You are on page 1of 17

PENGARUH KEKUASAAN TERHADAP KEADILAN BAGI MASYARAKAT MISKIN

KELOMPOK 6

Egis Taufik Faturrohman (1203020053)

Febryana Putri Nurazizah (1203020062)

Hazna Nurisabah (1203020071)

Ira Nurlita (1203020080)

Latifah Aini (1203020089)

M. Dliya Azmi Malizar (1163020087)

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Abstract

This research aims to describe the influence of power on justice for the poor. The that
be the back back in the back in this is the terapat of the effect of the power to the order
of law and justice for the poor in Indonesia. At the Constitional, Exitoured It is
confirmed in the 1945 Constitution Article 1 paragraph (3), that the Indonesian state is
a constitutional state (rechstaat), not a power state (maachtstaat). The relationship
between law and power can be briefly formulated in the slogan as follows: "Law without
power is wishful thinking, power without law is cruelty". Without power, law
enforcement in society will experience obstacles. The more tertiary and orderly a
society is, the less support for power is, and vice versa. However, if power cannot be
controlled properly, it will have an impact on justice that exists in society, especially
among the poor who are very unfamiliar with the law so that they are as begged by the
law and the legal authorities themselves. Many cases that occur in Indonesia that afflict
the poor only because of problems that should be done in a family way. For example,
the case of grandmother Asyani, who was accused of saying teak was sentenced to 1
year 3 months imprisonment with a fine of 500 million, is a legal irregularity because
the material value is not large, therefore law enforcers should not only use a legalistic-
positivistic approach as a reference but also the social aspects as well.

Keywords:

Law, Society, Justice.


Abstrak

Penilitian ini bertujuan untuk memaparkan Pengaruh kekuasaan terhadap keadilan


bagi masyarakat miskin. Adapun yang menjadi latar belakang penulisan ini adalah
terapat pengaruh yang disebabkan oleh kekuasaan terhadap tatanan hukum serta
keadilan bagi masyarakat miskin di Indonesia. Secara konstitusional, sebagaimana
ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3), negara Indonesia
adalah negara hukum (rechstaat), bukan negara berdasarkan kekuasaan
(maachtstaat). Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dirumuskansecara singkat
dalam slogan sebagai berikut: “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan,
kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”. Tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan
hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin tertib dan
teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan,
begitupun sebaliknya. Akan tetapi jika kekuasaan tidak bisa dikendalikan dengan baik
maka akan berdampak pada keadlilan yang ada di masyarakat khususnya dikalangan
masyarakat miskin yang sangat awam dengan hukum hingga mereka seperti
dipermaikan oleh hukum dan para penguasa hukum itu sendiri. Banyak kasus yang
terjadi di Indonesia yang menimpa masyarakat miskin dihukum hanya karena masalah
yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara kekeluargaan. Misalnya kasus nenek
asyani yang tertuduh mencuri kayu jati divonis hukuman penjara 1 tahun 3 bulan
dengan denda 500 juta itu merupakan kejanggalan hukum karena nilai materialnya-pun
tidak besar, oleh karena itu para penegak hukum jangan hanya menggunakan
pendekatan legalistic-positivistik sebagain acuan tetapi juga perhatikan aspek
sosialnya juga.

Kata kunci:

Hukum, Masyarakat, Keadilan.


PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan keadilan sosial bagi


seluruh rakyat Indonesia. Keadilan merupakan suatu kebenaran yang berkenaan pada
sikap antar hubungan manusia secara moral sesuai hak dan kewajibannya. Saat ini,
keadilan di Indonesia masih lemah apalagi ketidakadilan hukum bagi masyarakat
miskin.

Tujuan negara dan hukum adalah mewujudkan tata kehidupan sebuah negara
yang aman, tentram, aman sejahtera, dan tertib dimana kedudukan hukum setiap
warga negaranya dijamin sehingga bisa mencapai sebuah keserasian, keseimbangan
dan keselarasan antara kepentingan perorangan maupun kepentingan kelompok
(masyarakat).

Aparatur negara ataupun pemegang kekuasaan tidak boleh menyalahgunakan


kekuasaan hukum yang bertindak sewenang-wenang kepada masyarakat karena di
Indonesia kekuasaan negara dibatasi oleh Hak Asasi Manusia. Dalam menegakkan
hukum seorang pemegang kekuasaan harus bersikap adil tidak memandang kasta
atas maupun kasta bawah.

Kekuasaan dan hukum merupakan hal yang memiliki relevansi yang kuat, jika
hukum tanpa kekuasaan adalah lumpu namun kekuasaan tanpa hukum merupakan
kekuasaan belaka. Hukum dan kekuasaan sebagai dua sistem kemasyarakatan.
Hukum dan kekuasaan sangat erat kaitannya, manakala ketika hukum tidak selalu
dapat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat, atau
penjamin keadilan. Banyak sekali peraturan hukum yang tumpul, tidak mampu
memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakan keadilan dan tidak dapat
menampilkan dirinya sebagai pedoman yang seharusnya diikuti dalam menyelesaikan
berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum1

Bahkan kenyataannya banyak produk hukum yang lebih didasarkan pada


kepentingan penguasa yang memegang kekuasaan dominan. Berdasarkan hal
tersebut di atas dapat dikatakan bahwa hukum tidak steril dari subsistem
kemasyarakatannya, di mana kekuasaan kerapkali melakukan intervensi atas
pembuatan dan pelaksanaan hukum, sehingga menjadi permasalahan tentang
subsistem mana yang lebih suprematif apakah kekuasaan atau hukum.
Mahfud MD., Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta :   Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.7.
1
PEMBAHASAN

Pengaruh Kekuasaan dengan Hukum

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, hukum adalah peraturan atau adat
yang secara resmi dianggap mengikat, yang dikukuhkan oleh penguasa atau
pemerintah. Pengertian lain dalam KBBI, hukum adalah undang-undang, peraturan
dan sebagainya untuk mengatur pergaulan hidup masyarakat.

KBBI juga menjelaskan arti hukum adalah patokan (kaidah, ketentuan)


mengenai peristiwa (alam dan sebagainya) yang tertentu. Dalam KBBI hukum berarti
keputusan (pertimbangan) yang ditetapkan oleh hakim (dalam pengadilan) atau vonis.
Baca juga: Kapitalisme Digital, Oligarki Hukum Menurut Kamus Oxford, hukum adalah
sistem peraturan yang diakui oleh suatu negara atau komunitas tertentu sebagai
pengatur tindakan para anggotanya dan yang dapat ditegakkan dengan pengenaan
hukuman. Dalam Kamus Cambridge, hukum adalah aturan, biasanya dibuat oleh
pemerintah, yang digunakan untuk mengatur cara perilaku masyarakat. 2

Hukum diartikan sebagai sistem aturan negara, kelompok, atau bidang kegiatan
tertentu. Hukum juga berarti aturan umum yang menyatakan apa yang selalu terjadi
ketika ada kondisi yang sama. Baca juga: Menurut Mahfud, Tak Ada Aturan Hukum
yang Mendiskriminasi Perempuan Sedangkan Encyclopaedia Britannica mengartikan
hukum adalah disiplin dan profesi yang berkaitan dengan kebiasaan, praktik dan
aturan perilaku suatu komunitas yang diakui, mengikat oleh komunitas.

Secara konstitusional, sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar


1945 pasal 1 ayat (3), negara Indonesia adalah negara hukum (rechstaat), bukan
negara berdasarkan kekuasaan (maachtstaat). Membangun negara hukum yang
berkeadilan bagi Indonesia adalah amanah konstitusi. Namun demikian, Satjipto
Rahardjo, dalam tulisannya di Konferensi Negara Hukum (2012) menyatakan, bahwa
membangun negara hukum itu bukanlah sekedar menancapkan papan nama. Ia
adalah proyek raksasa yang menguras tenaga. Dalam satu dasawarsa terakhir,
Indonesia telah banyak melakukan upaya perubahan untuk mewujudkan negara

2
Putri AS, https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/30/200000969/pengertian-hukum-faktor-penting-
pembuatan-dan-istilah-terkait-hukum?page=all, diakses pada tanggal 13 November 2020.
hukumnya.3 Amandemen konstitusi, pembuatan sejumlah peraturan perundang-
undangan, pembentukanlembaga-lembaga negara baru, pembenahan institusi dan
aparat penegak hukum telah dilakukan. Namun, keberhasilan membangun negara
hukum tidak semata-matadiukur dari kemampuan memproduksi legislasi dan
menciptakan atau merevitalisasi institusi hukum. Lebih dari itu, keberhasilan
bernegara hukum terukur dari implementasi dan penegakan hukum yang mampu
menciptakan keadilan bagi seluruh rakyat terutama kelompok miskin, perempuan,
masyarakat adat dan kelompok minoritas.

Mungkin ada pertanyaan mengapa hukum (penegakan hukum maupun


perlindungan hukum) dipengaruhi oleh kekuasaan. Mengapa hukum bisa menjadi alat
untuk melanggengkan kekuasaan bagi pemegang kekuasaan yang jahat? Sedangkan
di sisi lain berpikir bahwa hukum harus dijunjung setinggi-tingginya meskipun langit
runtuh. Lalu apa hubungan hukum dengan kekuasaan?

Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat dirumuskansecara singkat dalam


slogan sebagai berikut: “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman”. Dalam penerapannya, hukum memerlukan suatu
kekuasaan untuk mendukungnya. Ciri utama inilah yang membedakan antara hukum di
suatu pihak dengan norma-norma sosial lainnya dan norma agama. Kekuasaan itu
diperlukan oleh karena hukum bersifat memaksa . Tanpa adanya kekuasaan,
pelaksanaan hukum di masyarakat akan mengalami hambatan-hambatan. Semakin
tertib dan teratur suatu masyarakat, makin berkurang diperlukan dukungan kekuasaan.

Kekuasaan hukum berarti bahwa pelaksanaan kekuasaan di kalangan


masyarakat harus tunduk kepada hukum. Esensi cita-cita hukum dapat dirumuskan
sebagai “Menegakkan rasa hormat bagi seseorang dalam bidang interaksi sosial,
dimana kekuasaan dilakukan.” Maksud dari kekuasaan hukum adalah untuk
melindungi warga negara (masyarakat) terhadap pemerintah, serta melindungi yang
lemah terhadap yang kuat, dan melindungi yang miskin terhadap yang kaya. Istilah
“Kuat” dan “Lemah” adalah konsep yang relatif. Keduanya dapat menunjukan antara
negara dengan individu yang merupakan tertuduh, tersangka, atau terdakwa di dalam
suatu perkara perdata misalnya. Dalam hubungan-hubungan yang kontradiksi seperti
itu, pembelaan dan artikulasi kepentingan serta pandangan-pandangan dari pihak yang

Satjipto Rahardjo, dalam Konferensi Negara Hukum (2012)


3
paling lemah dengan mudah sekali dapat ditindas. Seringkali pernyataan pandangan
pihak yang dominan dianggap tidak sah.4

Kekuasaan memiliki sifat yang khas, yaitu bahwa ia cenderung untuk


merangsang yang memilikinya untuk lebih berkuasa lagi. Oleh sebab itu, maka
kekuasaan dapat dimulai baik atau buruknya tergantung dari bagaimana si pemegang
kekuasaan menggunakannya, Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus
diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan
atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang
mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib atau bahkan bagi setiap bentuk
organisasi yang teratur.

Pemegang kekuasaan memiliki peranan yang sangat penting, dimana untuk


dapat terwujudnya keadilan yang dicita-citakan antara la akan bergantung kepada
bagaimana pemegang kekuasaan menggunakan kekuasaannya. Oleh sebab itu
disamping dibutuhkan hukum dan kesadaran hukum masyarakat sebagai pembatas
bagi pemegang kekuasaan, hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kejujuran dan
moral yang tinggi bagi kepentingan masyarakat. Sebab sebaik apapun hukum
diadakan untuk membatasi perilaku penguasa, namun jika mental dan moral
penguasa tidak baik, pada akhirnya hukum justru akan diinjak-injak.

Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum merupakan


salah satu sumber kekuasaan. Selain itu hukum pun merupakan pembatas bagi
kekuasaan, oleh karena kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk, yaitu selalu
merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang
dimilikinya. Contoh yang popular misalnya sepakterjang para raja absolute dan
dictator. Atau bukan hanya raja bahkan presiden pun jika tidak dibatasi dengan baik
bisa berbuat semena-mena dengan kekuasaannya.

Pengaruh Kekuasaan dengan Masyarakat

4
HM Siregar, Hukum dan Kekuasaan, (Bandar Lampung : Universitas Bandar Lampung &Dosen
Fakultas Hukum dan Program Magister Hukum.2007), Vol 2, No. 1
Dalam sistem masyarakat sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu
biasanya terkait dengan distribusi kekuasaan dan otoritas resmi di organisasi formal.
Namun, jika suatu masyarakat ingin diorganisir dan integritas kehidupan publik
dipertahankan, maka kekuasaan dan otoritas harus dibagi secara teratur, sehingga
setiap orang akan jelas di mana kekuasaan dan otoritas dalam organisasi baik secara
horizontal maupun vertikal.

Kekuasaan adalah elemen penting dalam kehidupan manusia karena peran


mereka untuk menentukan nasib jutaan orang. Kekuasaan selalu ada di masyarakat,
baik masyarakat besar yang masih sederhana maupun kompleks. Keberadaan
kekuasaan tergantung pada sifat hubungan antara yang berkuasa (pemimpin) dan
yang dipaksakan. Ada pemimpin di satu bidang tertentu, ada juga pemimpin dalam
banyak aspek kehidupan. Ada pemimpin dan ada pengikut yang mencari yang
sebenarnya dicari pengikutnya. Ada pemimpin resmi (pemimpin formal) dan ada
pemimpin informal.

Kekuasaan dalam kaitannya dengan masalah kenegaraan, dapat dibedakan ke


dalam dua kelompok, yaitu kekuasaan negara dan kekuasaan masyarakat. Kekuasaan
negara berkaitan dengan otoritas negara untuk mengatur kehidupan masyarakat
secara tertib dan damai.

Kekuasaan masyarakat adalah kekuatan/kemampuan masyarakat untuk


mengelola dan mengorganisasikan kepentingan individu-individu dan kelompok-
kelompok masyarakat yang menjadi anggotanya sehingga interaksi sosial dapat
berjalan secara lancar. Ketidakseimbangan diantara keduanya akan mendorong
terjadinya kekuasaan hegemonik di mana negara sangat kuat dan masyarakat sangat
lemah, sehingga tercipta pola hubungan dominatif dan eksploitatif. Hal ini
mengakibatkan negara bukan hanya campur tangan dalam urusan-urusan kenegaraan
dan kemasyarakatan, tetapi juga intervensi atas seluruh tindakan masyarakat yang
sebenarnya bukan dalam lingkup wewenangnya.5

Masyarakat memandang wewenang kekuasaan sebagai amanah yang harus


dilaksanakan dan bukan hanya janji belaka. Ada insan yang lahir dengan kuas di sela
jari yang dari setiap hela nafasnya berhembus seni. Ada insan yang lahir dengan tahta
5
Andi Safriani, Telaah Terhadap Hubungan Hukum dan Kekuasaan (Makassar : Universitas
Islam Negeri (UIN) Alauddin. 2017), hal. 40
yang tinggi yang dari kedudukannya itu dia bersenang diri. Ada insan yang bergerak
dengan kondisi prihatin yang membuat dirinya sulit mengurus diri. Ada insan yang
bangkit dari kondisi sulit yang berjuang untuk meraih hidup yang penuh arti. Ada  insan
yang berdiam diri duduk di pinggir kali sembari merenung sulitnya akses penghidupan
di era kini. Dan ada juga jiwa yang hilang, yang berdiri bimbang di sebuah
persimpangan jalan besar di malam dan siang hari. 

Di saat itulah mereka menggantungkan harapan kepada sang penguasa dunia


dan negeri untuk penghidupan yang lebih berarti. Kita memang hidup dalam sebuah
halaman penuh tanda tanya; yang setiap spasinya diisi oleh perdebatan politis tanpa
henti. Tapi ingatlah, kekuasaaan dan kewenangan adalah kewajiban yang harus
dipatuhi. Harapan dan impian jutaan rakyat dipegang oleh anda sang penguasa negeri.
Itu semua demi eksistensi dan kemaslahatan rakyat bukan hanya demi kepuasan diri
sendiri.

Dalam praktik kekuasaan, kekuasaan muncul dalam bentuk relasional atau


kekuasaan langsung, dan dalam bentuk kekuasaan tidak langsung atau kekuasaan
struktural. Kemampuan relasional adalah kemampuan mengorganisasikan
sumberdaya untuk mempengaruhi pikiran dan tindakan orang lain. Kekuasaan
struktural adalah kemampuan membentuk dan menentukan struktur (misalnya struktur
ekonomi pertanian), termasuk di sini kekuasaan struktural dilakukan melalui berbagai
regulasi yang mempengaruhi jalannya aktivitas ekonomi. Dalam praktek, kekuasaan
struktural ini jauh lebih sering dilakukan penguasa, misalnya dengan menentukan
agenda wacana dalam masyarakat, merancang regulasi pasar dan bagaimana aktor-
aktor ekonomi harus bertindak, dan lain-lain.6

Pengaruh Kekuasan dengan Keadilan

Keadilan adalah keadaan dimana sesuatu hal berada dalam keadaan


seimbang atau sama rata atau juga dapat dikatakan tidak berat sebelah. Menurut
teori Aristoteles, keadilan menunjuk kepada “equality” yang memiliki karakteristik
proporsional bukan sekedar sama. Proposional berarti sesuai porsinya masing-
masing.

Sila kelima yang berbunyi “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” kini

Muhtar Mas’oed, 2003 : 30 - 36


6
telah memudar. Seharusnya keadilan dapat dirasakan oleh setiap warga negara
Indonesia. Namun, sekarang ini banyak yang merasa bahwa mereka diperlakukan
secara tidak adil. Sehingga dalam perlakuan yang berbeda tersebut menyebabkan
konflik.7

Aristoteles juga menyatakan Tujuan dari hukum adalah semata-mata untuk


mencapai sebuah keadilan, dalam paradigma masyarakat seringkali terjadi kekeliruan
bahwa keadilan yang sebenarnya adalah ketika seorang penjahat atau pelaku dihukum
seberat-beratnya, seharusnya keadilan itu juga didapat oleh pelaku, pernyataan ini
mungkin sedikit mengganjal, agar tidak mengganjal kita telusuri bersama keadilan
seperti apa yang layak diterima oleh penjahat atau pelaku, ketika terjadi sebuah
kejahatan makan pelaku harus diadili sesuai dengan pelanggaran atau kejahatan yang
telah dilakukannya, Indonesia sebagai negara hukum tentunya memiliki aturan yang
mengatur segala bentuk pelanggaran dan kejahatan, dinegara kita ada Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai sumber dalam mengadili tindak pidana
seorang pelaku, sedangkan sumber dalam menghukum pelaku yang melakukan
pelanggaran khusus telah diatur dalam undang-undang khusus seperti Undang-
undang tentang Korupsi atau Narkotika, sedangkan dalam menjalankan atau
menegakan KUHP kita mengambil sumber dari Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP), karena sudah ada KUHP dan KUHAP maka sudah sepatutnya ketika
terjadi tindak pidan kita tidak boleh berpandangan subjektif, justru kita harus
mendukung berjalannya peradilan yang berkeadilan.

Aristoteles telah menjabarkan 5 konsep keadilan yang telah banyak mengubah


paradigma dunia, satu diantaranya adalah teori keadilan Komunikatif, keadilan itu
harus ditegakkan tanpa melihat jasa-jasa seseorang, untuk itu ketika berkenaan
dengan keadilan setiap orang sama Dimata hukum atau istilah lainnya adalah equality
before the law. Sementara Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah kemampuan
seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah lakunya seseorang
atau kelompok lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan
keinginan dan tujuan dari orang yang memiliki kekuasaan itu.8

Seseorang yang memiliki kekuasaan maka dia berhak untuk membuat orang
lain sesuai dengan keinginannya atau mengikuti konsep yang dibuatnya. Dalam suatu

7
Wijayanti, Mengusik Keadilan di Indonesia (Surabaya : 2019)
Sutrisno,
8
<https://kuninganmass.com/anything/netizen-mass/lebih-tinggi-hukum-atau-
kekuasaan/, diakses pada tanggal 11 November 2020.
kelompok masyarakat kekuasaan itu adalah hal yang harus ada karena kekuasaan
berfungsi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dalam kelompok masyarakat
tertentu, apabila kekuasaan tidak hadir ditengah-tengah masyarakat maka akan terjadi
kekacauan tanpa arah dan ujungnya. Masyarakat miskin kerapkali menjadi korban dari
penegakkan hukum yang tidak adil. Kita sering mendengar anekdot sosial yang
berkembang dan menjadi pembicaraan di tengah kehidupan masyarakat terkait
dengan penegakan hukum atas masyarakat miskin ini; “jika si miskin melaporkan
kasus pencurian ayam ke pihak kepolisian, maka ia akan kehilangan sapi”. Pernyataan
ini tentunya menohok praktik penegakkan hukum di negeri ini.

Dalam realitasnya, masyarakat miskin begitu mudah menjadi korban


ketidakdilan hukum di Indonesia. Proses penegakkan hukum seringkali melahirkan
ketidakdilan hukum. Dan ketidakdilan hukum ini bersumber dari bekerjanya hukum
dalam sebuah sistemnya. Ketika hukum dilepaskan dari konteks sosialnya, maka
hukum akan jauh dari rasa keadilan masyarakat. Dan inilah yang sekarang sedang
menjadi sorotan masyarakat luas. Aparat penegak hukum melihat dan memahami
(kasus) hukum hanya pada teks-teks “kaku” yang ada dalam aturan perundang-
undangan semata, legalistic-positivistik, tanpa berusaha memahami kasus hukum
tersebut dalam konteks sosiologisnya.

Kasus hukum yang menjadi sorotan publik di Jawa timur adalah adalah kasus
nenek Asyani (63). Nenek Asyani tak pernah menyangka bakal berurusan dengan
hukum dan mengalami pengapnya terali besi tahanan. Ini lantaran nenek Asyani
didakwa mencuri tujuh batang pohon jati yang diklaim milik perhutani di lingkungan
rumahnya di desa Jatibanteng Situbondo, Jawa Timur.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Situbondo, nenek Asyani didakwa


didakwa dengan pasal 12 huruf c dan d jo pasal 83 ayat (1) huruf a Undang-Undang
No. 18 tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H),
dengan ancaman hukuman paling singkat 1 tahun dan maksimal 5 tahun. Nenek
Asyani merasa tidak mencuri kayu milik perhutani, kayu yang ia tebang adalah kayu
miliknya yang sudah puluhan tahun ada di sekitar rumahnya.

Dalam pengakuannya, ketika di proses di kepolisian setempat, nenek Asyani


dalam pengakuan di Pengadilan Negeri (PN), ketika masih di proses di kepolisian,
nenek Asyani sudah meminta maaf kepada pihak Perhutani dan kepolisian yang
memeriksanya, namun niat baik Asyani tidak digubris dan proses hukum terus
berlanjut sampai ke meja pengadilan. Di PN Situbondo, nenek Asyani kembali meminta
“belas kasihan” dengan menyembah majelis hakim agar dirinya tidak dihukum, tidak
dipenjara, dan ingin pulang. Dan akhirnya majelis hakim PN Situbondo menjatuhkan
vonis hukuman 1 tahun dengan masa percobaan 15 bulan dan pidana denda sebesar
Rp 500 juta kepada nenek Asyanni. nenek Asyanni tidak ditahan, namun jika dalam
waktu 15 bulan nenek Asyani melakukan tindak pidana yang sama, maka nenek
Asynai harus menjalani hukuman.

Sebagian besar masyarakat menilai perlakuan hukum atas dari Asyani terlalu
berlebihan dan mengusuik rasa keadilan masyarakat. Apalagi Asyani hanyalah orang
miskin, buta hukum yang tidak tahu apa-apa. Pekerjaannya sebagai tukang pijet dan
petani serabutan. Media pun ramai memberitakan kasusnya. Akibat mendekam di
penjara kondisi fisik dan psikologis terpidana langsung drop.

Kasus nenek Asyani ini berbanding terballik dengan kasus para kaum elite di
negeri ini; para pengemplang dana bail out century, kasus perusakan dan pembakaran
hutan Sumatera selatan, mereka bisa lolos dari jeratan hukum. Asyani semakin
menagaskan dan menambah daftar panjang bagaimana hukum negara yang
berparadigma legalistik-positivistik memakan korbannya, yakni warga miskin.

Dalam kasus nenek Asyani ini adalah perkara kecil dengan nilai meterial yang
kecil, pun demikian dilakukan oleh kelompok sosial yang marginal, warga miskin yang
buta bukum, karena itu, hadirnya hukum negara bukannya melahirkan keadilan hukum,
justru sebaliknya menimbulkan ketidakadilan hukum. Karena itu, kasus hukum yang
menimpa masyarakat miskin sebaiknya lebih menggunakan pendekatan yang lebih
sosiologis dan humanis. Penyelesaian ini yang dikenal dalam dunia akademik-teoritik
sebagai prinsip restorative justice, yakni keadilan yang diperoleh di luar pengadilan
hukum positif, melalui proses pemulihan dengan semangat saling memaafkan antara
pelaku dan korban.

Kasus yang membelit Nenek Asyani menjadi potret supremasi hukum yang
ringkih. Hukum tampil tak berdaya menangani kasus korupsi yang melibatkan
kelompok elite, tapi pada saat bersamaan justru garang kepada orang lemah.
Buktinya, untuk menyeret Nenek Asyani ke meja hijau penegak hukum tak perlu waktu
lama. Berbeda dengan penanganan skandal Bank Century yang merugikan negara
Rp6,7 triliun yang hingga kini tak jelas ujung pangkalnya. Aktor utama sampai detik ini
tak terjamah karena memiliki akses kekuasaan, impunitas hukum, dan 'jalur sutet' yang
berbahaya apabila dibongkar. Karena itu wajar jika penegakan hukum kerap
meninggalkan jejak ironi. Wajar pula jika penanganan kasus korupsi selalu berakhir
antiklimaks. Supremasi hukum yang berselingkuh erat dengan pragmatisme politik
akan sulit membongkar akar kejahatan korupsi karena aib para penguasa bersembunyi
di dalamnya. Seandainya hukum menunjukkan martabatnya dan berani menjaga
independensi, betapa banyak pejabat publik di tingkat pusat maupun daerah dibui
lantaran menyalahgunakan wewenang. Nenek Asyani memang tidak memiliki
pengaruh penting bagi jagat politik. Ia baru akan mendapatkan perhatian dari
penguasa ketika bergulir menjadi isu nasional dan menjadi sorotan media. Berbeda
dengan para koruptor yang mayoritas berasal dari politisi. Meski tindakannya telah
merugikan negara, tetap mendapatkan perhatian penuh dan hak-haknya
diperjuangkan. Sebagai contoh, Menteri Hukum dan HAM bakal merevisi peraturan
pengetatan pemberian remisi kepada koruptor. Menurutnya, pengetatan remisi
koruptor diskriminatif sehingga perlu ditinjau ulang. Langkah tersebut jelas
mencerminkan hukum yang ringkih. Hukum tumpul ke atas, tapi menggilas rakyat kecil.

Penegakan hukum masih layaknya pedang; tajam ke bawah (kaum alit), tumpul
ke atas (kaum elite). Kasus nenek Asyani adalah satu dari sekian banyak kaum papa
yang menjadi korban praktik penegakan hukum yang mengusik rasa keadilan
masyarakat. Prinsip equality before law yang berlaku dalam paradigma hukum positif
akhirnya menimbulkan problematika etis-moral-sosiologis. Pendekatan legalistic
positivistic ini yang banyak dikritik bahkan digugat. Salah satunya dari kalangan
sosiolog hukum, dalam pandangan para sosiolog hukum, pendekatan yuridis-normatif
tidak cukup memadai untuk menjelaskan realitas sosio-yuridis yang terjadi di tengah
masyarakat.

Kajian terhadap hukum dalam perspektif sosiologis ini merupakan salah satu
bentuk jawaban atas pertanyaan bagaimana keluar dari keterpurukan hukum di
Indonesia. Menurut Koesno Adi (2006), salah satu penyebab keterpurukan hukum di
Indonesia adalah masih dipegang teguhnya pola pikir dan sikap legalistic-positivistik
yang telah menjauhkan hukum dari realitas sosialnya. 9

Restorative justice adalah solusi yang paling baik dan tepat untuk
menyelesaikan masalah hukum yang menimpa masyarakat miskin. Kasus hukum yang

Koesno Adi (2006)


9
menimpa masyarakat miskin –seperti nenek Asyani- ini sebenarnya bisa dihentikan di
tingkat pertama, yakni kepolisian. Aparat penegak hukum bisa menghentikan suatu
kasus jika merasa, ketika kasus dibawa ke tingkat lebih tinggi, justru akan melukai rasa
keadilan. Pihak kepolisian dengan kewenangan diskresionalnya seharusnya bisa
menghentikan kasus kecil yang menimpa masyarakat miskin seperti nenek Asyani
dengan pertimbangan etik, moral, sosial, kemanusiaan dan kemanfaatan sosial.
Pendekatan dan penerapan hukum secara legalistik-positivistik, hanya menghadirkan
keadilan yang bersifat legal-formal dan prosedural yang kaku, jauh dari nilai-nilai moral
dan kemanusiaan. Sementara pendekatan yuridis-sosiologis atau sosiologi hukum
akan lebih menghadirkan keadilan yang lebih substantif yang berdasar pada basis
etika, moral dan nilai kemanusiaan masyarakat.

Dalam praktik penegakan hukum atas nenek Asyani, pendekatan yang


digunakan para penegak hukum hanya semata-mata berorientasi pada pendekatan
legalistik-positivistik; dengan hanya mengedepankan sisi peng-gunaan kekuasaan dan
aturan normatif semata, tanpa mempertimbangkan sama sekali pendekatan yuridis-
sosiologis yang berdimensi keadilan bagi masyarakat. Dalam hal ini, Nampak adanya
pemahaman yang sempit dari para penegak hukum dalam penerapan hukum formal
atas kasus nenek Asyani ini. Penerapan hukum formal dipahami terbatas hanya
sebagai penerapan hukum yang bersifat prosedural semata, tanpa mempertimbangkan
sisi rasa keadilan masyarakat yang lebih bersifat substantif dan sosiologis.

Bandingkan dengan para tikus berdasi yang notebenenya adalah para pejabat
yang ekonominya kelas atas yang terjerat dengan kasus korupsi dan suap. Dalam
kehidupan sehari hari sering kita jumpai masalah kecil tapi dianggap besar dan terus
dipermasalahkan yang sebenarnya bisa diselesaikan dengan sikap kekeluargaan.
Namun, berlangsung dengan persidangan yang dipersulit bahkan menjadi sangat tidak
logis. Sementara, diluar masih banyak tikus berdasi yang berkeliaran dengan senang
dan santainya menikmati uang rakyat yang acap kali disalah gunakan untuk hal yang
bersifat pribadi, bukannya menyejahterakan rakyat namun sebaliknya membuat rakyat
menjerit seolah mencari dimana keadilan negeri ku?

Dalam bukti empiris dapat kita saksikan bahwa dalam kasus korupsi mantan
gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan
denda 200 Juta Rupiah. Ratu telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah
Konstitusi (MK) Akil Mochtar sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugutan
yang diajukan pasangan Amir Hamzah dan Kasmin. Bandingkan dengan kasus
seorang seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dan dijatuhi
hukuman 2,5 tahun penjara. Rasanya sangat tidak adil melihat kasus ini seorang
koruptor yang merugikan Negara sebesar 1 Miliar rupiah hanya dihukum 4 tahun
penjara sedangkan seorang nenek yang mencuri singkong karena kelaparan dihukum
2,5 tahun sunguh miris bukan?. Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai
bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita.

Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan “hukum” kurang dapat dijelaskan
dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan
kehidupan hukum di Indonesia seperti pada UUD pasal 28 D ayat satu yang berbunyi:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum” Kalau ini diterapkan, proses
penyelesaian hukumnya pasti berjalan dengan baik dan akan adil tanpa berpihak pada
kaum yang kuat dan lemah, tikus berdasi atau kepompong yang menjerit? tuntutan
atau gugatan oleh seseorang dari kelas “atas” atau yang kaya terhadap mereka yang
berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan
memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih
mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit
untuk mendapatkannya Fenomena ketidakadilan hukum ini terus terjadi dalam praktik
hukum di negeri ini.

Seperti pungguk merindukan bulan, begitulah pribahasa yang menggambarkan


harapan masyarakat terhadap lembaga peradilan di negeri ini. Lembaga peradilan
adalah tempat yang diharapkan masyarakat memperoleh keadilan. Mirisnya banyak
masyarakat yang apatis terhadap lembaga ini, sebab harapan untuk memperoleh
kebenaran dan keadilan sering kali pupus, ketika terjadi banyak permainan oleh mafia
peradilan.

Belum lama ini, salah satu koruptor kelas kakap triliunan rupiah mendapatkan
remisi dari pemerintah. Mantan Dirut Bank Century Robet Tantular mendapatkan
bebas bersyarat, setelah menjalani sekitar 10 dari total 21 tahun hukuman penjara.
Total remisi yang didapat ialah 74 bulan 110 hari atau 77 bulan. Robet divonis 21
tahun penjara dalam 4 kasus yaitu, vonis 9 tahun dan denda Rp 100 milyar subsider 8
bulan kurungan dalam kasus perbankan, vonis 10 tahun penjara dan denda Rp 10
milyar subsider 6 bulan kurungan kasus perbankan. Kedua, divonis bersalah dalam
dua kasus pencucian uang masing-masing 2 tahun serta denda 2,5 milyar. Berbanding
terbalik dengan hukuman yang diterima rakyat kecil, seorang ibu yang mencuri karena
kelaparan, RMS (31) divonis kurungan atas pencurian 3 tandan sawit milik PTPN V Sei
Rokan, Rokan Ulu, Riau. Kasus ini memetik simpati publik hukuman kurungan 7 hari
dinilai telah menyalahi kondisi ekonomi ibu tiga anak ini. Dari dua fakta ini jelas bahwa
hukum bisa dipermainkan, bahwa uang bisa menentukan hasil akhir sebuah perkara.
Siapa yang mampu membayar dialah yang untung. Sebagaimana pendapat politikus
Partai Keadilan Sejahtera Nasir Djamil menilai hukum masih tajam ke bawah dan
tumpul ke atas terkait kasus ibu berinisial RMS.

Dalam pandangan sebagian besar masyarakat Indonesia adalah sebagai


peraturan perundang-undangan dan penerapan sanksinya semata, sehingga sebagian
besar masyarakat menilai hukum itu tumpul ke atas tajam ke bawah apabila dilihat dari
sisi penegakan peraturan perundang-undangan dan penerapan sanksi hukum, maka
penerapan nya terhadap masyarakat yang memiliki kelas sosial yang tinggi (baik
secara ekonomi, maupun secara pendidikan, atau kekuasaan) tidak serius, sedangkan
yang terjadi pada masyarakat yang memiliki kelas sosial rendah berlaku sebaliknya.
Apabila dilihat dari sisi keseriusan penanganan aduan masyarakat oleh penegak
hukum (Kepolisian, Kejaksaan, dan Hakim), maka pernyataan "Hukum itu tajam ke
bawah tumpul ke atas" dipandang sebagian besar masyarakat bahwa jika yang
mengadu adalah orang atau masyarakat yang memiliki status sosial yang tinggi maka
penegak hukum akan lebih serius.

Keadilan hukum bagi masyarakat tak sekedar keadilan yang bersifat formal-
prosedural; keadilan yang didasarkan pada aturan-aturan nomatif yang rigid yang jauh
dari moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Lawan dari keadilan formal-prosedural
adalah keadilan substantif, yakni keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif
sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tapi keadilan kualitatif yang
didasarkan pada moralitas publik dan nilai-nilai kemanusian dan mampu memberikan
kepuasaan dan kebahagiaan bagi masyarakat.

Simpulan
Kekuasaan dalam hukum sangatlah diperlukan karena tanpa adanya
kekuasaan, pelaksanaan hukum dimasyarakat akan mengalami hambatan-hambatan.
Semakin tertib dan teratur suatu masyarakat makin berkurang diperlukan kekuasaan.
Akan tetapi jika kekuasaan tidak bisa dikendalikan dengan baik maka akan berdampak
pada keadlilan yang ada di masyarakat khususnya dikalangan masyarakat miskin yang
sangat awam dengan hukum hingga mereka seperti dipermaikan oleh hukum dan para
penguasa hukum itu sendiri.

Banyak kasus yang terjadi di Indonesia yang menimpa masyarakat miskin


dihukum hanya karena masalah yang seharusnya bisa diselesaikan dengan cara
kekeluargaan. Misalnya kasus nenek asyani yang tertuduh mencuri kayu jati divonis
hukuman penjara 1 tahun 3 bulan dengan denda 500 juta itu merupakan kejanggalan
hukum karena nilai materialnya-pun tidak besar, oleh karena itu para penegak hukum
jangan hanya menggunakan pendekatan legalistic-positivistik sebagain acuan tetapi
juga perhatikan aspek sosialnya juga.

DAFTAR PUSTAKA

Mahfud MD., [ CITATION MDM09 \l 1033 ], (Jakarta:   Raja Grafindo Persada, 2009), hlm.7.

Sholahudin, Umar. 2013. Membangun Keadilan Restoratif Bagi Si Miskin. Surabaya:


Sejarah dan Budaya

HM Siregar. 2007. Hukum dan Kekuasaan, (Bandar Lampung: Universitas Bandar


Lampung & Dosen Fakultas Hukum dan Program Magister Hukum.

Mas’oed, Muhtar. 2003. Ekonomi Politik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Safriani, Andi. 2017. Telaah Terhadap Hubungan Hukum dan Kekuasaan. Makassar:
Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin, hal. 40

Sholahudin, Umar. 2018. Keadilan Hukum Bagi Si Miskin. Surabaya: Jounal of Urban
Sociology

Putri AS, https://www.kompas.com/skola/read/2019/12/30/200000969/pengertian-


hukum-faktor-penting-pembuatan-dan-istilah-terkait-hukum?page=all, diakses
pada tanggal 13 November 2020.
Fakhriansyah, Muhammad. 2020. Kekuasaan dan Pengaruh. Jakarta: Universitas
Negeri Jakarta

You might also like