Professional Documents
Culture Documents
Artikel Smart Village 2
Artikel Smart Village 2
Abstract: Architecture is a cultural phenomenon and an institution where values are included.
Its form and organization are influenced by the culture in which it belongs. Therefore,
architecture is not just a physical form that has a function, but it has a meaning. Architecture
is a form of culture, a built environment. Architecture is a result of human culture that has a
physical form, the values, and patterns of behaviour. Eco-architecture has grown and it has its
own vocabulary and expression. However, architecture does not consider this paradigm just as
the style and trend of eco-architecture and ignores the ecological aspects. The Rehabilitation
of Pacing Village in the Central Java after the earthquake is a project which attempted to
implement the concept of “eco-architecture”. This concept expresses the image of the local
architecture (local genius). Approaching the problem of design through the concept of ecology,
aims to manage soil, water, and the air for the sustainable ecosystems. This project tried to use
natural resources efficiently, but it didn’t renew the alternative energy, such as solar, wind,
water, and bio-energy. Researcher tried to use renewable natural resources within the concept
of a closed cycle, recycling –i. e. energy saving by reuse the resources-, adapt to the
environment, climate, social culture, and economics. Harmony with the natural behaviour can
be achieved by the concept of contextual design. Design is a way to implement the concept and
the construction is the process to adjust potential resources, including topography, vegetation,
and other natural conditions.
Keywords: Smart Village, eco-architecture, 3R, sustainability
Abstrak: Arsitektur adalah fenomena budaya, yang di dalamnya terjalin nilai-nilai. Bentuk
dan susunannya dipengaruhi oleh budaya setempat. Oleh karena itu, makna arsitektur lebih
dari sekedar bentuk fisik atau kegunaan saja. Arsitektur merupakan hasil kebudayaan manusia
sebagai suatu bentuk fisik, nilai abstrak dan perilaku manusia itu sendiri. “Eco-architecture”
telah tumbuh sebagai kosa kata dan ekspresi. Namun, arsitektur tidak hanya melihat “eco-
architecture sebagai sebuah paradigma gaya dan “trend” serta mengabaikan pemikiran aspek
ekologis. Proyek “Rehabilitasi Desa Pacing Jawa Tengah Pasca Gempa” menggunakan
pendekatan “eco-architecture”. Konsep ini dapat mengangkat citra arsitektur lokal (genius
loci). Pendekatan desain arsitektur melalui konsep ekologi bertujuan untuk mengelola tanah,
air, dan udara demi keberlanjutan ekosistem. Efisiensi penggunaan sumberdaya alam
dilakukan tanpa memperbaharui energi alternatif , seperti energi surya, angin, air, dan bio-
energi. Peneliti menggunakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui melalui konsep satu
siklus tertutup, daur ulang - yaitu menyelamatkan energi dengan mengambil dari alam dan
menggunakan kembali-, adaptasi terhadap lingkungan, iklim, kultur sosial, dan ekonomi.
Keseimbangan dengan perilaku alami dapat dicapai dengan kontekstualitas. Desain adalah
cara menerapka konsep dan konstruksi dalah proses dalam menyesuaikan arsitektur dengan
potensi lokal, termasuk topografi, vegetasi, dan kondisi alami lain.
Gempa bumi yang mengguncang 7,962° LS dan 110,458° BT, kurang lebih 20
Daerah Istimewa Yogyakarta pada tanggal 27 km sebelah tenggara Yogyakarta atau 455 km
Mei 2006 pagi hari, tepatnya pada waktu sebelah tenggara Jakarta dengan kedalaman
5:53:58 WIB, yang mengakibatkan sejumlah cukup dangkal, yaitu 10 kilometer. Gempa
korban jiwa disebabkan oleh aktivitas yang terjadi berkekuatan 6.3 Mw. Kekuatan
patahan atau sesar aktif di daerah bagian gempa bumi yang tergolong kuat ini,
selatan Yogyakarta arah barat daya-timur kemudian terjadinya di daratan (inland),
laut. Pusat gempa terletak pada koordinat mengakibatkan timbulnya kerusakan pada
24
Permana. A., Y., Penerapan Konsep Perancangan “Smart Village” sebagai “Local Genius” Arsitektur Nusantara
bangunan dan infrastruktur lainnya yang dusun yang hampir seluruh aspek
cukup parah di daerah Bantul, Yogyakarta, kehidupannya hancur setelah terjadi gempa.
dan sekitarnya, serta cukup banyak menelan Proses pelaksanaan bantuan ini tidak
korban jiwa. langsung dilakukan oleh negara Jepang,
tetapi dengan cara melakukan pelelangan.
Menurut hasil catatan survei, lebih dari Banyak instansi yang mengikuti proses
6.000 orang meninggal dunia, dan sekitar pelelangan ini dengan menawarkan proposal
50.000 orang mengalami cedera. Sementara yang berisi konsep mengenai proses
itu 86.000 rumah hancur dan kurang lebih pelaksanaan pembangunan. Jepang memilih
sebanyak 283.000 rumah mengalami daerah Klaten, yaitu Desa Pacing, Kecamatan
kerusakan dengan tingkat kerusakan berat, Wedi, Kabupaten Klaten yang akan
sedang, dan ringan. Kerusakan bangunan dibangun, karena kerusakan akibat gempa di
paling parah terdapat di sekitar Bantul, daerah ini tergolong sangat parah. Kehidupan
Imogiri, Piyungan, dan Klaten. Kejadian masyarakat Klaten menurun drastis setelah
gempa ini tergolong bencana nasional, dan terjadi gempa. Banyak orang yang
menambah catatan kelam bencana di kehilangan nyawa, anak, istri, sanak saudara,
Indonesia, setelah sebelumnya terjadi tempat tinggal (tercatat 324 rumah roboh, 67
bencana gempa bumi dan tsunami di rusak berat, dan 45 rusak ringan), dan
Nanggro Aceh Darussalam, Nias, dan lapangan pekerjaan.
tempat-tempat lainnya.
Gambar 1 menunjukkan hasil peme-
Cukup banyaknya korban jiwa dan taan daerah gempa Yogyakarta, sedangkan
kehilangan materi menimbulkan simpati dari Gambar 2 dan 3 memperlihatkan keadaan
dunia internasional. Salah satu negara yang awal lokasi pembangunan Smart Village
memberikan bantuan kemanusiaan, yaitu Desa Cerdas Pacing Kecamatan Wedi dan
Jepang. Bantuan dari negara matahari terbit setelah gempa melanda Yogyakarta.
ini berupa bantuan pembangunan desa atau
25
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
26
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
26
Permana. A., Y., Penerapan Konsep Perancangan “Smart Village” sebagai “Local Genius” Arsitektur Nusantara
oleh lingkungan hidup, serta membentuk dan iklim global terjadi karena kenaikan suhu
terbentuk oleh lingkungan hidup. Hubungan bumi yang tidak pernah setinggi ini sebe-
manusia dengan lingkung-an hidupnya lumnya, dan ini akan menyebabkan dampak
adalah berupa siklus, seperti seseorang yang negatif seperti kenaikan permukaan laut,
bekerja dalam ruang tertutup, aktivitas perubahan perilaku cuaca, berkurangnya air
bernafasnya akan mengurangi kadar oksigen bersih, dan bahkan wabah penyakit global.
dan menambah kadar karbondioksida serta Akar masalah ini adalah tingginya konsumsi
menghasilkan panas yang menaikkan suhu bahan bakar fosil sebagai sumber utama
ruangan yang menstimulasi keluarnya energi di dunia.
keringat. Dampak berikutnya adalah ruangan
menjadi pengap, sehingga produktivitas kerja Sejak tahun 1970-an kesadaran akan
orang tersebut menjadi menurun. Namun, pembangunan berkelanjutan mulai muncul,
interaksi manusia dan lingkungan tidak khususnya di Eropa. Namun, arsitek kurang
sesederhana seperti contoh di atas, bahkan cepat menjawab tantangan ini, antara lain
lebih kompleks karena ada banyak unsur karena diskusi mengenai pembangunan
yang saling berkaitan, sehingga pengaruhnya berkelanjutan dilakukan terbatas oleh
terhadap manusia sering tidak dapat dengan kalangan akademik, pemerintahan, dan
segera terlihat dan dirasakan. Keseimbangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Oleh
antara usaha pemenuhan kebutuhan dan karena itu, konsep pembangunan berke-
kondisi lingkungan inilah yang harus terus lanjutan (sustainable architecture) kurang
dikelola dan diupayakan karena inilah dipahami oleh kalangan awam dan arsitek.
sumber daya. Selain itu, teknologi konstruksi bangunan
tidak berkembang sepesat teknologi lainnya.
Pembangunan mempengaruhi dan Contohnya, jika dibandingkan dengan seratus
dipengaruhi oleh lingkungan hidup. Dalam tahun yang lalu, konstruksi bangunan
usaha memperbaiki mutu hidup, maka tidaklah menggunakan teknik yang jauh
kemampuan lingkungan untuk mendukung berbeda dengan sekarang, sementara teknolo-
kehidupan pada tingkat yang lebih baik harus gi pembuatan mobil mengalami banyak
dijaga. Pembangunan tidak saja mengha- inovasi.
silkan manfaat tetapi juga resiko, baik
manfaat maupun resiko harus diperhitungkan Selain itu, arsitek seringkali mengabai-
secara berimbang. Faktor-faktor lingkungan kan fakta bahwa bangunan adalah pengguna
yang diperlukan untuk mendukung pem- energi yang terbesar di dunia. Lebih dari
bangunan yang berlanjut menurut Soemar- setengah penggunaan energi di dunia digu-
woto (2001:161) adalah terpeliharanya nakan untuk bangunan, sejak dari konstruksi,
proses ekologi yang esensial, tersedianya bahan bangunan, hingga saat bangunan
sumber daya yang cukup, serta lingkungan beroperasi, perawatannya, hingga dihancur-
sosial-budaya dan ekonomi yang sesuai. kannya. Apabila dilakukan lifecycle analysis
sebuah bangunan, akan terlihat berbagai
Pembangunan lingkungan fisik berupa dampaknya terhadap lingkungan dan dapat
proyek bangunan, seperti pemukiman dan disimpulkan bahwa biaya keseluruhan dari
fasilitas umum, seharusnya memperhatikan arsitektur yang tidak berkelanjutan adalah
ketiga faktor tersebut. Pendekatan ekologi jauh lebih tinggi daripada yang berkelanjutan
dalam perencanaan dan perancangan bangun- (sustainable). Contohnya, bahan cladding
an menjadi syarat yang semestinya dipenuhi alumunium tidaklah cost-effective dalam
oleh para pelaku pembangunan fisik, karena jangka panjang, apabila seluruh biaya mulai
hubungan sebuah bangunan fisik dengan dari penam-bangannya diperhitungkan.
lingkungan sekitar tidak dapat dihindarkan
dan akan saling memberi dampak yang Untuk menjawab masalah ini,
mungkin tidak bersesuaian jika tidak arsitektur haruslah didasari oleh konsumsi
diselaraskan sejak perencanaan awal. energi yang dapat diperbaharui. Para arsitek
dihimbau untuk menggunakan dasar
Perlunya pembangunan berkelanjutan pemikiran ekologis dalam pengambilan
sudah mencapai titik puncaknya. Perubahan keputusan mereka. Melihat ke masa lalu,
27
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
ketakutan bahwa “eco-architecture” akan arsitektur ekologis adalah sebagai bagian dari
membatasi kosakata arsitektur pascamodern perancangan arsitektur yang berorientasi
adalah karena di masa lalu “eco-architec- pada pendekatan ekologi, disiplin ilmu desain
ture” dan arsitektur modernis sangatlah interior juga mengenal eko-interior sebagai
terbatas dalam ekspresi estetisnya. Namun, perancangan desain interior yang berorientasi
eco-architecture bukanlah merupakan suatu pada pendekatan ekologi. Dalam hal ini
langgam. Eco-architecture adalah paradigma ekologi yang dibahas dan dijadikan lingkup
bagaimana arsitektur dapat berperan serta pertimbangan dalam perencanaan desain
dalam pembangunan berkelanjutan, dan interior lebih spesifik pada hal-hal yang
bagaimana para arsitek membuat keputusan berkaitan dengan aktivitas manusia di dalam
dan menetapkan prioritas. Dasar pemikiran ruang dan dampaknya terhadap manusia itu
ekologis sepatutnya menjadi dasar pengam- sendiri maupun lingkungan sekitarnya yang
bilan keputusan dalam arsitektur. terbatas.
28
Permana. A., Y., Penerapan Konsep Perancangan “Smart Village” sebagai “Local Genius” Arsitektur Nusantara
29
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
Ada berbagai cara yang dilakukan mengandung dimensi waktu, alam, sosio-
dengan pendekatan ekologi pada peran- kultural, ruang, dan teknik bangunan. Ini
cangan arsitektur, tetapi pada umumnya menunjukkan bahwa arsitektur ekologis
mempunyai inti yang sama. Yeang (2006) bersifat kompleks, padat, dan vital. Arsitektur
mendefinisikan perancangan ekologis seba- ekologis mengandung bagian-bagian dari
gai berikut: Ecological design, is a bio- arsitektur biologis (kemanusiaan dan kese-
climatic design, design with the climate of the hatan), arsitektur surya, arsitektur bionik
locality, and low energy design. Yeang, (teknik sipil dan konstruksi bagi kesehatan),
menekankan pada integrasi kondisi ekologi serta biologi pembangunan. Oleh karena itu,
setempat, iklim makro dan mikro, kondisi arsitektur ekologis adalah istilah holistik
tapak, program bangunan, konsep desain dan yang sangat luas dan mengandung semua
sistem yang tanggap terhadap iklim, dan bidang.
penggunaan energi yang rendah, diawali
dengan upaya perancangan secara pasif
dengan mempertimbangkan bentuk, konfi-
gurasi, façade, orientasi bangunan, vegetasi,
ventilasi alami, dan warna. Integrasi tersebut
dapat tercapai melalui tiga tingkatan, yaitu,
yang pertama, integrasi fisik dengan karakter
fisik ekologi setempat, meliputi keadaan
tanah, topografi, air tanah, vegetasi, iklim,
dan sebagainya. Kedua, integrasi sistem-
Gambar 5. Perbandingan siklus energy pada
sistem dengan proses alam, meliputi: cara
materi di rumah biasa dan di rumah
penggunaan air, pengolahan dan pembuangan yang ekologis
limbah cair, sistem pembuangan dari Sumber : Frick, H., 1998.
bangunan dan pelepasan panas dari bangun-
an. Ketiga, integrasi penggunaan sumber Di dalam arsitektur ada konsep arsitek-
daya yang mencakup penggunaan sumber tur yang menyelaraskan arsitektur dengan
daya alam yang berkelanjutan. alam, yaitu dengan melestarikan potensi, dan
kondisi sosial budaya setempat atau lokalitas,
Menurut Metallinou (2006), pende- yang disebut dengan arsitektur vernakular.
katan ekologi pada rancangan arsitektur atau Rancangan bangunan diselaraskan dengan
arsitektur ekologis bukan merupakan konsep alam, melalui bentuk bangunan, struktur
rancangan bangunan hi-tech yang spesifik, bangunan, penggunaan material setempat,
tetapi konsep rancangan bangunan yang sistem utilitas bangunan yang alamiah, serta
menekankan pada suatu kesadaran dan kesesuaian terhadap iklim setempat. Arsi-
keberanian sikap untuk memutuskan konsep tektur vernakular, secara tidak langsung
rancangan bangunan yang menghargai pen- juga menggunakan pendekatan ekologi.
tingnya keberlangsungan ekosistem. Pen- Menurut Anselm (2006) arsitektur verna-
dekatan dan konsep rancangan arsitektur kular lebih menekankan pada tradisi dan
seperti ini diharapkan mampu melindungi kondisi sosial-budaya masyarakat sebagai
alam dan ekosistem dari kerusakan yang ukuran kenyamanan manusia. Oleh karena
lebih parah, dan juga dapat menciptakan itu, arsitektur vernakular suatu daerah
kenyamanan bagi penghuninya secara fisik, mempunyai bentuk atau style yang sama,
sosial, dan ekonomi. tetapi berbeda dengan di daerah lain, sesuai
dengan tradisi dan kondisi sosial-budaya
Heinz Frick (1998) berpendapat bahwa masyarakatnya, contohnya adalah rumah
arsitektur ekologis tidak menentukan apa tradisional Jawa dengan bentuk atap yang
yang seharusnya terjadi dalam arsitektur, tinggi dan sistem bangunan yang terbuka
karena tidak ada sifat khas yang mengikat untuk mengatasi iklim setempat dan sesuai
sebagai standar atau ukuran baku. Namun, dengan budaya yang ada. Kayu digunakan
perancangan arsitektur yang berdasarkan sebagai bahan lokal dan bentuk bangun-
pada ekologi harus mencakup keselarasan annya sedikit meneruskan radiasi mata-
antara manusia dan alam. Arsitektur ekologis hari.
30
Permana. A., Y., Penerapan Konsep Perancangan “Smart Village” sebagai “Local Genius” Arsitektur Nusantara
31
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
nusia pengguna ruang dan lingkungan alam sampai dengan penggunaan kembali,
sekitar. Pemilihan bahan pelapis dinding penyesuaian terhadap lingkungan sekitar,
sebagai bagian dari program Reuse yang iklim, sosial-budaya, dan ekonomi. Kese-
dibuat dari bahan yang tidak terpakai, yaitu larasan dengan perilaku alam dapat dicapai
kayu bekas peti kemas, memberikan kesan dengan konsep perancangan arsitektur yang
alamiah, sejuk, dan lebih menarik dengan kontekstual, yaitu pengolahan perancangan
didukung finishing melamik. tapak dan bangunan yang sesuai dengan
potensi alam setempat, termasuk topografi,
vegetasi, dan kondisi alam lainnya. Sebagai
penutup, dengan mengutip pemikiran Ken
Yeang, “Anda tidak bisa mengubah dunia
dengan bangunan ramah lingkungan. Dunia
bisnis-lah yang harus berubah menjadi ramah
lingkungan terlebih dahulu”.
32
Permana. A., Y., Penerapan Konsep Perancangan “Smart Village” sebagai “Local Genius” Arsitektur Nusantara
33