You are on page 1of 12

Kajian

Tinjauan Farmakogenomik Rifampisin Dalam Pengobatan


Tuberkulosis Paru

Ondri Dwi Sampurno*

*Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan, Indonesia
Email: ondri19@gmail.com

Abstract

Pharmacogenomics is the study of genetic influences of individual variations in drug response. The influence of
genetic in drug response has been showed about 20%–95% of variations in drug pharmacokinetics and effects.
Activity of rifampicin as bactericidal against Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) have been demonstrated
plasma concentration-dependent. ‘Concentration-dependent ’ means that increasing doses followed by
increasing rifampicin plasma concentration above the M.tb’s minimum inhibition concentration (MIC) induces
more rapid bactericidal effect against the M.tb. indicated by sputum conversion. On standard tuberculosis
therapy, among patients have been showed wide intersubject variation of rifampicin plasma concentration. The
variation was related to genetic difference among patients. Rifampicin is a substrate of organic anion
transporting polypeptide 1B1 (OATP1B1) which is expressed on the sinusoidal membrane of human
hepatocytes. OATP1B1 is coded by for the solute carrier organic anion 1B1 (SLCO1B1) gene. A large number
of sequence variants have been found in the SLCO1B1 gene. SLCO1B1 rs4149032 and c.463 C>A was present
in most patients pulmonary tuberculosis and was associated with substantially reducing rifampicin plasma
concentration.The allele frequency of the SLCO1B1 c.463 C>A polymorphism in Indonesian subject was
showed C 30% A 70%. Individual genetic variation may cause variation in individual rifampicin response
among individual pulmonary tuberculosis patient. It will impact variation in clinical outcome, in this case is
sputum conversion.

Key words: Pharmacogenomic, Rifampicin, Tuberculosis

Abstrak

Farmakogenomik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh genetik terhadap variasi antar individu pada
respon obat. Pengaruh genetik tiap individu terhadap respon obat ditunjukkan dengan adanya variasi berkisar
20--95% pada peruraian obat dalam tubuh dan efeknya. Efektivitas rifampisin sebagai bakterisida terhadap
Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) sangat bergantung pada konsentrasi rifampisin dalam plasma. Peningkatan
dosis akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi rifampisin dalam plasma di atas konsentrasi hambat minimal
(MIC) M.tb dapat menginduksi lebih cepat efek bakterisida terhadap M.tb dan diindikasikan dengan outcome
klinis (konversi dahak). Pada standar terapi tuberkulosis, konsentrasi rifampisin dalam plasma antar pasien TB
menunjukkan variasi yang lebar. Variasi antar pasien ini erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-
masing pasien tersebut. Rifampisin merupakan substrat dari protein polipeptida transporter organik anion
(OATP1B1) yang diekspresikan pada membran sinusoidal hepatosit. Gen solute carrier organic anion 1B1
(SLCO1B1) merupakan gen penyandi OATP1B1 dan diketahui terdapat variasi urutan gen. SLCO1B1
rs4149032 dan c.463 C>A dijumpai pada sebagian besar pasien tuberkulosis paru dan berhubungan dengan
penurunan kadar rifampisin dalam plasma. Pada subyek Indonesia menunjukkan adanya polimorfisme gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A 70%. Variasi genetik antar individu ini diduga dapat
menyebabkan variasi respon rifampisin antar individu pasien tuberkulosis paru yang berdampak adanya variasi
outcome klinis, dalam hal ini konversi dahak.

Kata kunci: Farmakogenomik, Rifampisin, Tuberkulosis

Diterima: 3 Juni 2015 Direvisi: 2 Juli 2015 Disetujui: 11 Agustus 2015 59


melitus, HIV, umur, berat badan,
Pendahuluan formulasi obat TB, jenis kelamin, dan
interaksi makanan. 2,17-29) Sedangkan
Tuberkulosis (TB) paru baru ditandai
faktor genetik yaitu adanya variasi urutan
dengan basili tahan asam (BTA) positif
gen yang mengkode pengangkut obat. 30- 34
yang jika diberikan obat TB berkualitas
baik dengan dosis yang sesuai dan patuh Pada tulisan ini diuraikan mengenai
minum obat serta sensitif terhadap bagaimana pengaruh genetik terhadap
rifampisin seharusnya menunjukkan penurunan konsentrasi maksimum
konversi dahak pada akhir pengobatan rifampisin dalam plasma dan berdampak
tahap intensif, ternyata tidak semua pasien pada keberhasilan pengobatan TB paru
menunjukan konversi dahak. Angka baru BTA positif dengan indikasi tidak
konversi TB nasional tahun 2010, 2011, konversi dahak pada akhir pengobatan
dan 2012 yaitu berturut-turut 88,2%, tahap intensif.
85,5%, dan 82,3%. 1 Metode
Pasien TB paru baru BTA positif Bahan pustaka tinjauan diperoleh
yang tidak mengalami konversi dahak dengan melakukan penelusuran pustaka
setelah pengobatan tahap intensif 2 bulan melalui internet.. Kata kunci yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor. digunakan untuk penelusuran yaitu
Beberapa hasil penelitian mengungkapkan “pharmacogenomics”, “rifampicin”
bahwa faktor-faktor tersebut adalah umur “tuberculosis”. Selanjutnnya pustaka yang
(OR 4,4; 95% CI 1,5-13,3), jenis kelamin relevan yaitu berupa artikel hasil
(OR 10,8; 95% CI 1,3–91,1); jumlah pak penelitian, artikel hasil review, laporan,
rokok pertahun (OR 4,11; 95% CI 1,13- dan buku yang diterbitkan dalam jurnal 5
7,94); indeks masa tubuh (IMT); tahun terakhir, diunduh sebagai naskah
kepatuhan minum obat (OR 0,20; 95% CI lengkap. Pustaka dimungkinkan diperoleh
0,10 – 0,84; p 0,023); tingkat BTA (OR dari terbitan lebih dari 5 tahun terakhir
11,7; 95% CI 1,4-100,6), penyakit apabila pustaka tersebut sangat
penyerta HIV (OR 3,0; 95% CI 1,3-6,7), mendukung dalam memperjelas
M. tb. yang resisten; dan penurunan pembahasan. Pustaka berupa artikel hasil
konsentrasi maksimum rifampisin dalam penelitian dan review dilakukan critical
plasma. 2,-13 Memperhatikan faktor ini, appraisal baik mengenai metode, hasil dan
pasien TB paru baru BTA positif yang validitas serta dilakukan juga ekstraksi
tidak mengalami konversi dahak, pada kalimat pernyataan terkait dan sintesis
dasarnya berpangkal pada penurunan beberapa kalimat menjadi suatu tulisan.
konsentrasi maksimum dalam plasma. Adapun sistematika penulisan mencakup
Efektifitas rifampisin terhadap gen dan protein; konsep dasar
Mycobacterium tuberculosis (M.tb) farmakogenomik; mekanisme pengaruh
bergantung konsentrasi rifampisin dalam variasi genetik terhadap respon obat;
plasma.14-16 Penurunan konsentrasi epidemiologi TB di Indonesia; dan
rifampisin akan berpengaruh terhadap pengaruh gen terhadap konsentrasi
konsentrasi hambat minimal (MIC) maksimum rifampisin dalam plasma.
sehingga berpengaruh terhadap
keberhasilan pengobatan TB yang Hasil
diindikasikan dengan konversi dahak. 17
Gen dan protein
Penurunan konsentrasi rifampisin
dalam plasma pada pasien TB dapat Gen terletak secara spesifik dalam
dipengaruhi oleh faktor bukan genetik dan lokus-lokus kromosom. Kromosom
faktor genetik. Faktor bukan genetik merupakan struktur seperti benang pada
diantaranya penyakit penyerta diabetes inti sel. Gen adalah keseluruhan sekuens

60 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

DNA yang dapat ditranskripsikan menjadi manusia.35-36 Skema alur dari DNA
RNA fungsional dan protein, pada waktu menjadi protein seperti terlihat pada
dan tempat yang sesuai selama Gambar 1.
pertumbuhan dan perkembangan

11
Gambar 1. Alur DNA menjadi protein

Protein adalah molekul makro yang terhadap respon obat. Pengaruh faktor
berperan dalam hampir semua fungsi sel, genetik terhadap respon obat ditunjukkan
yaitu bahan pembangunan struktur sel dan dengan adanya variasi antar individu
membentuk enzim-enzim yang berkisar 20--95% pada peruraian obat
mengkatalisis reaksi-reaksi kimia di dalam dalam tubuh dan efeknya. 32 Beberapa
sel, meregulasi ekspresi gen, serta individu pasien memerlukan pemberian
memungkinkan sel untuk bergerak dan obat dengan dosis yang lebih tinggi
berkomunikasi antar sel. 35 daripada individu pasien lain untuk
DNA berada di inti sel (nukleus) dan mencapai keberhasilan terapi. Disamping
tidak dijumpai di sitoplasma. Sedangkan itu, beberapa individu pasien dapat timbul
protein yang berperan dalam metabolisme efek yang tidak dikehendaki meskipun
ada di sitoplasma dan tidak ada di diberikan obat dengan dosis yang lebih
inti.Perlu adanya penghubung antara DNA rendah daripada individu pasien yang
dengan protein yaitu molekul yang lain.36,37 Secara genetik diketahui bahwa
dijumpai di inti maupun sitoplasma. variasi antar individu tersebut karena
Penghubung antara DNA dengan protein adanya variasi urutan gen yang mengkode
yang RNA. 36 enzim metabolisme obat, transporter obat,
atau target obat. 32
Konsep Dasar Farmakogenomik Gen adalah fragmen DNA yang
mengandung informasi terkait satu sifat
Farmakogenetik adalah ilmu yang
spesifik yang secara genetik dipindahkan
mempelajari mengenai pengaruh genetik
dari orang tua ke anak. Hal ini pada

61
umumnya mengandung 2 allel yang transpor. Variasi genetik pada setiap tahap
masing-masing ditempatkan pada 1 proses tersebut akan mengubah konsentasi
kromosom dari pasangan kromosom. obat dalam plasma dan akan mengubah
Dengan demikian variasi genetik respon obat yang dapat berupa respon yang
disebabkan oleh karena mutasi, yaitu dikehendaki atau sebaliknya berupa respon
adanya perbedaan allel. Allel yang banyak obat yang tidak dikehendaki. 36
terdapat di populasi dinyatakan dengan Absorpsi, distribusi dan eliminasi
istilah wild type dan lainnya disebut obat dimodulasi oleh transporter melalui
dengan varian allel. 38 Pada tingkat pengendalian influx dan eflux obat ke
molekular, variasi genetik dapat mengubah dalam sel. Belakangan ini telah banyak
struktur protein target melalui mutasi pada diungkapkan hasil penelitian yang
daerah penyandi gen atau sejumlah protein menunjukkan polimorfisme genetik
diekspresikan oleh modulasi gen regulasi, transporter dapat mempunyai dampak
sehingga akan mengubah fungsi protein yang bermakna pada peruraian obat,
atau kecepatan dan konstanta kinetik efikasi obat dan keamanan obat. 37
enzim. 37
Mutasi diistilahkan sebagai Farmakodinamik berkaitan dengan
polimorfisme jika terdapat perpindahan ke efek farmakologi obat dengan reseptor,
generasi berikutnya dengan frekuensi enzim dan saluran ion. Obat akan di
sekurang-kurangnya 1%. Gen pada absorpsi dan di transpor ke tempat target
manusia merupakan subyek genetik obat. Efek obat akan berubah apabila
polimorfisme yang lebar, dengan sejumlah terdapat perbedaan respon obat di tempat
polimorfisme yang menghasilkan efek target obat. Oleh karena itu, adanya
fungsional secara bermakna. Terdapat 3 polimorfisme pada gen yang menyandi
tipe utama keberadaan mutasi genetik target obat kemungkinan akan mengubah
yaitu polimorfisme nukleotida tunggal respon individu terhadap pengobatan 36).
(SNPs); variabel jumlah tandem yang Polimorfisme genetik juga dimungkinkan
berulang; dan basa yang disisipkan atau mengubah status penyakit yang merupakan
dihilangkan pada satu atau lebih target terapi obat. Variasi genetik pada
nukleotida. Istilah SNPs terkait dengan status penyakit juga perlu mendapat
perbedaan antara allel hanya pada 1 perhatian untuk mengkaitkan terapi obat
nukleotida tunggal. Sampai saat ini, dengan spesifik genotipe yang
banyak penelitian farmakogenetik yang berhubungan dengan penyakit dan respon
mengkaitkan SNPs dengan respon obat. obat. 36
Sekelompok SNPs yang berada dalam
wilayah kromosom yang sama dikenal Epidemiologi TB di Indonesia
sebagai haplotipe yang dimungkinkan
untuk dianalisis guna lebih menjelaskan WHO Global Tuberculosis Report
variasi farmakogenetik. 38 melaporkan estimasi insiden, prevalen dan
mortalitas TB di Indonesia pada tahun
Mekanisme Pengaruh Variasi Genetik 2013 dalam angka mutlak, yaitu berturut-
Terhadap Respon Obat turut 460 (95% CI 410 - 520), 680 (95%
CI 340 – 1.100), dan 64 (95% CI 36 - 93).
Mekanisme pengaruh variasi genetik Sedangkan estimasi angka insiden,
terhadap respon obat dapat dikategorikan prevalen dan mortalitas TB di Indonesia
kedalam 3 rute, yaitu farmakokinetik, pada tahun 2013 yang dinyatakan dalam
farmakodinamik dan pathway penyebab 100.000 penduduk, yaitu berturut-turut
penyakit. 36- 38 Farmakokinetik suatu obat 183 (95% CI 164 - 207), 272 (95% CI 138
berkaitan dengan proses absorpsi, - 450), dan 25 (95% CI 14 - 37). Secara
distribusi, metabolisme, ekskresi dan global, sesuai urutan besarnya angka

62 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

mutlak insiden, Indonesia menduduki Dinkes DKI Jakarta, angka konversi TB di


urutan ke lima setelah India, Tiongkok, DKI Jakarta tahun 2013 sebesar 59,1%
Nigeria dan Pakistan, namun berdasarkan (unpublished). Angka ini dihitung
urutan besarnya angka insiden per 100.000 berdasarkan jumlah pasien TB paru baru
penduduk, Indonesia tidak masuk dalam dengan dahak BTA positif yang berobat ke
10 besar. Angka prevalen TB di Indonesia rumah sakit dan puskesmas. Jika hanya
tahun 2013 mengalami penurunan dihitung berdasarkan pasien TB paru baru
dibandingkan angka prevalen tahun 2012. yang berobat puskesmas di wilayah Jakarta
Angka prevalensi TB tahun 2012 dan 2013 Pusat pada tahun 2013, angka konversi TB
yaitu berturut-turut 297/100.000 dan menjadi lebih rendah yaitu 54,9%
272/100.000. 39- 40 (unpublished).
Jumlah kasus TB yang ditemukan Rifampisin merupakan tulang
dan tercatat pada tahun 2013 yaitu 327.103 punggung pengobatan TB dan aktivitas
kasus, diantaranya 196.310 (60%) kasus rifampisin terhadap Mycobacterium
sebagai kasus TB paru baru BTA positif. tuberculosis (M.tb.) diketahui bergantung
Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan pada konsentrasi rifampisin dalam serum
14, 15, 16)
jumlah kasus TB yang ditemukan di . Penurunan konsentrasi maksimum
Afrika Selatan jumlah kasus TB yang rifampisin dalam plasma akan berpengaruh
ditemukan 328.896 kasus, diantaranya terhadap konsentrasi hambat minimal
109.630 (33,3%) kasus TB paru baru BTA (MIC) sehingga berpengaruh terhadap
positif. 39 respon rifampisin sebagai bakterisida yang
diindikasikan dengan tidak mengalami
Angka konversi TB nasional
konversi dahak 17).
cenderung menurun. Angka konversi TB
nasional tahun 2010, 2011, dan 2012 yaitu Konsentrasi maksimum rifampisin
berturut-turut 88,2%, 85,5%, dan 82,3%. dalam plasma antar pasien TB memiliki
Namun demikian masih di atas target variasi yang lebar (Cmaks 8,1±5,0 µg/ml)
30)
minimal nasional (80%). Ditinjau . Gambaran ini tidak berbeda pada
berdasarkan provinsi, terdapat 21 provinsi pasien TB di Indonesia yaitu Cmaks 9,0
(63,6%) yang mencapai 80% dan 12 µg/ml (95% CI 6,6 – 12,8) 42). Variasi
provinsi lainnya (36,4%) di bawah target antar pasien ini erat kaitannya dengan
minimal nasional 1). Angka konversi TB di perbedaan genetik dari masing-masing
Provinsi DKI Jakarta termasuk yang di pasien tersebut.26, 31-34, 43
bawah target minimal nasional.
Angka konversi TB di DKI Jakarta Pengaruh Gen Terhadap Konsentrasi
selama tiga tahun berurutan masih berada Maksimum Rifampisin Dalam Plasma
di bawah target minimal nasional dan
bahkan perbedaannya cenderung semakin Transporter merupakan protein
lebar. Angka konversi TB di provinsi DKI membran yang memediasi perpindahan
Jakarta tahun 2011, 2012 dan 2013 yaitu obat masuk kedalam dan keluar sel dengan
berturut-turut 74%, 58,3% dan 57,7%. Jika mekanisme pasif atau aktif 44).. Mekanisme
dibandingkan dengan provinsi lain di pasif diantaranya karena pH obat yang
Indonesia, angka konversi TB di DKI lebih rendah daripada pH dalam sel,
Jakarta tahun 2013 berada di bawah 30 sedangkan mekanisme aktif dengan adanya
provinsi lain dan di atas provinsi Papua suatu media yang membawa masuk ke
dan Papua Barat 1, 41). Besarnya angka dalam sel.45 Terdapat lebih dari 400
konversi TB berdasarkan laporan membran transporter dalam 2 superfamili
Kemenkes1) ini tidak jauh berbeda dengan yang dianotasi dalam genom manusia yaitu
catatan yang ada di Dinas Kesehatan ATP Binding Cassette (ABC) dan Solute
(Dinkes) DKI Jakarta. Menurut catatan Carrier (SLC), dan diantaranya telah

63
dilakukan karakterisasi pada tingkat basolateral diangkut masuk ke dalam
molekul serta identifikasi keberadaan di hepatosit. OATP1B1 merupakan
jaringan ataupun di membran sel tubuh transporter influx yang disandi sebagai
manusia. 44 Transporter influx dan efflux gen Solute Carrier Organic Anion
dalam membran plasma sel yang transporter family, member 1B1
terpolarisasi di jaringan, berperan penting (SLCO1B1). Didalam hepatosit, rifampisin
dalam farmakokinetik yang ditunjukkan dimetabolisme dan atau dipompa keluar
dengan pengaruh yang bermakna terhadap melalui PGP ke saluran empedu untuk
absorpsi, distribusi dan eliminasi obat. dieliminasi. Rifampisin dimetabolisme
Transporter ini diketahui secara parsial oleh enzim esterase menjadi turunan
bertanggungjawab dalam penentuan desasetil, selanjutnya bentuk utuh dan
konsentrasi maksimum obat dalam plasma metabolit diekskresi kedalam saluran
dan jaringan perifer sehingga berpengaruh empedu dan dieliminasi kedalam
terhadap efikasi dan toksisitas obat. 44 feses.25,46
Rifampisin diabsorpsi dengan baik Rifampisin tidak hanya merupakan
dari saluran cerna. Untuk masuk ke dalam substrat OATP1B1 tetapi juga
darah, rifampisin harus melewati membran menghambat obat-obat yang dimediasi
enterosit. Membran ini mengandung P- OATP1B1 ke hati. Rifampisin yang telah
glycoprotein (PGP) yang merupakan berada dalam hepatosit, dimungkingkan
transporter efflux. PGP akan mengikat berinteraksi dengan Pregnan X Reseptor
dan selanjutnya menghidrolisa ATP untuk (PXR) yang dapat meningkatkan regulasi
menghasilkan energi yang digunakan beberapa enzim metabolisme dan beberapa
untuk transport rifampisin melintasi pengakut obat. 25
membran sel 46). Rifampisin merupakan Skema lokasi transporter ATP
substrat dan menginduksi protein PGP Binding Cassette (ABC), Solute Carrier
yang disandi sebagai gen ATP Binding (SLC) dan keterlibatannya dalam absorpsi,
Cassette, Subfamily B, member 1 metabolisme dan eliminasi rifampisin
(ABCB1) atau juga dikenal dengan nama seperti gambar berikut:
lain yaitu gen Multidrug Resistance 1
(MDR1). Rifampisin yang telah lolos dari
pompa efflux PGP akan masuk ke dalam
saluran darah, selanjutnya oleh transporter
Organic Anion Polypeptide 1B1
(OATP1B1) yang terletak di membran

64 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

Gambar 2. Skema lokasi transporter ABC, SLC dan keterlibatannya dalam absorpsi,
metabolisme dan eliminasi rifampisin11

Farmakokinetik rifampisin sebagai- C1236T, T44477C, dan PXR C63396T


mana diuraikan di atas diketahui secara bermakna tidak terdapat hubungan
menunjukkan adanya variasi konsentrasi dengan bioavaibilitas relatif rifampisin.
maksimum rifampisin dalam plasma antar Hal yang sama diungkapkan oleh Weiner
individu. Pada 70 – 80% pasien TB et al. 30 bahwa polimorfisme MDR1
diketahui mempunyai konsentrasi c.3435C>T dan SLCO1B3 c.334T>G
maksimum rifampisin dalam plasma menunjukkan tidak ada perbedaan
kurang dari konsentrasi maksimum yang konsentrasi maksimum rifampisin dalam
direkomendasikan atau subterapetik.25 plasma.
Berkaitan dengan variasi ini, Rifampisin merupakan substrat dari
dimungkinkan dapat dijelaskan melalui polipeptida transporter organik anion
pendekatan farmakogenetik. (OATP1B1) yang diekspresikan pada
membran sinusoidal hepatosit. Gen
Chigutsa et al.31 telah melakukan
SLCO1B1 merupakan penyandi
penelitian untuk mengetahui hubungan
OATP1B1 yang terletak di kromosom 12.
ABCB1 dan PXR terhadap variasi
Skema lokasi SLCO1B1 dalam kromoson
konsentrasi maksimum rifampisin dalam
12 seperti pada Gambar 2.
plasma. Hasil penelitian tersebut
mengungkapkan bahwa polimorfime
ABCB1 dan PXR tidak berhubungan
dengan variasi rifampisin dalam plasma.
Polimofisme ABCB1 C3435T, ABCB1

65
Gambar 3. Lokasi gen SLCO1B1 dalam kromosom 12 20

Gen Gen SLCO1B1 ini setelah c.388A>G, c.1463G>C, c.11187G>A tidak


melalui serangkaian transkripsi dan mempunyai pengaruh terhadap konsentrasi
translasi untuk sintesis protein OATP1B1, maksimum Rifampisin dalam plasma. 30,- 34
akan memediasi transport rifampisin dari Polimorfisme gen SLCO1B1 SNPs
saluran darah ke hati untuk proses c.463C>A ataupun polimorfisme gen
metabolisme dan kemudian ekskresi SLCO1B1 SNPs rs4149032 pada pasien
melalui empedu. 30, 44 Gen SLCO1B1 TB paru berpengaruh terhadap penurunan
ditemukan banyak varian nukleotida konsentrasi maksimum rifampisin dalam
tunggal (SNPs). SNPs terjadi bila satu plasma. Pengaruh polimorfime gen
jenis nukleotida dalam posisi tertentu transporter rifampisin SLCO1B1 SNP
tersubstitusi dengan jenis nukleotida c.463C>A terhadap konsentrasi
lainnya pada individu lain. SNPs maksimum rifampisin diketahui bahwa
merupakan penanda utama dalam variasi konsentrasi maksimum rifampisin dalam
genom antar individu manusia. Sebagian plasma pada pasien TB paru dengan gen
besar perbedaan manusia dipengaruhi oleh c.463C>A genotipe CA lebih rendah 36%
adanya perbedaan SNPs yang terjadi pada dibandingkan dengan pasien TB paru
genomnya, dan hal ini seringkali dengan gen c.463C>A genotipe CC.
dihubungkan dengan adanya perbedaan Rerata konsentrasi maksimum rifampisin
dalam predisposisinya dalam jenis dalam plasma pada pasien TB paru dengan
penyakit tertentu ataupun respon tubuhnya gen c.463C>A genotipe CA < 8µg/ml 30,
terhadap penggunaan obat. 47 Polimorfisme 34)
. Perbedaan konsentrasi rifampisin
beberapa varian diketahui berpengaruh dalam plasma antara pasien TB paru
pada rifampisin yaitu SNPs c.463C>A dengan gen c.463C>A genotipe CA
ataupun SNPs rs4149032. Polimorfisme dengan genotipe CC seperti gambar 4.
varian lainnya seperti SNPs c.521T>C,

66 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

Keterangan:

Gambar 4. konsentrasi rifampisin dalam plasma antara pasien TB paru dengan gen
c.463C>A genotipe CA dengan genotipe CC48

Pada penelitian lain diungkapkan wild type. Median konsentrasi maksimum


bahwa konsentrasi rifampisin dalam rifampisin dalam plasma homozygot dan
plasma pada pasien TB paru gen heterozygot keduanya < 8µg/ml. 31,33
SLCO1B1 SNP rs4149032 heterozygot Perbedaan konsentrasi rifampisin dalam
lebih rendah 18% dibandingkan dengan plasma pada pasien TB paru gen
wild type dan konsentrasi rifampisin dalam SLCO1B1 SNP rs4149032 heterozygot
plasma pada pasien TB paru gen dan homozygot dengan wild type seperti
SLCO1B1 SNP rs4149032 homozygot terlihat pada Gambar 5.
lebih rendah 28% dibandingkan dengan

Keterangan:

Gambar 5. Perbedaankonsentrasi rifampisin dalam plasma pada pasien TB paru


gen SLCO1B1 SNP rs4149032 heterozygot dan homozygot dengan wild
type 8

67
Pembahasan oleh gen tersebut. Untuk mengetahui pola
variasi genotipe gen SLCO1B1 SNP
Frekuensi varian genotipe
c.463C>A maupun SNP rs4149032 telah
SLCO1B1 SNP c.463C>A dan frekuensi
dilakukan studi pendahuluan
varian genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032
menggunakan 30 orang sehat, 60% laki-
pada populasi dari wilayah yang berbeda
laki, dan berumur 25 – 58 tahun. Hasil
menunjukkan adanya perbedaan. Frekuensi
studi pendahuluan menunjukkan bahwa
varian genotipe SLCO1B1 SNP c.463C>A
gen SLCO1B1 SNP c.463C>A terdapat
pada penelitian Chigutsa et al.
polimorfisme yaitu frekuensi allel C 30%,
diungkapkan kecil (4%) dan frekuensi
allel A 70%, sedangkan pada SNP
varian genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032
rs4149032 tidak terdapat polimorfisme
diungkapkan frekuensinya besar (70%). 31
yaitu frekuensi allel C 100%. Variasi
Hal ini berbeda dengan penelitian Kwara
genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
et al. dan Weiner et al. yang menggunakan
dari subyek yang ada, diperoleh proporsi
pasien TB paru dari wilayah yang berbeda,
genotipe CC 46,7%, CA 46,7%, dan AA
dimana diungkapkan varian genotipe
6,6%. Frekuensi polimorfisme gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A lebih besar
SLCO1B1 SNP c.463C>A dan SNP
daripada pada penelitian Chigutsa et al.
rs4149032 ditentukan menggunakan Real-
Terkait frekuensi genotipe SNP c.463C>A,
time PCR primer yang sesuai 30, 31, 33, 34, 48).
data lain menunjukkan bahwa di populasi
sehat Eropa diketahui berkisar 13-23% di Individu yang diketahui mempunyai
populasi Eropa, 2-10% di Sub Sahara konsentrasi maksimum rifampisin dalam
Afrika/Afrika-Amerika dan 0-3% di Asia plasma yang rendah, dapat dinaikan
Timur.44 Sedangkan terkait dengan dengan penambahan dosis rifampisin
frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP untuk dapat mencapai konsentrasi
rs4149032, di populasi Nigeria sebesar maksimum terapetik dalam plasma (8 - 20
75%, Kaukasia 29% dan Asia 56% 31). µg/ml). Pasien TB yang menunjukkan
Frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP respon yang lambat pada pengobatan
c.463C>A dan SLCO1B1 rs4149032 di dengan obat TB dosis standar, setelah
populasi pasien TB maupun di populasi dinaikkan dosis rifampisin, menunjukkan
orang sehat di Indonesia belum diketahui. perbaikan respon secara klinis, secara
Di samping itu, perbedaan varian genotipe radiografi maupun secara
11,24, 49
SLCO1B1 SNP c.463C>A pada populasi mikrobakterologi. Peningkatan dosis
dari etnik yang berbeda juga menunjukkan rifampisin untuk mencapai konsentrasi
perbedaan frekuensi. Hal ini seperti maksimum rifampisin dalam plasma tidak
diungkapkan Weiner et al. 30) bahwa menimbulkan efek samping.50
proporsi gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
Kesimpulan
genotipe CA pada subyek kulit hitam lebih
besar daripada subyek kulit putih. Subyek Indonesia menunjukkan
adanya polimorfisme gen SLCO1B1 SNP
Variasi genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A
c.463C>A maupun SNP rs4149032 pada 70%. Variasi genetik antar individu ini
populasi pasien TB di Indonesia belum diduga dapat menyebabkan variasi respon
diketahui. Pola variasi genotipe pada
rifampisin antar individu pasien TB paru
populasi pasien TB tidak berbeda dengan baru yang berdampak adanya variasi
pola pada populasi orang sehat 30). Hal ini outcome klinis, dalam hal ini konversi
mengingat gen SLCO1B1 SNPs c.463C>A dahak.
maupun SNPs rs4149032 ada pada semua
orang dan akan beraksi terhadap obat bila Saran
individu terpapar dengan obat yang Marka genetik SLCO1B1 SNP
menjadi substrat dari protein yang disandi c.463C>A dapat digunakan sebagai

68 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70


Tinjauan Farmakogenomik ….(Ondri Dwi Sampurno)

prediktor respon rifampisin secara 10. Donald, P.R., Maritz, J.S. & Diacon, A.H.,
individual. Selanjutnya dapat digunakan 2011. The pharmacokinetics and
pharmacodynamics of rifampicin in adults and
sebagai intervensi dan tata laksana children in relation to the dosage recommended
pengobatan TB yaitu digunakan sebagai for children. Tuberculosis, 91(3), pp.196–207.
skrining pada awal pengobatan untuk 11. Franke, R.M., Gardner, E.R. & Sparreboom, A.,
memperhitungkan pemberian dosis 2010. Pharmacogenetics of drug transporters.
rifampisin yang tepat secara individual Curr Pharm Design, 16, pp.220–230.
12. Gengiah, T.N. et al., 2014. Original Article Low
guna pencegahan resistensi rifampisin rifampicin concentrations in tuberculosis
maupun mengoptimalkan efektifitas patients with HIV infection. J Infect Dev Ctries,
rifampisin dalam pengobatan pasien TB 8(8), pp.987–993.
paru baru BTA positif. 13. Gumbo, T. et al., 2007. Concentration-
dependent Mycobacterium tuberculosis killing
and prevention of resistance by rifampin.
Ucapan Terima Kasih Antimicrob Agents Ch, 51(11), pp.3781–3788.
14. Harrison, A.C., 2003. Chapter 15: M .
Terima kasih disampaikan kepada tuberculosis , TB medicines and monitoring. In
Prof. Dr. Herawati Sudoyo, MSc.Ph.D dan Guidelines for Tuberculosis Control in New
Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed, Apt Zealand. pp. 1–47.
15. Heysell, S.K. et al., 2011. Plasma drug activity
yang telah memberikan masukan pada assay for treatment optimization in tuberculosis
penulisan tinjauan ini. patients. Antimicrob Agents Ch, 55(12),
pp.5819–5825.
Daftar Rujukan 16. Heysell, S.K. et al., 2010. Therapeutic drug
monitoring for slow response to tuberculosis
1. Aarnoutse, R., 2011. Pharmacogenetics of treatment in a state control. Emerg Infect Dis,
antituberculosis drugs. Prog Respir Res., 40, 16(10), pp.1546–1553.
p.177. 17. Immanuel, C. et al., 2003. Bioavailability of
2. Agrawal, S. et al., 2004. Bioequivalence trials rifampicin following concomitant
of rifampicin containing formulations: extrinsic administration of ethambutol or isoniazid or
and intrinsic factors in the absorption of pyrazinamide or a combination of the three
rifampicin. Pharmacol Res, 50, pp.317–327. drugs. Indian J Med Res, 118, pp.109–114.
3. Albert, B. et al., 2002. Molecular biology of the 18. Ingen, J. Van et al., 2011. Low-level
cell Fourth Edi., rifampicin-resistant Mycobacterium
4. Babalik, A. et al., 2012. Factors affecting smear tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis, 15(7),
conversion in tuberculosis management. Med pp.990–992.
Sci, 1(4), pp.351–362. 19. Jayaram, R. et al., 2003. Pharmacokinetics-
5. Bouti, K. et al., 2013. Factors influencing pharmacodynamics of rifampin in an aerosol
sputum conversion among smear-positive infection model of tuberculosis. Antimicrob
pulmonary tuberculosis patients in Morocco. Agents Ch, 47(7), pp.2118–2124.
ISRN Pulmonology, 2013, pp.1–5. 20. Kalliokoski, A. & Niemi, M., 2009. Impact of
6. Burhan, E. et al., 2013. Isoniazid, rifampin, and OATP transporters on pharmacokinetics. Brit J
pyrazinamide plasma concentrations in relation Pharmarcol, 158, pp.693–705.
to treatment response in Indonesian pulmonary 21. Kayigamba, F.R. et al., 2013. Adherence to
tuberculosis patients. Antimicrob Agents Ch, tuberculosis treatment , sputum smear
57(8), pp.3614–3619. conversion and mortality: A retrospective
7. Burman, W., Dooley, K.E. & Nuermberger, cohort study in 48 Rwandan Clinics. PLos
E.L., 2011. The Rifamycins: renewed interest in ONE, 8(9), pp.1–10.
an old drug class. Prog Respir Res., 40, pp.18– 22. Kemenkes, 2013. Profil pengendalian penyakit
20. dan penyehatan lingkungan tahun 2012,
8. Chigutsa, E. et al., 2011. The SLCO1B1 Jakarta.
rs4149032 polymorphism is highly prevalent in 23. Kemenkes, 2014. Profil pengendalian penyakit
South Africans and is associated with reduced dan penyehatan lingkungan tahun 2013,
rifampin concentrations: dosing implications. Jakarta.
Antimicrob Agents Ch, 55(9), pp.4122–4127. 24. Khantipongse, J. et al., 2013. Low
9. Crevel, R. Van et al., 2002. Low plasma antitubercular drug levels in newly infected
concentrations of rifampicin in tuberculosis normal hosts. Asian Biomedicine, 7(3), pp.407–
patients in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis, 410.
6(6), pp.497–502.

69
25. Kimmel, S.E., Leufkens, H.G. & Rebbeck, 38. Rang, H., 2003. Pharmacology Fifth., UK: Bath
T.R., 2012. Molecular epidemiology. In B. L. Press.
Strom, S. E. Kimmel, & S. Hennessy, eds. 39. Requena-méndez, A. et al., 2012.
Pharmacoepidemiology. John Wiley & Sons, Pharmacokinetics of rifampin in Peruvian
pp. 601–622. tuberculosis patients with and without comorbid
26. Kuaban, C. et al., 2009. Non conversion of diabetes or HIV. Antimicrob Agents Ch, 56(3),
sputum smears in new smear positive pp.2357–2363.
pulmonary tuberculosis patients in Yaoundé , 40. Ruslami, R. et al., 2007. Pharmacokinetics and
Cameroon. E Afr Med J, 86(5), pp.219–225. tolerability of a higher rifampin dose versus the
27. Kwara, A. et al., 2014. Factors associated with standard dose in pulmonary tuberculosis
variability in rifampin plasma pharmacokinetics patients. Antimicrob Agents Ch, 51(7),
and the relationship between rifampin. pp.2546–2551.
Pharmacotherapy, 34(3), pp.265–271. 41. Singla, R. et al., 2013. Sputum smear positivity
28. Life Technologies, 2014. TaqMan ® SNP at two months in previously untreated
genotyping assays, pulmonary tuberculosis patients. Int J Mycobac,
29. Lin, H. et al., 2014. Impact of food intake on 2(4), pp.199–205. Available at:
the pharmacokinetics of first-line http://dx.doi.org/10.1016/j.ijmyco.2013.08.002.
antituberculosis drugs in Taiwanese 42. Steingart, K.R. et al., 2011. Higher-dose
tuberculosis patients. J Formos Med Assoc, rifampin for the treatment of pulmonary
113(5), pp.291–297. tuberculosis: a systematic review. Int J Tuberc
30. Ma, Q. & Lu, A.Y.H., 2011. Pharmacognetics, Lung Dis, 15(3), pp.305–316.
pharmacogenomics, and individualized 43. Stoneking, M., 2001. Single nuclotide
medicine. Pharmacol Rev, 63(2), pp.437–459. polymorphisms from the evolutionary past.
31. Mcllleron, H. et al., 2006. Determinants of Macmillan Magazine Ltd, 409(February),
rifampin, isoniazid, pyrazinamide, and pp.821 – 822.
ethambutol pharmacokinetics in a cohort of 44. Tostmann, A. et al., 2013. Pharmacokinetics of
tuberculosis patients. Antimicrob Agents Ch, first-line tuberculosis drugs in Tanzanian
50(4), pp.1170–1177. patients. Antimicrob Agents Ch, 57(7),
32. Mehta, J.B. et al., 2001. Utility of rifampin pp.3208–3213.
blood levels in the treatment and follow-up of 45. Triyani, Y. et al., 2002. Penelitian peralihan
active pulmonary tuberculosis in patients who (konversi ) sputum BTA antara pemberian dosis
were slow to respond to routine directly baku (standar) dan tinggi rifampisin pada
observed therapy. Chest, 120(5), pp.1520–1524. pngobatan ( terapi) anti tuberkulosis kelompok
33. Mota, P.C. et al., 2012. Predictors of delayed (kategori) I. Indones J Clin Pathol Med Lab,
sputum smear and culture conversion among a 14(1), pp.1–10.
Portuguese population with pulmonary 46. Um, S. et al., 2007. Low serum concentrations
tuberculosis. Rev Port Pneumol, 18(2), pp.72– of anti-tuberculosis drugs and determinants of
79. their serum levels. Int J Tuberc Lung Dis, 11(9),
34. Niemi, M., Pasanen, M.K. & Neuvonen, P.J., pp.972–978.
2011. Organic anion transporting polypeptide 47. Weiner, M. et al., 2005. Association between
1B1: a genetically polymorphic transporter of acquired rifamycin resistance and the
major importance for hepatic drug uptake. pharmacokinetics of rifabutin and isoniazid
Pharmacol Rev, 63(1), pp.157–181. among patients with HIV and tuberculosis. Clin
35. Nijland, H.M.J. et al., 2006. Exposure to Infect Dis, 40, pp.1481–91.
rifampicin is strongly reduced in patients with 48. Weiner, M. et al., 2010. Effects of tuberculosis ,
tuberculosis and type 2 diabetes. Clin Infect race , and human gene SLCO1B1
Dis, 43, pp.848–54. polymorphisms on rifampin concentrations.
36. Nwokeukwu, H.I. & Awujo, D.N., 2013. Antimicrob Agents Ch, 54(10), pp.4192–4200.
Association of sputum conversion and outcome 49. WHO, 2013. Global tuberculosis report 2012,
with initial smear grading among new smear France: World Health Organization.
positive tuberculosis patients in a Tertiary 50. WHO, 2014. Global tuberculosis report 2013,
Health Facility , South East Zone , Nigeria. J Geneva.
Dent Med Sci, 4(6), pp.4–9.
37. Ramachandran, G. & Swaminathan, S., 2012.
Role of pharmacogenomics in the treatment of
tuberculosis: a review. Pharmacogenomics
Personal Med, 5, pp.89–98.

70 Jurnal Biotek Medisiana Indonesia . Vol.4.2.2015:59-70

You might also like