya akan partai, juga dengan meningkatkan pengenaan
semakin baik untuk mengeliminasi politik uang pajak terhadap para pemilik modal, di satu sisi,
dan kontrol modal atas penyusunan kebijakan dan mengawasi penggunaannya, di sisi lain.
publik di parlemen. Ini, harus disadari, sesungguhnya implementasi
Masalah pemberian subsidi negara bagi ini berhubungan langsung dengan prestasi
partai yang lolos ke parlemen sudah diterapkan pemerintah dalam melaksanakan penegakan
sejak lama secara legal dan lebih baik di Jerman, hukum, yang menjadi prasyarat konsolidasi
yang mengadopsi sistem kapitalisme. Kritik yang demokratis.
muncul kemudian, bahwa solusi tersebut juga Adapun prasyarat atau pilar lain, yakni
memunculkan kartel politik, tidak beralasan peran media massa yang bebas dan masyarakat
kuat. Sebab, selama mekanisme pemilu yang sipil yang kuat, yang disinggung di awal esei ini,
jujur dan adil masih bekerja dengan baik, akan juga tergantung koreksinya pada upaya
kepentingan partai poliitk untuk melanggengkan pemerintah untuk melakukan pengaturan
kekuasaannya dalam pemerintahan dan yang baik terhadap kontrol modal di media
parlemen melalui koalisi pragmatis demi massa dan juga dalam memperjuangkan dan
mempertahankan subsidi keuangan negara, senantiasa memelihara kebebasan publik.
dapat dihindarkan. Sebab, berbeda dengan di Perbaikan kinerja melalui pengawasan dan
Indonesia, belajar dari Jerman, koalisi pragmatis tindakan tegas para pemimpin di tingkat atas

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 17


terhadap aparat penegak hukum menjadi dan tidak akan mengganggu keseimbangan
penting, sehingga konsistensi sikap dan dalam kontrol kekuasaan di dalam partai politik
kepastian hukum dapat tercipta. Jerman dan dan pengambilan keputusan, serta pembuatan
AS adalah dua contoh berbeda yang baik kebijakannya.
untuk dijadikan pelajaran tentang demokrasi Dengan pemberian konsesi ini, partai politik
yang sudah terkonsolidasikan. Kedua negara akan menjadi lebih bergairah, karena semakin
tersebut tidak bisa dikatakan tidak demokratis dirasakan kepemilikannya oleh lebih banyak
dalam sistem politik mereka dan sangat orang, dan dengan sendirinya menjadi semakin
kapitalis. Yang pertama, Jerman, lebih kentara demokratis, karena sumber-sumber keuangan,
dalam mengontrol peran kapital dalam sistem dan kekuasaannya semakin terdistribusikan.
perekonomian nasional dan politik, sedangkan Ini secara logis dapat diartikan, kontrol seorang
yang kedua, AS, lebih kentara dalam komitmen pemilik modal dalam partai dapat diintervensi
mempertahankan kebebasan media massa dan oleh pemilik modal lainnya, mengingat
kekuatan masyarakat sipil. Realitas yang masih pemegang sahamnya semakin banyak dan
menunjukkan adanya hukum yang tegak dan beragam. Semakin beragam pemegang saham
keadilan sosial yang masih bisa diharapkan atau kontributor keuangan partai politik akan
di kedua negara itu pulalah yang membuat semakin sehat dan demokratis pengambilan
demokrasi bisa bertahan dan tetap menjadi keputusan dalam partai, dan juga kian baik
sebuah pilihan rasional di sana. Padahal, praktek demokrasi yang diperlihatkan parlemen.
pertumbuhan ekonomi, yang juga menjadi Pemberian dana desa dalam bentuk proyek
tesis pembelaan para Indonesianist asal AS, pembangunan, jika sistem bisa dibuat akuntabel
seperti Donald K. Emerson,68 selain ekonom secara menyeluruh pelaksanaannya, bisa
India, Amartya Sen, di kedua negara itu dalam dikembangkan menjadi cara untuk memperbaiki
beberapa tahun belakangan terus melemah, dan meningkatkan kontrol konstituen atas
dan belum juga bangkit. anggota DPR, yang selama ini dikritisi lemah,
Jadi, upaya-upaya mensosialiskan69 sistem karena terputus setelah pemilu legislatif selesai.
ekonomi dan politik di Indonesia harus Sementara, pemberian dana komunikasi
diperluas atau dilanjutkan. Sehingga, peran dalam bentuk uang langsung ke anggota DPR,
yayasan yang bisa berperan, dalam batas yang dapat dibawa dan diberikan mereka ke
tertentu, menyumbang pendanaan partai konstituen dalam berbagai kegiatan kunjungan
politik, perlu dilegalisasi, seperti halnya Konrad kerja (kunker) diketahui sebagai sebuah
Adenauer Stiftung (KAS) untuk Partai Christlich langkah yang sangat menyenangkan dalam
Demokrtische Union (CDU) dan Frederich Ebert meningkatkan keterlibatan konstituen dan
Stiftung (FES) untuk Chritlich Soziale Union masyarakat, terutama simpatisan partai. Tetapi,
(CSU) di Jerman dan International Republican jika lepas dari sistem pertanggungjawaban
Institute (IRI) untuk Partai Republik dan keuangan yang baik, para anggota DPR akan
National Democratic Institute (NDI) untuk mudah tergelincir dalam berbagai bentuk
Partai Demokrat di AS. Alternatif lain, pelanggaran hukum yang bersifat kegiatan
perlu dilakukan perluasan dan peningkatan dan perilaku Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme
besaran dana sumbangan anggota partai dan (KKN). Sebagai akibatnya, upaya memperluas
simpatisan, sampai batas yang bisa ditoleransi atau mensosialiskan kepemilikan saham dalam
partai untuk mengeliminasi dominasi kontrol
68

Lihat, untuk pembanding, Donald K. Emerson, “Singapore dalam partai dan politik di parlemen akan
and the “Asian Values” Debate,” Journal of Democracy,
Volume 6, Number 4, October 1995: 95-105.
kembali menemui kegagalan dan menjadi sia-sia
69
Tepatnya mengombinasikan, karena pada dasarnya saja, tidak dapat memenuhi harapan terhadap
ideologi negara yang menjadi landasan filosofis politik terobosan yang dilakukan.
dan ekonomi pilihan para Bapak Bangsa juga merupakan
praktek konvergensi kapitalisme dan sosialisme.

18 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


Sementara itu, desakan realisasi pemberian dikenal selama ini sebagai “uang perahu”
dana aspirasi anggota parlemen yang dititipkan dari para calon kepala daerah, menjelang
dalam bentuk program-program/proyek- pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada)
proyek pembangunan ke pemerintah pusat dan serentak, sangat maju dan menggembirakan. Ini
daerah, yang berselubung pork barrel system juga akan mengurangi masalah dari hulu, yang
yang masih dipraktekkan di Filipina, dan lebih selama ini membuat partai sebagai alat atau
awal diaplikasikan di AS, masih perlu dikaji modal untuk mencari kekuasaan dan sekaligus
lebih mendalam dan cermat. Jika tidak, apa uang, yang menjadi penggerak politik uang
yang dikuatirkan LSM dapat terjadi, yakni dan praktek KKN lebih luas. Turun tangannya
menciptakan anggaran pembangunan dan pemerintah untuk menanggulangi atau
alokasi yang tumpang-tindih, sehingga malah menalangi biaya kampanye calon kepala daerah
memperkuat kondisi kesenjangan sosial yang adalah kemajuan yang lebih berarti, untuk
sudah ada.70 Karena, jumlah kursi atau daerah mengurangi secara drastis desakan terhadap
pemilihan (dapil, konstituensi) berbeda-beda para calon kepala daerah untuk menjalankan
di setiap propinsi, dengan kondisi dewasa ini, politik uang. Tetapi, di luar ini, bukan berarti
kursi atau dapil di Pulau Jawa jauh lebih banyak politik uang telah berakhir, karena masih
dibandingkan dengan di luar Pulau Jawa, dibutuhkan sistem akuntabilitas yang rapi dan
khususnya wilayah Indonesia bagian timur. praktek good governance, serta pengawasan dan
Kehadiran dana aspirasi yang didikte oleh ketegasan sikap aparat penegak hukum, media
anggota DPR akan memperkuat politik kartel massa, dan masyarakat sipil. Dengan demikian
dan oligarki politik, sedangkan daya kritis pula, pemilu yang terbuka dan jujur dapat
anggota DPR akan tumpul, karena kolusi diimplementasikan, demi terciptanya demokrasi
politik akan berlangsung antara pemerintah dan yang kokoh dan terkonsolidasi dengan baik.
parlemen. Sebab juga, dalam kondisi pembuat Tanpa ini semua, dominasi kapital atau
dan pengawas kebijakan berada di tangan yang kultur uang akan menumbuhkan kondisi
sama, yakni parlemen, fungsi pengawasan akan alternatif atas munculnya partai-partai
sulit dijalankan. Sehingga, pelaksanaan fungsi politik dan politisi populis, yang belum tentu
anggaran tidak boleh diartikan parlemen juga sepenuhnya pro-rakyat, kecuali di permukaan
sebagai pihak yang membuat dan menentukan saja, mengingat oligarki masih berkuasa, belum
anggaran dan proyek di lapangan. Pada terkikis, dan malah tengah naik daun,71 akibat
prinsipnya, tekad dan upaya keras untuk menguatnya kapitalisme dan munculnya
memperhatikan dan membela aspirasi rakyat neoliberalisme, yang menciptakan struktur
di dapil harus memang bersikap adil dan tidak neofeodalisme dalam struktur politik dan
diskriminatif bagi setiap wilayah dan penduduk kekuasaan di Indonesia. Struktur oligarki dalam
di Indonesia. Di sisi lain, Indonesia seharusnya neofeodalisme ini, jika tidak dapat dikikis, akan
juga telah belajar banyak dari Filipina dan AS membentuk masyarakat semi-kasta, di tengah-
dengan pork barrel system-nya, yang juga telah tengah euphoria demokrasi dan meningkatnya
menciptakan masalah baru, dalam bentuk partisipasi politik, akibat kegagalannya dalam
tindak pidana korupsi dan pelanggaran sistem menciptakan mobilitas vertikal, seperti
keuangan lain, yang telah berakhir di pengadilan diungkap sosiolog, Iwan Gardono.72
dan pada pengenaan sanksi pelengeseran dari Di AS, politik juga sarat dengan kekuatan
kursi legislatif. kapital, sehingga dibutuhkan ongkos yang
Sikap partai belakangan yang tidak tinggi untuk sebuah kursi Kongres, apalagi kursi
menyaratkan lagi adanya “mahar” atau yang
71
“Era Politik Populis di Asia Tenggara,” Kompas, 9 Juni
70
Lihat, penilaian LSM yang fokus pada anggaran negara 2015: 1. Juga, “Politik Populis Terjepit Oligarki,” Kompas,
(Center for Budget Anlaysis) dalam, misalnya, Kompas, 10 9 Juni 2015: 6.
Juni 2015.
72
“Mencegah Masyarakat Semi-kasta,” Orasi Profesor Iwan
Gardono, Kompas, 11 Juni 2015.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 19


Kepresidenan. Tetapi, mobilitas vertikal masih khususnya terhadap kekuatiran atas apa yang
terbuka, sehingga orang kulit hitam dan dari tengah berlangsung dewasa ini. Pendekatan
kalangan masyarakat bawah, seperti Barack dan alat analisis yang selalu berangkat dari
Obama, masih bisa terpilih sebagai presiden perspektif intstitusionalisme, yang sudah usang
--peluang yang tersedia tidak hanya bagi dinasti dan tidak lagi dapat diandalkan, karena tidak
Clinton dan Bush. Sementara, di masa lalu, lagi memperlihatkan relevansinya, sudah harus
di Eropa, dan kemudian di Indonesia, sebagai ditinggalkan. Tanpa itu, analisis politik dan
respons atas perkembangan yang buruk era kekuasaan, terutama mengenai perwakilan
transisi demokratis ini, partai-partai politik politik, akan selalu terjebak pada jalan buntu
dan pemimpin yang populis muncul, dan justru yang lama, dan gagal memahami masalah yang
menjerumuskan negara pada terbentuknya dihadapi dan terus berkembang di Indonesia.
rejim-rejim totaliter (kediktatoran) yang telah Dari kajian terhadap hasil-hasil riset
membawa negara-negara pada Perang Dunia kontemporer mengenai perkembangan politik
II yang dahsyat dan Perang Dingin yang dan kekuasaan di Indonesia, tampak bahwa
berkepanjangan. Sebagai konsekuensinya, bahan-bahan referensi yang berasal dari para
Indonesia tidak boleh mengarah ke masa Indonesianist Barat belum tentu akurat untuk
depan yang sama, seperti di masa lalu, dan juga bisa diandalkan dalam memahami masalah
dewasa ini, dengan situasi Eropa yang ditandai serta mencari dan menawarkan solusi atas
meningkatnya dukungan dari rakyat terhadap permasalahan (perwakilan) politik di Indonesia.
kehadiran partai-partai nasionalis (ekstrim) Karena, dalam kasus tertentu, analisis mereka
kanan, yang chauvinis, rasis, dan sangat terkendala oleh keterbatasan dalam memperoleh
diskrimintif. dan memahami bahasa dan teks dari sumber
data dan informasi lokal yang tersedia. Padahal,
G. Penutup hanya dengan dengan pemahaman yang lebih
Dengan menggunakan pendekatan baik terhadap perkembangan politik dan
ekonomi-politik yang telah diintroduksi pada kekuasaan (demokrasi) di Indonesia, maka
dasawarsa 1980, masalah-masalah klasik dapat dicari solusi yang relevan atau tepat, dan
dalam transisi demokratis di banyak negara tidak lagi parsial, atau bersifat di permukaan,
dapat lebih baik, kritis, dan mudah dipahami, apalagi artifisial.
tanpa bermaksud menyederhanakan masalah Dalam penilaian yang lebih spesifik, peran
atau bertitik-tolak dari pemikiran yang bersift institusi pendidikan dan riset, serta akademisi
konspiratif. Melalui perspektif ini, kegagalan di belakangnya, apalagi para profesor dan
konsolidasi demokratis di negara-negara doktor, kaum mandarin, dan intelektual, harus
demokrasi baru dapat lebih jauh dipahami menjauhi diri dari proyek-proyek pekerjaan
secara komprehensif. Demikian pula terhadap yang hanya bersifat pencitraan dan semata
fenomena baru yang muncul di negara digerakkan oleh motivasi untuk memperoleh
demokrasi baru yang mengalami penyimpangan kapital, dan bukan kepentingan obyektif
(distorsi) dalam proses transisi demokratisnya. dan panggilan (amanah) untuk memperbaiki
Fenomena muncul dan menguatnya sistem yang rusak itu. Dengan kata lain, peran
oligarki yang diiringi dengan tumbuh suburnya pendidikan tinggi atau universitas, institusi
kapitalisme dengan neoliberalismenya riset, seperti Center for Election and Political
pasca-rejim otoriter Orde Baru Soeharto Party (CEPP) dari FISIP UI yang dewasa ini
di tahun 1998, dan kegagalan transisi sangat aktif berupaya memperbaiki citra DPR,
demokratis dalam mewujudkan konsolidasi serta think-thank dan kaum intelektual harus
demokratis telah mengingatkan kembali menjauhi kerja yang tidak relevan dalam
pada pentingnya analisis ekonomi politik mengoreksi sistem, terutama dalam membantu
terhadap perkembangan demokrasi Indonesia, memperbaiki kinerja parlemen dan sistem

20 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


pendukungnya. Mereka harus menghindari elektabilitas calon (caleg dan capres), serta
solusi yang tiba-tiba berujung pada rekomendasi kualitas parlemen dan pemerintah baru yang
pengadaan atau belanja infrastruktur fisik akan terbentuk.
yang mahal dan boros, baik yang dilakukan Sebagai konsekuensinya, solusi yang
secara sadar, ataupun tidak telah ditumpangi seharusnya, bukanlah menawarkan pengadaan
kepentingan politik para politisi, yang sarat dana aspirasi yang akan mengakibatkan
dengan peran dan permainan kapital yang ketimpangan dan mendukung berkembangnya
belum tentu relevan dan logis penjelasannya secara subur praktek-praktek korupsi dan
untuk memperbaiki system yang harus dikoreksi kolusi akibat kontrol kekuasaan politik yang
itu. Kelompok think-thank di DPR seharusnya begitu besar dalam penentuannya. Sebab,
fokus membantu DPR dalam kerja produktif di negara manapun, jika diterapkan, dalam
menghasilkan legislasi yang baik, dan jangan kondisi pembuat dan pengawas kebijakan
sampai terlibat menjerumuskan parlemen adalah pihak yang sama, maka kecenderungan
masuk dalam perangkap KKN dan proyek pelanggarannya akan besar. Peluang
pencitraan yang bersifat di permukaan, sangat destruktifnya akan semakin besar terjadi dalam
keliru, dan tidak menyentuh dan menjawab negara yang masih tidak transparan proses
persoalan dasar. pembuatan kebijakannya, dan masih sangat
Dengan demikian, peran sesungguhnya yang rendah kesadarannya terhadap pentingnya
harus dimainkan institusi riset dan akademisi implementasi akuntabilitas sistem.
adalah membantu terciptanya sistem pendukung Selanjutnya, proses memperjuangkan
yang andal bagi terlaksananya peran dan kerja kesejahteraan rakyat di dapil haruslah
sebuah parlemen modern. Keterlibatan yang melalui proses deliberasi terbuka dan bukan
dapat dibenarkan adalah kehadiran mereka penjatahan absolut. Sebab, sistem seperti ini
yang aktif dan mendalam dalam berbagai hanya akan mendukung terciptanya oligarki
kerja legislasi membantu parlemen dapat kekuasaan, termasuk di daerah-daerah, dan,
menghasilkan kebijakan publik yang tepat bagi sebaliknya, menghambat mobilitas vertikal
rakyat banyak, serta mengawasi secara politik rakyat, dan, secara khusus, kaderisasi dan
jalannya pemerintahan sehari-hari dari dekat regenerasi kepemimpinan. Sistem ini juga akan
dan konsisten, tanpa lengah sedikitpun. mendukung gerontokrasi akibat bertahannya
Secara lebih spesifik lagi, untuk menjawab orang kuat dalam partai-partai politik, karena
masalah-masalah yang muncul pasca-transisi kekuatan kapital atau kontrol modal mereka
demokratis di Indonesia, tampak kebutuhan yang besar. Partai mayoritas akan terus menjadi
membuat sistem politik dan kekuasan mayoritas, dan yang minoritas sulit berkembang
--demokrasi, di Indonesia-- menjadi lebih akibat alokasi penentuan pengaliran dana
berwatak sosialis. Indonesia, tentu, harus mampu yang subyektif dan keliru, dan bersifat absolut
keluar membawa dirinya keluar dari perangkap tersebut. Proyek dan kesejahteraan akan
model pembangunan kapitalis, jika tidak ingin menumpuk terus di suatu wilayah yang dapilnya
terus berada dalam kubangan ketergantungan banyak dan sudah maju, seperti di Jawa dan
dan keterbelakangan, seperti negara-negara di Sumatera, sedangkan wilayah yang dapilnya
Amerika Latin pada dasawarsa 1960. Upaya sedikit dan belum maju akan terus tertinggal
mensosialiskan sistem politik harus sudah kemajuan mereka.
mulai dilakukan dengan mengurangi beban Sementara itu, pelibatan negara dan
partai politik dan anggotanya sejak sebelum masyarakat sangat vital dalam menjadikan
pemilu legislatif (pileg) dan presiden (pilpres) partai politik sebagai milik dan alat publik, dan
dilaksanakan. Langkah ini.dapat mengurangi tidak berwatak elitis lagi, atau sebagai alat untuk
ketergantungan pada politik uang dan peran mencari kekuasaan, dan, pada akhirnya, uang!
kapital yang dominan dan sangat menentukan Dalam hal ini, semakin banyak dan dalam publik

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 21


terlibat akan semakin baik, karena mereka Apter, David E. Pengantar Analisa Politik. terj.
akan semakin dapat mengendalikan arah dan Setiawan Abadi. Jakarta: LP3ES, 1985.
masa depan partai politik, sistem kepartaian, Baran, Paul A. The Political Economy of
dan wajah demokrasi yang berkembang di Development. Penguin Books, 1974.
Indonesia. Jadi, upaya mensosialiskan sistem
politik adalah solusi absolut terhadap peran __________. The Political Economy of Growth.
dominan kapital dalam politik dan kekuasaan di Monthly Review Press; Penguin Books,
Indonesia. Tanpa itu, demokrasi Indonesia sulit 1972.
dapat terkonsolidaskan seperti yang diharapkan Bell, Daniel. The End of Ideology: On the
para pakar perubahan politik dan demokrasi, Exhaustion of Political Ideas in the Fifthies.
seperti Linz dan Stepan, yang sesungguhnya Harvard University Press, 1960.
diharapkan pula oleh para pakar pendahulu
Berstein, Henry (Ed.). Underdevelopment
mereka seperti Dahl, Huntington, Emerson,
and Development, the Third World Today.
dan bahkan juga oleh Przeworski dan Sartori.
Penguin Books, 1976.
Dan prospeknya, seperti halnya demokrasi
di negara demokrasi baru lainnya, akan terus Budiardjo, Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik.
terperangkap dalam wilayah abu-abu, tanpa Jakarta: Gramedia, 2008.
kejelasan masa depannya, yang malahan akan Bunte, Marco and Andreas Ufen.
menjerumuskannya kembali masuk ke dalam Democratization in Post Suharto Indonesia.
sistem lama yang otoriter. Jika kondisi ini Oxon: Routledge, 2009.
yang terus berlangsung, prospek demokrasi
Indonesia hanya akan mendukung segera Chalmers, Ian and Vedy R. Hadiz (Eds.), The
hadirnya kembali kedikatatoran politik akibat Politics of Economic Development in Indonesia:
kembalinya militer ke dalam ranah politik Contending Perspectives. Routledge: London,
sebagai penentu kebijakan, karena karakternya 2005.
yang tetap hidup sebagai praetorian. Dahl, Robert A. Modern Political Analysis. New
Delhi: Prentice-Hall of India, 1978.
Easton, David. A System Analysis of Political
Life. New York: John Wiley, 1965.
DAFTAR PUSTAKA
Feith, Herbert. The Decline of Constitutional
Democracy in Indonesia. Equinox Publishing,
2006.
Buku Feith, Herbert and Lance Castle. Indonesian
Acemoglu, Daren and James Robinson. Political Thinking 1945-1965. Ithaca: Cornel
Why Nations Fail: The Origins of Power, University Press, 1970.
Prosperity, and Poverty. Paperback, Crown Frank, Andre Gunder. Capitalism and
Business, 2013 Underdevelopment in Latin America. New
Ambardi, Kuskridho. Mengungkap Politik York: Monthly Review Press, 1967.
Kartel: Studi tentang Sistem Kepartaian di Fukuyama, Francis. The End of History and the
Indonesia Era Reformasi. Jakarta: Penerbit Last Man. New York: Free Press, 1992.
KPG, 2009.
Hadiz, Vedy R. Dinamika kekuasaan: ekonomi
Almond, Gabriel A. and G. Bingham Powell, Jr. politik Indonesia pasca-Soeharto. Jakarta:
Comparative Politics Today: A World View. LP3ES, 2005.
New York: Harper Collins, 1992.
__________. Workers and the State in New
Order Indonesia. London: Rotledge, 1997.

22 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016


Huntington, Samuel P. Political Order in Sen, Amartya. The Idea of Justice. UK: Allen
Changing Society. Yale: Yale University Lane, 2009.
Press, 1968. __________. Poverty and Famine. Oxford, UK:
Kunio, Yoshihara. The Rise of Ersatz Capitalism Oxford University Press, 1981.
in South-east Asia. Manila: Ateneo de Sherlock, Stephen. The Indonesian Parliament
Manila University,1988. after Two Elections: What Has Really
Lijphart, Arend. Electoral Systems and Party Changed? Canberra: CDI, 2007.
System. Oxford: Oxford University Press, Tocqueville, Alexis de. Democracy in America,
1995. translated by Henry Reeve, 1840.
__________.Patterns of Majoritarian and Wallerstein, Immanuel. World System Analysis.
Consensus Government in Twenty-One Durham, Duke University Press, 2004.
Countries. New Haven: Yale University
Press, 1984. __________. Modern Worlds System. New York:
Academic Press, 1976.
Linz, Juan J. and Alfred Stepan, Problemes of
Democratic Transition and Consolidation: Winters, Jeffrey A. Oligarchy. Cammbridge:
Southern Europe, South America, and Post- Cambridge University Press, 2011.
Communist Europe. Washington DC: John
Hopkins University Press, 1996. Jurnal/Disertasi/Hasil Riset/Makalah
Linz, Juan and Arturo Velenzuela (Eds). The Emerson, Donald K. “Singapore and the
Failure of Presidential Democracy, Johns “Asian Values” Debate.” Journal of
Hopkins University Press, 1994; Democracy, Volume 6, Number 4, October
1995: 95-105.
Macintyre, Andrew. Business and Politics in
Indonesia, Syufney: Allen & Unwinn, 1991. Hadiz, Vedy R. “The Rise of Capital and the
Necessity of Political Economy.” Journal
Mainwaring, Scott. Presidentialism,
of Contemporary Asia, 05/2013; 43(2)/
Multipartism, and Democracy: The
Indonesia, 01/2013.
Difficult Combination, http://cps.sagepub.
com, Comparative Political Studies, 26, 1993. Hadiz, Vedy R. and Richard Robison,”The
Political Economy of Oligarchy and the
Manwaring, Scott and Matthew Soberg
Reorganization of Power in Indonesia.”
Shugart. Presidentialism and Democracy
Indonesia, Vol. 96, October 2013: 35-58.
in Latin America. Cambridge: Cambridge
University Press, 1997. Haris, Syamsuddin.”Sistem Proporsional yang
Disempurnakan bagi Pemilu 1999.” kertas
Merkel, Wolfgang et al, Defekte Demokratie,
kerja pada pada Dialog Nasional Agenda
Band I: Theorie. Opladen: Leske & Budrich,
Pemilu: Visi, Tantangan, dan Prospek, di
2003: 113-116.
UI, 20-21 Juli 1998.
Mietzner, Marcus and Edward Aspinall (eds.).
Legowo, Tomy A. “Disparitas Hubungan Parlemen
Problems of Democratization in Indonesia.
dan Aspirasi Rakyat.” kertas kerja, 2011.
Singapore: ISEAS, 2010.
__________.”Pemilihan Umum dan Perwakilan
Rahardjo, M. Dawam.Esei-esei Ekonomi-Politik.
Politik.” Jurnal Jentera, Edisi 16, Tahun IV,
Jakarta, LP3ES, 1985.
April-Juni 2007.
Robison, Richard. The Rise of Capital. Sydney.
Lev, Daniel S. “Political Parties in Indonesia.”
Allen & Unwinn, 1986.
Journal of Southeast Asian History. Singapore:
March, 1967.

Poltak Partogi Nainggolan: Peran Kapital dan Gagalnya Konsolidasi Demokratis 23


“Reformasi Sistem Perwakilan Politik di ICW: Idealnya Bantuan untuk Parpol
Indonesia.” makalah presentasi, laporan Dinaikkan 10 Kali Lipat.” Kompas online,
penelitian, Jakarta: Puskapol FISIP-UI, 2015. 12 Maret 2015, diakses pada 3 Juni 2015.
Sanit, Arbi. “Pematangan Demokrasi dan Keliat, Makmur. “Pelembagaan Ekonomi-
Sistem Politik Indonesia.” makalah Poitik,” Kompas, 14 Maret 2016: 6.
presentasi di Jurusan Ilmu Politik UNI, Kompas, 10 Juni 2015: 1, 6-7.
Jakarta: Puskapol UI, 2015.
Lee, Antony “Indeks Negara Rentan: Parpol,
Tanjung, Akbar. “Partai Golkar dalam Korupsi, dan Penguasaan Elite,” Kompas,
Pergolakan Politik Era Reformasi: 5 Maret 2016: 4. “Mencegah Masyarakat
Tantangan dan Respons.” disertasi Semi-kasta.” Orasi Profesor Iwan Gardono,
doktoral, Yogyakarta: Pasca Sarjana fisipol Kompas, 11 Juni 2015.
UGM, 2009.
”Perludem: Kenaikan Dana Rp. 1 Trilyun
Ufen, Andreas. “Party systems, Critical untuk Parpol Terlalu Drastis.” Kompas.com,
Junctures, and Cleavages in Southeast 12 Maret 2015, diakses pada 3 Juni 2015.
Asia.” Asian Survey, Volume, 01, 2012, 52,
No.3: 441-464. “Politik Populis Terjepit Oligarki.” Kompas, 9
Juni 2015: 6.
__________. “From aliran to dealignment:
political parties in post-Suharto Indonesia.” Rahardjo, M. Dawam. ”Pancasila dan Akhir
South East Asia Research, 16, 2008, No.1: Ideologi.” Kompas, 22 Juni 2013.
5-41. Salahudin, Asep. ”Komodifikasi Politik Wong
Cilik.” Media Indonesia, 22 Maret 2016: 6.

Suratkabar/Portal Siregar, Herman. ”Bahtera Partai Golkar


Terancam Karam.” 3 Mei 2009.
“Cahyo Usul Parpol Disantuni Rp. 1 Trilyun.”
Detik.com, 11 Maret 2015, diakses pada 3 Susetyo, Benny. ”Gagal Membaca Zaman.”
Juni 2015. Kompas, 21 Maret 2016: 7.
“Era Politik Populis di Asia Tenggara.” Kompas, Tanuwidjaja, Sunny. ”Multipartai dan
9 Juni 2015: 1. Presidensialisme.” Kompas.com, 11 Juli
2008, diakses pada 23 Juni 2015.
”10 Masalah Pendanaan Parpol Versi ICW,”
Kompas.com, 12 Maret 2015, diakses pada
3 Juni 2015.

24 Politica Vol. 7 No. 1 Mei 2016

You might also like