You are on page 1of 7

Analisis Penyebab Anemia pada Wanita Menstruasi Mahasiswi

Pascasarjana UNS
Nabila Noor Indrastata
Prodi Kedokteran, Fakultas Kedokteran
Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia
nabila.noor@student.uns.ac.id

Abstract. Anemia caused by iron deficiency in the blood is called iron deficiency anemia, which
means that the concentration of hemoglobin in the blood decreases due to disruption of the
formation of red blood cells due to lack of iron levels in the blood. Someone is said to approach
the state of anemia if iron deposits in a person's body are very low even though physiological
symptoms of anemia have not been found. Lack of hemoglobin and iron levels in the blood has a
bad effect on the body. Anemia can affect various age categories from children, adolescents,
adults, women, men, and especially women of childbearing age and pregnant women. The
consequences arising from anemia include drowsiness, weakness, impaired work productivity,
impaired physical and motor growth in children, a high risk of death in the mother and fetus, and
the risk of fetuses with less weight. Research conducted using qualitative methods with case study
research for UNS graduate students who have been known to have anemia. The existence of this
study is expected that the authors and the public can find out the causes of anemia and can find
out the simple preventive measures that can be taken to reduce the incident.

Keyword: Anemia, Menstruation, Student.

1. PENDAHULUAN

Anemia yang terjadi akibat kekurangan zat besi dalam darah disebut anemia defisiensi besi, yang
artinya adalah konsentrasi hemoglobin dalam darah berkurang karena terganggunya pembentukan sel-sel
darah merah akibat kurangnya kadar zat besi dalam darah. Kurangnya zat besi dalam tubuh disebabkan
karena kurangnya asupan makanan yang mengandung zat besi. Seseorang dikatakan mendekati keadaan
anemia jika simpanan zat besi dalam tubuh seseorang sudah sangat rendah walaupun belum ditemukan
gejala-gejala fisiologis anemia (Masrizal, 2007). Penduduk dunia yang mengalami anemia berjumlah
sekitar 30% atau 2,20 miliar orang dengan sebagian besar diantaranya tinggal di daerah tropis. Sedangkan
menurut Suryani, Hafiani, & Junita (2015), prevalensi anemia secara global adalah sekitar 51%.
Astriana (2017), anemia merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar di dunia terutama bagi
kelompok wanita usia reproduksi (WUS). Persentase anemia pada WUS umur 15-44 tahun sebesar 35,3
persen menurut hasil Riskesdas 2013. Lebih lanjut lagi, persentase kejadian anemia pada WUS yang
belum kawin sebesar 14,3 persen. WUS yang belum pernah melahirkan persentase kejadian aneminya
sebesar 13,8 persen lebih tinggi dari WUS yang sudah pernah melahirkan.
Lestari, Lipoeto, & Almurdi. (2017), beberapa faktor penyebab terjadinya anemia antara lain adalah
asupan yang tidak adekuat, hilangnya sel darah merah karena trauma, infeksi, perdarahan kronis,
menstruasi, dan penurunan atau kelainan pembentukan sel, seperti: hemoglobinopati, talasemia,
sferositosis herediter, dan defisiensi glukosa 6 fosfat dihidrogenase. Penelitian Simamora, Kartasurya, &
Pradigdo (2018), kurangnya kadar zat besi dalam darah dan kondisi tubuh yang terinfeksi penyakit adalah
penyebab langsung anemia. Sedangkan penyebab tidak langsung anemia adalah rendahnya perhatian
keluarga, tingginya aktivitas, dan kurang tepatnya pola distribusi makanan dalam keluarga. Terakhir,
penyebab mendasar anemia adalah rendahnya pendidikan, status sosial, pendapatan dan sulitnya lokasi
geografis tempat tinggal.
Berdasarkan hasil penelitian Masthalina, Laraeni, & Dahlia (2015) tentang peranan pola makan
terhadap anemia gizi pada remaja putri pondok pesantren di Surabaya, penelitian menunjukkan bahwa
responden dengan pola makan buruk mempunyai resiko terkena anemia 12 kali lipat dibandingkan
responden dengan pola makan baik (Jiptunair, 2004). Salah satu sumber penghambat penyerapan Fe
adalah sering mengkonsumsi makanan atau minuman inhibitor Fe seperti tanin dan oksalat yang banyak
terkandung dalam makanan seperti kacang-kacangan, pisang, bayam, coklat, kopi, dan teh.
Menurut Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan pada tahun 2013 didapatkan bahwa
prevalensi anemia defisiensi zat besi pada remaja menurut jenis kelamin, yaitu: pada anak perempuan
sekitar 22,7% dan pada anak laki-laki 12,4%, dimana persentase pada wanita lebih besar karena wanita
setiap bulannya akan mengalami menstruasi. Wanita mestruasi akan kehilangan darah sepanjang usia
produktifnya, dengan jumlah darah yang hilang selama 1 periode menstruasi sekitar 20-25 cc. Jumlah ini
menunjukkan adanya kehilangan zat besi sekitar 12,5-15 mg/bulan atau sekitar 0,4-0,5 mg dalam sehari
(Sya’bani & Sumarmi, 2016). Selain itu, Dito (2007) menyebutkan bahwa wanita menstruasi juga
mengalami kehilangan basal selain kehilangan zat besi yang bila ditotal, wanita menstruasi akan
kehilangan zat besi sebesar 1,25 mg.
Akibat Anemia Defisiensi Besi yang merugikan kesehatan para penderitanya menurut Masrizal
(2007) adalah:
1. Bagi bayi dan anak (0-9 tahun) : gangguan perkembangan motorik, fisik, dan kemampuan belajar, serta
gangguan psikologis dan perilaku.
2. Remaja (10-19 tahun) : gangguan dalam kemampuan belajar dan beraktivitas fisik, sistem pertahanan
tubuh dalam melawan infeksi berkurang.
3. Orang dewasa pria dan wanita : penurunan kerja fisik yang mempengaruhi pendapatan, mudah letih.
4. Wanita hamil : peningkatan angka kematian ibu dan janin, peningkatan resiko janin dengan berat badan
lahir rendah.
Mahasiswi tingkat pascasarjana sudah termasuk kategori wanita usia subur. Wanita usia subur
adalah kategori wanita yang persentase terkena anemianya tinggi. Menurut Suryani, Hafiani, & Junita,
(2016), anemia sangat tinggi (berkisar antara 80% - 90%) adalah pada anak-anak prasekolah, remaja, ibu
hamil dan menyusui. Sekitar 43% dari kematian remaja adalah terkait dengan kehamilan. Kehamilan
selama masa remaja menghalangi anak-anak dari mencapai pertumbuhan penuh mereka sesuai dengan
genetik mereka potensial. Kehamilan pada remaja yang anemia, malnutrisi dan keadaan lain yang tidak
memungkinkan, dapat menimbulkan efek buruk pada kehamilan dan janinnya karena ia akan menjadi
atribut tingginya tingkat kematian ibu, tingginya insiden bayi berat lahir rendah, kematian prenatal tinggi.
Salah satu cara untuk memutus siklus antar generasi malnutrisi adalah dengan meningkatkan gizi
remaja putri sebelum konsepsi. Selain itu, hal penting yang dapat dilakukan dalam mengontrol anemia
pada ibu hamil adalah dengan memastikan kebutuhan zat besi pada remaja terpenuhi. Banyaknya asupan
serat pada remaja berkontribusi terhadap anemia pada remaj. Sebaliknya, rendahnya asupan energi dapat
memperburuk kejadian anemia. Serat terdapat dalam sayuran dan sereal yang memiliki kandungan asam
fitat tinggi sebagai inhibitor besi dalam diet, kemudian mempengaruhi kadar haemoglobin. Life cycle
malnutrisi yang tidak dihentikan, dapat memunculkan konsekuensi yang lebih banyak dan lebih parah.
Tingginya angka anemia pada wanita usia subur yang nantinya akan mengalami kehamilan, juga
efek anemia yang berbahaya bagi wanita terutama wanita hamil, menjadi latar belakang penulis untuk
mengetahui apa saja faktor penyebab anemia agar dapat mengetahui tindakan preventif sederhana yang
dapat dilakukan untuk dapat mengurangi tingkat anemia utamanya pada wanita.

2. METODE

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah penelitian Retrospective Study, yaitu penelitian yang
berupa pengamatan terhadap peristiwa – peristiwa yang yang telah terjadi untuk mencari faktor yang
berhubungan dengan penyebab. Sedangkan metode yang digunakan adalah riset studi kasus, dengan cara
mewawancarai empat responden dengan berkomunikasi via whatsapp, dan sebelum wawancara
dilakukan, penulis menjelaskan terlebih dahulu maksud dan tujuan dilakukannya wawancara tersebut.
Sedangkan responden sudah dipastikan mengalami anemia berdasarkan informasi dari responden tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Usi Lama Konsumsi Konsumsi Konsumsi


Responden BB/TB IMT Konsumsi Konsumsi
a Haid protein protein buah-
teh vitamin C
hewani nabati buahan
1 24 8 hari 50/156 20.55 4 3 1 1 3
2 26 6 hari 63/158 25.24 3 4 2 1 2
3 25 10 52/159 20.57
4 2 3 2 2
hari
4 25 7 hari 56/157 22.72 3 3 2 1 2

Keterangan :
1 : Tidak pernah
2 : Pernah
3 : Sering
4 : Sangat Sering

Berdasarkan tabel usia responden yang mengalami anemia, dapat disimpulkan bahwa usia tidak
terlalu berpengaruh pada kejadian anemia seperti hasil penelitian Jaelani, Simanjuntak, & Yuliantini
(2015) bahwa umur tidak memiliki hubungan dengan kejadian anemia. Hal tersebut bisa terjadi karena
menurut Christy (2014), semakin banyak dilakukan penyerapan informasi, maka semakin banyak pula
pengetahuan yang didapatkan, termasuk pengetahuan kesehatan.
IMT responden termasuk kategori normal berdasarkan tabel IMT milik WHO (2000) yaitu ≥18,5-
24,9 kg/m yang mana menyimpulkan bahwa IMT tidak terlalu berpengaruh pada kejadian anemia. Hasil
itu sesuai dengan hasil penelitian Gupta et al., (2012) di India yang menunjukkan tidak ada hubungan
yang signifikan antara IMT terhadap anemia pada remaja putri. Begitu pula dengan penelitian yang
dilakukan oleh Hanafi et al., (2013) bahwa tidak ada hubungan signifikan antara status hemoglobin
dengan indeks massa tubuh pada remaja putri.
Temme (2002) menyatakan bahwa teh merupakan minuman yang mengandung tanin yang dapat
menurunkan penyerapan besi non hem dengan membentuk ikatan komplek yang tidak dapat diserap.
Berdasarkan hasil kuisioner responden, 2 responden sering mengkonsumsi teh, sedang 2 lainnya sangat
sering mengkonsumsi teh. Hal ini sejalan dengan penelitian Thankachan (2008), bahwa konsumsi teh 1-2
cangkir sehari akan menurunkan absorbsi besi, baik pada wanita dengan anemia ataupun tidak. Konsumsi
1 cangkir teh sehari dapat menurunkan absorbsi Fe sebanyak 49% pada penderita anemia defisiensi besi,
sedangkan konsumsi 2 cangkir teh sehari menurunkan absorbasi Fe sebesar 67% pada penderita anemia
defisiensi Fe dan 66% pada kelompok kontrol. Teh yang dikonsumsi setelah makan hingga 1 jam akan
mengurangi daya serap sel darah merah terhadap zat besi sebesar 64% maka dari itu dianjurkan untuk
mengkonsumsi teh 2 jam setelah makan.
Menurut Lestari, Lipoeto, & Almurdi. (2017) umumnya zat besi yang berasal dari sumber pangan
hewani (heme), seperti: daging, telur, dan ikan mempunyai proporsi absorbsi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan zat besi dari sumber pangan nabati (non heme), seperti: kacang-kacangan dan
sayur-sayuran. Hasil penelitian yang dilakukan tidak sejalan dengan penelitian tersebut karena responden
secara keseluruhan lenih sering mengkonsumsi sumber pangan hewani daripada nabati.
Keempat responden tidak pernah mengkonsumsi vitamin C dan rata-rata jarang mengkonsumsi
buah-buahan. Padahal, peningkatan konsumsi vitamin C sebanyak 25, 50, 100 dan 250 mg dapat
meningkatkan penyerapan zat besi sebesar 2, 3, 4 dan 5 kali. Salah satu sumber vitamin C adalah buah-
buahan segar dan sayuran, namun dalam proses pemasakan, 50 - 80 % vitamin C akan rusak (Masrizal,
2007). Penelitian Sumardi, Ratih (2010) menyatakan tentang adanya perbedaan signifikan antara asupan
vitamin C pada anak penderita anemia dan tidak anemia karena secara teori, vitamin C merupakan salah
satu enhancer penyerapan Fe non hem, dimana akan menghilangkan efek chelating agents dan mengubah
bentuk Fe2+ menjadi Fe3+ yang mudah diserap.

4. SIMPULAN

Anemia merupakan penyakit yang bisa disebabkan karena kekurangan zat besi atau kekurangan
hemoglobin. Ada banyak faktor yang menyebabkan anemia pada seseorang. Di antaranya adalah
konsumsi vitamin C, yang mana konsumsi vitamin C yang banyak akan mengurangi resiko terjadinya
anemia karena vitamin C akan mengubah zat besi menjadi bentuk yang lebih mudah diserap oleh tubuh.
Vitamin C yang dimaksud disini bisa dalam bentuk vitamin suplemen atau buah-buahan. Kemudian
konsumsi sumber pangan hewani dan nabati, yang mana sumber pangan hewani akan lebih berpengaruh
terhadap kadar zat besi dalam darah disbandingkan dengan sumber pangan nabati. Meskipun pada
penelitian ini tidak terbukti, ada penelitian yang membuktikan bahwa konsumi sumber pangan hewani
lebih bisa meningkatkan kadar zat besi dalam darah. Selain itu, konsumsi teh. Teh yang merupakan
inhibitor zat besi akan meningkatkan resiko terjadinya anemia pada individu, karenanya mengkonsumsi
teh dianjurkan dua jam setelah makan agar makanan sempat dicerna terlebih dahulu oleh tubuh.

5. SARAN

Di era modern seperti sekarang, dengan semakin banyaknya variasi makanan yang tersedia,
masyarakat cenderung lebih memilih makanan yang memiliki variasi rasa yang bermacam-macam
dibandingkan untuk mengkonsumsi makan-makanan yang sehat dan bergizi seperti ikan, daging, sayur
dan buah-buahan. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan masyarakat akan lebih mengerti tentang
akibat yang dapat ditimbulkan oleh anemia, terutama pada wanita, sehingga masyarakat bisa lebih bijak
dalam memilih makanan, mengubah kebiasaan pola makanan dengan menambahkan konsumsi pangan
yang memudahkan absorbsi besi seperti menambahkan vitamin C, lebih banyak mengkonsumsi buah,
sayuran, ikan, daging, juga makanan yang mengandung zat besi. Selain itu, penulis juga berharap agar
para pembaca bisa memulai tindakan preventif agar tidak sampai mengalami anemia.

6. DAFTAR PUSTAKA

Astriana, Willy. (2017). Kejadian Anemia pada Ibu Hamil Ditinjau dari Paritas Dan Usia. Jurnal Aisyah:
Jurnal Ilmu Kesehatan. 2 (2), 123 – 130.
Dito. (2007). Anemia dan Etiologi Anemia. Bandung: Surya Medika.
Gupta A, Parashar A, Thakur A, Sharma D. (2012). Anemia Among Adolescent Girls in Shimla Hills of
North India: Does BMI and Onset of Menarche Have A Role?. Indian Journal of Medical
Science. 66(5):126-30.
Hanafi MI, Abdallah AR, Zaky A, 2013, Study of hemoglobin level and body mass index among
preparatory year female students at Taibah University, Kingdom of Saudi Arabia. Journal of
Taibah University Medical Sciences, 8(3): 160–166.
Jaelani, M., Simanjuntak, B. Y., & Yuliantini, E. (2015). Faktor risiko yang berhubungan dengan
kejadian anemia pada remaja putri. Jurnal Kesehatan, 8(3), 358–368.
Kementerian Kesehatan RI. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Jakarta: 2013.
Lestari, I. P., Lipoeto, N. I., & Almurdi. (2017). Hubungan Konsumsi Zat Besi dengan Kejadian Anemia
pada Murid SMP Negeri 27 Padang . Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3).
Masrizal. (2007). Anemia Defisiensi Besi. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1).
Masthalina, H., Laraeni, Y., & Dahlia, Y. P. (2015). Pola Konsumsi (Faktor Inhibitor Enhancer Fe)
Terhadap Status Anemia Remaja Putri. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 2(1).
Simamora, D., Kartasurya, M. I., & Pradigdo, S. F. (2018). Hubungan asupan energi, makro dan
mikronutrien dengan tekanan darah pada lanjut usia. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6(1), 426–435
Sumardi, Ratih Nurani. (2010). Hubungan Antara Pengetahuan Ibu, Asupan Zat Gizi (Protein, Fe, Zn dan
Vitamin A), Inhibitor Dan Enhancer Fe Dengan Kadar Hb Anak Sekolah Dasar di Kota
Yogyakarta. Tesis. Fakultas Kedokteran Program Studi Ilmu Kesehatan Msyarakat, Yogyakarta.
Suryani, D., Hafiani, R., & Junita, R. (2016). Analisis pola makan dan anemia gizi besi pada remaja putri
Kota Bengkulu. Jurnal Kesehatan Masyarakat Andalas, 10(1), 11– 18.
Sya’bani, I. R. N., & Sumarmi, S. (2016). Hubungan status gizi dengan kejadian anemia pada santriwati
di Pondok Pesantren Darul Ulum Peterongan Jombang. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah,
1(1), 7–15.
Temme EHM dan Hoydonck PGA Va. (2002).Tea Consumption and Iron Status.European Journal of
Clinical Nutrition, 56, 376-386.
Thankachan, et al . (2008). Iron Absorbtion in Young India Women : the Interaction of Iron Status With
the Influence of Tea and Ascorbic Acid. The American Journal of Clinical Nutrition,87 : 881-6.
LAMPIRAN

Pertanyaan yang diajukan kepada responden:


1) Apa benar responden mengalami anemia?
2) Berapa usia responden?
3) Berapa lama masa haid reponden dalam satu siklus?
4) Berapa berat badan dan tinggi badan responden?
5) Severapa sering responden mengonsumsi teh? (diberikan angka 1 untuk tidak pernah, angka 2 untuk
pernah, angka 3 untuk sering, angka 4 untuk sangat sering)
6) Seberapa sering responden mengonsumsi sumber pangan hewani seperti ikan, daging, ayam?
(diberikan angka 1 untuk tidak pernah, angka 2 untuk pernah, angka 3 untuk sering, angka 4 untuk
sangat sering)
7) Seberapa sering reponden mengonsumsi sumber pangan nabati seperti sayuran, dan kacang-
kacangan? (diberikan angka 1 untuk tidak pernah, angka 2 untuk pernah, angka 3 untuk sering, angka
4 untuk sangat sering)
8) Seberapa sering reponden mengonsumsi vitamin C? (diberikan angka 1 untuk tidak pernah, angka 2
untuk pernah, angka 3 untuk sering, angka 4 untuk sangat sering)
9) Seberapa sering responden mengonsumi buah-buahan? (diberikan angka 1 untuk tidak pernah, angka
2 untuk pernah, angka 3 untuk sering, angka 4 untuk sangat sering)

Responden 1:
1) Ya, benar
2) 24 tahun
3) Kurang lebih 8 hari
4) Kurang lebih 50kg dan 156 cm
5) Sangat sering mengonsumsi teh
6) Sering mengonsumsi sumber pangan hewani
7) Tidak pernah mengonsumsi sayuran
8) Tidak pernah mengonsumsi vitamin C
9) Sering mengonsumsi buah-buahan

Responden 2:
1) Benar
2) 26 tahun
3) Kurang lebih 6 hari
4) Kurang lebih 63 kg dan 158 cm
5) Sering mengonsumsi teh
6) Sangat sering mengonsumsi sumber pangan hewani
7) Pernah mengonsumsi sumber pangan nabati
8) Tidak pernah mengonsumsi vitamin C
9) Pernah mengonsumsi buah-buahan

Reponden 3:
1) Benar mengalami anemia
2) 25 tahun
3) Rata-rata 10 hari
4) Kurang yakin, tapi sepertinya 52 kg dan 159 cum
5) Sangat sering mengonsumsi teh
6) Pernah mengonsumsi sumber pangan hewani
7) Sering mengonsumsi sumber pangan nabati
8) Pernah mengonsumsi vitamin C
9) Pernah mengonsumsi buah-buahan

Responden 4:
1) Iya mengalami anemia
2) 25 tahun
3) Sekitar 7 hari
4) Sekitar 56 kg dan 157 cm
5) Sering mengonsumsi teh
6) Sering mengonsumsi sumber pangan hewani
7) Pernah mengonsumsi sumber pangan nabati
8) Tidak pernah mengonsumsi vitamin C
9) Pernah mengonsumsi buah-buahan

You might also like