You are on page 1of 15

55N 00t0-9J11

Volume 51 . No. 4 (Supplement) . July 2011

Paediatrica
Indonesiana
(The Indonesian Joumal of Pedratrics and Perinaral Medicine)

Abstroci OT ihe l5'h Indonesion C ong re ss ol Pedioirics,


Indonesion Pedioiric Socie ry,
Monodo, Indonesio,
1I -l 4 .luly 201 1

Publshed by:
Indonesian Pediatric Society
Paediatdca Indonesiana
hdorcsian loumal of Pedintics and PerirwalMedicine
Advisory Edrd
Brn$rng Madiy@o, Husein Alxtas, L C. N. Cd. R"nuh,
lsbndar \0ahitliyat. Mulyono TE*oienojo, sofirn lsmel

Rulim Sundi Anm. Hendato


Akul5ahm tunawati Rols6Mtho
Mada
Budining\q€(ri Etuns@ngc$m
AtiPnborini MlljdiM.Dj.r
Jrnat we$ B€ranghsn

Henina Dimirti (Aceh) Endy Pra€nro (Yos]€lrfu )


M!h.hn.d Ali (Medan) Anaa Endaoa.o (Surabaya)
Finny Fitd Yani (Pad.ng) Sitl Linmns K.mqan (Malans)
tu, Nova (Prlenb3ng) Ratm Des Atati (Maka$a!)
Dama'an Budi Seryanto 0atana) Endans De* trs&] (solo)
H.,1. Melinda (BrnJung)
Mde Mexitrlb (S.m$ng)
ln@tional ldnoriJ A@rd
Robtrt ouvrier (s]dfty)
V,cror ): H Yu (Melboume) Ilrh D. Sanos G,hro (M.ndr)
H,ns A Bull.r (R{nr.!da6) Moh,l Sham Kasin (Kuela LL pur)
j L. wilkinsn (Melbourne) Habil B Lonrbaf (Hunlary)
Prsons Tuchmdr (Bansk.k)

Ildon$iai Rp 1tt.000.- tsr F{


M.dilel Schol Unis'i$ or l nd.{e!ia A[ olht, ounrdAi US t 60 F yer
JNLn Srldb!6. Jal:ru !r
10410. Inbn slnglt.opy & r0 0r,. or us I r0
Fd. +6r-rr.r14?r4l (va[,r undl Drcnhtr ]01r)
Enail, ordiaEiDdon$@rrhN.<,n
tu.hsr. wv p*JfricarnJon rmr.d!
Paediari.a Indonesiana
\hl. 51, No. 4 (Supplement), Jlly 2Ot I
ln,lonesian Consre$ of Pcdiari.s, InJoberian pediah.jc
Mrmdo, lnLlo.csia, I I - 1.1 Julf 201 I

Orrl Ab$acr Sesion: Allersr thnunology

Rdr n]4.ahN\ \\ r, rNN 1oi I


.ln.l\,J] Lrkl. 1 \LAnt0.,ir{$ li
.$ l/!d AnLt eu[ slrtr LoDN!.hr..
ri,ah,rJrto \(r,.ir,(;q,{ lfr^rnL n)$it.ur.l
(im.l.tunBeN-,:\, rolr Tri r!

t.L.i,,rli, \tl{! | s\urL !trtnA[{a! (]r Jj!,

dbooiHnj .i rr( r i nnt ar [1!E

Onl Ab{ract S.ssion: Cardiololv


Tl} R.rr, nihL.&q+tr L).LldL! \1,

rArlHdf^ar L{\ Bfth \\!,!n

P ll,,1,!l ! \ rir \ i \imrft ,r \trJJ.iii


'riJt \t.,8!,
\e*:nn: Nur,r,tu N
:.1, Mddr.,h.

\i r rr,{f[n.r ],Ja tL It . ri
Paediatrica lndonesiana

Mortaliry PEdicto. Of A B.ain Abc€$ Stig@Epil€psy: Pslrhop.rhotogiclnpacr


Child.€n ln D.. Soetomo Hospnal On Parent Of Clrild!€n Wirh Epilepsv

&l@d'T|cnraJ.'jLcF'alp*m$d.|hF.rcl

obnrd. To dek.hn.6! FJra. i

-rh &".
"|''-' &-cJ,r xr; . D*..b. xra
"-" *qrL,!M.Ld'^..,,*..-|"d"".Ld"J^^".1
J"[". -Ld.d*r^F;
^

c
-"rr.. a F"") Gb..,- *".*r.^ ^*.i.d roi{5 5$r

.d *.".d cu e-d i&,r..,;* 6.d -


6(,? 'o(5\)
r\) qd e($ ea) tuhE +ft $
ts(5er6). p@uhoft! n r(e1%). nrtuutuD n 306 r*r
FrhoFddlo rpbb), $J {0 t4 | ?*) ed scL
eo<q. >d Gbnqnr, u6 FKhop FrN!
olniqu5 ri.r\ Lroq@cdi|I6fr

!fted cM
r (.t5%)
-.n" ?e (i, r%) *dhi..."J--e;" rl
(oRe 4 r, 95ecr.r Le r {r). hlrn!trEooroR R0%),Fr&,i 14 o5*) nd tsFL$F [ 1rj%)
scl-slMgF{ntd.Ljicn$ld.pihNh
re"qa ,&ru qLF' s(r. f
X4ad3'd,Js6fudin4('fu

50. n!&k lnlEr rir 5r N! , rvrpt€t@,l 2arr


STIGMA EPILEPSY : PSYCHOPATHOLOGIC IMPACT ON PARENT OF
CHILDREN WITH EPILEPSY

Dewi Sutriani Mahalini*, Dwi Putro Widodo**


*Department of Pediatric, Medical Faculty of Udayana University/Sanglah Hospital Denpasar-Bali.
** Department of Pediatric, Medical Faculty of Indonesia University/ Cipto Mangunkusumo Hospital,
Jakarta

Abstract
Background. The stigma of epilepsy can give negative impact not only to people wiith
epilepsy but also to parent and their families. Previous study reported the stigma of epilepsy
increased rates of psychopathology and reduced social interactions of people with the
condition.
Objective. To find the proportion of psychopathology symptoms and each domain among
parent who caring a child with epilepsy using SCL-90.
Methods. A cross-sectional study included ninety-six parents of children with epilepsy at
Pediatric Neurology, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. A validated self-report
psychometric questionnaire (SCL-90) of parents was used to collect data of
psychopathological symptoms. Data were analysed by computer.
Results. Diagnosis epilepsy in the children who parents included in this study were
generalized epilepsy 60, simple/complex partial and secondary generalized 32, intractable
epilepsy 2 and others 2 patients. Parent’s means of aged : 37.7 years and 68.8% female. The
Proportion of parents level of education: 53.1% senior high school, 22.9% graduate, 24%
elementary/ Junior high school. We found 56 (58.3%) parents with SCL-90 scores <60
(normal, without psychopatological symptoms), and 40 (41.7%) parents with SCL-90 score
>61 (abnormal, with psychopathological symptoms). More analysed for each domain, from
40 parents with positive psychopatological symptoms were found parent with depression 21
(52.5%), anxiety 24 (60%), obssesive-convulsive 18 (45%), phobia 18 (45%), somatisation
29 (72.5%), social interaction disturbance 12 (30%), paranoid 14 (35%), and psikosis 18
(45%).
Conclusion. The incidence of psychopathologic symptons using SCL-90 among parent of
children with epilepsy in Jakarta were high about 41.7%.
Keyword: stigma epilepsy, SCL-90, psychopathologic, parent

Alamat Korespondensi:
Dr. Dewi Sutriani Mahalini, Sp.A.
Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, RSUP Sanglah Denpasar.
Jl. Pulau Nias 80114. Telp/Fax. (0361) 244038 atau (0361) 257387,
E-mail: dewi_sutriani@yahoo.com

1
STIGMA EPILEPSI : DAMPAK PSIKOPATOLOGIS PADA
ORANGTUA DARI ANAK DENGAN EPILEPSI

Abstrak.
Latar belakang. Stigma epilepsi dapat berdampak buruk tidak hanya pada penderita epilepsi
namun juga pada orang tua dan keluarganya. Penelitian sebelumnya melaporkan stigma
epilepsi meningkatkan kejadian psikopatologi dan berkurangnya interaksi sosial pada
penderita epilepsi.
Tujuan. Mengetahui proporsi masing-masing domain gejala psikopatologi diantara orangtua
dari anak anak penderita epilepsi dengan menggunakan SCL-90.
Metode. Penelitian potong lintang melibatkan 96 orangtua anak penderita epilepsi di sub
bagian neurologi anak, RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Self-report psychometric
questionnaire yang sudah tervalidasi (SCL-90) digunakan untuk mengumpulkan data gejala
psikopatologi. Data dianalisis dengan komputer.
Hasil. Diagnosis epilepsi pada anak yang orangtuanya dilibatkan dalam penelitian ini antara
lain 60 epilepsi umum, 32 epilepsi parsial sederhana/parsial kompleks/parsial menjadi umum,
2 epilepsi intraktabel, dan 2 epilepsi tipe lain. Sembilan puluh-enam orangtua dari anak
penderita epilepsi terlibat dalam penelitian ini. Umur rerata orang tua 37,7 tahun. Sebesar
68,8% reponden perempuan. Tingkat pendidikan orang tua, antara lain: sekolah menengah
atas (SMA) 53,1%, sarjana 22,9%, sekolah menengah pertama/sekolah dasar 24%. Kami
menemukan 56 (58,3%) orangtua dengan skor SCL-90 <60 (normal, tanpa gejala
psikopatologi), dan 40 (41,7%) orangtua dengan skor SCL-90 >61 (abnormal, dengan gejala
psikopatologi). Analisis pada masing-masing domain menunjukkan, dari 40 pasien dengan
gejala psikopatologi, 21 (52,5%) diantaranya mengalami depresi, 24 (60%) mengalami
kecemasan, 18 (45%) mengalami obsesif kompulsif, 18 (45%) mengalami fobia, 29 (72,5%)
somatisasi, 12 (30%) dengan gangguan interaksi sosial, 14 (35%) mengalami paranoid, dan
18 (45%) mengalami psikosis.
Kesimpulan. Kejadian gejala psikopatologis dengan SCL-90 diantara orangtua dari anak
dengan epilepsi di Jakarta cukup tinggi sekitar 41,7%.

Kata kunci: stigma epilepsi, SCL-90, psikopatologi, orangtua

2
Epilepsi merupakan gangguan neurologis yang cukup serius dan bersifat kronis. Karakteristik
yang mendasar pada epilepsi adalah kejadian berulang (recurrent) dan kejang tanpa
provokasi (unprovoked seizures). Epilepsi umumnya merupakan gangguan ringan (benign)
dengan prognosis klinis sangat baik, namun sekitar 20-30% penderita akan menjadi
intraktabel terhadap obat dan dihubungkan dengan risiko komorbid terjadinya gangguan
psikiatri dan rendahnya kualitas hidup.Epilepsi bukan hanya sekedar penyakit tetapi juga
merupakan label sosial. Beberapa penelitian mendukung bahwa prognosis sosial penderita
epilepsi kurang baik dibandingkan prognosis klinis terutama bagi penderita dengan kejang
yang “intractable”.1,2
Stigma epilepsi dapat memberikan efek negatif terhadap identitas sosial bagi
penderitanya terutama di negara-negara miskin. Stigma epilepsi tidak hanya berdampak
terhadap penderita tetapi juga berdampak terhadap orang tua penderita.Hal ini dihubungkan
dengan tingginya risiko kejadian gangguan psikiatri pada orang tua penderita epilepsi.
Weinstein SC dkk, menggunakan skala PSI (Parental Stress Index) untuk menilai angka
kejadian stres pada anak dan orang tua penderita epilepsi. Mereka melaporkan bahwa angka
kejadian stres pada orangtua penderita epilepsi ditemukan sekitar 45%. Hal hal yang
bermakna meningkatkan stress pada orang tua adalah depresi pada anak, gangguan belajar
pada anak, serta kejang yang berhubungan dengan politerapi, lama terapi dan usia saat anak
mengalami depresi.3Hung ATF, dalam The Hong Kong Medical Diary, menyebutkan
prevalensi gejala depresi pada orangtua dari anak anak penderita epilepsi adalah 22,6%. Di
Indonesia sendiri belum ada data mengenai angka kejadian psikopatologi pada orang tua
penderita epilepsi.4
Salah satu instrumen psikometrik yang telah diadaptasi dan divalidasi di Indonesia
dan telah melalui proses standarisasi serta telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
adalah Symptoms Check List (SCL-90). Symptoms Check List-90 bukan merupakan alat
diagnosis namun dapat digunakan sebagai alat skrining untuk menentukan kecenderungan
seseorang mempunyai gejala psikopatologi.
Kami ingin mengetahui prevalensi kejadian gejala psikopatologi pada orangtua yang
mempunyai dan merawat anak dengan epilepsi dengan menggunakan instrumen SCL- 90,
prevalensi masing masing domain gejala psikopatologi yang terjadi pada orangtua penderita
epilepsi, dan Mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan kejadian psikopatologi
orang tua penderita epilepsi.

3
Metode
Penelitian ini merupakan suatu penelitian deskriptif dengan metode potong lintang.Data
diperoleh dari kuesioner yang diisi oleh orang tua anak penderita epilepsiyang datang berobat
di poliklinik khusus Neurologi Anak Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM
Jakarta, pada Januari – Desember 2010.
Populasi terjangkau adalah semua orang tua dari anak yang menderita epilepsi yang
datang berobat ke Departemen IKA FKUI/RSCM, pada bulanJanuari sampai dengan April
2010.Sampel adalah subyek yang berasal dari populasi tersebut di atas yang memenuhi
kriteria inklusi, yaitu: subyek adalah orang tua dari anak yangterdiagnosis menderita epilepsi,
dan kriteria eksklusi, antara lain: Orang tua menolak untuk mengisi lembaran kuesioner, dan
orang tua tidak bisa membaca dan menulis.
Sampel dihitung dengan menggunakan rumus sampel tunggal untuk estimasi proporsi
suatu populasi, menggunakan proporsi penyakit45% (0,49), α(tingkat kemaknaan) 0.05, Zα
1,96, dan tingkat ketepatan absolut yang dikehendaki (d) 10% atau 0,10, sehingga jumlah
sampel minimal yang diperlukan pada penelitian ini adalah95 orang.Subyek penelitian
diambil secara consecutive sampling sampai jumlah sampel untuk penelitian potong lintang
terpenuhi (sesuai dengan perhitungan jumlah sampel tunggal minimal).Penelitian dimulai
dengan mengumpulkan data yang didapatkan dari kuesioner yang deberikan kepada orang tua
dari anak yang menderita epilepsi yang datang ke Poliklinik Neurologi Anak RSCM di
Jakarta pada bulan Januari sampai April 2010.
Orang tua diberi penjelasan mengenai tujuan pengisian kuesioner dan diminta
persetujuannya untuk ikut dalam penelitian.Apabila orang tua setuju, orang tua diminta
menandatangani inform consent dan dimasukkan sebagai subyek penelitian. Orang tua
diberikan lembar SCL-90 untuk dilengkapi/dijawab.Identitas penderita dan diagnosis epilepsi
dicatat dengan menggunakan lembar pengumpul data.Lembar pengumpul data dan lembar
SCL-90 yang telah dilengkapi dikumpulkan untuk dianalisa. Gejala psikopatologi yang
dinilai dengan menggunakan kuesioner SCl-90 meliputi gejala depresi, anxietas, obsesif–
kompulsif, phobia, somatisasi, sosial interaksi, hostilitas, paranoid, psikosis.
Symptoms Check List 90 (SCL-90) adalah instrumen psikometrik yang diisi sendiri
oleh responden (self report) yang dikembangkan dari Hopkins Symptoms Check List, yang
dipublikasikan oleh Pearson Assessments. SCL-90 berbentuk kuesioner self rating, terdiri
dari 90 butir pertanyaan/pernyataan terbagi atas 9 dimensi gejala dan 1 skala
tambahan.Psikopatologi adalah gambaran kejiwaan seseorang yang diukur berdasarkan SCL-

4
90 menyangkut sejumlah gejala, seperti depresi, ansietas, obsesi-kompulsif, fobia, somatisasi,
sensitivitas interpersonal, hostilitas, paranoid dan psikotik. Nilai Cut off adalah patokan
rawscore yang diambil dari hasil perhitungan sensitivitas dan spesifisitas yang berimbang
paling mendekati proporsi ideal. Sama atau lebih kecil dari skor ini dianggap normal.
Sedangkan nilai diatas skor dianggap sakit atau ada psikopatologi. Cut off yang dipakai untuk
menentukan subyek mengalami gejala psikopatologi dengan menggunakan SCL-90 adalah
61.Jadi hasil nilai total lebih dan sama dengan 61 dianggap memiliki psikopatologi
(kecendrungan untuk menderita gangguan jiwa).Penilaian lebih spesifik terhadap masing
masing gejala psikopatologi, yaitu depresi, anxietas, obsesif kompulsif, phobia, somatisasi,
sosial interaksi, hostilitas, paranoid, dan psikosis dilanjutkan apabila skor total SCL-90 >
61.Jumlah nilai raw score dari masing masing kelompok akan dicocokkan dengan nilai pada
tabelT-score SCL-90. Apabila nilai T score>70 maka subyek dimasukkan ke dalam kelompok
orangtua yang mempunyai gejala psikopatologi tertentu yang sesuai (depresi, anxietas,
obsesi- kompulsif, fobia, somatisasi, sensitifitas interpersonal, hostilitas, paranoid, dan
psikosis).
Data yang terkumpul diproses dengan sistem komputer. Data disajikan dalam bentuk
naratif dan tabel. Data disajikan dalam bentuk prevalensi kejadian psikopatologi pada orang
tua, distribusi prevalensi jenis psikopatologi yang dialami berupa depresi, anxietas, obsesif
kompulsif, phobia, somatisasi, sosial interaksi, hostilitas, paranoid, dan psikosis.Apabila
jumlah sampel antara penderita epilepsi yang baru dan lama seimbang maka akan dilakukan
analisis untuk membandingkan prevalensi antara kedua kelompok.
Penelitian ini telah disetujui oleh Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Persetujuan orang tua sebagai subyek penelitian akan diminta sebelum
orang tua mengisi lembar uesioner SCL-90.

Hasil
Sebanyak 96 orangtua dari anak penderita epilepsi terlibat dalam penelitian ini, dengan rerata
umur orang tua 37,7 tahun dan 68,8% diantaranya perempuan. Tingkat pendidikan orang tua,
sebagian besar sekolah menengah atas (SMA) sebesar 53,1%.Diagnosis epilepsi pada anak
yang orangtuanya dilibatkan dalam penelitian ini sebagian besar merupakan epilepsi umum,
diikuti epilepsi simple/complex partialdansecondary generalized, epilepsi intraktabel, dan 2
epilepsi tipe lain. Empat-puluh (41,7%) orangtua memiliki skor SCL-90 >61, yaitu dengan
gejala psikopatologi. Karakteristik subyek penelitian dapat dilihat pada tabel 1.

5
Tabel 1. Karakteristik subyek penelitian
Subject /parent characteristics N=96
Umur, rerata (SD), tahun 37,7 (8,4)
Jenis kelamin, perempuan, n (%) 66 (68,8)
Tingkat pendidikan, n (%)
SD/SMP 23 (23,9)
SMU 51 (53,1)
Sarjana 22 (22,9)
Karakteristik anak dengan epilepsi
Umur, rerata (SD), tahun 5,96 (3,45)
Jenis kelamin, perempuan, n (%) 39 (40,6)
Durasi epilepsi >3 bulan, n (%) 85 (88,5)
Diagnosis epilepsi, n(%)
Epilepsi parsial sederhana 9 (9,4)
Epilepsi parsial kompleks 8 (8,3)
Patsial secondary generalized 15 (15,6)
Epilepsi umum 60 (62,5)
Epilepsi intraktabel 2 (2,1)
Sindrom epilepsi 2 (2,1)
Dampak psikopatologis dengan SCL-90 (>60) 40 (41,7)

Dari 40 subyek yang diniliai mengalami dampak psikopatologis dengan SCL-90,


sebagian besar mengalami somatisasi, diikuti depresi, kecemasan, obsesif kompulsif, fobia,
psikosis, paranoid, dan gangguan interaksi sosial. Gangguan ini lebih banyak terjadi, pada
orangtua dari anak yang menderita epilepsi dengan durasi kurang dari tiga bulan. Hasil ini
dapat terlihat pada tabel 2.
Tabel 2. Karakteristik dampak psikopatologis pada orangtua dari anak epilepsi

Karakteristik dampak psikopatologis pada orangtua N=40


Depresi 21 (52,5%)
Kecemasan 24 (60%)
Obsesif-kompulsif 18 (45%)
Fobia 18 (45%)
Somatisasi 29 (72,5%)
Gangguan interaksi sosial 12 (30%)
Paranoid 14 (35%)
Psikosis 18 (45%)

Diskusi
Epilepsi umumnya merupakan gangguan yang benign dengan prognosis klinis sangat baik.
Namun sekitar 20-30% penderita akan menjadi intraktabel terhadap obat dan diasosiasikan
dengan risiko komorbid terjadinya gangguan psikiatri dan rendahnya kualitas hidup.

6
Karakteristik yang mendasar pada epilepsi adalah kejadian berulang (recurrent) dan
kejang tanpa provokasi (unprovoked seizures). Epilepsi bukan hanya sekedar gangguan
klinis tetapi juga merupakan label sosial, sehingga pada penderita epilepsi terdapat istilah
prognosis penyakit secara klinis dan prognosis secara sosial. Beberapa penelitian mendukung
pandangan bahwa prognosis sosial epilepsi kurang baik dibandingkan dengan prognosis
klinisnya terutama pada penderita yang tinggal di negara miskin dan penderita epilepsi yang
intraktabel. Epilepsi yang intraktabel terhadap obat lebih sering terjadi pada sindroma
epilepsi dengan penyebab khusus dan tipe kejang yang khas.
Stigma epilepsi dapat memberikan efek negatif terhadap identitas sosial bagi
penderita terutama di negara negara miskin. Teori stigma hampir sama dengan penyakit
kronis spesifik. Stigma pada epilepsi terjadi karena pada epilepsi terjadi serangan kejang
yang berulang ulang tanpa ada provokasi sehingga sulit ditentukan kapan serangan terjadi,
dimana tidak bisa menghindari waktu maupun tempat serangan. Stigma epilepsi
menyebabkan terjadinya peningkatan psikopatologi baik terhadap penderita maupun orang
tua dan lingkungan di sekitarnya, sehingga dapat menyebabkan berkurangnya interaksi sosial
pada penderita epilepsi dan keluarganya.1-4
Angka kejadian gangguan prilaku dan masalah kognitif pada anak dengan epilepsi
cukup tinggi sehingga memberi kontribusi terhadap disfungsi sosial pada anak dan kemudian
pada saat menjadi dewasa meskipun epilepsi dapat teratasi. Anak dan remaja dengan epilepsi
seringkali dilaporkan mengalami perlakuan sosial yang salah, termasuk rendahnya tingkat
pendidikan yang dicapai, harapan status pekerjaan yang lebih rendah, rendahnya status
kesehatan, dan lebih sering dilaporkan mengalami masalah prilaku, angka pernikahan yang
rendah pada penderita epilepsi pada saat dewasa serta tingginya isolasi sosial. Sebagai orang
yang menderita epilepsi dengan berbagai etiologi, merupakan kelompok orang yang sangat
kompleks walaupun tanpa disertai dengan ko-morbiditas seperti ketidakmampuan fisik,
sereberal palsi dan retardasi mental.7
Dampak terhadap individu yang terkena epilepsi juga sangat unik karena dapat
berdampak baik pada anak dan remaja maupun orangtuanya. Dampak terhadap orang tua dan
keluarga dikarenakan sulitnya merawat dan menerima anak mereka yang didiagnosis epilepsi.
Kekhawatiran terhadap prognosis, perjalanan penyakit epilepsi yang sulit diprediksi, efek
samping obat obat anti kejang yang diminum dalanm jangka lama dan menurunnya fungsi
otak yang mereka hubungkan dengan karir dan perkawinan di masa yang akan datang. Hal ini
dapat menimbulkan dampak psikososial terhadap orang tua penderita.4

7
Stres yang lebih tinggi dilaporkan terjadi pada ayah atau ibu atau kedua orangtua dari
anak epilepsi. Stres orang tua merupakan konsep yang penting karena dapat mendasari
kegagalan dalam parenting (perawatan anak). Rodernburg dkk, melakukan penelitian
mengenai faktor-faktor prediktor stres orang tua yang merawat anak epilepsi dengan
menggunakan “Parenting Stress Index” (PSI). Pada penelitian tersebut didapatkan efek
langsung stresor dari status fungsional anak, tempramen anak yang sulit diatasi, depresi pada
orang tua, dukungan sosial, hubungan keluarga dan coping behavior berperan sebagai
mediator yang mempengaruhi kontrol prilaku orangtua dalam perawatan anak. 7
Penelitian di Enugu, Nigeria tentang morbiditas psikiatri pada orang tua dengan anak
epilepsi, dengan menggunakan instrumen GHQ-60 (General Health Quesionnare),
mendapatkan bahwa angka morbitidas psikiatri pada ibu lebih tinggi dibandingkan ayah
(49,9% vs 20,9%; p<0,001). Morbiditas pada orangtua secara bermakna berhubungan dengan
kontrol kejang.8-9
Bukowski dkk,10 pada American Epilepsy Society Annual Meeting 2002
membawakan hasil penelitian yang membahas dampak merawat anak dengan epilepsi dari
sudut orang tua. Disampaikan bahwa orang tua dengan anak epilepsi mengalami peningkatan
ketegangan hubungan dengan pasangannya sekitar 48%. Hanya 28% yang merasakan
hubungan dengan pasangan bertambah erat. Sebanyak 72% menyatakan bahwa merawat anak
dengan epilepsi meningkatkan stres dan gejala depresi atau kecemasan.
Pada penelitian ini prevalensi gejala psikopatologi pada orang tua dari anak penderita
epilepsi dengan SCL-90 sebesar41,7%. Gejala psikopatologi yang menonjol antara lain:
somatisasi, kecemasan, dan depresi. Prevalensi gejala psikopatologi antara orangtua dengan
anak yang mengalami epilepsi kurang dari tiga bulan dengan yang lebih dari tiga bulan.Hung
ATF4, mengungkapkan prevalensi gejala depresi diantara orangtua dari anak epilepsi sebesar
22,6%. Tingginya stres pada orangtua yang merawat anak epilepsi juga dilaporkan oleh
Weinstein dkk. Dengan menggunakan instrumen PSI (Parenting Stress Index), didapatkan
tingkat stres yang tinggi pada orang tua yaitu sebesar 45%. Angka depresi pada anak sebesar
23%, yang secara bermakna meningkatkan stres pada orang tua (p<0,05). Faktor faktor lain
yang mempengaruhi stres pada orang tua adalah gangguan belajar. Penggunaan obat
politerapi untuk mengontrol kejang, lamanya sakit dan usia saat mulai menderita epilepsi
secara bermakna berhubungan dengan depresi.11

8
DAFTAR PUSTAKA

1. Jacoby A, Snape D, Baker GA. Epilepsi and social identity: the stigma of a chronic
neurological disorder. Lancet Neurol 2005;4 :171-8.
2. Jacoby A. Stigma, epilepsi, and quality of life. Epilepsi& Behavior. 2002;3: S10-20.
available from www.sciencedirect.com.
3. Weinstein SC. Seizures and teens: the impact of seizure and epilepsi on families. The
exceptional Parent. 2007;37:61-5.
4. Hung ATF. Psycho-social impact of epilepsi and issues of stigma. Medical Bulletin.
2009; 14:15-7.
5. Camfield PR, Camfield CS. Pediatric epilepsi: an overview. In: Swaiman KF, Ashwal
S, Ferriero DM, editors. Pediatric neurology: principal and practice. Philadelphia:
Mosby Elsievier, 2006;p. 981-9.
6. Arzimanaglov A, Guerrini R, Aicardi J. Aicardi’s epilepsi in children. Philadelphia:
Lippincott Williams& Wilkins, 2004;p.1-13.
7. Mitchell WG, Van Hirtum-Das M. Behavioral, cognitive, and social aspects of
childhood epilepsi. In Swaiman KF, Ashwal S, Ferriero DM, editor. Pediatric
neurology: principal and practice. Philadelphia: Mosby Elsievier, 2006;p. 1171-80.
8. Rodenburg R, Meijer AM, Dekovic M, Aldenkamp AP. Parent of children with
enduring epilepsi: predictors of parenting stress and parenting. Epilepsi& Behavior.
2007;11: 197-207. available from www.sciencedirect.com.
9. Aronu AE, Ojinnaka NC. Psychiatric morbidity among parents of children with
epilepsi in Enugu, Nigeria. Neurology Asia.2009;14: 15-20
10. Bukowski AL, Ritter FJ, Frost MD. The impact of caring for child with epilepsi: a
parent’s perspective. American Epilepsi Society Annual Meeting;2002 Dec 6-11,
Seattle WA.
11. Weinstein CS, Dassoulas K, Salpekar JA, et al. Parenting stress and childhood
epilepsi: the impact of depression, learning, and seizure-related factors. Epilepsi&
Behavior. 2008;13: 109-14. available from www.sciencedirect.com.
12. Roskin M, Dasberg H. On the validity of the symptom check list-90 (SCL-90): a
comparison of diagnostic self-ratings in general practice patients andnormals, based
on the Hebrew Version.International Journal of Social Psychiatry; 1983; 29: 225-30.

9
13. Holi M. Assessment of psychiatric symptoms using the SCL-90 [monograph online].
Finland: Helsinki University Printing House; 2003 [cited 2010 Apr 21]. Available
from:https://oa.doria.fi/bitstream/handle/10024/2138/assessme.
14. Martono H, DarmabrataW. Penentuan T-score standar normal instrumen psikometrik
SCL-90 dan uji coba pada pasien rawat jalan poliklinik jiwa RSCM [Thesis untuk
Program Pendidikan Dokter Spesialis].Jakarta: Fakultas Kedokteran FKUI; 1994.

10

You might also like