Professional Documents
Culture Documents
KELOMPOK 6
Abstract
This research aims to describe the influence of power on justice for the poor. The that
be the back back in the back in this is the terapat of the effect of the power to the order
of law and justice for the poor in Indonesia. At the Constitional, Exitoured It is
confirmed in the 1945 Constitution Article 1 paragraph (3), that the Indonesian state is
a constitutional state (rechstaat), not a power state (maachtstaat). The relationship
between law and power can be briefly formulated in the slogan as follows: "Law without
power is wishful thinking, power without law is cruelty". Without power, law
enforcement in society will experience obstacles. The more tertiary and orderly a
society is, the less support for power is, and vice versa. However, if power cannot be
controlled properly, it will have an impact on justice that exists in society, especially
among the poor who are very unfamiliar with the law so that they are as begged by the
law and the legal authorities themselves. Many cases that occur in Indonesia that afflict
the poor only because of problems that should be done in a family way. For example,
the case of grandmother Asyani, who was accused of saying teak was sentenced to 1
year 3 months imprisonment with a fine of 500 million, is a legal irregularity because
the material value is not large, therefore law enforcers should not only use a legalistic-
positivistic approach as a reference but also the social aspects as well.
Keywords:
Kata kunci:
Tujuan negara dan hukum adalah mewujudkan tata kehidupan sebuah negara
yang aman, tentram, aman sejahtera, dan tertib dimana kedudukan hukum setiap
warga negaranya dijamin sehingga bisa mencapai sebuah keserasian, keseimbangan
dan keselarasan antara kepentingan perorangan maupun kepentingan kelompok
(masyarakat).
Kekuasaan dan hukum merupakan hal yang memiliki relevansi yang kuat, jika
hukum tanpa kekuasaan adalah lumpu namun kekuasaan tanpa hukum merupakan
kekuasaan belaka. Hukum dan kekuasaan sebagai dua sistem kemasyarakatan.
Hukum dan kekuasaan sangat erat kaitannya, manakala ketika hukum tidak selalu
dapat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau
penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mampu
memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang seharusnya diikuti dalam menyelesaikan
berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum1
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum adalah peraturan atau adat
yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau
pemerintah. Pengertian lain dalam KBBI, hukum adalah undang-undang, peraturan
dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.
Hukum diartikan sebagai sistem aturan negara, kelompok, atau bidang kegiatan
tertentu. Hukum juga berarti aturan umum yang menyatakan apa yang selalu terjadi
ketika ada kondisi yang sama. Baca juga: Menurut Mahfud, Tak Ada Aturan Hukum
yang Mendiskriminasi Perempuan Sedangkan Encyclopaedia Britannica mengartikan
hukum adalah disiplin dan profesi yang berkaitan dengan kebiasaan, praktik dan
aturan perilaku suatu komunitas yang diakui, mengikat oleh komunitas.
2
Putri AS, https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/30/200000969/pengertian-hukum-faktor-penting-
pembuatan-dan-istilah-terkait-hukum?page=all, diakses pada tanggal 13 November 2020.
hukumnya.3 Amandemen konstitusi, pembuatan sejumlah peraturan perundang-
undangan, pembentukanlembaga-lembaga negara baru, pembenahan institusi dan
aparat penegak hukum telah dilakukan. Namun, keberhasilan membangun negara
hukum tidak semata-matadiukur dari kemampuan memproduksi legislasi dan
menciptakan atau merevitalisasi institusi hukum. Lebih dari itu, keberhasilan
bernegara hukum terukur dari implementasi dan penegakan hukum yang mampu
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat terutama kelompok miskin, perempuan,
masyarakat adat dan kelompok minoritas.
4
HM Siregar, Hukum dan Kekuasaan, (Bandar Lampung : Universitas Bandar Lampung &Dosen
Fakultas Hukum dan Program Magister Hukum.2007), Vol 2, No. 1
Dalam sistem masyarakat sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu
biasanya terkait dengan distribusi kekuasaan dan otoritas resmi di organisasi formal.
Namun, jika suatu masyarakat ingin diorganisir dan integritas kehidupan publik
dipertahankan, maka kekuasaan dan otoritas harus dibagi secara teratur, sehingga
setiap orang akan jelas di mana kekuasaan dan otoritas dalam organisasi baik secara
horizontal maupun vertikal.
Sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” kini
Seseorang yang memiliki kekuasaan maka dia berhak untuk membuat orang
lain sesuai dengan keinginannya atau mengikuti konsep yang dibuatnya. Dalam suatu
7
Wijayanti, Mengusik Keadilan di Indonesia (Surabaya : 2019)
Sutrisno,
8
<https://kuninganmass.com/anything/netizen-mass/lebih-tinggi-hukum-atau-
kekuasaan/, diakses pada tanggal 11 November 2020.
kelompok masyarakat kekuasaan itu adalah hal yang harus ada karena kekuasaan
berfungsi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dalam kelompok masyarakat
tertentu, apabila kekuasaan tidak hadir ditengah-tengah masyarakat maka akan terjadi
kekacauan tanpa arah dan ujungnya. Masyarakat miskin kerapkali menjadi korban dari
penegakkan hukum yang tidak adil. Kita sering mendengar anekdot sosial yang
berkembang dan menjadi pembicaraan di tengah kehidupan masyarakat terkait
dengan penegakan hukum atas masyarakat miskin ini; “jika si miskin melaporkan
kasus pencurian ayam ke pihak kepolisian, maka ia akan kehilangan sapi”. Pernyataan
ini tentunya menohok praktik penegakkan hukum di negeri ini.
Kasus hukum yang menjadi sorotan publik di Jawa timur adalah adalah kasus
nenek Asyani (63). Nenek Asyani tak pernah menyangka bakal berurusan dengan
hukum dan mengalami pengapnya terali besi tahanan. Ini lantaran nenek Asyani
didakwa mencuri tujuh batang pohon jati yang diklaim milik perhutani di lingkungan
rumahnya di desa Jatibanteng Situbondo, Jawa Timur.
Sebagian besar masyarakat menilai perlakuan hukum atas dari Asyani terlalu
berlebihan dan mengusuik rasa keadilan masyarakat. Apalagi Asyani hanyalah orang
miskin, buta hukum yang tidak tahu apa-apa. Pekerjaannya sebagai tukang pijet dan
petani serabutan. Media pun ramai memberitakan kasusnya. Akibat mendekam di
penjara kondisi fisik dan psikologis terpidana langsung drop.
Kasus nenek Asyani ini berbanding terballik dengan kasus para kaum elite di
negeri ini; para pengemplang dana bail out century, kasus perusakan dan pembakaran
hutan Sumatera selatan, mereka bisa lolos dari jeratan hukum. Asyani semakin
menagaskan dan menambah daftar panjang bagaimana hukum negara yang
berparadigma legalistik-positivistik memakan korbannya, yakni warga miskin.
Dalam kasus nenek Asyani ini adalah perkara kecil dengan nilai meterial yang
kecil, pun demikian dilakukan oleh kelompok sosial yang marginal, warga miskin yang
buta bukum, karena itu, hadirnya hukum negara bukannya melahirkan keadilan hukum,
justru sebaliknya menimbulkan ketidakadilan hukum. Karena itu, kasus hukum yang
menimpa masyarakat miskin sebaiknya lebih menggunakan pendekatan yang lebih
sosiologis dan humanis. Penyelesaian ini yang dikenal dalam dunia akademik-teoritik
sebagai prinsip restorative justice, yakni keadilan yang diperoleh di luar pengadilan
hukum positif, melalui proses pemulihan dengan semangat saling memaafkan antara
pelaku dan korban.
Kasus yang membelit Nenek Asyani menjadi potret supremasi hukum yang
ringkih. Hukum tampil tak berdaya menangani kasus korupsi yang melibatkan
kelompok elite, tapi pada saat bersamaan justru garang kepada orang lemah.
Buktinya, untuk menyeret Nenek Asyani ke meja hijau penegak hukum tak perlu waktu
lama. Berbeda dengan penanganan skandal Bank Century yang merugikan negara
Rp6,7 triliun yang hingga kini tak jelas ujung pangkalnya. Aktor utama sampai detik ini
tak terjamah karena memiliki akses kekuasaan, impunitas hukum, dan 'jalur sutet' yang
berbahaya apabila dibongkar. Karena itu wajar jika penegakan hukum kerap
meninggalkan jejak ironi. Wajar pula jika penanganan kasus korupsi selalu berakhir
antiklimaks. Supremasi hukum yang berselingkuh erat dengan pragmatisme politik
akan sulit membongkar akar kejahatan korupsi karena aib para penguasa bersembunyi
di dalamnya. Seandainya hukum menunjukkan martabatnya dan berani menjaga
independensi, betapa banyak pejabat publik di tingkat pusat maupun daerah dibui
lantaran menyalahgunakan wewenang. Nenek Asyani memang tidak memiliki
pengaruh penting bagi jagat politik. Ia baru akan mendapatkan perhatian dari
penguasa ketika bergulir menjadi isu nasional dan menjadi sorotan media. Berbeda
dengan para koruptor yang mayoritas berasal dari politisi. Meski tindakannya telah
merugikan negara, tetap mendapatkan perhatian penuh dan hak-haknya
diperjuangkan. Sebagai contoh, Menteri Hukum dan HAM bakal merevisi peraturan
pengetatan pemberian remisi kepada koruptor. Menurutnya, pengetatan remisi
koruptor diskriminatif sehingga perlu ditinjau ulang. Langkah tersebut jelas
mencerminkan hukum yang ringkih. Hukum tumpul ke atas, tapi menggilas rakyat kecil.
Penegakan hukum masih layaknya pedang; tajam ke bawah (kaum alit), tumpul
ke atas (kaum elite). Kasus nenek Asyani adalah satu dari sekian banyak kaum papa
yang menjadi korban praktik penegakan hukum yang mengusik rasa keadilan
masyarakat. Prinsip equality before law yang berlaku dalam paradigma hukum positif
akhirnya menimbulkan problematika etis-moral-sosiologis. Pendekatan legalistic
positivistic ini yang banyak dikritik bahkan digugat. Salah satunya dari kalangan
sosiolog hukum, dalam pandangan para sosiolog hukum, pendekatan yuridis-normatif
tidak cukup memadai untuk menjelaskan realitas sosio-yuridis yang terjadi di tengah
masyarakat.
Kajian terhadap hukum dalam perspektif sosiologis ini merupakan salah satu
bentuk jawaban atas pertanyaan bagaimana keluar dari keterpurukan hukum di
Indonesia. Menurut Koesno Adi (2006), salah satu penyebab keterpurukan hukum di
Indonesia adalah masih dipegang teguhnya pola pikir dan sikap legalistic-positivistik
yang telah menjauhkan hukum dari realitas sosialnya. 9
Restorative justice adalah solusi yang paling baik dan tepat untuk
menyelesaikan masalah hukum yang menimpa masyarakat miskin. Kasus hukum yang
Bandingkan dengan para tikus berdasi yang notebenenya adalah para pejabat
yang ekonominya kelas atas yang terjerat dengan kasus korupsi dan suap. Dalam
kehidupan sehari hari sering kita jumpai masalah kecil tapi dianggap besar dan terus
dipermasalahkan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan sikap kekeluargaan.
Namun, berlangsung dengan persidangan yang dipersulit bahkan menjadi sangat tidak
logis. Sementara, diluar masih banyak tikus berdasi yang berkeliaran dengan senang
dan santainya menikmati uang rakyat yang acap kali disalah gunakan untuk hal yang
bersifat pribadi, bukannya menyejahterakan rakyat namun sebaliknya membuat rakyat
menjerit seolah mencari dimana keadilan negeri ku?
Dalam bukti empiris dapat kita saksikan bahwa dalam kasus korupsi mantan
gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan
denda 200 Juta Rupiah. Ratu telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugutan
yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. Bandingkan dengan kasus
seorang seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dan dijatuhi
hukuman 2,5 tahun penjara. Rasanya sangat tidak adil melihat kasus ini seorang
koruptor yang merugikan Negara sebesar 1 Miliar rupiah hanya dihukum 4 tahun
penjara sedangkan seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dihukum
2,5 tahun sunguh miris bukan?. Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai
bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita.
Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan “hukum” kurang dapat dijelaskan
dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan
kehidupan hukum di Indonesia seperti pada UUD pasal 28 D ayat satu yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” Kalau ini diterapkan, proses
penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik dan akan adil tanpa berpihak pada
kaum yang kuat dan lemah, tikus berdasi atau kepompong yang menjerit? tuntutan
atau gugatan oleh seseorang dari kelas “atas” atau yang kaya terhadap mereka yang
berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan
memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih
mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit
untuk mendapatkannya Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik
hukum di negeri ini.
Belum lama ini, salah satu koruptor kelas kakap triliunan rupiah mendapatkan
remisi dari pemerintah. Mantan Dirut Bank Century Robet Tantular mendapatkan
bebas bersyarat, setelah menjalani sekitar 10 dari total 21 tahun hukuman penjara.
Total remisi yang didapat ialah 74 bulan 110 hari atau 77 bulan. Robet divonis 21
tahun penjara dalam 4 kasus yaitu, vonis 9 tahun dan denda Rp 100 milyar subsider 8
bulan kurungan dalam kasus perbankan, vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 10
milyar subsider 6 bulan kurungan kasus perbankan. Kedua, divonis bersalah dalam
dua kasus pencucian uang masing-masing 2 tahun serta denda 2,5 milyar. Berbanding
terbalik dengan hukuman yang diterima rakyat kecil, seorang ibu yang mencuri karena
kelaparan, RMS (31) divonis kurungan atas pencurian 3 tandan sawit milik PTPN V Sei
Rokan, Rokan Ulu, Riau. Kasus ini memetik simpati publik hukuman kurungan 7 hari
dinilai telah menyalahi kondisi ekonomi ibu tiga anak ini. Dari dua fakta ini jelas bahwa
hukum bisa dipermainkan, bahwa uang bisa menentukan hasil akhir sebuah perkara.
Siapa yang mampu membayar dialah yang untung. Sebagaimana pendapat politikus
Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil menilai hukum masih tajam ke bawah dan
tumpul ke atas terkait kasus ibu berinisial RMS.
Keadilan hukum bagi masyarakat tak sekedar keadilan yang bersifat formal-
prosedural; keadilan yang didasarkan pada aturan-aturan nomatif yang rigid yang jauh
dari moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Lawan dari keadilan formal-prosedural
adalah keadilan substantif, yakni keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif
sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang
didasarkan pada moralitas publik dan nilai-nilai kemanusian dan mampu memberikan
kepuasaan dan kebahagiaan bagi masyarakat.
Simpulan
Kekuasaan dalam hukum sangatlah diperlukan karena tanpa adanya
kekuasaan, pelaksanaan hukum dimasyarakat akan mengalami hambatan-hambatan.
Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat makin berkurang diperlukan kekuasaan.
Akan tetapi jika kekuasaan tidak bisa dikendalikan dengan baik maka akan berdampak
pada keadlilan yang ada di masyarakat khususnya dikalangan masyarakat miskin yang
sangat awam dengan hukum hingga mereka seperti dipermaikan oleh hukum dan para
penguasa hukum itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Mahfud MD., [ CITATION MDM09 \l 1033 ], (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.7.
Mas’oed, Muhtar. 2003. Ekonomi Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Safriani, Andi. 2017. Telaah Terhadap Hubungan Hukum dan Kekuasaan. Makassar:
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, hal. 40
Sholahudin, Umar. 2018. Keadilan Hukum Bagi Si Miskin. Surabaya: Jounal of Urban
Sociology