Professional Documents
Culture Documents
Tinjauan Farmakogenomik Rifampisin Dalam Pengobatan Tuberkulosis Paru
Tinjauan Farmakogenomik Rifampisin Dalam Pengobatan Tuberkulosis Paru
*Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan, Indonesia
Email: ondri19@gmail.com
Abstract
Pharmacogenomics is the study of genetic influences of individual variations in drug response. The influence of
genetic in drug response has been showed about 20%–95% of variations in drug pharmacokinetics and effects.
Activity of rifampicin as bactericidal against Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) have been demonstrated
plasma concentration-dependent. ‘Concentration-dependent ’ means that increasing doses followed by
increasing rifampicin plasma concentration above the M.tb’s minimum inhibition concentration (MIC) induces
more rapid bactericidal effect against the M.tb. indicated by sputum conversion. On standard tuberculosis
therapy, among patients have been showed wide intersubject variation of rifampicin plasma concentration. The
variation was related to genetic difference among patients. Rifampicin is a substrate of organic anion
transporting polypeptide 1B1 (OATP1B1) which is expressed on the sinusoidal membrane of human
hepatocytes. OATP1B1 is coded by for the solute carrier organic anion 1B1 (SLCO1B1) gene. A large number
of sequence variants have been found in the SLCO1B1 gene. SLCO1B1 rs4149032 and c.463 C>A was present
in most patients pulmonary tuberculosis and was associated with substantially reducing rifampicin plasma
concentration.The allele frequency of the SLCO1B1 c.463 C>A polymorphism in Indonesian subject was
showed C 30% A 70%. Individual genetic variation may cause variation in individual rifampicin response
among individual pulmonary tuberculosis patient. It will impact variation in clinical outcome, in this case is
sputum conversion.
Abstrak
Farmakogenomik adalah ilmu yang mempelajari pengaruh genetik terhadap variasi antar individu pada
respon obat. Pengaruh genetik tiap individu terhadap respon obat ditunjukkan dengan adanya variasi berkisar
20--95% pada peruraian obat dalam tubuh dan efeknya. Efektivitas rifampisin sebagai bakterisida terhadap
Mycobacterium tuberculosis (M.tb.) sangat bergantung pada konsentrasi rifampisin dalam plasma. Peningkatan
dosis akan diikuti dengan peningkatan konsentrasi rifampisin dalam plasma di atas konsentrasi hambat minimal
(MIC) M.tb dapat menginduksi lebih cepat efek bakterisida terhadap M.tb dan diindikasikan dengan outcome
klinis (konversi dahak). Pada standar terapi tuberkulosis, konsentrasi rifampisin dalam plasma antar pasien TB
menunjukkan variasi yang lebar. Variasi antar pasien ini erat kaitannya dengan perbedaan genetik dari masing-
masing pasien tersebut. Rifampisin merupakan substrat dari protein polipeptida transporter organik anion
(OATP1B1) yang diekspresikan pada membran sinusoidal hepatosit. Gen solute carrier organic anion 1B1
(SLCO1B1) merupakan gen penyandi OATP1B1 dan diketahui terdapat variasi urutan gen. SLCO1B1
rs4149032 dan c.463 C>A dijumpai pada sebagian besar pasien tuberkulosis paru dan berhubungan dengan
penurunan kadar rifampisin dalam plasma. Pada subyek Indonesia menunjukkan adanya polimorfisme gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A 70%. Variasi genetik antar individu ini diduga dapat
menyebabkan variasi respon rifampisin antar individu pasien tuberkulosis paru yang berdampak adanya variasi
outcome klinis, dalam hal ini konversi dahak.
DNA yang dapat ditranskripsikan menjadi manusia.35-36 Skema alur dari DNA
RNA fungsional dan protein, pada waktu menjadi protein seperti terlihat pada
dan tempat yang sesuai selama Gambar 1.
pertumbuhan dan perkembangan
11
Gambar 1. Alur DNA menjadi protein
Protein adalah molekul makro yang terhadap respon obat. Pengaruh faktor
berperan dalam hampir semua fungsi sel, genetik terhadap respon obat ditunjukkan
yaitu bahan pembangunan struktur sel dan dengan adanya variasi antar individu
membentuk enzim-enzim yang berkisar 20--95% pada peruraian obat
mengkatalisis reaksi-reaksi kimia di dalam dalam tubuh dan efeknya. 32 Beberapa
sel, meregulasi ekspresi gen, serta individu pasien memerlukan pemberian
memungkinkan sel untuk bergerak dan obat dengan dosis yang lebih tinggi
berkomunikasi antar sel. 35 daripada individu pasien lain untuk
DNA berada di inti sel (nukleus) dan mencapai keberhasilan terapi. Disamping
tidak dijumpai di sitoplasma. Sedangkan itu, beberapa individu pasien dapat timbul
protein yang berperan dalam metabolisme efek yang tidak dikehendaki meskipun
ada di sitoplasma dan tidak ada di diberikan obat dengan dosis yang lebih
inti.Perlu adanya penghubung antara DNA rendah daripada individu pasien yang
dengan protein yaitu molekul yang lain.36,37 Secara genetik diketahui bahwa
dijumpai di inti maupun sitoplasma. variasi antar individu tersebut karena
Penghubung antara DNA dengan protein adanya variasi urutan gen yang mengkode
yang RNA. 36 enzim metabolisme obat, transporter obat,
atau target obat. 32
Konsep Dasar Farmakogenomik Gen adalah fragmen DNA yang
mengandung informasi terkait satu sifat
Farmakogenetik adalah ilmu yang
spesifik yang secara genetik dipindahkan
mempelajari mengenai pengaruh genetik
dari orang tua ke anak. Hal ini pada
61
umumnya mengandung 2 allel yang transpor. Variasi genetik pada setiap tahap
masing-masing ditempatkan pada 1 proses tersebut akan mengubah konsentasi
kromosom dari pasangan kromosom. obat dalam plasma dan akan mengubah
Dengan demikian variasi genetik respon obat yang dapat berupa respon yang
disebabkan oleh karena mutasi, yaitu dikehendaki atau sebaliknya berupa respon
adanya perbedaan allel. Allel yang banyak obat yang tidak dikehendaki. 36
terdapat di populasi dinyatakan dengan Absorpsi, distribusi dan eliminasi
istilah wild type dan lainnya disebut obat dimodulasi oleh transporter melalui
dengan varian allel. 38 Pada tingkat pengendalian influx dan eflux obat ke
molekular, variasi genetik dapat mengubah dalam sel. Belakangan ini telah banyak
struktur protein target melalui mutasi pada diungkapkan hasil penelitian yang
daerah penyandi gen atau sejumlah protein menunjukkan polimorfisme genetik
diekspresikan oleh modulasi gen regulasi, transporter dapat mempunyai dampak
sehingga akan mengubah fungsi protein yang bermakna pada peruraian obat,
atau kecepatan dan konstanta kinetik efikasi obat dan keamanan obat. 37
enzim. 37
Mutasi diistilahkan sebagai Farmakodinamik berkaitan dengan
polimorfisme jika terdapat perpindahan ke efek farmakologi obat dengan reseptor,
generasi berikutnya dengan frekuensi enzim dan saluran ion. Obat akan di
sekurang-kurangnya 1%. Gen pada absorpsi dan di transpor ke tempat target
manusia merupakan subyek genetik obat. Efek obat akan berubah apabila
polimorfisme yang lebar, dengan sejumlah terdapat perbedaan respon obat di tempat
polimorfisme yang menghasilkan efek target obat. Oleh karena itu, adanya
fungsional secara bermakna. Terdapat 3 polimorfisme pada gen yang menyandi
tipe utama keberadaan mutasi genetik target obat kemungkinan akan mengubah
yaitu polimorfisme nukleotida tunggal respon individu terhadap pengobatan 36).
(SNPs); variabel jumlah tandem yang Polimorfisme genetik juga dimungkinkan
berulang; dan basa yang disisipkan atau mengubah status penyakit yang merupakan
dihilangkan pada satu atau lebih target terapi obat. Variasi genetik pada
nukleotida. Istilah SNPs terkait dengan status penyakit juga perlu mendapat
perbedaan antara allel hanya pada 1 perhatian untuk mengkaitkan terapi obat
nukleotida tunggal. Sampai saat ini, dengan spesifik genotipe yang
banyak penelitian farmakogenetik yang berhubungan dengan penyakit dan respon
mengkaitkan SNPs dengan respon obat. obat. 36
Sekelompok SNPs yang berada dalam
wilayah kromosom yang sama dikenal Epidemiologi TB di Indonesia
sebagai haplotipe yang dimungkinkan
untuk dianalisis guna lebih menjelaskan WHO Global Tuberculosis Report
variasi farmakogenetik. 38 melaporkan estimasi insiden, prevalen dan
mortalitas TB di Indonesia pada tahun
Mekanisme Pengaruh Variasi Genetik 2013 dalam angka mutlak, yaitu berturut-
Terhadap Respon Obat turut 460 (95% CI 410 - 520), 680 (95%
CI 340 – 1.100), dan 64 (95% CI 36 - 93).
Mekanisme pengaruh variasi genetik Sedangkan estimasi angka insiden,
terhadap respon obat dapat dikategorikan prevalen dan mortalitas TB di Indonesia
kedalam 3 rute, yaitu farmakokinetik, pada tahun 2013 yang dinyatakan dalam
farmakodinamik dan pathway penyebab 100.000 penduduk, yaitu berturut-turut
penyakit. 36- 38 Farmakokinetik suatu obat 183 (95% CI 164 - 207), 272 (95% CI 138
berkaitan dengan proses absorpsi, - 450), dan 25 (95% CI 14 - 37). Secara
distribusi, metabolisme, ekskresi dan global, sesuai urutan besarnya angka
63
dilakukan karakterisasi pada tingkat basolateral diangkut masuk ke dalam
molekul serta identifikasi keberadaan di hepatosit. OATP1B1 merupakan
jaringan ataupun di membran sel tubuh transporter influx yang disandi sebagai
manusia. 44 Transporter influx dan efflux gen Solute Carrier Organic Anion
dalam membran plasma sel yang transporter family, member 1B1
terpolarisasi di jaringan, berperan penting (SLCO1B1). Didalam hepatosit, rifampisin
dalam farmakokinetik yang ditunjukkan dimetabolisme dan atau dipompa keluar
dengan pengaruh yang bermakna terhadap melalui PGP ke saluran empedu untuk
absorpsi, distribusi dan eliminasi obat. dieliminasi. Rifampisin dimetabolisme
Transporter ini diketahui secara parsial oleh enzim esterase menjadi turunan
bertanggungjawab dalam penentuan desasetil, selanjutnya bentuk utuh dan
konsentrasi maksimum obat dalam plasma metabolit diekskresi kedalam saluran
dan jaringan perifer sehingga berpengaruh empedu dan dieliminasi kedalam
terhadap efikasi dan toksisitas obat. 44 feses.25,46
Rifampisin diabsorpsi dengan baik Rifampisin tidak hanya merupakan
dari saluran cerna. Untuk masuk ke dalam substrat OATP1B1 tetapi juga
darah, rifampisin harus melewati membran menghambat obat-obat yang dimediasi
enterosit. Membran ini mengandung P- OATP1B1 ke hati. Rifampisin yang telah
glycoprotein (PGP) yang merupakan berada dalam hepatosit, dimungkingkan
transporter efflux. PGP akan mengikat berinteraksi dengan Pregnan X Reseptor
dan selanjutnya menghidrolisa ATP untuk (PXR) yang dapat meningkatkan regulasi
menghasilkan energi yang digunakan beberapa enzim metabolisme dan beberapa
untuk transport rifampisin melintasi pengakut obat. 25
membran sel 46). Rifampisin merupakan Skema lokasi transporter ATP
substrat dan menginduksi protein PGP Binding Cassette (ABC), Solute Carrier
yang disandi sebagai gen ATP Binding (SLC) dan keterlibatannya dalam absorpsi,
Cassette, Subfamily B, member 1 metabolisme dan eliminasi rifampisin
(ABCB1) atau juga dikenal dengan nama seperti gambar berikut:
lain yaitu gen Multidrug Resistance 1
(MDR1). Rifampisin yang telah lolos dari
pompa efflux PGP akan masuk ke dalam
saluran darah, selanjutnya oleh transporter
Organic Anion Polypeptide 1B1
(OATP1B1) yang terletak di membran
Gambar 2. Skema lokasi transporter ABC, SLC dan keterlibatannya dalam absorpsi,
metabolisme dan eliminasi rifampisin11
65
Gambar 3. Lokasi gen SLCO1B1 dalam kromosom 12 20
Keterangan:
Gambar 4. konsentrasi rifampisin dalam plasma antara pasien TB paru dengan gen
c.463C>A genotipe CA dengan genotipe CC48
Keterangan:
67
Pembahasan oleh gen tersebut. Untuk mengetahui pola
variasi genotipe gen SLCO1B1 SNP
Frekuensi varian genotipe
c.463C>A maupun SNP rs4149032 telah
SLCO1B1 SNP c.463C>A dan frekuensi
dilakukan studi pendahuluan
varian genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032
menggunakan 30 orang sehat, 60% laki-
pada populasi dari wilayah yang berbeda
laki, dan berumur 25 – 58 tahun. Hasil
menunjukkan adanya perbedaan. Frekuensi
studi pendahuluan menunjukkan bahwa
varian genotipe SLCO1B1 SNP c.463C>A
gen SLCO1B1 SNP c.463C>A terdapat
pada penelitian Chigutsa et al.
polimorfisme yaitu frekuensi allel C 30%,
diungkapkan kecil (4%) dan frekuensi
allel A 70%, sedangkan pada SNP
varian genotipe SLCO1B1 SNP rs4149032
rs4149032 tidak terdapat polimorfisme
diungkapkan frekuensinya besar (70%). 31
yaitu frekuensi allel C 100%. Variasi
Hal ini berbeda dengan penelitian Kwara
genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
et al. dan Weiner et al. yang menggunakan
dari subyek yang ada, diperoleh proporsi
pasien TB paru dari wilayah yang berbeda,
genotipe CC 46,7%, CA 46,7%, dan AA
dimana diungkapkan varian genotipe
6,6%. Frekuensi polimorfisme gen
SLCO1B1 SNP c.463C>A lebih besar
SLCO1B1 SNP c.463C>A dan SNP
daripada pada penelitian Chigutsa et al.
rs4149032 ditentukan menggunakan Real-
Terkait frekuensi genotipe SNP c.463C>A,
time PCR primer yang sesuai 30, 31, 33, 34, 48).
data lain menunjukkan bahwa di populasi
sehat Eropa diketahui berkisar 13-23% di Individu yang diketahui mempunyai
populasi Eropa, 2-10% di Sub Sahara konsentrasi maksimum rifampisin dalam
Afrika/Afrika-Amerika dan 0-3% di Asia plasma yang rendah, dapat dinaikan
Timur.44 Sedangkan terkait dengan dengan penambahan dosis rifampisin
frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP untuk dapat mencapai konsentrasi
rs4149032, di populasi Nigeria sebesar maksimum terapetik dalam plasma (8 - 20
75%, Kaukasia 29% dan Asia 56% 31). µg/ml). Pasien TB yang menunjukkan
Frekuensi varian genotipe SLCO1B1 SNP respon yang lambat pada pengobatan
c.463C>A dan SLCO1B1 rs4149032 di dengan obat TB dosis standar, setelah
populasi pasien TB maupun di populasi dinaikkan dosis rifampisin, menunjukkan
orang sehat di Indonesia belum diketahui. perbaikan respon secara klinis, secara
Di samping itu, perbedaan varian genotipe radiografi maupun secara
11,24, 49
SLCO1B1 SNP c.463C>A pada populasi mikrobakterologi. Peningkatan dosis
dari etnik yang berbeda juga menunjukkan rifampisin untuk mencapai konsentrasi
perbedaan frekuensi. Hal ini seperti maksimum rifampisin dalam plasma tidak
diungkapkan Weiner et al. 30) bahwa menimbulkan efek samping.50
proporsi gen SLCO1B1 SNP c.463C>A
Kesimpulan
genotipe CA pada subyek kulit hitam lebih
besar daripada subyek kulit putih. Subyek Indonesia menunjukkan
adanya polimorfisme gen SLCO1B1 SNP
Variasi genotipe gen SLCO1B1 SNP c.463C>A dengan frekuensi C 30% dan A
c.463C>A maupun SNP rs4149032 pada 70%. Variasi genetik antar individu ini
populasi pasien TB di Indonesia belum diduga dapat menyebabkan variasi respon
diketahui. Pola variasi genotipe pada
rifampisin antar individu pasien TB paru
populasi pasien TB tidak berbeda dengan baru yang berdampak adanya variasi
pola pada populasi orang sehat 30). Hal ini outcome klinis, dalam hal ini konversi
mengingat gen SLCO1B1 SNPs c.463C>A dahak.
maupun SNPs rs4149032 ada pada semua
orang dan akan beraksi terhadap obat bila Saran
individu terpapar dengan obat yang Marka genetik SLCO1B1 SNP
menjadi substrat dari protein yang disandi c.463C>A dapat digunakan sebagai
prediktor respon rifampisin secara 10. Donald, P.R., Maritz, J.S. & Diacon, A.H.,
individual. Selanjutnya dapat digunakan 2011. The pharmacokinetics and
pharmacodynamics of rifampicin in adults and
sebagai intervensi dan tata laksana children in relation to the dosage recommended
pengobatan TB yaitu digunakan sebagai for children. Tuberculosis, 91(3), pp.196–207.
skrining pada awal pengobatan untuk 11. Franke, R.M., Gardner, E.R. & Sparreboom, A.,
memperhitungkan pemberian dosis 2010. Pharmacogenetics of drug transporters.
rifampisin yang tepat secara individual Curr Pharm Design, 16, pp.220–230.
12. Gengiah, T.N. et al., 2014. Original Article Low
guna pencegahan resistensi rifampisin rifampicin concentrations in tuberculosis
maupun mengoptimalkan efektifitas patients with HIV infection. J Infect Dev Ctries,
rifampisin dalam pengobatan pasien TB 8(8), pp.987–993.
paru baru BTA positif. 13. Gumbo, T. et al., 2007. Concentration-
dependent Mycobacterium tuberculosis killing
and prevention of resistance by rifampin.
Ucapan Terima Kasih Antimicrob Agents Ch, 51(11), pp.3781–3788.
14. Harrison, A.C., 2003. Chapter 15: M .
Terima kasih disampaikan kepada tuberculosis , TB medicines and monitoring. In
Prof. Dr. Herawati Sudoyo, MSc.Ph.D dan Guidelines for Tuberculosis Control in New
Prof. Dr. Maksum Radji, M.Biomed, Apt Zealand. pp. 1–47.
15. Heysell, S.K. et al., 2011. Plasma drug activity
yang telah memberikan masukan pada assay for treatment optimization in tuberculosis
penulisan tinjauan ini. patients. Antimicrob Agents Ch, 55(12),
pp.5819–5825.
Daftar Rujukan 16. Heysell, S.K. et al., 2010. Therapeutic drug
monitoring for slow response to tuberculosis
1. Aarnoutse, R., 2011. Pharmacogenetics of treatment in a state control. Emerg Infect Dis,
antituberculosis drugs. Prog Respir Res., 40, 16(10), pp.1546–1553.
p.177. 17. Immanuel, C. et al., 2003. Bioavailability of
2. Agrawal, S. et al., 2004. Bioequivalence trials rifampicin following concomitant
of rifampicin containing formulations: extrinsic administration of ethambutol or isoniazid or
and intrinsic factors in the absorption of pyrazinamide or a combination of the three
rifampicin. Pharmacol Res, 50, pp.317–327. drugs. Indian J Med Res, 118, pp.109–114.
3. Albert, B. et al., 2002. Molecular biology of the 18. Ingen, J. Van et al., 2011. Low-level
cell Fourth Edi., rifampicin-resistant Mycobacterium
4. Babalik, A. et al., 2012. Factors affecting smear tuberculosis. Int J Tuberc Lung Dis, 15(7),
conversion in tuberculosis management. Med pp.990–992.
Sci, 1(4), pp.351–362. 19. Jayaram, R. et al., 2003. Pharmacokinetics-
5. Bouti, K. et al., 2013. Factors influencing pharmacodynamics of rifampin in an aerosol
sputum conversion among smear-positive infection model of tuberculosis. Antimicrob
pulmonary tuberculosis patients in Morocco. Agents Ch, 47(7), pp.2118–2124.
ISRN Pulmonology, 2013, pp.1–5. 20. Kalliokoski, A. & Niemi, M., 2009. Impact of
6. Burhan, E. et al., 2013. Isoniazid, rifampin, and OATP transporters on pharmacokinetics. Brit J
pyrazinamide plasma concentrations in relation Pharmarcol, 158, pp.693–705.
to treatment response in Indonesian pulmonary 21. Kayigamba, F.R. et al., 2013. Adherence to
tuberculosis patients. Antimicrob Agents Ch, tuberculosis treatment , sputum smear
57(8), pp.3614–3619. conversion and mortality: A retrospective
7. Burman, W., Dooley, K.E. & Nuermberger, cohort study in 48 Rwandan Clinics. PLos
E.L., 2011. The Rifamycins: renewed interest in ONE, 8(9), pp.1–10.
an old drug class. Prog Respir Res., 40, pp.18– 22. Kemenkes, 2013. Profil pengendalian penyakit
20. dan penyehatan lingkungan tahun 2012,
8. Chigutsa, E. et al., 2011. The SLCO1B1 Jakarta.
rs4149032 polymorphism is highly prevalent in 23. Kemenkes, 2014. Profil pengendalian penyakit
South Africans and is associated with reduced dan penyehatan lingkungan tahun 2013,
rifampin concentrations: dosing implications. Jakarta.
Antimicrob Agents Ch, 55(9), pp.4122–4127. 24. Khantipongse, J. et al., 2013. Low
9. Crevel, R. Van et al., 2002. Low plasma antitubercular drug levels in newly infected
concentrations of rifampicin in tuberculosis normal hosts. Asian Biomedicine, 7(3), pp.407–
patients in Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis, 410.
6(6), pp.497–502.
69
25. Kimmel, S.E., Leufkens, H.G. & Rebbeck, 38. Rang, H., 2003. Pharmacology Fifth., UK: Bath
T.R., 2012. Molecular epidemiology. In B. L. Press.
Strom, S. E. Kimmel, & S. Hennessy, eds. 39. Requena-méndez, A. et al., 2012.
Pharmacoepidemiology. John Wiley & Sons, Pharmacokinetics of rifampin in Peruvian
pp. 601–622. tuberculosis patients with and without comorbid
26. Kuaban, C. et al., 2009. Non conversion of diabetes or HIV. Antimicrob Agents Ch, 56(3),
sputum smears in new smear positive pp.2357–2363.
pulmonary tuberculosis patients in Yaoundé , 40. Ruslami, R. et al., 2007. Pharmacokinetics and
Cameroon. E Afr Med J, 86(5), pp.219–225. tolerability of a higher rifampin dose versus the
27. Kwara, A. et al., 2014. Factors associated with standard dose in pulmonary tuberculosis
variability in rifampin plasma pharmacokinetics patients. Antimicrob Agents Ch, 51(7),
and the relationship between rifampin. pp.2546–2551.
Pharmacotherapy, 34(3), pp.265–271. 41. Singla, R. et al., 2013. Sputum smear positivity
28. Life Technologies, 2014. TaqMan ® SNP at two months in previously untreated
genotyping assays, pulmonary tuberculosis patients. Int J Mycobac,
29. Lin, H. et al., 2014. Impact of food intake on 2(4), pp.199–205. Available at:
the pharmacokinetics of first-line http://dx.doi.org/10.1016/j.ijmyco.2013.08.002.
antituberculosis drugs in Taiwanese 42. Steingart, K.R. et al., 2011. Higher-dose
tuberculosis patients. J Formos Med Assoc, rifampin for the treatment of pulmonary
113(5), pp.291–297. tuberculosis: a systematic review. Int J Tuberc
30. Ma, Q. & Lu, A.Y.H., 2011. Pharmacognetics, Lung Dis, 15(3), pp.305–316.
pharmacogenomics, and individualized 43. Stoneking, M., 2001. Single nuclotide
medicine. Pharmacol Rev, 63(2), pp.437–459. polymorphisms from the evolutionary past.
31. Mcllleron, H. et al., 2006. Determinants of Macmillan Magazine Ltd, 409(February),
rifampin, isoniazid, pyrazinamide, and pp.821 – 822.
ethambutol pharmacokinetics in a cohort of 44. Tostmann, A. et al., 2013. Pharmacokinetics of
tuberculosis patients. Antimicrob Agents Ch, first-line tuberculosis drugs in Tanzanian
50(4), pp.1170–1177. patients. Antimicrob Agents Ch, 57(7),
32. Mehta, J.B. et al., 2001. Utility of rifampin pp.3208–3213.
blood levels in the treatment and follow-up of 45. Triyani, Y. et al., 2002. Penelitian peralihan
active pulmonary tuberculosis in patients who (konversi ) sputum BTA antara pemberian dosis
were slow to respond to routine directly baku (standar) dan tinggi rifampisin pada
observed therapy. Chest, 120(5), pp.1520–1524. pngobatan ( terapi) anti tuberkulosis kelompok
33. Mota, P.C. et al., 2012. Predictors of delayed (kategori) I. Indones J Clin Pathol Med Lab,
sputum smear and culture conversion among a 14(1), pp.1–10.
Portuguese population with pulmonary 46. Um, S. et al., 2007. Low serum concentrations
tuberculosis. Rev Port Pneumol, 18(2), pp.72– of anti-tuberculosis drugs and determinants of
79. their serum levels. Int J Tuberc Lung Dis, 11(9),
34. Niemi, M., Pasanen, M.K. & Neuvonen, P.J., pp.972–978.
2011. Organic anion transporting polypeptide 47. Weiner, M. et al., 2005. Association between
1B1: a genetically polymorphic transporter of acquired rifamycin resistance and the
major importance for hepatic drug uptake. pharmacokinetics of rifabutin and isoniazid
Pharmacol Rev, 63(1), pp.157–181. among patients with HIV and tuberculosis. Clin
35. Nijland, H.M.J. et al., 2006. Exposure to Infect Dis, 40, pp.1481–91.
rifampicin is strongly reduced in patients with 48. Weiner, M. et al., 2010. Effects of tuberculosis ,
tuberculosis and type 2 diabetes. Clin Infect race , and human gene SLCO1B1
Dis, 43, pp.848–54. polymorphisms on rifampin concentrations.
36. Nwokeukwu, H.I. & Awujo, D.N., 2013. Antimicrob Agents Ch, 54(10), pp.4192–4200.
Association of sputum conversion and outcome 49. WHO, 2013. Global tuberculosis report 2012,
with initial smear grading among new smear France: World Health Organization.
positive tuberculosis patients in a Tertiary 50. WHO, 2014. Global tuberculosis report 2013,
Health Facility , South East Zone , Nigeria. J Geneva.
Dent Med Sci, 4(6), pp.4–9.
37. Ramachandran, G. & Swaminathan, S., 2012.
Role of pharmacogenomics in the treatment of
tuberculosis: a review. Pharmacogenomics
Personal Med, 5, pp.89–98.