You are on page 1of 48

Tugas Mandiri Dosen Pembimbing

Filsafat Umum Dr. Husni Thamrin, M.Si.

JURNAL

EPISTEMOLOGI AL-QUR’AN DALAM MEMBANGUN SAINS ISLAM

DISUSUN OLEH :

ZULKIFLI

11830214556

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF QASIM RIAU

T.A. 2019/2020
EPISTEMOLOGI AL-QUR’AN DALAM MEMBANGUN SAINS ISLAM

Oleh : Zulkifli (zulkifli150120@gmail.com)

Univesitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau

Abstract

This article aims to elaborate on the Quran as the basis of Islamic epistemology in
building science. The concept of science in the Quran, from the point of view of
philosophy. Framework used to analyze this theme is the philosophical framework. In the
paradigm of philosophy, science concepts can be classified in three dimensions; the first,
an epistemological dimension, namely the study of philosophy from the aspect of how to
acquire knowledge. Part of this philosophy is called the theory of knowledge, namely
methodology to gain knowledge or science, or how to obtain a true knowledge; second, the
ontological dimension, namely the branch of philosophy that discusses the object of study
of science, or the nature of the study of science; and the third, axiological dimension,
namely the branch of philosophy that discusses the purpose and use value and the value of
the benefits of science. Part of this philosophy better known as the theory of value. And
what about his role in building the Islamic sciences in Islamic universities in particular
and in the Islamic world in general.

Keywords: al-Quran, ayat al-matluwah, ayat al-majluwah, al-‘ilm, al-ḥikmah,


and al-ma‘rifah.

‫و‬ ‫ا آن‬ ‫ما‬ .‫م‬ ‫ءا‬ ‫تا‬ " ‫ س‬$% ‫إ ( ' ح ا آن‬ " ‫ه ا‬+‫ف ھ‬. /

‫م‬ ‫ھ ا‬ 9 :/ ;"< ، 0 ‫" ذج ا‬ . 0 ‫ ع ھ ا ط ر ا‬4 " ‫ا ا‬+‫ ھ‬5 67 ‫م‬.870" ‫ ا ط ر ا‬. 0 ‫ا‬

0 ‫ه ا‬+‫ھ‬ ‫ @ء‬. " ‫ ب ا‬07%‫ا‬ %B 0 ‫ا‬ ‫ أي درا‬، "70 ‫ ا‬. ، ‫ول‬G‫ أ د ؛ ا‬I I

. N‫ا‬،ً I‫؛‬ 6‫ا‬ " ‫ ( ا‬K ‫ ل‬:6 ‫ا‬ % ‫ أو‬، ‫أو ا‬ " ‫ ب ا‬07%L M ‫ أي‬، "‫< ا‬ ("0<

‫ي‬ G‫ ا‬. N ‫ ا‬، O P ‫م ؛ وا‬ ‫ا‬ ‫درا‬ N‫ أو ط‬، ‫م‬ ‫ا‬ ‫ ع درا‬4 QR < ‫ي‬+ ‫ ا‬0 ‫ع ا‬ ‫ أي‬، S G‫ا‬

1
< ‫ < ف‬0 ‫ه ا‬+‫ھ‬ ‫ @ء‬. ‫ ا‬.T‫ا‬ " R‫ " و‬R ‫ام‬.87 ‫ ض وا‬V ‫ ا‬QR < ‫ي‬+ ‫ ا‬0 ‫ع ا‬ ‫ أي‬،

.‫ م‬K 5;W ‫ا‬ ‫ا‬ ‫ ص و‬Y 5;W ‫تا‬ M‫ا‬ ‫ما‬ ‫ءا‬ ‫ دوره‬K ‫ و ذا‬. " ‫ا‬

. " ‫ ا‬، ";6 ‫ ا‬، ‫ ا‬، Z M" ‫ آ< ا‬، ‫ ح‬S" ‫ آ< ا‬، ‫ ا آن‬: \ 7 " ‫ا ; " ت ا‬

PENDAHULUAN

Al-Quran–sebagaimana didefinisi-kan para ulama uṣūl–adalah firman Allah


sebagai mukjizat yang diurunkan kepada Nabi Muhammad saw. melalui
malaikat Jibril, dituliskan dalam mushaf dimulai dari surat al-Fātiḥah dan
diakhiri dengan surat al-Nās.1 Dengan tegas dinyatakan dalam al-Quran bahwa
fungsinya yang utama adalah sebagai petunjuk bagi manusia dan memberi
keterangan-keterangan serta sebagai pembeda antara hak dan batil (QS. al-
Baqarah [2]: 185).

Tidak diragukan lagi al-Quran tidak hanya mengandung keterangan tentang


hukum, sosial dan moral, melainkan juga berisi banyak ayat yang berkaitan
dengan hakekat ilmu pengetahuan, dan bagaimana memperolehnya serta
bagaimana memanfaatkan ilmu pengetahuan tersebut untuk kemaslahatan
manusia di dunia ini. Al-Quran menegaskan bahwa ilmu Allah itu tak terbatas
(infinif dan absolut) yang digambarkan dalam al-Qur-an sebagai berikut:

Katakanlah: “Sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat


Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis (ditulis) kalimat-kalimat
Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu (pula).” (QS. Al-
Kahfi [18]: 109).

Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta),
ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak
akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Luqman [31]: 27).

1Muḥammad ‘Ali Ṣabūnī, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Damaskus: Maktabah ‘Arabiyah,


1990.

2
Yang dimaksud dengan kalimat Allah dalam ayat tersebut adalah ilmuNya
dan hikmahnya. Betapa luas dan tak terhingga kandungan ilmu pengetahuan
dalam kalam Allah al-Quran. Al-Quran tidak hanya sebagai sumber ilmu teologi,
fikih dan muamalah. Akan tetapi al-Quran adalah sebagai kitab kumpulan ilmu
pengetahuan dan al-Quran telah lama menjadi pedoman pada universitas al-
Azhar Mesir dan universitas-universitas Islam di seluruh dunia memegang
peranan penting sebagai dasar seluruh kurikulum dan pengajaran.2 Demikian al-
Quran agar menjadi obyek pemikiran bagi manusia ayat demi ayat untuk
menggali ilmu pengetahuan dan hikmahnya. Sebagaimana firman Allah swt: Ini
adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka
memperhatikan ayat-ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai pikiran. (QS. Ṣād [38]: 29). Dengan demikian, al-Quran sangat
mendorong manusia agar memperhatikan dan memikirkan alam semesta agar
mengetahui rahasia dan hikmah serta tujuan diciptakan alam semesta ini (QS. al-
A‘rāf [7]: 185).

Tulisan ini lebih lanjut akan mengkaji konsep ilmu dalam al-Quran,
ditinjau dari sudut pandang filsafat. Kerangka yang dipakai untuk
menganalisis tema ini adalah kerangka pemikiran filsafat. Dalam paradigma
filsafat, konsep ilmu dapat diklasifikasi dalam tiga dimensi; pertama, dimensi
epistemologis, yakni kajian filsafat dari aspek bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan. Bagian filsafat ini disebut teori ilmu pengetahuan, yaitu
metodologi untuk mendapatkan ilmu pengetahuan, atau cara mendapatkan
pengetahuan yang benar; kedua, dimensi ontologis, yakni cabang filsafat yang
membahas tentang objek kajian ilmu pengetahuan, atau hakikat segala yang
menjadi kajian ilmu; dan ketiga, dimensi aksiologis, yakni cabang filsafat yang
membahas tentang tujuan dan nilai guna serta nilai manfaat ilmu pengetahuan.
Bagian filsafat ini lebih dikenal dengan teori nilai.3 Dan bagaimana peranannya

2
Philip K. Hitti, The Arabs: A Short History, Bandung: Sumur Bandung Bandung, 1970, h.
49.
3Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al-Quran, Bandung: Mizan, 1999, h. 137; Harun

Nasution, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1980, h. 15.

3
dalam membangun sains Islam di perguruan tinggi Islam khususnya dan di
dunia Islam pada umumnya.

Epistemologi Al-Quran

Dalam uraian ini, epistemologi al-Quran dibagi ke dalam tiga pokok


pembahasan yang penting. Pertama dimentasi epistimologi ilmu pengetahuan
menurut al-Quran yakni suatu kajian filsafat dari aspek bagaimana metode
memperoleh ilmu pengetahuan. Dalam kajian filsafat disebut teori ilmu
pengetahuan yaitu metodologi untuk memperoleh ilmu pengetahuan menurut
al-Quran. Kedua dimensi ontologi yakni bidang filsafat yang membahas obyek
ilmu pengetahuan atau hakekat segala hal yang menjadi obyek kajian ilmu
pengetahuan. Ketiga dimensi tujuan dan nilai guna serta mamafaat dari pada
ilmu pengetahuan.4

Al-Quran telah menyampaikan pesan-pesan tentang ilmu pengetahuan


dengan menggunakan term-term yang bervariasi yaitu dengan kata al-ilmu
(ilmu pengetahuan) berjumlah 844 kata dengan macam bentuk kata secara
semantik dan kata deviriasi lainnya seperti “Al-Hikmah” (kebenaran ) dan Al-
Ma’rifah (ilmu pengetahuan). Untuk lebih jelasnya term-term tersebut akan
diuraikan berikut ini:
Pertama kata Al-‘Ilm
Al-Quran menyampaikan kata ilmu yang memiliki beberapa makna yang
berbeda karena perbedaan kon-teks ayat namun makna subtansinya sama. Ilmu
berarti mengetahui sesuatu, ada dua makna yaitu mengetahui zat sesuatu dan
mengetahui sifat sesuatu. Dalam bahasa Arab kata ‘alima disandarkan kepada
satu obyek (maf’ūl) dan yang kedua kepada dua obyek (maf’ūlain). Ilmu ada dua
macam yaitu pertama pengetahuan teoritis (naẓari), yaitu pengetahuan tentang
sesuatu misalnya pengetahuai tentang adanya alam. Kedua pengetahuan praksis,

4Ibid.

4
yaitu pengetahuan itu tidak sempurna kecuali setelah mengaplikasikannya,
misalnya pengetahuan tentang ibadah.5
Di samping makna tersebut kata ilmu dari sisi lain ada dua macam ilmu yaitu
ilmu samā’i (wahyu) atau naqli, yakni ilmu pengetahuan yang diperoleh secara
langsung dari Allah seperti wah-yu dan ilham. Kata ilmu berasal dari kata i’lam
yang berarti pemberitahuan dan ilmu aqli (penalaran ) yaitu ilmu pengetahuan
yang diperoleh melalui proses pembelajaran secara berulang-ulang sehingga
tertanam dalam akal dan jiwa. Kata ilmu ini beasal dari kata ta’allum yang berarti
pembelajaran.6 Dengan demikian ilmu pengetahuan menurut al-Quran ada dua
macam yaitu ilmu pengetahuan yang diperoleh secara langsung dari Allah
melalui wahyu dan ilham dan ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui proses
pembelajaran. Meskipun demikian kedua-duanya berasal dari Yang Maha
Mengetahui, Allah swt. Karena ilmu merupakan sifat Allah yang utama yang
memilki ta’alluq atas sesuutu yang maujud sedangkan ilmu pengetahuan juga
obyeknya segala sesautu yang maujud.
Berikut ini di antara ayat-ayat tentang ilmu pengetahuan dalam al- Quran:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu
sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan
persiapan itu) kamu meng-gentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang
orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah
mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan
dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”
(QS. Al-Anfāl [8]: 60).
(Ingatlah), hari di waktu Allah mengumpulkan Para Rasul lalu Allah bertanya
(kepada mereka): "Apa jawaban kaummu terhadap (seruan)mu?". Para Rasul
menjawab: "Tidak ada pengetahuan Kami (tentang itu); sesungguhnya
Engkaulah yang mengetahui perkara yang ghaib" (QS. al-Mā’idah [5]: 109).
Sesungguhnya Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman
ketika Allah mengutus diantara seorang Rasul dari golongan mereka sendiri,

5al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradāt li Alfāẓ al-Qur’ān, Kairo: Dār al-Kitāb al-Ghazālī,
tth, h. 355.
6Philip K. Hitti, The Arabs, h.356.

5
yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka,
dan mengajarkan kepada mereka Al kitab dan al-Ḥikmah. dan Sesungguhnya
sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan
yang nyata. (QS. Ali Imran [3]: 164).
Kedua kata Ḥikmah
Al-Quran dalam beberapa ayatnya menggunakan kata ḥikmah, yang berasal
dari kata jadian” hakama-yahkamu-hakaman” artinya “kokoh, mengikat”, dan
arti mufradatnya adalah memperoleh suatu kebenaran dengan ilmu dan akal. Al-
Ḥikmah dari sisi Allah sebagai Al- Ḥākim artinya Allah mengetahuai segala
sesuatu dan menciptakannya dengan sangat kokoh, sedangkan dari sisi manusia
ḥikmah artinya “manusia mengetahui segala yang maujud dan dapat
melakukannya kebajikan.”7 Demikian makna ini sebagaimana Allah telah
memberikan ḥikmah kepada Luqman dalam firman-Nya: “Dan sesungguhya
telah Kami berikan ḥikmah kepada Luqman, yaitu: "Bersyukurlah kepada Allah;
dan barangsiapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia
bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka
sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji". (QS. Luqman [31]: 12).
Sebagai kata jadian dari ḥikmah adalah al-ḥukmu dan al-ḥakīm, makna al-ḥukmu
lebih umum daripada ḥukmun karena setiap ḥikmah ada hukum dan tidak setiap
hukum ada ḥikmah. Karena hukum adalah memutuskan sesuatu atas sesuatu
yang lain. Namun kadang kata ḥukmun berarti hikmah. Sebagaimana firman
Allah: Ya Tuhan Kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan
mengajarkan kepada mereka al-Kitāb (al-Quran) dan al-Ḥikmah (al-Sunnah) serta
mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha
Bijaksana. (QS. al-Baqarah [2]: 129).
Dalam ayat tersebut kata ḥikmah berarti sunnah. Dengan demikian, Nabi
Muhammad saw menerima al-Kitāb yakni al-Quran dan al-Ḥikmah yakni sunnah
Nabi. Keduanya merupakan pengetahuan yang langsung dari Allah, demikian
juga para rasul sebelumnya.

7
al-Raghib al-Asfahani, Mu’jam Mufradāt, h. 126.

6
Di tempat yang lainnya, al-Ḥikmah adakalanya disebut karena menerangi jalan
dihadapan orang-orang beriman, dan adakalanya disebut al-furqān karena ḥikmah
dapat membedakan antara hak dan batil antara baik dan buruk dan antara benar
dan salah. Ini dapat disimak dari ayat berikut: Hai orang-orang yang beriman
(kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada
RasulNya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan
Dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
(QS. al-Ḥadīd [57].
Ketiga kata al-Ma’rifah
Berasal dari kata ‘arafa-ya’rifu-‘arfan-ma’rifatan berarti mengetahui atau
mengenal ,ma’rifah atau irfan berarti mengetahui sesuatu dengan berfikir atau
tadabbur terhadap dampaknya misalnya berfikir tentang ke mahakuasaan Allah
melalui ciptaan-Nya. Al-Ma’rifah lebih khusus daripada ilmu kebalikannya
adalah ing-kar sedang ilmu (tahu) kebalikannya jahlu (bodoh). Dikatakan “ia
ma’rifat kepada Allah” tidak dikatakan “ia mengetahui Allah”. Manusia ma’rifat
kepada Allah dengan mentadabbur ciptaan-Nya atau firman-Nya akan tetapi
tidak mengetahui zat-Nya.8
Menurut para filosof (filsuf) ma’rifat adalah hasil dari interaksi hubungan
antara zat yang dima’rifati dengan dengan obyeknya, berbeda dengan ilmu
sekiranya ma’rifat terjadi pada satu waktu adanya hubungan yang kuat antara
keduanya. Ilmu pengetahuan dengan ma’rifat adalah ilmu pengetahuan tanpa
perantara antara zat dan obyeknya seperti ilham atau ‘irfān (pengetahuan yang
langsung dari Allah).9
Dari uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa ilmu
pengetahuan dalam perspektif disebutkan dalam tiga term yaitu: ‘ilm, ḥikmah,
dan ma’rifah. Ketiga macam term tersebut menurut konteksnya menunjukkan
tiga macam model ilmu pengetahuan; pertama, ḥikmah adalah ilmu pengetahuan
yang langsung Allah anugerahkan kepada hamba pilihan-Nya seperti para nabi

8Ibid., h. 343.
9Jamīl Ṣalibā, Mu’jam al-Falsafī, Beirut: Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979, h 186.

7
dan rasul serta orang-orang saleh yang mendapat ilham dari Allah. Kedua,
ma’rifah adalah ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui tadabbur dan tafakkur
terhadap aya-ayat ciptaan Allah dan firman-Nya. Ketiga, ‘ilm adalah ilmu
pengetahuan yang diperoleh melalui proses pembelajaran atau ilmu
pengetahuan kasb (hasil usaha). Ketiga macam ilmu pengetahuan tersebut pada
hakekatnya adalah suatu kesatuan karena berasal dari Allah. Inilah yang
merupakan faktor ontologi ilmu pengetahuan menurut al-Quran. Selanjutnya
akan di uraikan faktor metodologi memperoleh ilmu pengetahuan.
Metode Memperoleh Ilmu Pengetahuan
Setiap manusia yang dilahirkan ke dunia ini, Allah telah memberikan potensi
dalam diri manusia untuk dapat memperoleh ilmu pengetahuan. Walaupun
secara sunnatullah ketika lahir manusia tidak mengetahui apa-apa, namun
kemudian Allah memberinya indera pendengaran, penglihatan dan akal. Dengan
anugerah Allah ini manusia berpotensi memiliki dan mengembangkan ilmu
pengetahuan apabila ia dapat mengaktualisasikan anugerah Allah tersebut.
Dari sini pentingnya peran pendidikan dan pengajaran bagi setiap anak yang
dilahirkan untuk mengembangkan potensi asal yang dimilikinya. Allah telah
memberikan akal kepada manusia sebagaimana memberikan untuk
membedakan antara yang baik dan yang buruk. Karenanya, pendidikan
berperan untuk mengarahkan manusia ke jalan yang baik dan benar dan
mengembangkan ilmu pengetahuannya.10
Al-Quran al-Karim telah memberi-kan petunjuk untuk memperoleh ilmu
pengetahuan dengan metode ilmiah dan praktis, bukan berdasarkan teori
perdebatan dan berdasarkan asumsi yang bertentangan dengan akal sehat.
Metode praksis memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan kepada dua
metode. Pertama, metode simā’i, yakni kita mengambil manfaat hasil penelitian
orang lain baik mereka para peneliti dahulu atau mereka semasa dengan kita
yang kemudian memanfaatkan hasil penelitian mereka. Metode ini tersyirat
dalam firman Allah: “Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar

10Fadil
Muhannad al-Jamali, Konsep Pendidikan Qurani, terj. Judi al-Falasani, Solo:
Ramadani, tth, h 100.

8
terdapat peringatan bagi orang-orang yang mempunyai akal atau yang
menggunakan pendengarannya, sedang Dia menyaksikannya. (QS. Qāf [50]: 37).
Dengan landasan ini hendaknya setiap generasi mengajarkan kepada generasi
berikutnya ilmu pengetahuan yang mereka peroleh dari generasi sebelumnya
atau hendaknya orang-orang berilmu mengajarkan kepada yang tidak berilmu,
dengan demikian terdapat kemajuan ilmu pengetahuan ke jalan peningkatan dan
kesempurna-an. Karena itu, tidak ada jaminan kemajuan ilmu pengetahuan jika
tidak menekankan beberapa hal sebagai berikut:11
Pertama, hendaknya orang berilmu tidak menutupi ilmu pengetahuan yang
telah diperolehnya. Karena ilmu pengetahuan ini bukan miliknya sendiri karena
ilmu pengetahuan itu adalah petunjuk dan anugerah Allah. Hadis Nabi
menegaskan bahwa orang berilmu apabila ditanya tentang ilmunya kemudian ia
menutupi maka ia diancam siksaan belenggu dalam neraka pada hari kiamat,
dan Allahpun sesungguhnya sudah mengintakan hal ini.
Kedua, ilmu pengetahuan adalah amanah maka hendaknya menyampaikan
ilmu pengetahuan dengan jelas tidak terkontaminasi dan tidak mengubah dan
tidak mengurangi, sebagaimana firman Allah: “Dan janganlah kamu campur
adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang
hak itu, sedang kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah [2]: 42).
Ketiga, ilmu pengetahuan adalah milik kemanusiaan secara kolektif. Allah
tidak mengutus beberapa rasul kecuali mereka mengajarkan dan membimbing
umat baik dengan wahyu yang diterimanya maupun dengan keteladanan yang
baik, mereka tidak menuntut upah karena menentukan syarat upah dalam
pengajaran adalah bertentangan dengan prinsip Islam sebagaimana firman
Allah: “Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah
orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Yā Sīn [36]: 21).
Keempat, tidak menyianyiakan waktu untuk berdebat baik dari pihak pengajar
maupun para peserta didik.
Kelima, menerima suatu kebenaran yang didasarkan pada argumen yang kuat.
Al-Quran mencela orang-orang yang menolak kebenaran tanpa alasan.

11Ali Abd ‘Aẓīm, al-Ma’rifah fī al-Qur’ān, Cairo: Maṭba’ah Amiriyah, 1973, h. 24.

9
Keenam, menerima sesuatu yang bermanfaat dan meninggalkan pembahasan
yang berkepanjangan tanpa dasar yang kuat.
Ketujuh, menyeleksi ilmu pengetahuan yang membawa kemaslahatan bagi
peradaban manusia.
Kedelapan, teliti dan cermat dalam menerima ilmu pengetahuan yang sampai
kepada kita, dan keharusan bertanya kepada orang-orang berilmu apabila tidak
mengetahuinya.
Kedua, metode tajribī. Melakukan penelitian dan eksperimen yang didasarkan
kepada pemikiran yang logis. Al-Quran telah memberikan petunjuk bagaimana
melakukan pemikiran dengan dasar-dasar sebagai berikut:
1) Hendaknya kita membebaskan pikiran dari asumsi-asumsi dan tradisi
yang membelunggu pikiran kita dari para nenek moyang dan lingkungan
di mana kita hidup sejak masa kanak-kanak. Dengan demikian kita dapat
berpikir dengan bebas. Dan hendaknya meragukan sesuatu informasi
yang datang sebelum melakukan klarifikasi sampai kita meyakini
kebenarannya.
2) Hendaknya kita menggunakan indera dan akal sekaligus dalam
melakukan penelitian baik bersifat empirik maupun non-empirik. Karena
keduanya saling melengkapi. Keduanya tidak dapat dipisahkan atau
berbeda dengan para filosuf aliran empirisme dan rasioalisme yang
membedakan antara indera dan akal.
3) Allah mengingatkan kepada manusia bahwa dalam diri manusia terdapat
anugerah Allah yang rahasia selain indera dan akal anugerah ini disebut
al-Ḥikmah, yaitu sebagaimana diungkapkan oleh ahli sufi dengan ‘hati
nurani’ dan oleh para filosuf disebut al-hadas (indera keenam), yakni
kemampuan mengetahui sesuatu yang tidak terjangkau oleh indera dan
akal secara bersama-sama apa dibalik yang diketahui dan apa dibalik
kenyataan yang dapat diindera. Allah telah memberikan anugerah ini
kepada hamba-hamba-Nya yang dikehendaki.12

12Ali Abd ‘Aẓīm, al-Ma’rifah, h 35.

10
Demikianlah metode memperoleh ilmu pengetahuan dan tahapannya yang
dideskripsikan al-Quran dalam ayat–ayatnya dengan jelas beberapa abad
sebelum para filosof menemukannya. Al-Quran menegaskan bahwa metode
memperoleh ilmu pengetahuan dengan mengaktualisasikan anugerah Allah
kepada manusia berupa indera dan akal. Di samping yang itu ada anugerah
Allah yang amat istimewa yaitu anugrah hikmah atau cahaya ilahi atau ‘irfān
yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang dikehendaki.
Membangun Sains Islam
Ilmu pengetahuan Islam (Islamic science) hendaknya dibangun di atas fondasi
pemikiran theolologis atas dasar kesatuan ilmu pengetahuan bahwa ilmu
pengetahuan berkembang di atas dasar dua ayat, yaitu ayat al-Matluwah (al-
Quran) dan ayat al-Majlu-wah (alam semesta). Kedua ayat itu adalah kalam Allah
yang saling berkaitan satu dengan lainnya dan merupakan sumber ilmu
pengeahuan yang tak terbatas. Apabila tidak demikian maka tidak akan terjadi
paradigma kesatuan ilmu pengetahuan dalam Islam dan selamanya akan terjadi
dikhotomi ilmu pengetahuan antara ilmu pengetahuan agama yang berdasarkan
al-Quran dan al-Sunnah dan ilmu pengetahuan umum yang berdasarkan pada
hasil kerja empirik intelektual para ilmuwan setelah melakukan observasi,
penelitian, eksperimen terhadap fenomena alam semesta. Padahal keduanya baik
ilmu pengetahuan agama atau ilmu pengetahuan empirik bersumber dari kalām
Allah, yaitu ayat al-Matluwah dan ayat al-Majluwah.
Al-Quran menekankan pentingnya ilmu pengetahuan bagi siapa pun. Ia
merupakan bagian dari milik manusia secara kolektf. Dibedakannya Adam
dengan para malaikat dan diperintah-kannya mereka bersujud kepadanya tidak
lain karena Adam mempuyai kelebihan dan kemampuan belajar dan
memperoleh ilmu pengetahuan yang diajarkan kepadanya. Maka dengan ilmu
pengetahuan Adam lebih tinggi dan lebih mulia daripada para malaikat dan jadi
khalifah di muka bumi ini. Hal ini mengandung makna bahwa Allah
memberikan apresiasi dan derajat yang tinggi terhadap para ilmuwan.
Di antara ayat-ayat al-Quran tentang kedudukan para ilmuwan sebagai
berikut: “Hai orang-orang yang beriman apabila dikatakan kepadamu:

11
"Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan
memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. al-Mujādilah [58]: 11).
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Quran) kepada kamu, di antara
(isi)nya ada ayat-ayat yang muḥkamāt, itulah pokok-pokok isi al-Quran dan yang
lain (ayat-ayat) mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong
kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang
mutasyābihāt daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari
ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat
mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. “(QS.
Ali Imran [3]: 7).
Ayat yang muḥkamāt ialah ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat
dipahami dengan mudah. Termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyābihāt
adalah ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat
ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara
mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah yang mengetahui
seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-
ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Itulah beberapa ayat al-Quran yang menunjukkan betapa tinggi kedudukan
orang-orang berilmu atau para ilmuwan dan kenyataannya al-Quran itu
merupakan kitab ilmu pengetahuan juga.
Apabila kita memperhatikan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan ilmu
pengetahuan dan ditambahkan dengan keterangan-keterangan dari hadis Nabi,
maka kita merasakan bahwa seolah-olah tujuan hidup kita yang utama adalah
menambah ilmu pengetahuan.13 Dengan demikian, membangun sains Islam

13Hamid Hasan Bilgram dan Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1989, h. 8.

12
hendaknya berlandaskan kepada al-Quran sebagai paradigma kesatuan ilmu
pengetahuan. Sebab, al-Quran sebagai firman Allah (kalām Allāh) sebagai sifat
utama Allah, sebagai sumber segala ilmu pengetahuan manusia dan ayat al-
Majluwah, yakni alam semesta yang merupakan ciptaan Allah dan sumber ilmu
pengetahuan. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan sebagai sarana mengenal Allah
dan ketakwaan kepada-Nya. Dengan kata lain, semakin bertambah ilmu
pengetahuan maka akan semakin beriman dan bertakwa kepada Allah.14
Kesimpulan
Epistimologi al-Quran sebagai sumber ilmu pengetahuan yang berlandasan
bahwa Allah telah menurunkan dua ayat yaitu ayat Matluwah (al-Quran) dan
ayat al-Majluwah (alam semesta) dengan segala fenomenanya. Keduanya
merupakan sumber informasi dan sarana observasi dan eksperimen ilmu
pengetahuan. Keduanya adalah kalām Allah yang tidak terbatas. Karena itu,
epistemologi al-Quran dari aspek ontologi, metodologi dan aksiologi
menunjukkan kesatuan ilmu pengetahuan. Dengan demikian tidak ada lagi
dikhotomi antara ilmu agama dan ilmu pengetahuan umum.
Kesatuan ilmu pengetahuan yang berlandaskan kepada ayat tersebut pada
akhirya akan menciptakan ilmu pengetahuan yang berlandaskan keesaan Allah
(tauhid). Oleh karena itu, ilmu pengetahuan hendaknya dijadikan sarana
mengenal Allah dan meningkatkan keimanaan dan ketakwaan kepada-Nya.
Apabila sudah demikian, maka ilmu pengetahuan akan mewujudkan
kemudahan, kebaikan dan kesejahteraan umat manusia di muka ini.
Kesatuan ilmu pengetahuan dalam Islam tidak akan dapat dibangun kecuali
dengan landasan pada ayat al- Matluwah dan ayat al-Majluwah sehingga apa pun
disiplin ilmu hendaknya dilandasi oleh epistemologi al-Quran dalam aspek
ontologi, metodologi dan aksiologinya. Jika tidak demikian akan melahirkan
ilmu pengetahuan sekuler bahkan sampai atheis, ilmu pengetahuan yang tidak
bertuhan yang akan membawa kerusakan dan kebinasaan umat manusia di
muka bumi ini.
Saran

14
Ibid.

13
Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki penulis,
maka dengan ini penulis sarankan kepada pembaca untuk mencari referensi-
referensi lain untuk dapat memahami kembali pembahasan ini secara lebih luas
dan mendalam.

14
DAFTAR PUSTAKA

‘Aẓīm, Ali Abd, al-Ma’rifah fī al-Qur’ān, Cairo: Maṭba’ah Amiriyah, 1973.

Asfahani, al-Raghib, Mu’jam Mufradāt li Alfāẓ al-Qur’ān, Kairo: Dār al-Kitāb al-
Ghazālī, tth.

Bilgram, Hamid Hasan, dan Ali Asyraf, Konsep Universitas Islam, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 1989.

Ghulsyani, Mahdi, Filsafat Sains menurut al-Quran, Bandung: Mizan, 1999.

Hitti, Philip K., The Arabs: A Short History, Bandung: Sumur, 1970.

Jamali, Fadil Muhannad, Konsep Pen-didikan Qurani, terj. Judi al-Falasani, Solo:
Ramadani, tth.

Nasution, Harun, Falsafah dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang,
1980.

Ṣabūnī, Muḥammad ‘Ali, al-Tibyān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Damaskus: Mak-tabah


‘Arabiyah, 1990.

Ṣalibā, Jamīl, Mu’jam al-Falsafī, Beirut: Dār al-Kitāb al-Lubnānī, 1979.

15
Tugas Kelompok Dosen Pembimbing
Filsafat Umum Dr. Husni Thamrin, M.Si.

FILSAFAT ISLAM

DISUSUN OLEH :

TENGKU ISKANDAR SHAH 11830214390


M. BAIHAQQI AS-SALIMI 11830213064
ZULKIFLI 11830214556

PRODI ILMU AL-QUR’AM DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGRI SULTAN SYARIF QASIM RIAU

T.A. 2019/2020

1
KATA PENGANTAR
\ ‫ ﷲ ا \" ا‬0

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah mengaruniakan rahmat


dan nikmat-Nya kepada kita semua, sehingga penulis dapat menyelesaikan
makalah pada matkul FILSAFAT UMUM terkait "FILSAFAT ISLAM" tepat
waktu.
Shalawat dan Salam tak lupa kita haturkan kepada junjungan alam, Nabi
Muhammad SAW yang telah membawa Risalah kepada kita semua sehingga kita
dapat merasakan nikmat iman dan islam seperti yang kita rasakan saat ini.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ustadz. Dr. Husni Thamrin,
M.Si. selaku dosen pembimbing, orang tua yang telah memberikan do’a dan
semangat, pihak pustaka, serta rekan-rekan mahasiswa, karena tanpa dukungan
dari semua pihak, penulis tidak mampu menyelesaikan makalah ini.
Dalam makalah ini penulis akan menyajikan makalah yang Insyaa Allah
akan menambah ilmu dan wawasan mahasiswa khususnya, dan pembaca
umumnya.
Penulis sadar dalam penulisan makalah ini terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari
pembaca guna tercapainya kesempurnaan dalam karya tulis ini.
Sekian dari Penulis, semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita
semua. Aamiin.

Pekanbaru, 12 April 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................. Error! Bookmark not defined.

DAFTAR ISI..................................................................................................................... ii

ABSTRAK...................................................................... Error! Bookmark not defined.

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 5

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................5

B. Rumusan Masalah .....................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................. 6

A. Filsafat .......................................................................................................6

B. Filsafat Islam ........................................................................................... 11

BAB III PENUTUP ....................................................... Error! Bookmark not defined.

A. Kesimpulan ............................................... Error! Bookmark not defined.

B. Saran .......................................................... Error! Bookmark not defined.

DAFTAR PUSTAKA ................................................... Error! Bookmark not defined.

ii
ABSTRAK

Filsafat Islam

Muhammad Baihaqqi Assalimi ( baihaqqi.assalimi@gmail.com )

Tengku Iskandar Shah ( tengku2322@gmail.com )

Zulkifli ( zulkifli150120@gmail.com )

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memaparkan sejarah filsafat


Islam, asal usul filsafat Islam, dan aliran filsafat Islam sebagai bahan referensi
untuk menambah ilmu pengetahuan terkait topik tersebut sekaligus untuk
memenuhi tugas mata kuliah “Filsafat Umum”.

Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode library


untuk memaparkan sejarah filsafat Islam, asal usul filsafat Islam, dan aliran
filsafat Islam.

Filsafat mempunyai banyak peranan bagi manusia seperti: mendobrak


keterkungkungan pikiran manusia, pembebas pikiran manusia, sebagai
pembimbing, penghimpun ilmu pengetahuan, dan sebagai pembantu
pengetahuan. Secara umum, tujuan filsafat adalah meraih kebenaran agar dapat
membawa manusia kepada pemahaman, dan kepada tindakan yang lebih layak.

Mengenai kronologis munculnya filsafat Islam beberapa ilmuan


mengalami sedikit perbedaan, seperti yang dijelaskan Hasyimah Nasution pada
bukunya “Filsafat Islam” ada yang mengatakan bahwa filsafat Islam terlahir
hanya gara-gara adanya penerjemahan buku-buku pengetahuan berbahasa
Yunani kedalam bahasa Arab.

Lain halnya dengan yang dipaparkan oleh Hadariansyah dalam bukunya


“Pengantar Filsafat Islam” bahwa filsafat Islam, terlahir dari kitab suci umat Islam
itu sendiri, dikarenakan banyaknya terkandung ayat-ayat yang menyuruh untuk
berpikir. Di sisi lain karena gencarnya usaha-usaha yang dilakukan oleh
Alexander the Great dengan menaklukkan kota-kota penting seperti Mesir, Irak,
Suriah dan Persia, yang kemudian di kota-kota penting tersebut didirikan pusat-

1
pusat kebudayaan yang membantu mengembangkan usaha Alexander dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan Filsafat Yunani.

Kata Kunci : Ruang Lingkup, Filsafat, Sejarah, Filsafat Islam

2
ABSTRACT

Islamic philosophy

Muhammad Baihaqqi Assalimi ( baihaqqi.assalimi@gmail.com )

Tengku Iskandar Shah ( tengku2322@gmail.com )

Zulkifli ( zulkifli150120@gmail.com )

The purpose of writing this paper is to describe the history of Islamic


philosophy, the origin of Islamic philosophy, and the flow of Islamic philosophy
as reference material to add knowledge related to the topic as well as to fulfill the
task of the course "General Philosophy".

In writing this paper, the author uses the library method to explain the
history of Islamic philosophy, the origin of Islamic philosophy, and the flow of
Islamic philosophy.

Philosophy has many roles for humans such as: breaking down the
confines of the human mind, liberating the human mind, as a guide, gathering
knowledge, and as an assistant to knowledge. In general, the aim of philosophy
is to reach for truth in order to bring people to understanding, and to action that
is more appropriate.
Regarding the chronology of the emergence of Islamic philosophy, some
scientists experienced a slight difference, as explained by Hasyimah Nasution in
his book "Islamic Philosophy", some say that Islamic philosophy was born only
because of the translation of Greek knowledge books into Arabic.
It is different from what Hadariansyah explained in his book
"Introduction to Islamic Philosophy" that Islamic philosophy, was born from the
Muslim holy book itself, because there are many contained verses that tell us to
think. On the other hand due to the intense efforts made by Alexander the Great
by conquering important cities such as Egypt, Iraq, Syria and Persia, then in these
important cities established cultural centers that helped develop Alexander's
efforts in developing science Greek knowledge and philosophy.

3
Keywords : Scope, Philosophy, History, Islamic Philosophy

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berfikir merupakan hal yang selalu dilakukan oleh manusia, dan
berpikir pula merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Allah swt
kepada kita manusia. Akal yang diberikan oleh-Nya merupakan suatu
pembeda antara kita dengan makhluk lainnya. Para ilmuan-ilmuan yang
terkemuka memberikan definisi tentang ilmu Filsafat namun masing-masing
definisi mereka berbeda akan tetapi tidak bertentangan, bahkan saling
mengisi dan saling melengkapi dan terdapat kesamaan yang saling
mempertalikan semua definisi itu. Hal tersebut baik untuk menambah
wawasan kita karena dengan mengetahui pengertian dari para ilmuan-
ilmuan sebelum kita, kita banyak belajar dari sana.

Filsafat merupakan suatu upaya berfikir yang jelas dan terang tentang
seluruh kenyataan, filsafat dapat mendorong pikiran kita untuk meraih
kebenaran yang dapar membawa manusia kepada pemahaman, dan
pemahaman membawa manusia kepada tindakan yang lebih layak.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada
makalah ini sebagai berikut:

1. Apa pengertian filsafat?


2. Bagaimana ruang lingkup filsafat?
3. Apa pengertian Filsafat Islam?
Bagaimana Sejarah Muncul Filsafat Islam?

5
BAB II

PEMBAHASAN

A. Filsafat
1. Pengertian Filsafat
Pengertian filsafat, dalam sejarah perkembangan pemikiran
kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu
berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri.
Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi
dan secara terminologi.

a. Filsafat secara Etimologi


Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan
istilah falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah philosophy adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia.
Kata philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love)
dan sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom), sehingga secara
etimologi istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom)
dalam arti yang sedalam-dalamnya. Dengan demikian, seorang filsuf
adalah pencinta atau pencari kebijaksanaan. Kata filsafat pertama kali
digunakan oleh Pythagoras (582-496 SM). Arti filsafat pada saat itu
belum begitu jelas, kemudian pengertian filsafat itu diperjelas seperti
yang banyak dipakai sekarang ini dan juga digunakan oleh Socrates
(470-399 M) dan para filsuf lainnya.15

b. Filsafat secara Terminologi


Secara terminologi dalam arti yang dikandung oleh istilah
filsafat. Dikarenakan batasan dari filsafat itu banyak maka sebagai
gambaran perlu diperkenalkan beberapa batasan.

1) Plato

15
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar (Cet. I ; Jakarta: Bumi Aksara, 2005), h. 4.

6
Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan
yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran
yang asli.

2) Aristoteles
Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan)
yang meliputi kebenaran yang didalamnya terkandung ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika
(filsafat keindahan).

3) Al Farabi
Filsuf Arab ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu
(pengetahuan) tentang hakikat bagaimana alam maujud yang
sebenarnya.

4) Hasbullah Bakry
Menurut Bakry, ilmu filsafat adalah ilmu yang menyelidiki
segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam
semesta dan juga manusia sehingga dapat menghasilkan
pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat
dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia seharusnya
setelah mencapai pengetahuan itu.16

5) Notonegoro
Notonegoro berpendapat bahwa filsafat itu menelaah hal-
hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya yang mutlak dan
yang terdalam, yang tetap dan yang tidak berubah, yang disebut
hakikat.

Adapun Ali Mudhofir dalam buku Surajiyo memberikan arti


filsafat sangat beragam, yaitu sebagai berikut.

a. Filsafat sebagai suatu sikap

16
Ibid, h. 5

7
Filsafat adalah suatu sikap terhadap kehidupan dan alam
semesta. Sikap secara filsafat adalah sikap menyelidiki secara kritis,
terbuka, toleran, dan selalu bersedia meninjau suatu problem dari
semua sudut pandang.

b. Filsafat sebagai suatu metode


Filsafat sebagai metode, artinya cara berpikir secara mendalam
(reflektif), penyelidikan yang menggunakan alasan, berpikir secara
hati-hati dan teliti. Filsafat berusaha untuk memikirkan seluruh
pengalaman manusia secara mendalam dan jelas.

c. Filsafat sebagai analisis logis tentang bahasa dan penjelasan makna


istilah, kebanyakan filsuf memakai metode analisis untuk
menjelaskan arti suatu istilah dan pemakaian bahasa. Beberapa filsuf
mengatakan bahwa analisis tentang arti bahasa merupakan tugas
pokok filsafat dan tugas analisis konsep sebagai satu-satunya fungsi
filsafat. Para filsuf analitis seperti G. E. Moore, B. Russel, L.
Wittgeenstein, G. Ryle, J. L. Austin, dan yang lainnya berpendapat
bahwa tujuan filsafat adalah menyingkirkan berbagai kekaburan
dengan cara menjelaskan arti istilah atau ungkapan yang dipakai
dalam ilmu pengetahuan dan dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka berpendirian bahwa bahasa merupakan laboratorium para
filsuf, yaitu tempat menyemai dan mengembangkan ide-ide.
Filsafat adalah tidak lebih dari suatu usaha untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan terakhir, tidak secara dangkal atau dogmatis
seperti yang kita lakukan pada kehidupan sehari-hari atau bahkan dalam
kebiasaan ilmu pengetahuan. Akan tetapi secara kritis, dalam arti: setelah
segala sesuatunya diselidiki problem-probelm apa yang dapat
ditimbulkan oleh pertanyaan-pertanyaan yang demikian itu dan setelah

8
kita menjadi sadar dari segala kekaburan dan kebingungan, yang menjadi
dasar bagi pengertian kita sehari-hari.17

Pendapat ini benar adanya, sebab intisari berfilsafat itu terdapat


dalam pembahasan bukan pada defenisi. Namun, defenisi filsafat untuk
dijadikan patokan awal diperlukan untuk memberi arah dan cakupan
objek yang dibahas, terutama yang terkait dengan filsafat ini. Karena itu,
disini dikemukakan beberapa defenisi dari para filosof terkemuka yang
cukup representatif, baik dari segi zaman maupun kualitas pemikiran.18

Sementara itu, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)


mengartikan filsafat sebagai:

a. Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal mengenai hakikat segala


yang ada, sebab, dan hukumnya.
b. Teori yang mendasari alam pemikiran atau suatu kegiatan
c. Ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika, dan epistemology.
Secara umum filsafat berarti upaya manusia untuk memahami
sesuatu secara sistimatis, radikal dan kritis. Filsafat disini bukanlah suatu
produk, melainkan proses, proses yang nantinya akan menentukan
sesuatu itu dapat diterima atau tidak. Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa filsafat adalah suatu studi atau cara berfikir yang
dilakukan secara reflektif atau mendalam untuk menyelidiki fenomena-
fenomena yang terjadi dalam kehidupan dengan menggunakan alasan
yang diperoleh dari pemikiran kritis yang penuh dengan kehati-hatian.
Filsafat didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen, tetapi
dengan menggunakan pemikiran yang mendalam untuk
mengungkapkan masalah secara persis, mencari solusi dengan memberi
argumen dan alasan yang tepat.

17
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Cet. II; Jakarta: Pt. Rajawali Pers, 2005), h. 5.
18
Ibid, h. 6.

9
2. Ruang Lingkup
Objek penelitian filsafat ada 2 yakni: obyek materi yakni obyek
yang dipikirkan ialah segala yang ada dan yang mungkin ada, atau
dengan kata lain cakupannya luas sekali baik itu bersifat empiris dan
abstrak, juga hal yang mengenai Tuhan, hari akhir sebagai
kesimpulannya lebih luas dari objek material sains. Objek forma yakni
penyelidikan yang mendalam.

Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya.


Jika kebenaran yang sebenarnya itu disusun secara sistematis, jadilah ia
sistematika filsafat. Sistematika filsafat itu biasanya terbagi atas tiga
cabang besar filsafat, yaitu teori pengetahuan, teori hakikat, dan teori
nilai.

Obyek yang dipikirkan oleh filosof ialah segala yang ada, jadi luas
sekali.Obyek yang diselidiki oleh filsafat ini disebut obyek material, yaitu
segala yang ada dan mungkin ada tadi. Tentang obyek material ini
banyak yang sama dengan obyek material sains. Bedanya ialah dalam
dua hal. Pertama, sains menyelidiki obyek materia yang empiris; filsafat
menyelidiki obyek itu juga, tetapi bukan bagian yang empiris, melainkan
bagian yang abstraknya. Kedua, ada obyek materia filsafat yang memang
tidak dapat diteliti oleh sains, seperti Tuhan, hari akhir, yaitu obyek
material yang untuk selama-lamanya tidak empiris. Jadi obyek
material filsafat tetap saja lebih luas daripada obyek material sains.19

Selain obyek material, ada lagi obyek formal, yaitu sifat penye-
lidikan. Obyek forma filsafat ialah penyelidikan yang mendalam. Artinya,
ingin tahunya filsafat adalah ingin tahu bagian dalamnya.
Kata mendalam artinya ingin tahu tentang obyek yang tidak empiris.
Penyelidikan sains tidak mendalam karena ia hanya ingin tahu

19
Munawwaroh, Djunaidatul dan Tanenji, Filsafat Pendidikan (Perspektif Islam Dan
Umum), (Jakarta: UIN Jakarta Press. 2003), h. 8

10
sampai batas obyek itu dapat diteliti secara empiris. Jadi, sains
menyelidiki dengan riset, filsafat meneliti dengan memikirkannya.

B. Filsafat Islam
1. Pengertian
Filsafat islam adalah perkembangan pemikiran umat Islam dalam
masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari
ajaran Islam. Adapun definisinya secara khusus seperti apa yang
dituliskan oleh penulis Islam sebagai berikut20

a. Ibrahim Madkur, filsafat islam adalah pemikiran yang lahir dalam


dunia Islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah
dan alam semesta, wahyu dan akal, agama dan filsafat.
b. Ahmad Fuad Al-Ahwany, filsafat Islam adalah pembahasan tentang
alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
c. Muhammad Atif Al-ËIraqy, filsafat Islam secara umum di dalamnya
tercakup ilmu kalam, ilmu ushul fiqh, ilmu tasawuf, dan ilmu
pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam.
Pengertiannya secara khusus adalah pokok-pokok atau dasar-dasar
pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof muslim.
Jelaslah bahwa filsafat Islam merupakan hasil pemikiran umat
islam secara keseluruhan. Pemikiran umat Islam ini merupakan buah dari
dorongan ajaran Al-Quran dan Hadis.

2. Sejarah Adanya Filsafat Islam


Ketika datang ke Timur Tengah pada abad IV SM. Aleksander
Agung membawa bukan hanya kaum militer tetapi juga kaum
sipil.Tujuannya bukanlah hanya meluaskan daerah kekuasaannya ke luar
Macedonia, tapi juga menanamkan kebudayaan Yunani di daerah-daerah
yang dimasukinya. Untuk itu ia adakan pembauran antara orang-orang
Yunani yang dibawanya, dengan penduduk setempat. Dengan jalan
demikian berkembanglah falsafat dan ilmu pengetahuan Yunani di Timur

20
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), h. 17.

11
Tengah, dan timbullah pusat-pusat peradaban Yunani seperti Iskandariah
(dari nama Aleksander) di Mesir.21

Ketika para Sahabat Nabi Muhammad menyampaikan dakwah


Islam ke daerah-daerah tersebut terjadi peperangan antara kekuatan
Islam dan kekuatan Kerajaan Bizantium di Mesir, Suria serta Irak, dan
kekuatan Kerajaan Persia di Iran. Daerah-daerah ini, dengan menangnya
kekuatan Islam dalam peperangan tersebut, jatuh ke bawah kekuasaan
Islam. Tetapi penduduknya, sesuai dengan ajaran al-Qur'an, bahwa tidak
ada paksaan dalam agama dan bahwa kewajiban orang Islam hanya
menyampaikan ajaran-ajaran yang dibawa Nabi, tidak dipaksa para
sahabat untuk masuk-Islam. Mereka tetap memeluk agama mereka
semula.

Dari warga negara non Islam ini timbul satu golongan yang tidak
senang dengan kekuasaan Islam dan oleh karena itu ingin menjatuhkan
Islam. Mereka pun menyerang agama Islam dengan memajukan
argumen-argumen berdasarkan falsafat yang mereka peroleh dari
Yunani.

Dari pihak umat Islam timbul satu golongan yang melihat bahwa
serangan itu tidak dapat ditangkis kecuali dengan memakai argumen-
argumen filosofis pula. Untuk itu mereka pelajari filsafat dan ilmu
pengetahuan Yunani. Kedudukan akal yang tinggi dalam pemikiran
Yunani mereka jumpai sejalan dengan kedudukan akal yang tinggi dalam
al-Qur'an dan Sunnah Nabi. Dengan demikian timbullah di panggung
sejarah pemikiran Islam teologi rasional yang dipelopori kaum
Mu'tazilah.

Teologi rasional Mu'tazilah inilah, dengan keyakinan akan


kedudukan akal yang tinggi, kebebasan manusia dalam berfikir serta
berbuat dan adanya hukum alam ciptaan Tuhan, yang membawa pada

21
Ibid. h. 18

12
perkembangan Islam, bukan hanya filsafat, tetapi juga sains, pada masa
antara abad ke VIII dank e XIII M.

Filsafat dibagi 3 periode. Periode pertama berasal dari Yunani,


Tokoh-tokoh seperti Socrates, Plato dan Aristoteles. Periode kedua yang
merupakan masa pertengahan adalah Filsafat Islam. Filsafat Islam klasik
mulai berkembang pada masa Al-Kindi.22

Al-Kindi merupakan seorang Aristotelian, ia mengartikan filsafat


sebagai pola pikir manusia untuk lebih mengetahui dirinya, dari
pengertian tersebut al-kindi berusaha lebih “mengetahui dirinya sendiri”
yang kemudian ia jadikan sebagai cara atau alat untuk lebih mengetahui
hal-hal yang sifatnya lebih besar. Filsafat al-Kindi juga mengarah kepada
al-Ilmu al-Insani wa Ilum al-Ilahi.

3. Tokoh
Dalam ilmu filsafat islam ada beberapa tokoh yang dianggap
membawa pengaruh dan karya-karyanya dikenal oleh sebagian umat
muslim saat ini. Beberapa tokoh tersebut antara lain23

a. Al-Kindi
Al-Kindi atau Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Ash-Shabah
bin Imran bin Ismail bin Al-Asy’ats bin Qays Al-Kindi dikenal
sebagai sosok muslim pertama yang memunculkan gagasan tentang
filsafat dan ia jugalah yang berpendapat bahwa ajaran agama islam
sebenarnya tidak berbeda jauh dengan ilmu filsafat atau falsafah
sehingga keduanya bukanlah dua hal yang bertentangan. Tidak
hanya cerdas sebagai filsuf atau pemikir islam yang diakui oleh
bangsa barat, Al kindi juga menghasilkan banyak karya dalam bidang
ilmu pengetahuan lainnya seperti aritmatika dan musik

22
Hadariansyah, Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filusuf-filusuf Muslim dan Filsafat
Mereka, (Banjarmasin: Kafusari Press, 2012), h. 4
23
Ibid. h. 5 – 6

13
b. Al-Farabi
Al Farabi atau Abū Nasir Muhammad bin al-Farakh al-Fārābi‘
adalah seorang tokoh ilmuwan sekaligus filsuf muslim yang berusaha
memadukan beberapa aliran filsafat antara lain aliran falsafah al
taufiqhiyah yang berkembang sebelumnya dari hasil pemikiran filsuf
Yunani seperti Plato, Aristoteles, Plotinus.

Al farabi juga berpendapat bahwa pada hakikatnya filsafat itu


memiliki satu tujuan yakni untuk mencari kebenaran dari suatu hal.

c. Ibnu Rusyd
Abu Walid Muhammad bin Rusyd atau yang dikenal dengan
nama ibnu rusyid adalah salah satu tokoh ilmuwan muslim yang
cukup dikenal. Ia juga merupakan salah seorang filsuf yang dikenal
dnegan aliran rasionalnya. Sebagai seorang filsuf dan pemikir, Ibnu
Rusyid menjunjung tinggi akal dan peranananya dalam kehidupan.
Ibnu rusyid juga berpendapat bahwa akal fikiran bekerja dengan
didasari oleh pengertian umum atau maj’ani kulliyah dandidalamnya
tercakup hal-hal yang bersifat partial atau disebut juz’iyah.

d. Ibnu Sina
Ibnu sina yang terkenal sebagai ilmuwan dalam bidnag
kedokteran juga dikenal sebagai seorang sosok filsuf muslim. Ia
berpendapat bahwa semua intelenji atau akal berasal dari Tuhan dan
segala hal yang menyangkut dasar semua ilmu juga berasal dari
Tuhan. Ibnu sina jugalah yang menyatakan bahwa esensi berada
dalam akal dan wujud berada diluar akal. Ia juga banyak membahas
mengenai metafisika dan filsafah tentang jiwa.

e. Al-Ghazali
Muhammad bin Ahmad, Al-Imamul Jalil, Abu Hamid Ath Thusi
Al-Ghazali atau yang lebih dikenal sebagai Al Ghazali adalah salah
seorang filsuf ternama yang berasal dari daerah Thusi yang merupakan
bagian dari Negara Persia. Al ghazali banyak menghasilkan karya

14
dibidang filsafat dan ia pada mulanya berpendapat bahwa ilmu
pengetahuan sebenarnya tidak bisa ditangkan dengan menggunakan
panca indera manusia. Al ghazali lebih cenderung percaya terhadap akal
daripada kelima panca indera. Dizamannya, ia pernah menjadi guru
besar di Nidzamiyah, Baghdad selama empat tahun.beberapa kitab
karangan Al ghazali yang terkenal antara lain Ihya Ulum Ad-
Din, Tahafut al-Falasifah dan Al-Munqidz min adh-Dhalal.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Filsafat mempunyai banyak peranan bagi manusia seperti:

mendobrak keterkungkungan pikiran manusia, pembebas pikiran manusia,


sebagai pembimbing, penghimpun ilmu pengetahuan, dan sebagai pembantu
pengetahuan. Secara umum, tujuan filsafat adalah meraih kebenaran agar
dapat membawa manusia kepada pemahaman, dan kepada tindakan yang
lebih layak.

Mengenai kronologis munculnya filsafat Islam beberapa ilmuan


mengalami sedikit perbedaan, seperti yang dijelaskan Hasyimah Nasution
pada bukunya “Filsafat Islam” ada yang mengatakan bahwa filsafat Islam
terlahir hanya gara-gara adanya penerjemahan buku-buku pengetahuan
berbahasa Yunani kedalam bahasa Arab.

Lain halnya dengan yang dipaparkan oleh Hadariansyah dalam


bukunya “Pengantar Filsafat Islam” bahwa filsafat Islam, terlahir dari kitab
suci umat Islam itu sendiri, dikarenakan banyaknya terkandung ayat-ayat
yang menyuruh untuk berpikir. Di sisi lain karena gencarnya usaha-usaha
yang dilakukan oleh Alexander the Great dengan menaklukkan kota-kota
penting seperti Mesir, Irak, Suriah dan Persia, yang kemudian di kota-kota
penting tersebut didirikan pusat-pusat kebudayaan yang membantu
mengembangkan usaha Alexander dalam mengembangkan ilmu
pengetahuan dan Filsafat Yunani.

B. Saran
Demikian makalah yang kami susun, semoga dapat memberikan
manfaat bagi penyusun khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, maka
dari itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan makalah kami.

16
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsal, 2005. Filsafat Ilmu. Cet. II; Jakarta: Pt. Rajawali Pers,

Hadariansyah, 2012. Pengantar Filsafat Islam: Mengenal Filusuf-filusuf Muslim dan


Filsafat Mereka, Banjarmasin: Kafusari Press.

Munawwaroh, Djunaidatul dan Tanenji, 2003. Filsafat Pendidikan Perspektif Islam


Dan Umum), Jakarta: UIN Jakarta Press.

Nasution, Hasyimsyah, 1999. Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama,

Surajiyo, 2005. Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Cet. I; Jakarta: Bumi Aksara.

17
JURNAL

EPISTEMOLOGI SAINS ISLAM PERSPEKTIF AGUS PURWANTO

DISUSUN OLEH :

ZULKIFLI

11830214556

PRODI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS SULTAN SYARIF QASIM RIAU

T.A. 2019/2020

18
EPISTEMOLOGI SAINS ISLAM PERSPEKTIF AGUS PURWANTO

Oleh : Zulkifli (zulkifli150120@gmail.com)

Univesitas Islam Negri Sultan Syarif Kasim Riau

Abstract

This paper examines the thoughts of Agus Purwanto on the epistemology of


Islamic Science as he poured in the book by the title Ayat-Ayat Semesta dan
Nalar Ayat-Ayat Semesta. The relationship between Islam and science have three
(3) kinds of models, are: the Islamization of Science, Saintification of Islam and
Islamic Science. From the models, Agus Purwanto chooses a third model, the
Islamic Science. Islamic science is science-based construction revelation (al-
Qur'an and as-Sunna). Therefore, Agus Purwanto offers kauniyah 800 verses in
the Qur'an to analyse of the text, which is then followed by observation and
experimen-tation natural phenomena directly by using the scientific method.
This step is done as an effort to find new findings for the science-based
revelation.

Keywords: Epistemology, Science, Islam, Agus Purwanto

‫ان‬ ‫ ب‬7; ‫ا‬ B:< ‫وھ‬ ‫ما‬ ‫ا‬ "70 ‫ \ ل ا‬Agus Purwanto ‫أ ; ر‬ R‫ه ا ر‬+‫ ھ‬O6N/
" ‫ أ‬: ‫ ھ‬، ‫ا " ذج‬ ‫( أ اع‬3) I I ‫م وا‬ ‫ا‬ R . 70 " ‫ر آ< ت آ< ت‬L ‫ دان‬70 " ‫آ< ت آ< ت‬
‫ا‬. ‫ا‬ ‫ ا‬، ًP I ً ‫ " ذ‬Agus Purwanto ‫ ر‬7Y‫ ا‬، ‫ا " ذج‬ . ‫ما‬ ‫م وا‬ ‫ ا‬Z<. / ، ‫ا‬
<‫ آ‬Agus Purwanto kauniyah 800 ‫م‬. < ، { + .( 0 ‫)ا آن وا‬ ‫(ا‬K TR‫ء‬ \‫ھ و‬ ‫ا‬
‫ ة‬S8 ‫ه ا‬+‫ ھ‬7/ . " ‫ < ا‬S ‫ام ا‬.87 ‫' ة‬N NS ‫اھ ا‬ ‫ا‬ M/‫و‬ \ • N7< I ، € ‫ ا‬5 67 ‫ا آن‬
. ‫(ا‬K T ‫\ ا‬ ‫ة‬.<. •T 7 ( K ‫ ر‬P ‫ و‬6"%
7 ‫ أ س روا‬، ‫م‬ ‫ا‬،‫م‬ ‫ا‬، "‫< ا‬ : \7"‫ا;"تا‬

19
PENDAHULUAN

Epistemologi sains Barat didasarkan pada penalaran (rasionalisme) dan


pengamatan (empirisme) sebagai basis konstruksi ilmu pengetahuannya.
Epistemologi yang dikembangkan ilmuwan Barat tersebut selanjutnya
mempengaruhi pemikiran ilmuan di seluruh dunia seiring dengan pengenalan
dan sosialisasi sains dan teknologi mereka. Epistemologi sains Barat yang seperti
itu dijadikan acuan dalam mengembangkan pemikiran seluruh ilmuwan,
sehingga secara praktis seakan-akan mayoritas ilmuan di seluruh dunia
mengikuti Barat, baik dalam hal pola pikirnya, pijakan berfikirnya, metodologi
berfikirnya, persepsinya terhadap ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya.

Epistemologi sains Barat yang seperti itu telah menjadikan para ilmuan
beserta ilmu pengetahuan yang dihasilkannya semakin jauh dari norma-norma
agama, etika, dan budaya luhur umat manusia. Rasionalisme dan empirisme
yang menjadi dasar sains Barat akhirnya seperti menjadi mesin penghancur
manusia sendiri, karena adanya keterbatasan rasio dan pengamatan itu sendiri
dalam memahami hakikat alam dan diri manusia. Ilmu yang semula ciptaan
manusia telah melampaui dirinya sendiri, menjadi penguasa atas manusia
sendiri, dan telah menggantikan kedudukan wahyu Tuhan sebagai petunjuk
kehidupan.24

Sekularisme yang telah terjadi di dunia Barat sesungguhnya tidak dikenal


dalam warisan Islam. Karena pemisahan antara ilmu dan agama adalah
pemisahan yang tidak ada akarnya dalam tradisi Islam. Pemisahan tersebut
datang dari luar tradisi Islam, yaitu dari dunia Barat. Dalam tradisi Islam tidak
dikenal adanya dua kekuasaan, kekuasaan ilmu dan kekuasaan agama, atau
kekuasaan agama dan kekuasaan duniawi. Ilmu dan agama diibaratkan antara
ruh dan jasad, tidak ada pemisahan antara keduanya, ruh dan jasad menyatu

24Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2006), h. 52.

20
dalam satu kesatuan.25 Ilmu dan agama sama-sama digunakan sebagai sumber
kebenaran untuk memahami hakikat manusia dan alam semesta.

Intelektual Muslim dari era klasik sampai sekarang juga sepakat bahwa
epistemologi pengetahuan dalam Islam menekankan pada keseluruhan
pengetahuan akal, pengalaman dan realitas serta mendukung bukan hanya satu
melainkan sejumlah cara yang berbeda-beda dan saling terkait untuk mengkaji
dan memahami pengetahuan, dan lebih dari semua itu selalu tunduk pada nilai-
nilai kebenaran wahyu al-Qur’an yang kekal. Inilah letak perbedaan
epistemologi pengetahuan antara Islam dan Barat, yang mana Islam juga
mengakui wahyu sebagai salah satu sumber pengatahuan yang dapat diterima,
selain sumber pengetahuan yang lainnya.

Kajian ini akan membahas epistemologi Sains Islam dalam perspektif Agus
Purwanto yang terdapat dalam kedua bukunya. Kajian ini merupakan studi
pemikiran tokoh melalui kajian document studies terhadap pemikiran Agus
Purwanto dalam buku Ayat-Ayat Semesta dan Nalar Ayat-Ayat Semesta, yang
dilakukan dengan cara membaca, menelaah, mengkaji, menganalisis,
menafsirkan data,26 dan didukung studi subjek penelitian, berupa penjelasan
langsung dari Agus Purwanto, melalui teknik wawancara dan observasi atas
kegiatan Agus Purwanto. Penelitian ini merupakan salah satu jenis penelitian
kualitatif, yang dilakukan secara filosofis, dengan menggunakan metode analisis
deskriptif.

Melalui metodologi tersebut, maka akan dapat menemukan epistemologi


Sains Islam dalam perspektif Agus Purwanto yang terdapat dalam kedua
bukunya.

PEMBAHASAN
Ruang Lingkup Epistemologi Pengetahuan dalam Islam

25Yusuf Qardhawi, Al-Islam Wal-'Ilmaniyah, Wajhan Liwajhin (Kairo: Attab'ah Atsaniyah


Dar-al-Sohwah Linnasyr WaTauzi', 1996), h. 69.
26Dudung Abdur Rahman, Pengantar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Kurnia Kalam

Semesta, 2003), h. 7.

21
Epistemologi merupakan filsafat yang menyelidiki tentang sumber, syarat,
serta proses terjadinya pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani;
episteme artinya pengetahuan/knowledge; dan logos artinya
ilmu/teori/pemikiran. Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus
membahas teori ilmu pengetahuan,khususnya berkenaan dengan pencarian
hakikat dan kebenaran pengetahuan, cara mendapatkan pengetahuan dari obyek
yang ingin dipikirkan,dan terkait dengan masalah asal mula ilmu pengetahuan
itu diperoleh.
Menurut Louis Q. Kattsof sebagaimana yang dikutip oleh Juhaya S. Praja
mengatakan bahwa sumber ilmu pengetahuan manusia itu ada lima macam,
yaitu: 1). Empiris yang melahirkan aliran empirisme, 2. Rasio yang melahirkan
aliran rasionalisme, 3. Fenomena yang melahirkan fenomenologi, 4. Intuisi yang
melahirkan aliran intuisionalisme, dan 5. Metode ilmiah yang menggabungkan
antara aliran rasionalisme dan empirisme. Yang terakhir ini telah mewarnai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di seluruh universitas di dunia.
Dari kelima sumber tersebut, yang paling banyak mendapat perhatian dan
menjadi bahan perbincangan sekaligus polemik di kalangan intelektual adalah
empiris (empirisme) dan rasio (rasionalisme).27
Beberapa aliran tersebut terus tumbuh dan mengalami perkembangan seiring
dengan perdebatan terkait dengan sumber ilmu pengetahuan untuk memperoleh
kebenaran. Perdebatan tersebut akan terus tumbuh seiring dengan tumbuhnya
ilmu pengetahuan sendiri, baik di dunia Barat, dunia Timur maupun di dunia
Islam. Memang masalah sumber kebenaran (epistemologi) itu sendiri memiliki
sikap yang berbeda antara Barat dan Timur. Smith dan Nolan membahas sikap
antara Barat dan Timur dalam hal pengetahuan,28 menurutnya Barat cenderung
menekankan dunia obyektif. Penekanan ini telah menghasilkan sains dan
teknologi di mana akhirnya Barat mampu menunjukkan keunggulannya.
Pemikiran Barat yang seperti ini adalah cara berpikir yang diwarisi dari Yunani.
Melalui pemikiran yang seperti itu maka Barat mampu menciptakan bermacam-

27Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997), h. 17.
28Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h. 208-
209.

22
macam sains dengan kriteria ilmiah yang bersifat empiris dan rasional. Bagi
Barat pengetahuan harus bersifat demikian, sehingga ia dapat diuraikan dalam
istilah yang bersifat deskriptif empiris atau disampaikan menurut peraturan
logika.
Sedangkan pemikir Timur lebih mementingkan segi dalam dan watak pribadi
dari aku dan realitas yang berada lebih jauh dari dunia empiris. Filosof Timur
mementingkan segi dalam dari benda-benda dan tidak puas dengan pandangan
luar terhadap benda-benda tersebut. Ia tidak hanya ingin melihat tetapi ingin
menjadi sesuatu. Ia lebih suka mencari "pengetahuan dengan perkenalan"
(knowledge by acquaintance) dan lebih bersedia untuk menerima pengalaman dan
kesaksian orang-orang dahulu, sejarah dan intuisi yang menurutnya lebih dapat
dipercaya. Filsafat adalah way of life (cara hidup), suatu eksperimen dalam hidup.
Watak benda-benda harus diungkapkan, bukan dengan kesimpulan logika dari
fakta-fakta dunia yang berkeping-keping, tetapi dengan cara pengenalan melalui
pengalaman pribadi, namun untuk mendapatkan pengenalan atau pandangan
dalam ini, akal dan jiwa harus dibersihkan dari hambatan keinginan pribadi dan
emosi yang mengganggu.

Pemikiran Agus Purwanto Terkait Epistemologi Sains Islam dalam buku


Ayat-Ayat Semesta dan Nalar Ayat-Ayat Semesta.

Seorang intelektual Muslim kontemporer yang bernama Agus Purwanto, juga


menawarkan sebuah pendekatan baru dalam konstruksi ilmu pengetahuan
dalam Islam. Menurut Agus Purwanto, hubungan Islam dengan sains dapat
dikategorikan dalam tiga bentuk, yaitu Islamisasi Sains, Saintifikasi Islam, dan Sains
Islam.
Model ketiga, yaitu Sains Islam inilah yang dianggap paling efektif dari pada
model sebelumnya karena lebih produktif dalam pengembangan sains ke depan.
Dalam Sains Islam, konstruksi sains dapat dilakukan berdasarkan al-Qur’an dan
as-Sunah yang dilanjutkan dengan observasi alam (sunatullah) secara langsung.
Sains Islam memiliki konstruksi baik ontologi, epistemologi, maupun
aksiologinya berbasis dan berparadigma wahyu. Sains Islam berbeda dengan
sains modern yang ontologinya menganut materialisme ilmiah, epistemologinya

23
hanya rasionalisme, empirisme, dan meninggalkan intuisionisme sebagai sumber
mencari kebenaran, serta aksiologi sains modern hanya terhenti pada kepuasan
dari perolehan ilmu itu sendiri.
Ontologi Sains Islam selain mempercayai hal-hal yang bersifat material dan
realitas, juga mempercayai hal-hal yang bersifat non-materi, seperti malaikat,
kiamat, qada’ dan qadar, dan lain-lain. Epistemologi Sains Islam selain
mempercayai ilmu pengetahuan dapat diperoleh melalui akal, pengalaman dan
pengamatan, juga mempercayai perolehan pengetahuan dari wahyu (intuisi).
Sedangkan aksiologi Sains Islam tidak hanya berhenti pada ilmu yang
dihasilkan, akan tetapi dapat menambah keimanan kepada sang pencipta, serta
orientasi pengetahuan selalu untuk kemaslahatan umat manusia (rahmatan lil
‘alamin), bukan untuk kepentingan golongan tertentu.
Epistemologi Sains Islam akan menempatkan wahyu sebagai sebuah sarana
mencari sebuah kebenaran pengetahuan dalam Islam. Wahyu atau al-Qur’an
dapat dijadikan sebagai sumber ilmu pengetahuan, bahkan al-Qur’an dapat
dikonfirmasi kebenarannya oleh fenomena alam dan diri manusia. Pernyataan
seperti ini memberikan arti bahwa al-Qur’an dapat menjadi sumber informasi
bagi suatu fenomena alam atau al-Qur’an dapat menjadi basis bagi bangunan
teori tentang alam. Sains Islam dalam perspektif ini dapat dimaknai sebagai sains
yang premis dasarnya diambil langsung dari wahyu atau ayat-ayat al-Qur’an.
Namun tidak semua ayat bercerita dan menyinggung masalah alam, sehingga
tidak semua ayat mengkonfirmasi fenomena alam. Ayat yang dikonfirmasi
adalah ayat-ayat tentang alam atau disebut dengan ayat kauniyah.
Dalam epistemologi Sains Islam, al-Qur’an dapat ditempatkan sebagai data
yang akan memberikan informasi tentang alam sebagai landasan awal untuk
mengkonstruksi teori-teori baru ilmu pengetahuan. Pola informasi al-Qur’an
tentang alam ini dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok besar, yaitu:
pertama, informasi langsung secara tekstual sehingga tidak memerlukan
penafsiran atau pemahaman lebih lanjut. Sebagaimana yang terdapat dalam al-
Qur’an QS. An-Nahl (16): 69, yang menjelaskan tentang madu yang keluar dari
perut lebah yang dapat dijadikan sebagai obat bagi manusia. Ayat ini memuat

24
informasi yang sangat jelas, yaitu minuman yang keluar dari perut lebah yang
tidak lain adalah madu, yang dapat berfungsi sebagai obat. Madu sebagai obat
sudah sangat jelas, tanpa penafsiran lebih lanjut, meskipun perlu dilakukan
penelitian tentang penyakit yang dapat disembuhkan oleh madu.
Kedua, informasi secara implisit dan memerlukan penafsiran lebih atas
redaksional ayat tersebut. Misalnya yang terdapat dalam QS. an-Naml (27): 18,
tentang seekor semut yang memberikan perintah kepada semut yang lain.41
Terjemahan al-Qur’an pada umumnya hanya mengartikan “seekor semut”, tanpa
membahas lebih lanjut siapakah semut yang memberikan perintah. Padahal
ketika ayat ini digali secara lebih mendalam dengan melakukan analisis teks atas
kata demi kata, jenis kata yang digunakan, maupun susunan katannya, maka
akan ditemukan sebuah hipotesis bahwa semut yang memberikan perintah
tersebut adalah seekor “ratu semut”, sebagai pemimpin suatu komunitas semut.
Dari dua model pola informasi al-Qur’an tersebut dapat memberikan
pengertian bahwa, pertama kadang-kadang suatu objek yang dibahas dalam al-
Qur’an disampaikan secara langsung dengan penjelasan yang mudah dipahami
sehingga tidak memerlukan penafsiran lebih lanjut. Kedua, Kadang informasi
yang disampaikan masih memerlukan analisis lebih lanjut, baik dalam level
bahasa maupun dengan observasi langsung terhadap objek yang dimaksud.
Semut merupakan hewan yang berukuran sangat kecil, sehingga sulit
mengetahui jenis kelaminnya, dan kemampuan manusia memiliki keterbatasan
dalam memahami sifat objek-objek yang super kecil. Karena itu, kitab suci
memberikan informasi dengan caranya yang khas melalui permainan bahasa
yang cantik. Dari sini, maka diperlukan sebuah kajian dan analisis lebih
mendalam untuk menemukan teori baru ilmu pengetahuan, berdasarkan
informasi dari al-Qur’an tersebut.29
Al-Qur’an banyak memberikan informasi tentang alam semesta dari hal yang
terkecil sampai hal-hal yang besar. Bahkan Agus Purwanto mengatakan bahwa
800 ayat-ayat kauniyah tentang alam semesta telah menyodorkan informasi-
informasi yang luar biasa, namun sampai saat ini masih belum disentuh secara

29Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat, h. 104-105.

25
berarti oleh umat Islam. Ayat-ayat tersebut tidak memberikan pesan moral,
melainkan informasi-informasi bagi awal pemahaman yang lebih utuh tentang
alam semesta dan bagian-bagiannya. Contohnya, dalam QS. al-Mulk (67): 3-4, al-
Qur’an telah memberikan informasi bahwa langit terdiri dari tujuh lapis yang
bersesuaian (thibaqun) tanpa bagian yang bertentangan, tidak setimbang
(tafawutun) ataupun cacat (futhurun). Informasi dalam ayat ini seharusnya
memberikan inspirasi bagi para astronomi ataupun kosmolog Muslim untuk
membangun teori tentang alam semesta, dengan ruang angkasa antar bintang-
bintang atau antar galaksinya. Tujuh langit dalam informasi al-Qur’an tersebut
harus dijabarkan secara fisis, misalnya penjelasan tentang apa dan bagaimana
mekanisme pembentukannya, serta bagaimana hubungan antar lapisan langit.
Distribusi partikel yang bagaimana yang membuat formasi lapisan langit berada
dalam keseimbangan tersebut, sehingga langit-langit tersebut berada dalam
kesempurnaan, tanpa kerusakan atau cacat.
Memang analisis teks ini termasuk langkah yang sangat sederhana, akan
tetapi cara ini dapat menemukan sesuatu yang selama ini terlewatkan oleh para
penelaah al-Qur’an, juga dapat menghasilkan pemahaman yang relatif baru dan
tentu berbeda dari pemahaman umum sebelumnya. Langkah ini dalam
prakteknya telah dilakukan oleh Agus Purwanto, sebagaimana yang telah
dicontohkannya dalam membahas ayat-ayat al-Qur’an dalam kaitanya dengan
konstruksi ilmu pengetahuan, seperti: ketika membahas bab tentang alam
semesta ini, bumi dan evolusi bintang, struktur ruang waktu, spin bumi, struktur
interior bumi, sang ratu semut, gelombang longitudinal dan tranversal, materi
dan ruang dalam, antrean kuantum, ilmu dan teknologi besi cor, perahu layar
dan kapal laut, dan lain sebagainnya.
Analisis teks tersebut bertujuan untuk menemukan hipotesis ilmu
pengetahuan baru yang terinspirasi dari al-Qur’an. Setelah melakukan analisis
teks dan menemukan hipotesis tersebut maka langkah selanjutnya adalah
melakukan observasi secara langsung atas fenomena yang dimaksud, guna
menemukan teori baru ilmu pengetahuan. Inilah letak epistemologi Sains Islam,
yaitu menjadikan wahyu (al-Qur’an dan as-Sunah) sebagai basis bagi konstruksi

26
ilmu pengetahuan. Berdasarkan ayat-ayat kauniyah yang memberikan informasi
tentang ilmu pengetahuan tersebut, maka dapat dikaji dan dianalisis lebih lanjut
guna pengembangan ilmu pengetahuan kedepan.
Metode epistemologi Sains Islam juga melakukan dialog dengan sains Barat
yang telah berkembang sebelumnya. Karena itu, saat ini diperlukan sebuah
usaha untuk mewujudkan atau mengartikulasikan bentuk pergumulan dan
dialog antara sistem berpikir filsafat Islam kontemporer dengan sistem filsafat
Barat kontemporer secara konseptual.30 Hal ini memberikan arti bahwa dalam
konstruksi ilmu pengetahuan, umat Islam tidak harus meninggalkan sains Barat,
tetapi dapat melakukan dialog, integrasi, dan memanfaatkan hasil-hasil temuan
sains Barat untuk pengembangan Sains Islam. Meninggalkan sains Barat yang
telah maju merupakan perilaku bodoh, dan menggunakan sains Barat
sepenuhnya tanpa sikap kritis juga merupakan tindakan bunuh diri. Dengan
adanya integrasi kedua bidang keilmuan tersebut, maka akan dihasilkan ilmu
pengetahuan (creative imagination) yang kreatif dan inovatif.

Melalui kajian-kajian sains dalam Islam, diharapkan akan menjadi solusi bagi
problematika umat Islam yang sedang terpuruk, yang disebabkan oleh lemahnya
penguasaan bidang sains dan teknologi. Kedepannya diharapkan umat Islam
akan mampu menjadi pioneer bagi pengembangan sains dan teknologi. Akhirnya
umat Islam akan mampu mencetak para saintifik, ilmuan, dan para ahli di
berbagai bidang keilmuan yang sanggup menawarkan temuan baru ilmu
pengetahuan. Melalui langkah ini, maka gaung kebangkitan Islam akan semakin
nampak, dan kemajuan peradaban Islam akan dapat terwujud.

Kesimpulan
Epistemologi pengetahuan yang selama ini berkembang mewarnai ilmu
pengetahuan modern hanya terbatas pada rasio dan pengamatan (rasionalisme
dan empirisme), akhirnya peran agama tersingkirkan dan ilmu pengetahuan
modern menjadi sekuler. Corak epistemologi pengetahuan modern yang seperti

30Mulyadi Hermanto, “Telaah Pemikiran Epistemologi Ilmuwan Muslim Kontemporer:


Perspektif Intelektual Muslim Indonesia”, Makalah, Proceeding of International Conference
On Islamic Epistemology, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 24 May 2016, h. 143

27
itu memiliki perbedaan dengan epistemologi pengetahuan dalam Islam, karena
sumber pengetahuan dalam Islam selain menggunakan rasio dan pengamatan
juga menggunakan intuisi (wahyu) dalam konstruksi ilmu pengatahuannya.
Begitu juga dengan tawaran Agus Purwanto sebagai intelektual Muslim, bahwa
baginya epistemologi Sains Islam adalah epistemologi sains modern plus atau
diperluas, yaitu plus penerimaan wahyu sebagai sumber informasi dan plus
metodologi yang tidak tunggal atau kemajemukan metodologis.

Karena itu, Agus Purwanto menawarkan 800 ayat-ayat kauniyah dalam al-
Qur’an untuk dapat dijadikan sebagai basis bagi konstruksi ilmu pengatahuan.
Langkah yang dilakukan adalah melalui analisis teks 800 ayat-ayat kauniyah
tersebut, sehingga akan dihasilkan hipotesis teoritis, yang kemudian dilanjutkan
dengan observasi dan eksperimentasi terhadap alam secara langsung. Melalui
langkah tersebut, akan dihasilkan temuan-temuan baru ilmu pengatahuan
berparadigma wahyu yang fresh, kreatif, dan inovatif. Inilah epistemologi
pengetahuan dalam Sains Islam, yang dalam konstruksi pengetahuannya tidak
hanya menggunakan rasio dan pengamatan (rasionalisme dan empirisme), tetapi
juga menggunakan wahyu (intuisionisme) sebagai sumber pengetahuan.

Saran

Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki penulis,


maka dengan ini penulis sarankan kepada pembaca untuk mencari referensi-
referensi lain untuk dapat memahami kembali pembahasan ini secara lebih luas
dan mendalam.

28
DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo, Islam Sebagai Ilmu: Epistemologi, Metodologi dan Etika (Yogyakarta:


Tiara Wacana, 2006), h. 52.
Yusuf Qardhawi, Al-Islam Wal-'Ilmaniyah, Wajhan Liwajhin (Kairo: Attab'ah
Atsaniyah Dar-al-Sohwah Linnasyr WaTauzi', 1996), h. 69.
Dudung Abdur Rahman, Pengantar Metodologi Penelitian (Yogyakarta: Kurnia
Kalam Semesta, 2003), h. 7.
Juhaya S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika (Bandung: Yayasan Piara, 1997), h.
17.
Titus, Smith, Nolan, Persoalan-Persoalan Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), h.
208-209.
Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat, h. 104-105.
Mulyadi Hermanto, “Telaah Pemikiran Epistemologi Ilmuwan Muslim
Kontemporer: Perspektif Intelektual Muslim Indonesia”, Makalah, Proceeding of
International Conference On Islamic Epistemology, Universitas Muhammadiyah
Surakarta, 24 May 2016, h. 143

29

You might also like